You are on page 1of 193

KEMENTERIAN PENDIDIKAN

DAN KEBUDAYAAN 2019


Suprihatin, M.Ed.Ed.D
Lelian Lianty, M.Pd

No. Kode: DAR2/Profesional/800/2/2019

PENDIDIKAN LUAR BIASA


MODUL 6
PENDIDIKAN PESERTA DIDIK AUTIS &
BERESULITAN BELAJAR
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2019
No Kode: DAR2/Profesional/no_kode_prodi/6/2019

PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN LUAR BIASA

MODUL 6 PENDIDIKAN ANAK DENGAN AUTISME DAN KESULITAN


BELAJAR SPESIFIK

Nama Penulis:
Suprihatin, Ed.D
Leliana Lianty, M.Pd

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


2019
MODUL 6 PENDIDIKAN ANAK DENGAN AUTISME DAN KESULITAN
BELAJAR SPESIFIK

ISBN:

Nama Penulis:
Suprihatin, Ed.D
Leliana Lianty, M.Pd

Editor: Prof. Munawir Yusuf


Kata pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, penulis telah menyelesaikan Modul 6


dengan judul Pendidikan Anak Dengan Autisme dan Kesulitan Belajar Spesifik.
Modul ini dibuat sebagai bahan ajar yang akan digunakan oleh mahasiswa peserta
PPG dalam jabatan, yang berisi tentang konsep dasar autisme dan kesulitan belajar
spesifik, pembelajaran bagi anak dengan autisme, pembelajaran bagi anak
berkesulitan belajar spesifik dan program kebutuhan khusus bagi anak dengan
autisme dan anak berkesulitan belajar spesifik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak berikut yang telah
memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulisan modul ini:

1. Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemristekdikti


2. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemdikbud
3. Direktur Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus
4. Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar
5. Direktur Pembelajaran Kemristekdikti
6. Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus
7. Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Dasar

Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam modul ini, oleh sebab itu saran
perbaikan sangat dibutuhkan. Semoga modul ini bermanfaat bagi semua pihak,
terima kasih.
Daftar isi
Hal

KEGIATAN BELAJAR 1: KONSEP AUTISME DAN KESULITAN


BELAJAR SPESIFIK
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ……………………………………………… 1
2. Relevansi ……………………………………………………….. 1
3. Petunjuk Belajar ……………………………………………… 2
B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan ……………………… 2
2. Pokok - Pokok Materi ………………………………………… 2
3. Uraian Materi …………………………………………………. 3
A. Konsep Dasar Autisme
1. Ruang Lingkup autisme ………………………………. 3
2. Penyebab, Klasifikasi dan Karakteristik Autis ……… 5
3. Identifikasi dan Asesmen Autisme pada Individu …… 12
4. Dampak Autisme terhadap Perkembangan Individu dan
Kebutuhan Khususnya dalam Pendidikan ……………… 15
B. Konsep Dasar Kesulitan Belajar Spesifik
1. Ruang Lingkup Kesulitan Belajar ……………………….. 17
2. Penyebab, Klasifikasi dan Karakteristik Kesulitan Belajar 19
3. Identifikasi dan Asesmen Kesulitan Belajar pada Indiviidu 22
4. Dampak Kesulitan Belajar terhadap Perkembangan Individu
dan Kebutuhan Khususnya dalam Pendidikan………….. 24
4. Forum Diskusi …………………………………………………….. 24
C. Penutup
1. Rangkuman ……………………………………………………….. 26
2. Tes Formatif ……………………………………………………… 27

Daftar Pustaka …………………………………………………………….. 32


Lampiran 1 ………………………………………………………………… 34
Lampiran 2 ………………………………………………………………… 35

KEGIATAN BELAJAR 2: PEMBELAJARAN BAGI ANAK DENGAN


AUTISME
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat …………………………………………………. 1
2. Relevansi …………………………………………………………… 1
3. Petunjuk Belajar …………………………………………………… 1
B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan …………………………. 2
2. Pokok - Pokok Materi ……………….…………………………… 2
3. Uraian Materi ……………………………………………….......... 2
A. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Anak dengan Autisme…. 3
B. Struktur Kurikulum SLB Autis ………………………….…… 6
C. Peta Kompetensi KI-KD ……………………………………… 12
D. Memilih Metode dan Strategi Pembelajaran bagi Anak dengan
Autisme …………………………………………………………. 17
E. Memilih Bahan Ajar bagi Anak dengan Autisme ……............. 24
F. Rekayasa Media Pembelajaran bagi Anak dengan Autisme … 27
G. Menyusun Alat Evaluasi Belajar bagi Anak dengan Autisme
berbasis HOTS ………………………………………………… 29
4. Forum Diskusi …………………………………………………….. 30
C. Penutup
1. Rangkuman ……………………………………………………… 30
2. Tes Formatif ……………………………………………………… 31
Daftar Pustaka …………………………………………………………….. 36
KEGIATAN BELAJAR 3: PEMBELAJARAN BAGI ANAK
BERKESULITAN BELAJAR SPESIFIK
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ………………………………………………. 1
2. Relevansi ………………………………………………………… 1
3. Petunjuk Belajar ……………………………………………....... 2
B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan ……………………….. 2
2. Pokok - Pokok Materi ………………………………………….. 2
3. Uraian Materi ……………………………………………........... 3
A. Struktur Kurikulum bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik . 3
B. Peta Kompetensi (KI-KD SD, SMP, SMA) ………………… 15
1. Peta Kompetensi SD ……………………………………… 15
2. Peta Kompetensi SMP …………………………………… 17
3. Peta Kompetensi SMA …………………………………… 19
C. Modifikasi Kurikulum bagi Anak berkesulitan Belajar Spesifik 20
D. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar
Spesifik ………………………………………………………. 23
E. Memilih Metode dan Strategi Pembelajaran bagi Anak
Berkesulitan Belajar Spesifik ………………………………… 25
1. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Membaca… 25
2. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Menulis….. 36
3. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Matematika.. 39
F. Memilih Bahan Ajar bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik… 41
G. Rekayasa Media Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar
Spesifik ………………………………………………………. 42
H. Menyusun Alat Evaluasi Belajar bagi Anak Berkesulitan
Belajar Spesifik Berbasis HOTS ……………………………... 44
4. Forum Diskusi …………………………………………………… 46
C. Penutup
1. Rangkuman ……………………………………………………… 46
2. Tes Formatif ……………………………………………………. 47
Daftar Pustaka …………………………………………………………. 52

KEGIATAN BELAJAR 4: PEMBELAJARAN PROGRAM KEBUTUHAN


KHUSUS BAGI ANAK DENGAN AUTISME DAN KESULITAN BELAJAR
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ……………………………………………… 1
2. Relevansi ……………………………………………………….. 1
3. Petunjuk Belajar ……………………………………………….. 2
B. Inti
1. Capaian Pembelajaran …………………………………………… 2
2. Pokok - Pokok Materi ……..……………………………………… 2
3. Uraian Materi
A. Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus bagi Anak dengan Autisme
1. Konsep pengembangan Interaksi dan Komunikasi Anak
dengan Autisme …………………………………………… 3
2. Metode dan Teknik Pengembangan Interaksi dan Komunikasi
bagi Anak dengan Autisme ……………………………….. 4
3. Merancang Program Pengembangan Interaksi dan Komunikasi
bagi Anak dengan Autisme ………………………………….. 13
4. Pembelajaran dan Penilaian Kegiatan Pengembangan Interaksi
dan Komunikasi bagi Anak dengan Autisme ……………….. 14
B. Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus bagi Anak Berkesulitan
Belajar
1. Konsep Pengembangan Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus
bagi Anak Berkesulitan Belajar ……………………………… 17
2. Metode dan Teknik Pengembangan Pembelajaran Program
Kebutuhan Khusus bagi Anak Berkesulitan Belajar ………… 18
3. Merancang Program Pengembangan Pembelajaran Program
Kebutuhan Khusus bagi Anak Berkesulitan Belajar ………… 22
4. Penilaian Kegiatan Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus
bagi Anak Berkesulitan Belajar ……………………………… 22

4. Forum Diskusi ………………………………………………………... 23


C. Penutup
1. Rangkuman …………………………………………………………. 23
2. Tes Formatif ………………………………………………………… 24
Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 28
Tugas Akhir …………………………………………………………………. 29
Tes Sumatif …………………………………………………………………. 29
Kunci Jawaban ……………………………………………………………… 37
Daftar gambar

Hal
Kegiatan Belajar 2
Gambar 1. Contoh struktur fisik ……………………………………………. 18
Gambar 2. Contoh jadwal untuk satu mata pelajaran dalam satu pertemuan.. 19
Gambar 3. Contoh sistem kerja ……………………………………………... 20

Kegiatan Belajar 3
Gambar 1. Proses atau Alur Pelaksanaan Strategi Membaca Kolaboratif
adaptasi dari J.K Klingner dan S. Vaughn (2009) …………………………. 33

Kegiatan Belajar 4
Gambar 1. Contoh cerita sosial …………………………………………….. 11
Daftar tabel

Hal

Kegiatan Belajar 1
Table 1. Klasifikasi autisme menurut ICD 10 dan DSM IV ………………… 10
Table 2. Klasifikasi autisme menurut DSM 5 ……………………………….. 10

Kegiatan Belajar 2
Tabel 1. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus Jenjang SD ……………… 6
Tabel 2. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus Jenjang SMP ……………. 8
Tabel 3. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus Jenjang SMA …………… 10
Tabel 4. Peta Kompetensi KI-KD Matematika SD Kelas I ………………… 13
Tabel 5. Peta Kompetensi KI-KD Kelas IV ………………………………… 15

Kegiatan Belajar 3
Tabel 1. Struktur Kurikulum SD/MI ……………………………………….. 4
Tabel 2 Struktur Kurikulum SMP/MTS ……………………………………. 6
Tabel 3 Struktur Kurikulum Jenjang SMA/MA ……………………………. 8
Tabel 4 Struktur Kurikulum Peminatan Jenjang SMA/MA ………………… 10
Tabel 5 Kompetensi Inti Jenjang SD ………………………………………. 15
Tabel 6 Kompetensi Inti Jenjang SMP ……………………………………… 17
Tabel 7 Kompetensi Inti Jenjang SMA ……………………………………... 19

Kegiatan Belajar 4
Tabel 1. Contoh program pembelajaran khusus …………………………….. 14
KEGIATAN BELAJAR 1: KONSEP AUTISME DAN KESULITAN
BELAJAR SPESIFIK
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Autisme dan kesulitan belajar spesifik merupakan dua jenis hambatan yang
sangat berbeda. Autisme yang dialami individu mengakibatkan
ketidakmampuan individu tersebut melakukan interaksi dan komunikasi
sosial secara sempurna. Karena ketidakmampuan ini maka individu autis
terlihat seperti orang aneh. Sedangkan kesulitan belajar spesifik tidak
mengakibatkan individu yang mengalaminya terlihat aneh, mereka adalah
individu yang biasa-biasa saja. Hambatan yang mereka alami akan terlihat
dengan jelas pada saat mereka sedang mengikuti pembelajaran yang
berhubungan dengan membaca, berhitung dan menulis.
Untuk mengetahui lebih jelas siapa dan bagaimana individu autis dan
atau yang mengalami kesulitan belajar, melalui Kegiatan Belajar 1 pada
Modul 6 ini kita akan mempelajari konsep, karakteristik, klasifikasi, faktor
penyebab dan dampak dari autisme dan kesulitan belajar spesifik.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru
yang sudah mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), melalui PPG ini
diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional dalam bidang ilmu pendidikan luar biasa, khususnya kajian
tentang autisme dan kesulitan belajar spesifik. Setelah mengikuti PPG ini,
diharapkan mahasiswa yang merupakan guru di SLB dapat lebih profesional
dalam memberikan pembelajaran di kelas dengan memperhatikan
karakteristik peserta didik autis dan peserta didik berkesulitan belajar.
Melalui Kegiatan Belajar 1 ini, diharapkan mahasiswa PPG dapat lebih
memperdalam dan menguasai konsep-konsep dasar secara teoritis maupun
praktis tentang autisme dan kesulitan belajar spesifik.
3. Petunjuk Belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh
mahasiswa PPG untuk materi konsep dasar autisme dan kesulitan belajar
spesifik. Sebaiknya materi belajar dalam Kegiatan Belajar 1 ini dibaca dan
dipahami secara cermat dan berurutan, sehingga diperoleh pemahaman yang
menyeluruh terkait peserta didik autis dan peserta didik berkesulitan belajar.

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Diharapkan setelah mempelajari Kegiatan Belajar 1 pada Modul 6 ini,
mahasiswa PPG dapat menguasai konsep dasar teoritis peserta didik
autis dan peserta didik berkesulitan belajar sebagai dasar untuk
mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
peserta didik autis dan peserta didik berkesulitan belajar spesifik.

2. Pokok-pokok Materi
Pokok-pokok materi dalam Kegiatan Belajar 1 ini meliputi:
1. Konsep dasar autisme yang mencakup:
a. Ruang lingkup autisme
b. Penyebab, klasifikasi dan karakteristik autis
c. Identifikasi dan asesmen autisme pada individu?
d. Dampak autisme terhadap perkembangan individu dan kebutuhan
khususnya dalam pendidikan
2. Konsep dasar kesulitan belajar spesifik yang mencakup:
a. Ruang lingkup kesulitan belajar
b. Penyebab, klasifikasi dan karakteristik kesulitan belajar
c. Identifikasi dan asesmen kesulitan belajar pada individu
d. Dampak kesulitan belajar terhadap perkembangan individu dan
kebutuhan khususnya dalam pendidikan
3. Uraian Materi
Halo para mahasiswa sekalian, selamat datang di Kegiatan Belajar 1 pada
Modul 6. Dalam Kegiatan Belajar 1 ini, kita akan belajar tentang konsep
autisme dan kesulitan belajar spesifik yang merupakan dua hal yang sangat
berbeda. Pada bagian pertama, kita akan belajar memahami tentang konsep
autisme. Agar dipahami terlebih dahulu beda antara autisme dan autis yaitu
bahwa autisme adalah nama sebuah kelainan perkembangan sedangkan
autis adalah individu yang memiliki autisme. Silahkan para mahasiswa
sekalian membaca materi bagian satu berikut ini.

A. KONSEP DASAR AUTISME


1. Ruang Lingkup Autisme
Sejarah pengenalan autisme dimulai sejak tahun 1911 ketika
Bleuler (Feinstein, (2010)) memperkenalkan cara berpikir logis atau
realistis dan cara berpikir autistik yang merupakan cara berpikir yang
biasa dimiliki oleh anak-anak dan dewasa dan kedua hal tersebut
bukanlah suatu kelainan. Dalam anggapan Bleuler, cara berpikir
realistik atau logik muncul terlebih dahulu baru diikuti dengan cara
berpikir autistik dan Bleuler juga memasukkan autisme sebagai salah
satu bentuk schizophrenia. Tetapi kedua cara berpikir yang
dikemukakan oleh Bleuler adalah hal yang berbeda dengan apa yang
kita kenal sekarang sebagai autisme.
Pada tahun 1943, Leo Kanner, seorang ahli ilmu jiwa anak-anak,
memperkenalkan kata ‘autis’ dalam tulisannya untuk mendeskripsikan
11 pasiennya di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat (Mesibov
dan Howley, 2003). Anak-anak tersebut memiliki sedikit ketertarikan
kepada orang lain, berbahasa secara aneh, melakukan rutinitas yang
sama, menunjukkan gerakan anggota badan yang berbeda dari anak
yang lain dan mengulang tingkah laku yang sama.
Pada intinya, Kanner menerangkan bahwa 11 pasien yang
digambarkan dalam laporannya mengalami kesulitan pada tiga area
utama yaitu sosial, komunikasi dan pemikiran. Pada perkembangan
selanjutnya, ketiga aspek utama dalam autisme disebut sebagai ‘triad
of impairments’ dan memunculkan istilah ‘Autism Spectrum Disorders’
(Wing (1996) dalam Volkmar, et.al.(2005)) atau dalam Bahasa
Indonesia disebut sebagai Gangguan Spektrum Autisme (Ginanjar,
2007). Istilah Autism Spectrum Disorders lebih banyak digunakan dari
pada istilah yang digunakan pada awal kemunculan autisme yaitu
Pervasive Developmental Disorders.
Autisme bukanlah kata baru dalam kehidupan sehari-hari
walaupun kata tersebut baru dikenal dan digunakan secara luas di
Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Bahkan terkadang kata autis
digunakan secara kurang benar dan tidak pada tempatnya sehingga
penggunaan kata ini mengundang sakit hati bagi keluarga individu
autis. Sebagai contohnya para pengguna smart phone model tertentu
yang terlalu asyik dengan smart phone-nya disebut sebagai autis. Untuk
mengetahui lebih dalam secara benar tentang autis dan atau autisme,
maka paragraf selanjutnya dalam modul ini akan membahas pengertian
autisme.
Menurut Longman Dictionary of American English (Mayor, dkk.,
2009) autisme adalah sebuah permasalahan dalam cara kerja otak yang
menyebabkan seseorang tidak mampu berkomunikasi secara normal,
atau untuk membentuk hubungan secara normal. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id, September, 2019)
autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat
tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan
dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain
terganggu.
Autisme juga merupakan suatu keadaan dimana seseorang anak
berbuat semaunya sendiri baik cara berfikir maupun berperilaku.
Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih sangat muda atau bayi.
Sedangkan menurut Rimland (Ginanjar, 2007) autisme adalah
gangguan yang disebabkan oleh kesalahan pada syaraf otak. Autisme
juga bisa diartikan sebagai disabilitas perkembangan yang secara
signifikan berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi anak
secara verbal dan nonverbal, interaksi sosial, dan kinerja pendidikan.
Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan
gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial,
kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar sehingga anak
autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003).
Autisme atau bisa juga disebut sebagai Gangguan Spektrum
Autisme (GSA) bukanlah suatu penyakit sehingga belum ada obat yang
bisa digunakan untuk menyembuhkan gangguan yang ditimbulkan.
GSA akan menetap pada pemiliknya selama mereka hidup dan
karakteristiknya bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dengan
pemberian perlakuan tertentu. GSA 4 kali lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding pada perempuan. Jumlah individu dengan autisme
di Indonesia masih belum jelas, sehingga perlu adanya pendataan yang
menyeluruh. Sedangkan di Amerika Serikat saat ini prevalensi kejadian
autisme pada komunitas adalah 1 orang diantara 88 orang.
Sebagai kesimpulan, Autism Spectrum Disorders atau Gangguan
Spektrum Autisme (GSA) atau autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan yang kompleks yang muncul pada masa awal
perkembangan anak yang ditandai dengan adanya gangguan pada
kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku. Autisme akan
menetap pada anak sampai mereka dewasa yang gejalanya bisa
terkurangi dengan memberikan berbagai macam perlakuan yang
konsisten kepada anak.

2. Penyebab, Karakteristik dan Klasifikasi Autisme


Penyebab
Pada zaman dulu orang tua, terutama ibu, dianggap sebagai
penyebab terjadinya autisme pada anak. Sampai ada penyebutan orang
tua sebagai ‘referigerator mother’ atau ‘ibu kulkas’. Hal ini disebabkan
karena orang tua merespon keadaan anak secara ambivalen, tidak
konsisten dan penolakan (Mesibov & Howley, 2003). Namun anggapan
ini banyak ditentang oleh orang tua dan tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah. Sedangkan Tinbergen dan Tinbergen (Jones, 2002)
menganggap ada kerusakan dalam proses ikatan antara ibu dan anak.
Disabilitas pada bagian tertentu di otak, juga dipercaya sebagai
penyebab autisme. Menurut penelitian (Handoyo, 2002) bagian lobus
parietal, temporal dan oksipital pada otak anak dengan autisme
bervolume lebih besar dari anak pada umumnya. Selain itu, neuron pada
sistem limbik otak anak dengan autisme juga terlihat lebih kecil dan
saling berdempetan, sedangkan di area lain mungkin lebih besar atau
lebih kecil dari umumnya.
Faktor genetik juga dicurigai sebagai penyebab terjadinya autisme
pada inividu. Namun, model penurunan atau pewarisan faktor gen dari
orang tua ke anak masih belum diketahui dengan jelas. Fokus penelitian
tentang penyebab autisme saat ini adalah genetik individu autis, dan
banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa faktor gen yang
bermutasi menjadi penyebab autisme. Autisme bisa mengenai siapa
saja, baik sosio-ekonomi mapan maupun kurang, yang dimulai dari
masa kanak-kanak yang menetap hingga dewasa dan semua etnis.
Autisme tidaklah disebabkan oleh vaksinasi MMR (Fitzpatrick, 2004)
yang selama ini masih dipercayai oleh sebagian orang sehingga
vaksinasi MMR tidak perlu dihindari.
Penyebab autisme yang lainnya adalah kekurangan nutrisi dan
oksigen dalam tubuh anak dengan autisme yang disebabkan oleh
kebocoran usus. Usus yang bocor pada anak dengan autisme
menyebabkan mereka menjadi kekurangan nutrisi karena sistem
pencernaan tidak bisa membedakan antara nutrisi dan racun. Sehingga
kedua zat ini terserap dan beredar secara bersamaan dalam tubuh.
Penyebab yang juga masih banyak dipercayai adalah polusi. Polusi
menyebabkan mengendapnya zat berbahaya seperti merkuri dan timbal
di dalam tubuh. Kedua zat berbahaya ini banyak juga ditemukan pada
darah dan rambut anak dengan autisme.

Karakteristik
Anak dengan autisme sangatlah berbeda antara satu dengan yang
lain. Masing-masing punya karakteristik yang unik dan kuantitas
karakteristik yang dimiliki sangat berbeda pula. Sebagaimana diketahui
bahwa autisme merupakan spektrum sehingga pada masing-masing
anak kuantitas karakteristik sangat beragam dari yang paling banyak
menunjukkan ciri-ciri autisme sampai yang hampir tidak kelihatan ciri-
cirinya.
Yang pertama, anak dengan autisme memiliki gangguan perilaku
dalam hal ‘insistence of sameness’. Anak dengan autisme cenderung
mengulangi hal yang sama setiap waktu. Misalnya ketika sedang mandi
ada anak dengan autisme lebih suka semua pintu yang ada harus
tertutup rapat, kamar mandi harus dipenuhi dengan busa. Ketika pintu
kamar mandi secara sengaja dibuka oleh orang lain maka dia akan
langsung menutup pintu tersebut dan pintu lainnya yang terbuka. Lain
perilaku dimunculkan oleh anak yang lain, seperti perjalanan menuju
sekolah harus selalu melewati jalan yang sama. Kalau berangkat
melalui jalan A dan pulang melalui jalan B, maka hal ini harus
dilakukan setiap hari. Jika tidak maka anak kemungkinan akan bingung
dan bahkan tantrum. Hal ini terjadi dikarenakan anak dengan autisme
kurang mampu memperkirakan apa yang terjadi selanjutnya (Jones,
2002) sehingga pikirannya menjadi bingung.
Berikutnya adalah bahwa anak dengan autisme kurang mampu
bersosialisasi dengan orang lain. Mereka kurang mampu untuk
memulai kegiatan sosialisasi. Bahkan menurut Jones (2002)
kemampuan sosial anak dengan autisme kemungkinan merupakan
gangguan yang terparah. Anak dengan autisme kurang memahami
peraturan sosial yang ada yang sifatnya abstrak seperti kesopanan,
giliran atau antri dan aturan permainan. Mereka tidak belajar secara
otomatis tentang hal-hal tersebut. Hal ini disebabkan karena
kemampuan pemikiran mereka yang tidak mampu mencerna hal-hal
atau kata-kata yang bersifat abstrak. Namun ketika mereka diajari hal-
hal tersebut mereka akan bisa dengan membutuhkan waktu yang cukup
lama.
Karakteristik berikutnya yang ditunjukkan oleh anak dengan
autisme adalah terkadang mereka juga mengalami gangguan sensori.
Gangguan ini seperti ditunjukkan dengan kepekaan yang sangat
terhadap hal-hal tertentu misalnya suara dan sentuhan. Anak dengan
autisme yang sangat peka terhadap suara, dia akan menutup telinga atau
akan menjerit-jerit jika mendengar suara seperti suara balon yang
berudara ketika dibentuk menjadi boneka atau benda lainnya. Tetapi
sebaliknya jika anak tidak peka maka dia tidak akan peduli dengan
suara sekeras apapun. Demikian juga dengan anak-anak yang sensitif
terhadap sentuhan, jika dia disentuh maka dia akan menangis kesakitan
tetapi ketika dipukul dia tidak merasakan apapun.
Ciri yang paling menonjol lainnya pada anak dengan autisme
adalah kemampuannya berkomunikasi. Pada sebagian anak dengan
autisme, ada yang bisa berbicara dengan lancar dan tidak mengalami
keterlambatan bicara namun sebagian lainnya ada yang mampu
berbicara pada masa kecilnya dan kemudian hilang. Pada sebagian yang
hilang ini, ada yang kemungkinan bisa berbicara kembali tetapi
sebagian lagi kemungkinan tidak bisa berbicara selamanya.
Pada anak dengan autisme yang bisa berbicara, gaya bicaranya
kadang tampak aneh. Seperti pada anak dengan Asperger Syndrome
(salah satu tipe autisme), gaya bicara mereka sangat monoton dan kaku,
hampir tidak ada irama sama sekali. Anak-anak ini kurang mengerti
bahasa kiasan, mereka hanya mengerti makna bahasa secara denotatif.
Misalnya untuk kata ‘makan hati’ secara denotatif kata ini berarti
‘sedang makan lauk hati ayam’ tetapi secara konotatif maknanya adalah
‘sakit secara psikologis’.
Pada anak dengan autisme lain yang bisa berbicara, terkadang
mereka berbicara secara echolalia. Mereka cenderung mengulang,
persis sama, kata-kata orang lain yang mengajaknya berbicara. Ada
anak yang mengulangnya secara langsung dihadapan orang yang
mengajaknya berbicara, ada juga yang mengulangnya saat berikutnya
ketika dirumah atau di tempat lain.
Sedangkan individu autis lainnya yang tidak bisa berbicara, mereka
berkomunikasi dengan bahasa tubuh atau gestur, bahasa isyarat,
gambar-gambar dan cerita bermakna (social story). Biasanya anak
dengan autisme akan mengambil, memegang dan mengarahkan tangan
orang yang dikenalnya jika menginginkan sesuatu. Sedangkan
menukarkan atau memberikan gambar kepada orang lain adalah bentuk
komunikasi pada sebagian anak dengan autisme.

Klasifikasi
Seperti tersirat pada nama yang dimilikinya, Gangguan Spektrum
Autisme memiliki berbagai macam sub tipe. Gangguan ini ditemukan
dari mulai yang paling berat yang berarti memiliki tanda-tanda atau
karakteristik autistik sangat banyak sampai yang paling ringan dengan
karakteristik yang hampir tidak bisa dilihat sama sekali. Berikut ini
adalah tipe-tipe autisme menurut Diagnosis Statistical Manual IV
(DSM IV) dan International Classification of Deseases 10 (ICD 10)
adalah Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified
(PDD-NOS) atau Atypical Autism, Asperger’s disorder atau Asperger
Syndrome, Childhood Disintegrative Disorder, Rett’s disorder atau Rett
Syndrome, dan Autistic disorder atau Childhood autism (Volkmar dan
Klin, 2005). Untuk lebih jelasnya, silahkan perhatikan tabel berikut ini.
Table 1. Klasifikasi autisme menurut ICD 10 dan DSM IV
ICD 10 DSM IV
• Childhood autism • Autistic disorder
• Atypical Autism • PDD-NOS
• Rett Syndrome • Rett’s disorder
• Other childhood • Childhood
Develpmental Disorder Developmental Disorder
• Overactive disorder with • No corresponding
Retardation Mental category with stereotyped
movements
• Asperger’s Syndrome • Asperger’s disorder
• Other Pervasive • Pervasive Developmental
Developmental Disorders Disorders-Not Otherwise
Specified (PDD NOS)
• Pervasive Developmental • Pervasive Developmental
Disorders (PDD), unspesified Disorders-Not Otherwise
Specified (PDD NOS)

Klasifikasi tersebut di atas merupakan klasifikasi sebelum


munculnya DSM 5 di tahun 2013. Berikut ini adalah klasifikasi yang
berlaku saat ini setelah DSM 5 dipublikasikan.

Table 2. Klasifikasi autisme menurut DSM 5


Tingkat berat Komunikasi sosial Minat yang terbatas dan
ringannya autisme perilaku berulang
Level 3 Defisit yang parah Keasyikan, ritual yang
‘Membutuhkan dalam keterampilan kaku dan/atau perilaku
dukungan yang komunikasi sosial berulang secara nyata
sangat banyak’ secara verbal dan mengganggu
nonverbal yang keberfungsian di semua
menyebabkan bidang. Nampak terlihat
gangguan fungsi yang sangat menderita ketika
parah; inisiasi interaksi ritual atau rutinitasnya
sosial yang sangat terganggu; sangat sulit
terbatas dan respons untuk mengalihkan
minimal terhadap perhatian dari hal yang
tawaran sosial dari sangat menarik
orang lain. perhatiannya atau
mengembalikannya
dengan cepat.
Level 2 Defisit yang moderat Perilaku ritual dan
‘Membutuhkan dalam keterampilan berulang dan / atau
banyak dukungan’ komunikasi sosial keasyikan atau minat
verbal dan nonverbal; yang melekat muncul
gangguan sosial yang cukup sering dan jelas
jelas bahkan dengan bagi pengamat biasa dan
dukungan di tempat; mengganggu
inisiasi terbatas dalam keberfungsian dalam
berinteraksi sosial dan berbagai konteks.
kurang atau abnormal Kesedihan atau frustrasi
respons terhadap terlihat ketika perilaku
tawaran sosial dari ritual dan berulang
orang lain. terganggu; sulit untuk
dialihkan dari minat yang
melekat.
Level 1 Tanpa dukungan di Perilaku ritual dan
‘Membutuhkan tempat, defisit dalam berulang menyebabkan
dukungan’ komunikasi sosial yang gangguan yang
menyebabkan signifikan terhadap
disabilitas komunikasi keberfungsian dalam satu
yang nyata. Memiliki atau lebih konteks.
kesulitan dalam Menolak upaya orang
memulai interaksi lain untuk mengganggu
sosial dan perilaku ritual dan
menunjukkan contoh- berulang atau untuk
contoh yang jelas dialihkan dari minat yang
tentang tanggapan melekat.
yang tidak lazim atau
tidak benar terhadap
tawaran sosial orang
lain. Mungkin
menampakkan minat
yang rendah pada
interaksi sosial.

3. Identifikasi dan Asesmen Autisme pada Individu


Identifikasi
Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara
bergantian. Namun pada dasarnya identifikasi berbeda dengan
asesmen. Identifikasi merupakan tahapan awal yang masih bersifat
global/kasar dari asesmen yang lebih rinci dan detail. Tujuan dari
identifikasi dan asesmen juga berbeda berkaitan dengan kompetensi
dan profesionalisme.
Identifikasi merupakan proses penjaringan seawal mungkin yang
dilakukan oleh orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya
terhadap individu yang mengalami kelainan/penyimpangan (fisik,
intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian
layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah
ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu
mendapatkan layanan pendidikan khusus, dalam hal ini adalah anak-
anak dengan autisme.
Silahkan baca lampiran yang ada di halaman setelah daftar pustaka
pada Kegiatan Belajar 1 ini yang merupakan kriteria untuk Gangguan
Spektrum Autisme menurut DSM-IV, yang bisa dijadikan sebagai dasar
melakukan identifikasi apakah individu yang dicurigai, memiliki
autisme atau tidak. Sedangkan menurut DSM 5, silahkan baca lampiran
berikutnya untuk memahami kriteria autisme.

Asesmen
Asesmen adalah sebuah proses penilaian dan evaluasi yang
komprehensif yang dilakukan terhadap siswa untuk mengetahui
kemampuan yang dimiliki oleh seorang peserta didik baik yang bersifat
kekuatan maupun kelemahan. Hasil data yang diperoleh dari proses
asesmen akan disimpulkan yang bisa dijadikan rujukan bagi berbagai
profesional dalam rangka menegakkan diagnosis yang berhubungan
dengan kebutuhan khusus seorang siswa atau peserta didik. Asesmen
merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari proses belajar mengajar.
Bagi seorang guru, asesmen merupakan landasan pertama dalam
menentukan setiap pembelajaran yang bermakna yang akan diberikan
terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Instrumen asesmen yang baik
akan memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh guru dalam
penentuan proses pembelajaran.
Asesmen dalam pendidikan luar biasa adalah suatu proses yang
komprehensip untuk menentukan kekuatan dan kebutuhan khusus yang
dimiliki oleh seorang anak dan untuk menentukan apakah seorang anak
berhak mendapatkan layanan pendidikan khusus (Pierangelo &
Giuliani, 2008). Asesmen ini adalah sebuah proses dalam
mengumpulkan data tentang siswa untuk tujuan pembuatan keputusan.
Swanson dan Watson (1989 dalam Pierangelo & Giuliani, 2008))
menyatakan bahwa asesmen bisa dipandang sebagai proses pemecahan
masalah yang melibatkan berbagai macam cara dalam mengumpulkan
data tentang siswa.
Mengapa asesmen itu penting? Menurut TEACCH Center (2006)
asesmen sangat penting karena hasil data yang telah disimpulkan dari
proses asesmen bisa meningkatkan kemudahan dalam pengembangan
rencana perlakuan yang efektif dan sesuai dengan individu. Kemudian
hasil dari asesmen juga memberikan informasi kepada kita tentang
tingkat kemampuan anak pada saat ini dan juga menentukan aspek
perilaku yang mungkin bisa diubah pada anak. Demikian juga dengan
sumber pembelajaran yang dapat menunjang perubahan kearah yang
lebih baik bagi anak bisa ditentukan setelah adanya proses asesmen.
Dan yang terakhir mengapa asesmen itu penting adalah bahwa kita
sebagai guru bisa mengurangi jumlah kesalahan yang mungkin terjadi
dalam sebuah proses pembelajaran.
Beberapa hal yang diases pada anak adalah intelegensi,
kemampuan berbahasa atau komunikasi, kemampuan persepsi,
perhatian, pencapaian akademik, tingkah laku, emosi dan
perkembangan sosial. Pada area intelegensi, asesmen lebih banyak
dilakukan oleh psikolog dengan tes psikologinya. Sementara guru
mengases area intelegensi melalui kemampuan berkomunikasi atau
berbahasa, pencapaian akademik, tingkah laku, emosi dan
perkembangan sosial yang ditunjukkan oleh siswa dalam kesehariannya
baik di dalam maupun di luar kelas. Namun perlu diingat bahwa proses
asesmen bukan hanya sekedar tes tetapi ditunjang dengan kegiatan
observasi, wawancara, portofolio dan lain sebagainya. Tes hanyalah
salah satu cara untuk melakukan asesmen.
Ada berbagai macam tujuan melakukan asesmen. Dalam hal ini
asesmen digunakan untuk pengembangan Individual Education Plan
atau program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) dan
penempatan murid pada kelas yang sesuai dengan kemampuan atau
kekuatan dan kebutuhan khususnya. Sebagai tambahan asesmen bisa
juga digunakan untuk merencanakan proses pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran yang tepat yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asesmen
adalah suatu proses yang sistematis dalam upaya mencari hambatan
perkembangan dan belajar, serta kelebihan/potensi individu guna
dijadikan bahan dalam penyusunan program pembelajaran dan
kompensatoris sesuai dengan kebutuhannya

4. Dampak Autisme terhadap Perkembangan Belajar dan


Kebutuhan Khususnya dalam Pendidikan
Pada dasarnya, autisme memberikan dampak pada perkembangan
individu dalam hal komunikasi sosial dan tingkah laku. Menurut Jordan
(2013) gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku
secara murni tidak bisa dijadikan dasar keputusan untuk menolak
individu autis dalam proses pembelajaran. Ada beberapa kondisi
komorbiditas yang umum yang terjadi bersamaan dengan autisme pada
individu seperti kesulitan belajar spesifik khususnya disleksia dan
dispraksia (untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan baca bagian 2 pada
KB 1 ini). Gangguan-gangguan yang seperti ini perlu diperhatikan oleh
guru pada saat pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan
akademik pada peserta didik autis. Tentu saja, peningkatan
keterampilan akademik pada peserta didik autis sangat bergantung
kepada level intelektual, bakat dan minat tertentu dan pendekatan
pengajaran yang ramah autis.
Pendekatan pengajaran yang ramah autis adalah pendekatan
pengajaran yang memperhatikan karakteristik, kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki oleh peserta didik autis. Untuk mengetahui ketiga hal
tersebut guru perlu melakukan asesmen terhadap peserta didiknya
sehingga guru akan mampu menggunakan pendekatan pengajaran yang
tepat.
Ada beberapa kebutuhan khusus secara umum yang dimiliki oleh
peserta didik autis yang harus diperhatikan oleh guru antara lain:
a. Kebutuhan khusus dalam hal komunikasi
Keterampilan komunikasi peserta didik sangat bervariasi dari
mulai yang sama sekali tidak berbicara sampai yang mahir berbicara
tetapi tidak menggunakan kemampuan berbicara secara benar. Bagi
mereka yang tidak berbicara, guru bisa membantu mereka dengan
menggunakan berbagai kartu bergambar ataupun kartu kata untuk
berkomunikasi. Kartu bergambar dan kartu kata ini sebenarnya banyak
tersedia di pasaran tetapi perlu diingat bahwa mungkin kartu-kartu
tersebut tidak dibuat secara khusus untuk peserta didik autis tertentu.
Sehingga untuk mengatasi kelemahan kartu yang ada, guru sebaiknya
berusaha mengkreasi kartu yang sesuai dengan karakteristik peserta
didiknya.
Sedangkan bagi peserta didik autis yang masih mempunyai modal
berbicara walaupun hanya satu atau dua kata yang muncul, guru juga
perlu mengembangkan modal yang sudah ada menjadi percakapan yang
lebih bermakna. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan metode
seperti son rise dimana ketika anak mengucapkan sebuah kata, guru
bisa langsung menanggapi perkataan walaupun mungkin tidak
mendapatkan tanggapan balik dari peserta didik.
Bagi peserta didik yang mampu berbahasa secara verbal tetapi
kurang mampu menggunakannya secara benar, maka guru bisa
menggunakan metode social story untuk mengajarkan komunikasi yang
benar. Metode-metode ini secara lebih jelas akan dibahas dalam KB 2.
b. Kebutuhan khusus dalam hal interaksi sosial
Bagi peserta didik autis, interaksi sosial atau segala hal yang
berhubungan dengan kegiatan sosial sangatlah membingungkan.
Banyak dari mereka yang tidak bisa memulai kegiatan berhubungan
dengan orang lain. Banyak juga yang mampu memulai berinteraksi,
tetapi ketika sudah berinteraksi kadang ada juga yang tidak bisa
menyelesaikan interaksi. Sehubungan dengan ketidakmampuan dalam
berinteraksi sosial, guru harus paham dengan keadaan murid, pada
tahap yang mana mereka membutuhkan bantuan. Ketika guru sudah
memiliki data pendukung tentang kemampuan interaksi sosial, guru
bisa memilih metode yang biasa digunakan dalam meningkatkan
kemampuan interaksi sosial seperti theory of mind, joint attention,
social stories, PMII ataupun LEAP.
c. Kebutuhan khusus dalam hal perilaku
Dalam hal perilaku, jelas sekali bahwa banyak peserta didik autis
yang membutuhkan bantuan sehingga perilaku yang mengganggu bisa
terkurangi. Sebagai contoh adalah ketika sedang mengikuti proses
pembelajaran, ada salah satu peserta didik yang tiba-tiba tantrum. Guru
harus paham apa yang menyebabkan peserta didiknya tantrum dan apa
saja yang bisa membuat tantrum itu segera berhenti. Salah satu metode
yang bisa digunakan dalam memenuhi kebutuhan khusus yang
berhubungan dengan perilaku adalah time out.

