You are on page 1of 118

TESIS

RELASI GENDER PASANGAN KELUARGA DISABILITAS


TUNANETRA (STUDI KASUS DI PERHIMPUNAN
TUNANETRA INDONESIA (PERTUNI) NTB)

Oleh :

DHEVIA NURSAFITRI
200402013

HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2022
RELASI GENDER PASANGAN KELUARGA DISABILITAS
TUNANETRA (STUDI KASUS DI PERHIMPUNAN
TUNANETRA INDONESIA (PERTUNI) NTB)

Pembimbing :

Dr. AHMAD MUHASIM, M.HI / Pembimbing I


Dr. ERMA SURIANI, M.S.I / Pembimbing II

Oleh :

DHEVIA NURSAFITRI
200402013

Tesis ini di tulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan untuk


mendapatkan gelar Megister

HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2022

iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis oleh: Dhevia Nursafitri, NIM: 200402013 dengan judul, " Relasi
Gender Pasangan Keluarga Disabilitas Tunanetra (Studi Kasus Di
Perhimpunan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) NTB) " telah
memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji.

Disetujui pada tanggal: _______________2022

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. AHMAD MUHASIM, M.HI Dr. ERMA SURIANI, M.S.I


NIP. 197312151998031004 NIP. 19680519 199403 2010.

iv
PENGESAHAN PENGUJI

Tesis oleh Dhevia Nursafitri, NIM 200402013 dengan judul. Relasi


Gender Pasangan Keluarga Disabilitas Tunanetra (Studi Kasus di
Perhimpunan Tunanetra indonesia (PERTUNI) NTB) telah
dipertahankan di depan Dewan Penguji Pascasarjana UIN Mataram pada
tanggal____________

DEWAN PENGUJI

Dr. Hj. Teti Indrawati, S.H., M.Hum. (………………………………...)


(Ketua Sidang/Penguji) Tanggal : ………………..2022

Dr. Moh. Asyiq Amrulloh, M.Ag. (………………………………...)


(Penguji Utama) Tanggal : ………………..2022

Dr. H. Ahmad Muhasim, S.Ag., M.H. (………………………………...)


(Pembimbing I/Penguji) Tanggal : ………………..2022

Dr. Erma Suriani, M.Si. (………………………………...)


(Pembimbing II/Penguji) Tanggal : ………………..2022

Mengetahui
Direktur Pascasarjana Universitas Negeri Mataram

Prof. Dr. H. Fahrurrozi, M.A.


NIP. 197512312005011010

v
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISM

vii
RELASI GENDER PASANGAN KELUARGA
DISABILITAS TUNANETRA
(STUDI KASUS DI PERHIMPUNAN TUNANETRA INDONESIA
(PERTUNI) NTB)
Oleh:
DHEVIA NURSAFITRI
NIM: 200.402.013
ABSTRAK
Latar belakang munculnya wilayah domestik dan publik berasal dari
pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin, yang lebih populer
dengan istilah gender. Konsep gender mengacu pada seperangkat sifat,
peran dan tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri
laki-laki dan perempuan yang tidak terlepas dari kultur yang terbangun di
tengah masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan berkembang sehingga
timbulah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana
pembagian tugas domestik dan publik serta ketahanan keluarga pada
pasangan keluarga disabilitas dengan non disabilitas tunanetra. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik observasi, dan wawancara.Teknik
keabsahan data dengan menambah waktu penelitian, kecukupan refrensi,
triangulasi dan pemeriksaan teman sejawat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan istri non disabilitas
tunanetra dengan suami disabilitas tunanetra dalam pembagian peran pada
wilayah publik dikerjakan baik oleh istri maupun suami, sedangkan pada
wilayah domestik hanya dikerjakan oleh istri, sedangkan pada pasangan
Istri disabilitas tunanetra dan suami non disabilitas tunanetra, pada wilayah
publik hanya dikerjakan oleh suami sedangkan pada wilayah domestik
hanya dikerjakan oleh istri. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi
kuatnya ketahanan keluarga pada pasangan istri non disabilitas dan suami
disabilitas diantaranya adalah: fleksabilitas, komunikasi yang berjalan
dengan baik, dukungan keluarga dan spiritualitas, dan perekonomian yang
baik, sedangkan faktor yang melatarbelakangi lemahnya ketahanan
keluarga pasangan istri disabilitas dengan suami non disabilitas diantaranya
adalah: lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai keislaman, ekonomi yang
lemah, minimnya komunikasi antar anggota keluarga, kemampuan
menyelesaikan masalah yang lemah, serta tidak ada dukungan dari
keluarga.
Kata Kunci: Relasi Gender, Disabilitas Tunanetra, PERTUNI NTB.

viii
GENDER RELATIONS COUPLE FAMILY
BLIND DISABILITIES
(CASE STUDY AT THE INDONESIAN Blind Association
(PERTUNI) NTB)

By:

DHEVIA NURSAFITRI
NIM: 200,402,013

ABSTRACT

The background for the emergence of the domestic and public areas
comes from the division of labor based on sex, which is more popularly
known as gender. The concept of gender refers to a set of traits, roles and
responsibilities, functions, rights and behaviors inherent in men and women
that cannot be separated from the culture that is built in the society where
humans grow and develop so that a masculine dichotomy arises (male and
female). ) and feminine (female).
This study aims to find out about how the division of domestic and
public tasks and family resilience in disabled family couples with non-
disabled blind people. The approach used in this study is a qualitative
approach. The data collection technique used observation and interview
techniques. The validity of the data was by increasing the research time,
adequacy of references, triangulation and peer examination.
The results of this study indicate that non-disabled blind spouses with
husbands with visual impairments in the division of roles in the public area
are carried out by both the wife and husband, while in the domestic area
only the wife is involved, while the spouses with blind disabilities and non-
disabled husbands are blind in the area. in the public sector only done by
the husband while in the domestic area only done by the wife. There are
several factors behind the strong family resilience of non-disabled spouses
and husbands with disabilities including: flexibility, good communication,
family support and spirituality, and a good economy, while the factors
behind the weak family resilience of disabled spouses with non-disabled
husbands Disabilities include: weak commitment to Islamic values, weak
economy, lack of communication between family members, weak problem-
solving abilities, and no support from family.
Keywords: Gender Relations, Blind Disabilities, PERTUNI NTB.

ix
‫عالقة الجنس بين الزوجين العمياء دراسة حالة في اتحاد العمياء اإلندونيسيا في نوسا تنجارا‬
‫الغربية‬

‫الكاتب ‪:‬ديفيا نور سافتري‬

‫رقم التسجيل ‪٢٠٠.٤٠٢.٠١٣:‬‬

‫تأتي خلفية ظهور المناطق المنزلية والعامة من تقسيم العمل على أساس الجنس ‪ ،‬والذي‬
‫يُعرف أكثر باسم الجنس ‪.‬يشير مفهوم الجنس إلى مجموعة من السمات واألدوار والمسؤوليات‬
‫والوظائف والحقوق والسلوكيات المتأصلة في الرجل والمرأة والتي ال يمكن فصلها عن الثقافة‬
‫)‪.‬المبنية في المجتمع حيث ينمو البشر ويتطورون بحيث ينشأ االنقسام الذكوري (ذكر وأنثى)‬
‫والمؤنث (أنثى ‪).‬تهدف هذه الدراسة إلى معرفة كيفية تقسيم المهام المنزلية والعامة ومرونة‬
‫األسرة في األزواج األسريين ذوي اإلعاقة مع المكفوفين غير المعوقين ‪.‬النهج المستخدم في هذه‬
‫الدراسة هو نهج نوعي ‪.‬استخدمت تقنية جمع البيانات تقنيات المالحظة والمقابلة ‪ ،‬وتمثلت صحة‬
‫‪.‬البيانات في زيادة وقت البحث ‪ ،‬وكفاية المراجع ‪ ،‬والتثليث ‪ ،‬وفحص الزمالء‬

‫تشير نتائج هذه الدراسة إلى أن األزواج المكفوفين غير المعاقين مع أزواج يعانون من إعاقات‬
‫بصرية في تقسيم األدوار في المجال العام يتوالهم كل من الزوجة والزوج ‪ ،‬بينما في المنزل فقط‬
‫الزوجة معنية ‪ ،‬بينما الزوجان ‪.‬من ذوي اإلعاقات العمياء واألزواج غير المعاقين يكونون‬
‫‪.‬مكفوفين في المنطقة‪.‬في القطاع العام يقوم به الزوج فقط بينما في المنزل فقط من قبل الزوجة‬
‫هناك عدة عوامل وراء المرونة األسرية القوية لألزواج غير المعوقين واألزواج ذوي اإلعاقة بما‬
‫في ذلك ‪:‬المرونة ‪ ،‬والتواصل الجيد ‪ ،‬ودعم األسرة والروحانية ‪ ،‬واالقتصاد الجيد ‪ ،‬في حين أن‬
‫العوامل الكامنة وراء ضعف قدرة األسرة على الصمود لألزواج المعاقين من غير المعوقين ‪.‬تشمل‬
‫إعاقات األزواج ما يلي ‪.‬ضعف االلتزام بالقيم اإلسالمية ‪ ،‬وضعف االقتصاد ‪ ،‬ضعف التواصل بين‬
‫أفراد األسرة ‪ ،‬ضعف القدرة على حل المشكالت ‪ ،‬وعدم وجود دعم من األسرة‬

‫الكلمات المفتاحية ‪:‬العالقات بين الجنسين ‪ ،‬إعاقات عمياء ‪،‬إتحاد الهمياء نوسا تنجارا الغربية‪.‬‬

‫‪x‬‬
MOTTO

Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang terbaik perilakunya


terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik diantara kalian
dalam memperlakukan keluargaku.
(Sunan Ibnu Majah, np. 2053)

xi
PERSEMBAHAN

Saya persembahkan Tesis ini kepada:

1. Kedua orang tua ku bapak tercinta H. Muhammad Ikhsan dan ummi


Hj. Nurhaini yang telah memberikan kasih sayang, support secara
materil dan non materil serta dedidkasi sedari masih berada di dalam
kandungan hingga saat ini, saya ucapkan jazakumullahu khairan.
2. Kedua kakak ku Deddy Afriadi Zulkarnain dan Bq. Yaniek Silviana
Nirmala dan ke 5 ponakan ku yakni Zaid, Akhtar, Daud, Yusuf dan
Fatimah.
3. Keluarga besar almarhum TGH. Mukhsin Jayadi yang telah
memberikan dukungan dan semangat sehingga saya mampu
mewujudkan cita-cita saya yakni kuliah dan menyelesaikan kuliah
hingga mendapatkan gelar Magister Hukum.
4. Untuk misan-misan ku, Erika Aprilia Putri dan Sintiya Dwi Lestari,
semoga Allah mudahkan untuk menimba ilmu hingga bergelar
Profesor.
5. Guru di SDN 1 Mengkudu, SMPN 2 Praya Timur, SMAN 1 Praya
Timur beserta seluruh Dosen UIN Mataram, yang selalu membimbing
dan memberikan banyak pembelajaran sehingga saya bisa berada
diposisi saat ini dan mendapatkan gelar Magister, semoga semua ini
memperoleh ridho Allah SWT.
6. Sahabat saya Ma’ripatul Aini, Mahida Rina, dan mbaq Odi, mbaq
Wida, mbaq Nila, mbaq Neli, mbaq Hani.
7. Almamater tercinta Pacasarjana UIN Mataram

xii
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allahu SWT. yang
menciptakan alam semesta ini, yang menciptakan ilmu pengetahuan dan
sebagai pengatur sekaligus pemilik alam semesta ini. Semoga limpahan
rahmat dan kasih sayang-Nya selalu menyertai dan menemani perjalanan
hidup manusia menuju insan yang dalam keridaannya. Shalawat serta salam
semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabiyuna Muhammad Saw,
nabi sang pembawa kedamaian, pembawa keberkahan, pembela kebenaran
dan penuntun terbukanya cakrawala keilmuan bagi insan di bumi, sang
pemberi inspirasi, pemberi teladan bagi dan yang paling sempurna serta
mulia bagi seluruh makhluk.
Banyak pihak telah membantu dalam terselesaikannya hasil karya
tesis yang telah penulis selesaikan ini, maka diucapkan terimakasih kepada
beliau semua:
1. , Dan Dr. Ahmad Muhasim, M.HI, Dr. Erma Suriani, M.S.I selaku dosen
pembimbing, yang selalu memberikan dorongan semangat, arahan,
dengan penuh keramahan dan humanis ketika bimbingan maupun saat
kuliah dahulu.
2. Dr. Lalu Supriad Bin Mujib, MA. selaku Ketua Program Studi Magister
Hukum Keluarga Islam UIN Mataram.
3. Prof. Dr. Lalu Fahrurrozi, MA, selaku Direktur Program Pascasarjana
UIN Mataram.
4. Prof. Dr. Masnun Tahir, M. Ag, selaku Rektor UIN Mataram.
5. Segenap dosen program pascasarjana UIN Mataram yang telah
memberikan pengetahuan dan makna hidup dengan kemulyaan ilmu,

xiii
serta seluruh staf pascasarjana dengan ramah memberikan pelayan
prima kepada mahasiswa.
8. Segenap rekan seperjuangan pascasarjana HKI Kelas B angkatan 2020
UIN Mataram. dari merekalah penulis termotivasi. Dengan intensitas
komunikasi, diskusi dan upaya mempererat silaturrahim dengan tetap
bersilaturrahim melalui wa grup
Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini terdapat banyak
kesalahan dan kekeliruan dikarnakan banyak keterbatasan dan kekurangan.
Untuk itu dengan rendah hati penulis sangat mengharapkan keritikan, saran
dan pendapat yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Tesis ini.
Dengan penuh harapan, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Jazaakallahu khairan’.
Mataram, ……………..2022
Penulis,

Dhevia Nursafitri
NIM. 20042013

xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan

disertasi ini adalah Pedoman transliterasi yang merupakan hasil Keputusan

Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia, Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor : 0543b/U/1987.

Di bawah ini daftar huruf-huruf Arab dan transliterasinya dengan

huruf latin.

1. Konsonan

Huruf
Nama Huruf Latin Nama
Arab

‫ا‬ Alif
Tidak
dilambangkan
Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T Te

‫ث‬ Ṡa Ṡ
Es (dengan titik di
atas)

‫ج‬ Ja J Je

‫ح‬ Ḥa Ḥ
Ha (dengan titik di
bawah)

‫خ‬ Kha Kh Ka dan Ha

‫د‬ Dal D De

xv
‫ذ‬ Żal Ż Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ Ra R Er

‫ز‬ Za Z Zet

‫س‬ Sa S Es

‫ش‬ Sya SY Es dan Ye

‫ص‬ Ṣa Ṣ
Es (dengan titik di
bawah)

‫ض‬ Ḍat Ḍ
De (dengan titik di
bawah)

‫ط‬ Ṭa Ṭ
Te (dengan titik di
bawah)

‫ظ‬ Ẓa Ẓ
Zet (dengan titik di
bawah)

‫ع‬ ‘Ain ‘ Apostrof Terbalik

‫غ‬ Ga G Ge

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qa Q Qi

‫ك‬ Ka K Ka

‫ل‬ La L El

‫م‬ Ma M Em

xvi
‫ن‬ Na N En

‫و‬ Wa W We

‫هـ‬ Ha H Ha

‫ء‬ Hamzah ’ Apostrof

‫ي‬ Ya Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apa pun. Jika hamzah (‫ )ء‬terletak di tengah atau di akhir, maka

ditulis dengan tanda (’).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal

tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

Huruf
Nama Huruf Latin Nama
Arab

َ‫ا‬ Fatḥah A A

َ‫ا‬ Kasrah I I

َ‫ا‬ Ḍammah U U

xvii
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ‫اَي‬ Fatḥah dan ya Ai A dan I

َ‫او‬ Fatḥah dan wau Iu A dan U

Contoh:

َ‫كيف‬ : kaifa

َ‫هول‬ : haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan

huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf dan


Nama Nama
Huruf Tanda

‫ـاَََ ـى‬ Fatḥah dan alif atau ya ā


a dan garis di
atas

‫ـي‬ Kasrah dan ya ī


i dan garis di
atas

‫ــو‬ Ḍammah dan wau ū


u dan garis di
atas

Contoh:

َ‫مات‬ : māta

xviii
‫رمى‬ : ramā

َ‫قيل‬ : qīla

َ‫َيوت‬ : yamūtu

4. Ta Marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang

hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya

adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,

transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata

yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah,

maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

‫روضةَاألطفال‬ : rauḍah al-aṭfāl

َ‫املديـنةَالفضيـلة‬ : al-madīnah al-fāḍīlah

َ‫احلكمة‬ : al-ḥikmah

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda tasydīd ( ‫) ـ‬, dalam transliterasi ini dilambangkan

dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

xix
‫ربَّـنا‬ : rabbanā

‫َنَّيـنا‬ : najjainā

َ‫احلق‬ : al-ḥaqq

َ‫احلج‬ : al-ḥajj

َ‫نـعم‬ : nu’’ima

َ‫عدو‬ : ‘aduwwun

Jika huruf ‫ ى‬ber- tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh

huruf berharkat kasrah ( ‫) ــ‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).

Contoh:

َ‫علي‬ : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

َ‫عرب‬ : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

huruf ‫( ال‬alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang

ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah

maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf

langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang

mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:

َّ
َ‫الشمس‬ : al-syamsu (bukan asy-syamsu)

‫الزلزلة‬
َّ : al-zalzalah (bukan az-zalzalah)

xx
‫الفلسفة‬ : al-falsafah

َ‫البالد‬ : al-bilādu

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya

berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila

hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan

Arab ia berupa alif. Contohnya:

َ‫َتمرون‬ : ta’murūna

َ‫النَّوء‬ : al-nau’

َ‫شيء‬ : syai’un

َ‫أمرت‬ : umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istil ah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,

istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,

istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari

pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan

bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas.

Misalnya kata Alquran (dari al-Qur’ān), sunnah, hadis, khusus dan umum.

Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks

xxi
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

Fī ẓilāl al-Qur’ān

Al-Sunnah qabl al-tadwīn

Al-‘Ibārāt Fī ‘Umūm al-Lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (‫) هللا‬

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal),

ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

َ‫دينَللا‬ : dīnullāh

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-

jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

َ‫همَِفَرْحةَللا‬ : hum fī raḥmatillāh

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps),

dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang

penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia

yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan

huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada

permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka

xxii
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A

dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan

yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului

oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam

catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa mā Muḥammadun illā rasūl

Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan

Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān

Naṣīr al-Dīn al-Ṭūs

Abū Naṣr al-Farābī

Al-Gazālī

Al-Munqiż min al-Ḍalāl

xxiii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................... i


HALAMAN LOGO ......................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ........................................................................ iii
PERSETUJUANPEMBIMBING .................................................... iv
PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... vi
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISM .................................. vii
ABSTRAK ......................................................................................... viii
MOTTO ............................................................................................. xi
PERSEMBAHAN ............................................................................ xii
KATA PENGANTAR ...................................................................... xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................... xv
DAFTAR ISI ..................................................................................... xxiv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat ................................................... 4
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ...................... 5
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................... 5
F. Kerangka Teori dan Konsep ..................................... 9
1. Teori gender ........................................................... 9
2. Peran Gender .......................................................... 9
3. Relasi Suami Istri dalam Keluarga ......................... 16
4. Ketahanan Keluarga ............................................... 19
5. Aspek Ketahanan Keluarga .................................... 20
6. Faktor Ketahanan Keluarga .................................. 24
7. Ketahanan Keluarga Dalam Islam .......................... 26
8. Kerangka Teori Qira’ah Mubadalah. ...................... 29
G. Metode Penelitian ..................................................... 30
H. Sistematika Pembahasan ............................................ 36

xxiv
BAB II PEMBAGIAN TUGAS DOMESTIK DAN PUBLIK PADA
PASANGAN KELUARGA DISABILITAS TUNANETRA
DI PERHIMPUNAN TUNANETRA INDONESIA
(PERTUNI) NTB ............................................................. 37
A. Gambaran Umum ......................................................... 37
B. Pembagian Tugas Domestik dan Publik pada Pasangan
Keluarga Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra
Indonesia PERTUNI NTB ........................................... 49
C. Analisis Pembagian Tugas Domestik dan Publik pada
Pasangan Keluarga Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan
Tunanetra Indonesia PERTUNI NTB ......................... 60
BAB III KETAHANAN KELUARGA PADA PASANGAN
KELUARGA DISABILITAS TUNANETRA DI
PERHIMPUNAN TUNANETRA INDONESIA
(PERTUNI) NTB ............................................................. 67
A. Ketahanan Keluarga pada Keluarga Disabilitas Tunanetra di
Perhimpunan Tunanetra NTB ...................................... 67
B. Analisis Ketahanan Keluarga pada Keluarga Disabilitas
Tunanetra di Perhimpunan Tunanatra NTB ................. 77
BAB IV PENUTUP ........................................................................ 85
A. Kesimpulan .................................................................. 85
B. Saran-saran .................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 87
LAMPIRAN ........................................................................................ 91

xxv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Relasi gender adalah hubungan kemanusiaan atau sosial antara
laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pertimbangan aspek
kesadaran dan peran-peran gender.1 Relasi gender merupakan produk
sosial-budaya yang terbentuk dari nilai-nilai sosial, budaya, agamadan
norma-norma lain dalam sebuah masyarakat. Relasi gender yang
terbentuk dalam sebuah masyarakat belum tentu sama dengan yang
lain. Relasi gender menentukan pembagian kerja yang ideal bagi
masyarakat. Oleh karena itu, selama ada hubungan yang baik, maka
akan terjalin hubungan yang harmonis.
Relasi gender tidak hanya definisi, namun juga social
exspectation dengan harapan-harapan masyarakat, yang merujuk pada
standar umum yang diharapkan terhadap perilaku individu yang tinggal
di dalam masyarakat sehingga membuat relasi gender lebih kompleks,
tidak berdiri sendiri dan beremanasi dengan faktor-faktor sosial yang
lainnya. Karena hal tersebut merupakan faktor sosial, dimana hal
tersebut tidak hanya mempengaruhi kehidupan orang normal, tetapi
juga mengenai kehidupan disabilitas.
Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam beritraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan
dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.2 Salah satu jenis dari
disabilitas yaitu tunanetra, tunanetra adalah seseorang yang telah
kehilangan ataupun berkurang fungsi indera pengelihatannya.
Kondisi disabilitas yang dialami oleh sebagian individu sudah
seharusnya tidak menjadi alasan masyarakat untuk memandang sebelah
mata dan memberikan penilaian negatif, masyarakat diharapkan
mampu menyadarinya sebagai keragaman yang natural, sehingga sikap
yang muncul dalam interaksi sosial dengan para penyandang
kekurangan fisik ini juga natural selayaknya dengan individu pada
umumnya.

1
Ikhlasiah Dalimoenthe, Sosiologi Gender, ( Jakarta Timur: PT Bumi Aksara,
2021). hlm. 29.
2
Undang-Undang R.I Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

1
Langkah awal dari kehidupan keluarga yang harus dipastikan
adalah moral dan perilaku seseorang terhadap keluarganya. Perilaku
mulia seseorang terhadap keluarganya adalah standar moral tertinggi
dalam Islam, yang di mana dengan mendahulukan laki-laki sebagai
orang yang secara sosial memiliki pengaruh dan sekaligus tanggung
jawab. Hal tersebut agar pengaruh dan tanggung jawab yang dimiliki
laki-laki benar-benar digunakan untuk kebaikan keluarga. Sebab, tidak
menutup kemungkinan, ada laki-laki atau bahkan banyak laki-laki yang
menggunakan kewenangan ini justru untuk menegasikan kemanusiaan
perempuan, menguasai perempuan, dan memutus perempuan dari
segala manfaat dan maslahat kehidupan, baik yang diranah domestik
keluarga, maupun ranah publik.3
Hal yang serupa dengan pemaparan diatas penulis temukan di
Perhimpuan Tunaetra NTB (PERTUNI) NTB, yang dimana fenomena
sosial yang terjadi di dalam masyarakat adalah pembatasan bagi kedua
jenis kelamin, yang dimana bagi perempuan yang sedang mengandung,
lalu melahirkan, dan menyusui, mau tidak mau langkahnya terbatas
hanya di sekitar rumah. Kondisi yang demikian merupakan pembatasan
peran yang sudah membudaya bagi perempuan. Lebih dari itu yang
dengan ekstrim beranggapan bahwa, perempuan dibatasi oleh dinding
tebal rumah, dan lebih khusus lagi di dapur. Pendapat ekstrim ini yang
kemudian menyebabkan seorang istri pada pasangan keluarga
disabilitas tunnetra NTB berada pada status sosial tingkat bawah,
karena seorang istri dianggap sebagai perempuan yang berada pada
status sosial tingkat bawah, karena seorang istri hanya tinggal di rumah,
tidak bekerja, dan mengabadikan seluruh hidupnya hanya untuk suami
dan anak-anaknya.
Disisi lain, asumsi masyarakat bahwa suami merupakan kepala
keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah, tidak menjalankan
tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dalam hal mencari nafkah,
sehingga hal tersebut menimbulkan konflik dalam rumah tangga pada
keluarga pasangan disabilitas dan non disabilitas tunanetra NTB.
Hal ini tentu tidak terlepas dari kultur yang terbangun di tengah
masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai bagian masyarakat
yang lemah. Kultur yang mengakar di tengah masyarakat ini
menanamkan keyakinan. Tidak dapat dipungkiri bahawa konsep dan

3
Siti Musda Mulia, Keadilan dan Kaesetaraan Gender, (Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Jender, 2003), hlm. 85.

2
pola pikir seseorang juga terbentuk oleh lingkungan. Pandangan
seseorang atas baik burukya sesuatu yang menjadi landasan dalam
pengambilan keputusan serta penentuan sikapnya banyak dipengaruhi
oleh konsep umum yang terbangun dalam sebuah masyarakat.
Meski demikian, tidak sedikit pula pasangan tunanetra yang
berhasil membangun rumah tangga idaman. Kekurangan fisik yang
mereka miliki tidak menjadi penghalang untuk bisa hidup mandiri,
memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik kebutuhan fisik maupun
psikis.
Menariknya, potret pernikahan pasangan disabilitas tunanetra
dengan non disabilitas tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia
(PERTUNI) NTB, memiliki dua kelompok besar pernikahan disabilitas
tunanetra, yaitu : pernikahan antara perempuan disabilitas dengan laki-
laki non disabilitas dan pernikahan antara laki-laki disabilitas dengan
perempuan non disabilitas.
Menurut Ibu Fitri Nugrahaningrum selaku ketua PERTUNI
NTB menyatakan bahwa pada pasangan pernikahan pasangan
perempuan disabilitas tunanetra yang menikah dengan laki-laki non
disabilitas tunanetra, mengalami kegagalan dalam rumah tangga.
Sementara pada pasangan pernikahan antara perempuan disabilitas
tunanetra dengan laki-laki non disabilitas tunanetra, ketahanan dan
kebahagiaan dalam membangun rumah tangga dapat terwujud.4
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
tentang Relasi Gender Pasangan Keluarga Disabilitas Tunanetra (Studi
Kasus di Perhimpunan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) NTB).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembagian Tugas Domestik dan Publik Pada Pasangan
Keluarga Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra
Indonesia (PERTUNI) NTB ?
2. Bagaimana Ketahanan Keluarga Pada Pasangan Keluarga
Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia
(PERTUNI) NTB ?

4
Fitri Nugrahaningrum, Observasi Wawancara, Kediri Lombok Barat, 29
Januari 2022.

3
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui tugas domestik dan publik pada pasangan
keluarga disabilitas tunanetra di Perhimpunan Tunanetra
Indonesia (PERTUNI) NTB.
b. Untuk mengetahui ketahanan keluarga pada t pasangan keluarga
Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia
(PERTUNI) NTB.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini
adalah:
a. Manfaat Teoritis
1) Diharapkan agar dengan penelitian ini dapat memberikan
pemikiran kepada mahasiswa atau masyarakat luas,
khususnya untuk jurusan Hukum Keluarga Islam dalam
melihat Relasi Gender Pasangan Keluarga Disabilitas
Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia (PERTUNI)
NTB
2) Diharapkan agar dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
pada bidang kajian munakahat, terutama yang terkait tentang
pembahasan relasi gender dalam keluarga
3) Diharapkan agar informasi yang diperoleh dalam penelitian
ini berguna bagi peneliti selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi :
1) Bagi peneliti, dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan
tentang relasi gender didalam keluarga
2) Diharapkan dapat memberikan motivasi kepada mahasiswa
khususnya untuk jurusan Hukum Keluarga Islam dalam
menganalisa masalah yang terkait dengan relasi gender
didalam keluarga dan analisis Hukum Keluarga Islam dan
bagaimana penerapannya dalam masyarakat.
3) Bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya penelitian ini
dapat dijadikan sebagai rujukan agar dapat dilaksanakan
dengan baik terhadap peran domestik dan publik dalam rumah

4
tangga dan ketahanan keluarga agar menjadi keluarga yang
kuat dan harmonis.

D. Ruang Lingkup Dan Setting Penelitian


1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah meneliti dan mengkaji
tentang Relasi Gender Pasangan Keluarga Disabilitas Tunanetra di
Perhimpunan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) NTB
2. Setting Penelitian
Cakupan penelitian yang akan dibahas adalah tentang
pelaksanaan kewajiban seorang istri dan suami pada wilayah
domestik dan publik dan peneliti memfokuskan penelitian ini
dalam lingkup ketahanan keluarga pasangan disabilitas tunanetra,
Yang akan menjadi lokasi penelitian adalah di Perhimpunan
Tunanetra Idonesia (PERTUNI) NTB. Hal ini dikarenakan peneliti
melihat masalah ketahanan keluarga pasangan disabilitas tunanetra
dalam berumahtangga.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan


1. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Haerul
Rahmatiah dengan judul “Upaya Pasangan Tunanetra dalam
Membentuk Keluarga Sakinah : Studi Kasus di Kecamatan
Manggala, Kota Makasar” persamaan dengan penelitian yang
peneliti akan lakukan adalah sama-sama membahas tentang
pasangan keluarga tunanetra, akan tetapi jurnal diatas fokus
terhadap upaya pasangan tunanetra dalam membentuk keluarga
yang sakinah, sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan lebih
luas yang dimana tidak hanya membahas tentang keharmonisan
keluarga pasangan keluarga tunanetra, akan tetapi membahas juga
tentang pola relasi gender dalam pasangan keluarga disabilitas
tunanetra.
2. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Danik Fujiati
dengan judul “Relasi Gender Dalam Institusi Keluarga dalam
Pandangan Teori Sosial dan Feminis” persamaan dengan penelitian
yang peneliti lakukan adalah sama-sama membahas tentang relasi
gender dalam keluarga, akan tetapi jurnal di atas fokus terhadap
pandangan teori sosial dan feminis, sedangkan yang akan peneliti

5
lakukan fokus membahas tentang relasi gender pada pasangan
keluarga disabilitas tunanetra.
3. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Haerul
Rahmatiah dengan judul “Pernikahan Sakinah Mawaddah
Warahmah Bagi Penyandang Tunanetra (Studi Kasus Kampung
Tunanetra Kecamatan Ilir Timur 2 Palembang), persamaan dengan
penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama membahas
tentang pasangan keluarga tunanetra, akan tetapi jurnal di atas fokus
terhadap hak dan kewajiban suami isteri sehingga membentuk
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah didalam keluarga
pasangan tunanetra, sedangkan yang akan peneliti lakukan adalah
meneliti secara kompleks tentang relasi gender pada pasangan
keluarga disabilitas tunanetra.
4. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Frichy
Ndaumanu dengan judul “Hak Penyandang Disabilitas : Antara
Tanggung Jawab dan Pelaksanaan Oleh Pemerintah Daerah”
persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-
sama membahas tentang penyandang disabilitas, akan tetapi jurnal
di atas membahas tentang upaya pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan tiap kewajiban di dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, sedangkan
yang akan peneliti lakukan adalah membahas tentang relasi gender
pada pasangan keluarga disabilitas tunanetra.
5. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Alia
Harumdani Widjaja dengan judul “Perlindungan Hak Penyandang
Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan dan Penghidupan yang
Layak bagi Kemanusiaan” persamaan dengan penelitian yang
peneliti lakukan adalah sama-sama membahas tentang penyandang
disabilitas, akan tetapi jurnal di atas membahas tentang disabilitas
secara umum terkait dengan pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi penyandang disabilitas sedangkan yang akan peneliti lakukan
adalah lebih khusus kepada penyandang disabilitas tunanetra.
6. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Fajar dengan
judul “Pemenuhan Hak-Hak kaum Difabel dalam Kerangka Hak
Azasi Manusia” persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan
adalah sama-sama membahas tentang disabilitas, akan tetapi jurnal

6
di atas membahas tentang hak-hak kaum difabel dalam kacamata
Hak Azasi Manusia yang dimana selama ini kaum difabel
diposisikan sebagai masyarakat kelas dua yang seringkali diabaikan
hak-haknya, baik dari aspek kebijakan maupun dariaspek
pembangunan negara, sedangkan yang akan peneliti lakukan adalah
lebih khusus membahas tentang disabilitas pada disabilitas
tunanetra terkait dengan bagaimana relasi gender pada pasangan
keluarga disabilitas tunanetra dengan disabilitas non tunanetra.
7. Berdasarkan artikel jurnal yang telah dilakukan oleh Saharuddin
Daming dengan judul “Komparasi Nilai Penguatan Hak
Penyandang Disabilitas dalam Lex Posterior dan Lege Priori”
persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-
sama membahas tentang disabilitas, akan tetapi jurnal di atas
membahas tentang lege priori ya ng mencakup Undang-Undang No.
4 tahun 1997 Jo. PP No. 43 tahun 1998 dan berbagai peraturan
Undang-Undang lainnya yang memang telah dilembagakan
sejumlah hak penyandang disabilitas namun dalam
implementasinya msih dirasakan kurang maksimal, sedangkan
dalam penelitia yang akan peneliti lakukan lebih fokus kepada
disabilitas tunanetra tentang bagaimana pola relasi gender,
pembagian wilayah sektor domistik dan publik pada keluarga
pasangan siabilitas tunanetra dengan disabilitas non tunanetra NTB.
8. Tesis karya Maulinia, tesis dengan judul : “Pemberdayan
Perempuan Penyandang Disabilitas pada Himpunan Wanita
Penyandang Cacat Indonesia” persamaan dengan penelitian yang
kan peneliti lakukan dalah sama-sama membahas tentang
penyandang disabilitas, akan tetapi tesis di atas hanya fokus kepada
penyandang disabilitas perempuan saja yang dimana fokus
membahas tentang pemberdayaan perempuan penyandang
disabilitas yang dilakukan oleh Himpunan Wanita Penyandang
Cacat Indonesia (HWPCI), sedangkan penelitian yang akan peneliti
lakukan adalah membahas tentang relasi gender pada pasangan
keluarga disabilitas tunanetra, baik laki-laki maupun perempuan.
9. Tesis karya Barkatullah Amin, tesis dengan judul : “Konstruksi
Disabilitas Pada Budaya Masyarakat Banjar” persamaan dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sama membahas

7
tentang disabilitas namun pada penelitian ini disabilitas dimaksud
adalah disabilitas secara umum yang membahas tentang bagaimana
penyandang disabilitas dikonstruksika pada budaya masyarakat
Banjar, sedangkan yang akan peneliti lakukan adalah membahas
tentang penyandng disabilitas khusus pada disabilitas tunanetra
NTB.
10. Tesis karya Khairani Hasibuan, tesis dengan judul : “Perlindungan
Hukum Terhadap Hak Penyandang Disabilitas atas Aksesibilitas
Fasilitas Umum dan Fsiltas Sosial di Kota Palembang” persamaan
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sam
membahas tentang Penyandang disabilitas, akan tetapi jurnal di atas
membahas keadilan dan kepastian hukum bagi penyandang
disabilitas di kota Palembang. Dalam penelitian ini membahas
tentang keadilan dan kepastian hukum bagi penyandang disabilitas
di kota Palembang, dimana penyandang disabilitas merupakan
kelompok masyarakat yang rentan untuk di perlakukan tidak adil
atau diskriminasi, oleh sebab itu perlu adanya perlakuan khusus bagi
penyandang disabilitas agar mendapatkan kesempatan dan
kesetaraan seperti warga negara lainnya
Karena dalam praktiknya masih banyak masyarakat yang
belum mampu untuk menerima keadaan penyandang disabilitas dengan
baik, selain itu masih ada yang beranggapan bahwa penyandang
disabilitas hanya menjadi beban, baik dari pihak keluarga maupun dari
lingkungan masyarakat yang menggangap mereka adalah orang yang
lemah dan tidak mampu untuk menolong dirinya sendiri.
Oleh sebab itu baik pemerintah maupun swasta sebagai pihak
penyedia fasilitas umum dan fasilitas sosial berkewajiban untuk
menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang
merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas dalam pasal 1 ayat (8) agar menyediakan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar terwujudnya kesamaan
dan kesempatan, sedangkan padapenelitian yang akan peneliti lakukan
lebih khusus pada dusabilitas tunanetra dalam relasi gender dan
pembagian wilayah kerja domestik dan publik padapasangan keluarga
disabilitas tunanetra dengan non disabilitas tunanetra NTB.

8
F. Kerangka Teori dan Konsep
Teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori
gender serta hak dan feminisme, dan pembahasan teorinya sebagai
berikut:
1. Teori gender
Gender adalah cara pandang atau persepsi manusia terhadap
perempuan dan laki-laki termasuk kreasi sosisal dimana kedudukan
perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki.5 Gender diartikan
dengan beragam definisi oleh banyak ahli. Kata gender itu sendiri
diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Kata
gender berasal dari bahasa Inggris gender yang berarti jenis
kelamin. Dalam websters News Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan, dilihat dari
segi nilai dan tingkah laku. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex
and Gender: an Introduction, mengartikan gender sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pendapat ini
sejalan dengan anggapan Lindsey bahwa semua ketetapan
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender. Adapun Elaine
Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-
laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Elaine
Showalter menekannya sebagai konsep analisis (an analytic
concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
2. Peran Gender
Williams dan Best mengatakan bahwa peran gender
meupakan sekumpulan aktivitas-aktivitas yang sesuai dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan dalam suatu interaksi sosial. Menurut
McAnulty dan Burnette, peran gender adalah perilaku sosial, gaya
hidup, dan karakteristik kepribadian yang diharapkan bagi laki-laki
dan perempuan. Brannon menggambarkan peran gender laki-laki
dan perempuan seperti sebuah naskah cerita yang menuntut laki-laki
dan perempuan melakukan peran-peran yang sesuai dengan harapan
sosial untuk menunjukkan sisi feminin dan sisi maskulin.
Peran gender merujuk pada peran yang dikonstruksikan
masyarakat dan perilaku-perilaku yang dipelajari serta harapan-

5
Yus Rusyana, Ideologi Gender, (Malang: Beranda, 2021), hlm. 50.

9
harapan yang dikaitkan pada perempuan dan pada laki-laki.
Perempuan dan laki-laki secara biologis berbeda. Kebudayaan
kemudian menafsir dan mengurai perbedaan yangdibawa dari lahir
ini ke dalam sejumlah pengharapan masyarakat tentang perilaku dan
tindak kegiatan yang dianggap pantas bagi perempuan dan laki-laki
serta hak, sumber daya, dan kekuasaan yang layak mereka miliki.
Seperti perempuan yang ditempatkan dalam wilayah domestik
tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan
yang tersosialisasi di masyarakat bahwa kaum perempuan harus
bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan
domestik. Sedangkan laki-laki tidak harus bertanggung jawab, dan
bahkan banyak tradisi secara adat dilarang terlibat dalam urusan
pekerjaan domestik. Oleh karenanya, tipologi beban kerja
perempuan tidak berkurang walaupun si perempuan juga bekerja di
sektor publik. Hal ini disebabkan selain bekerja di luar publik,
perempuan juga masih harus bertanggung jawab atas keseluruhan
pekerjaan domestik.6
Peran gender yang tidak seimbang disebabkan oleh persepsi
terhadap peran gender dari masing-masing individu yang akar
permasalahannya berasal dari kesenjangan sosiologis kultural di
tingkat keluarga dan masyarakat lokal. Persepsi pembagian peran
gender dalam keluarga terdiri persepsi terhadap peran gender dalam
sektor domestik, dan persepsi terhadap peran gender dalam sektor
publik-sosial.
Persepsi peran gender dalam sektor domestik
a. Contoh laki-laki dan perempuan mempersepsikan peran
memperbaiki alat, memelihara peralatan rumah, dan
menggunakan sarana sebagai peran yang lebih baik dilakukan
oleh laki-laki.
b. Contoh laki-laki dan perempuan mempersepsikan peran
berbelanja bahan makanan dan memasak serta menyiapkan
makanan dan keperluannya sebagai peran yang lebih baik
dilakukan oleh perempuan.

