You are on page 1of 2

Ada satu kisah menarik sebagai bahan renungan betapa kita harus selalu mensyukuri nikmat Iman

dan Islam.

Imam ash-Shu’luki, seorang ulama besar madzhab Syafi’i, pernah ditanya oleh seorang budak
Yahudi tentang hadits nabi yang berbunyi,

‫ال ُّد ْنيَا ِسجْ نُ ْال ُمْؤ ِم ِن‬

“Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim No. 7606)

Budak Yahudi itu melihat bahwa Imam ash-Shu’luki menjalani kehidupan yang bergelimang
nikmat: mempunyai kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Sementara dirinya adalah seorang hamba
sahaya yang hina dina. Ia merasa bahwa realita ini justru sangat berbeda dengan kandungan hadits
tersebut.

Imam ash-Shu’luki menjawab, “Jika kelak dirimu berada dalam siksaan Allah, maka semua ini
merupakan surga bagimu. Dan jika kelak aku berada dalam nikmat Allah, maka semua ini merupakan
penjara bagiku.”

Apa maksud di balik kalimat jawaban imam ash-Shu’luki di atas?

Jadi, meskipun orang Yahudi itu menjadi budak dan merasa dirinya direndahkan, nasib buruk ini
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan siksa api neraka di akhirat kelak.

Begitu juga sebaliknya, meskipun Imam ash-Shu’luki dan semua orang beriman hidup dalam
kemudahan, kesenangan, dan kehormatan di dunia, nasib baik ini tidak apa-apanya jika dibadingkan
kenikmatan surgawi yang Allah sediakan bagi mereka.

Itulah salah satu contoh cara mensyukuri nikmat Iman yang sangat elegan. Jawaban Imam Ash-
Shu’luki di atas menunjukkan betapa beliau paham betul bahwa nikmat iman adalah nikmat Allah yang
paling agung.

Al-Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mencantumkan kisah ini dalam kitabnya Badai’ul
Fawa’id. Ada beberapa hikmah dan faidah yang bisa kita kutip, di antaranya adalah:

Pertama, kunci kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup ini adalah iman kepada Allah. Oleh
karenanya, seorang mukmin akan merasakan kebahagiaan, bagaimana pun keadaan yang ia hadapi di
dunia ini.

Allah Ta’ala berfirman,


ٰۤ ُ ْ ُ
َ‫ك لَهُ ُم ااْل َ ْمنُ َوهُ ْم ُّم ْهتَ ُدوْ ن‬
َ ‫ول ِٕى‬ ‫اَلَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َولَ ْم يَ ْلبِس ُْٓوا اِ ْي َمانَهُ ْم بِظل ٍم ا‬

Allażīna āmanụ wa lam yalbisū īmānahum biẓulmin ulā`ika lahumul-amnu wa hum muhtadụn.

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Kedua, betapa berharganya nikmat keimanan.

Hidup ini hanya ada dua kemungkinan; antara nikmat atau musibah. Orang-orang beriman akan
bersyukur saat mendapat nikmat, dan mereka akan mampu bersabar saat ditimpa musibah.

Itulah rahasia kenapa hidup mereka begitu tenang dan menakjubkan. Sehingga siapapun yang
mengetahui kebahagiaan hati orang beriman, mereka akan merebut kebahagian itu.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim bin Adham,

‫ُور َوالنَّ ِع ِيم ِإ ًذا لَ َجالَدُونَا َعلَى َما نَحْ نُ فِي ِه بَِأ ْسيَافِ ِه ْم‬ ْ ‫ك‌ َوَأ ْبنَا ُء‬
ِ ‫‌ال ُملُو‬
ِ ‫ك َما نَحْ نُ فِي ِه ِمنَ ال ُّسر‬ ْ ‫‌لَوْ ‌ َعلِ َم‬
ُ ‫‌ال ُملُو‬
“Seadainya para raja dan putra-putranya mengetahui kebahagiaan hati kami, niscaya mereka
akan merampasnya dari kami dengan pedang-pedang mereka.” (Abu Nu’aim, Hilyah Auliya, 3/370)

Ketiga, pentingnya mensyukuri nikmat iman.

Dalam surah An-Nahl ayat 18 disebutkan bahwa kita tidak akan pernah mampu menghitung
semua nikmat Allah. Dan nikmat iman adalah contoh nikmat Allah paling mahal yang harus disyukuri.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,


ٰۤ ُ
ِ ّ‫ك لَهُ ْم َع َذابٌ اَلِ ْي ٌم َّو َما لَهُ ْم ِّم ْن ٰن‬
َ‫ص ِر ْين‬ َ ‫ول ِٕى‬ ِ ْ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا َو َماتُوْ ا َوهُ ْم ُكفَّا ٌر فَلَ ْن يُّ ْقبَ َل ِم ْن اَ َح ِد ِه ْم ِّملْ ُء ااْل َر‬
‫ض َذهَبًا َّولَ ِو ا ْفت َٰدى بِ ٖ ۗه ا‬

Innallażīna kafarụ wa mātụ wa hum kuffārun fa lay yuqbala min aḥadihim mil`ul-arḍi żahabaw wa
lawiftadā bih, ulā`ika lahum ‘ażābun alīmuw wa mā lahum min nāṣirīn.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka
tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri
dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak
memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran: 91)

Ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang meninggal dunia sementara ia belum sempat
mengucap dua kalimat syahadat, tidak mempunyai keimanan walau seberat biji dzarrah, tidak akan masuk
surga, meskipun mereka pernah mendonasikan emas sepenuh bumi saat masih hidup dunia.

Tentu saja tidak ada orang sekaya itu.

Maka ayat ini sebenarnya adalah sebuah metafora tentang keagungan kalimat tauhid, kalimat
keimanan, jika dibandingkan dengan dunia.

Kebalikan dari kondisi di atas, meskipun seorang mukmin bersedekah hanya dengan sebiji kurma,
karena keikhlasan dan keimanannya, sedekah yang sedikit itu bisa membebaskannya dari siksa api
neraka.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ِّ ‫اتَّقُوا النَّا َر َولَوْ بِ ِش‬


‫ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَبِ َكلِ َم ٍة طَيِّبَ ٍة‬،‫ق تَ ْم َر ٍة‬

“Jauhilah neraka walaupun dengan bersedekah sebelah butir kurma, maka siapa saja yang tidak
mendapatkannya, maka hendaklah (bersedekah) dengan kata-kata yang baik’.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)

Dengan nikmat iman yang ada di dalam hati, kita akan mudah melakukan banyak amal saleh.
Seperti shalat, shaum, zakat, infaq, shadaqah, dan berjihad di jalan Allah. Semua anggota tubuh bisa
bergerak atas dasar keimanan.

Itulah rahasia kenapa nikmat paling agung adalah nikmat iman dan Islam.

Maka dari itu, kita diajarkan sebuah doa; memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa berada di atas
nikmat keimanan.

ُ‫ك اَ ْنتَ ْال َوهَّاب‬ َ ‫َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوْ بَنَا بَ ْع َد اِ ْذ هَ َد ْيتَنَا َوهَبْ لَنَا ِم ْن لَّ ُد ْن‬
َ َّ‫ك َرحْ َمةً ۚاِن‬

Rabbanā lā tuzig qulụbanā ba’da iż hadaitanā wa hab lanā mil ladungka raḥmah, innaka antal-wahhāb.

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri
petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya
Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8)

Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq.

You might also like