Untuk memahami lebih jelas tentang autisme dan autis, silahkan


lihat VIDEO tentang karakteristik autisme yang telah disediakan.
Setelah kita mempelajari tentang autisme baik melalui bacaan
maupun video yang disediakan, mari kita lanjutkan proses belajar kita
untuk memahami tentang kesulitan belajar. Silahkan para mahasiswa
sekalian membaca bagian kedua berikut ini.

B. KONSEP DASAR KESULITAN BELAJAR SPESIFIK


1. Ruang Lingkup Kesulitan Belajar
Anak dengan kesulitan belajar dapat terlihat dari kemampuan
prestasi akademik yang rendah, nilai yang kurang baik pada beberapa
mata pelajaran, dan dalam penguasaan keterampilan belajar serta
kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas spesifik dalam belajar.
Namun kondisi ini tidak berhubungan langsung dengan tingkat
intelegensi dari anak yang mengalami kesulitan.
ACALD (Association for Children and Adulth with Learning
Disabilities) menyatakan bahwa kesulitan belajar (kesulitan belajar
khusus) adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis
yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau
kemampuan verbal dan/atau nonverbal. Kesulitan belajar (kesulitan
belajar khusus) tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang
nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata hingga
superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup dan kesempatan
untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi
dalam perwujudan dan derajatnya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh
terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, interaksi sosial, dan/atau
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
NJCLD (National Joint Communite on Learning Disabilities)
kesulitan belajar adalah kelompok gangguan heterogen yang diduga
berasal dari faktor neurologis yang diwujudkan secara berbeda dengan
level keparahan yang berbeda-beda pada setiap individu. Kesulitan
belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan
dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan
kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis,
menalar atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Selain itu
NJCLD pun menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah istilah umum
untuk berbagai jenis kesulitan individu dalam membaca, menulis, dan
berhitung. Kondisi ini bukan karena kecacatan fisik atau mental, bukan
juga karena pengaruh lingkungan, melainkan karena kesulitan individu
itu sendiri dalam mempersepsi dan memproses objek yang diinderainya.
Sedangkan menurut Samuel A. Kirk bahwa “Children listed under
the caption of specific learning disablities are children who cannot be
grouped under the traditional categories of exceptional children, but
who show significant retardation in learning to talk, or who do not
develop normal visual or auditory perception, or who have great
difficulty in learning to read, to spell, to write, or to make arithmetic
calculations”. Kesulitan belajar didefinisikan sebagai gangguan
perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses
belajar. Peserta didik yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan
dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur belajar
yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan
perseptual-motorik tertentu atau kemampuan bahasa.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan
belajar merupakan kesulitan dalam satu atau lebih bidang akademik,
seperti membaca, menulis, dan berhitung yang disebabkan oleh disfungsi
neurologis. Selain kesulitan di bidang akademik kesulitan pun nampak
dalam aspek perkembangan seperti kesulitan dalam bahasa dan
komunikasi, penyesuaian sosial, dan perseptual. Anak dengan kesulitan
belajar dapat dikatakan juga memiliki prestasi belajar jauh dibawah
potensi yang dimilikinya. Kondisi kesulitan belajar juga bukan karena
kecacatan fisik atau mental, dan bukan juga karena pengaruh lingkungan,
melainkan karena kesulitan individu itu sendiri dalam mempersepsi dan
memproses objek yang diinderainya

2. Penyebab, Klasifikasi dan Karakteristik Kesulitan Belajar


Penyebab
Faktor penyebab anak kesulitan belajar telah diteliti dalam kurun
waktu 50 tahun terakhir, namun belum ada penyebab tunggal yang
menjadikan seorang anak mengalami kesulitan belajar. Berikut ini adalah
beberapa hipotesis yang menyebabkan anak kesulitan belajar menurut
Robert Reid: 1) adanya kelainan sistem saraf pusat; 2) kerusakan sistem
saraf pusat; 3) faktor genetik atau keturunan; 4) paparan racun yang
terdapat di lingkungan seperti timbal atau logam berat lainnya; dan 5)
pengaruh obat-obatan.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Mulyono Abdurrahman
bahwa penyebab kesulitan belajar adalah faktor internal yang
memungkinkan adanya disfungsi neurologis yang disebabkan oleh faktor
genetik, luka pada otak karena trauma fisik atau kekurangan oksigen,
biokimia yang dapat merusak otak, gizi yang tidak memadai, dan
pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak.
Penyebab tersebut pun dinyatakan oleh Hidayat bahwa penyebab
kesulitan belajar bersifat intrinsik (dari dalam diri anak), dan bukan
karena faktor eksternal (dari luar diri anak) seperti: lingkungan atau
sistem pendidikan, melainkan karena faktor disfungsi sistem saraf pusat.
Dari beberapa penyebab yang telah dikemukakan kesulitan belajar
bukan dikarenakan oleh faktor dari luar diri anak, melainkan dikarenakan
faktor dari dalam diri anak yang berasal dari keturunan, disfungsi
neurologis, dan lainnya. Sedangkan lingkungan dan sistem pendidikan
bukanlah penyebab dari anak kesulitan belajar, namun lingkungan dan
sistem pendidikan juga dapat mempengaruhi kemampuan anak kesulitan
belajar dalam belajar.

Klasifikasi
Kesulitan belajar mempengaruhi satu atau lebih proses penerimaan dan
pengolahan informasi yang berkaitan dengan bidang akademik maupun
kesulitan yang berhubungan dengan perkembangan. Kesulitan belajar
dalam bidang akademik dan perkembangan memerlukan program
pembelajaran yang berbeda-beda.
Kesulitan belajar menurut Mark Selikowitz dibagi menjadi dua
kelompok kesulitan belajar, yaitu kelompok pertama kesulitan dalam
kemampuan dasar akademik diantaranya membaca (dyslexia), menulis
(dysgraphia), mengeja (spelling), berhitung (diskalkulia) dan bahasa
(aphasia), sedangkan kelompok kedua antara lain kesulitan pada
kemampuan organisasi, mengontrol perilaku, kemampuan sosial, dan
kemampuan koordinasi.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Lovitt dalam Mulyono
Abdurrahman bahwa kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok yaitu kesulitan belajar yang berhubungan dengan
perkembangan yang mencakup hambatan motorik dan persepsi, kesulitan
belajar bahasa dan komunikasi dan kesulitan dalam penyesuaian sosial.
Kelompok kedua yang berhubungan dalam bidang akademik yang
termanifestasikan dalam kegagalan dalam prestasi akademik, yaitu
kegagalan yang mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca,
menulis dan berhitung.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan
belajar dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok, yaitu kesulitan belajar
berdasarkan aspek perkembangan dan kesulitan belajar dalam bidang
akademik. Kesulitan belajar yang berdasarkan aspek perkembangan
meliputi: kesulitan dalam memusatkan perhatian dan kontrol perilaku,
kesulitan perseptual-motorik, kesulitan dalam organisasi, dan kesulitan
dalam bahasa dan komunikasi. Sedangkan kesulitan belajar akademik
meliputi: kesulitan membaca (dyslexia), kesulitan menulis (dysgraphia),
dan kesulitan matematika (diskalkulia).

Karakteristik
Bagi guru pengetahuan mengenai karakteristik anak kesulitan belajar
sangat penting agar dapat memberikan layanan pendidikan melalui
penerapan strategi yang tepat dalam proses pembelajaran.
Menurut Clement dalam Hallahan dan Kauffman ada beberapa ciri
yang sering dijumpai pada anak kesulitan belajar, yaitu: 1) hiperaktif, 2)
gangguan persepsi motorik, 3) emosi yang labil, 4) kurangnya koordinasi,
5) gangguan perhatian, 6) impulsif, 7) gangguan memori dan berpikir, 8)
kesulitan pada akademik (membca, menulis, berhitung), 9) kesulitan
dalam menyimak. Namun semua ciri ini tidak selalu ditemukan pada anak
yang mengalami kesulitan belajar, adakalanya hanya beberapa ciri yang
tampak.
Bersumber dari berbagai literatur diantaranya Benton & O’brian,
Westwood, Reid & Ortiz, Lerner, dan Lovitt dapat disimpulkan
karakteristik anak kesulitan belajar dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kesulitan dalam pemusatan perhatian dan hiperaktifitas.
Mempertahankan perhatian merupakan aspek yang penting untuk
keberhasilan dalam belajar, dan merupakan aktivitas yang tidak
sederhana. Ada tiga aspek penting dari perhatian, yaitu: kemampuan
menyelesaikan tugas, kemampuan mempertahankan fokus, dan
kemampuan untuk mengidentifikasi informasi penting dan bermakna.
Anak kesulitan belajar memiliki kesulitan dalam ketiga aspek
tersebut. Seringkali anak kesulitan belajar mengabaikan informasi
yang relevan, mengabaikan tugas yang harus dikerjakan dan mudah
teralihkan.
b. Kesulitan dalam mengingat (memory) dan berpikir
c. Kesulitan dalam Persepsi dan koordinasi
d. Kesulitan dalam penyesuaian diri

3. Identifikasi dan Asesmen Kesulitan Belajar pada Individu


Siswa yang mengalami kesulitan belajar dalam hal pembelajaran dan
pelayanan pendidikan tentulah tidak sama dengan siswa pada umumnya.
Dalam hal ini baik guru maupun pihak sekolah harus memberikan
pelayanan pendidikan yang khusus baik dalam hal metode pembelajaran,
penggunaan media, serta peranan guru dalam kegiatan belajar mengajar
dan sebagainya yang dapat mendukung peningkatan diri siswa
berkesulitan belajar.
Siswa yang berada dalam suatu kelompok belum tentu memiliki
kemampuan dan karakteristik yang homogen, meskipun dalam usia
siswa tersebut relatif sama. Oleh sebab itu, dalam menyusun perencanaan
pembelajaran, seorang guru perlu melakukan analisis kemampuan awal
dan karakteristik siswanya. Dalam melakukan analisis kemampuan dan
karakteristik siswa, seringkali guru membuat kesalahan dengan
menganggap bahwa semua siswanya sama. Anggapan ini dapat
mengakibatkan kegagalan dalam proses pembelajaran.
Untuk mengetahui kemampuan awal dan karakteristik siswa,
seorang guru dapat menggunakan berbagai metode, diantaranya : 1).
Melakukan tes kemampuan awal (pre-test), 2). Menggunakan data-data
pribadi siswa yang telah tersedia, 3). Menggunakan wawancara, 4).
Menggunakan angket atau kuesioner.
Setelah guru mengetahui kemampuan awal dan karakteristik siswa-
siswanya, kemudian guru dapat melakukan asesmen. Asesmen sendiri
adalah proses pengumpulan informasi tentang seorang anak yang akan
digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang
berhubungan dengan anak tersebut.
Menurut Salvia, Ysseldyke dan Bolt (2010) asesmen terhadap anak
berkesulitan belajar ada lima tujuan, yaitu : 1) Penyaringan (screening)
yaitu digunakan untuk mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan
belajar dan membutuhkan pelayanan, 2) Penempatan yaitu digunakan
untuk menentukan murid-murid pada program atau pelayanan yang
sesuai, 3) Perencanaan program yaitu digunakan untuk menemukan
program pengajaran baik secara individu maupun kelompok, 4) Evaluasi
program yaitu ditujukan untuk mengetahui program pendidikan yang
dilakukan apakah efektif atau tidak, dan 5) Tinjauan kemampuan siswa
yaitu untuk memonitor kemajuan murid.
Dalam memberikan pelayanan pendidikan guru harus membedakan
pelayanan bagi siswa berkesulitan belajar dengan siswa yang normal.
Dalam hal ini misalnya metode pembelajaran. Pada siswa berkesulitan
belajar, guru harus memberikan metode pembelajaran yang tepat bagi
mereka. Dalam proses pembelajaran, seorang guru dalam memilih
metode pembelajaran sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut : 1)
Tujuan Pendidikan, 2) Kemampuan guru, 3) Kebutuhan siswa, 4) Isi atau
materi pembelajaran.
4. Dampak Kesulitan Belajar terhadap Perkembangan Individu
dan Kebutuhan Khususnya dalam Pendidikan
Anak berkesulitan belajar secara neuropsikologik menunjukkan
gangguan pada kemampuan daya ingat, penglihatan maupun
pendengaran, gangguan pembentukan konsep, kesulitan membedakan
bentuk objek dari latar belakangnya, gangguan orientasi spasial,
kebingungan menentukan arah, gangguan perhatian dan persepsi.
Anak yang mengalami kesulitan belajar jika dilihat dari segi sosial,
emosi dan akademik memiliki hasil belajar yang rendah, yaitu berada
dibawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau berada
dibawah potensi yang dimilikinya sehingga hasil belajarnya tidak
seimbang dengan usaha yang dilakukannya.
Kesulitan belajar akademik biasanya terjadi setelah individu yang
mengalami kesulitan belajar memasuki sekolah. Hal ini disebabkan
karena kesulitan belajar tersebut tidak ditangani secara dini sehingga
menghambat perkembangan akademik yang bermanifestasi pada
kesukaran dalam mempelajari satu atau dua mata pelajaran, seperti sukar
dalam mempelajari matematika atau sukar dalam mempelajari bahasa,
baik lisan maupun tulisan.
Kesulitan belajar pada bahasa akan mempengaruhi perkembangan
individu yang berkesulitan belajar karena semua mata pelajaran
disampaikan dan disajikan melalui bahasa, baik bahasa lisan maupun
bahasa tulisan. Akibatnya prestasi individu tersebut akan mempengaruhi
mata pelajaran lain, sehingga hasil belajarnya tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.

4.Forum Diskusi

1. Andoni seorang anak laki-laki yang berusia 9 tahun. Dia baru saja pindah
ke sekolahnya yang baru. Di sekolah yang lama dia hampir tidak
mempunyai teman karena dia cenderung menyendiri. Jika ada teman
sekelasnya mendekati, dia berusaha menutupi telinganya. Dia juga
seringkali menutupi telinganya jika guru menerangkan pelajaran. Ketika
guru memintanya bekerjasama dalam kelompok dengan temannya yang
lain, dia selalu duduk membelakangi temannya. Terkadang dia juga
secara tiba-tiba ingin memegang tangan temannya. Ketika pelajaran di
kelas, dia juga sering tiba-tiba tertawa sehingga guru kadang harus
berteriak untuk menyuruhnya diam.
2. Dahlia, seorang murid sekolah dasar di Desa Makmur Raya, sudah tiga
kali tidak naik kelas. Orang tuanya kebingungan menanyakan keadaan
Dahlia kepada gurunya. Karena kesibukannya, orang tuanya juga tidak
pernah mendampingi saat Dahlia belajar di rumah. Ketika di sekolah,
Dahlia sering sekali tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru sehingga guru hanya mempunyai sedikit sekali portofolio hasil
belajar Dahlia di sekolah.
Berdasarkan pada ilustrasi 1 di atas, silahkan diskusikan dengan
teman anda.
1. Ada apa dengan Andoni?
2. Bagaimana karakteristik yang ditunjukkan oleh Andoni?
3. Hal apa saja yang seharusnya dilakukan oleh guru terhadap
Andoni?
4. Bagaimana cara guru mengetahui kesulitan dan kepandaian yang
dimiliki oleh Andoni?

Berdasarkan pada ilustrasi 2 di atas, diskusikan dengan teman anda


mengenai hal-hal berikut:

1. Alasan Dahlia tidak naik kelas


2. Alasan Dahlia tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru
3. Bagaimana guru seharusnya melakukan evaluasi terhadap
Dahlia?
C. Penutup
1. Rangkuman
Dari berbagai uraian materi di atas, maka dapat dirangkum beberapa hal
tentang konsep dasar autisme sebagai berikut:
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang gejalanya
sudah muncul pada usia sangat awal individu dan mengakibatkan keterbatasan
kemampuan pada komunikasi sosial dan tingkah laku sehingga ketika mereka
berperilaku dan berkomunikasi terlihat seperti orang aneh.
Autisme pada individu lebih banyak disebabkan oleh faktor genetik karena
terjadinya mutasi gen. Autisme terjadi 4 kali lebih banyak pada laki-laki
dibanding pada perempuan. Autisme diklasifikasikan ke dalam 3 level yaitu 1)
level 3 merupakan level paling berat dimana individu memiliki sangat banyak
sekali karakteristik autis dan membutuhkan bantuan yang sangat banyak sekali.
2) level 2 adalah level moderat dimana individu memiliki banyak karakteristik
autistik dan membutuhkan bantuan yang banyak. 3) level 1 merupakan kondisi
autis ringan dengan karakteristik dan kebutuhan bantuan yang sedikit.
Permasalahan yang ditimbulkan akibat dari karakteristik yang dimiliki,
peserta didik autis membutuhkan bantuan dalam hal komunikasi sosial dan
perilaku. Kebutuhan kompensatoris bagi peserta didik autis bisa diintegrasikan
dalam pembelajaran keseharian ataupun berdiri sendiri seperti model
pendidikan pada Lembaga-lembaga terapi.
Untuk kebutuhan merancang dan mengembangkan pembelajaran, maka
asesmen harus dilakukan oleh guru. Asesmen adalah suatu proses yang
sistematis dalam upaya mencari hambatan perkembangan dan belajar, serta
kelebihan/potensi individu guna dijadikan bahan dalam penyusunan program
pembelajaran dan kompensatoris sesuai dengan kebutuhannya.
Kesulitan belajar merupakan salah satu bentuk disabilitas yang sangat
berbeda dari autisme. Kesulitan belajar adalah permasalahan dalam bagian
pemrosesan, pemahaman atau pengekspresian pemikiran dan informasi, yang
dicerminkan dalam kesulitan membaca, menghitung, mengeja, menulis,
memahami atau mengekspresikan bahasa, masalah perkembangan koordinasi,
kontrol diri, dan atau keterampilan sosial pada individu.
Kesulitan belajar atau bisa juga disebut dengan kesulitan belajar spesifik
disebabkan oleh faktor internal pada individu yang meliputi keturunan dan
disfungsi neurologis. Ada 3 jenis kesulitan belajar spesifik yaitu kesulitan
belajar membaca, kesulitan belajar menulis dan kesulitan belajar matematika.
Ketiga kesulitan belajar tersebut mengakibatkan individu mengalami kesulitan
dalam bidang akademik yang berhubungan dengan membaca, menulis dan
berhitung.

2. Tes Formatif
Berilah tanda Silang (X) pada salah satu huruf A, B, C, D atau E pada
jawaban yang kamu anggap benar.
1. Apakah yang dimaksud dengan autisme?
a. Gangguan pada susunan syaraf pusat yang mengakibatkan anak
membutuhkan bantuan terus-menerus selama hidupnya
b. Anak yang selalu berlarian dan tidak bisa diam
c. Anak nakal yang sukanya marah-marah dan tidak bisa berhenti sebelum
permintaannya terpenuhi
d. Gangguan perkembangan yang menyebabkan gangguan pada bidang
perilaku, komunikasi sosial yang tanda-tandanya sudah terlihat sejak
masa usia dini
e. Gangguan perkembangan yang tidak bisa disembuhkan
2. Kapan terjadinya autisme?
a. Saat gurunya marah-marah
b. Sebelum anak berusia 3 tahun
c. Sejak masa awal pertumbuhan dan perkembangan
d. Saat anak mulai masuk sekolah
e. Ketika anak permintaannya tidak dipenuhi
3. Mengapa peserta didik autis membutuhkan pendekatan pengajaran yang
ramah?
a. Karena pendekatan pengajaran yang ramah autis tentu sudah
disesuailkan dengan karakteristik, kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki oleh peserta didik
b. Karena pendekatan pengajaran yang ramah akan membuat peserta didik
mudah belajar
c. Karena pendekatan pengajaran yang ramah diperlukan untuk
menciptakan suasana belajar yang nyaman
d. Pendekatan pengajaran yang ramah merupakan kedekatan antara guru
dan peserta didik
e. Karena pendekatan pengajaran yang ramah akan membuat guru dan
peserta didik bahagia
4. Mengapa identifikasi dan asesmen perlu dipelajari oleh guru?
a. Sebagai tugas dan kewajiban dalam modul
b. Karena identifikasi dan asesmen sering digunakan secara bersamaan
c. Karena merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh guru sebagai
dasar untuk membuat program pembelajaran
d. Karena identifikasi dan asesmen adalah dua hal yang seiring sejalan
e. Supaya mahasiswa menjadi pintar
5. Berikut ini adalah karakteristik peserta didik autis kecuali
a. Inisiasi sosial yang tidak biasa, gagal merespon ketika nama dipanggil,
percakapan satu sisi, gagal berbagi kesenangan dengan orang lain
b. Sering menangis sendiri, selalu mencari ibunya, tidak menunjukkan
minat dan bakat, jarang memakai baju, sering menggigit ujung bajunya
c. Imitasi sosial yang buruk, gagal terlibat dalam permainan sosial
sederhana, percakapan satu sisi, tidak menunjuk, nada bicara aneh
d. Tidak mampu berbagi emosi melalui kata-kata, tidak mampu membaca
maksud pikiran orang lain, ekspresi emosi yang tidak pantas, tidak
mengetahui kesepakatan sosial yang berlaku, tidak mengenali bahwa
dia tidak diterima dalam permainan
e. Tidak memiliki teman yang benar-benar teman, kurang bermain secara
kooperatif, tidak bermain dalam kelompok, tidak menanggapi
pendekatan sosial orang lain, kurang berminat pada teman sebaya.
6. Apakah yang dimaksud dengan kesulitan belajar spesifik?
a. Kesulitan belajar merupakan kesulitan dalam satu atau lebih bidang
akademik, seperti membaca, menulis, dan berhitung yang disebabkan
oleh disfungsi neurologis.
b. Kesulitan belajar merupakan gangguan perseptual, konseptual, memori,
maupun ekspresif di dalam proses belajar.
c. Kesulitan belajar adalah kelompok gangguan heterogen yang diduga
berasal dari faktor neurologis yang diwujudkan secara berbeda dengan
level keparahan yang berbeda-beda pada setiap individu.
d. Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata
pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata hingga superior,
yang memiliki sistem sensoris yang cukup dan kesempatan untuk
belajar yang cukup pula.
e. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber
neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi,
dan/atau kemampuan verbal dan/atau nonverbal.
7. Kapan dan dimana kita bisa menemukan anak berkesulitan belajar?
a. Di Lembaga pendidikan non formal seperti tempat les
b. Di sekolah umum saat anak mulai berhadapan langsung dengan
pelajaran membaca, menulis dan berhitung
c. Di sekolah luar biasa, sejak anak mulai bersekolah
d. Di rumah mereka masing-masing, ketika orang tua direpotkan dengan
PR anak-anaknya
e. Sejak anak belum masuk sekolah dan ketika masuk sekolah bertemu
guru yang tegas
8. Mengapa anak berkesulitan belajar cenderung memiliki nilai akademik
yang rendah?
a. Karena mereka malas belajar sehingga mengerjakan tugas tidak dengan
benar
b. Karena belajar bagi mereka adalah sebuah penyiksaan terhadap keadaan
neurologis mereka
c. Karena soal dalam mata pelajaran yang mereka kerjakan terlalu sulit
bagi mereka sehingga mereka tidak bisa menjawab dengan benar
d. Karena guru kurang paham terhadap keadaan yang sedang mereka alami
e. Karena keadaan internal individu menyebabkan kesulitan untuk belajar
ditambah dengan kurangnya modifikasi pembelajaran yang disesuaikan
dengan kebutuhan mereka
9. Manakah yang paling tepat yang menggambarkan karakteristik anak
berkesulitan belajar?
a. Sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya di kelas sehingga
terlihat seperti penyendiri dan terisolasi
b. Selalu mendapatkan nilai rendah karena malas belajar dan malas
bertanya baik kepada guru maupun teman
c. Berjalannya seperti orang mabuk sehingga sering menabrak-nabrak dan
terjatuh
d. Kesulitan menyesuaikan diri, kesulitan memusatkan perhatian, dan
gangguan koordinasi
e. Sering kehilangan barang yang dimilikinya
10. Bagaimana dampak kesulitan belajar yang dimiliki oleh anak terhadap
proses pendidikannya?
a. Anak akan mengalami kesulitan yang permanen terutama dalam
kaitannya dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung
b. Perlu adanya identifikasi dan asesmen untuk membelajarkan peserta
didik berkesulitan belajar
c. Peserta didik berkesulitan belajar perlu dites terus-menerus sampai
paham pelajaran membaca, menulis dan berhitung
d. Proses pendidikannya harus menyenangkan sehingga peserta didik
berkesulitan belajar merasa betah di sekolah
e. Anak berkesulitan belajar membutuhkan perhatian khusus terutama
dalam modifikasi pelajaran yang berhubungan dengan membaca,
menulis dan berhitung
DAFTAR PUSTAKA

Carpenter, L. (2013) DSM-5 Autism Spectrum Disorders: Guidelines & Criteria


Exemplars.
Feinstein, A. (2010) A history of autism: conversations with the pioneers. Sussex:
Wiley Blackwell
Fitzpatrick, M.(2004) MMR and Autism: What parents need to know. London:
Routledge
Ginanjar, AS. (2007) Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik (Disertasi).
Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Handojo, Y. (2003) Autisma: petunjuk praktis dan pedoman materi untuk mengajar
anak normal, autis dan perilaku lain. Jakarta: P.T. Bhuana Ilmu Populer,
Kelompok Gramedia
Jones, G (2002) Educational Provision for Children with Autism and Asperger
Syndrome: Meeting Their Needs. London: David Fulton
Jordan, R (2013) Academic skills. Dalam Volkmar, F. R. Encyclopedia of autism
spectrum disorder. Springer: New York
kbbi.web.id diakses pada tanggal 3 September 2019
Mesibov, G. B., dan Howley, M. (2003) Accessing the Curriculum for Pupils
with Autistic Spectrum Disorders: Using the TEACCH Programme to Help
Inclusion. London: David Fulton
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta : PT.
Rineka Cipta,1999)
Pierangelo, R., Giuliani, G., (2008) Understanding Assessment in the Special
Education Proces: A Step-by-step Guide for Educators. Thousand Oaks :
Corwin Press
Salvia, J., Ysseldyke, J. E., & Bolt, S. (2010) Assessment in special and inclusive
education. 11th edn. Singapore: Wadsworth
TEACCH (2006) TEACCH Classroom Training (handbook). Charlotte: Charlotte
TEACCH Center
Volkmar F. dan Klin, A. Issues in the Classification of Autism and Related
Conditions dalam Volkmar, F., Paul R., Klin A., dan Cohen, D. (Eds) (2005)
Handbook of Autism and Pervasive Developmental Disorders Third Edition
Volume 1: Diagnosis, Development, Neurobiology, and Behavior. Hoboken:
John Wiley & Sons
Lampiran 1. Kriteria autisme menurut DSM-IV

A. Total dari 6 (atau lebih) butir dari (1),(2), dan (3), dengan paling tidak 2 dari
(1), dan salah satu dari (2) dan (3):
(1) Gangguan kualitatif pada interaksi sosial, yang bermanifestasi pada paling
tidak 2 dari hal-hal dibawah ini:
(a) Gangguan yang teridentifikasi pada penggunaan perilaku multiple
nonverbal seperti tatap muka, ekspresi wajah, postur tubuh, gesture (bahasa
tubuh) untuk mengatur interaksi sosial
(b) Gagal mengembangkan hubungan yang baik dengan teman sebayanya
sesuai level perkembangan
(c) Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, ketertarikan, atau
pencapaian dengan orang lain (seperti :kurang memperlihatkan, membawa,
atau menunjuk suatu ketertarikan pada benda)
(d) Kurangnya timbale balik sosial atau emosional

(2) Gangguan kualitatif pada komunikasi yang bermanifestasi pada paling tidak
salah satu hal dibawah ini
(a) Perkembangan bahasa yang tertunda atau sama sekali tidak berkembang
(tidak disertai dengan usaha untuk melakukan kompensasi melalui
komunikasi dengan bahasa tubuh (gesture) atau mimik
(b) Individu dengan bicara yang adekuat, gangguan yang teridentifikasi pada
kemampuan untuk menginisiasi atau meneruskan komunikasi dengan orang
lain
(c) Penggunaan bahasa yang berulang atau stereotip atau bahasa yang tidak
biasa.
(d) Permainan yang kurang bervariasi, tidak ada spontanitas atau permainan
imitasi sosial sesuai dengan tingkat perkembangan

(3) Perilaku, ketertarikan dan akitivitas yang terbatas, berulang, dan polanya
stereotip, yang bermanifestasi pada paling tidak salah satu hal dibawah ini:
(a) Mencakup preokupasi dengan salah satu atau lebih pola ketertarikan yang
terbatas dan stereotip yang abnormal baik dalam intensitas ataupun ritualnya
(b) Kebiasaan gerakan motorik yang stereotip dan berulang (seperti tepuk
tangan atau jari atau gerakan memuntir, ataupun gerakan seluruh tubuh yang
kompleks)
(c) Terobsesi (preoccupation) pada bagian suatu benda
B. Keterlambatan fungsi atau abnormal pada setidaknya salah satu area dibawah
ini, dengan onset dimulai dari 3 tahun: (1) interaksi sosial,(2) bahasa yang
digunakan pada komunikasi sosial atau (3) permainan imaginative atau
simbolik.
Gangguan ini tidak lebih baik dari gangguan Rett’s atau gangguan disintegrasi pada
masa kanak-kanak.
Lampiran 2. Kriteria autisme dan contohnya berdasarkan DSM-5.

A. KEKURANGMAMPUAN YANG MENETAP DALAM KOMUNIKASI


SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL DI SELURUH KONTEKS, BUKAN
DISEBABKAN OLEH KETERLAMBATAN PERKEMBANGAN UMUM, DAN
DIWUJUDKAN DENGAN 3 DARI 3 GEJALA:

A1. Kekurangmampuan dalam hubungan sosial-emosional yang timbal balik; mulai


dari pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan percakapan timbal-balik
yang normal, berkurangnya minat, emosi, dan pengaruh serta respons hingga
kurangnya memulai interaksi sosial secara menyeluruh.
• Pendekatan sosial yang tidak normal
- Memulai interaksi sosial secara tidak biasa (mis. Sentuhan
mengganggu; menjilat orang lain)
- Menggunakan orang lain sebagai alat
• Kegagalan percakapan timbal-balik yang normal
- Penggunaan bahasa pragmatis / sosial yang buruk (mis. Tidak
mengklarifikasi jika tidak dipahami; tidak memberikan informasi latar
belakang)
- Gagal merespons ketika nama dipanggil atau ketika diucapkan langsung
kepada yang bersangkutan
- Tidak memulai percakapan
- Percakapan satu sisi / monolog / ucapan tangensial (hanya
membicarakan hal yang disukainya saja)
• Berkurangnya berbagi minat atau ketertarikan
- Tidak berbagi
- Kurang menunjukkan, membawa, atau menunjukkan objek yang
menarik baginya kepada orang lain
- Kerusakan pada keterampilan perhatian bersama (baik memulai dan
merespons)
• Berkurangnya pembagian emosi / pengaruh
- Kurangnya respon terhadap senyum sosial (catatan: fokus disini adalah
pada respons terhadap senyum orang lain; aspek lain dari ekspresi
emosional harus dipertimbangkan dalam A2).
- Gagal berbagi kesenangan, kegembiraan, atau prestasi dengan orang
lain
- Gagal merespons pujian
- Tidak menunjukkan kesenangan dalam interaksi sosial
- Gagal menawarkan kenyamanan kepada orang lain
- Ketidakpedulian / keengganan terhadap kontak fisik dan kasih sayang
• Kurangnya memulai interaksi sosial
- Hanya memulai interaksi sosial jika ingin mendapatkan bantuan;
memulai interaksi sosial tetapi terbatas
• Imitasi sosial yang buruk
- Gagal terlibat dalam permainan sosial sederhana
A1 menunjukkan permasalahan yang berhubungan dengan respon dan memulai
interaksi sosial

A2. Kekurangmampuan dalam perilaku komunikatif nonverbal yang digunakan


untuk interaksi sosial; mulai dari komunikasi verbal dan nonverbal yang kurang
terintegrasi, hingga kelainan kontak mata dan bahasa tubuh, atau ketidakmampuan
dalam memahami dan menggunakan komunikasi nonverbal, hingga kurangnya
ekspresi wajah atau gerak tubuh.
• Ketidakmampuan dalam menggunakan kontak mata secara sosial
• Ketidakmampuan dalam penggunaan dan pemahaman postur tubuh (mis.
menghadap jauh dari pendengar)
• Ketidakmampuan dalam penggunaan dan pemahaman gerakan (mis.
menunjuk, melambaikan tangan, mengangguk / menggerakkan kepala tanda
tidak atau tidak setuju) A2 mencerminkan masalah dengan komunikasi non
verbal
• Volume, nada, intonasi, laju, ritme, tekanan kata, prosodi, atau volume
dalam bicara yang tidak normal
• Kelainan dalam penggunaan dan pemahaman tentang perasaan (catatan:
senyum sosial responsif harus dipertimbangkan di bawah A1, sementara
pengaruh yang tidak sesuai untuk konteks harus dipertimbangkan dalam
A3)
- Gangguan dalam penggunaan ekspresi wajah (mungkin terbatas atau
berlebihan)
- Kurangnya ekspresi hangat dan ceria yang ditujukan pada orang lain
- Ketidakmampuan mengkomunikasikan perasaan sendiri
(ketidakmampuan untuk menyampaikan berbagai emosi melalui kata-
kata, ekspresi, nada suara, gerak tubuh)
- Ketidakmampuan untuk mengenali dan menafsirkan ekspresi nonverbal
orang lain
• Kurangnya komunikasi verbal dan nonverbal yang terkoordinasi (mis.
Ketidakmampuan untuk mengoordinasikan kontak mata atau bahasa tubuh
dengan kata-kata)
• Kurangnya komunikasi non-verbal yang terkoordinasi (mis.
Ketidakmampuan untuk mengoordinasikan kontak mata dengan gerakan)

A2 mencerminkan masalah dengan komunikasi non verbal

A3. Kekurangmampuan dalam mengembangkan dan memelihara hubungan, yang


sesuai dengan tingkat perkembangan (diluar hubungan dengan pengasuh); mulai
dari kesulitan menyesuaikan perilaku agar sesuai dengan konteks sosial yang
berbeda hingga kesulitan dalam berbagi permainan imajinatif dan dalam menjalin
pertemanan hingga tidak adanya minat pada orang.
• Kekurangmampuan dalam mengembangkan dan memelihara hubungan,
sesuai dengan tingkat perkembangan
- Kurang mampu membaca dan memahami pikiran orang lain;
ketidakmampuan untuk mengambil perspektif orang lain (usia kalender
≥ 4 tahun)
• Kesulitan menyesuaikan perilaku agar sesuai dengan konteks sosial
- Tidak melihat kurangnya minat orang lain dalam suatu kegiatan
- Kurangnya respons terhadap isyarat kontekstual (mis. Isyarat sosial dari
orang lain yang menunjukkan perubahan perilaku yang diminta secara
implisit)
- Ekspresi emosi yang tidak pantas (tertawa atau tersenyum di luar
konteks) (catatan: kelainan dalam penggunaan dan pemahaman emosi
lainnya harus dipertimbangkan dalam A2)
- Tidak mengetahui atau kurang paham tentang konvensi sosial / perilaku
sosial yang sesuai; mengajukan pertanyaan yang tidak pantas secara
social atau membuat pernyataan yang tidak pantas secara sosial
- Tidak memahami kesusahan atau ketertarikan orang lain
- Tidak mengenali kapan tidak diterima dalam permainan atau
percakapan
- Keterbatasan dalam memahami emosi sosial (tidak melihat ketika dia
sedang digoda; tidak memperhatikan bagaimana perilakunya
mempengaruhi orang lain secara emosional)
• Kesulitan dalam berbagi permainan imajinatif (Catatan: bermain imajinatif
/ bermain peran TIDAK termasuk dalam kriteria DSM-5)
- Kurangnya bermain imajinatif dengan teman sebaya, termasuk bermain
peran sosial (usia perkembangan> 4 tahun)
• Kesulitan dalam menjalin pertemanan
- Tidak mencoba menjalin pertemanan
- Tidak memiliki teman pilihan
- Kurangnya permainan kooperatif (lebih dari 24 bulan usia
perkembangan); hanya bermain paralel saja
- Tidak menyadari digoda atau diejek oleh anak-anak lain
- Tidak bermain dalam kelompok anak-anak
- Tidak bermain dengan anak-anak seusianya atau sama tingkat
perkembangannya (hanya bermain dengan yang lebih tua / lebih muda)
- Memiliki minat pada persahabatan tetapi kurang memahami peraturan
yang berlaku dalam interaksi sosial (mis. sangat direktif atau kaku;
terlalu pasif)
- Tidak menanggapi usaha pendekatan sosial anak-anak lain
• Tidak adanya minat pada orang lain
- Kurangnya minat pada teman sebaya
- Menarik diri; menjauh dari orang lain; di dunianya sendiri
- Tidak mencoba menarik perhatian orang lain
- Minat yang terbatas pada orang lain
- Tidak menyadari atau tidak memperhatikan anak-anak atau orang
dewasa
- Interaksi terbatas dengan orang lain
- Memilih kegiatan yang tidak menyertakan orang lain
A3 mencerminkan masalah dengan kesadaran sosial, wawasan dan konsep
hubungan sosial yang lebih luas

B. POLA PERILAKU, MINAT, ATAU KEGIATAN YANG TERBATAS DAN


BERULANG YANG DIWUJUDKAN DALAM SEDIKITNYA 2 DARI 4
GEJALA:
B1. Ucapan, gerakan motorik, atau penggunaan benda secara sama dan berulang;
(seperti gerakan motorik sederhana yang sama, echolalia, penggunaan benda secara
berulang dan sama persis, atau frasa istimewa).