6
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Panduan dan Bahan Pembelajaran
Pelatihan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: KPPA dan
PA 2009).

10
c. Contoh laki-laki dan perempuan mempersepsikan peran
pengasuhan anak, membersihkan lingkungan rumah,
perencanaan dan pengaturan keuangan, pengambilan keputusan
dalam keluarga, domestik subsisten, merawat kesehatan, dan
menyediakan air sebagai peran yang lebih baik dilakukan baik
laki-laki maupun perempuan(netral).7
Persepsi peran gender dalam sektor publik-sosial
a. Contoh laki-laki mempersepsikan peran mencari nafkah utama
sebagai peran yang lebih baik dilakukan oleh laki-laki, sedangkan
contoh perempuan mempersepsikan peran tersebut sebagai peran
yang lebih baik dilakukan perempuan.
b. Contoh laki-laki maupun perempuan mempersepsikan peran
mencari nafkah tambahan sebagai peran yang netral, yaitu
dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan.
c. Contoh perempuan mempersepsikan aktivitas sosial
kemasyarakatan sebagai peran yang lebih baik dilakukan baik
laki-laki maupun perempuan (netral), tetapi contoh perempuan
mempersepsikan peran tersebut sebagai peran yang lebih baik
dilakukan oleh laki-laki.8
Namun secara umum peran gender adalah sekumpulan pola
perilaku yang menjadi harapan sosial untuk ditampilkan secara
berbeda oleh laki-laki dan perempuan sesuai jenis kelaminnya.
Scanzoni membedakan pandangan peran gender menjadi dua
yaitu, peran gender tradisional dan peran gender modern. Peran
gender tradisional membagi tugas laki-laki dan perempuan secara
kaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku secara turun temurun
sedangkan peran gender modern tidak lagi membagi tugas laki- laki
dan perempuan secara kaku melainkan sejajar atau sederajat.
a. Paradigma Ketegangan Peran Gender
Paradigma ketegangan peran gender dijelaskan oleh
Pleck, Pleck menjelaskan ketegangan peran gender dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan konflik peran gender.
1) Peran gender didefinisikan dari stereotip peran gender.
2) Peran gender bersifat bertentangan dan tidak konsisten.

7
Ibid.
8
Ibid.

11
3) Mayoritas laki-laki tidak menikmati peran gender.
4) Pelanggaran terhadap peran gender berakibat pada sanksi
sosial.
5) Pelanggaran peran gender berakibat pada konsekuensi
negatif psikologis.
6) Pelanggaran nyata dan tidak nyata dari norma atau
ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap norma
berakibat pada kompensasi yang berlebihan yang dilakukan
oleh individu.
7) Pelanggaran terhadap norma memiliki konsekuensi lebih
besar pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
8) Karakteristik peran gender tertentu secara psikologis tidak
berfungsi, misal, agresifitas dan kedekatan yang rendah.
9) Ketegangan peran gender dialami dalam pekerjaan dan peran
dalam keluarga.
10) Perubahan secara historis menyebabkan ketegangan peran
gender.
Pleck juga mengatakan bahwa ketegangan peran gender
laki-laki berkaitan dengan ideologi maskulin. Ideologi maskulin
merupakan suatu keyakinan bahwa sifat laki-laki yang melekat
dengan budaya menentukan standar perilaku laki-laki. Ideologi
maskulin melibatkan pengesahan individu dan internalisasi
sistem keyakinan budaya tentang maskulinitas.
Pernyataan teori kedua dikemukakan pada tahun 1995,
bahwa ketegangan peran gender terdiri dari tiga konsep yaitu:
1) Kesenjangan, yaitu perbedaan antara gambaran laki-laki
yang ideal dengan gambaran laki-laki yang sebenarnya. Hal
ini menunjukkan kegagalan yang bersifat jangka panjang
bagi laki-laki dalam memenuhi harapan peran. Akibatnya,
karakteristik yang terbentuk mengarah pada rendahnya harga
diri.
2) Trauma, nilai yang dibayar ketika mencoba mengisi peran-
peran tersebut. Meskipun harapan peran dapat terpenuhi,
proses sosialisasinya bersifat traumatis dengan efek negatif
jangka panjang.

12
3) Ketidakberfungsian, konsekuensi negatif norma peran laki-
laki terhadap individu dan lingkungan sosial. Keberhasilan
pemenuhan harapan peran memiliki konsekuensi negatif
karena banyak perilaku dan karakteristik yang dilihat sebagai
sesuatu yang diinginkan dan dapat diterima, baik bagi diri
sendiri maupun orang lain.
Pleck menyimpulkan bahwa ketiga konsep standar
budaya untuk maskulinitas melalui sosialisasi peran gender
memiliki potensi negatif pada laki-laki.
Paradigma ketegangan peran gender Pleck merupakan
dasar konseptualisasi konflik peran gender. Konflik peran gender
didefinisikan sebagai keadaan psikologis dimana peran gender
yang disosialisasikan memiliki konsekuensi negatif pada diri
sendiri dan orang lain. Konflik peran gender terjadi bila
sosialisasi peran gender yang kaku, seksis, dan terbatas
berpengaruh pada devaluasi, keterbatasan diri, dan gangguan
pada diri sendiri dan orang lain. Akibat utama dari konflik peran
gender yaitu keterbatasan potensi diri sendiri atau keterbatasan
potensi diri orang lain. Operasionalisasi konflik peran gender
dilihat dari empat ranah psikologis, beberapa konteks situasional,
dan tiga pengalaman pribadi.
Ranah psikologis dari konflik peran gender meliputi:
1) Kognitif, bagaimana pemikiran individu mengenai peran
gender;
2) Afektif, bagaimana merasakan peran gender;
3) Behavioral, bagaimana bersikap, merespon, dan
berinteraksi denganorang lain atau diri sendiri dikarenakan
peran gender tersebut;
4) Dibawah kesadaran, bagaimana dinamika peran gender di
bawahkesadaran mempengaruhi perilaku dan menghasilkan
konflik.
Konflik peran gender terjadi pada konteks situasional
ketika laki-laki:
1) Mengalami peralihan peran gender atau menghadapi
kesulitan dalamtugas perkembangan dalam rentang hidup;
2) Menyimpang atau melanggar norma peran gender dan

13
ideologimaskulin;
3) Mencoba atau gagal menemukan norma peran gender dari
ideologimaskulin;
4) Mengalami kesenjangan antara konsep diri yang nyata
dengan konsepdiri ideal berdasarkan stereotip peran gender
dan ideologi maskulin;
5) Devaluasi diri, membatasi dan membahayakan diri sendiri
karenagagal memenuhi norma ideologi maskulin;
6) Mengalami devaluasi diri, keterbatasan, dan ancaman dari
orang lain untuk menyesuaikan diri dengan atau
menyimpang dari ideologi maskulin;
7) Devaluasi diri, membatasi dan mengganggu orang lain
karena penyimpangan atau penyesuaian norma ideologi
maskulin.
Keadaan yang kompleks tersebut dipersempit menjadi 4
kategori:
1) Konflik peran gender disebabkan oleh peralihan peran
gender.Peralihan peran gender adalah keadaan dalam
perkembangan peran gender laki-laki yang merubah asumsi
pribadi tentang peran gender dan mengakibatkan konflik
peran gender atau perubahan hidup yang positif. Misal,
peralihan peran gender ketika masuk sekolah, masa puber,
menikah, menjadi seorang ayah, dan kehilangan pasangan
hidup.
2) Konflik peran gender dialami secara intrapersonal diantara
laki-laki merupakan pengalaman pribadi dengan emosi dan
pikiran negatif ketika mengalami devaluasi, keterbatasan,
dan ancaman.
3) Konflik peran gender ditunjukkan pada orang lain secara
interpersonal, terjadi ketika masalah peran gender laki-laki
berakibat pada devaluasi, keterbatasan, dan ancaman.
4) Konflik peran gender dialami dari orang lain, terjadi ketika
seseorang mengalami devaluasi, membatasi, atau
mengancam orang lain yang menyimpang dari atau
menyesuaikan diri dengan norma dan ideologi maskulin.
Tiga pengalaman pribadi dari konflik peran gender terdiri

14
dari devaluasi, keterbatasan, dan gangguan :
1) Devaluasi peran gender merupakan kritik negatif dari diri
sendiri dan orang lain ketika menyesuaikan diri dengan,
menyimpang dari, atau melanggar norma peran gender dan
ideologi maskulin.
2) Keterbatasan peran gender terjadi ketika membatasi orang
lain atau diri sendiri pada norma dan ideologi maskulin.
Keterbatasan berakibat pada kontrol perilaku individu,
membatasi potensi yang dimiliki individu, dan menurunkan
kebebasan individu
3) Pelanggaran peran gender berarti merugikan diri sendiri,
orang lain, atau dirugikan oleh orang lain karena
menyimpang dari norma peran gender dan ideologi
maskulin.
Sosialisasi peran gender, ideologi maskulin dan norma
sertaketakutan akan femininitas dirumuskan O’Neil berhubungan
dengan empat pola-pola konflik peran gender yaitu sukses,
kekuatan, dan kompetisi. sisi emosional yang terbatas
penunjukan rasa kasih sayang yang terbatas di antara laki-laki,
dan konflik diantara pekerjaan dan hubungan keluarga:
1) Sukses didefinsikan sebagai perasaan kuatir akan prestasi
pribadi, kesehatan, kecakapan, kegagalan, mobilitas ke atas,
dan keberhasilan karir. Kekuatan dideskripsikan berorientasi
pada memiliki kekuasaan, dominan, dan berpengaruh pada
orang lain. Kompetisi didefinisikan sebagai persaingan
dengan orang lain untuk mencapai sesuatu atau
membandingkan diri dengan orang lain untuk mengukuhkan
superioritas dalam situasi tertentu.
2) Sisi emosional yang terbatas, memiliki kesukaran dan
ketakutan dalam mengekspresikan perasaan dan kesukaran
mencari kata-katauntuk mengekspresikan emosi sederhana.
3) Penunjukan rasa kasih sayang yang terbatas di antara laki-
laki, memiliki cara terbatas dalam mengekspresikan emosi
dan perasaan pada laki-laki.
4) Konflik antara pekerjaan dan hubungan keluarga,
mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan hubungan

15
kerja, pendidikan, keluarga, dan memiliki waktu luang yang
kurang.9
3. Relasi Suami Istri dalam Keluarga
Selain bersifat ilahiah, perkawinan merupakan lembaga
sosial yang menghasilkan konsekuensi hukum, terkait dengan hak dan
kewajiban suami dan istri.10 Konsep masyarakat muslim terhadap
status perempuan tidak dapat dipisahkan dari khazanah fikih yang
selama ini telah tumbuh, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu,
konsepsi masyarakat Islam sendiri berkembang seiring dengan
perjalanan waktu, mengalami evolusi, dan semakin menyesuaikan
dengan kondisi ruang dan waktu.
Terkait dengan hak dan kewajiban suami dan istri, setidaknya
terdapat dua pandangan yang ada dalam kitab-kitab klasik, sementara
pandangan kedua, yang lebih diwarnai oleh kebutuhan-kebutuhan
masyarakat modern yang semakin hari semakin mementingkan hak-
hak perempuan.
Salah satu contoh tentang konsepsi perempuan yang kategori
dalam pandangan tradisional adalah yang diuraikan Imam Nawawi al-
Bantani dalam kitabnya Uqdud al-Lujjayn. Dalam kitab ini Imam
Nawawi al-Bantani menjelaskan secara gamblang tentang hak dan
kewajiban suami terhadap istri adalah berlaku adil dan mengatur
waktu untuk para istri, memberi nafkah, dan lemah lembut dalam
berbicara dengan istri. Suami wajib memberikan kasih sayang kepada
istri. Konsepsi yang diberikan Imam Nawawi ini buka tanpa alasan,
menurut Imam Nawawi kewajiban ini muncul karena suami telah
memberikan mahar dan nafkah kepada istri dan perempuan pada
hakikatnya lemah dan butuh perlindungan11
Sementara tentang kewajiban istri terhadap suami yang
disebutkan oleh Imam Nawawi adalah
a. Menaati suami;
b. Melaksanakan kewajiban ketika suami tidak berada di rumah,
menjaga kehormatan;

9
Karina Meriem Beru Brahmana, Konflik Peran Gender pada Laki-Laki,
(Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga).
10
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta
Timur, 2019), hlm. 248.
11
Ibid., hlm. 249.

16
c. Memelihara rahasia dan harta suami sesuai ketentuan Allah
SWT.12
Sementara itu, Sayyid Sabiq juga menguraikan hak dan
kewajiban suami dan istri, yaitu :
a. Saling memberikan kenikmatan (al-istimta’) satu sama lain dengan
baik;
b. Keharaman karena mushaharah;
c. Adanya hak saling mewarisi;
d. Ketetapan nasab bagi anak-anak.13
Meskipun dalam pasal 31 Undang-Undang Perkainan
disebutkan bahwa :
a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan
hidup bersama dalam msyarakat
b. Masing-masing pihak berhak utuk melakukan perbuatan hukum.14
Demikian pula dalam hukum Perdata dalam burgerlijk
wetboek (BW), hak dan kewajiban suami dan istri meliputi beberapa
aspek:
a. Kewajiban suami dan isteri meliputi;
1) Kesetiaan antarasuami istri dengan jalan saling antu
membantu dalam kehidupan sehari-hari;
2) Suami istri harus memelihara dan mendidik anak-anaknya.
b. Kewajiban suami, meliputi :
1) Suami wajib memberi bantuan hukum atau menghadap
pengadilan untuk kepentingan istrinya;
2) Suami wajib memlihara harta kekayaan istrinya;
3) Suami tidak boleh menjual barang-barang tidak bergerak
kepunyaan istrinya atau membebaninya dengan hipotek
dengan tidak ada izin dari istrinya;
4) Suami wajib melindungi istrinya;
5) Suami waib memberi nafkah dan keperrluan-keperluan
lainnya kepada istrinya, sesuai dengan penghasilannya.
c. Kewjiban istri meliputi:

12
Ibid., hlm. 250.
13
Ibid.
14
Ibid.

17
1) Istri wajib menurut kepada istrinya;
2) Istri wajib berdiam bersama-sama dengan suaminya dan
mengikutinya kemana-mana.15
Selain dari perspektif di atas, ada pula perspektif lain yang
diuraikan oleh pemikir, yang penulis sebutkan di atas, yaitu suami dan
istri yang berupaya membaca tradisi keluarga dalam islam secara
kritis. Dalam hal ini, pendapat yang dikeluarkan oleh tim
pengurusutamaan Gender Departemen Agama, yaitu Counter Legal
Drafting (CLD) KHI sebagai pembanding pendapat tradisional
tersebut. Dalam CLD KHI disebutkan bahwa kedudukan, hak,dan
kewajiban suami istri adalah setara, baik dalam kehidupan kluarga,
maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat: suami istri
memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan kehidupan keluarga
sakinah yang didasarkan pada mawaddah, rahmah, dan maslahah.
Dari prinsip ini, CLD KHI menentukan bahwa hak suami istri
adalah:
a. Memiliki usaha ekonomi produktif;
b. Melakukan perbuatan hukum;
c. Memilih peran dalam kehidupan masyarakat;
d. Memilih peran dalam kehidupan keluarga
e. Menentukan jangka waktu perkawinan;
f. Menentkan pilihan memliki keturunan atau tidak;
g. Menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan alat kontrasepsi
yang dipakai;
h. Menentukan tempat kediaman.16
Kewajiban suami istri sebagai befikut:
a. Saling mencintai, menghormati, menghargai, dan menerima segala
perbedaan yang ada;
b. Saling mendukung dan memberikan segala keperluan hidup
keluarga sesuai dengan kemampuan masing-masing;
c. Mengelola urusan kehidupan keluarga berdasarkan kesepakatan
bersama;
d. Saling memberika kesempatan utuk mengembangkan potensi diri
e. Mengasuh, memelihara dan mendidik anak-anak mereka.

15
Ibid, hlm. 251.
16
Ibid, hlm. 252.

18
Bila diperhatikan, kedua perspektif diatas, tentu tedapat
perbedaan yang signifikan. Undang-Undang Perkawinan yang
diundangkan pada 1974 dianggap sebagai salah satu kemandegan
dalam perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia, karena
masih terbelenggunya perempuan dalam kerangka kerja budaya
Indonesia yang masih tradisional, dimana bias gender di masyarakat
diterima secara luas, sehingga terkesan subordasi perempuan ini
terlegitimasi oleh hukum dan sosial.17
4. Ketahanan Keluarga
Keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang
mempunyai hubungan darah atau keturunan, dalam arti sempit
keluarga meliputi orang tua dengan anak. Keluarga juga merupakan
sekelompok orang yang dihubungkan oleh pernikahan, keurunan,
atau adopsi yang hidup dalam satu rumah tangga. Keluarga
merupakan satu unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami, istri dan anak yang saling berinteraksi dan memiliki hubungan
yang erat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.18
Kata ketahanan berarti kuat, kokoh dan tangguh. Sebagai kata
sifat, ketahanan menunjukkan sifat yang mampu berpegang teguh
pada prinsip dan kaidah dasar yang melandasinya, sikap dan dan
pikiran dalam melakukan perbuatan tersebut meskipun kondisi
lingkungan sekitar sudah muali berubah19
Ketahanan keluarga (family strengh atau family rsilience)
merupakan kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap
pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan
dasar seperti kebutuhan pangan, air bersih, pelayanan kesehaan,
kesempatan integrasi sosial.20 Menurut Undang-Undang No. 10
Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga sejahtera pasal 1 ayat (15) ketaahanan keluarga adalah
kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis
mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan

17
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm.
436.
18
Wahyu, Pengantar Studi Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 61.
19
Andarus Darahim, Membina Keharmonisan dan Ketahanan Keluarga,
(Jakarta Timur: IPGH, 2015), hlm. 191.
20
Muhamad Uyun, Ketahanan Keluarga dan Dampak Psikologis dimasa
Pandemi Global, (Jurnal Fakultas Psikologi UIN Raden Patah, 2020), hlm. 1.

