Professional Documents
Culture Documents
Otonomi Daerah Prov Banten
Otonomi Daerah Prov Banten
Di Susun Oleh
Maciko Tsubagus Anas (4202028028)
Kelas
6B DKB
Dosen Pengampu
Anik Cahyowati SH.,MH
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah
untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang
tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan
serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi
masyarakat di daerah. Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa
pelaksanaan otonomi daerah pasca Reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi,
kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasi‐regulasi yang telah
ditetapkan.
Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya
merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi
kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya
pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu
masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari
kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi
daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis
untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi
Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi”.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini
memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan umumnya yaitu
bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan otonomi daerah pada masa
Reformasi. Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Otonomi Daerah.
2. Untuk mengidentifikasi implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan
pendidikan pada masa Reformasi.
3. Untuk menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi
daerah pada masa Reformasi.
D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis sendiri sebagai sarana
untuk memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam melakukan suatu penulisan.
Selain itu juga dapat digunakan sebagai landasan awal untuk penulisan selanjutnya. Bagi
pembaca dapat memberikan informasi mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia
baik dalam bidang politik, ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi
Jurusan Pendidikan Sejarah, dapat memperkaya referensi tentang penulisan sejarah. Dan
lebih luasnya bagi Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya
khasanah keilmuan dan melengkapi kepustakaan karya tulis ilmiah.
F. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha untuk memaparkan dan
menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah yang terbagi menjadi
beberapa permasalahan dan pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penulisan sesuai
dengan permasalahan utama, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan tekhnik
penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai konsep-konsep atau
teori-teori yang terdapat dalam permasalahan yang dikaji, yang berisi mengenai suatu
pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis angkat dengan
mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga dapat
memperjelas isi pembahasan yang penulis uraikan berdasarkan data-data temuan yang
didapatkan.
Bab III Pembahasan/Isi, yaitu membahas mengenai bab hasil penulisan tentang
“Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia”. Pembahasan bab ini dikembangkan
menjadi beberapa sub pokok bahasan, yaitu pertama, mengenai latar belakang otonomi
daerah. Kedua, mengenai implikasi kebijakan otonomi daerah dalam bidang politik, ekonomi
dan pendidikan. Ketiga, mengenai permasalahan yang timbul dalam otonomi daerah dan cara
penyelesaiannya.
Bab IV Penutup, berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan pada bab isi dan hasil
analisis yang penulis lakukan merupakan kesimpulan secara menyeluruh yang
menggambarkan mengenai Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia, sesuai
dengan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal,
diantaranya: (1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2)
desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai
pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4)
desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.
2. Asas Dekonsentrasi
Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau
delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di
pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam
penyelenggaraan Pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena
instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan
penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran
dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan Pemerintahan sentral di
daerah. Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat
legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi
“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayahnya. (UU
No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat 8).
C. Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah
Pada Masa Reformasi
1. Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Setelah berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk
mengatur urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat
kewenangan tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:
a.) Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan
otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM
aparatur pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat menjalankan berbagai
kewenangan pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan.
Pentingnya posisi manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang
bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu
kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya
melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah.
Manusia pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.) Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup
menjamin tuntutan kualitas yang ada.
2.) Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.
3.) Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber
energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum
memadai, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut
pegawai baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja
(2003:37) Daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun
belum cukup jelas kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar
struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi,
kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk
mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.
2. Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa
Reformasi
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi
daerah adalah sebagai berikut :
a.) Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah
dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
b.) Bahwa tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali
sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing
daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah menuju peningkatan
masyarakat daerah, oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka
otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi dalam segala bidang.
c.) Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan
secara sistematis, mensinergikan kegiatan lembaga/institusiriset pada PTN/PTS di daerah
dengan industri kecil menengah dan tradisional.
d.) Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah
rapuh, dengan mengembangkan usaha kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif
serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan structural.
e.) Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan
yang tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
f.) Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah
khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk
hukum pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,
pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah
pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
D. Studi Kasus
Otonomi Daerah Provinsi Banten
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping
sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk juga pendidikan politik lokal didalamnya.