B1 termasuk ucapan, gerakan, dan permainan

• Berbicara tentang hal yang sama dan berulang


- Berbicara seperti orang yang sangat pintar atau bahasa formal yang tidak
biasa (anak berbicara seperti orang dewasa atau "profesor kecil")
- Echolalia (langsung atau tertunda); termasuk pengulangan kata, frasa,
atau lebih luas lagu atau dialog
- "Jargon" atau omong kosong (jargon matang setelah usia perkembangan
24 bulan)
- Penggunaan bahasa "hafalan"
- Bahasa idiosinkratik atau metaforis (bahasa yang hanya memiliki arti
bagi mereka yang akrab dengan gaya komunikasi individu yang
menggunakannya); neologisme
- Pembalikan pronoun (misalnya, "Kamu" untuk "Aku"; bukan hanya
mencampur kata ganti gender)
- Mengacu pada diri sendiri dengan nama sendiri (tidak menggunakan
"Aku")
- Bahasa perservatif (catatan: untuk ketekunan pada topik tertentu,
pertimbangkan B3)
- Vokalisasi berulang seperti suara serak berulang, pembuatan suara
intonasional, memekik yang tidak biasa, bersenandung berulang
• Gerakan motorik stereotip atau berulang
- Gerakan tangan berulang-ulang (mis. Bertepuk tangan, menjentikkan
jari, mengepakkan, memutar)
- Gerakan seluruh tubuh yang stereotip atau kompleks (mis., goyangan
kaki ke kaki, mencelupkan, & bergoyang; pemintalan)
- Kelainan postur (mis. berjalan berjinjit; postur tubuh penuh)
- Ketegangan tubuh yang intens
- Wajah meringis yang tidak biasa
- Gerinda gigi berlebih
- Secara berulang-ulang meletakkan tangan di atas telinga (catatan: jika
respons terhadap suara, pertimbangkan B4)
- Tindakan / permainan / perilaku yang berulang atau tekun (catatan: jika
2 atau lebih komponen, maka itu adalah sebuah rutinitas dan harus
dipertimbangkan dalam B2)
-
Menjumput secara berulang (kecuali komponen sensor sentuhan yang
jelas, maka pertimbangkan B4)
• Penggunaan benda yang stereotip atau berulang
- Bermain dengan benda-benda tetapi tidak bermakna (melambaikan
tongkat; menjatuhkan barang)
- Membariskan mainan atau benda
- Membuka dan menutup pintu berulang kali
- Menghidupkan dan mematikan lampu secara berulang-ulang

B2. Ketaatan berlebihan pada rutinitas, pola perilaku verbal atau nonverbal yang
ritual, atau penolakan berlebihan terhadap perubahan; (seperti ritual motorik,
desakan pada rute atau makanan yang sama, pertanyaan berulang atau tekanan
ekstrim pada perubahan kecil).

B2 termasuk ritual dan penolakan untuk berubah

• Ketaatan pada rutinitas


-Rutin: spesifik, beberapa langkah urutan perilaku yang tidak biasa
-Desakan untuk mengikuti rutinitas secara spesifik (catatan: tidak
termasuk rutinitas sebelum tidur kecuali komponen atau tingkat
kepatuhan tidak normal)
- Rutinitas yang tidak biasa
• Ritualisasi Pola Perilaku Verbal dan Nonverbal
- Pertanyaan berulang tentang topik tertentu (bedakan dengan mengatakan
kata atau frasa yang sama berulang-ulang, yang berada di bawah B1)
- Ritual verbal - harus mengatakan satu atau lebih hal dengan cara tertentu
atau mengharuskan orang lain untuk mengatakan sesuatu atau menjawab
pertanyaan dengan cara tertentu
- Kompulsi (mis. desakan untuk berputar dalam lingkaran tiga kali
sebelum memasuki ruangan) (catatan: penggunaan benda berulang kali,
termasuk mengantre mainan, harus dipertimbangkan dalam B1).
• Perlawanan berlebihan untuk berubah
- Kesulitan dengan transisi (harus berada di luar kisaran yang berlaku
untuk anak-anak pada tingkat perkembangan yang sama)
- Reaksi berlebihan terhadap perubahan sepele (memindahkan barang di
meja makan atau berkendara melalui rute alternatif)
• Berpikir kaku
- Ketidakmampuan memahami humor
- Ketidakmampuan untuk memahami aspek-aspek bicara nonliteral seperti
ironi atau makna tersirat
- Terlalu kaku, tidak fleksibel, atau terikat aturan dalam perilaku atau
pemikiran

B3. Minat yang sangat terbatas, terpaku pada intensitas atau fokus yang tidak
normal; (seperti keterikatan yang kuat atau keasyikan dengan benda-benda yang
tidak biasa, minat yang terlalu terbatas atau minat yang gigih).
B3 termasuk keasyikan dengan objek atau topik

• Catatan: Pertimbangkan B1 untuk ucapan perservatif


• Keasyikan; obsesi
• Minat yang intensitasnya tidak normal
• Rentang minat yang sempit
• Berfokus pada beberapa objek, topik, atau aktivitas yang sama
• Kesibukan dengan angka, huruf, simbol
• Menjadi terlalu perfeksionis
• Minat yang tidak normal dalam fokus
• Fokus berlebihan pada bagian objek yang tidak relevan atau tidak
berfungsi
• Keasyikan (mis. Warna; tabel waktu; peristiwa bersejarah; dll)
• Terlalu lekat pada benda mati yang tidak biasa (mis., Seutas tali atau karet
gelang)
• Harus membawa-bawa atau memegang benda-benda tertentu atau tidak
biasa (bukan benda pelengkap umum seperti selimut, boneka binatang, dll.)
• Ketakutan yang tidak biasa (mis. Takut orang mengenakan anting-anting)

B4. Hyper-atau hypo-reactivitas untuk input sensorik atau minat yang tidak biasa
dalam aspek sensorik lingkungan; (seperti ketidakpedulian terhadap rasa sakit /
panas / dingin, respon negatif terhadap suara atau tekstur tertentu, membaui atau
menyentuh benda secara berlebihan, terpesona dengan cahaya atau benda yang
berputar).
B4 termasuk perilaku sensorik yang tidak biasa

• Toleransi tinggi terhadap rasa sakit


• Gerakan mencungkil mata sendiri
• Keasyikan dengan tekstur atau sentuhan (termasuk ketertarikan /
keengganan terhadap tekstur)
- Pertahanan taktil; tidak suka disentuh oleh objek atau tekstur tertentu
- Keengganan yang signifikan untuk memotong rambut atau kuku, atau
menyikat gigi
• Eksplorasi / aktivitas visual yang tidak biasa
- Melihat benda dengan jarak sangat dekat tanpa tujuan yang jelas
(misalnya, memegang benda-benda dengan arah yang tidak biasa)
(tidak ada gangguan penglihatan)
- Melihat benda atau orang melalui sudut mata
- Memicingkan mata secara tidak biasa
- Ketertarikan yang berlebihan terhadap pergerakan benda-benda dengan
menontonnya (mis., roda mainan berputar, pembukaan dan penutupan
pintu, kipas angin listrik atau benda yang berputar cepat lainnya)
• Dalam semua domain rangsangan sensorik (suara, bau, rasa, vestibular,
visual), pertimbangkan:
- Respons aneh terhadap input sensorik (mis. menjadi sangat tertekan
oleh suara yang tidak biasa)
- Fokus yang tidak biasa dan / atau persisten pada input sensorik
• Eksplorasi sensorik yang tidak biasa terhadap objek (suara, bau, rasa,
vestibular)
- Menjilati atau mengendus benda (perhatikan: sebagai bagian dari ritual,
pertimbangkan B2; menjilati atau mengendus orang termasuk A1)

C. Gejala harus ada pada saat usia anak masih sangat dini (tetapi mungkin tidak
menjadi nyata sampai tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas)
• Laporan awal pengasuh utama tidak lagi penting
• "Anak Usia Dini" berusia sekitar 8 tahun dan lebih muda (fleksibel)

D. Gejala secara bersama membatasi dan merusak fungsi dalam kegiatan


keseharian.
• Pilih satu pembeda tingkat keparahan untuk komunikasi sosial dan satu
untuk minat terbatas dan perilaku berulang.
• Gangguan sosial minimal: “Tanpa dukungan di tempat, kekurangmampuan
dalam komunikasi sosial menyebabkan gangguan yang nyata. Memiliki
kesulitan memulai interaksi sosial dan menunjukkan contoh-contoh yang
jelas tentang tanggapan yang tidak lazim atau tidak berhasil menanggapi
tawaran sosial orang lain. Mungkin terlihat seperti tidak berminat dalam
berinteraksi sosial. "(Dari DSM 5, tingkat keparahan)
• Gangguan minimal perilaku ritual dan berulang: “perilaku ritual dan
berulang menyebabkan gangguan signifikan terhadap keberfungsian dalam
satu atau lebih konteks. Menolak upaya orang lain yang berusaha
memperbaiki perilaku ritual dan berulang atau untuk dialihkan dari minat
berlebihan yang menetap. "(Dari DSM 5, tingkat keparahan)
KEGIATAN BELAJAR 2: PEMBELAJARAN BAGI ANAK DENGAN
AUTISME
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Autisme yang dialami individu mengakibatkan ketidakmampuan individu
tersebut untuk melakukan interaksi dan komunikasi sosial secara sempurna
seperti orang lain yang tidak autis. Karena ketidakmampuan ini maka individu
autis terlihat seperti orang aneh. Dalam pembelajaran di sekolah, anak dengan
autisme membutuhkan berbagai macam modifikasi yang disesuaikan dengan
kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh mereka. Ketika anak dengan
autisme mengalami kekurangmampuan dalam berkomunikasi maka mereka
membutuhkan program pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan
berkomunikasi yang terintegrasi dalam pembelajaran yang berlangsung.
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana pembelajaran yang dikhususkan
bagi individu autis, melalui Kegiatan Belajar 2 pada Modul 6 ini kita akan
mempelajari bagaimana membelajarkan anak dengan autisme.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru
yang sudah mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), melalui PPG ini diharapkan
mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional dalam
bidang ilmu pendidikan luar biasa, khususnya kajian autisme. Setelah mengikuti
PPG ini, diharapkan mahasiswa yang merupakan guru di SLB dapat lebih
profesional dalam memberikan pembelajaran di kelas dengan memperhatikan
karakteristik anak dengan autisme. Melalui modul ini yang merupakan bahan
belajar mandiri, diharapkan mahasiswa PPG dapat lebih memperdalam dan
menguasai konsep-konsep dasar pembelajaran bagi anak dengan autisme secara
teoritis maupun praktis pada Kegiatan Belajar 2 pada Modul 6 ini.

3. Petunjuk Belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh
mahasiswa PPG untuk materi pembelajaran bagi anak dengan autisme.
Sebaiknya modul ini dibaca dan dipahami secara cermat dan berurutan,
sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh terkait pembelajaran bagi
anak dengan autisme.

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Diharapkan setelah mempelajari Kegiatan Belajar 2 pada Modul 6 ini,
mahasiswa PPG dapat menguasai konsep dasar pembelajaran bagi anak
dengan autisme sebagai dasar untuk merancang dan mengembangkan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, kekurangan dan kelebihan
anak dengan autisme, dengan menerapkan prinsip tematik yang memadukan
pengetahuan berbagai muatan materi ajar sesuai dengan kurikulum yang
berlaku.

2. Pokok – Pokok Materi


Pokok-pokok materi yang akan kita pelajari pada Kegiatan Belajar 2 ini
meliputi:
1. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Anak dengan Autisme
2. Struktur Kurikulum SLB Autis
3. Peta Kompetensi KI-KD
4. Memilih Metode dan Strategi Pembelajaran bagi Anak dengan
Autisme
5. Memilih Bahan Ajar bagi Anak dengan Autisme
6. Rekayasa Media Pembelajaran bagi Anak dengan Autisme
7. Menyusun Alat Evaluasi Belajar bagi Anak dengan Autisme
berbasis HOTS

3. Uraian Materi
Halo para mahasiswa sekalian, bagaimana kabar anda? Tentunya anda
semua sudah paham tentang apa, siapa dan bagaimana autisme dan autis itu
bukan? Pengetahuan tersebut merupakan dasar yang sangat penting bagi
anda semua untuk melanjutkan proses belajar berikutnya yaitu Kegiatan
Belajar 2 pada Modul 6. Pada Kegiatan Belajar 2 ini, kita akan belajar secara
khusus tentang bagaimana membelajarkan anak dengan autisme yang
dimulai dengan prinsip pembelajarannya.

A. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Anak dengan Autisme

Anak dengan autisme memiliki karakteristik yang bervariasi antara


yang satu dengan yang lain. Variasi karakteristik pada masing-masing
individu membuat mereka menjadi unik dan berbeda. Kemampuan mereka
pun berbeda-beda tergantung dari banyak sedikitnya karakteristik yang
mereka tunjukkan. Semakin banyak karakteristik yang mereka miliki,
menunjukkan kemampuan belajar yang mereka miliki semakin berkurang.
Demikian pula sebaliknya.
Pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik yang belajar
dengan guru yang mengajar ataupun dengan sumber belajar.
Membelajarkan anak dengan autisme dengan beragam karakteristik yang
berbeda antara satu dengan yang lain, memanglah bukan pekerjaan yang
mudah. Guru sebagai model harus memiliki kepekaan, ketelatenan,
kreativitas dan konsistensi dalam kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Untuk dapat membelajarkan mereka dengan benar, kita harus mampu
melakukan asesmen untuk mengetahui apa saja kelemahan, kekuatan, minat
dan motivasi mereka. Selain itu, dalam membelajarkan mereka pun, kita
harus paham dengan beberapa prinsip berikut ini supaya pembelajaran
menjadi lebih berhasil.

1.Terstruktur
Prinsip pembelajaran yang terstruktur bagi anak dengan autisme pada
dasarnya dimaksudkan untuk membuat anak dengan autisme bisa nyaman
dalam belajar dalam lingkungan yang disediakan dalam hal ini terutama
adalah lingkungan kelas. Nyaman dalam belajar bagi anak dengan autisme
sangat berkaitan dengan bagaimana guru merancang pembelajaran bagi
mereka terutama dalam penggunaan metode dan gaya belajar yang dimiliki
oleh anak dengan autisme. Harapan yang diinginkan oleh guru terhadap
murid harus dibuat secara nyata dan jelas misalnya dengan menggunakan
tulisan atau gambar-gambar.

2.Visual
Pembelajaran bagi anak dengan autisme sebaiknya mengutamakan
kemampuan visual yang dimiliki oleh mereka. Hal ini dikarenakan sebagian
besar dari anak dengan autisme memiliki kemampuan visual yang lebih baik
daripada kemampuan yang lainnya (Mesibov & Howley, 2003).
Pembelajaran yang menekankan penggunaan kemampuan visual akan lebih
memiliki makna bagi anak dengan autisme. Misalnya, ketika bahan belajar
divisualisasikan dengan baik dan diberikan petunjuk yang jelas dalam
penggunaannya maka anak dengan autisme akan lebih tekun mempelajari
pelajaran yang harus dipelajarinya.

3. Irit Kata
Dalam mengajar anak dengan autisme, guru sebaiknya mengirit kata dan
menghindari penggunaan kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari kebingungan dalam memahami kata-
kata guru yang berseliweran dalam pikiran anak dengan autisme (Mesibov
& Howley, 2003). Kita juga harus paham bahwa anak dengan autisme
mempunyai kemampuan mengolah informasi yang terbatas. Ketika
informasi yang masuk ke dalam pikiran mereka sangat banyak atau
berlebihan maka mereka akan kesulitan memilah dan memilih informasi
yang lebih penting. Oleh karena hal ini, maka guru sebaiknya hanya
memberikan informasi yang penting-penting saja.

4.Konsisten
Dalam pelaksanaan pendidikan bagi anak dengan autisme, prinsip
konsistensi mutlak diperlukan. Artinya : apabila anak berperilaku positif
(memberi respon positif) terhadap suatu rangsangan, maka guru harus cepat
memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula sebaliknya
apabila anak berperilaku negatif. Hal tersebut juga dilakukan dalam ruang
dan waktu lain yang berbeda. Konsisten memiliki arti "tetap", bila diartikan
secara bebas konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang, dan
waktu. Konsisten bagi guru pembimbing berarti; tetap dalam bersikap,
merespon dan memperlakukan anak sesuai dengan karakter dan
kemampuan yang dimiliki masing-masing individu anak dengan autisme.
Sedangkan arti konsisten bagi anak adalah tetap dalam mempertahankan
dan menguasai kemampuan sesuai dengan stimulan yang muncul dalam
ruang dan waktu yang berbeda. Orang tua pun dituntut konsisten dalam
pendidikan bagi anaknya, yakni dengan bersikap dan memberikan
perlakukan terhadap anak sesuai dengan program pendidikan yang telah
disusun bersama antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari
generalisasi pembelajaran di sekolah dan di rumah.

5.Berkesinambungan
Pendidikan dan pengajaran bagi anak dengan autisme sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Maka prinsip pendidikan dan
pengajaran yang berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak
dengan autisme. Berkesinambungan disini meliputi kesinambungan antara
prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaannya.
Kesinambungan dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah,
tetapi juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan di rumah dan lingkungan
sekitar anak.
Ke-lima hal tersebut sangat perlu diperhatikan oleh guru ketika
membelajarkan anak dengan autisme agar mereka menjadi lebih tekun dan
keinginan yang bertambah dalam belajar.
B. Struktur Kurikulum SLB Autis
Sebagai guru untuk anak dengan autisme, kita harus paham
kurikulum yang berlaku untuk mereka sesuai dengan jenjang pendidikan
yang mereka ikuti. Kurikulum ini merupakan rangkaian kompetensi yang
harus dimiliki oleh anak dengan autisme ketika mereka mengikuti
pembelajaran di sekolah. Berikut ini adalah struktur kurikulum, sesuai
dengan salinan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Nomor : 10/d/kr/2017 tanggal : 4 April 2017 tentang Struktur
Kurikulum, Kompetensi Inti- Kompetensi Dasar, dan Pedoman
Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus, yang harus dipahami
oleh guru sehingga akan memudahkan bagi mereka dalam merancang
pembelajaran yang disesuaikan juga dengan karakteristik, keunggulan,
kelemahan, minat dan motivasi yang dimiliki oleh anak dengan autisme.

Tabel 1. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus Jenjang SD

Mata Pelajaran Kelas dan Alokasi Waktu Per


Minggu

I II III IV V VI

Kelompok A

1. Pendidikan Agama dan Budi 4 4 4 4 4 4


Pekerti

2. Pendidikan Pancasila dan 2 2 2 2 2 2


Kewarganegaraan

3. Bahasa Indonesia 4 4 4 3 3 3

4. Matematika 2 2 4 3 3 3

5. Ilmu Pengetahuan Alam - - - 2 2 2


6. Ilmu Pengetahuan Sosial - - - 2 2 2

Kelompok B

7. Seni Budaya dan Prakarya 12 12 12 14 14 14

8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan 2 2 2 2 2 2


Kesehatan

Kelompok C

9. Program Kebutuhan Khusus 4 4 4 4 4 4

Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 30 30 32 36 36 36

Keterangan:
a. Mata pelajaran umum Kelompok A merupakan program kurikuler
yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap,
kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta
didik sebagai dasar dan penguatan kemampuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat.
b. Mata pelajaran Kelompok B merupakan program kurikuler yang
bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik terkait
lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi dengan
muatan lokal. Muatan lokal dapat berupa mata pelajaran yang berdiri
sendiri.
c. Kelompok C berupa program kebutuhan khusus yang diberikan
sesuai dengan kekhususan peserta didik. Program Kebutuhan
Khusus untuk anak dengan autisme berupa Pengembangan
Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku.
d. Satu jam pelajaran tatap muka adalah 30 (tiga puluh) menit.
e. Satuan pendidikan dapat menambah beban belajar per minggu sesuai
dengan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan
akademik, sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting.
f. Kompetensi Dasar mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya terdiri
atas empat aspek yaitu seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni
teater. Peserta didik mengikuti salah satu aspek yang disediakan
untuk setiap semester, aspek yang diikuti dapat diganti setiap
semesternya.
g. Mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan
Seni Budaya dan Prakarya menggunakan pendekatan tematik.
h. Mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan untuk kelas IV, V, VI dan Program
Kebutuhan Khusus tidak menggunakan pendekatan tematik.

Tabel 2. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus Jenjang SMP

Mata Pelajaran Kelas dan Alokasi Waktu Per


Minggu

VII VIII IX

Kelompok A

1. Pendidikan Agama dan Budi 2 2 2


Pekerti

2. Pendidikan Pancasila dan 2 2 2


Kewarganegaraan

3. Bahasa Indonesia 2 2 2

4. Matematika 2 2 2

5. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 2


6. Ilmu Pengetahuan Sosial 2 2 2

7. Bahasa Inggris 2 2 2

Kelompok B 2 2 2

8. Seni Budaya 2 2 2

9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan 2 2 2


Kesehatan

10. Keterampilan Pilihan 18 18 18

Kelompok C

11. Program Kebutuhan Khusus 2 2 2

Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 38 38 38

Keterangan
1. Mata pelajaran umum Kelompok A merupakan program kurikuler
yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap,
kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta
didik sebagai dasar dan penguatan kemampuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat.
2. Mata pelajaran Kelompok B merupakan program kurikuler yang
bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik terkait
lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi dengan
muatan lokal. Muatan lokal dapat berupa mata pelajaran yang berdiri
sendiri. Pada mata pelajaran keterampilan pilihan, peserta didik
memilih satu bidang keterampilan yang disediakan oleh satuan
pendidikan
3. Kelompok C berupa program kebutuhan khusus yang diberikan
sesuai dengan kekhususan peserta didik. Program Kebutuhan
Khusus untuk anak dengan autisme berupa Pengembangan
Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku.
4. Satu jam pelajaran tatap muka adalah 35 (tiga puluh lima) menit.
5. Kompetensi Dasar mata pelajaran Seni Budaya terdiri atas empat
aspek yaitu seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Peserta
didik mengikuti salah satu aspek yang disediakan untuk setiap
semester, aspek yang diikuti dapat diganti setiap semesternya.
6. Mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS,
dan Seni Budaya menggunakan pendekatan tematik.
7. Mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Bahasa Inggris dan Program
Kebutuhan Khusus tidak menggunakan pendekatan tematik.

Tabel 3. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus Jenjang SMA

Mata Pelajaran Kelas dan Alokasi Waktu Per


Minggu

X XI XII

Kelompok A

1. Pendidikan Agama dan Budi 2 2 2


Pekerti

2. Pendidikan Pancasila dan 2 2 2


Kewarganegaraan

3. Bahasa Indonesia 2 2 2
4. Matematika 2 2 2

5. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 2

6. Ilmu Pengetahuan Sosial 2 2 2

7. Bahasa Inggris 2 2 2

Kelompok B 2 2 2

8. Seni Budaya 2 2 2

9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan 2 2 2


Kesehatan

10. Keterampilan Pilihan 24 26 26

Kelompok C

11. Program Kebutuhan Khusus

Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 42 44 44

Keterangan:
a. Mata pelajaran umum Kelompok A merupakan program kurikuler
yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap,
kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta
didik sebagai dasar dan penguatan kemampuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat.
b. Mata pelajaran Kelompok B merupakan program kurikuler yang
bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik terkait
lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi dengan
muatan lokal. Muatan lokal dapat berupa mata pelajaran yang berdiri
sendiri. Pada mata pelajaran keterampilan pilihan, peserta didik
memilih satu bidang keterampilan yang disediakan oleh satuan
pendidikan.
c. Satuan pendidikan melaksanakan program magang pada kelas XI
sekurang-kurangnya satu bulan.
d. Kelompok C berupa program kebutuhan khusus yang diberikan
secara fakultatif berdasarkan kebutuhan peserta didik.
e. Satu jam pelajaran tatap muka adalah 40 (empat puluh) menit.
f. Mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan
Seni Budaya menggunakan pendekatan tematik.
g. Mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Bahasa Inggris dan pilihan
keterampilan tidak menggunakan pendekatan tematik.

Berdasarkan uraian keterangan yang ada pada masing-masing


jenjang pendidikan, dapat diketahui bahwa waktu yang digunakan untuk
satu jam pelajaran tatap muka pada masing-masing jenjang adalah berbeda.
Tidak semua mata pelajaran menggunakan pendekatan tematik dan untuk
peserta didik jenjang SMA tidak wajib mendapatkan program kebutuhan
khusus.

C. Peta Kompetensi KI-KD


Kurikulum merupakan rangkaian kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap peserta didik. Kompetensi-kompetensi ini merupakan acuan bagi
guru dalam membelajarkan peserta didiknya sesuai dengan jenjang yang
sedang diikutinya. Berikut ini adalah contoh peta kompetensi inti dan
kompetensi dasar yang harus dipahami oleh guru dan harus dimiliki oleh
setiap anak dengan autisme.
Tabel 4. Peta Kompetensi KI-KD Matematika SD Kelas I
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
SD
1. Menerima dan menjalankan 1.1 Menerima dan menjalankan
ajaran agama yang dianutnya ajaran agama yang dianutnya
sesuai dengan kemampuan
→ merupakan kompetensi anak berkebutuhan khusus
sikap pribadi
2. Memiliki perilaku jujur, 2.1 Menunjukkan sikap cermat
disiplin, tanggung jawab, dan teliti, tertib dan
santun, peduli, dan percaya mengikuti aturan, peduli,
diri dalam berinteraksi disiplin waktu sesuai dengan
dengan keluarga, teman, dan kemampuan anak
guru berkebutuhan khusus serta
tidak mudah menyerah
→ merupakan kompetensi dalam mengerjakan tugas
sikap sosial 2.2 Memiliki rasa ingin tahu dan
ketertarikan pada
matematika sesuai dengan
kemampuan anak
berkebutuhan khusus yang
terbentuk melalui
pengalaman belajar.
2.3 Memiliki sikap objektif dan
menghargai pendapat dan
karya teman sebaya sesuai
dengan kemampuan anak
berkebutuhan khusus dalam
diskusi kelompok maupun
aktivitas sehari-hari
3. Memahami pengetahuan 3.1 Mengenal lambang bilangan
faktual dengan cara dan mendeskripsikan
mengamati [mendengar, kemunculan bilangan
melihat, membaca] dan dengan bahasa sederhana
menanya berdasarkan rasa sesuai dengan
ingin tahu tentang dirinya, kemampuannya
makhluk ciptaan Tuhan dan 3.2 Membilang benda-benda
kegiatannya, dan benda- yang ada disekitar rumah dan
benda yang dijumpainya di sekolah
rumah dan di sekolah 3.3 Mengenal jumlah suatu
benda menggunakan
→ merupakan kompetensi gambar-gambar/benda
pengetahuan konkrit.
3.4 Mengenal bentuk bangun
datar sederhana
menggunakan benda-benda
yang ada di sekitar rumah,
sekolah, atau tempat
bermain
4. Menyajikan pengetahuan 4.1 Membaca dan menulis
faktual dalam bahasa yang lambang bilangan
jelas dan logis, dalam karya 4.2 Menulis bilangan sesuai
yang estetis, dalam gerakan dengan banyaknya benda
yang mencerminkan anak yang ada pada gambar atau
sehat, dan dalam tindakan benda kongkrit yang
yang mencerminkan perilaku disediakan yang ada di
anak beriman dan berakhlak sekitar rumah, sekolah atau
mulia tempat bermain
4.3 Menuliskan jumlah benda
→ merupakan kompetensi yang ada pada
keterampilan gambar/benda konkrit
4.4 Mengelompokkan bangun
datar sesuai dengan
kemampuan anak

Kompetensi inti pada setiap matapelajaran untuk anak dengan autisme


di tingkat sekolah dasar adalah sama. Sedangkan kompetensi dasar
merupakan penjabaran dari kompetensi inti yang sudah ada dan disesuaikan
dengan masing-masing matapelajaran. Berikut ini adalah kompetensi inti
dan kompetensi dasar yang ada pada mata pelajaran yang tersedianya
dimulai dari kelas 4 SD.

Tabel 5. Peta Kompetensi KI-KD Kelas IV


Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
1. Menerima, menjalankan, dan 1.1 Menerima karunia Tuhan
menghargai ajaran agama YME yang telah
yang dianutnya menciptakan waktu dengan
segala perubahannya
1.2 Menjalankan ajaran agama
dalam berfikir dan
berperilaku sebagai
penduduk Indonesia
1.3 Menerima karunia Tuhan
YME yang telah
menciptakan manusia dan
lingkungannya
2. Menunjukkan perilaku jujur, 1.1 Menunjukkan perilaku jujur,
disiplin, tanggung jawab, disiplin bertanggung jawab,
santun, peduli, dan percaya peduli, santun dan percaya
diri dalam berinteraksi diri
dengan keluarga, teman, guru, 1.2 Menunjukkan perilaku rasa
dan tetangganya. ingin tahu, peduli,
menghargai, dan
bertanggung jawab
1.3 Menunjukkan perilaku
santun, toleran dan peduli
dalam melakukan interaksi
sosial dengan lingkungan
dan teman sebaya
3. Mengenal pengetahuan 3.1 Mengidentifikasi diri sendiri
faktual dengan cara 3.2 Menjelaskan tugas dan
mengamati dan menanya tanggung jawab diri sendiri
berdasarkan rasa ingin tahu
tentang dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda-
benda yang dijumpainya di
rumah, di sekolah dan tempat
bermain.
4. Menyajikan pengetahuan 4.1 Menceritakan diri sendiri
faktual dengan bahasa yang 4.2 Melaksanakan tugas dan
bisa dipahami, dan logis, tanggungjawab diri sendiri
dalam karya yang estetis,
dalam gerakan yang sesuai
kemampuannya dan dalam
tindakan yang mencerminkan
perilaku anak beriman dan
berakhlak mulia

Pada dasarnya kompetensi inti pertama pada jenjang pendidikan


sekolah dasar adalah menerima apa yang telah diberikan oleh tuhan dan
lingkungan kepada setiap peserta didik. Kemudian, penerimaan itu
ditunjukkan dengan berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku yang baik
(kompetensi inti ke dua) yang berlaku secara umum. Berikutnya adalah
bagaimana keberadaan lingkungan sekitar diolah sebagai ilmu pengetahuan
yang bermanfaat (kompetensi inti ke tiga) bagi setiap peserta didik yang
pada puncaknya harus disebarluaskan (kompetensi inti ke empat) demi
kemakmuran bersama sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Sedangkan kompetensi dasar merupakan turunan dari empat kompetensi inti
yang disesuaikan dengan masing-masing mata pelajaran yang ada.

D. Memilih Metode dan Strategi Pembelajaran bagi Anak dengan


Autisme
Ada beberapa strategi dan metode pembelajaran bagi anak dengan
autisme yang biasa digunakan. Strategi dan metode tersebut biasanya juga
berbasis applied behavour analysis (ABA). 2 strategi yang paling sering
digunakan yaitu TEACCH dan ABA. Berikut ini adalah penjabaran dari
kedua strategi tersebut.

1. TEACCH
TEACCH adalah singkatan dari Treatment and Education of Autistic
and related Communication-handicapped Children. Divisi TEACCH di
University of North Carolina berfilosofi bahwa pendidikan harus
berdasarkan pada pembelajaran yang terstruktur. Program yang dibuat
untuk siswa harus berdasarkan hasil observasi tentang cara siswa belajar
yang efektif dan elemen yang digunakan bisa digeneralisasikan pada
berbagai setting. Dalam pembelajaran terstruktur dengan konsep TEACCH,
teori kognitif dan perilaku harus diikutsertakan dan keunikan masing-
masing individu harus dipikirkan. Pendekatan pembelajaran yang paling
efektif harus berfokus pada kemampuan siswa dan orang tua dan juga
penerimaan dan pengetahuan tentang kekurangan yang ada pada siswa.
Pembelajaran yang terstruktur menitikberatkan pada kemampuan
visual siswa dengan autisme oleh karena itu maka segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembelajaran lebih banyak divisualkan dengan
menggunakan gambar-gambar, tulisan dan ikon yang berhubungan dengan
minat siswa. Dalam pembelajaran terstruktur siswa dengan autisme
mendapatkan instruksi dan materi pembelajaran yang diindividualisasikan
disesuaikan dengan karakteristiknya.
Berikut ini adalah hal-hal yang harus ada dalam pembelajaran
terstruktur.

1. Struktur Fisik
Struktur fisik yang dimaksud disini adalah cara penyusunan furnitur
atau perlengkapan kelas seperti bangku dan meja dan materi pembelajaran
yang akan digunakan diarea atau lingkungan belajar. Penempatan meja dan
bangku untuk siswa dengan autisme haruslah melihat kekurangan atau
kelemahan siswa tersebut. Misalnya jika siswa dengan autisme tidak tahan
dengan keramaian maka meja dan bangku siswa harus dipisahkan dari
bangku dan meja siswa yang lain. Mungkin mereka bisa ditempatkan pada
sisi tertentu ruang kelas sehingga ketika mereka mengerjakan tugas, mereka
bisa lebih fokus dan tidak terganggu oleh teman yang lain. Bangku dan meja
tersebut sebagai penanda bahwa ketika mereka berada disana berarti mereka
harus bekerja sepenuhnya dengan atau tanpa bantuan guru dan guru juga
harus bisa memonitor perkembangan pekerjaan siswa.

Gambar 1. Contoh struktur fisik


2. Jadwal visual
Jadwal visual merupakan petunjuk yang memberitahukan siswa
tentang kegiatan apa saja dan dalam urutan yang bagaimana yang akan
mereka lakukan selama berada di sekolah yang tentu saja tempatnya
akan berbeda-beda untuk mata pelajaran tertentu. Jadwal visual ini akan
memudahkan siswa memprediksi atau memperkirakan apa yang akan
terjadi kemudian. Tipe jadwal visual antara lain obyek, gambar atau
foto, tulisan, tulisan dan ikon dan kombinasi antara jadwal dan kerja.

Gambar 2. Contoh jadwal untuk satu mata pelajaran dalam satu


pertemuan

3. Sistem Kerja
Tipe struktur yang berikutnya adalah sistem kerja yang merupakan
petunjuk bagi siswa dengan autisme untuk mengerjakan tugas yang perlu
diselesaikan dalam satu kali kegiatan. Sistem kerja ini merupakan strategi
untuk mengajarkan siswa mengerjakan tugasnya secara mandiri sehingga
ketrampilan kemandirian yang dipelajari melalui sistem kerja bisa
digeneralisasikan pada setiap kegiatan yang akan mereka lakukan pada
berbagai situasi. Adapun tipe sistem kerjanya adalah dari kiri ke
kanan,menyamakan dan tertulis.
Menurut Mesibov dan Howley (2003) sistem kerja individual
setidaknya memberitahukan empat informasi kepada siswa yaitu:
a. Tugas apa yang seharusnya mereka lakukan
b. Jumlah kerja atau tugas yang akan dilakukan pada waktu
tertentu
c. Kemajuan yang telah dicapai dan kapan tugas berakhir
d. Apa yang terjadi setelah tugas selesai.
Berikut ini adalah contoh sistem kerja yang merupakan hasil karya
mahasiswa.

Gambar 3. Contoh sistem kerja

Ketiga hal tersebut di atas merupakan inti dari pembelajaran terstruktur


pada pendekatan TEACCH yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lain. Pada umumnya ketiga hal tersebut harus dilakukan secara bersamaan
dalam kegiatan pembelajaran bagi masing-masing individu dengan autisme.
Pembelajaran yang terstruktur dalam konteks TEACCH sangat menekankan
kemandirian anak dengan autisme dalam belajar. Dalam pembelajaran
terstruktur, guru sebisa mungkin menyediakan segala bahan ajar yang
disesuaikan dengan karakteristik murid dan dilengkapi dengan petunjuk
yang jelas tentang apa yang harus dikerjakan oleh murid dan bagaimana
seharusnya murid mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Dalam
penggunaan jadwal visual ataupun sistem kerja seperti contoh di atas,
sebelum pelajaran berlangsung, guru sebaiknya menerangkan atau
memberitahukan apa yang akan mereka lakukan selama satu pertemuan.
Program pembelajaran TEACCH dengan pendekatan pembelajaran
terstrukturnya bisa dilakukan secara keseluruhan atau hanya bagian-bagian
saja. Pendekatan pembelajaran terstruktur ini bukan merupakan prosedur
yang berurutan, melainkan panduan yang bisa disesuaikan dan dikerjakan
sesuai kebutuhan. Tetapi alangkah lebih baik kalau digunakan secara
keseluruhan.