19
keluarganya untuk mencapai keadaan harmonis dalam menigkatkan
kesejahteraan lahir dan batin.21
5. Aspek Ketahanan Keluarga
Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yaitu
pada Pasal 1 Ayat 11. Pada ayat tersebut dituliskan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki
keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik
materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tersebut maka ketahanan
keluarga dapat diukur menggunakan pendekatan sistem yang meliputi
komponen input (sumber daya fisik dan nonfisik), proses manajemen
keluarga (permasalahan keluarga dan mekanisme
penanggulangannya), dan output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan
psikososial).22
Atas dasar pendekatan ini, maka Sunarti menjelaskan
ketahanan keluarga merupakan ukuran kemampuan keluarga dalam
mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumber daya yang
dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan demikian,
keluarga dikatakan memiliki tingkat ketahanan keluarga yang tinggi
apabila memenuhi beberapa aspek yaitu:23
a. Ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang,
perumahan, pendidikan dan kesehatan.
1) Kebutuhan pangan dan sandang: menurut Sinaga kebutuhan
pangan adalah kebutuhan makanan dan minuman agar
dapat terus melakukan aktivitas dan bertahan hidup,
Kebutuhan sandang adalah kebutuhan pokok manusia akan
sesuatu yang dapat digunakan atau dapat dipakai contoh
kebutuhan sandang adalah: pakaian, sepatu, sandal, tas dan

21
Herien Puspitawati, Kajian Akademik Pengertian Kesejahteraan dan
Ketahanan Keluarga, (Bogor: IPB Press, 2010), hlm. 11.
22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009, Tentang
Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunanpasal 1 Ayat 1
23
Anisah Cahyaningtyas, Pembangunan Ketahanan Keluarga, (Jakarta: CV
Lintas Khatulistiwa, 2016), hlm.5.

20
barang assesoris. Dengan demikian apabila semua kebutuhan
pangan dan sandang dapat terpenuhi maka kesejateraan dalam
keluarga akan meningkat.24
2) Perumahan: Kesejahteraan keluarga bisa dilihat dari status
rumah yang ditempatinya. Rumah merupakan suatu
kebutuhan primer yang sebenarnya harus dimiliki oleh setiap
keluarga. Rumah memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia, terlebih dalam suatu keluarga.
3) Pendidikan dan kesehatan: Aspek pendidikan dimana
keluarga harus diberdayakan melalui pendidikan yang
memadai agar menjadi institusi yang handal dalam mencetak
generasi penerus yang cerdas terampil dan berbudi luhur yang
mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga.
Kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang harus
diperhatikan, karena kesehatan adalah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa dan sosial yang membuat setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis dan salah satu upaya
mencegah gangguan kesehatan memerlukan pemeriksaan,
pengobatan atau perawatan. Kesehatan setiap anggota
keluarga merupakan hal yang sangat penting untuk dapat
bekerja secara produktif, sehingga dapat menghasilkan
pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup.25
b. Ketahanan sosial yaitu berorientasi pada nilai agama, komunikasi
yang efektif, dan komitmen keluarga tinggi.
1) Nilai agama: aspek keagamaan dimana merupakan landasan
utama semenjak awal keluarga terbentuk, tanpa landasan
agama yang memadai keluarga tidak akan mampu
melaksanakan fungsi keagamaan dengan baik. Sebab tujuan
ibadah adalah membimbing manusia kepada jalan yang benar.

24
Anna Apriana, Kajian Minat Belanja Kebutuhan Pokok Warga Perumahan
Royal Mataram, (Jurnal Bisnis, Manajemen Dan Akuntansi Vol. 4, No 2: 2017) hlm. 43.
25
Herein Puspitawati, Telaah Pengintegrasian Perspektif Gender dalam
Keluarga untuk Mewujudkan Kesejahteraan dan Keadilan Gender dan Ketahanan
Keluarga Di Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara, (Jurnal Institut Pertanian Bogor
2016), hlm 14.

21
Jika keluarga benar-benar mengerti dan mendalami ajaran
agama, maka besar kemungkinan kehidupan berrumahtangga
akan berjalan harmonis.
2) Komunikasi yang efektif: penerapan pola komunikasi
keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan
anak maupun antar anggota keluarga memiliki implikasi
terhadap proses perkembangan emosi anak. Dalam proses
komunikasi tersebut, anak akan belajar mengenal dirinya
maupun orang lain, serta memahami perasaannya sendiri
maupun orang lain. Pola komunikasi yang demokratis dan
interaktif secara kultural pada akhirnya akan menentukan
keberhasilan proses sosialisasi pada anak. Proses sosialisasi
menjadi penting karena dalam proses tersebut akan terjadi
transmisi sistem nilai yang positif kepada anak.
3) Komitmen keluarga tinggi: komitmen terhadap pasangan yang
terdiri dari, antara lain kesediaan seseorang menyanggupi
keterikatan pada pasangan dalam upacara perkawinan.
Artinya, pada dasarnya pasangan tersebut berjanji mencintai,
setia, menghormati, dan menyenangkan satu sama lain serta
jujur dalam berbagai masalah kehidupan dengan penuh
tanggung jawab.26
c. Ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan
masalah nonfisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri
positif, dan kepedulian suami terhadap istri.
1) Kemampuan penanggulangan masalah nonfisik: kemampuan
anggota keluarga untuk mengelola emosinya sehingga
menghasilkan konsep diri yang positif dan kepuasan terhadap
pemenuhan kebutuhan dan pencapaian tugas perkembangan
keluarga. Kemampuan mengelola emosi dan konsep diri yang
baik menjadi kunci dalam menghadapi masalah-masalah
keluarga yang bersifat non fisik (masalah yang tidak berkaitan
dengan materi seperti masalah kesalahpahaman, konflik suami
dan istri).

26
Dyah Astorini Wulandar, Kajian Tentang Faktor-Faktor Komitmen dalam
Perkawinan, (Jurnal Psycho Ideal, Universitas Muhammadiyah Purwokwrto, Vol.2 No 1 :
2009), hlm. 5.

22
2) Pengendalian emosi secara positif: pengendalian emosi sangat
penting dalam kehidupan manusia, khususnya untuk
mereduksi ketegangan yang timbul akibat emosi yang
memuncak. Emosi menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan hormonal di dalam tubuh, dan
memunculkan ketegangan psikis, terutama pada emosi-emosi
negatif. Pengendalian emosi dapat dibagi kedalam beberapa
model. Pertama, model displacement, yaitu dengan cara
mengalihkan atau menyalurkan ketegangan emosi kepada
obyek lain. Kedua, model cognitive adjusment, yaitu
penyesuaian antara pengalaman dan pengetahuan yang
tersimpan (kognisi) dengan upaya memahami masalah yang
muncul. Model ini meliputi atribusi positif (husnudzhon),
empati dan altruisme. Ketiga, model coping, yaitu dengan
menerima atau menjalani segala hal yang terjadi dalam
kehidupan, meliputi, syukur, bersabar, pemberian maaf, dan
adaptasiadjusment. Keempat, model lain-lain seperti regresi,
represi dan relaksasi.
3) Konsep diri positif: konsep diri adalah semua ide-ide, pikiran,
kepercayaan, dan pendirian yang diketahui individu tentang
dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain. Konsep diri dalam keluarga dapat berjalan
dengan baik jika budaya dan pengalaman dalam keluarga
memberikan pengalaman yang positif, individu memperoleh
kemampuan yang berarti, mampu beraktualisasi diri, sehingga
individu menyadari potensi yang ada pada dirinya.
4) Kepedulian suami terhadap istri: kepedulian suami terhadap
istri sangat diperlukan dalam menjaga ketahanan keluarga,
dukungan suami adalah dukungan yang diberikan suami pada
istri yang merupakan bentuk nyata dari kepedulian dan
tanggungjawab suami dalam kehidupan istri. Tanggung jawab
tersebut berupa mengawasi, memelihara dan melindungi istri
serta menjaga perasaan, dan keamanan seorang istri.27

27
Anisah Cahyaningtyas, Pembangunan Ketahanan Keluarga, (Jakarta: Cv
Lintas Khatulistiwa, 2016), hlm. 8.

23
6. Faktor Ketahanan Keluarga
Dalam membina ketahanan hidup keluarga agar bisa
harmonis, minimal ada lima faktor yang dibutuhkan untuk terus
diperhatikan, diisi dan dibina antara lain adalah:
a. Ketahanan fisik jasmani : adalah faktor penting yang sangat
berpengaruh pada ketahanan diri dan keluarga.
b. Ketahanan mental rohani : kedewasaan dan kematangan mental
psikologis adalah faktor yang menggambarkan kematangan dan
kedewasaan kepribadian seseorang. Orang yang dewasa psikologis
memiliki kemantapan dan ketenangan hati yang lebih baik
daripada orang yang labil mental emosionalnya.
c. Ketahanan sosial ekonomi : semua makhluk hidup memerlukan
sumber kehidupan baik untuk dikonsumsi maupun dipergunakan
dalam menunjang kebutuhan hidupnya. Kebutuhan sosial ekonomi
ini seperti tidak mengenal batas sehingga tidak ada orang yang
merasa puas dengan hasil yang dicapai, bahkan banyak yang mau
menumpuk kekayaan dengan mengabaikan norma ketentuan
hukum dan moralitas agama.
d. Ketahanan sosial budaya dan adat istiadat : manusia adalah
makhluk berbudaya dan beradab. Oleh sebab itu sikap dan perilaku
dalam kehidupannya sehari-hari dipengaruhi oleh tata nialai sosial
budaya yang beradab dan bermartabat. Adat dan budaya seseorang
biasanya dapat dicermati dalam sikap dan perilakunya ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, baik kedalam
maupun keluar.
e. Ketahanan hidup beragama : faktor terakhir yang ikut berpengaruh
bahkan sering sangat kuat pengaruhnya adalah norma-norma
agama. Setiap agama pasti mengajarkan kepada umatnya untuk
setia dan taat kepada norma dan kaidah ajaran agama tersebut
seperti nilai-nilai sosial dan komunal yang diajarkan agamanya.
Keyakinan agama akan mempengaruhi sikap dan prilaku

24
seseorang karena dianggap sangat penting bagi kehidupan didunia
maupun di akhirat.28
Selain faktor di atas berikut ada beberapa faktor yang ikut
memberikan pengaruh pada ketahanan keluarga:
a. Pendidikan dan pembinaan kualitas sumber daya manusia:
manusia adalah penggerak dan penentu dalam mengatur dan
mengelola kehidupan baik pribadi maupun keluarga bahkan
bangsa dan dunia. Karena itu kualitas sumber daya manusia harus
jadi titik sentral dalam pembangunan. Sebagai contoh sederhana
dalam membangun SDM yang berkualitas adalah dengan upaya
mengatur usia perkawinan, jarak dan jumlah kelahiran.
b. Pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi keluarga: banyak contoh
bahwa keluarga yang miskin dan tertinggal lemah dalam membina
ketahanan keluarga, meskipun tidak terjadi perceraian tetapi
konflik dalam keluarga sangat banyak terjadi. Dalam hal ini
pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi keluarga sanggat penting
agar dapat mebina ketahanan keluarga dengan baik.
c. Pemantapan keyakinan dan norma serta moralitas agama : Faktor
perbedaan keyakinan dan agama sering menimbulkan gejolak
dalam kehidupan keluarga apalagi bila suami istri berbeda
keyakinan. Jika di dalam menjalani kehidupan rumah tangga
sebaiknya hanya memiliki satu agama saja. Apabila memiliki
keyakinan yang berbeda dalam keluarga maka anak akan
terombang-ambing dalam memilih keyakinan agama dalam
hidupnya.
d. Perlakuan yang setara bagi anak laki-laki dan perempuan :
keluarga harus memberikan perlakuan yang setara antara anak
laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dan mencapai
kemajuan. Perlakuan deskriminatif menjunjukan orang tua dalam
keluarga itu belum menerapkan persamaan perlakuan dan peluang
bagi tumbuh kembang anak-anaknya.29

28
Andarus Darahim, Membina Keharminisan Dan Ketahanan Keluarga,
( Jawa Timur: IPGH 2015), hlm. 196.
29
Ibid., hlm. 201.

25
7. Ketahanan Keluarga Dalam Islam
Ketahanan keluarga adalah konsep dalam menjaga kehidupan
rumah tangga islami dari nilai-nilai liberalisasi dan sekuler yang dapat
mengencam eksistensi keluarga tersebut dalam mengamalkan nilai-
nilai yang islami. Setiap keluarga muslim berkewajiban memperkuat
ketahanan keluarganya masing-masing. Adapun firman Allah yang
menguatkan tentang ini sebagai berikut
َ ُ ْ ُ َّ َ ُ ُ َ ً َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ ُ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫اس َوال ِح َج َارة َعل ْي َها‬ ‫يا أيها ال ِذين آمنوا قوا أنفسكم وأه ِليكم نارا وقودها الن‬
َ ُ َ ْ ُ َ ‫َ َ َ ٌ َ ٌ َ ٌ َ َ ْ ُ َن َّ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ َن‬
‫مَل ِئكة ِغَلظ ِشداد َل يعصو َّللا ما أمرهم ويفعلو ما يؤمرون‬
Artinya :“ Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah dirimu
dankeluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar dan keras, yang tidakdurhaka
kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“
(QS. At tahrim:6)30

Berdasarkan ayat di atas terlihat jelas bahwa dalam menjalni


kehidupan rumah tangga haruslah menjaga keutuhan rumahtangga
serta menanamkan nilai-nilai agama dalam keluarga untuk
memperkokoh ikatan rumahtangga yang telah dibangun bersama dan
agar sebuah keluarga dapat terhindar dari hal-hal buruk yang akan
menjadi penyebab pertengkaran rumahtangga.
Era globalisasi yang terjadi saat ini banyak yang
mempengaruhi ketahanan keluarga muslim. Ada beberapa faktor
yang melatarbelakangi lemahnya ketahanan keluarga muslim adalah:
a. Lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai keislaman.
Nilai-nilai keislaman adalah pondasi dalam membangun
ketahanan keluarga. Rendahnya pengetahuan akan nilai-nilai yang
islami membuat komitmen terhadap nilai keislaman menjadi
rendah. Akibatkan ketahanan keluarga akan mudah rapuh.
b. Sikap hidup yang matrealistis.
Kehidupan yang lebih mementingkan materi membuat

30
Kementrian Agama, Al-qur’an Tajwid Dan Terjemahan, (Jakarta Timur:
Maghfirah Pustaka 2006), hlm. 560.

26
orangtua hanya berpikir untuk mencari uang yang banyak. Anak
hanya dicukupi secara materi namun mengabaikan aspek kasih
sayang dan perhatian. Akibatnya anak banyak mencari perhatian
di luar rumah, sehingga cenderung melakukan perilaku
menyimpang.
c. Berkembangnya nilai-nilai jahilliyah yang dapat dengan mudah
diakses melalui kemajuan teknologi yang terjadi saat ini. Nilai
tersebut akan mudah diserap jika pondasi nilai-nilai keislaman
keluarga rendah.
d. Minimnya komunikasi antar anggota keluarga.
Tuntutan ekonomi terkadang membuat kedua orang tua
harus bekerja. Kesibukan dalam bekerja seringkali membuat
komunikasi antar anggota keluarga terhambat. Komunikasi yang
terjadi lebih banyak yang bersifat sekunder, yaitu menggunakan
alat-alat komunikasi seperti smart phone. Padahal komunikasi
primer antar anggota keluarga akan lebih meningkatkan
keharmonisan keluarga.
e. Lemahnya tarbiyah ’ailiyah (pembinaan keluarga).
Tanpa adanya pembinaan keluarga maka ketahanan
keluarga adalah hal yang mustahil untuk dicapai.35 Kondisi batin
yang tenang dipengaruhi oleh kesadaran tentang tujuan hidup dan
juga tujuan pernikahan yang diorientasikan semata mencapai
keridhoan Allah SWT. Sehingga apapun situasinya yang dihadapi
dalam pengalaman hidup berkeluarga akan dikembalikan kepada
kehendak Allah dan kepada tujuan untuk menggapai ridho-Nya. 31
Ketahanan keluarga dapat dicapai bila mampu memenuhi
lima aspek, sebagai berikut:
1) Kemandirian Nilai
Langkah pertama yang harus dipenuhi untuk mencapai
ketahanan keluarga muslim. Kemandirian nilai, khususnya
nilai-nilai islami mampu membentengi anggota keluarga dari
perilaku hedonis dan liberalis. Orang tua menjalankan fungsi
sosialisasinya berdasarkan nilai-nilai Islam. Bila anak sudah

31
Lubis Amany, Ketahanan Keluarga Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka
Cendikiawan Muda, 2018), hlm. 15.

27
memiliki pondasi nilai-nilai Islam yang kuat, maka anak tidak
akan mudah terpengaruh nilai-nilai negatif yang datang akibat
globalisasi.

2) Kemandirian Ekonomi
Sandang, pangan, dan papan adalah hal mendasar yang
harus dipenuhi dalam keluarga. Dalam Islam seorang ayah
berkewajiban untuk mencari nafkah yang halal bagi
keluarganya, sebab nafkah yang haram bisa memberikan
dampak yang negatif bagi anak. Orang tua harus benar-benar
menjamin bahwa makanan yang dia berikan kepada anaknya
100% halal.
3) Kesalehan Sosial
Kesalehan Sosial menunjuk pada perilaku orang-orang
yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat
sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong,
sangat perhatian terhadap masalah- masalah umat,
memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu
berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati,
artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan
seterusnya. Kesalehan sosial mampu mewujudkan
keseimbangan Antara hubungan vertikal kepada Allah SWT
yang disebut dengan hablum minAllah, dan hubungan
horizontal kepada sesama manusia dan alam sekitarnya yang
disebut dengan “hablum minannas”.
4) Ketangguhan menghadapi konflik
Konflik adalah bagian dari proses interaksi sosial
manusia yang saling berlawanan. Artinya, konflik adalah
bagian dari proses sosial yang terjadi karena adanya
perbedaan-perbedaan baik fisik, emosi, kebudayaan, dan
perilaku.
5) Kemampuan Menyelesaikan Masalah
Seringkali apa yang kita harapkan berbeda dengan apa
yang terjadi, disitulah muncul yang namanya masalah. Bila
terjadi masalah dalam keluarga maka yang seharusnya
dilakukan adalah menghadapinya. Keluarga muslim harus

28
meyakini bahwa setelah kesukaran pasti ada kemudahan.
Masalah yang menimpa keluarga tidak boleh dihadapi dengan
putus asa, sebab putus asa adalah salah satu dosa.32
Bila kelima aspek tersebut dapat dipenuhi, maka ketahanan
keluarga akan tercapai. Ketahanan keluarga yang baik akan
memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai islami yang menjadi pondasi ketahanan keluarga akan
mampu menangkal nilai-nilai liberal yang tidak sesuai dengan jati
diri bangsa.
8. Kerangka Teori Qira’ah Mubadalah.
Mubadalah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar suku
kata “ba-da-la” yang berarti mengganti, mengubah, dan menukar.
Akar kata ini digunakan al-Quran sebanyak 44 kali dalam berbagai
bentuk kata dengan makna seputar itu. Sementara kata mubadalah
sendiri merupakan bentuk kesalingan (mufa’alah) dan kerjasama
antar dua pihak (musyarakah) untuk makna tersebut berarti saling
mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain.33
Dalam kamus modern lain, Al-Mawrid, untuk Arab-Inggris,
karya Dr. Rohi Baalbaki, kata mubadalah diartikan muqabalah bi al-
mitsl. Yaitu menghadapkan sesuatu dengan padanannya. Kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan beberapa makna:
reciprocity, reciprotacion, repayment, requital, paying back,
returning in kind or degree. Sementara dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “kesalingan” (terjemahan dari mubadalah dan
reciprocity) digunakan untuk hal-hal yang menunjukkan makna
timbal balik.
Dalam pembahasan ini, mubadalah lebih difokuskan pada
relasi laki-laki dan perempuan di ruang domestik maupun publik.
Relasi yang didasarkan pada kemitraan dan kerja sama. Prinsip
mubadalah, dengan demikian tentu saja tidak hanya mereka yang
berpasangan, tetapi, prinsip tersebut juga untuk mereka yang
memiliki relasi dengan orang lain. Bisa sebagai suami dan istri, atau
sebaliknya. Bisa sebagai orang tua dan anak, atau sebaliknya. Bisa

32
Ibid.
33
Faqihuddin Abdul Khodir, Qira’ah Mubadalah Tafsir Progresif untuk
Keadilan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 59.