Untuk itu, pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: (1)
kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5)
pertimbangan aspek sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7)
pertimbangan dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat
menyelenggarakan dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom. Pemekaran pun
terjadi di tanah Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya
terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat.
Sampai pada tahun 1998, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang, masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi Banten yakni
pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru, yakni Calon Kabupaten
Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu pemekaran di Kabupaten Lebak
menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak Selatan) yang telah melewati kajian akademik
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
dengan predikat lulus bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang
dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu kota
kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten
Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini menimbulkan pro dan
kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara eksekutif dengan legislatif
mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau tidak mendukung proses
pemekaran suatu daerah.
Faktor kepentingan juga lah yang bermain, cost and benefit yang cukup menentukan
dalam membagi kelompok pro dan kontra, yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung
proses pemekaran sedangkan yang dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah
kabupaten induk akan menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi
akan mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan
pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk dari proses
pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran akan didukung.
Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di berbagai wilayah, dimana
seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di
Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya
adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong,
Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan
Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah
dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di
Provinsi Banten pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi
1.535 desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa dalam
rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru terbentuk/dimekarkan.
Provinsi Banten sampai saat ini memiliki 8 Kabupaten/Kota. Berikut ini Nama
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai tahun 1998, sebelum ada pemekaran daerah, yaitu
: Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan
Kabupaten Serang. Dan berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten yang
merupakan hasil pemekaran daerah sejak tahun 1999, yaitu : Kota Cilegon, pemekaran dari
Kabupaten Serang, 20 April 1999. Kota Serang, pemekaran dari Kabupaten Serang, 17 Juli
2007. Kota Tangerang Selatan, pemekaran dari Kabupaten Tangerang, 29 Oktober 2008.
(http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsibanten/).
4. Bidang Infrastruktur
Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki hak
dan tanggung jawab untuk membangun berbagai instruktur yang menunjang bagi kehidupan
masyarakat Banten. Hal ini terlihat dengan adanya pembangunan infrastruktur pemerintahan,
seperti pembangunan kantor DPRD, kantor Gubernur, dan lain-lain. Dalam bidang
pendidikan, pemerintah daerah Banten berupaya membangun sekolah-sekolah maupun
memperbaiki sekolah yang keadaannya tidak layak. Selain itu, pembangunan infrastruktur
jalan raya di provinsi Banten juga di lakukan karena banyak mengalami kerusakan. Menurut
Portal Nasional RI PT Banten Global Development (BGD) menyiapkan lima proyek
infrastruktur prioritas guna mengembangkan wilayah Banten. Lima proyek tersebut adalah
Jembatan Selat Sunda (JSS), kawasan ekonomi khusus (KEK) Tanjung Lesung, Bandara
Panimbang, tol Panimbang-Serang, dan mass rapid transit (MRT) rute Serpong-Tangerang-
Rawa Buntu.
(http://www.indonesia.go.id/in/kementrian/kementrian/kementrianperindustrian/695-sarana-
dan-prasarana/11527-bgd-siapkan lima-proyek-infrastruktur-di-Banten).
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari
beberapa aspek, diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam
Desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalam pendidikan otonomi
daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola
pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan
keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan
munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber
daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan
Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan
profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan
daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,
sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggung jawab.
Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi
oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara
daerah yang pendapatannya tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat
bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di
Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten. Skripsi pada
FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim Icce
Uin Jakarta dan Prenada Media.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya.
Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar.
Jakarta: LASPI.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.
Portal Nasional RI. (2009). Sumber Daya Alam Banten. [Online]. Tersedia:
http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-banten/sumber-daya-alam [09
Desember 2012].
Portal Nasional RI. (2012). BGD Siapkan Lima Proyek Infrastrukrut Di Banten. [Online]. Tersedia:
http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-perindustrian/695-
sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan-lima-proyek-infrastruktur-di-banten [09 Desember
2012]