2. ABA
Berbeda dengan pembelajaran terstruktur, pendekatan pembelajaran
berbasis applied behavior analysis sangat menekankan keaktifan guru
dalam membelajarkan, mengarahkan dan membantu murid (Casey &
Carter, 2016). Pendekatan pembelajaran dengan dasar metode belajar
behavioristik merupakan salah satu metode pembelajaran yang masih
banyak dipakai dalam pembelajaran bagi anak dengan autisme. Metode
pembelajaran ini biasa disebut dengan metode ABA atau Applied Behaviour
Analysis yang pada awalnya digunakan secara sukses oleh Ivar Lovaas.
Prinsip pembelajaran yang berdasarkan pada teori belajar behavioristik ini
mengakui bahwa perilaku bisa dipelajari, pengabaian perilaku yang
merusak dan pengapresiasian perilaku yang baik dengan menggunakan
penguat atau reinforcer.
Target pembelajaran dengan menggunakan metode ini biasanya
sangatlah sederhana. Contoh target yang sederhana yaitu dalam
pembelajaran bahasa anak tidak langsung diajarkan bagaimana berbahasa
namun anak terlebih dahulu diajarkan untuk menirukan suara dan kata-kata.
Kemudian anak diajarkan untuk menyamakan kata dengan bendanya dan
tahap selanjutnya anak diajarkan kata sambung, kata ganti dan kata sifat.
Dan tahap yang terakhir adalah anak diajarkan kalimat. Hal ini mengundang
kontroversi, ketika anak diajari hal-hal yang sederhana mungkin mereka
memang mengerti. Tetapi jika pecahan-pecahan kemampuan sederhana ini
digabungkan menjadi satu, apakah mereka benar-benar mengerti sedangkan
dari kondisi alamiahnya mereka memang sulit untuk mempelajari segala
sesuatu secara komprehensif?
Bagi sesama pendukung behaviorism-pun, intervensi berdasarkan
konsep behavioristik ini masih mengundang pertentangan yang cukup
menarik. Misalnya dalam hal penyamarataan atau generalisasi efek
treatment atau perlakuan. Misalnya jika kita mengajarkan anak untuk
menyeberang jalan dengan jalan kaki, maka kita juga harus mengajarkan
cara menyeberang jalan dengan menggunakan peralatan lainnya. Proses
penggeneralisasian ini tidak terjadi secara langsung pada diri anak karena
memang kondisi autisme yang dimilikinya menyebabkan mereka sulit untuk
melakukan penggeneralisasian. Oleh karena itu, maka dalam penggunaan
intervensi perilaku setiap cara yang berbeda untuk menyeberang jalan harus
diajarkan semuanya sehingga terjadi pemborosan waktu dan kurang
efektifnya pembelajaran.
Anak yang dididik dengan menggunakan intervensi berbasis
behavioristik juga kurang bisa berkomunikasi secara spontan. Mereka
kurang bisa memulai komunikasi dengan orang lain karena mereka sudah
terbiasa dipancing terlebih dahulu untuk berkomunikasi. Anak tidak
dibiasakan untuk memulai komunikasi karena dalam protokol intervensi ini,
yang harus memulai pembelajaran adalah guru atau terapis.
Ketidakspontanan anak dalam berkomunikasi ini merupakan salah satu hal
yang menjadikan strategi behavioristik banyak diresahkan oleh para
profesional pendukungnya.
Kelemahan strategi behavioristik yang lain adalah anak menjadi sangat
tergantung pada prompt atau bantuan yang diberikan oleh guru. Dalam
strategi yang berdasar ABA ini, prompt diberikan sebagai bentuk bantuan
ketika anak yang diperintah mengerjakan sesuatu tidak segera memberikan
respon yang diinginkan. Interval respon biasanya sudah ditentukan oleh
terapis atau guru sehingga ketika respon dinilai sangat lambat maka anak
akan langsung menerima respon dari guru atau terapis. Anak seakan-akan
tidak diberikan waktu yang cukup untuk merespon perintah dan tugas yang
diberikan oleh guru atau terapis sehingga anak terlihat seperti tergantung
pada prompt dan seakan-akan yang merespon perintah adalah guru atau
terapis.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar dalam strategi pembelajaran
dengan basis ABA menurut Casey & Carter (2016):
1. Guru ditekankan untuk lebih aktif dalam berinteraksi dengan murid,
membelajarkan, mengarahkan, membantu dan mengklarifikasi
kegiatan murid.
2. ABA sangat menekankan penggunaan prinsip operant dan classical
conditioning yaitu bahwa perilaku dianalisa dan perlakuan
diaplikasikan secara sistematis untuk meningkatkan perilaku yang
lebih baik secara sosial.
3. Reinforcement atau penguatan dalam istilah ABA didefinisikan
sebagai suatu peristiwa, tindakan, atau benda yang terjadi atau hadir
mengikuti perilaku yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
perilaku lagi, dan dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk seorang
pendidik. Penguatan positif menunjukkan apakah sesuatu
ditambahkan sedangkan penguatan negatif menunjukkan apakah
sesuatu dihapus atau dihilangkan.

Dalam pembelajaran yang berbasis ABA, materi pembelajaran


memang cenderung diberikan secara terpisah-pisah. Biasanya materi
pembelajaran dipecah menjadi lebih sederhana sehingga murid akan mampu
melaksanakan tugas dalam belajar secara lebih baik. Proses pelaksanaan
pembelajaran akan terjadi jika guru memberikan rangsangan kepada murid,
lalu murid memberikan respon atau tidak dan penguatan bisa terjadi disela-
sela proses ataupun diakhir proses.

E. Memilih Bahan Ajar bagi Anak dengan Autisme


Setelah kita memahami struktur kurikulum yang berlaku bagi anak
dengan autisme, kompetensi inti – kompetensi dasar yang harus mereka
dapatkan dan strategi pembelajaran yang biasa digunakan untuk
membelajarkan mereka, kini saatnya kita akan belajar bagaimana memilih
bahan ajar yang cocok bagi mereka.
Menurut KBBI Daring (kbbi.kemdikbud.go.id yang diakses pada
tanggal 24 September 2019), bahan ajar merupakan bahan pelajaran yang
disusun secara sistematis, digunakan oleh guru dan siswa dalam proses
pembelajaran. Menurut pengertian ini, isi bahan ajar adalah tujuan dan
materi pembelajaran, metode untuk mencapai tujuan dan alat yang
digunakan untuk mengevaluasi apakah tujuan pembelajaran yang dimaksud
sudah tercapai atau belum. Khusus dalam bagian ini (bagian e), bahan ajar
yang dimaksud adalah materi pembelajaran yang akan diajarkan kepada
anak dengan autisme.
Memutuskan untuk menggunakan perangkat dan bahan ajar yang akan
digunakan dan harus diajarkan kepada murid merupakan salah satu hal yang
penting dalam pembelajaran. Penentuan ini akan sangat mempengaruhi apa
yang akan dipelajari oleh murid dan bagaimana mereka akan belajar. Hal ini
sangat penting khususnya ketika murid yang kita hadapi adalah anak-anak
dengan autisme yang memiliki beragam karakteristik dengan kekurangan,
kelebihan, minat dan motivasi yang mereka miliki. Berikut ini adalah
beberapa panduan dalam memilih bahan ajar yang sebaiknya
dipertimbangkan oleh guru.
a. Bahan bacaan yang tidak bertele-tele
Pemilihan materi pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan
murid seperti karakteristik, minat dan motivasi. Untuk murid yang
mengalami autisme, sudah jelas sekali kemampuan membaca mereka
sangat beragam. Sebaiknya guru memilih bahan bacaan yang singkat,
jelas dan tidak mengandung makna lebih dari satu. Bahan bacaan perlu
dipersingkat untuk menyesuaikan dengan kemampuan berkonsentrasi
yang dimiliki oleh murid. Jelas disini mengandung arti bahwa informasi
yang diberikan melalui bacaan bisa dicerna dalam sekali baca sehingga
murid tidak akan kebingungan mencari inti informasinya.
b. Perpaduan antara tulisan dan gambar
Bagi kebanyakan anak dengan autisme, bacaan yang dipadukan dengan
gambar akan sangat membantu mereka dalam memahami informasi
yang diberikan. Tulisan dan gambar yang dipadukan tidak mesti harus
sempurna, bisa diketik ataupun ditulis tangan. Gambar pun juga
demikian, bisa dibuat sendiri atau memanfaatkan gambar yang ada.
Gambar yang dibuat sendiri misalnya foto anak yang sedang melakukan
aktivitas. Hal yang terpenting dalam perpaduan antara tulisan dan
gambar adalah bahwa gambar digunakan untuk memvisualkan inti
informasi yang terkandung dalam tulisan.
c. Mengandung nilai-nilai kebermanfaatan yang nyata dan sesuai
Bahan ajar atau materi pelajaran yang akan diberikan kepada anak
dengan autisme tentunya harus mengandung nilai-nilai kebermanfaatan
yang bisa langsung diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini
dimaksudkan agar informasi yang sudah didapatkan dan dipahami oleh
murid tidak mudah terlupakan. Kesesuaian antara materi ajar dengan
kurikulum, nilai yang berlaku di masyarakat ataupun rangkaian standar
yang berlaku secara lokal maupun nasional (Arends, 2012) harus juga
diperhatikan. Sehingga ketika informasi yang sudah didapatkan akan
dievalusi berdasarkan standar yang berlaku, murid sudah siap.

Berikut ini adalah contoh bahan ajar yang bisa dimodifikasi dan
disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh anak dengan autisme.
Bahan bacaan diambil dari Angi St. Anggari, dkk (2016).
Pawai Budaya

Pawai budaya sangat menarik bagi warga Kampung Babakan.


Pawai ini selalu menampilkan keragaman budaya Indonesia. Udin dan
teman-teman tidak pernah bosan menanti rombongan pawai lewat.
Tahun ini mereka datang ke alun-alun untuk melihat pawai tersebut.
Kakek Udin pun terlihat sabar menanti. Terdengar suara gendang yang
menandakan rombongan pawai semakin dekat.
Di barisan pawai terdepan terlihat rombongan dari Maluku.
Rombongan laki-laki mengenakan kemeja putih, jas merah dan topi
tinggi dengan hiasan keemasan. Rombongan perempuan mengenakan
baju Cele. Baju ini terdiri dari atasan putih berlengan panjang serta rok
lebar merah. Langkah mereka diiringi dengan suara Tifa, alat musik
dari Maluku. Bunyinya seperti gendang, namun bentuknya lebih
ramping dan panjang. Budaya Maluku sangat unik dan menarik.
Budaya Bali terkenal karena bunyi musiknya yang berbeda.
Rombongan dari Bali membunyikan alat musik dari daerahnya, Ceng-
ceng namanya. Alat ini berbentuk seperti dua keeping simbal yang
terbuat dari logam. Nyaring bunyinya ketika kedua keeping ini
dipadukan.
Rombongan dari Bali diikuti oleh rombongan dari Toraja.
Wanita Toraja memakai pakaian adat yang disebut baju Pokko.
Rombongan laki-laki menggunakan pakaian adat yang disebut Seppa
Tallung Buku. Rombongan Toraja membunyikan alat musik khas
mereka, Pa’pompang namanya. Alat musik ini berupa suling bambu
besar yang bentuknya seperti angklung. Unik bentuknya, unik pula
bunyinya. Budaya Toraja sangat menarik untuk dipelajari.
Udin dan teman-teman senang melihat pawai budaya. Selalu ada
hal baru yang mereka perhatikan setiap tahun. Pakaian adat dari
berbagai suku di Indonesia selalu menyenangkan untuk diamati. Benar
kata Ibu Udin, kebudayaan Indonesia memang sangat beragam. Kaya
dan mengagumkan.

Bacaan di atas bisa dimodifikasi agar informasi yang diberikan bisa


lebih mudah dipahami tetapi tidak mengubah inti informasi yang
seharusnya. Berikut ini hanya salah satu contoh modifikasi, para mahasiswa
sekalian bisa memodifikasi bahan bacaan di atas menjadi lebih baik dan
menarik lagi.
Pawai Budaya

Udin dan kakeknya tinggal di Kampung Babakan. Setiap tahun


di kampung ini selalu ada pawai budaya yang menampilkan keragaman
budaya Indonesia. Tahun ini Udin dan kakeknya pergi ke alun-alun
untuk melihat pawai tersebut. Udin dan kakeknya mendengar suara
gendang yang menandakan rombongan pawai semakin dekat.
Lima belas menit kemudian, Udin dan kakeknya melihat dengan
jelas peserta pawai budaya berbaris menurut asal daerahnya. Di barisan
terdepan adalah rombongan dari Maluku. Barisan kedua adalah
rombongan dari Bali. Barisan terakhir adalah rombongan dari Toraja.
Rombongan pawai dari Maluku terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Rombongan laki-laki mengenakan kemeja putih, jas merah
dan topi tinggi dengan hiasan keemasan. Rombongan perempuan
mengenakan baju Cele yang terdiri dari atasan putih berlengan panjang
serta rok lebar merah. Beberapa anggota rombongan membawa Tifa,
alat musik dari Maluku. Jika dimainkan, bunyinya seperti gendang,
namun bentuknya lebih ramping dan panjang.
Rombongan dari Bali membawa alat musik yang bernama ceng-
ceng. Alat ini berbentuk seperti simbal dan terbuat dari logam. Ketika
dua keping ceng-ceng dipertemukan, suaranya sangat nyaring.
Rombongan pawai dari Toraja juga terdiri dari laki-laki dan
wanita. Wanita Toraja memakai pakaian adat yang disebut baju Pokko.
Rombongan laki-laki menggunakan pakaian adat yang disebut Seppa
Tallung Buku. Rombongan Toraja membunyikan alat musik khas
mereka yang bernama Pa’pompang. Alat musik ini berupa suling
bambu besar yang bentuknya seperti angklung.
Udin dan kakeknya senang melihat pawai budaya. Mereka
selalu menemukan hal baru yang menarik perhatian.

F. Rekayasa Media Pembelajaran bagi Anak dengan Autisme


Media menurut KBBI daring (kbbi.kemdikbud.go.id yang diakses pada
tanggal 26 September 2019) adalah alat (sarana) komunikasi seperti koran,
majalah, radio, televisi, film, poster dan spanduk. Jadi berdasarkan
pengertian menurut KBBI ini bisa kita adaptasi makna media pembelajaran
sebagai sarana atau alat mengkomunikasikan materi pembelajaran yang
sudah kita rancang kepada para peserta didik kita. Alat atau sarana ini bisa
dibuat dari yang paling sederhana seperti tulisan yang diikuti dengan
gambar tidak bergerak sampai yang paling rumit seperti gambar yang
bergerak dan berbicara sendiri seperti dalam televisi.
Jika kita memperhatikan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh anak
dengan autisme yaitu kemampuan visualnya, maka alat atau sarana ini
sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Ketika media pembelajaran
ini dibuat oleh guru dan menyediakan petunjuk pemakaian yang jelas, maka
murid diharapkan bisa menggunakannya dengan baik. Sehingga murid akan
bisa belajar secara mandiri dan tidak banyak bergantung kepada bantuan
dan penjelasan guru.
Media pembelajaran yang paling sederhana yang bisa digunakan oleh
guru adalah power point sederhana. Guru hanya tinggal memindahkan
materi pembelajaran yang dibuat ke dalam power point. Di bagian awal,
guru memberikan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan oleh murid
dan juga bagaimana cara melakukannya. Pada bagian berikutnya, guru
memberikan materi pembelajaran secara lengkap tetapi sederhana.
Sederhana disini berkaitan erat dengan kata-kata dalam kalimat, yang harus
irit dan langsung menuju pokok bahasan. Bisa juga dalam satu slide power
point, guru hanya memberikan satu kalimat saja sehingga bisa mudah
dipahami oleh murid. Jika guru memberikan evaluasi tentu saja diletakkan
di bagian akhir dari power point. Dalam memberikan evaluasi yang
berbentuk tes, guru perlu memberikan petunjuk dimana murid harus
mencari jawaban dari pertanyaan yang diberikan.
Setelah guru mampu membuat power point yang sederhana, guru
sebaiknya juga belajar meningkatkan kualitas power point yang telah
dimiliki. Cara yang bisa dilakukan oleh guru adalah menambahkan gambar-
gambar yang sesuai dengan tema bacaan pada masing-masing slide. Gambar
yang digunakan tentunya dimulai dari gambar yang sederhana yang tidak
akan mengganggu kemampuan konsentrasi yang dimiliki oleh murid.
Gambar yang digunakan bisa dibuat sendiri dari foto-foto yang dimiliki oleh
anak ataupun dari website yang menyediakan gambar-gambar. Gambar
tentunya akan lebih baik lagi jika berhubungan dengan minat minat murid.
Demikianlah salah satu cara yang bisa digunakan untuk merekayasa
media pembelajaran bagi anak dengan autisme sehingga materi
pembelajaran bisa dipahami dengan mudah. Kalau media pembelajaran
yang sederhana bisa dibuat dengan baik oleh guru, tentunya guru harus terus
belajar meningkatkan kemampuannya dalam merekayasa media
pembelajaran sampai pada tahapan media pembelajaran yang sangat rumit
sekali.

G. Menyusun Alat Evaluasi Belajar bagi Anak dengan Autisme


berbasis HOTS
Menyusun alat evaluasi yang berbasis HOTS (higher order thinking
skills atau keterampilan berpikir yang lebih tinggi) bagi anak dengan
autisme memang tidak mudah. Kita harus memahami terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan keterampilan berpikir yang lebih tinggi.
Keterampilan atau cara berpikir yang lebih tinggi maksudnya adalah bahwa
keterampilan berpikir yang diasah dan harus dimunculkan oleh murid sudah
harus berupa keterampilan berpikir yang menganalisis, mengevaluasi dan
mencipta. Keterampilan berpikir ini merupakan adopsi dari taxonomy of
learning objective dari Bloom yang diperbarui oleh Anderson, dkk. (2001).
Ketika kita membuat alat evaluasi belajar untuk anak dengan autisme
yang berbasis HOTS, maka keterampilan berpikir menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta inilah yang harus kita perhatikan. Keterampilan
berpikir berbasis HOTS yang kita buat tentu saja harus memperhatikan
karakteristik kognitif anak dengan autisme. Kemampuan kognitif anak
dengan autisme yang paling berkekurangan adalah kemampuan mereka
dalam memahami perspektif atau pemikiran orang lain (Schopler &
Mesibov, 1995) yang dalam Bahasa Inggris biasa disebut sebagai ‘Theory
of Mind’. Istilah ini mengacu pada kemampuan sosial dasar manusia untuk
menghubungkan pikiran dan perasaan dengan diri sendiri atau orang lain,
yang memungkinkan kita untuk berempati, berkomunikasi, membayangkan
harapan orang lain, dan juga untuk mengecoh atau menipu lawan.
Jika kita memperhatikan kemampuan ‘Theory of Mind’ anak dengan
autisme seperti dalam paragraf sebelumnya, maka ketika kita membuat alat
evaluasi haruslah yang benar-benar sesuai. Sesuai dalam artian pemilihan
kata, keterampilan berpikir yang dituntut dan bagaimana anak dengan
autisme itu harus mengkomunikasikan jawaban yang dituntut oleh soal.
Berikut ini beberapa contoh soal berbasis HOTS yang bisa dibuat oleh guru
berdasarkan bacaan pada materi E.
1. Apakah yang dimaksud dengan pawai budaya?
2. Apa yang dimaksud dengan kata ‘nya’ dalam kata ‘bunyinya’ dan
‘bentuknya’ pada paragraf 3?
3. Dimanakah biasanya Udin dan kakeknya melihat pawai budaya?
4. Coba ceritakan kembali barisan pawai budaya yang sedang ditonton
oleh Udin dan kakeknya.

4.Forum Diskusi
Candra adalah murid kelas 4 sebuah sekolah dasar. Setiap datang ke sekolah
dia pasti menuju kantin terlebih dahulu. Jika ibunya menegur, dia akan marah-
marah terus seharian. Pada saat di kelas dia duduk di pojok belakang. Sering
sekali dia mengeluarkan suara-suara pada saat mengerjakan tugas. Saat disuruh
guru menjawab pertanyaan, bisa dipastikan dia menjawab pertanyaan guru
dengan benar secara lisan. Tetapi jika disuruh menulis, tulisannya hampir tidak
bisa dibaca. Pada saat pelajaran selesai, dia selalu terlambat untuk mengikuti
pelajaran berikutnya. Terkadang dia tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran
olahraga karena terlambat lumayan lama.
Berdasarkan ilustrasi di atas, coba anda buatkan perencanaan pembelajaran
yang mungkin bisa membantu Candra untuk belajar dengan baik selama di
sekolah.

C. Penutup
1. Rangkuman
Pembelajaran yang baik akan membuat setiap peserta didik benar-benar
belajar. Untuk membelajarkan anak dengan autisme, maka prinsip-prinsip
pembelajaran bagi mereka perlu diperhatikan ketika guru merancang
program pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah terstruktur, visual,
irit kata, konsisten dan berkesinambungan.
Pembelajaran yang dirancang oleh guru juga harus disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang
diikuti oleh peserta didik. Struktur kurikulum pada masing-masing jenjang
pendidikan juga berbeda dan alokasi waktu yang diberikan pada masing-
masing jenjang per minggu juga tidak sama. Demikian juga dengan
kompetensi inti dan kompetensi dasar. Semakin tinggi jenjang pendidikan,
kompetensi inti dan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik
semakin kompleks.
Sebagai guru, kita juga harus bisa memilih metode dan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak dengan autisme.
Strategi yang biasa digunakan dalam pembelajaran bagi anak dengan
autisme berbasis applied behavior analysis. Dalam memilih strategi tersebut
kita perlu paham bagaimana penggunaan strategi tersebut. Demikian juga
saat kita memilih bahan ajar bagi anak dengan autisme, tentunya kita harus
paham bagaimana karakteristik dan minat mereka dalam belajar.
Rekayasa media pembelajaran bagi anak dengan autisme sangat
dianjurkan untuk menyesuaikan dengan kecenderungan mereka dalam
belajar. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka memahami materi
pembelajaran yang sedang dipelajari. Untuk mengetahui hasil belajar
mereka pun, guru harus mampu menyusun alat evaluasi belajar yang sesuai.
Alat evaluasi belajar ini tentunya diusahakan yang berbasis HOTS atau
higher order thinking skills atau keterampilan berpikir tingkat tinggi.

2. Tes Formatif
Berilah tanda Silang (X) pada salah satu huruf A, B, C, D atau E pada
jawaban yang kamu anggap benar.
1. Sebagai guru bagi anak dengan autisme, mengapa kita perlu mengetahui
prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak dengan autisme?
a. Terstruktur, visual, konsisten, irit kata dan berkesinambungan
b. Pembelajaran yang terstruktur membuat anak dengan autisme
lebih mandiri
c. Prinsip-prinsip tersebut akan membuat anak dengan autisme
belajar lebih nyaman di lingkungan yang disediakan
d. Pembelajaran yang divisualisasikan akan membuat anak dengan
autisme belajar lebih tekun
e. Kesinambungan dalam belajar akan membuat anak dengan
autisme menjadi lebih berkembang
2. Mengapa kita harus memahami struktur kurikulum?
a. Supaya saya lulus program PPG
b. Struktur kurikulum perlu dipelajari
c. Untuk memudahkan saya merancang pembelajaran
d. Supaya saya tahu bagaimana bentuknya
e. Kurikulum yang saya tahu adalah kurikulum 2013
3. Mengapa Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar ada dalam kurikulum?
a. Karena Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar merupakan hal
yang harus dicapai oleh masing-masing peserta didik
b. Karena Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar adalah panduan
c. Karena Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar harus ada dalam
kurikulum
d. Karena Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar adalah
kewajiban guru
e. Karena Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar adalah dua hal
yang saling berkaitan
4. Bagaimana kita seharusnya membelajarkan anak dengan autisme dengan
menggunakan pendekatan TEACCH?
a. Ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar harus ditata
rapi dan menunjukkan ruangan untuk belajar
b. Jadwal harus dibuat semenarik mungkin sehingga murid tahu
akan belajar apa saat di sekolah
c. Harus ada cara-cara yang jelas dalam mengerjakan tugas dan
bagaimana seharusnya murid mengerjakan tugasnya
d. Tidak ada satu pun jawaban yang salah dari semua pilihan yang
ada
e. Semua komponen dalam TEACCH penggunaannya bisa
dikombinasikan dan bisa juga secara individual
5. Mengapa pendekatan berbasis applied behavior analysis (ABA) sering
digunakan dalam membelajarkan anak dengan autisme?
a. Pendekatan berbasis ABA sangat rumit
b. Semua jawaban salah
c. Pendekatan berbasis ABA tidak perlu evaluasi
d. Penilaian dalam pendekatan berbasis ABA membingungkan
e. Murid menjadi tidak spontan dalam berkomunikasi
6. Apakah semua bahan ajar yang tersedia secara daring bisa digunakan
untuk membelajarkan anak dengan autisme
a. Ya, tetapi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
karakteristik, minat dan motivasi yang dimiliki anak
b. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring sangat
menarik minat anak untuk belajar
c. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring merupakan
bahan ajar yang mutakhir
d. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring mudah
didapatkan dimana saja
e. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring merupakan
bahan ajar yang menyenangkan
7. Manakah pernyataan di bawah ini yang cocok menjelaskan media
pembelajaran bagi anak dengan autisme?
a. Media pembelajaran bagi anak dengan autisme pasti menarik
supaya anak belajar dengan tenang
b. Media pembelajaran bagi anak dengan autisme haruslah visual
sesuai dengan materi
c. Media pembelajaran bagi anak dengan autisme cukup sederhana
saja tanpa gambar bergerak
d. Media pembelajaran hendaknya mencerminkan visualisasi
materi pembelajaran semenarik mungkin dan disesuaikan
dengan minat anak
e. Media pembelajaran bagi anak dengan autisme bisa dibuat
hanya dengan power poin sederhana
8. Alat evaluasi yang seperti apa yang seharusnya dibuat oleh guru untuk
mengetahui proses dan hasil belajar anak dengan autisme?
a. Alat evaluasi yang digunakan seharusnya bisa membuat anak
belajar dengan baik
b. Proses dan hasil belajar anak dengan autisme bisa diketahui
kapan saja tanpa menggunakan alat evaluasi
c. Alat evaluasi yang dibuat oleh guru seharusnya bisa melihat
semua perkembangan kognitif anak dengan autisme
d. Anak dengan autisme tidak bisa dites karena kemampuan
berkonsentrasi mereka sangat pendek
e. Alat evaluasi yang dibuat oleh guru seharusnya mampu melihat
kemampuan kognitif anak dalam hal menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta
9. Apakah pendekatan applied behavior analysis bisa digunakan untuk
peserta didik dengan autisme yang akan bapak ibu asuh?
a. Tidak, karena saya tidak paham bagaimana menggunakannya
b. Ya, karena peserta didik saya membutuhkan penguatan agar
hasil belajarnya menjadi lebih baik
c. Ya, karena saya yakin peserta didik saya butuh dididik dengan
pendekatan applied behavior analysis
d. Tidak, karena pendekatan applied behavior analysis sangat
susah digunakannya
e. Ya, karena pendekatan applied behavior analysis membuat
murid menjadi lebih pintar
10. Mengapa materi pelajaran yang tersedia saat ini tidak selalu bisa
digunakan untuk anak dengan autisme?
a. Karena materi pelajarannya terlalu sederhana
b. Karena materi pelajaran yang ada terlalu berbelit-belit
c. Karena materi pelajaran yang tersedia sudah digunakan oleh
guru lain
d. Karena materi pelajaran yang ada susah dipahami
e. Karena materi pelajaran yang tersedia untuk anak dengan
autisme dibuat secara umum dan tidak menghiraukan
karakteristik individu autisme
Daftar Pustaka

Anderson, Lorin, W., dkk. (2001) A taxonomy for learning, teaching and assessing:
a revision of Bloom’s of educational objective. New York: Longman
Angi St. Anggari, dkk (2016) Indahnya Kebersamaan: buku tematik terpadu
Kurikulum 2013 Tema 1 Buku siswa SD/MI Kelas IV. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Arends, Richard I. (2012) Learning to Teach, 9th edn. New York: McGraw Hill
Casey, LB., dan Carter, SC. (2016) Applied behavior analysis in early childhood :
an introduction to evidence-based interventions and teaching strategies.
Oxon: Taylor & Francis
Mesibov, G. B., dan Howley, M. (2003) Accessing the Curriculum for Pupils with
Autistic Spectrum Disorders: Using the TEACCH Programme to Help
Inclusion. London: David Fulton
Salinan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Nomor : 10/d/kr/2017 tanggal : 4 April 2017 tentang Struktur Kurikulum,
Kompetensi Inti- Kompetensi Dasar, dan Pedoman Implementasi Kurikulum
2013 Pendidikan Khusus
Schopler, E., & Mesibov, G. B. (1995) Introduction to learning and cognition in
autism dalam Schopler, E., & Mesibov, G. B. Learning and cognition in
autism. New York: Springer
Schreibman, Laura (2005) The Science and Fiction of Autism. Cambridge: Harvard
University Press
www.kbbi.kemdikbud.go.id
KEGIATAN BELAJAR 3: PEMBELAJARAN BAGI ANAK
BERKESULITAN BELAJAR SPESIFIK
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Peserta didik berkesulitan belajar spesifik memiliki hambatan dalam
bidang akademik, hal ini terlihat dari prestasi yang rendah di sekolah namun
sebenarnya peserta didik berkesulitan belajar memiliki potensi yang tinggi.
Adanya kesenjangan antara faktual dan aktualnya menjadikan peserta didik
teridentifikasi sebagai anak yang tidak mampu dalam bidang akademik.
Ketidakmampuan tersebut terlihat dari kesulitan dalam membaca, menulis dan
berhitung, sehingga guru harus mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi
oleh peserta didik berkesulitan belajar spesifik dengan berbagai cara atau
strategi dalam proses pembelajaran yang sesuai dan tepat dengan peserta didik
tersebut.
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana pembelajaran dan strategi yang
digunakan untuk menangani peserta didik berkesulitan belajar spesifik, melalui
Kegiatan Belajar 3 pada Modul 6 ini kita akan mempelajari pendekatan
pembelajaran, dan strategi bagi peserta didik berkesulitan membaca,
berkesulitan menulis dan berkesulitan berhitung.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) dalam jabatan merupakan guru
yang sudah mengajar di sekolah luar biasa (SLB) dan mengajar di sekolah
penyelenggara inklusif, melalui PPG ini diharapkan mahasiswa mampu
meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional dalam bidang ilmu
pendidikan luar biasa, khususnya menguasai strategi, prinsip-prinsip yang
digunakan dalam pembelajaran bagi peserta didik berkesulitan belajar spesifik.
Setelah mengikuti PPG ini, diharapkan mahasiswa yang merupakan guru dapat
lebih profesional dalam memberikan pembelajaran di kelas dengan
memperhatikan pendekatan pembelajaran, prinsip-prinsip pembelajaran dan
menggunakan strategi yang tepat bagi peserta didik berkesulitan belajar
spesifik.
3. Petunjuk Belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh
mahasiswa PPG untuk materi pembelajaran bagi peserta didik berkesulitan
belajar spesifik. Materi belajar dalam Kegiatan Belajar 3 ini sebaiknya dibaca
dan dipahami secara cermat dan secara sistematis, sehingga diperoleh
pemahaman yang menyeluruh terkait peserta didik berkesulitan belajar
spesifik.

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 3 pada Modul 6 ini, diharapkan
mahasiswa PPG dapat menguasai konsep teoritis pendekatan pembelajaran dan
strategi pembelajaran bagi peserta didik berkesulitan belajar yang dapat
digunakan sebagai dasar mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik berkesulitan belajar.

2. Pokok – Pokok Materi


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 3 pada Modul 6 ini, diharapkan
mahasiswa PPG memiliki pengetahuan, pemahaman dan pengalaman belajar
yang tuntas terkait pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar spesifik yang
meliputi:
A. Struktur Kurikulum bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
B. Peta Kompetensi (KI-KD SD, SMP, SMA)
1. Peta Kompetensi SD
2. Peta Kompetensi SMP
3. Peta Kompetensi SMA
C. Modifikasi Kurikulum bagi Anak berkesulitan Belajar Spesifik
D. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
E. Memilih Metode dan Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan
Belajar Spesifik
1. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Membaca
2. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Menulis
3. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Matematika
F. Memilih Bahan Ajar bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
G. Rekayasa Media Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
H. Menyusun Alat Evaluasi Belajar bagi Anak Berkesulitan Belajar
Spesifik Berbasis HOTS

3.Uraian Materi
Selamat datang kembali saya ucapkan kepada para mahasiswa sekalian
yang masih penuh semangat dan hebat-hebat. Pada kesempatan ini kita akan
belajar tentang bagaimana membelajarkan anak berkesulitan belajar spesifik
yang memang sangat jauh berbeda dengan anak dengan autisme. Walaupun
berbeda, mungkin ada beberapa hal dalam membelajarkan anak dengan
autisme masih bisa digunakan untuk membelajarkan anak berkesulitan belajar
spesifik. Nah, dalam Kegiatan Belajar 3 pada Modul 6 ini kita akan belajar
tentang bagaimana seharusnya membelajarkan anak berkesulitan belajar
spesifik agar mereka bisa berkembang sesuai dengan potensi maksimal yang
mereka miliki. Berikut ini adalah paparan materi pokok tentang berbagai mcam
hal yang bisa anda jadikan rujukan untuk merancang pembelajaran bagi peserta
didik berkesulitan belajar spesifik.

A. Struktur Kurikulum bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik


Kurikulum bagi seorang guru merupakan panduan dalam membelajarkan
peserta didiknya agar mampu mencapai kompetensi yang seharusnya.
Demikian juga bagi para peserta didik, kurikulum memandu mereka dalam
mematangkan diri mereka sendiri dengan menghayati kompetensi-
kompetensi yang seharusnya mereka miliki sesuai dengan jenjang pendidikan
dan kurikulum yang berlaku. Demikian juga adanya dengan anak
berkebutuhan khusus, dalam setiap jenjang pendidikan yang mereka ikuti,
mereka membutuhkan panduan untuk belajar seperti kurikulum. Namun
sayangnya, dalam sistem pendidikan kita, masih belum ada kurikulum yang
dikhususkan untuk anak berkesulitan belajar spesifik.
Di Indonesia, kurikulum yang berlaku bagi anak berkesulitan belajar
spesifik adalah kurikulum umum yang berlaku bagi mereka yang tidak
mengalami kebutuhan khusus. Hal ini disebabkan karena secara kemampuan
intelektual, fisik maupun psikologis, kemampuan anak berkesulitan belajar
adalah sama dengan mereka yang tidak mengalami kebutuhan khusus.
Kebutuhan khusus yang dialami oleh anak berkesulitan belajar spesifik akan
sangat terlihat jelas ketika mereka mengerjakan persoalan akademik. Ketika
permasalahan-permasalahan yang dialami anak berkesulitan belajar sudah
dimulai saat mereka memasuki sekolah dasar tetapi tidak mendapatkan
penanganan yang tepat, maka permasalahan ini akan berlanjut sampai jenjang
sekolah berikutnya.
Berikut ini adalah struktur kurikulum untuk peserta didik pada umumnya
untuk setiap jenjang yang bisa digunakan juga untuk anak berkesulitan belajar
spesifik. Tetapi, dalam penggunaannya kurikulum ini harus dimodifikasi
disesuaikan dengan keadaan kesulitan belajar spesifik yang dialami oleh
peserta didik berkesulitan belajar spesifik.

Tabel 1. Struktur Kurikulum SD/MI


Mata Pelajaran Kelas dan Alokasi Waktu Per
Minggu

I II III IV V VI

Kelompok A (Umum)

1. Pendidikan Agama dan Budi 4 4 4 4 4 4


Pekerti

2. Pendidikan Pancasila dan 5 5 6 5 5 5


Kewarganegaraan

3. Bahasa Indonesia 8 9 10 7 7 7

4. Matematika 5 6 6 6 6 6

5. Ilmu Pengetahuan Alam - - - 3 3 3


6. Ilmu Pengetahuan Sosial - - - 3 3 3

Kelompok B (Umum)

7. Seni Budaya dan Prakarya 4 4 4 4 4 4

8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan 4 4 4 4 4 4


Kesehatan

Jumlah jam pelajaran per minggu 30 32 34 36 36 36

Keterangan:
1. Mata pelajaran Kelompok A merupakan kelompok mata pelajaran yang
muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat
2. Mata pelajaran Kelompok B merupakan kelompok mata pelajaran yang
muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi
dengan muatan/konten lokal
3. Mata pelajaran Kelompok B dapat berupa mata pelajaran muatan lokal
yang berdiri sendiri
4. Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah
5. Satu jam pelajaran beban belajar tatap muka adalah 35 menit
6. Beban belajar penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri, maksimal
40% dari waktu kegiatan tatap muka pelajaran yang bersangkutan
7. Satuan Pendidikan dapat menambah beban belajar per minggu sesuai
dengan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik,
sosial, budaya dan faktor lain yang dianggap penting
8. Untuk mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya, satuan pendidikan
wajib menyelenggarakan minimal 2 aspek dari 4 aspek yang disediakan
untuk setiap semester, aspek yang diikuti dapat diganti setiap
semesternya
9. Khusus untuk Madrasah Ibtidaiyah struktur kurikulum dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang diatur oleh Kementerian
Agama
10. Kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas Pendidikan Kepramukaan (wajib),
usaha kesehatan sekolah (UKS), palang merah remaja (PMR), dan
lainnya sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing satuan
Pendidikan
11. Pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran Tematik-
Terpadu kecuali mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti

Berikut ini adalah struktur kurikulum SMP/MTS.