29
antara anggota keluarga, jika di dalam relasi keluarga, bisa antara
anggota komunitas, atau antara warga negara.
Tetapi dalam semua jenis relasi tersebut, kuncinya adalah
relasi antara perempuan dan laki-laki. Istilah mubadalah juga
digunakan untuk sebuah metode interpretasi terhadap teks-teks
sumber Islam yang meniscayakan laki-laki dan perempuan sebagai
subjek yang setara, yang keduanya disapa oleh teks dan harus
tercakup dalam makna yang terkandung di dalam teks tersebut.
Dengan demikian, konsep mubadalah dalam dua pengertian saja,
yaitu: relasi kemitraan kesalingan antara laki-laki dan permpuan, dan
bagaimana sebuah teks Islam mencakup perempuan dan laki-laki
sebagai subjek dari makna yang sama.
Menurut teori ini dalam konteks relasi gender, pembagian
peran secara seksual adalah wajar. Suami mengambil peran
instrumental, membantu memelihara sendi-sendi masyarakat dan
keutuhan fisik

G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan
seorang peneliti untuk mencapai suatu tujuan, cara tersebut digunakan
oleh seorang peneliti untuk mempertimbangkan kelayakannya yang
ditinjau dari tujuan situasi peneliti.34 Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah meto de studi kasus. Studi kasus merupakan
strategi penelitan dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara
cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok
individu.
1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitain ini
adalah penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan
untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian. Seperti
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain yaitu dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks

34
H. Afifudin Dkk, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2012), hlm. 86.

30
khusus yang alami serta dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
Pendekatan kualitatif yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis studi kasus. Agar peneliti dapat menggungkap
realitas sosial atau realitas fisik yang unik35
2. Kehadiran peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti akan berperan sebagai instrumen
sekaligus sebagai pengumpul data sehingga keberadaannya di lokasi
penelitian mutlak diperlukan. Dalam penelitian ini kehadiran
peneliti adalah sebagai peneliti pengamat partisipan, yaitu dengan
partisipasi moderat.
Penelitian partisipan moderat, yaitu peneliti berada diposisi
yang menengah, yakni ikut melibatkan diri dengan aktivitas sosial
yang diteliti, tetapi untuk hal-hal yang dipandang berkaitan secara
langsung dengan peneliti, ia memisahkan diri dari keadaan sosial
yang sebenarnya, dengan posisi sebagai orang luar atau pendatang
dan atau seorang peneliti.
Jadi, terkadang berpartisipasi terkadang tidak, bergantung
pada pemahamannya tentang kebutuhan pengumpulan data.36
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung berhadapan
dengan yang diwawancarai, tetapi dapat juga secara tidak langsung
seperti memberikan daftar pertanyaan untuk dijawab pada
37
kesempatan lain.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Perhimpunan Tunanetra
Indonesia (PERTUNI) di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok
Barat.

35
Husein, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,(Jakarta Rajawali
Pers, 2011)
36
Afifuddin dan Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), hlm. 139.
37
Umar Husein, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,(Jakarta
Rajawali Pers, 2011), hlm. 51.

31
4. Sumber Data
a. Data primer,
Untuk mendapatkan data yang dibutuhka dalam penlitian
ini tentunya harus berhubungan dengan orang-orang yang
mengtahui secara mendalam dan mempunyai relevansi dengan
penelitian yangdijalankan, sehingga sumber dataprimer dalam
penelitian ini adalah anggota dari Perhimpunan Tunanetra
NTB.38
b. Data skunder
Untuk mendapatkan data pendukung guna melengkapi
data primer yang peneliti kumpulkan. Ada beberapa sumber data
skunder yang dapat dijadikan rujukan yang terdiri dari dokumen.
Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, dan buku-
buku atau jurnal ilmiah yang berkaitan dengan kesetaraan
gender dalam keluarga disabilitas tunanetra.
5. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan yang
menggunakan data primer untuk mendapatkan informasi di
lapangan dan pengumpulan data sesuai dengan data yang
diperlukan. Metode-metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan,
meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek
dengan menggunakan seluruh alat indra. Jadi, mengobservasi
dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran,
peraba, dan pengecap.39
Teknik obeservasi digunakan untuk menggali data dari
sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, serta
benda dan rekaman gambar. Ada dua jenis observasi yaitu
observasi partisipasi dan observasi non partisipasi:
1) Obsrevasi Partisipatif, yaitu observer ikut terlibat dalam
kegiatan objeknya serta aktif berpatisipasi pada aktivitas
dalam segala bentuk yang diselidiki.

38
Noor Juliansya, Metodelogi Penelitian, Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya
Ilmiah, (Jakarta: PT Kencana Media Group, 2011), hlm. 139.
39
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, hlm. 155.

32
2) Observasi Non Partisipatif, yaitu observer tidak
melibatkan diri ke dalam obyeknya. Hanya pengamatan
yang dilakukan sepintas pada kegiatan tertentu
obyeknya.40
Berdasarkan jenis observasi di atas, peneliti
menggunakan jenis observasi non partisipatif, karena peneliti
hanya datang ke lapangan untuk mencari informasi dan
mengambil data terkait Relasi Gender Pasangan Keluarga
Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia (PERTUNI)
NTB
b. Wawancara (interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian
yang berlangsung secara lisan dengan bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi.
Wawancara terdiri dari 3 jenis yaitu, wawancara terstruktur,
wawancara semi terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.41
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan
wawancara tidak terstruktur, sebab wawancara ini lebih bebas
dan mendalam ketika peneliti ingin mewawancarai sekaligus
memperoleh data bagaimana Relasi Gender Pasangan
Keluarga Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia
(PERTUNI) NTB. Adapun yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data ialah dengan mewawancarai pihak-pihak
terkait yang tentunya akan bisa menjawab permasalahan yang
akan diteliti.
Adapun yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data ialah dengan mewawancarai pihak-pihak
terkait yang tentunya akan bisa menjawab permasalahan yang
akan diteliti.
c. Dokumentasi
Dokumentasi artinya barang-barang tertulis. Di dalam
melaksanakan dokumentasi, peneliti mengumpulkan sumber-
sumber tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,

40
Juliansyah Nor, Metodologi Penelitian Proposal Tesis, Tesis, Desertasi, dan
Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 141.
41
Afifudin dan Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 133.

33
peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan
sebagainya.
Melalui dokumentasi peneliti akan mencari data yang
berkaitan dengan obyek penelitian yang diteliti
6. Tehnik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan data ke dalam suatu pola, memilah-milahnya
yang menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang pelajari.42
a. Reduksi Data
Pada tahap ini peneliti melakukan proses pemilihan
dengan memisahkan catatan-catatan tertulis peneliti yang
diperoleh dilapangan, yang tidak relevan dengan obyek
penelitian, proses ini dilakukan selama penelitian berlangsung.
Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan dan memusatkan
perhatian terhadap obyek penelitian.
b. Penyajian Data
Setelah melalui proses pemilihan pada tahap reduksi data,
peneliti melakukan penyajian data, yaitu peneliti
mensistematisasikan keterangan-keterangan atau catatan-catatan
yang telah dipilih pada tahap reduksi data. Ini dimaksudkan untuk
memudahkan penarikan kesimpulan pada tahap terakhir, selain
itu untuk menyederhanakan informasi yang pada akhirnya
keterangan-keterangan atau data-data tersebut jelas dan mudah
dipahami.
c. Penarikan Simpulan
Pada tahap terakhir ini, setelah melalui proses reduksi
data dan penyajian data, peneliti melakukan analisis dari
keseluruhan data secara utuh yang telah tersistematisasi dengan
baik, yang diperoleh selama berlangsungnya penelitian. Baru
kemudian menarik kesimpulan, penarikan kesimpulan dilakukan
pada akhir dari kegiatan penelitian yang ditandai dengan
terkumpul dan tersusunnya data-data yang dibutuhkan peneliti.43

42
Ibid., hlm. 155.
43
Ibid., hlm. 160.

34
7. Validitas Data
Validitas data bertujuan untuk membuktikan bahwa apa yang
diperoleh oleh peneliti sesuai dengan apa yang didapatkan dalam
penelitian.
Keabsahan data berkaitan dengan suatu kepastian bahwa
yang berukur benar-banar merupakan variabel yang ingin diukur.
Keabsahan data ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan
data yang tepat, salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain diluar data itu untuk keperluan pemeksriksaan atau sebagai
pembanding data tersebut.44
Dalam hal ini untuk memperoleh validitas data yang peneliti
inginkan agar penelitian ini menghasilkan penelitian yang tidak
diragukan validitasnya, maka diperlukan teknik pemeriksaan data
atau analisis data, dan dalam hal ini teknik yang digunakan adalah:
a. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
keperluan pemeriksaan atau sebagai pembanding data tersebut.45
b. Memperpanjang waktu penelitian
Perpanjangan keikutsertaan peneliti sangat menentukkan
dalam pengumpulan data. keikutsertaan tersebut tidak hanya
diikuti dalam waktu singkat tetapi memerlukan perpanjangan
penelitian pada latar penelitian. Keikutsertaan peneliti dalam
penelitian dapat menimbulkan kepercayaan data yang
dikumpulkan.46
Waktu untuk meneliti penelitian ini adalah dua minggu
untuk menggali dan mendapatkan data yang diperlukan untuk
penelitian. Namun apabila selama penelitian waktu yang
digunakan masih dirasa kurang cukup untuk mendapatkan semua
datanya maka peneliti akan memperpanjang waktu penelitian
selama satu minggu.
c. Pembahasan teman sejawat
Pembahasan teman sejawat ini bermaksud untuk
berdiskusi bersama rekan atau teman yang juga memahami
44
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet Pertama, (Jakarta : Persada
Press, 2009), hlm. 143.
45
Afifuddin, Metodologi Penelitian, hlm. 143.
46
Ibid., hlm. 330.

35
tentang apa yang sedang diteliti. Selain itu peneliti juga akan
meminta saran dan masukan dari dosen atau yang sekiranya ahli
dalam menanggapi penelitian ini.

H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman secara
menyeluruh tentang penelitian yang akan dilakukan, maka dipandang
perlu untuk memaparkan sistematika penulisan dan pembahasan tesis
adalah berikut:
BAB pertama Memaparkan tentang pendahuluan yang terdiri
dari 1. Latar Belakang Masalah, 2. Rumusan Masalah, 3. Tujuan dan
Manfaat, 4. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian, 5. Penelitian
Terdahulu yang Relevan, 6. kerangka Teori, 7. Metode Penelitian.
BAB kedua Paparan data, pada bagian ini digambarkan tentang
gambaran umum lokasi penelitian dan wawancara yang dilakukan di
Perhimpunan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) NTB dan pembahasan
atau analisa temuan. Pada bab ini peneliti berusaha menganalisis hasil
temuan terkait dengan pembagian wilayah kerja domestik dan publik
serta ketahanan keluarga pada pasangan keluarga disabilitas tunanetra
NTB.
BAB keempat Pada bab ini berisikan tentang penutup yang terdiri
dari kesimpulan dan saran atas konsep yang telah ditemukan pada
pembahasan.

36
BAB II

PEMBAGIAN TUGAS DOMESTIK DAN PUBLIK PADA


PASANGAN KELUARGA DISABILITAS TUNANETRA
DI PERHIMPUNAN TUNANETRA INDONESIA
(PERTUNI) NTB

A. Gambaran Umum
1. Sejarah Berdirinya PERTUNI NTB
Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) adalah organisasi
kemasyarakatan tunanetra tingkat Nasional yang didirikan pada
tanggal 26 Januari 1966 di Surakarta oleh 4 orang tokoh tunanetra.
Pertuni bertujuan “Mewujudkan keadaan yang kondusif bagi
tunanetra untuk menjalankan kehidupannya sebagai individu dan
warga negara yang cerdas, mandiri dan produktif tanpa diskriminasi
dalam segenap aspek kehidupan dan penghidupan. Hingga saat ini,
Pertuni telah memiliki Dewan Pengurus Daerah (DPD di 34
Propinsi dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) di 221
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Salah satu Dewan Pengurus Daerah Pertuni yakni Propinsi
NTB. Pertuni NTB terletak di Kecamatan Kediri. Awal mula
berdirinya PERTUNI NTB adalah ketika Fitri (Ketua Pertuni NTB)
diajak bergabung dengan Pertuni di NTB oleh kawan-kawan
tunanetra.
“Awalnya, saya mencalonkan diri hanya sebagai pesaing,”
ungkap Fitri, memulai awal mula ceritanya mencalonkan diri
sebagai Ketua DPD Pertuni NTB. Bulan September 2015,
diselenggarakan Musyawarah Daerah (Musda) Pertuni NTB,
ada salah satu kandidat kuat yang dicalonkan sebagai ketua.
Fitri sendiri sama sekali tak berpikir untuk benar-benar
terpilih. Pasalnya, ia belum lama pindah ke NTB dan belum
terlalu mengenal tunanetra di propinsi tersebut. Namun,
siapa sangka bahwa dari 26 pemilih saat itu, ternyata 24
orang memilih Fitri, yang berarti Fitri telak mengalahkan
kandidat kuat yang sebelumnya diyakini akan menang.

Terpilihnya Fitri sebagai Ketua DPD Pertuni NTB adalah


sebuah amanah besar yang harus ia jalani selama lima tahun.
Dengan banyaknya aktivitas yang ia lakukan setiap hari mulai

37
menjadi konsultan di beberapa lembaga, menjadi motivator di
berbagai kota, hingga mengurus Samara Lombok tambahan tugas
sebagai Ketua DPD Pertuni NTB membuat Fitri sempat gentar
sanggupkah ia menggenggam amanah itu? Beruntung, Fitri
memiliki Ahmad Zaki, sang suami yang selalu mendukungnya, serta
meyakinkan dia untuk menjalani kepercayaan yang telah diberikan
padanya. “Akhirnya ya sudah, saya ucap basmallah dan coba untuk
menjalani”.
September 2015, Fitri resmi menjalani tugas barunya
sebagai Ketua DPD Pertuni NTB periode 2015-2021. Sejak terpilih
hingga saat ini, telah ada beberapa bentuk kegiatan yang berhasil
terlaksana. Salah satu program utamanya, yaitu bergerak pada
bidang pemberdayaan. Menyadari potensi NTB sebagai pulau
wisata, pemberdayaan yang Fitri lakukan pun diarahkan pada sector
ekonomi kreatif. Fitri mengadakan berbagai pelatihan kepada para
tunanetra untuk pembuatan makanan kecil dan beberapa jenis
kerajinan tangan seperti tas, gelang, kalung dan lain-lain.
“Ini bisa dikerjakan sendiri oleh tunanetra tanpa peru minta
bantuan mata awas,” jelas Fitri.

Bukan hanya pembuatan makanan kecil dan kerajinan


tangan, Fitri juga memberikan pelatihan refleksi dan lulur kepada
anggota Pertuni di NTB. Menurut Fitri, saat ini pelanggannya sudah
cukup banyak. Bukan hanya para turis yang membutuhkan pijat
refleksi setelah letih berjalan-jalan, tetapi juga warga sekitar, seperti
wanita karier yang membutuhkan perawatan lulur dan pijat fisasi.
Tak hanya sekadar pelatihan, melalui DPD Pertuni NTB, Fitri pun
menyalurkan para peserta pelatihan refleksi dan lulur tersebut agar
dapat memanfaatkan keterampilannya. Untuk juru refleksi laki-laki
disalurkan ke hotel-hotel, sedangkan yang perempuan dibuatkan
ruangan praktik khusus di rumah kediaman Fitri yang saat ini juga
difungsikan sebagai sekertariat DPD Pertuni NTB.
Dengan masih banyaknya pergolakan terhadap isu
disabilitas di wilayah NTB, agaknya Fitri termasuk sosok yang
tampil cukup berani dalam mengadvokasi hak-hak tunanetra.
Sejumlah dialog telah Fitri lakukan demi mewujudkan kesetaraan
bagi tunanetra NTB, seperti dialog dengan Dinas Sosial, Dinas
Pendidikan, dan Dinas Ketenagakerjaan Propinsi NTB. Pernah
suatu ketika, Dinas Ketenagakerjaan mengadakan Job Fair. Pada

38
spanduk acara, tertera bahwa Job Fair terbuka pula untuk
penyandang disabilitas, namun setelah ditelusuri tidak ada satupun
stand yang membuka lowongan untuk penyandang disabilitas,
khususnya tunanetra. Saat itu juga, Fitri langsung menemui Dirjen
di Dinas Ketenagakerjaan yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan job fair tersebut dan menyampaikan
ketidakpuasannya.
“Jangan sampai penyandang disabilitas hanya ‘dijual’
namanya saja, tetapi harus benar-benar dilibatkan,” cerita
Fitri, mengulang tuturannya kepada Dirjen Dinas
Ketenagakerjaan yang ditemuinya.