Tabel 2 Struktur Kurikulum SMP/MTS


Mata Pelajaran Alokasi Waktu Per Minggu

VII VIII IX

Kelompok A

1. Pendidikan Agama dan Budi 3 3 3


Pekerti

2. Pendidikan Pancasila dan 3 3 3


Kewarganegaraan

3. Bahasa Indonesia 6 6 6

4. Matematika 5 5 5

5. Ilmu Pengetahuan Alam 5 5 5

6. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4

7. Bahasa Inggris 4 4 4

Kelompok B

8. Seni Budaya 3 3 3

9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan 3 3 3


Kesehatan

10. Prakarya dan/atau Informatika 2 2 2

Jumlah Jam Pelajaran Per Minggu 38 38 38


Keterangan:
f. Mata pelajaran Kelompok A merupakan kelompok mata pelajaran yang
muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat
g. Mata pelajaran Kelompok B merupakan kelompok mata pelajaran yang
muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi
dengan muatan/konten lokal
h. Mata pelajaran Kelompok B dapat berupa mata pelajaran muatan lokal
yang berdiri sendiri
i. Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah
j. Satu jam pelajaran beban belajar tatap muka adalah 40 (empat puluh)
menit
k. Beban belajar penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri, maksimal
50% dari waktu kegiatan tatap muka pelajaran yang bersangkutan
l. Satuan Pendidikan dapat menambah beban belajar per minggu sesuai
dengan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik,
sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta faktor lain yang
dianggap penting namun diperhitungkan pemerintah, maksimal 2 (dua)
jam/minggu
m. Untuk mata pelajaran Seni Budaya, satuan pendidikan wajib
menyelenggarakan minimal 2 aspek dari 4 aspek yang disediakan.
Peserta didik mengikuti salah satu aspek yang disediakan untuk setiap
semester, aspek yang diikuti dapat diganti setiap semesternya
n. Untuk mata pelajaran Prakarya dan/atau mata pelajaran Informatika,
satuan pendidikan menyelenggarakan salah satu atau kedua mata
pelajaran tersebut. Peserta didik dapat memilih salah satu mata
pelajaran yaitu mata pelajaran Prakarya atau mata pelajaran Informatika
yang disediakan oleh satuan Pendidikan
o. Dalam hal satuan pendidikan memilih mata pelajaran Prakarya, satuan
pendidikan wajib menyelenggarakan minimal 2 aspek dari 4 aspek yang
disediakan. Peserta didik mengikuti salah satu aspek yang disediakan
untuk setiap semester, aspek yang diikuti dapat diganti setiap
semesternya
p. Khusus untuk Madrasah Tsanawiyah struktur kurikulum dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang diatur oleh Kementerian
Agama
q. Kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas Pendidikan Kepramukaan (wajib),
usaha kesehatan sekolah (UKS), palang merah remaja (PMR), dan
lainnya sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing satuan
Pendidikan

Berikut ini adalah struktur kurikulum yang berlaku di jenjang SMA.

Tabel 3 Struktur Kurikulum Jenjang SMA/MA


Mata Pelajaran Alokasi Waktu Per Minggu

X XI XII

Kelompok A (Umum)

1. Pendidikan Agama dan Budi 3 3 3


Pekerti

2. Pendidikan Pancasila dan 2 2 2


Kewarganegaraan

3. Bahasa Indonesia 4 4 4

4. Matematika 4 4 4

5. Sejarah Indonesia 2 2 2

6. Bahasa Inggris 2 2 2

Kelompok B (Umum)

7. Seni Budaya 2 2 2

8. Pendidikan Jasmani, Olahraga 3 3 3


dan Kesehatan

9. Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2


Jumlah jam pelajaran kelompok A 24 24 24
dan B per minggu

Kelompok C (Peminatan)

Mata pelajaran peminatan akademik 9 atau 12 12 atau 16 12 atau 16

Mata pelajaran pilihan 6 atau 9 4 atau 8 4 atau 8

Jumlah jam pelajaran kelompok A, 42 44 44


B, dan C per minggu

Keterangan:

1. Mata pelajaran Kelompok A dan C merupakan kelompok mata pelajaran


yang muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat.
2. Mata pelajaran Kelompok B merupakan kelompok mata pelajaran yang
muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi
dengan muatan/konten lokal.
3. Mata pelajaran Kelompok B dapat berupa mata pelajaran muatan lokal
yang berdiri sendiri.
4. Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah
5. Satu jam pelajaran beban belajar tatap muka adalah 45 menit.
6. Beban belajar penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri, maksimal
60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan.
7. Satuan pendidikan dapat menambah beban belajar per minggu sesuai
dengan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik,
sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting, namun yang
diperhitungkan Pemerintah maksimal 2 (dua) jam/minggu.
8. Untuk Mata Pelajaran Seni Budaya dan Mata Pelajaran Prakarya dan
Kewirausahaan, satuan pendidikan wajib menyelenggarakan minimal 2
aspek dari 4 aspek yang disediakan. Peserta didik mengikuti salah satu
aspek yang disediakan untuk setiap semester, aspek yang diikuti dapat
diganti setiap semesternya.
9. Khusus untuk Madrasah Aliyah struktur kurikulum dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan yang diatur oleh Kementerian Agama.
10. Kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas Pendidikan Kepramukaan (wajib),
usaha kesehatan sekolah (UKS), palang merah remaja (PMR), dan
lainnya sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing satuan
pendidikan.

1. Mata Pelajaran Umum


Mata pelajaran umum kelompok A merupakan program kurikuler yang
bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan,
dan kompetensi keterampilan peserta didik sebagai dasar penguatan
kemampuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mata pelajaran umum kelompok B merupakan program kurikuler yang
bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan,
dan kompetensi keterampilan peserta didik terkait lingkungan dalam
bidang sosial, budaya, dan seni.
2. Mata Pelajaran Peminatan Akademik
Mata pelajaran peminatan akademik kelompok C merupakan program
kurikuler yang bertujuan mengembangkan kompetensi sikap,
kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik
sesuai dengan minat, bakat dan/atau kemampuan akademik dalam
sekelompok mata pelajaran keilmuan.

Tabel 4 Struktur Kurikulum Peminatan Jenjang SMA/MA


Mata Pelajaran Kelas

X XI XII

I. Peminatan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

1. Matematika 3 4 4

2. Biologi 3 4 4

3. Fisika 3 4 4

4. Kimia 3 4 4

II. Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial


1. Geografi 3 4 4

2. Sejarah 3 4 4

3. Sosiologi 3 4 4

4. Ekonomi 3 4 4

III. Peminatan Bahasa dan Budaya

1. Bahasa dan Sastra Indonesia 3 4 4

2. Bahasa dan Sastra Inggris 3 4 4

3. Bahasa dan Sastra Asing Lain (Arab, 3 4 4


Mandarin, Jepang, Korea, Jerman,
Perancis)
4. Antropologi 3 4 4

Mata Pelajaran Pilihan *)


Lintas minat dan/atau Pendalaman minat 6 atau 9 4 atau 8 4 atau 8
dan/atau Informatika

3. Mata Pelajaran Pilihan


Mata Pelajaran Pilihan merupakan mata pelajaran yang dikembangkan
berdasarkan kebutuhan dan perkembangan keilmuan, teknologi, dan
seni yang memiliki tingkat urgensi yang tinggi dan memiliki manfaat
jangka panjang bagi bangsa Indonesia.
Kurikulum SMA/MA dirancang untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk belajar berdasarkan minat mereka. Peserta
didik diperkenankan memilih Mata Pelajaran Lintas Minat dan/atau
Pendalaman
a. Minat dan/atau Mata Pelajaran Informatika. Pemilihan Peminatan
dan Pemilihan Mata Pelajaran Lintas Minat dan/atau Pendalaman
Minat
Pemilihan peminatan dilakukan peserta didik saat mendaftar pada
SMA/MA berdasarkan nilai rapor Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau yang sederajat,
nilai ujian nasional SMP/MTs atau yang sederajat, rekomendasi guru
bimbingan dan konseling/konselor di SMP/MTs atau yang sederajat,
dan hasil tes penempatan (placement test) ketika mendaftar di
SMA/MA, atau tes bakat dan minat oleh psikolog. Peserta didik
masih mungkin pindah peminatan paling lambat pada awal semester
kedua di Kelas X sepanjang daya tampung peminatan baru masih
tersedia, berdasarkan hasil pembelajaran berjalan pada semester
pertama dan rekomendasi guru bimbingan dan konseling, peserta
didik yang pindah peminatan wajib mengikuti dan tuntas matrikulasi
mata pelajaran yang belum dipelajari sebelum pembelajaran pada
peminatan baru dimulai.
Peserta didik dapat memilih minimal 3 mata pelajaran dari 4 mata
pelajaran yang terdapat pada satu peminatan, 1 mata pelajaran yang
tidak diambil beban belajarnya dialihkan ke mata pelajaran lintas
minat. Selain mengikuti mata pelajaran di peminatan yang
dipilihnya, setiap peserta didik harus mengikuti mata pelajaran
tertentu untuk lintas minat dan/atau pendalaman minat. Bila peserta
didik mengambil 3 mata pelajaran dari peminatan yang dipilihnya,
maka peserta didik tersebut dapat mengambil mata pelajaran lintas
minat sebanyak 9 jam pelajaran (3 mata pelajaran) di Kelas X atau
sebanyak 8 jam pelajaran (2 mata pelajaran) di Kelas XI dan XII.
Sedangkan bila peserta didik mengambil 4 mata pelajaran dari
peminatan yang dipilihnya, maka peserta didik tersebut dapat
mengambil mata pelajaran lintas minat sebanyak 6 jam pelajaran (2
mata pelajaran) di Kelas X atau sebanyak 4 jam pelajaran (1 mata
pelajaran) di Kelas XI dan XII.
Peserta didik yang mengambil Peminatan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam atau Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, lintas
minatnya harus diluar peminatan yang dipilihnya. Sedangkan
peserta didik yang mengambil Peminatan Bahasa dan Budaya, dapat
mengambil mata pelajaran lintas minat: (1) di luar; (2) di dalam; atau
(3) sebagian di dalam dan sebagian di luar, peminatan yang
dipilihnya. Mata pelajaran lintas minat yang dipilih sebaiknya tetap
dari Kelas X sampai dengan XII.
Sebagai contoh, peserta didik Kelas X yang memilih Peminatan
Bahasa dan Budaya, dapat mengambil 3 mata pelajaran yaitu Bahasa
dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, dan Antropologi.
Lintas minatnya dapat mengambil mata pelajaran: (1) Biologi,
Fisika, dan Kimia; (2) Geografi, Sejarah, dan Ekonomi; (3)
Matematika, Sosiologi, dan Bahasa Jerman; atau (4) Bahasa
Mandarin, Bahasa Arab, dan Bahasa Jepang. Alternatif (1), (2), dan
(3) merupakan contoh lintas minat di luar peminatan yang
dipilihnya, sedangkan alternatif (4) merupakan contoh lintas minat
di dalam peminatan yang dipilihnya. Peserta didik dapat menentukan
pilihannya masing-masing, sesuai dengan sumber daya
(ketersediaan guru dan fasilitas belajar) yang dimiliki SMA/MA.
SMA/MA yang tidak memiliki Peminatan Bahasa dan Budaya, dapat
menyediakan pilihan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
Bahasa dan Sastra Inggris, Antropologi atau salah satu mata
pelajaran dalam kelompok Bahasa Asing Lain sebagai pilihan mata
pelajaran lintas minat yang dapat diambil peserta didik dari
Peminatan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam atau Kelompok
Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, sesuai dengan sumber daya
(ketersediaan guru dan fasilitas belajar) yang dimilikinya.
Bagi peserta didik yang menggunakan pilihan untuk menguasai satu
mata pelajaran tertentu misalnya bahasa asing tertentu, dianjurkan
untuk memilih mata pelajaran yang sama sejak Kelas X sampai
Kelas XII.
Dianjurkan setiap SMA/MA memiliki ketiga peminatan. Peserta
didik di SMA/MA Kelas XII dapat mengambil mata kuliah pilihan
di perguruan tinggi yang akan diakui sebagai kredit dalam kurikulum
perguruan tinggi yang bersangkutan. Pilihan ini tersedia bagi peserta
didik SMA/MA yang memiliki kerjasama dengan perguruan tinggi
terkait.
Pendalaman minat mata pelajaran tertentu dalam peminatan dapat
diselenggarakan oleh satuan pendidikan melalui kerjasama dengan
perguruan tinggi di kelas XII.
a. Mata Pelajaran Informatika
Informatika merupakan salah satu disiplin ilmu yang berfungsi
memberikan kemampuan berpikir manusia dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang semakin kompleks agar dapat bersaing di
Abad ke-21. Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai salah satu
bagian dari Informatika merupakan kebutuhan dasar peserta didik
agar dapat mengembangkan kemampuannya pada era digital. Mata
Pelajaran Informatika merupakan mata pelajaran pilihan yang
diselenggarakan berdasarkan ketersediaan guru sesuai dengan
kualifikasi akademik dan kompetensi, serta sarana prasarana pada
satuan pendidikan.
Alokasi waktu untuk Mata Pelajaran Informatika di Kelas X
sebanyak 3 Jam Pelajaran; Kelas XI dan XII masing-masing
sebanyak 4 Jam Pelajaran.

Demikianlah struktur kurikulum yang berlaku bagi peserta didik pada


umumnya di setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Karena kurikulum untuk
peserta didik berkesulitan belajar spesifik secara khusus memang tidak ada,
maka mereka harus menggunakan kurikulum umum yang berlaku bagi
peserta didik pada umumnya. Dalam penggunaan kurikulum ini, memang
harus ada modifikasi secara khusus, terutama materi pembelajaran yang akan
diberikan kepada mereka. Materi dimodifikasi dan disesuaikan dengan
kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik.
B. Peta Kompetensi (KI-KD SD, SMP, SMA)
Kompetensi inti dan kompetensi dasar yang berlaku bagi peserta didik
berkesulitan belajar spesifik adalah sama dengan kompetensi inti dan
kompetensi dasar bagi anak pada umumnya. Berikut ini adalah kompetensi
inti dan kompetensi dasar untuk anak pada umumnya pada setiap jenjang
pendidikan di Indonesia.

1. Peta Kompetensi SD
Tabel 5 Kompetensi Inti Jenjang SD
Kompetensi Inti Kelas I Kompetensi Inti Kompetensi Inti
Kelas II Kelas III
1. Menerima dan 1. Menerima dan 1. Menerima dan
menjalankan ajaran menjalankan ajaran menjalankan
agama yang dianutnya agama yang ajaran agama yang
dianutnya dianutnya
2. Memiliki perilaku 2. Menunjukkan 2. Menunjukkan
jujur, disiplin, perilaku jujur, perilaku jujur,
tanggung jawab, disiplin, tanggung disiplin, tanggung
santun, peduli, dan jawab, santun, jawab, santun,
percaya diri dalam peduli, dan percaya peduli, dan
berinteraksi dengan diri dalam percaya diri dalam
keluarga, teman, dan berinteraksi dengan berinteraksi
guru keluarga, teman, dengan keluarga,
dan guru teman, guru dan
tatangganya
3. Memahami 3. Memahami 3. Memahami
pengetahuan faktual pengetahuan faktual pengetahuan
dengan cara dengan cara faktual dengan
mengamati mengamati cara mengamati
[mendengar, melihat, [mendengar, [mendengar,
membaca] dan melihat, membaca] melihat, membaca]
menanya berdasarkan dan menanya dan menanya
rasa ingin tahu berdasarkan rasa berdasarkan rasa
tentang dirinya, ingin tahu tentang ingin tahu tentang
makhluk ciptaan dirinya, makhluk dirinya, makhluk
Tuhan dan ciptaan Tuhan dan ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan kegiatannya, dan kegiatannya, dan
benda-benda yang benda-benda yang benda-benda yang
dijumpainya di rumah dijumpainya di dijumpainya di
dan di sekolah
rumah dan di rumah dan di
sekolah sekolah
5. Menyajikan 4. Menyajikan
pengetahuan pengetahuan
4. Menyajikan faktual dalam faktual dalam
pengetahuan faktual bahasa yang jelas bahasa yang jelas,
dalam bahasa yang dan logis, dalam sistematis dan
jelas dan logis, dalam karya yang estetis, logis, dalam karya
karya yang estetis, dalam gerakan yang estetis, dalam
dalam gerakan yang yang gerakan yang
mencerminkan anak mencerminkan mencerminkan
sehat, dan dalam anak sehat, dan anak sehat, dan
tindakan yang dalam tindakan dalam tindakan
mencerminkan yang yang
perilaku anak beriman mencerminkan mencerminkan
dan berakhlak mulia perilaku anak perilaku anak
beriman dan beriman dan
berakhlak mulia berakhlak mulia
Kompetensi Inti Kelas Kompetensi Inti Kompetensi Inti
IV Kelas V Kelas VI
1. Menerima, 1. Menerima, 1. Menerima,
menjalankan, dan menjalankan, dan menjalankan, dan
menghargai ajaran menghargai ajaran menghargai ajaran
agama yang dianutnya agama yang agama yang
dianutnya dianutnya
2. Menunjukkan 2. Menunjukkan 2. Menunjukkan
perilaku jujur, perilaku jujur, perilaku jujur,
disiplin, tanggung disiplin, tanggung disiplin, tanggung
jawab, santun, peduli, jawab, santun, jawab, santun,
dan percaya diri peduli, dan peduli, dan
dalam berinteraksi percaya diri dalam percaya diri dalam
dengan keluarga, berinteraksi berinteraksi
teman, guru, dan dengan keluarga, dengan keluarga,
tetangganya teman, guru, dan teman, guru, dan
tetangganya serta tetangganya serta
cinta tanah air cinta tanah air
3. Memahami 3. Memahami 3. Memahami
pengetahuan faktual pengetahuan pengetahuan
dengan cara faktual dengan faktual dengan
mengamati dan cara mengamati cara mengamati
menanya berdasarkan dan menanya dan menanya
rasa ingin tahu berdasarkan rasa berdasarkan rasa
tentang dirinya, ingin tahu tentang ingin tahu tentang
makhluk ciptaan dirinya, makhluk dirinya, makhluk
Tuhan dan ciptaan Tuhan dan ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan kegiatannya, dan kegiatannya, dan
benda-benda yang benda-benda yang benda-benda yang
dijumpainya di dijumpainya di dijumpainya di
rumah, di sekolah dan rumah, di sekolah rumah, di sekolah
tempat bermain dan tempat dan tempat
bermain bermain
4. Memahami 4. Memahami 4. Memahami
pengetahuan faktual pengetahuan pengetahuan
dengan cara faktual dengan faktual dengan
mengamati dan cara mengamati cara mengamati
menanya berdasarkan dan menanya dan menanya
rasa ingin tahu berdasarkan rasa berdasarkan rasa
tentang dirinya, ingin tahu tentang ingin tahu tentang
makhluk ciptaan dirinya, makhluk dirinya, makhluk
Tuhan dan ciptaan Tuhan dan ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan kegiatannya, dan kegiatannya, dan
benda-benda yang benda-benda yang benda-benda yang
dijumpainya di dijumpainya di dijumpainya di
rumah, di sekolah dan rumah, di sekolah rumah, di sekolah
tempat bermain dan tempat dan tempat
bermain bermain

2. Peta Kompetensi SMP


Tabel 6 Kompetensi Inti Jenjang SMP
Kompetensi Inti Kelas Kompetensi Inti Kompetensi Inti
VII Kelas VIII Kelas IX
1. Menghayati dan 1. Menghayati dan 1. Menghayati dan
menghargai ajaran menghargai ajaran menghargai ajaran
agama yang dianutnya agama yang agama yang
dianutnya dianutnya
2. Menghargai dan 2. Menghargai dan 2. Menghargai dan
menghayati perilaku menghayati menghayati
jujur, disiplin, perilaku jujur, perilaku jujur,
tanggungjawab, disiplin, disiplin,
peduli (toleransi, tanggungjawab, tanggungjawab,
gotong royong), peduli (toleransi, peduli (toleransi,
santun, percaya diri, gotong royong), gotong royong),
dalam berinteraksi santun, percaya santun, percaya
secara efektif dengan diri, dalam diri, dalam
lingkungan sosial dan berinteraksi secara berinteraksi secara
alam dalam jangkauan efektif dengan efektif dengan
pergaulan dan lingkungan sosial lingkungan sosial
keberadaannya dan alam dalam dan alam dalam
jangkauan jangkauan
pergaulan dan pergaulan dan
keberadaannya keberadaannya
3. Memahami 3. Memahami dan 3. Memahami dan
pengetahuan (faktual, menerapkan menerapkan
konseptual, dan pengetahuan pengetahuan
prosedural) (faktual, (faktual,
berdasarkan rasa ingin konseptual, dan konseptual, dan
tahunya tentang ilmu prosedural) prosedural)
pengetahuan, berdasarkan rasa berdasarkan rasa
teknologi, seni, ingin tahunya ingin tahunya
budaya terkait tentang ilmu tentang ilmu
fenomena dan pengetahuan, pengetahuan,
kejadian tampak mata teknologi, seni, teknologi, seni,
budaya terkait budaya terkait
fenomena dan fenomena dan
kejadian tampak kejadian tampak
mata mata
4. Mencoba, mengolah, 4. Mengolah, menyaji, 4. Mengolah,
dan menyaji dalam dan menalar dalam menyaji, dan
ranah konkret ranah konkret menalar dalam
(menggunakan, (menggunakan, ranah konkret
mengurai, merangkai, mengurai, (menggunakan,
memodifikasi dan merangkai, mengurai,
membuat) dan ranah memodifikasi dan merangkai,
abstrak (menulis, membuat) dan memodifikasi dan
membaca, ranah abstrak membuat) dan
menghitung, (menulis, membaca, ranah abstrak
menggambar dan menghitung, (menulis,
mengarang) sesuai menggambar dan membaca,
dengan yang mengarang) sesuai menghitung,
dipelajari di sekolah dengan yang menggambar dan
dan sumber lain yang dipelajari di mengarang) sesuai
sama dalam sudut sekolah dan sumber dengan yang
pandang/teori lain yang sama dipelajari di
dalam sudut sekolah dan
pandang/teori sumber lain yang
sama dalam sudut
pandang/teori
3. Peta Kompetensi SMA
Tabel 7 Kompetensi Inti Jenjang SMA
Kompetensi Inti Kelas Kompetensi Inti Kelas Kompetensi Inti Kelas
X XI XII
1. Menghayati dan 1. Menghayati dan 1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran mengamalkan ajaran mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya agama yang dianutnya agama yang dianutnya

2. Menghayati dan 2. Menghayati dan 2. Menghayati dan


mengamalkan perilaku mengamalkan perilaku mengamalkan perilaku
jujur, disiplin, jujur, disiplin, jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli tanggungjawab, peduli tanggungjawab, peduli
(gotong royong, (gotong royong, (gotong royong,
kerjasama, toleran, kerjasama, toleran, kerjasama, toleran,
damai), santun, damai), santun, damai), santun,
responsif dan pro-aktif responsif dan pro-aktif responsif dan pro-aktif
dan menunjukkan sikap dan menunjukkan dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari sikap sebagai bagian sebagai bagian dari
solusi atas berbagai dari solusi atas solusi atas berbagai
permasalahan dalam berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara permasalahan dalam berinteraksi secara
efektif dengan berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan efektif dengan lingkungan sosial dan
alam serta dalam lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri alam serta dalam menempatkan diri
sebagai cerminan menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan
dunia bangsa dalam dunia
pergaulan dunia

3. Memahami,menerapkan 3. Memahami, 3. Memahami,


, menganalisis menerapkan, dan menerapkan,
pengetahuan faktual, menganalisis menganalisis dan
konseptual, prosedural pengetahuan faktual, mengevaluasi
berdasarkan rasa konseptual, pengetahuan faktual,
ingintahunya tentang prosedural, dan konseptual, prosedural,
ilmu pengetahuan, metakognitif dan metakognitif
teknologi, seni, budaya, berdasarkan rasa ingin berdasarkan rasa ingin
dan humaniora dengan tahunya tentang ilmu tahunya tentang ilmu
wawasan kemanusiaan, pengetahuan, pengetahuan, teknologi,
kebangsaan, teknologi, seni, seni, budaya, dan
kenegaraan, dan budaya, dan humaniora dengan
peradaban terkait humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
penyebab fenomena dan wawasan kebangsaan,
kejadian, serta kemanusiaan, kenegaraan, dan
menerapkan kebangsaan, peradaban terkait
pengetahuan prosedural kenegaraan, dan penyebab fenomena
pada bidang kajian yang peradaban terkait dan kejadian, serta
spesifik sesuai dengan penyebab fenomena menerapkan
bakat dan minatnya dan kejadian, serta pengetahuan prosedural
untuk memecahkan menerapkan pada bidang kajian
masalah pengetahuan yang spesifik sesuai
prosedural pada dengan bakat dan
bidang kajian yang minatnya untuk
spesifik sesuai dengan memecahkan masalah
bakat dan minatnya
untuk memecahkan
masalah

4. Mengolah, menalar, dan 4. Mengolah, menalar, 4. Mengolah, menalar,


menyaji dalam ranah dan menyaji dalam menyaji, dan mencipta
konkret dan ranah ranah konkret dan dalam ranah konkret
abstrak terkait dengan ranah abstrak terkait dan ranah abstrak
pengembangan dari dengan terkait dengan
yang dipelajarinya di pengembangan dari pengembangan dari
sekolah secara mandiri, yang dipelajarinya di yang dipelajarinya di
dan mampu sekolah secara sekolah secara mandiri
menggunakan metoda mandiri, bertindak serta bertindak secara
sesuai kaidah keilmuan secara efektif dan efektif dan kreatif, dan
kreatif, serta mampu mampu menggunakan
menggunakan metoda metoda sesuai kaidah
sesuai kaidah keilmuan
keilmuan

Kompetensi inti yang harus dicapai oleh anak berkesulitan belajar


spesifik juga sama dengan kompetensi inti yang harus dicapai oleh anak pada
umumnya. Sebagaimana kita ketahui, anak berkesulitan belajar spesifik
mempunyai kesulitan yang khusus sehingga mereka memerlukan bantuan
untuk mencapai semua kompetensi tersebut.

C. Modifikasi Kurikulum untuk Anak Berkesulitan Belajar Spesifik


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa di Indonesia masih belum ada
kurikulum secara khusus yang dibuat untuk anak berkesulitan belajar maka
mereka harus menggunakan kurikulum yang berlaku untuk anak pada
umumnya. Karena hal inilah maka kita akan belajar memodifikasi kurikulum
yang ada sehingga bisa sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak
berkesulitan belajar. Adapun komponen yang bisa dimodifikasi adalah
sebagai berikut.
a. Komponen Tujuan
Tujuan merupakan salah satu komponen kurikulum yang bisa
dimodifikasi sehingga anak berkesulitan belajar bisa belajar sesuai dengan
kemampuan mereka. Tujuan adalah seperangkat kompetensi atau
kemampuan dalam segi kognitif, afektif dan psikomotor yang akan dicapai
oleh siswa setelah siswa menyelesaikan program pendidikan dalam kurun
waktu tertentu. Tujuan pendidikan yang perlu dipahami oleh guru dalam
membelajarkan murid adalah tujuan pembelajaran pada tingkat institusi atau
lembaga pendidikan dan tujuan pembelajaran.
Memodifikasi tujuan berarti merubah tujuan-tujuan pembelajaran yang
ada dalam kurikulum umum untuk disesuaikan dengan kondisi anak
berkesulitan belajar. Memodifikasi komponen tujuan bagi anak berkesulitan
belajar bisa dilakukan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor dengan
menambah ataupun mengurangi. Misalnya, jika pada aspek kognitif, anak
mengalami kesulitan maka guru perlu memberikan tambahan waktu untuk
anak menelaah dan memahami apa yang sedang dipelajari. Atau tujuan pada
aspek kognitif dikurangi, sedangkan tujuan pada aspek afektif dan
psikomotor agar ditambah tetapi harus sesuai dengan acuan dalam kurikulum
yang berlaku. Demikian juga dengan aspek yang lain.
b. Komponen Isi atau Materi
Materi adalah isi atau konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya
bisa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Materi
pembelajaran bisa berupa konsep, teori, informasi, petunjuk dan lain-lain.
Materi pembelajaran yang akan diajarkan kepada siswa harus sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai dan mendukung pencapaian kompetensi inti dan
kompetensi dasar. Memodifikasi materi atau isi berarti mengubah materi-
materi yang akan diberikan dan menyesuaikannya dengan kemampuan anak
berkesulitan belajar. Modifikasi yang dilakukan bisa berkaitan dengan
keluasan, kedalaman, dan kesulitan materi atau isi. Jika materi yang dimiliki
oleh guru berupa informasi yang terlalu luas dan terlalu dalam, maka guru
harus mempersempit dan memperpendeknya dengan menyajikan inti-intinya
saja. Begitu juga dengan materi yang terlalu sulit, guru perlu mencari cara
untuk menyampaikannya sehingga tidak terlalu sulit bagi anak berkesulitan
belajar.
c. Komponen Proses atau Metode
Proses adalah kegiatan atau aktivitas yang dijalani oleh siswa dalam
upayanya untuk menguasai materi yang dipelajari untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Proses belajar atau kegiatan belajar mengajar
merupakan hal yang sama, yaitu serangkaian kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru dan siswa baik di dalam maupun di luar kelas untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Memodifikasi proses berarti membedakan
kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh anak berkesulitan belajar. Metode
dan strategi pembelajaran yang digunakan haruslah metode dan strategi yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan hambatan yang dimiliki oleh anak
berkesulitan belajar. Penggunaan metode atau strategi yang umumbisa
digunakan dengan modifikasi yang disesuaikan dengan keadaan anak
berkesulitan belajar.
d. Komponen Penilaian
Evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengetahui apakah para
siswa telah berhasil mencapai atau menguasai kompetensi-kompetensi yang
dijabarkan dalam tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam
melakukan evaluasi terhadap murid berkesulitan belajar, guru perlu
merancang beraneka ragam teknik atau cara yang akan digunakan untuk
mengetahui keberhasilan pembelajaran. Memodifikasi evaluasi adalah
mengubah sistem penilaian hasil belajar dan disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan siswa berkesulitan belajar. Perubahan bisa dilakukan pada soal-
soal ujian, waktu mengerjakan soal, teknik/cara melakukan evaluasi dan
tempat evaluasi dilakukan.
D. Prinsip-prinsip Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar
Spesifik
Di dalam pembelajaran terdapat beberapa pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengembangkan strategi. Beberapa pendekatan berkut ini
merupakan dasar pemilihan strategi yang digunakan dalam proses
pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar.

1. Pendekatan Perkembangan
Pendekatan ini menekankan pada kematangan keterampilan-
keterampilan dalam proses berpikir yang berkembang secara berurutan.
Setiap individu berkembang ada tahapannya. Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa kemampuan anak dalam belajar dipengaruhi oleh
kondisi kematangan keterampilan sebelumnya. Sebagai contoh, seorang
anak dapat berjalan dengan baik dipengaruhi oleh kemampuannya untuk
berdiri dan keterampilan menggerakkan kaki.
Beberapa penerapan dari pendekatan perkembangan ini dalam melihat
permasalahan peserta didik berkesulitan belajar adalah:1) penyebab utama
dari kesulitan di sekolah disebabkan oleh ketidakmatangan dalam berbagai
keterampilan, 2) lingkungan pendidikan seringkali menghambat peserta
didik dalam belajar, sekolah harus merancang pengalaman belajar untuk
memperkuat perkembangan alami peserta didik berkesulitan belajar, 3)
konsep kesiapan terkait kondisi kematangan perkembangan dan
pengalaman awal yang dibutuhkan dapat dipelajari yaitu dengan
memperkuat kemampuan prasyarat atau kesiapan yang dibutuhkan untuk
mempelajari kemampuan berikutnya.

2. Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini menekankan pada proses berpikir, belajar, dan
memperoleh pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik. Asumsi dari
pendekatan ini bahwa hasil belajar peserta didik adalah sebuah
pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik saat ini
dipengaruhi oleh kemampuan dalam pemrosesan informasi. Prinsip dasar
dari pendekatan ini mempercayai bahwa peserta didik berbeda dalam
kemampuan memahami proses dan menggunakan informasi, maupun
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
Pendekatan ini mengharuskan guru untuk dapat membangun dan
mengembangkan fungsi-fungsi pemrosesan informasi yang menjadi
kelemahan peserta didik berkesulitan belajar. Selain itu pendekatan ini
mengharuskan guru untuk dapat merancang pembelajaran yang
menguntungkan bagi peserta didik dengan memperkuat kelemahannya.

3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini menekankan pada bagaimana perilaku belajar
dipertajam karena adanya stimulus yang mengawali (antecedent) dan
adanya penguatan (reinforcement) yang menyertai respon. Asumsi dari
pendekatan ini bahwa peserta didik belajar dengan proses pembiasaan,
pengulangan, dan latihan. Berdasarkan pendekatan ini pembelajaran bagi
peserta didik mekankan pada tugas-tugas yang harus dipelajari.
Pendekatan ini mengharuskan guru menentukan keterampilan-
keterampilan khusus yang ingin diajarkan secara jelas dan secara eksplisit
mengajarkan setiap langkah atau keterampilan. Lingkungan belajar harus
terstruktur untuk memastikan peserta didik memahami apa yang akan
dipelajari.
Prinsip-prinsip pembelajaran bagi peserta didik berkesulitan
belajar menurut Samuel Kirk (1993) adalah:
• Menentukan kebutuhan khusus dari peserta didik dengan
melakukan proses asesmen
• Mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek secara
berkala
• Melakukan analisa terhadap tugas-tugas yang akan diajarkan
• Memulai pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan peserta
didik
• Menentukan bagaimana akan mengajarkan kemampuan tersebut
• Memilih penghargaan yang sesuai bagi peserta didik
• Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai
keberhasilan
• Memberikan waktu kepada peserta didik untuk memperbanyak
latihan
• Memberikan umpan balik kepada peserta didik
• Memantau kemajuan siswa secara berkesinambungan.

E. Memilih Metode dan Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan


Belajar Spesifik

a. Pembelajaran bagi Peserta Didik Berkesulitan Membaca


Membaca merupakan keterampilan dasar dari kurikulum dalam
pembelajaran di sekolah. Pengajaran membaca memiliki tujuan untuk
memberi peserta didik keterampilan untuk membaca dengan lancar dan
memahami berbagai teks baik dalam proses pembelajaran di sekolah
maupun di lingkungan sekitar. Membaca merupakan salah satu bentuk
komunikasi yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Membaca merupakan sebuah proses memahami simbol-simbol bahasa tulis,
dimana pemahaman akan simbol-simbol bahasa ini dilakukan melalui
proses decoding dan pemahaman (Mercer & Mercer, 1999). Proses
decoding merupakan proses konversi dari bahasa tulis ke dalam bahasa ujar
(Sadosli, 2004). Proses inilah yang pertama kali dilakukan oleh peserta didik
ketika membaca. Keterampilan membaca dibagi menjadi dua bagian, yaitu
membaca permulaan (pengenalan kata) dan membaca pemahaman.

a. Membaca Permulaan
Membaca permulaan merupakan proses membaca tingkat rendah
(Tarigan, 2008), dimana peserta didik yang membaca ditandai dengan
adanya interaksi antara peserta didik dengan simbol-simbol tulis yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa ujar oleh peserta didik. Dalam
membaca peserta didik belajar untuk:
• Mengidentifikasi huruf dengan menyebutkannya
• Mengucapkan bunyi lazim dari huruf-huruf
• Menggabungkan bunyi dari huruf-huruf menjadi kata-kata yang
bermakna.
• Membaca kata-kata yang acak
• Membaca kata, kemudian kaliamt, lalu teks yang lebih panjang.