Fitri mengakui, mengemban tugas sebagai Ketua DPD


Pertuni NTB bukanlah hal mudah. Iia telah mengenyam pendidikan
hingga jenjang S2, sementara pengurus DPD Pertuni NTB lainnya
belum mencapai tingkat pendidikan yang sama—mengingat masih
sangat sulitnya akses pendidikan tinggi bagi tunanetra di propinsi
tersebut. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam
membangun koordinasi antar pengurus. Meski demikian, Fitri tetap
bertekad untuk menyelesaikan amanah yang telah dititipkan
kepadanya sebagai Ketua DPD Pertuni NTB hingga tahun 2021
mendatang.
Dengan segala yang telah Fitri lakukan, ia pun menyimpan
sejumlah harapan untuk tunanetra. Yang pertama, Fitri berharap
agar dapat terciptanya kehidupan yang inklusi di NTB, yang kedua,
tunanetra akan menjadi masyarakat yang dimasyarakatkan :
“Kita perlu membangun mindset yang benar di masyarakat,
bahwa tunanetra itu bukan mahluk yang lemah, karena
tunanetra dapat menjadi masyarakat yang kompeten dalam
segala aspek kehidupan,” ujarnya, mantap.*

39
2. Jumlah Penghuni

PERSATUAN TUNANETRA INDONESIA (PERTUNI)


(ORGANISASI KEMASYARAKATAN TUNANETRA INDONESIA)
DEWAN PENGURUS DAERAH PROVINSI NTB
Alamat : Dusun Karang Bedil Selatan RT 03 Gang H. Syamsi Jl. TGH. Abdul Hafidz No. 14
Kediri Lombok Barat NTB. 83362 Tlp. 08121504332 / 081907587999

JENIS
No NAMA ALAMAT KAB/KOTA
KELAMIN
1 2 3 5 6
1 Juminah Perempuan Majeluk Kota Mataram
Pejanggik
2 Nur Aini Perempuan Monjok Kota Mataram
Selaparang
3 Supinah Perempuan Dasan Cermen Kota Mataram

4 Ismi Nurul Chaerani Permepuan Kebun Sari, Kota Mataram


Kec. Ampenan
5 Haeratun Perempuan Terate, Kediri Lombok Barat

6 Kamaludin Laki-Laki Dusun Bajur Lombok Barat


Giri Jati
7 Burhanudin Laki-Laki Dusun Tanak Lombok Barat
Beak Daye,
Narmada
8 Sapoan Laki-Laki Dsn. Menjeli, Lombok Barat
Petuluan Indah
Lingsar

40
9 Maryani Perempuan Bile Tepung, Lombok Barat
Sesela Gunung
Sari
10 Satinah Perempuan Dsn. Nyiur Lombok Barat
Baya, Desa Batu
Makak Lingsar
11 Salman Farizi Laki-Laki Sedayu Utara Lombok Barat
Kediri

12 Sahabudin Laki-Laki Saribaye, Kec. Lombok Barat


Lingsar
13 Muhamad Fauzi Laki-Laki Lingk. Bukal Lombok
Malang Tengah
Panjisari Praya
14 Zaenuri Laki-Laki Lingk. Lombok
Handayani Tengah
Leneng Praya
15 Lis Fatmawati Perempuan Semayan Praya Lombok
Tengah
16 Lalu Yusup Alwi Laki-Laki Paok Tawah, Lombok
Bunut Baok Tengah
Praya
17 M. Ramdan Haerulsani Laki-Laki Paok Tawah, Lombok
Bunut Baok Tengah
Praya
18 Samsudin Laki-Laki Rensing Timur, Lombok Timur
Sakra Barat

41
19 Nasipudin Laki-Laki Dsn. Bat Lombok Utara
Pawang Sesait
Kayangan
20 Saptini Perempuan Kr. Gerepek, Lombok Utara
Ker. Gangga
21 Ahmad Laki-Laki Sadia, Mpunda Bima
22 Dedi Setiawan Laki-Laki Panoti, Desa Bima
Panoti, Mpunda
23 Maemuna Perempuan Ntoba, Desa Bima
Nto’bo, Raba
24 M. Said Laki-Laki Ntoba, Desa Bima
Ntoba Raba
25 Tarini Perempuan Sadia, Mpunda Bima

26 Ferawati Perempuan Mande, Mpunda Bima

27 Irfan Hakim Laki-Laki Banteng, Desa Bima


Melayu Asakota
28 Masyur Laki-Laki Penaraga Bima

29 Dedi Pranata Ardiansah Laki-Laki Penaraga Bima

30 Irfan Sari Lai-Laki Jatibaru Timur, Bima


Asakota
31 Riski Jumiati Perempuan Sadia, Mpunda Bima

32 Mariaah Perempuan Jatibaru Timur, Bima


Asakota
33 Astati Perempuan Jatibaru Timur, Bima
Asakota

42
34 Drs. H. Abd. Syafi Laki-Laki Kodo, Rasanae Bima
Timur
35 Ismail Laki-Laki Dsn. Campa, Dompu
Desa Baka Jaya,
Woja
36 Samsudin Laki-Laki Dsn. Campa, Dompu
Desa Baka Jaya,
Woja
37 Nur Asmiati Perempuan Ds. Wera Desa Dompu
Lepadi Pajo
38 Muhamad Said Laki-Laki Dsn. Woko Dompu
Rahmat Desa
Woko, Pajo
39 Bungtomo Laki-Laki Ling. Bali Dompu
Bunga Kandai
Duo Woja
40 Syahril Laki-Laki Dsn. Campa, Dompu
Desa Baka Jaya,
Woja
41 Mustakim Laki-Laki Dsn. Pelat 1 Sumbawa
Unter Iwis
42 Harman Hidayat Laki-Laki Kr. Bedil Timur, Lombok Barat
Kediri
43 Saeful Muslim Laki-Laki Saribaye, Kec. Lombok Barat
Lingsar
44 Rohani Perempuan Baginda, Lombok Barat
Merembu

43
45 Hamdani Laki-Laki Baginda, Lombok Barat
Merembu
46 Ayunah Perempuan Dasan Montor, Lombok Barat
Narmada
47 Amriyani Perempuan Geria Utara Lombok Barat
48 Mainah Perempuan Dusun Beremi Lombok Barat
Bangle
49 Muslim Laki-Laki Kekere Barat, Lombok
Semayan Paraya Tengah
50 Rohidin Laki-Laki Lingkok Lombok
Kudung Tengah
51 Hataman Laki-Laki Desa Senteluk, Lombok Barat
Kecamatan Batu
Layar
52 Hendrik Laki-Laki Desa Kekeri, Lombok Barat
Kecamatan
Gunung Sari
53 Mirfa Perempuan Desa Kekeri, Lombok Barat
Kecamatan
Gunung Sari
54 Hikmah Perempuan Desa Jeringo, Lombok Barat
Kecamatan
Gunung Sari
55 Yanti Perempuan Desa Majeli Lombok Barat
Kecamatan
Lingsar

44
56 Mega Septiani Putri Perempuan Desa Majeli Lombok Barat
Kecamatan
Lingsar
57 Taufik Amrullah Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kecamatan
Kediri
58 Haeratun Perempuan Desa Kediri Lombok Barat
Selatan,
Kecamatan
Kediri
59 Nurisah Perempuan Desa Dasan Lombok Barat
Baru,
Kecamatan
Kediri
60 Zulkifli Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kecamatan
Kediri
61 Ahmad Laki-Laki Desa Sadia, Bima
Mpunda
62 Ismail Laki-Laki Desa Baka Jaya Bima
Kecamatan
Woja
63 Juniah Perempuan Dasan Baru, Lombok Barat
Kediri
64 M. Sayuni Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kec. Kediri

45
65 Hendra Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kec. Kediri
66 Heri Kiswanto Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kec. Kediri
67 Munawar Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kec. Kediri
68 Zainal Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kec. Kediri
69 M. Sidiq Laki-Laki Desa Kediri, Lombok Barat
Kec. Kediri
70 Ramli Laki-Laki Desa Kuripan Lombok Barat
Selatan,
Kecamatan
Kuripan
71 Ramli Laki-Laki Desa Lombok Barat
Telagawaru,
Kecamatan
Labuapi
72 Rohani Perempuan Desa Merembu, Lombok Barat
Kec. Labuapi
73 Bayu Eka Pranata Laki-Laki Desa Kr. Lombok Barat
Bongkot, Kec.
Labuapi
74 Hamdani Laki-Laki Desa Merembu, Lombok Barat
Kec. Labuapi
75 M. Iqbal Taufik Laki-Laki Desa Beleke, Lombok Barat
Kec. Gerung

46
76 Harmini Perempuan Sekotong Lombok Barat
77 Burhanudin Laki-Laki Desa Kekait, Lombok Barat
Kec. Gunung
Sari
78 Haeratun Perempuan Desa Meninting, Lombok Barat
Kec. Batulayar
79 Hj. Nurhaeni Perempuan Desa Meninting, Lombok Barat
Kec. Batulayar
80 Ika Aryani Perempuan Desa Sesele Lombok Barat
Kec. Batulayar
91 Sumarni Perempuan Desa Terong Lombok Barat
Tawah, Kec.
Labuapi
92 Dwi Oktini Roliana Perempuan Desa Kr. Lombok Barat
Bongkot Kec.
Labuapi
93 Muhamad David Hasan Laki-Laki Kr. Bedil Lombok Barat
Selatan, Kec.
Kediri
94 Ipti Patiha Perempuan Kr. Bedil Lombok Barat
Selatan, Kec.
Kediri
95 Muhamad Abid Ibnu Laki-Laki Kr. Bedil Lombok Barat
Batutah Selatan, Kec.
Kediri
96 Azura Humaera Perempuan Kr. Bedil Timur, Lombok Barat
Kec. Kediri

47
97 Maya Humaira Perempuan Kr. Bedil Lombok Barat
Selatan, Kec.
Kediri
98 Sultan Muhamad Lai-Laki Kr. Bedil Lombok Barat
Alfatih Selatan, Kec.
Kediri
99 Atharfa Gaesan Rabbani Laki-Laki Kr. Bedil Lombok Barat
Selatan, Kec.
Kediri
100 Rafiqi Hamlan Laki-Laki Kr. Bedil Lombok Barat
Selatan, Kec.
Kediri
101 Muhamad Ramdhan Laki-Laki Kr. Bedil Timur, Lombok Barat
Alfurqan Kec. Kediri
102 Ahmad Faqih Ahkam Lai-Laki Kr. Bedil Utara, Lombok Barat
Kec. Kediri
103 Muhamad Alfatih Raya Laki-Laki Kr. Bedil Utara, Lombok Barat
Kec. Kediri
104 Muhamad Sidiq Laki-Laki Kr. Bedil Utara, Lombok Barat
Kec. Kediri
105 Hendra Laki-Laki Kr. Bedil Timur, Lombok Barat
Kec. Kediri
106 Faturrahman Laki-Laki Dusun Terate Lombok Barat
Kec. Kediri
107 Raohanah Perempuan Kr. Bedil Lombok Barat
Selatan, Kec.
Kediri

48
108 Nawap Maulana Laki-Laki Tongkek, Praya Lombok
Barat Tengah
109 Rahmat Maulidi Laki-Laki Renjase, Kec. Lombok
Jonggat Tengah
110 Lalu Faqih Al Firdaus Laki-Laki Bunut Baok, Lombok
Kota Praya Tengah

B. Pembagian Tugas Domestik dan Publik pada Pasangan Keluarga


Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia
PERTUNI NTB
Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat banyak permasalahan
yang gender yang melekat pada disabilitas dan terutama pada
pasangan disabilitas, yang sama sekali tidak pernah menjramli
perhatian bagi baik masyarakat normal maupun oleh masyarakat
disabilitas itu sendiri. Konflik yang terjramli karena
ketidaksempurnaan istri dalam keluarga pasangan disabilitas sering
menjramli alasan pemicu permasalahan gender. Pemikiran
masyarakat mengenai feminitas dan maskulinitas, serta akibat
totemisme gender yang menyebabkan pekerjaan tertentu disimbolkan
sebagai kegiatan perempuan juga melekat dalam keluarga pasangan
disabilitas tunanetra di Perhimpunan Tunanetra Indonesia NTB.
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga
sering dijadikan pangkal permasalahan. Pola pembagian kerja dalam
keluarga padaumumnya didasarkan atas jenis kelamin, yaitu laki-laki
bertugas sebagai pencari nafkah dan berorientasi keluar rumah,
sedangkan perempuan hanya berorientasi di dalam rumah.

1. Istri Non Disabilitas dan Suami Disabilitas


Seperti yang diungkapkan pasangan keluarga istri non
disabilitas dengan suami disabilitas Nuraminah dan Saptono,
pernikahan Nuraimah dan Saptono hingga saat ini masih bertahan.
Saptono yang disabilitas tunanetra tidak menjadi alasan untuk
menghalangi pernikahan antara Saptono dan Nurmainah. Lebih

49
dari itu Nurmainah menyatakan :
“ Meski pada awalnya keluarga saya kurang setuju ketika
saya mencoba untuk meminta restu untuk menikah dengan
suami saya, namun akhirnya keluarga saya memberikan
restu untuk saya menikah dengan suami saya sekarang,
pada saat itu saya beberapa kali mencoba menjelaskan
bahwa saya yakin kepada Saptono, saya cinta dengan segala
kekurangan yang Saptono punya, hingga pada saat itupun
saya mampu meyakini keluarganya bahwa Saptono
merupakan laki-laki yang bertanggung jawab. Bagi saya,
pernikahan adalah perjuangan dan pengorbanan. saya siap
berjuang dan berkorban demi rumah tangga yang saya
bangun bersama suami saya. Di dalam rumah tangga
seorang istri kan memang tugasnya itu ya menyapu,
mengepel, memasak, mengurus anak, terkadang saya juga
membantu suami saya menambah-nambah pengasilan
dengan berjualan online, tetapi selebihnya yang bekerja itu
ya suami, meskipun penghasilannya tidak menentu ya
disyukuri saja.47

Selain itu peneliti juga mewawancarai suami dari


Nurmainah, Saptono menyatakan :
“Meskupun kondisi saya seperti ini, namun saya akan tetap
berusaha untuk menafkahi istri saya. istri saya juga adalah
orang yang sangat baik hati, selain dari pada itu, istri saya
juga membantu saya dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangga kami, disamping istri saya mengurus rumah, istri
saya juga membantu saya dalam berbagai hal, pekerjaan
rumah sepenuhnya dikerjakan oleh istri saya. Oleh karena
itu saya sangat mencintai istri saya dengan tulus karena istri
saya adalah istri yang sholehah.48

Hal yang sama diugkapkan oleh informan pasangan istri


non disabilitas tunanetra dengan suami disabilitas tunanetra, yakni
Hayat, :
“ Pada awalnya saya bertemu dengan suami saya itu secara

47
Wawancara dengan Nurmainah, Istri Non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022.
48
Wawancara dengan Saptono, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

50
tidak sengaja, suami saya adalah teman dari teman saya,
saya bertemu pertama kali dengan suami saya itu, pada saat
saya menghramliri acara begawe dirumah teman saya,
dimana pada saat pertama kali saya bertemu saya masih
belum merasakan tanda-tanda bahwa saya jatuh cinta
dengan suami saya, maksud saya seperti saya belum
memiliki perasaan apapun, ya mungkin karena saya baru
pertama kali bertemu dan melihat kekurangan dari suami
saya. Tak berselang lama kami kemudian bertemu beberapa
kali, sehingga saya mungkin pada saat itu mulai menaruh
perasaan kepada suami saya sehingga singkat cerita saya
menikah dengan suami saya. Didalam keluarga saya adalah
tulang punggung keluarga, saya bekerja sebagai penjual kue
basah, biasanya saya berjualan keliling, sepulang bekerja,
saya juga harus mengurusi seisi rumah, sebenarnya sedikit
lelah sepulang bekerja namun harus tetap mengurus rumah,
tetapi melihat suami dan anak saya yang kadang saya
temukan dalam kondisi tertidur pulas, seketika lelah saya
menghilang begitu saja”49

Peneliti juga mewawancarai suami dari Hayat, Fauzi


menyatakan:
“Pernikahan kami sudah berlangsung selama kurang lebih
8 tahun, dan Alhamdulillah kami dikaruniai satu orang anak
laki-laki, saya tidak bekerja, saya hanya membantu istri
saya dirumah, seperti membantu mencuci, memasak, dan
membersihkan rumah. Selama ini hanya istri saya yang
mencari nafkah dengan berjualan kue keliling, dan
sebenarnya saya tidak enak hati melihat istri saya yang
mencari nafkah, tetapi mau bagaimana lagi, selain tunanetra
saya juga tidak mampu berjalan terlalu jauh karena kaki
saya sakit akibat kecelakaan. Mungkin setelah modal
terkumpul saya akan membuka warung kecil-kecilan
dirumah.”50

Selanjutnya peneliti mewawancarai informan yang


bernama Marnah yang mengatakan :

49
Wawancara dengan Hayat, Istri non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
50
Wawancara dengan Fauzi, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

51
“Saya menikah dengan suami saya pada tahun 2010. usia
pernikahan kami hingga saat ini kurang lebih sudah berjalan
selama 12 tahun. Alhamdulillah dari pernikahan kami
dikaruniai 2 orang anak perempuan yang saat ini masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya dengan suami saya
sudah saling mengenal sejak lama, namun pada awalnya,
perasaan saya ketika menikah dengan suami saya mungkin
seperti orang pada umumnya, ada sedikit keraguan. Tetapi
karna mengingat lagi ketika kita menaruh dunia di depan,
mungkin kita tidak akan selamanya bisa puas. Dibalik
kekurangan yang ada pada diri suami saya, disamping itu
saya melihat kelebihan yang ada pada suami saya, hal
istimewa yang ternyata jarang sekali dimiliki oleh orang
lain. Mulai dari sana, saya menguatkan tekad karna Allah,
dengan bismillah akhirnya saya menikah dengan suami
saya dengan penuh rasa bangga. Keseharian saya sebagai
istri sebagaimana seorang istri pada umumnya. Mengurus
rumah, memasak, mencuci dan lain sebagainya. mau minta
bantuan suami saya tidak tega karena kondisi suami kan
seperti itu, jadi kalau memasak, mencuci, ya saya kerjakan
sendiri saja semampu saya, karena saya juga selain
mengurusi rumah, saya lebih sering di warung yang
diberikan oleh mertua saya sebagai sumber penghasilan
kami. Sedangkan suami saya, dengan keterbatasan yang
dimiliki biasanya menemani menjaga warung terkadang
juga suami saja pergi memijat jika ada panggilan memijat
dari orang-orang. Ya meskipun penghasilan yang
didapatkan suami saya dari memijat tidak menentu, tetapi
selama ini saya tidak pernah merasa sering mengeluh
dengan kondisi yang ada. karna apapun itu harus tetap
disyukuri atas apa yang diberikan oleh Allah. 51

Peneliti juga mewawancarai suami dari Marnah, Ramli


mengatakan :
Selama saya menjalani kehidupan berumah tangga bersama
istri saya, Marnah, tentunya ada banyak sekali cobaan yang
harus kami hadapi, tetapi Alhamdulillah saya dan istri saya
mampu melaluinya. Alasan saya memilih mempertahankan

51
Wawancara dengan Marnah, Istri non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022

52
rumah tangga saya dengan istri saya itu tentuya karena saya
merasa tidak akan ada wanita hebat seperti istri saya lagi,
wanita yang menerima segala kekuragan yang saya miliki,
karena disamping kondisi fisik saya yang tidak sempurna,
saya juga hanya bekerja sebagai tukang pijat yang hanya
mendapatkan uang jika ada panggilan memijat dari orang-
orang saja.52

Selain dari para informan diatas, peneliti juga


mewawancarai informan Aminah, Aminah mengatakan :
“Kondisi saya dan suami yang berbeda, dimana suami saya
merupakan disabiltas tunanetra, tidak membuat kami
berdua untuk saling merendahkan, tidak pula berpengaruh
mengenai tanggungjawab dalam keluarga. Meskipun suami
saya mengalami keterbatasan, namun tidak membuat suami
saya menyandarkan diri pada bantuan orang lain.
Keterbatasan yang suami saya miliki justru tidak menjadi
hambatan suami saya bekerja sebagai tukang sol sepatu
yang dimana pekerjaan tersebut dijadikan sebagai sumber
perekonomian keluarga. Saya yang berstatus sebagai
seorang istri selain mengurus rumah sepeti mencuci,
memasak, menyapu, saya juga berusaha untuk membantu
suami saya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, ya
karena pendapatan dari suami saya kadang tidak menentu,
kalau saya bekerjakan lumayan untuk menambah uang
jajan anak-anak”53

Selanjutnya peneliti juga mewawancarai suami dari


Aminah, Ramli yang menyatakan :
“Dalam hal pembagian kerja, kami terbuka, maksud saya
siapa yang bisa mengerjakan, ya dikerjakan saja, jadi kami
tidak membeda-bedakan pekerjaan rumah, yang a untuk
suami yang b untuk istri, atau yang ini pekerjaan istri yang
itu pekerjaan suami, tidak, meskipun rumah tangga tetap
dikerjakan oleh istri saya, ya mungkin karena istri saya
memaklumi kondisi saya yang seperti ini, jadi istri saya
tidak banyak menutut untu dibantu dalam mengurus urusan

52
Wawancara dengan Ramli, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
53
Wawancara dengan Aminah, Istri non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022

53
rumah tangga”54

Informan selanjutnya yang peneliti wawancarai adalah


habibah yang menyatakan :
“Singkatnya dulu itu saya dijodoh-jodohkan oleh teman
karena usia saya pada saat itu memang sudah cukup matang
untuk menikah, ya awalnya memang saya tidak
menanggapi terlalu serius, saya orangnya tidak mau ribet
dan berbelit-belit, kalau ada laki-laki yang mau serius
dengan saya, ya silahkan datang baik-baik kerumah, bicara
baik-baik dengan orang tua saya. Dan ternyata perkataan
saya itu ditaggapi dengan serius oleh suami saya, dia datang
kerumah untuk meminta restu kedua orang tua saya,
yameskupun memang orang tua saya pada awalnya sedikit
ragu, tetapi orang tua saya pada akhirnya memberikan
kendali dan pilihan ada ditangan saya. Ya bismillah saja,
nanti bagaimana untuk bertahan hidup kedepannya kita
berusaha bersama saja, ada Allah yang maha pemberi rizky,
apa yang harus diragukan lagi”55

Lebih lanjut Habibah juga menyatakan tentang bagaimana


kehidupan rumah tangga yang dialami selama menikah dengan
suami yang memiliki keterbatasan, yang dimana ketika ada
pesanan, Habibah selalu mengantar dan menemani suaminya
bekerja sebagai tukang pijit, jika tidak ada pesanan memijit, selain
mengurus pekerjaan rumah tangga, Habibah biasanya membuat
kerajinan tas rotan sebagai pekerjaan sampingan, selain itu
Habibah juga berjualan online.
Lebih lanjut peneliti juga mewawancarai suami dari
Habibah yakni Nasipudin, Nasipudin menyatakan :
“Pernikahan kami sudah berjalan selama 6 tahun, dan
dikaruniai 2 orang anak. Anak saya yang pertama berusia 5
tahun dan yang kedua baru berusia 1,4 tahun. Penghasilan
yang saya dapati dari bekerja sebagai tukang pijit tidak
menentu, kadang cukup hanya untuk makan sehari kadang

54
Wawancara dengan Ramli, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
55
Wawancara dengan Habibah, Istri non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022

54
juga lebih, tetapi Alhamdulillah istri saya masih setia
disamping saya hingga detik ini, hebatnya lagi, istri saya
juga membantu saya dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangga dengan berjualan online.56

2. Suami Normal dan Istri Disabilitas Tunanetra


Keluarga disabilitas dengan suami normal dan istri sebagai
disabilitas tunanetra memberikan kesan bahwa kegiatan produksi
dalam keluarga tidak akan terganggu karena suami yang menurut
persepsi masyarakat sebagai pencari uang atau nafkah memiliki
kondisi normal. Asumsi ini akan mendasarkan pandangan bahwa
pelaksanaan kegiatan produksi akan dijalankan oleh suami yang
bukan disabilitas. Namun, asumsi masyarakat terbantahkan oleh
beberapa informan yang peneliti wawancara, diantaranya adalah
Mariani, Mariani menyatakan :
“Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, saya dan
suami sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan
sendiri tanpa tergantung kepada orang lain ataupun pihak
keluarga. Saya dan suami bekerja sebagai penjahit,
meskipun saya hanya bisa menjahit model-model jilbab
yang sederhana, seperti jilbab segi empat, kalau di rumah
saya mengerjakan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga,
seperti memasak, mencuci, mengepel.”57

Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga atau dalam


menjalankan kegiatan produksi, suami dan istri sama-sama
bertanggung jawab. Istri sebagai disabilitas tidak mendapatkan
keringanan dalam kegiatan produksi tetapijuga ikut dalam hal
menjalankan usaha yang dalam hal ini menjahit.
Pembagian kerja dalam kegiatan domestik maupun bublik
di keluarga ini dapat dikatakan tidak seimbang. Istri dengan kondisi
sebagai disabilitas tunanetra tidak mendapatkan perlakuan khusus
dalam pembagian kerja domestik ataupun bublik, tetapi ikut
mengerjakannya layaknya seperti orang normal lainnya. Dapat

56
Wawancara dengan Nasipudin, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022
57
Wawancara dengan Mariani, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

55
dikatakan dalam rumah tangga ini, bahkan semua pekerjaan rumah
tangga dibebankan seluruhnya kepada istri yang disabilitas. Beban
istri dalam rumah tangga tergolong sangat berat, karena hampir
semua kegiatan baik kegiatan domestik maupun publik dikerjakan
oleh istri. Hal ini disebebkan karena suami beranggapan bahwa
laki-laki tidak pantas menegerjakan pekerjaan rumah tangga.
Tampak dalam keluarga tersebut terdapat bias gender yang
menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah. Hal itu
dapat dilihat dari persepsi suami yang menganggap bahwa
perempuan lebih cocok mengurusi pekerjaan rumah tangga
sementara laki-laki bertugas mencari uang. Persepsi tersebut
dikemukakan oleh suami Mariani, Sanusi yang menyatakan :
“Selapuk pegawean bale jak tegawek isik senineku, anuk
wajar-wajar doang endih, sengak memang ye wah jari tugas
dengan nine, marak meriap, nyapu, urus anak, besok piring,
mopok, kan wah jak jari kewajiban senine, lamun mame jak
begwek ndekne pantes menurut ku”58

“Semua pekerjaan rumah dilakukan oleh istri saya, dan


bagi saya itu wajar-wajar saja ya, karena memang tugas-
tugas rumah tangga seperti memasak, menyapu, mengurus
anak, mencuci piring, mencuci pakaian kan itu sudah
mejramli kewajiban seorang stri. Kalau suami yang
mengerjakan pekerjaan rumah tangga menurut saya kok
tidak pantas”

Senada dengan kisah rumah tangga Mariani, Juminah,


informan yang peneliti wawancarai menceritakan tentang
bagaimana dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Juminah
mengatakan:
“Dulu sewaktu bersama mantan suami saya, kami tinggal
bersama orang tua dari suami saya, suami saya tidak
bekerja, kebutuhan rumah tangga tidak tercukupi, bahkan
untuk makanpun kami masih ditanggung oleh orang tua dari
mantan suami saya. Mantan suami hanya mengandalkan
hasil dari saya meminta sedekah dari orang-orang saja, dan

58
Wawancara dengan Sanusi, Suami non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022

56
meskipun begitu, di rumah, mertua dan mantan suami saya
selalu saja marah-marah kalau saya melakukan kesalahan,
semisalnya kesalahan memotong sayur, takaran bumbu
masakan, juga ketika saya sedikit lambat dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, oleh karena itu, hari-
demi hari saya mencoba berdamai dengan keadaan tetapi
lama-kelamaan saya juga merasa lelah,sehingga di dalam
hati saya sering berkata : diceraikanpun saya sudah ikhlas.”
59

Selanjutnya peneliti mewawancarai suami dari Juminah,


Juman menyatakan :
“Saya dan mantan istri,Juminah itu dulu tinggal bersama
orang tua saya, dulu memang saya tidak bekerja ya karena
susah nyari pekerjaan, apalagi untuk orang yang seperti
saya yang hanya lulusan SMA. di rumah yang biasa
mengerjakan pekerjaan rumah tangga ya ibu saya dengan
Juminah, karena hanya mereka berdua perempuan di
rumah”

Selanjutnya peneliti juga mewawancarai Lis, sebagai


informan yang menyatakan :
“Mantan suami saya yang pertama itu normal, maksud saya
tidak mempunyai keterbatasan fisik seperti saya yang
tunanetra. Di dalam rumah tangga, saya menjalani peran
sebagai ibu rumah tangga seutuhnya, saya tidak bekerja,
hanya mantan suami saya saja yang bekerja sebagai buruh,
saya hanya dirumah mengurus dua anak saya, selain
mengurus anak. Saya juga mengurus rumah seperti
pekerjaan istri pada umumya, ya seperti memasak, mencuci
pakaian, membeli sayur, mencuci piring, beres-beres
rumah, dan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya, meskipun
memang harus ada sedikit usaha utuk saya melakukan itu
semua. karena keterbatasan saya yang seperti ini, jadi
semisalnya kalau mau mencari barang itu agak lamban,
hingga terkadang mantan suami saya tidak memberikan
saya kepercayaan penuh dalam hal mengurus rumah tangga,
selalu dibanding-bandingkan dengan istri tetangga yang

59
Wawancara dengan Mariani, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

57
normal. Hingga akhirnya mungkin karena itu, suami saya
memilih wanita lain, wanita yang normal, tidak seperti
kondisi saya ini.”60

Lebih lanjut peneliti juga mewawancarai suami dari Lis,


Badar yang menyatakan:
“Kalau masalah bekerja dan mencari nafkah kan itu
memang sudah menjadi tugas seorang suami, kalau istri ya
hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja seperti
mencuci, memasak, ya begitu-begitu sudah.”

Dari informan yang lainnya, peneliti juga mewawancarai


Juni’ah, Juni’ah menyatakan:
“Saya dengan mantan suami saya bercerai pada tahun 2018
lalu, pernikahan saya dengan mantan suami saya itu
bertahan selama tujuh tahun. Mantan suami saya bekerja
sebagai wiraswasta, dan saya dulu ketika saya masih
menjadi istri dari mantan suami, di dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga saya menjual bunga hidup,
tetapi tak berselang lama setelah saya mempunyai anak,
saya memutuskan untuk tidak berjualan karena suami yang
melarang berjualan, dan saya di rumah menjalankan tugas
sebagai seorang istri seperti bersih-bersih, menyapu,
memasak, dan seperti pekerjaan-pekerjaan ibu rumah
tangga pada umumnya. Tetapi walaupun saya berusaha
untuk bisa melakukan kewajiban sebagai ibu rumah tangga,
mantan suami saya masih saja mencari wanita lain.”61
Peneliti juga mewawancarai suami dari Juni’ah, Karim
yang menyatakan:
“Kalau dirumah yang bertugas untuk mengurus rumah
itukan seorang istri, seorang ibu rumah tangga ya
pekerjaannya mengurusi rumah tangga, kalau seperti
memasak atau mencuci itukan memang sudah menjadi
tugasnya, kalau urusan bekerja mencari nafkah itu urusan
suami, sisanya nanti berapapun pendapatan seorang suami
ya harus disyukuri, karena ya sebegitu rizky hari itu yang

60
Wawancara dengan Lis, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
Wawancara dengan Juni’ah, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
61

58
diberikan.”62

Senada dengan pernyataan informan diatas, peneliti juga


mewawancarai Mariani, Mariani menyatakan :
“Dulu pernikahan saya bertahan selama empat tahun, saya
menikah pada tahun 2011dan bercerai pada tahun 2014 dan
didalam pernikahan tersebut saya dikaruniai satu orang
anak. Dulu suami saya bekerja sebagai buruh tani yang
berpenghasilan hanya ketika ada panen padi atau tembakau
saja. Saya juga dulu pada awal pernikahan, saya bekerja
sebagai tukang pijit, tetapi setelah melahirkan saya sudah
tidak bekerja lagi, karena selain mengurus anak, saya juga
mengurus pekerjaan rumah tangga. Mantan suami saya bisa
dikatakan tidak bekerja, karena dalam sebulan hanya satu
kali atau dua kali saja dia pergi bekerja. Dia lebih banyak
waktu untuk bermain bersama teman-temannya, saya
dirumah kewalahan sendiri mengurusi anak.”63

Lebih lanjut peneliti juga mewawancarai suami dari


Mariani, Sanusi menyatakan:
“Di rumah, yang bertugas mengurus rumah tangga itu ya
mantan istri saya dulu, ya kalau mencuci, mesasak,
menyapu itukan bukan tugas seorang suami, kalau untuk
pekerjaan ya sebenarnya juga bukan tugas seorang istri
untuk mencari nafkah, tetapi kalau untuk membantu
memenuhi kebutuhan rumah tangga yang belum terpenuhi
si, ya bisa-bisa sajakan seorang istri ikut bekerja, asal
jangan terpaksa saja, harus ikhlas, karena saya kan bekerja
paruh waktu saja, ya kalau ada yang membutuhkan tenaga
saya, kalau tidak ada ya apa yang bisa saya perbuat, saya
hanya bisa mengandalkan tenaga saya saja.”64

62
Wawancara dengan Karim, Suami Non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022
63
Wawancara dengan Mariani, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
64
Wawancara dengan Sanusi Suami Non Disabilitas, Pada Tanggal 22 April
2022

59
C. Analisis Pembagian Tugas Domestik dan Publik pada Pasangan
Keluarga Disabilitas Tunanetra di Perhimpunan Tunanetra
Indonesia PERTUNI NTB
Perbedan adalah niscaya dan tidak bisa dinegasikan. Karena
itu, dalam perspektif mubadalah, perbedaan-perbedaan antara laki-
laki dan perempuan tetap diakui bahkan diapresiasi. Justru perbedaan-
perbedaan itu untuk saling melengkapi. Prinsip kesederajatan
(musawah), atau dsebut dengan kesamaan posisi kemanusiaa laki-laki
dan perempuan di hadapan Allah, Al-Quran, hadits, dan ajaran-ajaran
dasar islam. Kesamaan posisi ini harusnya memiliki implikasi pada
kesamaan derajat perempuan dan laki-laki secara sosial dan politik
diranah domestik keluarga maupun publik sosial kemasyarakatan.
Tentu saja, diantara keduanya, ada perbedaan biologis dan genetik
yang juga berimplikasi pada konstruksi perbedaan-perbedaan sosial
tertentu. Bahkan, pada masing-masing individu, diantara laki-laki dan
diantara perempuan ada perbedaan-perbedaa yang harus dipahami dan
diakui. Tetapi perbedaan-perbedaan ini bukan utuk pembedaan dan
diskriminasi yang bersifat esensialis terkit derajat spiritual dan sosial.
Di mana salah satu dianggap lebih mulia secara jenis kelamin dari
yang lain. Yang satu jenis kelamin dianggap lebih berhak atas sesuatu
dari yang lain, yang satu dianggap terlepas dari tanggung jawab
tertentu, sementara yang lain tidak. Hal ini merupakan pembedaan dan
diskriminasi yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Saat Islam datang, derajat perempuan diangkat dengan
sendirinya. Perempuan dala pandangan Islam adalah makhluk yang
memiliki potensi sama seperti apa yang dimiliki laki-laki. Perempuan
diberikan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan
laki-laki.65 Keberadaannya dipandang sebagai mitra sejajar dengan
laki-laki secara harmonis. Tidak ada perbedaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu (hamba Allah),
anggota keluarga, maupuan sebagai anggota masyarakat, begitu pula
dalam hak dan kewajiban.
Perempuan dan laki-laki berasal dari satu keturunan dan sama

65
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikihperempuan Kontemporer, (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 2010), Hlm. 84.

60
dalam karakter kemanusiaan secara umum. Keduanya adalah sama
dalam halbeban dan tanggung jawab, dan di akhirat kelak akan sama-
sama menerima pembalasan. Demikian digambarkan dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa’ ayat 1:
َّ ََ
‫س َو ِاح َد ٍة َوخل َق ِم ْن َها َز ْو َج َها َو َبث ِم ْن ُه َما‬ ْ ‫اس َّات ُقوا َ َّب ُك ُم َّالذي َخ َل َق ُك ْم م ْن َن‬
‫ف‬ ‫ر‬ َّ ‫َيا َأ ُّي َها‬
ُ ‫الن‬
ٍ ِ ِ
ُ َ َ َ َ َّ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ َ َ َ َّ َ َّ ُ َّ َ ‫َ ا َ ا َ َ ا‬
‫ان َعل ْيك ْم َر ِق ايبا‬ ‫ِرجاًل ك ِثيرا و ِنساء ۚ واتقوا َّللا ال ِذي تساءلون ِب ِه واْلرحام ۚ ِإن َّللا ك‬

Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang


telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (QS. An-Nisa : 1)

Relasi gender adalah konsep hubungan sosial antara laki-laki


dan perempuan berdasar kualitas, skill, peran dan fungsi dalam
konvensi sosial yang bersifat dinamis mengikuti kondisi sosial yang
selalu berkembang. Pola relasi antara laki-laki dan perempuan dalam
realitasnya sama-sama mengalami dehumanisasi. Kaum perempuan
mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender dan kaum laki-
laki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan
gender. pola relasi antara keduanya tidak akan pernah saling
bersinggungan secara harmonis jika budaya patriarkhis masih
mempengaruhi dan ikut menjustifikasi pemahaman pola relasi antara
keduanya.
Proses pembentukan peran gender, pada umumnya diproduksi
ketika seorang anak dilahirkan. Begitu lahir, melalui alat kelaminnya
seorang anak dapat dikenali apakah dia laki-laki atau perempuan. Jika
mempunyai penis maka dikonsepsikan sebagai anak laki-laki dan jika
mempunyai vagina maka dikonsepsikan sebagai anak perempuan.
Pada saat yang bersamaan, peran gender dari lingkungan budaya
masyarakatnya juga mulai diperoleh. Misalnya, anak yang secara

61
biologis lahir sebagai laki-laki, maka oleh orang tua akan diberikan
sinyal yang berbau maskulin, mulai dari mainan yang dipilih (pedang,
pistol, pesawat, mobil-mobilan dan lain-lain), warna dan gambar baju
yang dipakai sampai tokoh-tokoh permainan yang disosialisasikan
juga bernuansa maskulin, heroik dan kuat. Sebaliknya bagi bayi
perempuan, akan disuguhi dengan berbagai hal yang bernuansa
feminin. Misalnya: boneka, mainan masak-masakan dan berbagai
atribut yangpenuh dengan kelembutan dan non- heroik. Tujuan dari
semua itu adalah, agar laki-laki memiliki karakteristik“kejantanan”
atau masculinity, sedangkan perempuan memiliki karakteristik
“kewanitaan” atau feminity. Dengan karakter tersebut, akhirnya
perempuan dipersepsikan sebagai manusia yang lemah, gemulai,
lembut dan lain-lain. Sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai
manusia perkasa, tegar, kuat,agresif dan lain-lain. Laki-laki dianggap
lebih cerdas dan lebih kuat dalam banyak hal daripada perempuan.
Anggapan seperti itu dengan sendirinya memberikanperan gender dan
status lebih tinggi pada laki-laki dalam relasi gender.
Pembenaran perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-
laki dan perempuan, pada akhirnya menimbulkan persoalan bias
gender yaitu suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan
dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
keluarga, masyarakat bahkan negara. Persoalan bias gender inilah
yang pada akhirnya melahirkan relasi gender yang timpang antara
laki-laki dan perempuan sehingga terjadi diskriminasi,marginalisasi
terhadap perempuan, subordinasi, stereotipe, beban ganda bahkan
tindak kekerasan terhadap perempuan.
Hasil pengamatan peneliti ditemukan bahwa, pada rumah
tangga di mana suami istri sama-sama bekerja danberkarier, justru
seorang istri malah mempunyai beban ganda dan tetap merupakan
pihak yang paling menghabiskan waktu untuk melakukan kerja
reproduksi yang tidak bernilai pasar. Keadaan tidak seimbang ini
disebabkan oleh nilai-nilai patriarkhi.
Terkait dengan Pembagian Tugas Domestik dan Publik pada
Pasangan Keluarga Disabilitas Tunanetra NTB bahwa pada pasangan
keluarga istri non disabilitas tunanetra dan suami disabiltas tunanetra,
peneliti menemukan, faktor kecacatan dalam suami disabilitas

62
tunanetra berpengaruh terhadap pembagian kerja, akses dan kontrol
terhadap sumber daya ekonomi. Adakalanya suami yang memiliki
kekurangan atau disabilitas, membatasi kegiatan, akses dan kontrol
trrhadap sumber daya ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi yang
dimiliki suami disabilitas tunanetra umumnya juga tergolong kurang
mencukupi. keterbatasan kemampuan ekonomi pada keluarga dengan
suami disabilitas disebabkan oleh penghasilan yang tidak menentu
sehingga tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga, oleh sebab itu istri
dari suami disabilitas bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan
perekonomian rumah tangga. Akses dan kontrol terhadap sumber daya
ekonomi keluarga dipengaruhi oleh kuatnya budaya partiarki yang
menempatkan suami sebagai kepala keluarga sedangkan istri sebagai
pengurus rumah tangga, sehingga struktur kelembagaan kerja yang
mempengaruhi kegiatan, akses dan kontrol dalam keluarga ini
berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pada wilayah domestik
maupun publik. Selain istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, disisi lain istri juga menanggung semua beban tugas-tugas
rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu,
mengepel, memasak, dan lain sebagainya.
Peran ganda adalah suatu kondisi dimana perempuan
melaksanakan tugas-tugas domestik sekaligus peran publik. Selain
menjalankan profesi diluar rumah, juga sibuk dengan urusan
perumahtanggaan. Hal ini lumrah terjadi pada masyarakat yang
kondisi ekonominya berada dibawah garis kemiskinan. Keterlibata
perempuan disektor publik disini biasanya karena tuntutan ekonomi
keluarga. Namun, bukan berarti kasus yang sama tidak ditemukan
pada masyarakat menengah keatas. Peran ganda adalah sebuah
cerminan ketidakseimbangan relasi gender dalam rumah tangga.
Beratnya beban perempuan dalam hal ini dapat diraba. Bisa
dibayangkan kelelahan seorang perempuan yang seharian bekerja
mencari nafkah, lalu harus berhadapan denga tugas lain, seperti
menyusui anak, menyediakan hidangan di meja makan, mencuci
pirinng, dan melayani suami ketika ia kembali dirumah. Bagi
masyarakat ekonomi menengah keatas, keberatan-keberatan seperti
ini mudah diatasi. Tugas-tugas seorang istri dapat diserahkan kepada
pembantu rumah tangga. Namun, bagi mereka yang hidup dibawah