Keterampilan dalam membaca permulaan terdiri dari kosa kata dasar,


analisis bunyi (kesadaran fonologis), struktur analisis, dan makna kata
(Choate, 1995). Untuk menguasai kosa kata dasar, prasyarat yang
dibutuhkan adalah diskriminasi visual, peserta didik harus mampu
membedakan bentuk agar dapat membedakan bentuk-bentuk huruf dalam
proses membaca. Dari keseluruhan keterampilan yang harus dikuasai agar
mampu membaca, masing-masing keterampilan memiliki peran penting.
Salah satunya adalah analisis bunyi (kesadaran fonologis), kesadaran
fonologis adalah mengetahui dan mempraktikkan bahwa bahasa ujaran
(lisan) dapat dipecah menjadi unit yang lebih kecil (kata, suku kata, fonem),
yang dapat dimanipulasi dalam sebuah sistem abjad atau ortografi. Analisis
bunyi (kesadaran fonologis) meliputi pembedaan, penghitungan, rima,
aliterasi, penggabungan, dan perubahan suku kata, rima awal, serta fonem.
Bentuk-bentuk kesulitan dalam membaca, diantaranya adalah:
• Penambahan (Addition)
Menambahkan huruf pada suku kata
Contoh: mari-kemari, buku-bukuku
• Penghilangan (Omission)
Menghilangkan huruf pada suku kata
Contoh: kompor-kopor, kepada- pada
• Pembalikkan kanan-kiri (inversion)
Membalikkan bentuk huruf, kata, angka dengan arah terbalik.
Contoh: buku-duku, palu-lupa
• Pembalikkan atas-bawah (Reversal)
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik
atas-bawah.
Contoh: m-w, mamas-wawas, 6 - 9
• Penggantian (Subtitusi)
Mengganti huruf atau angka
Contoh: nanas-mamas, meja-mega

Strategi dalam pembelajaran membaca permulaan cukup


bervariasi, namun beberapa strategi berikut yang sesuai dengan karakteristik
peserta didik berkesulitan belajar, yaitu:
• Reading Mastery and Corrective Reading
Adalah program membaca yang sangat terstruktur, sistematis yang
menggunakan model pengajaran langsung dan metode sintesis untuk
pengajaran bunyi dan analisis struktural. Program ini secara langsung
mengajarkan peserta didik tentang hubungan setiap bunyi dan simbol,
penggabungan bunyi, dan bagaimana membangun bunyi menjadi
sebuah kata.
Penerapan dalam kelas
PROSEDUR: Reading mastery and Corrective Reading
i. Merancang pembelajaran dengan memaksimalkan jumlah peserta
didik yang dapat terlibat untuk membentuk kelompok-kelompok
kecil.
ii. Ajarkan kepada peserta didik untuk menggunakan strategi untuk
memahami informasi dibandingkan meminta mereka untuk
menghapal informasi.
iii. Ajarkan peserta didik untuk menggeneralisasi pengetahuan dengan
meminta peserta didik untuk membangun kata baru dari bunyi huruf
yang telah dipelajari
iv. Membuat rencana pengajaran yang mencakup tahap pengenalan,
diikuti praktik terbimbing, praktik mandiri, dan mengulas.
v. Pengetahuan dan keterampilan prasyarat diajarkan terlebih dahulu,
misalnya: ajarkan bunyi terlebih dahulu sebelum menjadi kata.
vi. Ajarkan dari yang mudah ke yang sulit
vii. Monitor kinerja peserta didik dan segera mengoreksi kesalahan-
kesalahan yang muncul
viii. Gunakan penguatan untuk menguatkan kemampuan yang sudah
dikuasai oleh peserta didik.
• Multisensory Structured languange
Strategi ini menggabungkan beberapa pengajaran yang didalam
kegiatannya melibatkan beberapa modalitas, yaitu visual – auditori -
taktil – kinestetik atau dikenal juga dengan strategi VAKT. Dengan
strategi ini peserta didik akan menangkap informasi dengan seluruh
indera sehingga informasi tersebut dimaknai dan dipahami secara utuh
oleh seluruh tubuh manusia.
Penerapan di dalam kelas
PROSEDUR:
i. Guru bertanya kepada peserta didik mengenai kata apa yang ingin
dipelajari dengan memberikan berbagai macam kartu gambar.
ii. Guru menulis kata yang diucapkan oleh peserta didik berdasarkan
gambar yang ditunjuk oleh peserta didik dengan tulisan tangan yang
besar sekaligus mengucapkan kata tersebut secara natural.
iii. Peserta didik menelusuri kata dengan jarinya sambil mengucapkan
keseluruhan kata secara perlahan untuk memulai dan mengakhiri
ucapan dan tulisan pada saat yang sama.
iv. Peserta didik melakukan tahap ketiga berulang kali hingga ia merasa
yakin.
v. Peserta memvisualisasikan dengan cara menelusur kata di udara
dengan jarinya.
vi. Setelah tahap sebelumnya selesai guru memberikan kartu kata yang
terbuat dari bahan bertekstur dan meminta peserta didik untuk
menelusuri huruf pada kartu kata tersebut
vii. Kemudian peserta didik menutup kartu kata tersebut lalu berusaha
untuk menulis kata dari ingatan dan mengucapkan kata tersebut.
viii. Peserta didik membandingkan hasil tulisannya dengan tulisan
tangan/kartu kata yang dibuat oleh guru.
ix. Mengulas kata yang sudah dipahami setiapkali akan mengajarkan
kata baru agar kata lama tetap dikuasai oleh peserta didik.

b. Membaca Pemahaman
Ada lima konsep mengenai membaca, yaitu: 1) membaca sebagai
sebuah tindakan aktif dalam menelusuri makna; 2) membaca merupakan
proses membangun makna dari teks; 3) membaca adalah proses yang
berstrategi; 4) membaca adalah sebuah proses interaksi; 5) membaca
sebagai kegiatan belajar bahasa yang merupakan media bersosialisasi
(Bos dan Vaughn, 2009: 243) .
Untuk mampu memahami sebuah bacaan ada keterampilan yang
harus dikuasai oleh peserta didik. Menurut Choate dan Enright
(1992:174) membaca pemahaman dibagi menjadi empat sub keterampilan,
yaitu : literal comprehension (pemahaman literal), intepretative
comprehension (pemahaman interpretatif), critical comprehension
(pemahaman kritis), dan words in context (makna kata dalam konteks).
Pemahaman literal meliputi membaca dan memahami baris-baris
yang terdapat dalam teks untuk mengenal rincian-rincian urutan kejadian.
Atau memahami makna yang bersifat eksplisit termasuk di dalamnya
mengenal urutan, dan fakta-fakta yang secara eksplisit terdapat dalam teks.
Membaca interpretatif adalah memahami informasi yang
tersembunyi dalam teks, atau memahami makna yang terkandung di
dalamnya. Pemahaman interpretatif meliputi menemukan ide utama, sebab
akibat, menggambarkan kesimpulan, dan meringkas isi teks.
Berikutnya pemahaman kritis, adalah membaca untuk makna-makna
yang bersifat transplicit. Pemahaman kritis merupakan gabungan dari
pemahaman literal dan intepretatif. Rubin (Samsu, 2011: 23) berpendapat
hal yang sama, bahwa pemahaman kritis merupakan gabungan dari
pemahaman sebelumnya yang melibatkan evaluasi, evaluasi pribadi, dan
kebenaran apa yang dibacanya.
Keterampilan terakhir adalah pemahaman makna kata dalam
konteks merupakan kelanjutan dari keterampilan mengenal kata pada
tahap membaca pengenalan kata. Peserta didik akan menyampaikan apa
yang dibacanya jika dia dapat mengetahui kata yang sesuai dengan konteks
pada tiap-tiap kalimat.
Keterampilan membaca seseorang tidaklah datang dengan
sendirinya, melainkan melalui proses belajar bagaimana membaca itu
dilakukan. Proses belajar membaca perlu dilakukan karena melalui
membaca seseorang mendapatkan pengalaman dan memperoleh informasi
demi keperluan ilmu pengetahuan.
Untuk memperoleh keterampilan membaca pemahaman seseorang
harus melalui proses pembelajaran. Menurut Wardani (Samsu, 2011: 34)
proses pembelajaran merupakan sistem yang sangat kompleks yang sering
disebut sebagai kotak hitam yang sukar dipahami. Sedangkan Santosa
(Samsu, 2011:34) mengatakan pembelajaran merupakan terjemahan dari
instructional yakni proses memberi rangsangan kepada peserta didik
supaya belajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran
merupakan aktivitas memberi rangsangan kepada peserta didik agar
mencapai keterampilan membaca pemahaman.
Menurut McLaughlin (Farida, 2007:116) membaca pemahaman
memiliki prinsip-prinsip membaca yang didasarkan pada penelitian yang
paling mempengaruhi membaca pemahaman, yaitu: 1) pemahaman
merupakan proses konstruktivis sosial; 2) keseimbangan kerangka kerja
kurikulum membantu perkembangan pemahaman; 3) guru yang
profesional mempengaruhi belajar peserta didik; 4) pembaca yang baik
memegang peranan yang strategis dan berperan aktif dalam proses
membaca; 5) membaca hendaknya terjadi dalam konteks yang bermakna;
6) peserta didik menemukan manfaat membaca yang berasal dari teks pada
berbagai tingkat kelas; 7) perkembangan kosakata dan pembelajaran
mempengaruhi pemahaman membaca; 8) pengikutsertaan adalah suatu
faktor kunci dalam proses pemahaman; 9) strategi dan keterampilan
membaca sudah biasa diajarkan; 10) asesmen yang dinamis
menginformasikan pembelajaran membaca pemahaman.
Strategi dalam pembelajaran membaca pemahaman diantaranya
adalah:
• Collaborative Strategic Reading
Peserta didik berkesulitan belajar membaca harus berjuang
untuk mampu menguasai keterampilan membaca pemahaman, karena
dalam membaca pemahaman diperlukan perhatian yang cukup panjang
terhadap beberapa hal. Oleh sebab itu diperlukan strategi belajar yang
mampu mengarahkan mereka dalam menguasai keterampilan membaca
pemahaman.
Collaborative strategic reading adalah strategi yang melibatkan
peserta didik secara berpasangan atau berkelompok serta mengajarkan
peserta didik untuk mencatat apa yang mereka pelajari melalui
pembelajaran (Bos And Vaughn, 2009: 337). Strategi ini membantu
peserta didik untuk memperbaiki keterampilan membaca pemahaman,
menambah kosa kata, dan bekerja sama dengan teman sebaya. Strategi
ini merupakan strategi yang dapat diajarkan pada semua level kelas
(Bender, 2003: 156).
Menurut Christine (2001:23) collaborative strategic reading
merupakan strategi yang ideal untuk meningkatkan keterampilan
membaca pemahaman. Dalam menggunakan strategi ini peserta didik
ditempatkan dalam kelompok belajar kolaboratif yang terdiri dari
empat sampai enam orang peserta didik. Para peserta didik bekerjasama
untuk mencapai tugas utama dalam membaca pemahaman.
Dalam collaborative strategic reading peserta didik belajar
melalui tiga tahapan yang akan membawa mereka melalui kegiatan
sebelum membaca, saat membaca dan setelah membaca.
Dalam tahapan sebelum membaca kegiatan yang akan
dilakukan oleh peserta didik yaitu Preview yang meliputi kegiatan
brainstrorming yaitu mengaktifkan pengetahuan mengenai suatu topik
dan memprediksi, yang di dalam kegiatan ini peserta didik diajarkan
untuk melihat judul, kata kunci, gambar, dan informasi lainnya untuk
membantu mengidentifikasi apa yang mereka ketahui tentang suatu
topik untuk membuat perkiraan. Tujuan kegiatan ini adalah agar peserta
didik mampu menangkap pesan sebanyak-banyaknya dari bacaan,
mengaktifkan pengetahuan tentang topik, membuat prediksi tentang
apa yang mereka baca, serta mencari tahu ketertarikan mereka dalam
topik hari itu.
Tahapan saat proses membaca terdapat dua kegiatan, pertama
adalah click and clunk. Click adalah bagian dari teks yang memberikan
makna, sedangkan clunk adalah bagian dari teks yang sulit dimengerti
atau tidak jelas. Strategi ini didesain untuk membantu peserta didik
dalam memantau pemahaman mereka dan untuk membantu
memperbaiki pemahaman peserta didik. Dalam kegiatan ini ada dua
tahap, yaitu: (1) tahap monitor, yaitu memantau bagian atau kata yang
sulit dimengerti, (2) fix up, yaitu memperbaiki kata yang sulit
dimengerti oleh peserta didik. Kegiatan kedua yaitu getting the gist
(mendapatkan inti sari cerita). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengajarkan peserta didik untuk mengulangi kembali dengan
menggunakan kata-kata sendiri, untuk memastikan peserta didik
memahami apa yang mereka baca. Peserta didik mempelajari kegiatan
ini dengan membaca setiap bagian kemudian membuat pertanyaan
sendiri dengan mengikuti pertanyaan tentang apa, siapa, dan hal penting
apakah yang ada dalam bacaan tersebut.
Tahapan terakhir adalah tahap setelah membaca, di dalam
tahapan ini kegiatannya adalah wrap-up (meringkas). Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan
memori tentang apa yang peserta didik pelajari. Kegiatan pada tahap
setelah membaca ini dibagi menjadi dua, yaitu: (1) ask the question,
peserta didik membuat pertanyaan dan jawaban tentang ide kunci/ide
pokok dari bacaan dan mendiskusikan apa yang telah mereka dapat dari
bacaan dengan menggunakan kata tanya apa, siapa, kapan, mengapa,
dan bagaimana, kemudian mengulas kembali apa yang mereka dapat
dari bacaan, (2) review, peserta didik mengulas bacaan dengan
merangkum apa yang mereka pelajari menggunakan kalimat sendiri.
Proses dan alur pelaksanaan strategi membaca kolaboratif dapat
diilustrasikan dalam bentuk gambar sebagai berikut

Sebelum Membaca Selama Membaca Setelah Membaca

Preview Click & Clunk Wrap Up


1. Brainstorming 1. Monitor A. Ask the question
Mengaktifkan Menemukan kata yang Dengan rumus 5W/1H
pengetahuan peserta sulit/tidak dipahami. B. Review
didik mengenai suatu Mengulang kembali apa
topik. 2. Fix-up yang telah dibaca
2. Predict memperbaiki/mencari tahu
Membuat perkiraan kata yang sulit.

Get the gist


a. Ask question

- Menanyakan tentang apa (tokoh,


peristiwa, tempat) dari bacaan)
- Apa yang membuat tokoh, tempat,
peristiwa atau sesuatu menjadi
penting?
b. Paraphrase
Menguraikan kembali dengan
bahasa sendiri

Gambar 2.1
Proses atau Alur Pelaksanaan Strategi Membaca Kolaboratif adaptasi dari
J.K Klingner dan S. Vaughn (2009)
• Question-Answer Relationship (QAR) merupakan salah satu strategi
yang digunakan untuk menjelaskan kepada peserta didik bagaimana
peserta didik dapat membaca teks dan menjawab pertanyaan. Question-
Answer Relationship (QAR) juga dapat membantu peserta didik
mempertimbangkan informasi baik dalam teks dan informasi dari latar
belakang pengetahuan peserta didik.
Strategi Question-Answer Relationship (QAR) ini dirancang untuk
membantu peserta didik dalam pelabelan jenis pertanyaan yang
ditanyakan dan menggunakan informasi ini untuk membantu
membimbing mereka ketika mereka mengembangkan jawaban.
Selain membantu dalam pelabelan jenis pertanyaan yang
ditanyakan, strategi Question-Answer Relationship (QAR) membantu
peserta didik untuk menganalisis, memahami dan merespon konsep
teks. Peserta didik juga harus berpikir kritis untuk mendapatkan
jawaban.
Strategi Question-Answer Relationship (QAR) dirancang untuk
mengajar peserta didik bagaimana menjawab pertanyaan dengan
belajar dimana menemukan jawaban. Jawaban yang baik dalam teks
atau dalam pikiran pembaca. Strategi ini biasa disebut sebagai
pertanyaan In The Book dan In My Head.
Question-Answer Relationship (QAR) adalah sebuah strategi yang
digunakan untuk membantu peserta didik memahami isi bacaan dan
menjawab soal yang diajukan dengan mengkategorikan berbagai jenis
dan tingkat pertanyaan tersebut sesuai jawaban pada teks. Strategi
Question-Answer Relationship (QAR) mengajarkan peserta didik untuk
menguraikan jenis pertanyaan yang diajukan dan menemukan jawaban
berdasarkan pada teks atau analisa dari pemikiran peserta didik sendiri.
Kategori Question-Answer Relationship (QAR), strategi
Question-Answer Relationship (QAR) dibagi menjadi empat kategori
informasi yang diusulkan dalam matriks untuk memahami bacaan.
Keempat kategori tersebut yaitu: a) Right There, b) Think and Search,
c) On My Own, d) Author and Me. Keempat kategori tersebut
membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaan berdasarkan
kriteria pertanyaan yang diajukan.
Right There adalah pertanyaan yang jawabannya literal dapat
ditemukan dalam teks, pada konteks ini pertanyaan yang diajukan
masih tergolong pertanyaan dengan tingkat rendah karena jawabannya
masih dicari dalam teks bacaan tanpa berfikir dan menganalisa kembali
jawabannya. Right There adalah kata-kata yang digunakan untuk
membuat pertanyaan dan penggunaan kata untuk jawabannya dalam
kalimat yang sama (jawaban dan pertanyaan menggunakan kata-kata
yang sama).
Think and Search yaitu pertanyaan yang secara eksplisit
dinyatakan, jawaban dapat ditemukan di beberapa kalimat yang sering
diselingi di sepanjang teks. Peserta didik harus menarik bagian-bagian
yang berbeda dari teks untuk sampai kepada suatu jawaban. Pada
pertanyaan Think and Search, jawaban dikumpulkan dari beberapa
bagian dari teks dan disatukan untuk membuat kesimpulan baru yang
sesuai dengan isi dari teks.
Pertanyaan Think and Search pertanyaan yang jawaban terdapat
dalam teks, tetapi kata yang digunakan untuk membuat pertanyaan dan
yang digunakan untuk jawaban tidak dalam kalimat yang sama
(tersirat). Think and Search membutuhkan pemahaman berfikir dari
peserta didik agar dapat menjawab pertanyaan. Pertanyaan pada Think
and Search dapat berupa kesimpulan dalam bacaan, ide pokok dari
paragraf atau dari seluruh bacaan. Think and Search disebut dengan
pertanyaan penafsiran karena peserta didik menafsirkan sendiri
jawaban yang ada pada bacaan.
On My Own adalah pertanyaan yang memerlukan peserta didik
untuk menarik dari latar belakang pengetahuan sendiri untuk menjawab
pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan On My Own ini tidak ditemukan
dalam teks tetapi dalam pemikiran peserta didik sendiri. Peserta didik
harus berpikir secara kritis berdasarkan pengetahuan setelah membaca
teks bacaan untuk dapat menjawab pertanyaan. Pertanyaan On My Own
biasanya berupa pertanyaan yang menceritakan kembali isi dari bacaan
dalam bentuk tulisan.
Author and Me yaitu pertanyaan yang memerlukan peserta didik
untuk menarik kesimpulan yang terdapat dalam sebuah teks, sehingga
mampu membangun makna dari teks.
Penerapan di dalam Kelas
PROSEDUR:
1. Peserta didik di dalam kelas diberikan lembar teks bacaan oleh guru,
b) Melakukan tanya jawab singkat kepada peserta didik mengenai
judul, gambar, dan keterangan lain yang mendeskripsikan bacaan
tersebut, c) Peserta didik membaca nyaring bacaan tersebut secara
bergantian, d) Guru meminta peserta didik menggarisbawahi bagian
yang penting dalam bacaan tersebut, e) Guru melakukan tanya jawab
dengan peserta didik tentang isi bacaan tersebut, f) Guru memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan hal yang belum
dimengerti, g) Peserta didik dibantu guru mengelompokkan pertanyaan
berupa pertanyaan literal, penafsiran, kritis dan kata dalam konteks
dengan lembar strategi Question-Answer Relationship (QAR), h)
Peserta didik dibantu guru menjawab soal yang berhubungan dengan
bacaan dengan lembar strategi Question-Answer Relationship (QAR).

b. Pembelajaran bagi Peserta Didik Berkesulitan Menulis


Keterampilan menulis bukan hanya sekedar membentuk coretan menjadi
huruf yang benar. Keterampilan menulis merupakan rangkaian keterampilan
yang berurutan dari membuat coretan menjadi huruf, memasangkan huruf
dengan huruf hingga membentuk bunyi dan kata, kata terus dirangkai menjadi
kalimat sederhana sampai kompleks sampai pada rangkaian kalimat yang
bermakna dan membentuk sebuah cerita. Urutan keterampilan ini mungkin
pada bagian tertentu tidak dikuasai anak berkesulitan belajar menulis atau
bahkan seluruh bagian.
Menurut Hall (2009), perkembangan keterampilan menulis bertumpu
pada beberapa hal berikut ini:
a. Mempunyai sesuatu untuk dibicarakan dan kepada siapa
pembicaraan itu ditujukan
b. Sebuah model atau bentuk atau pola dalam otak untuk diikuti
c. Kemampuan untuk memproduksi kembali kata-kata yang sudah
diketahui
d. Kemampuan untuk menuliskan huruf atau kata dari suara-suara yang
sudah diketahui
e. Kemampuan untuk membentuk huruf-huruf secara benar
berdasarkan penggunaannya dan dalam tulisan tangan
f. Kemampuan untuk membatasi kata
g. Kemampuan untuk merangkai kata-kata dengan pantas untuk
membentuk kalimat-kalimat
h. Kemampuan untuk merangkai kalimat-kalimat secara pantas untuk
membentuk paragraf
i. Kemampuan mengelompokkan kalimat untuk membentuk teks yang
kohesif
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa urutan
strategi untuk mengajarkan keterampilan menulis mekanik pada anak (Hall,
2009). Keterampilan menulis mekanik merupakan keterampilan bagaimana
tangan bisa membentuk huruf vokal dan abstrak dengan menggunakan pensil
atau pulpen.
1. Belajar mencorat-coret rapih atau berpola. Belajar mencorat-coret rapih
atau berpola bertujuan untuk mengajarkan murid agar bisa membentuk
coretan menjadi huruf yang baik. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan tanpa
paksaan dan harus menyenangkan dan perlu dilakukan bersama guru dan
murid. Guru harus memeriksa bagaimana para murid memegang pensil
dan membentuk huruf-huruf. Jika murid salah atau kurang benar dalam
memegang pensil maka guru harus memperbaiki cara murid memegang
pensil.
2. Penekanan pensil saat menggunakannya juga harus benar. Jika murid
mengalami kesulitan dengan penekanan, maka tangan sebelah yang tidak
digunakan untuk menulis sebaiknya diletakkan di atas meja dan
memberikan penekanan sedikit agar tekanan pada kedua tangan menjadi
lebih seimbang.
3. Pembentukan huruf-huruf bisa dibantu dengan menggunakan kertas
bergaris seperti dalam buku halus. Dengan menggunakan buku halus yang
bergaris tiga, murid seharusnya diajarkan untuk bisa menempatkan dimana
kaki ataupun tangan huruf besar dan huruf kecil berada ketika digunakan
dalam kata dan kalimat. Jika murid mengalami permasalahan dengan
kerapihan tulisan, maka guru perlu terus memotivasinya sehingga murid
mampu menulis dengan sempurna.
Sedangkan untuk aspek menulis komposisi atau mengarang ketika guru
meminta murid menulis sebaiknya guru meminta murid untuk menulis hal-
hal yang sudah diketahui oleh murid. Perlu diberitahukan kepada murid
tentang siapa yang akan membaca tulisan mereka. Guru harus juga
memberitahukan pola atau struktur penulisan yang diharapkan.
Pemberitahuan ini dimaksudkan agar murid mempunyai gambaran yang jelas
tentang struktur penulisan yang akan dilakukan.
Menurut Reid (2005), guru bisa membantu murid dalam mengajarkan
menulis komposisi atau menulis kreatif dengan cara seperti berikut ini:
1. Struktur. Guru perlu memberikan kata kunci yang berhubungan
dengan apa yang harus ditulis. Daftar kata yang bisa digunakan untuk
menulis sesuai dengan kata kunci akan lebih baik jika juga diberikan
kepada murid. Daftar kata yang dimaksud haruslah kata-kata yang
diketahui dan dipahami oleh murid sehingga murid akan
menggunakannya dengan mudah dalam mengkomposisi tulisan.
2. Sekuel atau urutan yang terdiri dari pendahuluan atau pengantar, bagian
utama dan kesimpulan. Guru perlu memberikan contoh pengantar untuk
sebuah tulisan yang kemudian dibuatkan garis besar tentang apa yang
akan ditulis dalam bagian utama dan dalam urutan yang bagaimana akan
menuliskannya dengan cara menyoroti hal yang penting. Bagian utama
merupakan urutan sebuah kejadian yang akan dituliskan menjadi
beberapa paragraf yang bisa juga diisi dengan paragraf khusus tentang
refleksi. Pada paragraf terakhir tentunya akan berisi kesimpulan dari apa
yang sudah dituliskan.
3. Tata Bahasa. Guru bisa menjadi pembaca yang baik bagi hasil karya
para muridnya terutama untuk mengoreksi tata bahasa yang digunakan
oleh murid. Jika mungkin, murid juga perlu diminta untuk membacakan
hasil tulisannya secara nyaring untuk mengidentifikasi jika ada kesalahan
tata bahasa pada hasil tulisannya.

c. Pembelajaran bagi Peserta Didik Berkesulitan Matematika


Pembelajaran Matematika sangat berhubungan dengan kemampuan
berbahasa dalam membaca dan menulis. Sehingga akan sangat
mengherankan jika anak yang mengalami kesulitan membaca tidak
mengalami kesulitan matematika. Jadi bisa dipastikan bahwa seorang anak
yang mengalami kesulitan membaca pasti akan mengalami kesulitan
matematika dalam hal perhitungan dan alasan matematika.
Pada umumnya seseorang yang mengalami kesulitan belajar spesifik
akan mengalami kesulitan dalam mengurutkan sesuatu, terutama jika
bahasa terlibat di dalamnya. Hal ini disebabkan karena matematika
memiliki bahasa khusus seperti jumlah, sama dengan, kurang dari, lebih
dari, dibagi, dikali dan lain sebagainya. Karena kekurangmampuan
pemrosesan memori dalam otak, maka individu berkesulitan belajar
seringkali mengalami kesulitan pada materi perkalian yang sifatnya
memang mengurutkan.
Untuk mengurangi ketidakmampuan dalam hal pengurutan, Pollock,
Waller & Politt (2004) menyarankan untuk mengajarkan peserta didik hal-
hal seperti urutan nama hari dalam seminggu, nama bulan, alfabet, urutan
waktu, dan lain-lain. Permainan atau game adalah metode yang paling
banyak digunakan dalam pembelajaran untuk membantu anak berkesulitan
belajar matematika. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dalam penggunaan
permainan atau game dalam pembelajaran matematika menurut Hall
(2009):
1. Perbaiki apa yang sudah anda ketahui tentang anak dan pastikan
tidak ada kesalahpahaman
2. Mengajarkan dan mempraktekkan satu fungsi secara sistematis
3. Perkenalkan hubungan timbal balik seperti pengurangan dan
penambahan dengan merujuk kembali ke aturan dasar
4. Gunakan teknik multisensor dan contoh nyata yang konkret
sebanyak mungkin untuk memperkuat cara mengajar anda yang
utama
5. Gunakan permainan atau game secara teratur dan sering untuk
memperkuat apa yang telah diajarkan
Media realia harus juga banyak digunakan dalam membelajarkan anak
berkesulitan matematika. Hal ini disebabkan karena kekurangmampuan
anak untuk membayangkan hal-hal yang abstrak akibat dari hambatan yang
terjadi dalam memori jangka pendek mereka. Media realia yang bisa
digunakan misalnya adalah kalkulator untuk menghitung dan sempoa.
Kedua benda ini memang dirancang untuk memudahkan manusia
melakukan operasi matematika. Media realia yang lain adalah segala benda
yang ada di sekitar kita seperti batu, kelereng dan lainnya. Benda-benda ini
memang tidak dirancang untuk digunakan dalam operasi matematika, tetapi
bisa kita rekayasa untuk belajar matematika.
Berikut ini juga adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membelajarkan matematika pada anak yang berkesulitan matematika:
1. Masalah yang digunakan haruslah kontekstual sesuai dengan
konteks dalam kehidupan nyata.
2. Kontribusi siswa dalam memproduksi atau menemukan konsep-
konsep perlu diapresiasi. Contohnya, saat siswa mengerjakan soal
dan hasilnya benar walaupun cara yang digunakan berbeda dengan
cara yang diajarkan guru, guru harus memberikan penghargaan
yang tepat kepada murid sehingga murid tetap mau belajar.
Penghargaan yang diberikan adalah kalau jawaban murid benar
walaupun cara dalam mengerjakannya tidak sama dengan guru,
murid tetap mendapatkan nilai yang sama. Kecuali jika murid
mencontek maka penilaiannya tentu akan berbeda.
3. Proses pembelajaran yang direncanakan haruslah bersifat interaktif
sehingga murid memang merasakan bahwa dia sedang belajar.
Maksud dari pembelajaran interaktif adalah dimana guru dan murid
saling beraksi dalam pembelajaran. Guru menerangkan, murid
memperhatikan dan menyimak penjelasan guru. Jika murid tidak
paham, berilah mereka kesempatan untuk bertanya. Jika pertanyaan
mereka muncul disaat guru menerangkan, maka guru wajib
menanggapi dengan baik. Guru tidak boleh melarang muridnya
bertanya pada saat guru sedang menerangkan karena mungkin
setelah guru menerangkan, murid sudah lupa apa pertanyaannya.
4. Unit yang sedang dipelajari haruslah berkaitan dengan topik yang
dipahami oleh murid sehingga murid akan mudah belajar.
5. Model diperlukan untuk menyelesaikan masalah misalnya dengan
membawa media realia yang bisa kita temukan di sekitar kita.

F. Memilih Bahan Ajar bagi Anak Berkesulitan Belajar Spesifik


Bahan ajar yang akan digunakan untuk membelajarkan anak berkesulitan
belajar spesifik pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan
bahan ajar bagi anak pada umumnya. Semua bahan ajar yang digunakan oleh
anak pada umumnya bisa digunakan juga oleh anak berkesulitan belajar
spesifik. Hanya saja bahan belajar yang akan digunakan pada anak berkesulitan
belajar spesifik tidak boleh mengandung kata yang hanya dimengerti oleh
budaya tertentu.
Kata-kata dalam bahan ajar harusnya merupakan kata-kata yang sifatnya
universal, yang bisa diterima dan digunakan oleh semua budaya. Contoh kata
yang sifatnya tidak universal yaitu ‘pada saat maghrib’ dan ‘pada saat subuh’.
Kedua kata ini hanya bisa mudah dipahami oleh orang yang beragama Islam
atau mereka yang tinggal di lingkungan dengan mayoritas penduduk beragama
Islam. Sedangkan bagi orang yang beragama lain, kedua contoh kata tersebut
kemungkinan akan sulit dipahami karena mereka tidak pernah mendengar
ataupun membicarakan kata ‘maghrib’ dan ‘subuh’.
Untuk menghindari kesulitan memahami kedua kata tersebut, maka kedua
kata tersebut harus dicari padanan katanya yang lebih universal seperti ‘pada
saat matahari terbenam’ sebagai pengganti kata ‘pada saat maghrib’ dan ‘pada
saat matahari terbit’ sebagai pengganti ‘pada saat subuh’. Pada intinya,
pemilihan kata dalam bahan ajar yang akan digunakan untuk membelajarkan
anak berkesulitan belajar harus dibaca terlebih dahulu oleh guru dan guru harus
mengubah kata yang kemungkinan akan membuat murid menjadi bingung.
Bahan ajar yang dipilih juga harus disesuaikan dengan level penguasaan
kosakata pada anak. Jika penguasaan kosakata pada anak masih berada pada
level kelas 3 sekolah dasar, maka guru seharusnya mencarikan atau membuat
bahan bacaan yang setingkat dengan kemampuan anak. Jangan memberikan
bahan bacaan yang melebihi atau bahkan di bawah tingkat kemampuan anak.
Jika bahan bacaan melebihi tingkat kemampuan anak, maka anak akan merasa
sulit membaca karena kosakata kemungkinan belum pernah diketahuinya
sehingga akan mengurangi motivasi anak untuk membaca. Sedangkan jika
bahan bacaan berada di bawah kemampuan anak, maka anak kemungkinan
akan merasa bosan karena tidak ada hal yang menantang kemajuan belajarnya.

G. Rekayasa Media Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar


Spesifik
Setelah kita mempelajari kurikulum dan bagaimana memodifikasinya
untuk kepentingan pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar, maka sekarang
kita akan mempelajari bagaimana merekayasa media pembelajaran bagi anak
berkesulitan belajar. Karena keadaan alami anak berkesulitan belajar yang
berkesulitan dalam kemampuan memorinya untuk memroses informasi yang
ada, maka media pembelajaran yang akan digunakan sebaiknya memfasilitasi
semua modalitas sensori yang dimiliki oleh anak yang meliputi auditori,
kinestetik, taktil dan visual. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas materi
pembelajaran dan dengan modalitas yang mana siswa paling mudah menguasai
penjelasan guru.
Berikut ini adalah contoh bagaimana merekayasa media pembelajaran
untuk anak berkesulitan belajar yang memfasilitasi semua modalitas sensori.
Contoh materi yang kita gunakan adalah contoh materi bacaan dalam
pembelajaran bagi anak dengan autisme yang sudah dimodifikasi sebelumnya
yang berjudul ‘Pawai Budaya’ diambil dari Angi St. Anggari, dkk (2016).

Pawai Budaya
Udin dan kakeknya tinggal di Kampung Babakan. Setiap tahun
di kampung ini selalu ada pawai budaya yang menampilkan keragaman
budaya Indonesia. Tahun ini Udin dan kakeknya pergi ke alun-alun
untuk melihat pawai tersebut. Udin dan kakeknya mendengar suara
gendang yang menandakan rombongan pawai semakin dekat.
Lima belas menit kemudian, Udin dan kakeknya melihat dengan
jelas peserta pawai budaya berbaris menurut asal daerahnya. Di barisan
terdepan adalah rombongan dari Maluku. Barisan kedua adalah
rombongan dari Bali. Barisan terakhir adalah rombongan dari Toraja.
Rombongan pawai dari Maluku terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Rombongan laki-laki mengenakan kemeja putih, jas merah
dan topi tinggi dengan hiasan keemasan. Rombongan perempuan
mengenakan baju Cele yang terdiri dari atasan putih berlengan panjang
serta rok lebar merah. Beberapa anggota rombongan membawa Tifa,
alat musik dari Maluku. Jika dimainkan, bunyinya seperti gendang,
namun bentuknya lebih ramping dan panjang.
Rombongan dari Bali membawa alat musik yang bernama ceng-
ceng. Alat ini berbentuk seperti simbal dan terbuat dari logam. Ketika
dua keping ceng-ceng dipertemukan, suaranya sangat nyaring.
Rombongan pawai dari Toraja juga terdiri dari laki-laki dan
wanita. Wanita Toraja memakai pakaian adat yang disebut baju Pokko.
Rombongan laki-laki menggunakan pakaian adat yang disebut Seppa
Tallung Buku. Rombongan Toraja membunyikan alat musik khas
mereka yang bernama Pa’pompang. Alat musik ini berupa suling
bambu besar yang bentuknya seperti angklung.
Udin dan kakeknya senang melihat pawai budaya. Mereka
selalu menemukan hal baru yang menarik perhatian.

Bacaan di atas sudah disederhanakan terlebih dahulu dari awalnya yang


berisi informasi yang berlebihan. Isi informasi pada setiap paragraf menjadi
lebih teratur dan berurutan. Tidak ada paragraf yang tumpang tindih atau
dalam satu paragraf berisi informasi yang kurang relevan.
Untuk memenuhi modalitas auditori, sebaiknya bahan bacaan tersebut
dibacakan dan direkam. Rekamannya disertakan dibawah bacaan dan bisa
diputar pada saat diinginkan. Pada saat didengarkan, siswa juga bisa
menunjuk kata yang sedang dibaca sehingga memenuhi kebutuhan kinestetik
dan taktilnya. Pada saat inilah (membaca, mendengar, melihat kata yang
ditunjuk) siswa benar-benar belajar menggunakan keseluruhan modalitas
yang dimilikinya. Penggunaan semua modalitas belajar dimaksudkan untuk
saling mendukung sehingga siswa akan lebih mudah belajar.

H. Menyusun Alat Evaluasi Belajar bagi Anak Berkesulitan Belajar


Spesifik Berbasis HOTS
Para mahasiswa sekalian pasti sudah paham tentang apa yang disebut
sebagai higher order thinking skills atau HOTS. Kalau masih belum paham,
silahkan kembali ke Kegiatan Belajar 2 pada bagian menyusun alat evaluasi
terlebih dahulu. Kalau anda masih beruntung, bahan ajar pasti masih bisa
ditemukan tetapi kalau sedang buntung bahan ajar pasti sudah lenyap tertindih
kenangan. Mari kita lanjutkan.
Alat evaluasi yang berbasis HOTS adalah alat evaluasi yang
membutuhkan jawaban yang mencerminkan keterampilan berpikir yang
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Keterampilan berpikir ini tentu saja
harus disesuaikan dengan keadaan murid kita yang dalam hal ini adalah anak
berkesulitan belajar. Sebelum menuntut murid kita untuk merefleksikan
jawaban sesuai dengan keterampilan berpikir yang menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta, maka kita harus paham terlebih dahulu bahwa
mereka mengalami kesulitan dalam pemrosesan memori jangka pendek.
Sehingga kemungkinan ketika murid belajar, apa yang sudah dipelajarinya
akan hilang dengan segera dan tidak masuk ke dalam memori jangka panjang
mereka. Memori jangka pendek adalah kemampuan kita untuk mengingat,
memahami, mempraktekkan apa yang sedang kita pelajari pada saat ini dan
kegiatan ini kemungkinan hanya tersimpan dalam otak kita untuk sementara
waktu. Sedangkan memori jangka panjang adalah tempat kita menyimpan apa
yang sedang kita lakukan dengan memori jangka pendek kita. Jika kita
memahami bahwa anak berkesulitan belajar memiliki masalah dengan memori
jangka pendek mereka, maka alat evaluasi yang akan buat harus kita sesuaikan
dengan keadaan anak.
Dengan memperhatikan keadaan natural anak berkesulitan belajar maka
dalam alat evaluasi yang kita susun sebaiknya kita memberikan:
1. Petunjuk dimana jawaban yang kita inginkan berada.
2. Memberikan waktu yang jelas, misalnya berapa lama waktu yang
diperlukan untuk mengerjakan satu soal.
3. Kata dan bahasa yang digunakan haruslah sederhana dan mudah
dipahami.
4. Petunjuk atau cara menjawab pertanyaan yang kita berikan harus tepat,
misalnya ‘jawablah pertanyaan berikut ini dengan benar’. Petunjuk ini
memang lazim digunakan tetapi petunjuk tersebut juga mengandung
arti bahwa semua pertanyaan harus dijawab dengan jawaban ‘dengan
benar’. Jadi kita perlu mengubah petunjuk misalnya menjadi ‘jawablah
pertanyaan berikut sesuai dengan pengetahuan yang kamu miliki’.
Alat evaluasi yang kita susun juga perlu diragamkan, dalam artian kita
tidak hanya membuat soal. Tetapi bisa saja kita membuat alat evaluasi lainnya
seperti tugas yang bisa dikerjakan di rumah, tugas unjuk kerja, tugas
merangkum dan lain-lain. Jadi, anak berkesulitan belajar akan memiliki
berbagai macam pilihan dalam menunjukkan kemampuannya dalam
melakukan analisis, evaluasi dan mencipta atau merekayasa ulang pengetahuan
yang telah dimilikinya.
4. Forum Diskusi
Bu Rini kebingungan menghadapi muridnya yang bernama Tania karena
Tania kesulitan mengerjakan soal cerita. Tidak pernah sekalipun Tania bisa
mengerjakan soal cerita yang ada dalam buku. Kalau Bu Rini memberikan
soal cerita, Tania mulai bermalas-malasan dalam belajar sehingga dia belum
pernah mendapatkan nilai yang bagus untuk topik soal cerita.
Berdasarkan ilustrasi di atas, coba anda diskusikan bersama tutor dan
mahasiswa lainnya tentang apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan
oleh Bu Rini dalam menangani permasalahan Tania.

C. Penutup
1. Rangkuman
Kurikulum yang berlaku bagi anak berkesulitan belajar di Indonesia
adalah kurikulum umum yang berlaku bagi anak pada umumnya di setiap
jenjang Pendidikan. Tetapi kurikulum ini tidak bisa diberikan begitu saja
kepada anak berkesulitan belajar spesifik. Kurikulum ini harus dimodifikasi
baik dari segi tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan evaluasi
sehingga bisa digunakan oleh anak berkesulitan belajar spesifik.
Memodifikasi kurikulum berarti mengubah tujuan, isi atau materi, proses atau
metode dan evaluasi dengan cara mengurangi ataupun menambahkan dengan
cara yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak.
Dalam merancang pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar spesifik,
kita harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bagi masing-masing
jenis kesulitan belajar. Metode dan strategi yang akan kita gunakan juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan modalitas belajar yang dimiliki anak.
Demikian juga dengan bahan ajar, media pembelajaran dan alat evaluasi yang
kita rancang harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Hal ini dimaksudkan
agar pembelajaran yang kita rancang akan menjadi lebih interaktif sehingga
anak akan mampu menelaah dan memahami materi yang kita berikan demi
mencapai kompetensi yang seharusnya dikuasai.
2. Tes Formatif
Berilah tanda Silang (X) pada salah satu huruf A, B, C, D atau E pada
jawaban yang kamu anggap benar.

1. Pernyataan tentang kurikulum bagi anak berkesulitan belajar


berikut ini yang paling anda setujui adalah:
A. Kurikulum bagi anak berkesulitan belajar adalah kurikulum
yang dimodifikasi dari kurikulum bagi anak pada umumnya.
B. Kurikulum bagi anak pada umumnya adalah sama dengan
kurikulum bagi anak berkesulitan belajar
C. Tidak ada kurikulum yang bisa digunakan bagi anak
berkesulitan belajar di Indonesia
D. Kurikulum bagi anak berkesulitan belajar masih perlu dikaji
ulang tetapi sudah bisa digunakan
E. Kurikulum yang dimodifikasi bagi anak pada umumnya bisa
digunakan untuk anak berkesulitan belajar
2. Apakah yang dimaksud dengan modifikasi kurikulum?
A. Modifikasi kurikulum adalah memodifikasi penjabaran yang
akan digunakan dalam pembelajaran
B. Modifikasi kurikulum adalah merubah dengan cara
menambahkan ataupun mengurangi tujuan, isi atau materi,
proses atau metode dan evaluasi untuk disesuaikan dengan
kebutuhan dan keadaan siswa
C. Modifikasi kurikulum adalah menambahkan kalimat yang jelas
pada bagian tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan
evaluasi agar sesuai dengan kebutuhan dan keadaan siswa
D. Modifikasi kurikulum adalah mengambil bagian-bagian yang
penting dalam kurikulum untuk digunakan sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan siswa
E. Modifikasi kurikulum adalah merancang dan memberikan
pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku
3. Bagaimanakah cara memodifikasi kurikulum untuk anak pada
umumnya agar bisa digunakan oleh anak berkesulitan belajar?
a. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan membaca seluruh
bagian tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan evaluasi
b. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan menambahkan
tujuan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan siswa
c. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan mengurangi
ataupun menambahkan seluruh ataupun sebagian dari tujuan, isi
atau materi, proses atau metode dan evaluasi untuk disesuaikan
dengan kebutuhan anak berkesulitan belajar
d. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan mengevaluasi
seluruh bagian tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan
evaluasi yang ada pada kurikulum
e. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan menyesuaikan
keadaan anak berkesulitan belajar dengan kurikulum
4. Bagaimanakah alat evaluasi yang berbasis HOTS bagi anak
berkesulitan belajar?
A. Alat evaluasi yang berbasis HOTS adalah alat evaluasi yang
membuat siswa berpikir sampai kepanasan
B. Alat evaluasi yang berbasis HOTS bagi anak berkesulitan
belajar adalah alat evaluasi yang dibuat oleh guru
C. Alat evaluasi yang HOTS adalah alat evaluasi yang dibutuhkan
oleh anak berkesulitan belajar
D. Alat evaluasi yang berbasis HOTS adalah alat evaluasi yang
membutuhkan jawaban yang mencerminkan keterampilan
berpikir yang menganalisis, mengevaluasi dan mencipta
E. Alat evaluasi yang berbasis HOTS adalah alat evaluasi yang
menunjukkan kemampuan murid dalam merekayasa ilmu
pengetahuan yang telah dimilikinya
5. Metode dan strategi pembelajaran yang seperti apa yang dianjurkan
untuk anak berkesulitan belajar menulis mekanik?
A. Menulis dimulai dengan memegang pensil yang benar, duduk
rapi dan badan tegak, guru membimbing murid dari belakang
B. Menulis dimulai dengan pemilihan kertas, pensil dan tempat
duduk yang tepat agar murid bisa belajar
C. Menulis mekanik memerlukan penekanan coretan yang tepat
pada setiap gerakan mencorat-coret
D. Menulis mekanik adalah tahap permulaan kemampuan menulis
pada anak yang perlu diajarkan secara benar oleh guru sesuai
dengan urutan cara penulisan
E. Strategi pembelajaran menulis mekanik dimulai dari mencorat-
coret membentuk pola dengan pensil, penekanan penulisan
yang pas dan membentuk huruf dengan kertas bergaris tiga
6. Mengapa bahan ajar yang akan kita berikan kepada anak
berkesulitan belajar harus dimodifikasi?
A. Kalau tidak dimodifikasi bahan ajar akan terlalu banyak dan
membosankan
B. Karena bahan ajar yang akan kita berikan harus dimodifikasi
terlebih dahulu
C. Karena bahan ajar yang ada biasanya mudah ditemukan
dimana-mana baik daring maupun luring
D. Karena bahan ajar memang dibutuhkan oleh murid untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
E. Kalau kita menggunakan bahan ajar yang sudah ada maka
modifikasi diperlukan karena bahan ajar tersebut masih bersifat
umum sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan yang dimiliki oleh anak berkesulitan belajar
7. Metode dan strategi pembelajaran yang manakah yang cocok
digunakan untuk membelajarkan anak berkesulitan belajar
membaca pemahaman?
A. Membaca pemahaman bisa dilakukan pada saat listrik sedang
mengalami pemadaman
B. Membaca pemahaman bertujuan untuk memahami bacaan yang
sedang dibaca dengan strategi yang biasa saya gunakan
C. Membaca pemahaman bisa dilakukan dengan strategi dan
metode apapun sampai paham makna tulisan yang dibaca
D. Membaca pemahaman dapat diajarkan kepada murid
menggunakan strategi membaca kolaborasi dan hubungan tanya
jawab
E. Membaca pemahaman merupakan kemampuan masing-masing
individu yang bisa dipelajari sejak masih kecil
8. Media pembelajaran yang bagaimanakah yang seharusnya kita buat
untuk membelajarkan anak berkesulitan belajar?
A. Media yang kita buat sebaiknya tidak mengganggu modalitas
belajar yang dimiliki oleh anak
B. Media yang kita buat seharusnya menekankan salah satu
kemampuan modalitas belajar yang dimiliki oleh anak
C. Media yang kita buat sebaiknya adalah media yang
memfasilitasi perpaduan modalitas belajar yang dimiliki oleh
anak yaitu auditori, kinestetik, taktil dan visual
D. Media yang sudah ada bisa kita gunakan tanpa harus membuat
yang akan menambah banyak tugas guru
E. Media yang sudah dibuat bisa kita gunakan lagi sampai media
tersebut rusak
9. Pernyataan yang manakah yang paling sesuai menggambarkan
metode dan strategi pembelajaran yang cocok bagi anak
berkesulitan belajar matematika.
A. Matematika memang pelajaran yang sulit, jadi wajar kalau anak
menggunakan jari-jari tangannya untuk menghitung
B. Dalam pembelajaran matematika guru sebaiknya banyak
menggunakan strategi permainan dan media realia sehingga
matematika menjadi lebih nyata
C. Dalam pembelajaran matematika guru harus menggunakan
penggaris Panjang untuk menunjukkan apa yang sedang
diajarkan
D. Matematika perlu dipelajari walaupun sulit dengan berbagai
macam strategi dan metode yang ada
E. Matematika diajarkan dengan cara guru mengajak murid
berbelanja ke warung sekitar sekolah
10. Mengapa alat evaluasi yang kita susun bagi anak berkesulitan
belajar harus berbasis HOTS?
A. Karena kemampuan berpikir tingkat tinggi akan banyak sekali
digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga anak juga
perlu dilatih untuk menggunakannya
B. Karena alat evaluasi yang berbasis HOTS saat ini memang
benar-benar diperlukan oleh guru untuk mengevaluasi proses
pembelajaran yang sudah dilakukan
C. Karena alat evaluasi yang berbasis sangat mudah dibuat dan
tersedia dimana-mana
D. Karena merupakan tuntutan kurikulum sehingga harus
diupayakan untuk digunakan kepada anak berkesulitan belajar
E. Karena alat evaluasi yang berbasis HOTS sangat cocok untuk
digunakan bagi anak berkesulitan belajar
Daftar pustaka

Angi St. Anggari, dkk (2016) Indahnya Kebersamaan: buku tematik terpadu
Kurikulum 2013 Tema 1 Buku siswa SD/MI Kelas IV. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Bender, N. W. & Martha J. L. (2003) Reading Strategies for Elementary Students
with Learning Difficulties. United States of Amerika: Corwin Press, Inc.
Christine. D Bremer, (2001) Collaborative Strategic Reading (CSR): Improving
Secondary Students ReadingComprehension Skills.USA : Allyn and Bacon.
Choate. S. J. & Enright E.B. (1992) Curriculum Based Assessment and
Programming. UAS: Allyn and Bacon.
Choate. S. J. & Enright E.B. (1995) Curriculum Based Assessment and
Programming. UAS: Allyn and Bacon.
Farida Hahim. (2007). Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
Hall, W. (2009) Dyslexia in the Primary Classroom. Exeter: Learning Matter
Kirk, samuel, Gallagher (1993). Educating Exceptional Children. Boston:
Houghton Mifflin
Mercer, Cecil D & Mercer, Ann R (1999) . Teaching Student with Learning
Problems. Ohio: Merrill Publishing Company
Pollock, J., Waller, E., & Politt, R. (2004) Day-to-Day Dyslexia in the Classroom
2nd edn. London: Routledge Falmer
Reid, G. (2005) Dyslexia and Inclusion: Classroom Approaches for Assessment,
Teaching and Learning. London: David Fulton
Sadoski, M. (2004). Conseptual Foundation of Teaching Reading. London: The
Guildford Press.
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Samsu Sodamayu. (2011). Strategi dan Teknik Pembelajaran membaca.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tarigan, H.G. (2008). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Percetakan Angkasa.
Vaughn, S. & Bos S. C. (2009) Strategies for Teaching Students with Learning and
Behavior Problems (seven edition). USA: Pearson.
KEGIATAN BELAJAR 4: PEMBELAJARAN PROGRAM KEBUTUHAN
KHUSUS BAGI ANAK DENGAN AUTISME DAN ANAK
BERKESULITAN BELAJAR
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Autisme dan kesulitan belajar spesifik merupakan dua jenis hambatan
yang sangat berbeda. Autisme yang dialami individu mengakibatkan
ketidakmampuan individu tersebut melakukan interaksi dan komunikasi
sosial secara sempurna. Ketidakmampuan dalam berinteraksi dan
berkomunikasi menyebabkan individu autis terlihat seperti orang aneh,
sehingga mereka membutuhkan pembelajaran program kebutuhan khusus
untuk belajar bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain
secara tepat.
Sedangkan kesulitan belajar spesifik tidak mengakibatkan individu
yang mengalaminya terlihat aneh, mereka adalah individu yang biasa-biasa
saja. Hambatan yang mereka alami akan terlihat dengan jelas pada saat
mereka sedang mengikuti pembelajaran yang berhubungan dengan
membaca, berhitung dan menulis. Pada dasarnya mereka juga
membutuhkan pembelajaran program kebutuhan khusus untuk mengejar
ketertinggalan sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka dalam hal
membaca, menulis dan berhitung.
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana pembelajaran program
kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme dan atau yang mengalami
kesulitan belajar, melalui Kegiatan Belajar 4 pada Modul 6 ini kita akan
mempelajari konsep pembelajaran program kebutuhan khusus bagi mereka.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru
yang sudah mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), melalui PPG ini
diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional dalam bidang ilmu pendidikan luar biasa, khususnya kajian
tentang autisme dan kesulitan belajar spesifik. Setelah mengikuti PPG ini,
diharapkan mahasiswa yang merupakan guru di SLB dapat lebih profesional
dalam memberikan pembelajaran program kebutuhan khusus bagi peserta
didik autis dan atau peserta didik berkesulitan belajar di kelas dengan
memperhatikan karakteristik yang paling membutuhkan perubahan pada
peserta didik autis dan peserta didik berkesulitan belajar.

3. Petunjuk Belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh
mahasiswa PPG untuk materi program kebutuhan khusus bagi anak dengan
autisme dan atau kesulitan belajar spesifik. Sebaiknya materi belajar dalam
Kegiatan Belajar 4 ini dibaca dan dipahami secara cermat dan berurutan,
sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh terkait bagaimana
seharusnya merancang pembelajaran program kebutuhan khusus bagi
peserta didik autis dan peserta didik berkesulitan belajar.

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 4 pada Modul 6 ini, diharapkan
mahasiswa PPG dapat menguasai konsep teoritis tentang program kebutuhan
khusus bagi peserta didik autis dan atau berkesulitan belajar yang dapat
digunakan sebagai dasar mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik autis dan atau berkesulitan belajar.

2. Pokok – Pokok Materi


Pokok-pokok materi yang akan kita pelajari pada Kegiatan Belajar 4 ini
meliputi:
A. Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus bagi Anak dengan Autisme
1. Konsep pengembangan interaksi dan komunikasi anak dengan autisme
2. Metode dan teknik pengembangan interaksi dan komunikasi bagi anak
dengan autisme
3. Merancang program pengembangan interaksi dan komunikasi bagi
anak dengan autisme
4. Pembelajaran dan penilaian kegiatan pengembangan interaksi dan
komunikasi bagi anak dengan autisme
B. Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus bagi Anak Berkesulitan Belajar
1. Konsep pengembangan program kebutuhan khusus bagi anak
berkesulitan belajar
2. Metode dan teknik pengembangan program kebutuhan khusus bagi anak
berkesulitan belajar
3. Merancang pembelajaran program kebutuhan khusus bagi anak
berkesulitan belajar
4. Penilaian kegiatan pembelajaran program kebutuhan khusus bagi anak
berkesulitan belajar

3. Uraian Materi
A. Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus bagi Anak dengan
Autisme

1. Konsep Program Kebutuhan Khusus bagi Anak dengan


Autisme
Program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme merupakan
pembelajaran yang bersifat mengganti kerugian yang dialami oleh
anak karena hambatan yang dimilikinya. Atau dengan kata lain
program kebutuhan khusus adalah upaya memfasilitasi anak untuk
mendapatkan berbagai keterampilan sebagai akibat dari kelainan
yang dimilikinya. Keterampilan-keterampilan ini harus didapatkan
oleh anak agar mereka mampu berfungsi dengan baik sebagai
anggota masyarakat secara luas.
Tujuan program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme
antara lain adalah untuk:
1. Membantu anak untuk mendapatkan kembali keterampilan
yang hilang akibat dari kelainan yang dimilikinya
2. Mengejar ketertinggalan perkembangan berbagai
keterampilan sebagai akibat dari kelainan yang dimilikinya
3. Memperkuat sisa keterampilan yang masih dimilikinya
4. Mengajarkan keterampilan baru sesuai dengan kebutuhannya

Dalam mengajarkan program kebutuhan khusus, para guru harus


memahami prinsip-prinsip pembelajaran program kebutuhan khusus
yang antara lain adalah:
1. Memulai pembelajaran program kebutuhan khusus pada hal
yang sangat dibutuhkan oleh anak
2. Dimulai dari hal yang sangat sederhana
3. Instruksi yang digunakan harus tegas dan jelas
4. Harus ada penguatan dan generalisasi
5. Ada evaluasi yang jelas di setiap akhir pembelajaran

Ruang lingkup program kebutuhan khusus yang akan diberikan


kepada peserta didik autis meliputi interaksi dan komunikasi.
Sebagaimana sudah kita pelajari pada KB 1 Modul 6 ini, anak
dengan autisme memiliki ketidakmampuan yang menjadi ciri utama
mereka dalam hal interaksi dan komunikasi. Ketidakmampuan
dalam dua hal tersebut dimiliki oleh masing-masing anak dengan
autisme dengan derajat yang berbeda-beda. Ada anak yang mampu
berbicara tetapi tidak berkomunikasi ataupun berinteraksi, ada juga
anak yang tidak mampu berbicara tetapi masih ada keinginan untuk
melakukan komunikasi dan berinteraksi. Hal-hal kecil seperti inilah
yang akan menjadi target dalam pembelajaran kompensatoris bagi
anak dengan autisme.

2. Metode dan Teknik Pembelajaran Interaksi dan Komunikasi


bagi Anak Autis
Mengajarkan interaksi dan komunikasi pada anak dengan autisme
bisa dilakukan bersamaan ataupun dipisah. Dilakukan bersamaan
karena kedua keterampilan besar ini saling berkaitan antara satu
dengan yang lainnya sehingga agak sulit untuk menemukan
keterampilan yang mana yang menjadi pendorong keterampilan
yang lain. Keterampilan berkomunikasi bisa dilakukan terpisah
untuk membentuk dasar keterampilan yang harus dimiliki oleh anak
sebelum keterampilan ini digunakan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain. Berikut ini adalah metode dan
teknik pembelajaran yang bisa dan biasa digunakan dalam
membelajarakan keterampilan interaksi dan komunikasi pada anak
dengan autisme.

Metode dan Teknik pembelajaran keterampilan berkomunikasi


Sebelum kita mengajarkan keterampilan berkomunikasi pada
anak dengan autisme, kita harus pahami terlebih dahulu bahwa
berkomunikasi bukanlah berbicara. Bicara hanyalah salah satu cara
seseorang untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Jika
seorang anak dengan autisme tidak mampu berbicara maka kita
harus fasilitasi mereka dengan keterampilan berkomunikasi yang
lain.
Ada dua macam metode dan teknik yang biasa digunakan untuk
mengajarkan keterampilan berkomunikasi yaitu, yang pertama,
tanpa bantuan yang meliputi penggunaan gestur atau bahasa tubuh
dan isyarat manual. Penggunaan kedua cara ini bisa diajarkan
kepada anak dengan autisme terutama penggunaan isyarat umum
yang berlaku di lingkungan sekitar seperti melambaikan tangan,
meminta dan menunjuk. Isyarat sederhana ini perlu diajarkan kepada
anak dengan autisme sampai mereka benar-benar paham makna dan
penggunaannya sehingga mereka mampu menggunakan
keterampilan tersebut dengan benar. Sedangkan untuk penggunaan
bahasa isyarat bisa juga diajarkan kepada anak dengan autisme yang
tentu saja harus dengan persetujuan orang tua. Guru yang
mengajarkan juga harus mahir dalam penggunaan bahasa isyarat
sehingga kemampuan berkomunikasi murid akan berkembang
menjadi lebih baik.
Yang kedua adalah dengan bantuan yang bisa berupa obyek asli,
foto, garis-garis simbol atau simbol alfabet. Kedua metode dan
teknik ini memiliki kelemahan yang sama yaitu hanya bisa
digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang memahami
penggunaan kedua metode tersebut. Berikut ini adalah dua metode
dalam mengajarkan keterampilan berkomunikasi pada anak dengan
autisme yang menggunakan bantuan dan mudah dalam
pelaksanaannya.
1. PECS (Picture Exchange Communication System)
PECS merupakan sistem berkomunikasi dengan menukarkan
gambar atau foto antara orang yang menyampaikan pesan dan
orang yang menerima pesan. Pesan yang disampaikan adalah
gambar ataupun tulisan yang tersurat dalam gambar atau foto
yang digunakan. Prasyarat dalam memulai penggunaan PECS
untuk berkomunikasi adalah hal apa saja yang biasa dilakukan
anak untuk menunjukkan keinginannya dan hal yang disukai
anak. Kedua hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kemungkinan ketercapaian penguasaan keterampilan
penggunaan PECS dalam berkomunikasi.
Sebelum memulai menggunakan PECS, guru dan orang tua
disarankan untuk bekerja sama membuat buku PECS bagi anak.
Buku PECS ini berisi kartu bergambar kegiatan yang biasa
dilakukan oleh anak atau foto benda-benda yang biasa digunakan
oleh anak. Setiap gambar diberi perekat yang kuat sehingga bisa
dipakai berulangkali. Kartu bergambar ataupun foto-foto ini
ditempelkan pada buku atau map yang kuat agar bisa dibawa-
bawa oleh anak tetapi masih tetap kuat menempel pada buku.
Pada saat ingin berkomunikasi anak bisa menggunakannya.
Menurut Bondy & Frost (1994), ada enam fase dalam
mengajarkan anak untuk menggunakan PECS dalam
berkomunikasi:
Fase 1: untuk memulai berkomunikasi
Pada fase ini, seorang fasilitator dan penerima pesan
dibutuhkan untuk bekerja dengan anak. Anak diberi benda yang
sedang diinginkannya dan saat anak meraih benda tersebut,
fasilitator secara fisik mengarahkan anak untuk mengambil
gambar benda yang diinginkannya. Fasilitator membantu anak
mengambil gambar benda yang dimaksud dan memberikannya
kepada penerima pesan yang sedang memegang benda yang
diinginkan oleh anak untuk ditukar dengan benda yang dimaksud.
Kegiatan fase 1 ini bisa dilakukan dengan duduk di kursi saling
berhadapan antara anak dengan penerima pesan atau guru,
sedangkan fasilitator bisa duduk di belakang atau di samping
anak.
Fase 2: untuk mengajarkan jarak dan ketekunan
Anak diajarkan untuk bergerak pada jarak yang agak jauh
untuk menukarkan gambar dengan benda yang diinginkan.
Mereka diajarkan untuk menemukan gambar dalam buku atau
papan PECS mereka yang diletakan agak jauh dan setelah
ditemukan mereka diarahkan untuk menuju ke mitra komunikasi
untuk menyelesaikan penukaran gambar dengan benda yang
diinginkan. Kegiatan fase 2 ini hendaknya dilakukan secara
berdiri dengan posisi yang sama seperti fase 1 sehingga anak bisa
bergerak bebas.
Fase 3: untuk membedakan antara yang diinginkan
dengan yang tidak diinginkan
Pada fase ini guru memasangkan gambar benda yang
diinginkan dengan gambar benda yang tidak diinginkan pada
buku komunikasi. Anak bertukar menggunakan salah satu
gambar dan menerima barang yang diminta. Ketika gambar
barang yang diinginkan ditukar, maka anak akan menerima
barang yang diinginkan dan mendapat penguatan sosial dari
penerima pesan. Ketika gambar barang yang tidak diinginkan
ditukar, maka anak akan menerima barang yang dimaksud dan
langkah-langkah koreksi kesalahan harus dimunculkan. Penerima
pesan bisa bertanya ‘Apa yang kamu inginkan?’ atau fasilitator
bisa mengarahkan anak secara fisik kepada benda yang
diinginkan. Begitu anak semakin mampu membedakan antara
benda yang diinginkannya dengan yang tidak diinginkannya,
guru secara bertahap harus menambahkan benda yang baru dalam
daftar yang harus diajarkannya.
Fase 4: memulai menggunakan struktur kalimat
Ikon ‘saya ingin …..’ atau ‘saya mau …..’ untuk frasa
pengantar harus disediakan sebagai pembuka atau awal kalimat
untuk dikombinasikan dengan sebuah gambar benda yang akan
diminta. Pada sisi akhir ikon ini diberi perekat untuk
menempelkan gambar atau pesan yang akan dikomunikasikan.
Dengan ikon ini anak diusahakan belajar membuat kalimat
dengan menambahkan pesan yang akan dikomunikasikan dan
menukarkan keseluruhan gambar untuk berkomunikasi. Setelah
murid memberikan keseluruhan ikon yang digabung dengan
gambar atau pesan yang diinginkan kepada penerima pesan maka
selanjutnya penerima pesan menerimanya, menghadapkan ikon
yang diterima pada anak, membacakannya dan memberikan
benda yang diinginkan oleh anak.
Fase 5: untuk menjawab pertanyaan langsung
Anak diajarkan untuk menjawab pertanyaan ‘apa yang kamu
inginkan?’ atau ‘apa yang kamu mau?’. Penggunaan kata
tambahan bisa diajarkan pada saat ini untuk mempertegas makna
pesan. Contoh: ‘saya mau makan’ maka jika ditambahkan satu
kata akan menjadi ‘saya mau makan mangga’.
Fase 6: memulai membangun komentar
Anak belajar berkomunikasi lebih dari sekedar menyampaikan
kebutuhan dan keinginannya. Selama fase ini, pertukaran gambar
bukan lagi untuk meminta tetapi pertukaran yang bertujuan untuk
berkomentar dan menyediakan informasi. Proses ini diajarkan
dengan menggunakan frasa pengantar ‘saya tahu…..’ dan ‘saya
dengar…..’. Kedua frasa ini diperkenalkan satu persatu dan
disimpan dalam buku PECS.

2. Gawai
Gawai atau gadget atau telepon genggam adalah salah satu alat
yang bisa kita gunakan untuk mengajarkan berkomunikasi bagi
anak dengan autisme. Syarat utama penggunaan gawai untuk
berkomunikasi adalah anak sudah harus paham alfabet dan
bagaimana menggunakannya. Anak kita ajarkan mengetik pesan
yang mereka inginkan untuk dikirimkan kepada penerima pesan
melalui sms manual atau aplikasi pengirim pesan seperti
whattsapp, wechat, line dan lain-lain. Syarat kedua adalah anak
harus bisa berbicara saat menggunakan fasilitas pengiriman pesan
suara melalui berbagai aplikasi seperti yang tersebut sebelumnya.
Kita juga bisa mencari berbagai aplikasi berkomunikasi yang
memang dirancang untuk membantu mereka yang mengalami
hambatan berkomunikasi melalui gawai pintar pada bagian play
store. Tetapi pada umumnya aplikasi ini menggunakan Bahasa
Inggris sehingga agak sulit mengajarkan penggunaannya pada
anak dengan autisme di Indonesia yang berbahasa Indonesia.
Pada bagian pencarian di play store kita tuliskan ‘communication
apps for nonverbal’ maka akan keluar berbagai macam aplikasi
dari yang menggunakan kartu bergambar sampai menggunakan
suara seperti LetMeTalk, SymboTalk, JABTalk, Card Talk dan
lain-lain. Kita tinggal unduh saja salah satunya dan pelajari
terlebih dahulu cara menggunakan aplikasi tersebut sehingga kita
bisa ajarkan penggunaannya kepada murid. Tetapi harus diingat,
pemilihan aplikasi yang akan kita gunakan harus disesuaikan
dengan sisa kemampuan berkomunikasi yang dimiliki anak dan
atas persetujuan orang tua.

Metode dan teknik pembelajaran keterampilan berinteraksi


Tujuan akhir dari pembelajaran berkomunikasi bagi anak
dengan autisme adalah agar mereka bisa melakukan interaksi
sosial secara wajar dengan orang lain terutama dengan orang yang
dikenalnya. Interaksi adalah kegiatan saling mempengaruhi
antara seseorang dengan orang lain baik secara individu maupun
berkelompok. Interaksi yang paling sederhana bagi anak dengan
autisme adalah bermain dengan teman sebayanya baik di dalam
maupun di luar kelas. Karena ketidakmampuannya untuk
melakukan interaksi dengan baik maka anak dengan autisme
cenderung untuk menyendiri. Sebagai guru kita harus berusaha
mengajarkan keterampilan berinteraksi secara wajar kepada
murid kita yang mengalami autisme. Berikut ini adalah beberapa
strategi yang bisa digunakan untuk mengajarkan keterampilan
berinteraksi bagi anak dengan autisme.

1. Social story
Social story adalah cerita-cerita sosial yang sengaja dibuat
untuk mengarahkan anak dengan autisme supaya melakukan
interaksi. Cerita sosial ini dibuat langkah demi langkah dalam
melakukan sesuatu sampai tujuan akhir tercapai dan harus
disesuaikan dengan tujuan melakukan interaksi. Misalnya kalau
tujuan akhir adalah mendapatkan makanan, maka langkah
terakhir adalah anak mendapatkan makanan. Cerita dibuat bisa
menggunakan gambar, kata atau kalimat yang disesuaikan
dengan kemampuan modalitas murid dan sebaiknya dibuat dalam
satu bagian kertas, jangan bolak-balik agar tidak membingungkan
anak. Setelah cerita dibuat, guru baru bisa mengajarkan cara
penggunaannya kepada murid dengan menunjukkan langkah-
langkah yang harus dilakukan oleh murid. Berikut ini adalah
contoh cerita sosial untuk berbelanja di warung.

Berbelanja di warung

1. Kadang-kadang saya harus pergi ke warung untuk belanja

2. Saya harus membawa uang di dompet

3. Saya keluar rumah dan menutup pintu rumah

4. Saya berjalan menuju warung


5. Membeli sabun mandi dan membayar

6. Saya mendapatkan sabun yang saya beli

7. Pulang kembali ke rumah

*Keterangan: semua gambar diambil dari Google gambar

Ketika guru berusaha membuat social story atau cerita sosial,


guru harus benar-benar memperhatikan kemampuan murid.
Apakah murid perlu menggunakan gambar atau tidak dalam
social story mereka? Apakah tulisan saja sudah cukup untuk
murid? Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan murid
memahami makna atau petunjuk yang terkandung dalam cerita
sosial yang sudah kita buat.
2. Buddy system
Buddy system merupakan sebuah prosedur dimana dua
individu bekerjasama sebagai satu tim sehingga mereka bisa
saling memonitor dan membantu satu sama lain. Dalam prosedur
ini, biasanya guru menunjuk salah satu murid untuk bekerjasama
dengan anak autis dengan menjadi temannya secara khusus
sehingga anak dengan autisme akan belajar berinteraksi. Murid
yang ditunjuk sebaiknya adalah mereka yang populer diantara
teman sekelasnya sehingga akan diterima dengan baik oleh
semuanya. Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
bullying atau perundungan dari teman yang lain karena biasanya
yang populer ini disegani oleh semuanya. Sebelum murid yang
ditunjuk ini dipasangkan dengan anak autis, sebaiknya mereka
dilatih terlebih dahulu bagaimana caranya untuk bekerjasama.
Materi pelatihan sebaiknya disesuaikan dengan kapasitas dan
kemampuan anak misalnya tentang bagaimana sebaiknya
mengajak bermain anak autis, bagaimana berbicara dengan anak
autis dan lain-lain. Untuk memberikan semangat, guru sebaiknya
juga memberikan reward atau hadiah bagi mereka yang mau
bekerjasama dengan anak autis.

3. Merancang Program Pembelajaran Interaksi dan Komunikasi


bagi Anak dengan Autisme
Merancang program pembelajaran interaksi dan komunikasi bagi
anak dengan autisme tidak berbeda dari merancang program
pembelajaran yang lain. Kegiatan merancang program pembelajaran
kompensatoris ini dimulai dengan melakukan asesmen terhadap
individu untuk mengetahui bagaimana kemampuan berinteraksi dan
berkomunikasi mereka pada saat ini. Setelah kita mendapatkan hasil
yang kita butuhkan dari proses asesmen, maka kita bisa memulai
merancang program pembelajaran kompensatoris.
Dalam merancang program pembelajaran kompensatoris, hasil
asesmen tentang anak, kita jadikan dasar dalam menentukan tujuan
pembelajaran, metode apa yang akan kita gunakan dan bagaimana
penilaian yang akan kita lakukan terhadap anak. Kita juga bisa
menentukan tempat yang akan kita gunakan untuk melaksanakan
pembelajaran, apakah di dalam atau di luar kelas. Selama
pembelajaran tersebut, apakah kita membutuhkan bantuan dari
orang lain atau tidak. Kalau kita tuliskan dalam tabel, maka hasil
akhir program pembelajaran kompensatoris yang kita rancang akan
terlihat seperti berikut ini.

Tabel 1. Contoh program pembelajaran khusus


Kemampuan saat Apa: target Bagaimana/kapan Pencapaian Keterangan
ini /dimana/siapa Y T S Tgl
Sering bermain Mengajarkan - Dengan cerita
sendiri tapi kalau cara bergabung sosial
melihat temannya dengan - Saat sedang
mengelompok, kelompok istirahat
Rara sering - Dibantu
memperhatikannya guru/orang
tua/embak

Contoh program kebutuhan khusus seperti tersebut di atas


merupakan inti dari program pembelajaran yang harus dibuat. Ketika
para mahasiswa sekalian merancang program kebutuhan khusus bagi
anak dengan autisme, struktur yang digunakan harus mengikuti
struktur program pembelajaran individual yang berlaku dan sesuai
dengan kurikulum.

4. Penilaian Kegiatan Pembelajaran Interaksi dan Komunikasi


bagi Anak dengan Autisme
Penilaian merupakan kegiatan akhir dari proses pembelajaran
yang telah kita rancang dan berikan kepada peserta didik kita.
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Di dalam
proses penilaian kita juga mengukur atau memberikan angka
terhadap hal yang sedang kita amati berdasarkan aturan-aturan yang
sudah kita buat sebelumnya. Dalam pembelajaran interaksi dan
komunikasi bagi anak dengan autisme, yang kita ukur adalah kondisi
kemampuan interaksi dan komunikasi anak dengan autisme setelah
kita berikan perlakuan tertentu dalam pembelajaran. Contoh
perlakuan yang kita berikan adalah anak diajarkan untuk memulai
menyapa atau anak diajarkan untuk menjawab pertanyaan
sederhana.
Menurut Sunanto, Takeuchi & Nakata (2005), frekuensi, rate,
persentase, durasi, latensi, magnitude, dan trial adalah jenis ukuran
yang sering digunakan untuk mengetahui perubahan perilaku yang
kita ajarkan. Agar diingat bahwa secara umum perilaku adalah
sesuatu yang dikatakan atau dilakukan oleh seseorang. Jadi, dalam
proses penilaian dalam pembelajaran interaksi dan komunikasi bagi
anak dengan autisme yang kita lakukan adalah mengukur kualitas
dan kuantitas sesuatu yang dikatakan atau dilakukan dengan
menggunakan salah satu jenis ukuran tersebut di awal paragraf ini.
Dan perlu diingat lagi bahwa pemilihan jenis ukuran sangat
tergantung pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Berikut ini
adalah penjelasan masing-masing jenis ukuran.
1. Frekuensi menunjukkan jumlah atau berapa banyak anak
dengan autisme melakukan atau mengatakan sesuatu dalam
jangka waktu tertentu dan biasanya jangka waktunya adalah
sama. Contohnya Rara mengucapkan kata-kata buruk
sebanyak 6 kali saat mengikuti pelajaran yang tidak disukai.
6 kali inilah yang disebut sebagai frekuensi selama mengikuti
pelajaran yang tidak disukai. Contoh ini merupakan perilaku
tidak baik yang seharusnya kita usahakan untuk dikurangi
atau dihilangkan. Jika kita menggunakan contoh ini dalam
pembelajaran komunikasi maka tujuan pembelajaran yang
akan kita buat haruslah dibuat dengan benar.
2. Rate merupakan angka yang menunjukkan banyaknya anak
dengan autisme melakukan atau mengatakan sesuatu dalam
suatu periode waktu tertentu dan biasanya jangka waktunya
berbeda. Rate hampir sama dengan frekuensi, yang berbeda
adalah cara menyajikan data. Rate biasanya ditampilkan
dalam bentuk banyaknya respon atau kejadian setiap menit
atau jam seperti 6X/jam. Sedangkan data frekuensi biasanya
disajikan dalam bentuk banyaknya respon atau kejadian
dalam total waktu tertentu.
3. Persentase menunjukkan jumlah terjadinya suatu perilaku
atau peristiwa dibandingkan dengan keseluruhan
kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut kemudian
dikalikan dengan 100%. Contoh: Saat mengajar berinteraksi
pada anak dengan autisme, guru mengharapkan anak bisa
memulai interaksi dengan 10 orang teman sekelasnya selama
satu kali pelaksanaan pembelajaran. tapi kenyataannya anak
hanya mampu melakukan 3 kali interaksi yang diminta. Maka
jika dihitung akan menjadi 3 dibagi 10 hasilnya dikalikan
100%.
4. Durasi menunjukkan lama pendeknya waktu anak dengan
autisme melakukan atau mengatakan sesuatu. Contohnya
yaitu berapa lama anak dengan autisme bertahan berinteraksi
dengan orang lain.
5. Latensi menunjukkan berapa lama waktu yang dibutuhkan
oleh anak dengan autisme untuk melakukan atau mengatakan
sesuatu setelah diminta oleh guru. Contohnya saat guru
bertanya ‘coba tunjuk dimana bukumu!’ berapa lama waktu
yang dibutuhkan oleh Rara untuk menunjuk setelah guru
mengatakan perintah.
6. Magnitude menunjukkan kualitas respon yang diberikan
oleh anak dengan autisme terhadap perintah yang diberikan
oleh guru.
7. Trial menunjukkan banyaknya kegiatan untuk mencapai
suatu kriteria yang telah ditentukan. Misalnya dalam satu kali
pertemuan guru sudah mencoba perintah yang sama sebanyak
lima kali. Berdasarkan contoh ini berarti guru sudah
melakukan lima kali trial.
Jenis-jenis ukuran yang ada di atas, bisa digunakan secara
individual atau gabungan antara beberapa jenis ukuran. Guru
sebaiknya memilih jenis ukuran yang sesuai dengan tujuan yang
sudah ditentukan sehingga benar-benar menggambarkan
kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi anak dengan autisme.

B. Program Kebutuhan Khusus untuk Anak Berkesulitan Belajar


1. Konsep Program Kebutuhan Khusus bagi Anak Berkesulitan
Belajar
Pembelajaran program kebutuhan khusus bagi anak berkesulitan
belajar bertujuan untuk memfasilitasi anak yang memiliki hambatan
pada aspek tertentu. Pada anak berkesulitan belajar pembelajaran
khusus diberikan untuk membantu anak agar mampu mengikuti
proses belajar. Hambatan yang dihadapi pada anak berkesulitan
belajar bukan karena anak memiliki tingkat intelegensi yang rendah
dan bukan pula karena fungsi sensorinya yang terganggu. Anak
berkesulitan belajar tidaklah sama dengan anak hambatan
intelektual.
Pembelajaran program kebutuhan khusus adalah cara sederhana
untuk mengakomodasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh
anak. Setiap anak berkesulitan belajar memiliki kekuatan dan
kelemahan yang harus diakomodasi. Program layanan untuk
mengakomodasi kekuatan dan kelemahan anak berkesulitan belajar
dibagi menjadi dua, yaitu layanan akademik dan layanan perilaku.
Layanan akademik, bagi anak berkesulitan belajar dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya melalui pembelajaran remedial
yang bertujuan untuk pembentukan pemahaman materi ajar melalui
pengulangan dan latihan terus menerus. Proses pembelajaran dapat
dilakukan dengan pendekatan kooperatif dan kolaboratif. Dalam
layanan akademik penekanan dalam penguasaan dan pemahaman
konsep bagi anak kesulitan belajar lebih utama.
Layanan perilaku, layanan ini dikembangkan selaras dengan
layanan akademik dengan penekanan pada pembentukan perilaku
belajar yang kondusif untuk menunjang kemampuan dalam bidang
akademik. Beberapa teknik diterapkan untuk membantu membentuk
perilaku anak berkesulitan belajar, diantaranya: modifikasi perilaku,
penerapan jadwal visual, penerapan kontrak belajar, dan pengelolaan
kelas.

2. Metode dan Teknik Pembelajaran Program Kebutuhan


Khusus bagi Anak Berkesulitan Belajar
a. Layanan Akademik
Metode yang di terapkan dalam pembelajaran program kebutuhan
khusus bagi anak berkesulitan belajar dalam bidang akademik
adalah remedial. Ada pun karakteristik pengajaran remedial sebagai
berikut:
1) Bersifat khusus, dimana kekhususan ini terdapat pada beberapa
aspek yaitu: (a) dilakukan setelah mengetahui kesulitan belajar
spesifiknya melalui proses asesmen yang kemudian diberikan
layanan khusus dengan jenis, sifat dan latar belakangnya; (b)
tujuan pembelajaran disesuaikan dengan kesulitan belajar yang
dihadapi oleh anak; (c) pemilihan strategi dalam pembelajaran
disesuaikan dengan kebutuhan anak; (d) dilaksanakan secara
multidisipliner; (e) menggunakan alat dan sumber belajar yang
bervariasi untuk mengembangkan multisensori anak; (f)
evaluasi belajar disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak
kesulitan belajar.
2) Memiliki sasaran yang juga khusus, yaitu anak berkesulitan
belajar
3) Pengajaran remedial berfungsi secara khusus, fungsinya yaitu:
(a) fungsi korektif, pengajaran remedial meninjau kembali dan
melakukan perbaikan terhadap keterampilan atau kemampuan
yang belum tercapai oleh anak kesulitan belajar sehingga dapat
memperbaiki prestasi belajar anak ; (b) fungsi pemahaman,
dimana dengan fungsi ini memungkinkan guru memahami
kesulitan yag dihadapi oleh anak dan anak dapat memahami
kesulitan yang dihadapinya; (c) fungsi pengayaan, dengan
pengajaran ini memungkinkan anak dapat memperkaya dan
memperdalam proses belajarnya; (d) fungsi penyesuaian,
dimana dengan fungsi ini memungkinkan melakukan
penyesuaian yang dibutuhkan oleh anak; (e) fungsi akseleratif,
dengan fungsi ini memungkinkan proses belajar anak dapat
dipercepat dengan desain pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan anak; (f) fungsi terapeutik, dengan fungsi ini dapat
memperbaiki akar dari kesulitan yang dihadapi oleh anak
berkesulitan belajar.
4) Bersifat kasuistik dan bersifat individual, karena penyebab serta
bentuk kesulitan belajar anak berbeda-beda.

Pendekatan di dalam pengajaran remedial:


1) Pendekatan kuratif, yaitu: pengulangan, pengayaan,
penguatan, dan percepatan
2) Pendekatan preventif, yaitu: kelompok belajar homogen,
layanan individual, pengajaran kelas khusus.
3) Pendekatan perkembangan.
Metode dalam pengajaran remedial:
1) Metode pemberian tugas
2) Metode diskusi
3) Metode tanya jawab
4) Metode pengajaran individual
5) Metode tutor sebaya

Pelaksanaan dalam pengajaran remedial:


1) Penelaahan kasus
2) Pemilihan alternative intervensi
3) Pemberian layanan khusus
4) Evaluasi hasil belajar
5) Asesmen kembali
b. Layanan Perilaku
Teknik yang digunakan dalam layanan perilaku bervariasi,
diantaranya adalah:
1) Modifikasi perilaku
Dalam teknik ini perilaku positif dikembangkan melalui
pemberian penguatan (reinforcement) dalam bentuk reward
and reinforcement negative.
2) Penerapan jadwal visual terstruktur
Teknik ini dibuat untuk membantu peserta didik mengikuti
jadwal pelajaran. Melalui gambaran visual peserta didik
diharapkan mampu memiliki visual image tentang apa yang
akan dipelajari. Guru dapat memvisualkan jadwal kegiatan
dalam bentuk foto atau gambar yang jelas. Didalam jadwal
visual terdapat peraturan yang telah disepakati bersama.
Jadwal visual ini dapat dikolaborasikan dengan teknik
penerapan kontrak belajar.
3) Penerapan kontrak belajar
Dalam teknik ini peserta didik bersama dengan guru
membuat kesepakatan dalam proses belajar. Kesepakatan
yang dibuat di dasari pada peraturan yang harus dipatuhi dan
reward apa yang akan didapatkan apabila mengikuti proses
belajar dengan baik dan dapat menyelesaikan tugas yang
diberikan.
4) Pengelolaan kelas

Dalam teknik ini guru dapat membantu peserta didik dalam


proses belajarnya dengan cara melakukan beberapa cara
seperti: (a) sebelum belajar pastikan menegosiasikan kontrak
dan aturan bersama peserta didik; (b) menciptakan
lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik agar nyaman dan kondusif; (c) perhatikan tanda-tanda
perilaku yang muncul dari peserta didik; (d) apabila guru
akan memberikan peringatan kepada peserta didik
lakukanlah dengan mendekati peserta didik, melakukan
kontak mata, dan sampaikan ungkapan dengan Bahasa yang
singkat, sederhana, dan jelas; (e) berikan kesempatan yang
sama pada setiap peserta didik untuk bertanya dan menjawab
untuk menghindari diskriminasi.
5) Self-Talk
Teknik Self-Talk memiliki banyak nama lain, seperti inner
speech, self-instructing (memberi instruksi pada diri
sendiri), self-verbalizing (verbalisasi diri). Semua nama lain
tersebut memiliki makna yang sama yaitu “berbicara dengan
diri sendiri”. Teknik ini adalah suatu kemampuan
mengembangkan pemikiran yang lebih terstruktur dan
mengarahkan sesuatu ke arah yang lebih positif. Pada peserta
didik berkesulitan belajar self-talk diajarkan dengan
mengajarkan kata-kata positif tentang suatu hal agar
mendorong dirinya untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya. Teknik ini juga diajarkan untuk mengurangi
kecemasan yang muncul pada dirinya pada situasi yang
kurang menyenangkan terjadi.

3. Merancang Pembelajaran Program Kebutuhan Khusus bagi


Anak Berkesulitan Belajar
Merancang pembelajaran program kebutuhan khusus bagi anak
berkesulitan belajar dilakukan dengan membuat PPI (Program
Pendidikan Individual) yang didasari dari hasil asesmen, yang
berisi tentang kebutuhan dan hambatan yang dihadapi oleh anak,
dukungan atau bantuan layanan program kebutuhan khusus yang
akan diajarkan, perencanaan pengembangan program yang
mengidentifikasi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun PPI yaitu:
a. Kemampuan anak berkesulitan belajar
b. Waktu yang tersedia untuk proses pembelajaran program
kebutuhan khusus
c. Ketersediaan sumber belajar
d. Sarana dan prasarana
e. Pengaturan pemberian layanan

4. Penilaian Kegiatan Pembelajaran Program Kebutuhan


Khusus bagi Anak Berkesulitan Belajar
Penilaian kegiatan pembelajaran program kebutuhan khusus
bagi anak berkesulitan belajar tidak berbeda dari penilaian
pembelajaran yang lainnya. Penilaian kegiatan ini bisa dilakukan
dengan menggunakan semua metode yang bisa dan biasa
digunakan bagi anak pada umumnya.
4.Forum Diskusi
Rara seorang murid kelas 3 di sebuah SLB. Berdasarkan portofolio yang
diberikan oleh orang tua ke sekolah, Rara didiagnosis sebagai anak dengan
autisme dengan level sedang. Saat di sekolah dia seringkali berjalan
mengelilingi lapangan sekolah. Saat belajar di dalam kelas pun dia seringkali
mengelilingi meja teman-temannya dan mejanya sendiri. Saat ditegur oleh
guru, dia seperti tidak peduli. Dia terus saja berjalan mengelilingi meja-meja
yang ada di dalam kelas.
Berdasarkan ilustrasi di atas, coba para mahasiswa sekalian diskusikan
tentang apa kebutuhan Rara dan bagaimana guru memenuhi kebutuhan Rara?

C. Penutup
1. Rangkuman
Pembelajaran program kebutuhan khusus merupakan pembelajaran yang
memfasilitasi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan dan atau
mengembalikan keterampilan yang hilang sebagai akibat dari kelainan yang
dimilikinya. Pembelajaran program kebutuhan khusus bertujuan untuk
membantu anak berkebutuhan khusus (anak dengan autisme dan anak
berkesulitan belajar) agar berfungsi sebagaimana mestinya dalam
kehidupan sehari-hari dalam lingkungannya. Ruang lingkup pembelajaran
program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme meliputi interaksi dan
komunikasi. Sedangkan ruang lingkup pembelajaran program kebutuhan
khusus bagi anak berkesulitan belajar adalah layanan akademik dan layanan
perilaku.
Metode pembelajaran program kebutuhan khusus bagi anak dengan
autisme adalah PECS, gawai, social story dan buddy program. Sedangkan
untuk anak berkesulitan belajar, metode pembelajaran dalam layanan
akademik meliputi pemberian tugas, diskusi, tanya jawab, pengajaran
remidial dan tutor sebaya. Dalam layanan perilaku meliputi modifikasi
perilaku, penerapan jadwal visual terstruktur, kontrak belajar, pengelolaan
kelas dan self talk.
Merancang pembelajaran program kebutuhan khusus bagi anak dengan
autisme dan atau anak berkesulitan belajar sebaiknya dimulai dengan
asesmen. Hasil asesmen yang kita dapatkan akan dijadikan sebagai dasar
dalam menentukan target atau tujuan, metode, personil yang akan terlibat,
tempat dan penilaian keberhasilan pembelajaran. Untuk anak dengan
autisme, penilaian keberhasilan pembelajaran bisa kita gunakan berbagai
jenis ukuran antara lain frekuensi, magnitude, latensi, rate, persentase,
durasi dan trial. Sedangkan penilaian untuk anak berkesulitan belajar secara
umum sama dengan penilaian yang digunakan untuk anak pada umumnya.

2. Tes Formatif
Berilah tanda Silang (X) pada salah satu huruf A, B, C, D atau E pada
jawaban yang kamu anggap benar.
1. Apa yang dimaksud dengan program kebutuhan khusus?
A. Semua jawaban setelah jawaban dalam huruf A adalah benar
B. Program kebutuhan khusus adalah upaya memfasilitasi anak untuk
mendapatkan berbagai keterampilan sebagai akibat dari kelainan
yang dimilikinya
C. Program kebutuhan khusus merupakan pembelajaran yang diberikan
untuk membantu anak agar mampu mengikuti proses belajar
D. Program kebutuhan khusus merupakan pembelajaran yang bersifat
mengganti kerugian yang dialami oleh anak karena hambatan yang
dimilikinya
E. Pembelajaran program kebutuhan khusus merupakan pembelajaran
yang bertujuan untuk memfasilitasi anak yang memiliki hambatan
pada aspek tertentu
2. Mengapa program kebutuhan khusus diberikan kepada anak dengan
autisme?
A. Karena pembelajaran secara khusus dibutuhkan oleh anak dengan
autisme
B. Karena anak dengan autisme cocok diberikan program pembelajaran
khusus saja
C. Karena hanya program pembelajaran khusus yang bisa dilakukan
oleh guru
D. Karena program pembelajaran khusus hanya bisa dilaksanakan
untuk mengajarkan keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi
E. Karena hambatan yang dimiliki oleh anak dengan autisme
menyebabkan mereka tidak berfungsi secara sempurna
3. Bagaimana syarat penggunaan PECS?
A. Gambar-gambar harus tersedia dan harus bagus
B. Pesan yang akan disampaikan oleh anak berkebutuhan khusus
C. Hal-hal yang biasa dilakukan anak untuk menunjukkan
keinginannya dan hal yang disukai anak
D. Kesiapan guru dalam mengajarkan PECS dan foto yang dibutuhkan
oleh anak
E. Tempat untuk menyimpan foto atau gambar yang akan digunakan
dalam mengajarkan PECS
4. Apakah fase-fase dalam mengajarkan anak untuk menggunakan PECS
harus berurutan?
A. Tidak harus berurutan karena akan menyulitkan anak yang sedang
belajar dan guru yang sedang mengajarkannya
B. Iya, karena fase-fase tersebut sudah dirancang dengan baik oleh
penciptanya sehingga kita tidak boleh merusaknya
C. Tidak berurutan boleh saja karena fase-fase itu bersifat fleksibel
mengikuti kemampuan anak
D. Tentu saja harus berurutan karena fase tersebut menunjukkan tingkat
dari yang paling mudah sampai yang paling susah dalam
mengajarkan keterampilan berkomunikasi
E. Tidak ada satu jawabanpun yang benar
5. Mengapa pengukuran yang digunakan untuk menilai kemampuan
keterampilan komunikasi dan interaksi pada anak dengan autisme
berbeda dengan penilaian pada umumnya?
A. Karena keterampilan komunikasi dan interaksi adalah kemampuan
yang tidak dimiliki oleh anak dengan autisme
B. Karena satuan pengukuran yang umum belum merefleksikan
kemampuan tersebut secara akurat
C. Karena keterampilan komunikasi dan interaksi tidak bisa diukur
dengan sembarangan
D. Karena keterampilan komunikasi dan interaksi hanya bisa diukur
dengan dengan frekuensi
E. Karena keterampilan komunikasi dan interaksi pada umumnya
diukur dengan satuan trial
6. Aspek apa saja yang perlu diberikan melalui program kebutuhan khusus
pada anak berkesulitan belajar?
A. Membaca, menulis dan matematika
B. Semua aspek yang menyebabkan kesulitan belajar
C. Aspek akademik dan perilaku
D. Aspek perilaku yang kasat mata
E. Aspek akademik yang membuat anak malas
7. Bagaimana karakteristik pengajaran remidial bagi anak berkesulitan
belajar?
A. Dilaksanakan dengan dukungan berbagai pihak yang terkait dengan
anak berkebutuhan khusus
B. Karena penyebabnya berbeda-beda maka pelaksanannyapun
dilakukan secara individual
C. Sasaran utamanya adalah anak berkesulitan belajar
D. Bersifat khusus, memiliki sasaran khusus, berfungsi secara khusus,
bersifat kasuistik dan individual
E. Berfungsi untuk memperbaiki kemampuan yang kurang pada anak
8. Mengapa anak berkesulitan belajar perlu mendapatkan layanan perilaku?
A. Karena anak berkesulitan belajar perilakunya sering tidak terkontrol
B. Karena perilaku anak berkesulitan belajar membahayakan bagi guru
dan teman sekelasnya
C. Karena perilaku mereka sering berubah-ubah dan tidak terkendali
D. Karena perilaku menyebabkan ketidakmampuan dalam hal
membaca, menulis dan matematika
E. Untuk membentuk perilaku belajar yang kondusif untuk menunjang
kemampuan dalam bidang akademik
9. Bagaimanakah prosedur merancang pembelajaran program kebutuhan
khusus?
A. Pembelajaran program kebutuhan khusus bisa dirancang seperti
merancang program lainnya
B. Merancang program selalu diawali dengan asesmen, hasil asesmen
digunakan untuk menentukan target, metode, dan semua yang
berkaitan dengan program
C. Prosedur merancang pembelajaran program kebutuhan khusus
adalah mengikuti prosedur yang biasa kita lakukan
D. Merancang pembelajaran program kebutuhan khusus tidak harus
mengikuti prosedur yang berlaku
E. Asesmen dilakukan setelah anak terlihat mengalami kesulitan dalam
belajar, barulah merancang program
10. Bagaimana syarat penggunaan teknik dalam layanan perilaku bagi anak
berkesulitan belajar?
A. Penerapan kontrak belajar dilakukan antara peserta didik bersama
dan guru dengan membuat kesepakatan dalam proses belajar
B. Modifkasi perilaku digunakan sesuai dengan keadaan anak
C. Berbicara pada diri sendiri untuk mengurangi tingkat tekanan yang
dialami anak berkesulitan belajar
D. Pengelolaan kelas secara berkala baik harian, mingguan ataupun
bulanan
E. Jadwal visual terstruktur digunakan dengan bantuan gambar dan foto
DAFTAR PUSTAKA

Bondy, A., & Frost, L. (1994). The Picture Exchange Communication


System. Focus on Autistic Behavior, 9(3), 1-20
Sunanto, J., Takeuchi K., & Nakata, H. (2005). Pengantar penelitian dengan
subyek tunggal. Tsukuba: CRICED University of Tsukuba
Tugas Akhir
Bersama teman yang terdekat dengan anda, susunlah pembelajaran program
kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme dan anak berkesulitan belajar.

Tes Sumatif
1. Mengapa peserta didik autis membutuhkan pendekatan pengajaran yang
ramah?
A. Karena pendekatan pengajaran yang ramah autis tentu sudah disesuailkan
dengan karakteristik, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh peserta
didik
B. Karena pendekatan pengajaran yang ramah akan membuat peserta didik
mudah belajar
C. Karena pendekatan pengajaran yang ramah diperlukan untuk menciptakan
suasana belajar yang nyaman
D. Pendekatan pengajaran yang ramah merupakan kedekatan antara guru dan
peserta didik
E. Karena pendekatan pengajaran yang ramah akan membuat guru dan
peserta didik bahagia
2. Mengapa identifikasi dan asesmen perlu dipelajari oleh guru?
A. Sebagai tugas dan kewajiban dalam modul
B. Karena identifikasi dan asesmen sering digunakan secara bersamaan
C. Karena merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh guru sebagai
dasar untuk membuat program pembelajaran
D. Karena identifikasi dan asesmen adalah dua hal yang seiring sejalan
E. Supaya mahasiswa menjadi pintar
3. Kapan dan dimana kita bisa menemukan anak berkesulitan belajar?
A. Di Lembaga pendidikan non formal seperti tempat les
B. Di sekolah umum saat anak mulai berhadapan langsung dengan pelajaran
membaca, menulis dan berhitung
C. Di sekolah luar biasa, sejak anak mulai bersekolah
D. Di rumah mereka masing-masing, ketika orang tua direpotkan dengan PR
anak-anaknya
E. Sejak anak belum masuk sekolah dan ketika masuk sekolah bertemu guru
yang tegas
4. Mengapa anak berkesulitan belajar cenderung memiliki nilai akademik yang
rendah?
A. Karena mereka malas belajar sehingga mengerjakan tugas tidak dengan
benar
B. Karena belajar bagi mereka adalah sebuah penyiksaan terhadap keadaan
neurologis mereka
C. Karena soal dalam mata pelajaran yang mereka kerjakan terlalu sulit bagi
mereka sehingga mereka tidak bisa menjawab dengan benar
D. Karena guru kurang paham terhadap keadaan yang sedang mereka alami
E. Karena keadaan internal individu menyebabkan kesulitan untuk belajar
ditambah dengan kurangnya modifikasi pembelajaran yang disesuaikan
dengan kebutuhan mereka
5. Manakah yang paling tepat yang menggambarkan karakteristik anak
berkesulitan belajar?
A. Sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya di kelas sehingga terlihat
seperti penyendiri dan terisolasi
B. Selalu mendapatkan nilai rendah karena malas belajar dan malas bertanya
baik kepada guru maupun teman
C. Berjalannya seperti orang mabuk sehingga sering menabrak-nabrak dan
terjatuh
D. Kesulitan menyesuaikan diri, kesulitan memusatkan perhatian, dan
gangguan koordinasi
E. Sering kehilangan barang yang dimilikinya
6. Mengapa kita harus memahami struktur kurikulum?
A. Supaya saya lulus program PPG
B. Struktur kurikulum perlu dipelajari
C. Untuk memudahkan saya merancang pembelajaran
D. Supaya saya tahu bagaimana bentuknya
E. Kurikulum yang saya tahu adalah kurikulum 2013
7. Bagaimana kita seharusnya membelajarkan anak dengan autisme dengan
menggunakan pendekatan TEACCH?
A. Ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar harus ditata rapi dan
menunjukkan ruangan untuk belajar
B. Jadwal harus dibuat semenarik mungkin sehingga murid tahu akan belajar
apa saat di sekolah
C. Harus ada cara-cara yang jelas dalam mengerjakan tugas dan bagaimana
seharusnya murid mengerjakan tugasnya
D. Tidak ada satu pun jawaban yang salah dari semua pilihan yang ada
E. Semua komponen dalam TEACCH penggunaannya bisa dikombinasikan
dan bisa juga secara individual
8. Mengapa pendekatan berbasis applied behavior analysis (ABA) sering
digunakan dalam membelajarkan anak dengan autisme?
A. Pendekatan berbasis ABA sangat rumit
B. Semua jawaban salah
C. Pendekatan berbasis ABA tidak perlu evaluasi
D. Penilaian dalam pendekatan berbasis ABA membingungkan
E. Murid menjadi tidak spontan dalam berkomunikasi
9. Apakah semua bahan ajar yang tersedia secara daring bisa digunakan untuk
membelajarkan anak dengan autisme
A. Ya, tetapi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakteristik, minat
dan motivasi yang dimiliki anak
B. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring sangat menarik minat
anak untuk belajar
C. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring merupakan bahan ajar
yang mutakhir
D. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring mudah didapatkan
dimana saja
E. Ya, karena bahan ajar yang tersedia secara daring merupakan bahan ajar
yang menyenangkan
10. Alat evaluasi yang seperti apa yang seharusnya dibuat oleh guru untuk
mengetahui proses dan hasil belajar anak dengan autisme?
A. Alat evaluasi yang digunakan seharusnya bisa membuat anak belajar
dengan baik
B. Proses dan hasil belajar anak dengan autisme bisa diketahui kapan saja
tanpa menggunakan alat evaluasi
C. Alat evaluasi yang dibuat oleh guru seharusnya bisa melihat semua
perkembangan kognitif anak dengan autisme
D. Anak dengan autisme tidak bisa dites karena kemampuan berkonsentrasi
mereka sangat pendek
E. Alat evaluasi yang dibuat oleh guru seharusnya mampu melihat
kemampuan kognitif anak dalam hal menganalisis, mengevaluasi dan
mencipta
11. Apakah yang dimaksud dengan modifikasi kurikulum?
A. Modifikasi kurikulum adalah memodifikasi penjabaran yang akan
digunakan dalam pembelajaran
B. Modifikasi kurikulum adalah merubah dengan cara menambahkan
ataupun mengurangi tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan
evaluasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan siswa
C. Modifikasi kurikulum adalah menambahkan kalimat yang jelas pada
bagian tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan evaluasi agar sesuai
dengan kebutuhan dan keadaan siswa
D. Modifikasi kurikulum adalah mengambil bagian-bagian yang penting
dalam kurikulum untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan
siswa
E. Modifikasi kurikulum adalah merancang dan memberikan pembelajaran
sesuai dengan kurikulum yang berlaku
12. Bagaimanakah cara memodifikasi kurikulum untuk anak pada umumnya agar
bisa digunakan oleh anak berkesulitan belajar?
A. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan membaca seluruh bagian
tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan evaluasi
B. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan menambahkan tujuan yang
tepat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan siswa
C. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan mengurangi ataupun
menambahkan seluruh ataupun sebagian dari tujuan, isi atau materi,
proses atau metode dan evaluasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan
anak berkesulitan belajar
D. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan mengevaluasi seluruh
bagian tujuan, isi atau materi, proses atau metode dan evaluasi yang ada
pada kurikulum
E. Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan menyesuaikan keadaan
anak berkesulitan belajar dengan kurikulum
13. Mengapa bahan ajar yang akan kita berikan kepada anak berkesulitan belajar
harus dimodifikasi?
A. Kalau tidak dimodifikasi bahan ajar akan terlalu banyak dan
membosankan
B. Karena bahan ajar yang akan kita berikan harus dimodifikasi terlebih
dahulu
C. Karena bahan ajar yang ada biasanya mudah ditemukan dimana-mana baik
daring maupun luring
D. Karena bahan ajar memang dibutuhkan oleh murid untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan
E. Kalau kita menggunakan bahan ajar yang sudah ada maka modifikasi
diperlukan karena bahan ajar tersebut masih bersifat umum sehingga perlu
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang dimiliki oleh anak
berkesulitan belajar
14. Metode dan strategi pembelajaran yang manakah yang cocok digunakan untuk
membelajarkan anak berkesulitan belajar membaca pemahaman?
A. Membaca pemahaman bisa dilakukan pada saat listrik sedang mengalami
pemadaman
B. Membaca pemahaman bertujuan untuk memahami bacaan yang sedang
dibaca dengan strategi yang biasa saya gunakan
C. Membaca pemahaman bisa dilakukan dengan strategi dan metode apapun
sampai paham makna tulisan yang dibaca
D. Membaca pemahaman dapat diajarkan kepada murid menggunakan
strategi membaca kolaborasi dan hubungan tanya jawab
E. Membaca pemahaman merupakan kemampuan masing-masing individu
yang bisa dipelajari sejak masih kecil
15. Mengapa alat evaluasi yang kita susun bagi anak berkesulitan belajar harus
berbasis HOTS?
A. Karena kemampuan berpikir tingkat tinggi akan banyak sekali digunakan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga anak juga perlu dilatih untuk
menggunakannya
B. Karena alat evaluasi yang berbasis HOTS saat ini memang benar-benar
diperlukan oleh guru untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang sudah
dilakukan
C. Karena alat evaluasi yang berbasis sangat mudah dibuat dan tersedia
dimana-mana
D. Karena merupakan tuntutan kurikulum sehingga harus diupayakan untuk
digunakan kepada anak berkesulitan belajar
E. Karena alat evaluasi yang berbasis HOTS sangat cocok untuk digunakan
bagi anak berkesulitan belajar
16. Mengapa program kebutuhan khusus diberikan kepada anak dengan autisme?
A. Karena pembelajaran secara khusus dibutuhkan oleh anak dengan autisme
B. Karena anak dengan autisme cocok diberikan program pembelajaran
khusus saja
C. Karena hanya program pembelajaran khusus yang bisa dilakukan oleh
guru
D. Karena program pembelajaran khusus hanya bisa dilaksanakan untuk
mengajarkan keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi
E. Karena hambatan yang dimiliki oleh anak dengan autisme menyebabkan
mereka tidak berfungsi secara sempurna
17. Apakah fase-fase dalam mengajarkan anak untuk menggunakan PECS harus
berurutan?
A. Tidak harus berurutan karena akan menyulitkan anak yang sedang belajar
dan guru yang sedang mengajarkannya
B. Iya, karena fase-fase tersebut sudah dirancang dengan baik oleh
penciptanya sehingga kita tidak boleh merusaknya
C. Tidak berurutan boleh saja karena fase-fase itu bersifat fleksibel mengikuti
kemampuan anak
D. Tentu saja harus berurutan karena fase tersebut menunjukkan tingkat dari
yang paling mudah sampai yang paling susah dalam mengajarkan
keterampilan berkomunikasi
E. Tidak ada satu jawabanpun yang benar
18. Aspek apa saja yang perlu diberikan melalui program kebutuhan khusus pada
anak berkesulitan belajar?
A. Membaca, menulis dan matematika
B. Semua aspek yang menyebabkan kesulitan belajar
C. Aspek akademik dan perilaku
D. Aspek perilaku yang kasat mata
E. Aspek akademik yang membuat anak malas
19. Bagaimanakah prosedur merancang pembelajaran program kebutuhan khusus?
A. Pembelajaran program kebutuhan khusus bisa dirancang seperti
merancang program lainnya
B. Merancang program selalu diawali dengan asesmen, hasil asesmen
digunakan untuk menentukan target, metode, dan semua yang berkaitan
dengan program
C. Prosedur merancang pembelajaran program kebutuhan khusus adalah
mengikuti prosedur yang biasa kita lakukan
D. Merancang pembelajaran program kebutuhan khusus tidak harus
mengikuti prosedur yang berlaku
E. Asesmen dilakukan setelah anak terlihat mengalami kesulitan dalam
belajar, barulah merancang program
20. Bagaimana syarat penggunaan teknik dalam layanan perilaku bagi anak
berkesulitan belajar?
A. Penerapan kontrak belajar dilakukan antara peserta didik bersama dan
guru dengan membuat kesepakatan dalam proses belajar
B. Modifkasi perilaku digunakan sesuai dengan keadaan anak
C. Berbicara pada diri sendiri untuk mengurangi tingkat tekanan yang dialami
anak berkesulitan belajar
D. Pengelolaan kelas secara berkala baik harian, mingguan ataupun bulanan
E. Jadwal visual terstruktur digunakan dengan bantuan gambar dan foto
Kunci jawaban
1. Kunci jawaban tes formatif KB 1
No Soal Jawaban Uraian Jawaban
1. D Gangguan perkembangan yang menyebabkan
gangguan pada bidang perilaku, komunikasi sosial
yang tanda-tandanya sudah terlihat sejak masa usia
dini

2. C Sejak masa awal pertumbuhan dan perkembangan

3. A Karena pendekatan pengajaran yang ramah autis


tentu sudah disesuailkan dengan karakteristik,
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
peserta didik

4. C Karena merupakan keterampilan yang harus


dimiliki oleh guru sebagai dasar untuk membuat
program pembelajaran

5. B Sering menangis sendiri, selalu mencari ibunya,


tidak menunjukkan minat dan bakat, jarang
memakai baju, sering menggigit ujung bajunya

6. A Kesulitan belajar merupakan kesulitan dalam satu


atau lebih bidang akademik, seperti membaca,
menulis, dan berhitung yang disebabkan oleh
disfungsi neurologis.

7. B Di sekolah umum saat anak mulai berhadapan


langsung dengan pelajaran membaca, menulis dan
berhitung

8. E Karena keadaan internal individu menyebabkan


kesulitan untuk belajar ditambah dengan
kurangnya modifikasi pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan mereka

9. D Kesulitan menyesuaikan diri, kesulitan


memusatkan perhatian, dan gangguan koordinasi

10. E Anak berkesulitan belajar membutuhkan perhatian


khusus terutama dalam modifikasi pelajaran yang
berhubungan dengan membaca, menulis dan
berhitung

2. Kunci jawaban tes formatif KB 2


No Soal Jawaban Uraian Jawaban
1. C Prinsip-prinsip tersebut akan membuat anak dengan
autisme belajar lebih nyaman di lingkungan yang
disediakan

2. C Untuk memudahkan saya merancang pembelajaran

3. A Karena Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


merupakan hal yang harus dicapai oleh masing-
masing peserta didik

4. D Tidak ada satu pun jawaban yang salah dari semua


pilihan yang ada

5. B Semua jawaban salah

6. A Ya, tetapi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan


karakteristik, minat dan motivasi yang dimiliki anak
7. D Media pembelajaran hendaknya mencerminkan
visualisasi materi pembelajaran semenarik mungkin
dan disesuaikan dengan minat anak

8. E Alat evaluasi yang dibuat oleh guru seharusnya


mampu melihat kemampuan kognitif anak dalam
hal menganalisis, mengevaluasi dan mencipta

9. B Ya, karena peserta didik saya membutuhkan


penguatan agar hasil belajarnya menjadi lebih baik

10. E Karena materi pelajaran yang tersedia untuk anak


dengan autisme dibuat secara umum dan tidak
menghiraukan karakteristik individu autisme

3. Kunci jawaban tes formatif KB 3


No Soal Jawaban Uraian Jawaban
1. A Kurikulum bagi anak berkesulitan belajar adalah
kurikulum yang dimodifikasi dari kurikulum bagi
anak pada umumnya.

2. B Modifikasi kurikulum adalah merubah dengan cara


menambahkan ataupun mengurangi tujuan, isi atau
materi, proses atau metode dan evaluasi untuk
disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan siswa

3. C Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan


mengurangi ataupun menambahkan seluruh ataupun
sebagian dari tujuan, isi atau materi, proses atau
metode dan evaluasi untuk disesuaikan dengan
kebutuhan anak berkesulitan belajar
4. D Alat evaluasi yang berbasis HOTS adalah alat
evaluasi yang membutuhkan jawaban yang
mencerminkan keterampilan berpikir yang
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta

5. E Strategi pembelajaran menulis mekanik dimulai


dari mencorat-coret membentuk pola dengan pensil,
penekanan penulisan yang pas dan membentuk
huruf dengan kertas bergaris tiga

6. E Kalau kita menggunakan bahan ajar yang sudah ada


maka modifikasi diperlukan karena bahan ajar
tersebut masih bersifat umum sehingga perlu
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang
dimiliki oleh anak berkesulitan belajar

7. D Membaca pemahaman dapat diajarkan kepada


murid dengan menggunakan strategi membaca
kolaborasi dan hubungan tanya jawab

8. C Media yang kita buat sebaiknya adalah media yang


memfasilitasi perpaduan modalitas belajar yang
dimiliki oleh anak yaitu auditori, kinestetik, taktil
dan visual

9. B Dalam pembelajaran matematika guru sebaiknya


banyak menggunakan strategi permainan dan
media realia sehingga matematika menjadi lebih
nyata
10. A Karena kemampuan berpikir tingkat tinggi akan
banyak sekali digunakan dalam kehidupan sehari-
hari sehingga anak juga perlu dilatih untuk
menggunakannya

4. Kunci jawaban tes formatif KB 4


No Soal Jawaban Uraian Jawaban
1. A Semua jawaban setelah jawaban dalam huruf A
adalah benar
2. E Karena hambatan yang dimiliki oleh anak dengan
autisme menyebabkan mereka tidak berfungsi
secara sempurna
3. C Hal-hal yang biasa dilakukan anak untuk
menunjukkan keinginannya dan hal yang disukai
anak
4. D Tentu saja harus berurutan karena fase tersebut
menunjukkan tingkat dari yang paling mudah
sampai yang paling susah dalam mengajarkan
keterampilan berkomunikasi
5. B Karena satuan pengukuran yang umum belum
merefleksikan kemampuan tersebut secara akurat
6. C Aspek akademik dan perilaku
7. D Bersifat khusus, memiliki sasaran khusus, berfungsi
secara khusus, bersifat kasuistik dan individual
8. E Untuk membentuk perilaku belajar yang kondusif
untuk menunjang kemampuan dalam bidang
akademik
9. B Merancang program selalu diawali dengan asesmen,
hasil asesmen digunakan untuk menentukan target,
metode, dan semua yang berkaitan dengan program
10. A Penerapan kontrak belajar dilakukan antara peserta
didik bersama dengan guru dengan membuat
kesepakatan dalam proses belajar

5. Kunci jawaban tes sumatif


No Soal Jawaban Uraian Jawaban
1. A Karena pendekatan pengajaran yang ramah autis
tentu sudah disesuailkan dengan karakteristik,
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
peserta didik

2. C Karena merupakan keterampilan yang harus


dimiliki oleh guru sebagai dasar untuk membuat
program pembelajaran

3. B Di sekolah umum saat anak mulai berhadapan


langsung dengan pelajaran membaca, menulis dan
berhitung

4. E Karena keadaan internal individu menyebabkan


kesulitan untuk belajar ditambah dengan
kurangnya modifikasi pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan mereka

5. D Kesulitan menyesuaikan diri, kesulitan


memusatkan perhatian, dan gangguan koordinasi

6. C Untuk memudahkan saya merancang pembelajaran

7. D Tidak ada satu pun jawaban yang salah dari semua


pilihan yang ada

8. B Semua jawaban salah


9. A Ya, tetapi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
karakteristik, minat dan motivasi yang dimiliki anak

10. E Alat evaluasi yang dibuat oleh guru seharusnya


mampu melihat kemampuan kognitif anak dalam
hal menganalisis, mengevaluasi dan mencipta

11. B Modifikasi kurikulum adalah merubah dengan cara


menambahkan ataupun mengurangi tujuan, isi atau
materi, proses atau metode dan evaluasi untuk
disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan siswa

12. C Cara memodifikasi kurikulum adalah dengan


mengurangi ataupun menambahkan seluruh ataupun
sebagian dari tujuan, isi atau materi, proses atau
metode dan evaluasi untuk disesuaikan dengan
kebutuhan anak berkesulitan belajar

13. E Kalau kita menggunakan bahan ajar yang sudah ada


maka modifikasi diperlukan karena bahan ajar
tersebut masih bersifat umum sehingga perlu
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang
dimiliki oleh anak berkesulitan belajar

14. D Membaca pemahaman dapat diajarkan kepada


murid dengan menggunakan strategi membaca
kolaborasi dan hubungan tanya jawab

15. A Karena kemampuan berpikir tingkat tinggi akan


banyak sekali digunakan dalam kehidupan sehari-
hari sehingga anak juga perlu dilatih untuk
menggunakannya
16. E Karena hambatan yang dimiliki oleh anak dengan
autisme menyebabkan mereka tidak berfungsi
secara sempurna
17. D Tentu saja harus berurutan karena fase tersebut
menunjukkan tingkat dari yang paling mudah
sampai yang paling susah dalam mengajarkan
keterampilan berkomunikasi
18. C Aspek akademik dan perilaku
19. B Merancang program selalu diawali dengan asesmen,
hasil asesmen digunakan untuk menentukan target,
metode, dan semua yang berkaitan dengan program
20. A Penerapan kontrak belajar dilakukan antara peserta
didik bersama dengan guru dengan membuat
kesepakatan dalam proses belajar

You might also like