63
garis kemiskinan, alih-alih mengupah pembantu rumah tangga, untuk
makan atau memenuhi kebutuhan primer saja biasanya tidak cukup.
Beban ganda yang diperankan perempuan semestinya tidak terjadi
jika prinsip relasi gender dalam keluarga berjalan dengan baik dan
proporsional. Harus disadari bahwa pembedaan peran dan fungsi istri
yang alami terbatas pada hal yang bersifat kodrati, seperti haid,
mengandung, melahirkan dan menyusui. Tugas-tugas dala rumah
tangga seharusnya diposisikan sebagai alternatif yang dapat dipilih
berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri, sehingga ketika
kondisi menghendaki, kedunya dapat bertukar tugas berdasarkan
prinsip kerjasama. Artinya, dala rumah tangga bisa saja suami dan istri
berperan sama sebagai mencari nafkah dan perkerja domestik
sekaligus. Atau, istri sebagai pencari nafkah dan suami mengerjakan
tugas-tugas domestik, atau sebaliknya yang secara umum terjadi.
Tetapi, dalam kondisi di mana perempuan harus menjalani tugas-tugas
reproduksi seperti hamil, melahirkan dan menyusui, suami harus
bertindak sebagai pencari nafkah secara mutlak.
Pada pasangan keluarga istri disabilitas tunanetra dan suami
non disabiltas tunanetra, peneliti menemukan pembagian kerja pada
wilayah domestik maupun publik pada keluarga istri disabilitas
tuannetra dipengaruhi oleh faktor kecacatan, norma masyarakat dan
hierarki sosial. Ideologi kenormalan melekat pada pola pikir suami
normal sehingga membatasi kegiatan istri, baik itu kegiatan domestik
maupun publik. Norma masyarakat dan hierarki sosial mempengaruhi
keluarga ini berkaitan dengan pandangan mayarakat orang disabilitas
yang diaggap tidak mampu melakukan hal-hal sebgaimana orang
normal. Pandangan masyarakat terhadap perempuan normal jika
sudah berstatus sebagai istri, tugasnya hanya ada pada ranah domestik
saja seperti memasak, mencuci, mengepel dan lainnya, apalagi pada
perempuan disabilitas yang berstatus sebagai istri, yang dimana
masyarakat beranggapan bahwa istri disabilitas yang bekerja pada
ranah domestik saja sering dianggap tidak bisa mengerjakan dengan
baik, apalagi pada ranah publik.
Dalam kondisi sosial masyarakat saat ini, terlihat ada
pembatasan bagi kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun
perempuan. Bagi perempuan yang sedang mengandung, lalu

64
melahirkan dan menyusui, mau tidak mau langkahnya terbatas
disekitar rumah. Kondisi yang demikian merupakan permbatasan
peran yang sudah membudaya bagi perempuan, terlebih bagi seorang
istri penyandang disabilitas tunanetra. Dikotomi peran domestik-
publik antara laki-laki dan perempuan, menyebabkan perempuan
terpenjara diranah domestik dan laki-laki bebas bergerak diranah
publik. Dikotomi tersebut linier dengan pembakuan peran laki-laki
sebagai kepala keluarga dan berkewajiban mencari nafkah (publik,
produksi), sedangkan perempuan (istri) sebagai ibu rumah tangga
yang berkewajiban mengatur urusan kerumahtanggaan (domestik,
reproduksi). Implikasinya adalah, adanya ketidakseimbangan pola
relasi dalam rumah tangga, seperti:
1) Istri harus patuh dan menghormati suami;
2) Segala kegiatan istri di luar rumah harus seijin suami dan;
3) Istri bertanggung jawab terhadap semua kegiatan domestik
(memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain).
Sehingga secara sosial istri adalah warga kelas dua, inferior
yang berada di bawah dominasi laki-laki dan tentunya secara ekonomi
menjaditergantung pada laki-laki (suami). Inilah yang oleh Marx dan
Engels disebut dengan pola relasi materialist diterminism. Menurut
Mark dan Engel, dalam rumah tangga, suami sebagai cerminan kaum
borjuis dan istri sebagi kaum proletar.
Pembagian kerja dan peran dalam kelurga istri disabilitas
tunanetra dan suami non disabilitas tunanetra terjadi secara tidak adil
dan tidak proposional, sehingga relasi gender menjadi timpang.
Pembagian kerja dalam wilayah domestik dan publik tersebut
umumnya dilandasi oleh idiologi partrirkhi. Melalui proses yang
panjang dan bias kepentingan laki-laki, maka pembagian kerja dan
peran di dalam keluarga, cenderung mempunyai beban yang tidak
seimbang. Perempuan biasanya ditempatkan pada posisi yang harus
menjalankan peran dan tanggungjawab yang berkaitan dengan
pekerjaan domestik dan laki-laki pada sektor publik. Pembagian kerja
seperti ini sepintas kelihatan ringan, akan tetapi dalam prakteknya
menyebabkan kaum perempuan harus bekerja dengan jam yang
lebih panjang dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Lebih lanjut yang terjadi bukan pembagian kerja dan peran

65
antara laki- laki dan perempuan, tetapi berkembangdan terus menerus
dikonstruksi secara sosial budaya adalah perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Implikasi yang paling menonjol dan memojokan
kaumperempuan akibat perbedaan tersebut adalah terputusnya akses
kelompok perempuan terhadap sumber daya utama seperti ekonomi,
budaya dan politik, serta berpengaruh terhadap penilaian tempat
dimana kaum perempuan pantas bekerja dan seberapa pantas kerja
tersebut dihargai. Tujuan perkawinan akan tercapai jika dalam kelurga
dibangun atas dasar relasi gender yang setara dan adil, dimana laki-
laki perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peran dan
kesempatan yangdilandasi oleh saling menghormati, mengahargai dan
bantu membantudiberbagai sektor kehidupan.

66
BAB III

KETAHANAN KELUARGA PADA PASANGAN KELUARGA


DISABILITAS TUNANETRA DI PERHIMPUNAN TUNANETRA
INDONESIA (PERTUNI) NTB

A. Ketahanan Keluarga pada Keluarga Disabilitas Tunanetra di


Perhimpunan Tunanetra NTB
Dari sekian banyak keluarga pasangan disabilitas tunanetra di
Perhimpunan Tunanetra Indonesia NTB yang peneliti wawancara,
sebagian besar keharmonisan dan kelanggengan didalam menjalankan
bahtera rumah tangga didapati pada pasangan istri non disabilitas
dengan suami disabilitas, sedangkan perceraian lebih banyak terjadi
pada pasangan istri disabilitas dengan suami non disabilitas.
Faktor-faktor utama yang dapat membangun ketahanan
keluarga dibagi menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu
termasuk didalamnya kapasitas kognitif, komunikasi, emosi,
fleksibilitas dan spiritual. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal
dari luar diri individu seperti dukungan keluarga, menghabiskan
waktu bersama keluarga, kondisi finansial yang baik dan hubungan
yag baik dengan lingkungan sosial.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pasangan
keluarga disabilitas Tunanetra, ketahanan keluarga pada disabilitas
tunanetra di Perhimpunan Tunanetra NTB, terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah pada pasangan istri non
disabilitas dengan suami disabilitas.
1. Faktor Internal yang Mempengaruhi Ketahanan Keluarga pada
Pasangan Istri Non Disabilitas Tunanetra dan Suami Disabilitas
Tunanetra
a. Komunikasi, emosi, fleksibilitas dan spiritual
Pada pasangan Saptono dan Nurmainah misalnya,
Nurmainah menuturkan bahwa dirinya dan Saptono menikah
pada tahun 2008 dan bertahan hingga saat ini. Lebih lanjut
Nurmainah menyatakan:
“Di dalam kehidupan berumah tangga memang sudah

67
pasti akan mengalami ujian dan cobaan, namun yang
menjadi point penting adalah tentang bagaimana cara kita
menyelesaikannya, biasanya saya dengan suami ketika
ada masalah itu perbanyak komunikasi agar tidak terjadi
salah paham, apalagi kalau permasalahan yang
menyangkut ekonomi keluarga yang dimana suami saya
tidak memiliki pekerjaan tetap, penghasilan perbulan juga
tidak menentu, kadang cukup kadang juga kurang, oleh
karena itu saya berusaha bekerja sebisa saya saja dalam
membantu perekonomian keluarga. Selain itu walaupun
saptono tidak membantu Nurmainah dalam mengerjakan
pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencucci,
menyapu, namun Nurmainah memakluminya, karena dari
jauh-jauh hari sebelum nurmainah memutuskan untuk
menikah dengan Saptono yang memiliki keistimewaan
sebagai laki-laki disabilitas, Nurmainah sudah
memikirkan hal-hal tersebut, oleh karena itu Nurmainah
tidak keberatan mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga.”66

Selanjutnya Saptono menyatakan bahwa di dalam keluarga


ada empat anggota yang terdiri dari Saptono, Istri Saptono, dan dua
orang anak. Anak pertama berusia tiga belas tahun, sedangkan anak
yang kedua berusia sembilan tahun. Dalam keseharian Saptono
bekerja sebagai tukang pijat keliling yang dimana penghasilan
perbulannya tidak menentu, ditambah dengan memenuhi
kebutuhan kedua anaknya yang semakin tahun, kebutuhan kedua
anak-anaknya semakin meningkat. Olehkarena itu, saptono
mengizinkan istrinya bekerja agar membantu menambah
penghasilan dalam rumah tangga.67
2. Faktor Eksternal Internal yang Mempengaruhi Ketahanan
Keluarga pada Pasangan Istri Non Disabilitas Tunanetra dan Suami
Disabilitas Tunanetra

a Dukungan keluarga, menghabiskan waktu bersama keluarga,

66
Wawancara dengan Nurmainah, Istri Non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April
2022.
67
Wawancara dengan Saptono, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

68
kondisi finansial yang baik
Selain itu peneliti juga mewawancarai pasangan istri non
disabilitas tunanetra dengan suami disabilitas tunanetra, yakni
Hayat dan Fauzi. Hayat menyatakan bahwa
“Saya menikah dengan suami saya itu pada tahun 2010
dan bertahan hingga sekarang, kunci dari ketahanan
keluarga sebenarnya adalah selain dari dukungan
keluarga, hal yang penting juga adalah sesekali
meluangkan waku bersama keluarga untuk pergi keluar
jalan-jalan, selain itu juga saling menerima apa adanya,
tidak berprasangka buruk, saling memahami satu sama
lain, misalnya ketika suami telat pulang bekerja,
penghasilan yang didapatkan tidak sesuai ekspektasi
kita, ya disana kita harus saling memahami, toh saya
juga merasa masih belum sempurna menjadi istri, masih
banyak pekerjaan-pekerjaan rumah yang lalai saya
selesaikan, ya tetapi kembali lagi, bahwa kita harus
saling memahami. Menurut saya, begitulah kuci
keharmonisan dalam rumah tangga”68

Hal yang sama diungkapkan oleh suami Hayat, Fauzi


yang menyatakan bahwa pernikahan Fauzi dengan Hayat sudah
berlangsung selama kurang lebih dua belas tahun dan dikaruniai
dua orang anak, anak yang pertama berusia sembilan tahun dan
anak yang kedua berusia tujuh tahun. Lebih lanjut fauzi
mengatakan bahwa karena untuk istri yang senantiasa
menerimanya dengan tulus beserta kedua anaknyalah Fauzi
semangat mencari nafkah.
“Dirumah itu istri saya, selain membantu saya
memenuhi perekonomian keluarga, mengurus pekerjaan
rumah, istri saya juga membantu anak-anak
mengerjakan tugas rumah, ya mau bagaimana, sayakan
tunanetra, tidak bisa baca tulis, ya di rumah ketika
mendengar mereka sedang mengerjakan tugas dari
sekolah, ya saya mematikan TV, atau musik dari siaran
radio yang sedang saya dengarkan.”69

68
Wawancara dengan Hayat, Istri non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
69
Wawancara dengan Fauzi, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

69
Sedangkan pasangan keluarga istri non disabilitas
dengan suami disabilitas lainnya, Marnah dan Ramli, Marnah
menyatakan bahwa
“Saya menikah dengan suami saya pada tahun 2010. Jadi
usia pernikahan saya dengan suami saya hingga saat ini
kurang lebih sudah berjalan selama dua belas tahun.
Kami dikaruniai 2 orang anak perempuan yang saat ini
masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Rumah tangga
kami alhamdulillah hingga saat ini masih bertahan dan
masih baik-baik saja, meskipun sangan banyak
cobannya. Tetapi ya kembali lagi ke anak sebenarnya,
jika kita egois sebagai orang tua, maka masa depan anak-
anak yang menjadi taruhannya, selain dari dukungan
keluarga, ya hal sederhana seperti tidak mencampuri
urusan rumah tangga anak-anaknya itu adalah dukungan
menurut saya, dan untuk menjaga keharmonisan dalam
rumah tangga, sesekali kami juga pergi mengajak anak-
anak keluar bersama untuk membeli pakaian sekolah,
dan sesekali juga makan diluar bersama. Hal yang
sederhana namun menurut saya hal seperti ini mampu
untuk menjaga ketahanan dan keharmonisan di dalam
rumah tangga.”70

Hal yang senada diungkapkan oleh Ramli, bahwa


pernikahannya dengan Marnah terhitung hingga saat ini telah
berlangsung selama dua belas tahun. Meskipun kehidupan
rumah tangganya mampu bertahan hingga saat ini, namun ramli
juga mengatakan bahwa kehidupan rumah tangganya tidak
berjalan tanpa adanya ujian, ujian berupa keuangan misalnya.
namun Ramli dan Marnah selalu merasa bersyukur atas apa
yang diberikan oleh Allah, yang lebih lanjut fauzi
menambahkan bawa rasa syukurlah menjadi kunci dari
permasalahan ekonomi yang dihadapi. 71
Hal yang sama diugkapkan oleh informan pasangan istri
non disabilitas tunanetra dengan suami disabilitas tunanetra,

70
Wawancara dengan Marnah, Istri non Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
71
Wawancara dengan Ramli, Suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

70
yakni Aminah yang mengatakan bahwa kondisi Aminah dan
Ramli yang berbeda, dimana Ramli merupakan disabiltas
tunanetra, tidak membuat Aminah dan Ramli untuk saling
merendahkan, tidak pula berpengaruh mengenai tanggung
jawab dalam keluarga. Lebih lanjut Aminah menuturkan bahwa:
“Pernikahan saya dengan suami saya sudah berlangsung
selama lima belas tahun, kami menikah pada tahun 2007
dan dikaruniai satu orang anak perempuan yang saat ini
berusia tujuh tahun. Alhamdulillah selama kami
menikah, saya rasa hubungan pernikahan saya dengan
suami berjalan harmonis, ya meskipun ada beberapa
permasalahan yang muncul dalam kehidupan
berumahtangga namun saya rasa itu adalah hal yang
wajar dan dialami oleh pasangan lainnya. Kunci dari
ketahanan keluarga menurut saya itu adalah selain dari
dukungan keluarga, perekonomian yang memadai,
komitmen bersama, komunikasi dan saling memahami
antar suami dan istri. Kalau ada sedikit kesalahpahaman
antara saya dan suami biasanya saya yang menegur
suami duluan, karena suami saya adalah orang yang
pendiam, lanjutnya kami komunikasi, kami bicarakan
baik-baik untuk mencari jalan keluarnya, semisalnya
seperti permasalahan ekonomi. Jalan keluarnya seperti
apa, bagaimana, itu kami komuniksikan bersama, janga
sampai karena hal spele yang sebenarnya jika
diselesaikan dengan kepala dingin itu bisa ditemukan
jalan keluarnya, tetapi karena egoisme yang tinggi antara
suami dan istri menjadikan hubungan bahkan ketahanan
keluarga menjadi melemah yang berujung perceraian”

Lebih lanjut Ramli juga mengatakan bahwa


pernikahannya dengan Aminah bertahan hingga seampai saat ini
mungkin karena pada awalnya Aminah dan keluarga Aminah
memang sudah menerima kondisi Ramli. ada berbagai macam
ujian dalam rumah tangga yang dialami oleh Ramli dan Aminah
salah satunya adalah permasalahan perekonomian, namun sama
halnya dengan pasangan pernikahan Ramli dan Marnah,
Nasipudin dan Aminah mampu melalui perasalahan
perekonomian dengan memperbanyak rasa syukur.

71
Hal yang sama diugkapkan oleh informan pasangan istri
non disabilitas tunanetra dengan suami disabilitas tunanetra,
yakni habibah yang mengatakan bahwa:
“Saya menikah dengan suami saya pada tahun 2016, dan
Alhamdulillah masih bertahan hingga saat ini.
Sebenarnya kunci dari ketahanan keluarga kami itu
sederhana, yaitu dukungan keluarga, komunikasi dan
saling memahami. Komunikasi disini adalah tentang
bagaimana kita menyelesaikan permasalahan dalam
rumah tangga tanpa saling tegur sapa, kan mau sampai
kapan kita diam-diaman, ya dibicarakan baik-baik saja,
apa masalahnya, dimana letak kesalahannya, dan
bagaimana jalan keluarnya. Sedangkan saling
memahami yang saya maksud adalah tentang saya yang
bersuami seorang lelaki penyandang disabilitas, apakah
saya mampu memahami dan menerima kekurangannya
? apakah saya mampu untuk ikhlas menjalin kehidupan
berumah tangga bersamanya ? seperti ketika pekerjaan-
pekerjaan dalam rumah tangga itu, sudah pasti suami
saya tidak bisa ikut membantu, tetapi ya saya sudah
ikhlas dan menerima segala bentuk kekurangannya, ya
kalau pada saat ini saya tidak mnerima, artinya saya
menyesal dong dengan pilihan saya, jadi ya jalani saja”

Lebih lanjut Nasipudin juga mengatakan bahwa dirinya


dengan Habibah menikah pada tahun 2016. Pernikahan
Nasipudin Dengan Habibah hingga saat ini sudah berjalan
selama 6 tahun, dan dikaruniai 2 orang anak. Anak yang pertama
berusia 5 tahun dan yang kedua baru berusia 1,4 tahun.
Penghasilan yang saya dapat dari bekerja sebagai tukang pijit
tidak menentu, kadang cukup hanya untuk makan sehari kadang
juga lebih, tetapi Alhamdulillah istri saya masih setia disamping
saya hingga detik ini.72
Berbeda dengan pasangan istri non disabilitas tunanetra
dan suami disabilitas tunanetra, rumah tangga pada pasangan
istri disabilitas tunanetra dan suami non disabilitas tunanetra
tidak bertahan lama dan berakhir pada perceraian. Seperti yang

72
Wawancara dengan Nasipudin, suami Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

72
diungkapkan oleh Lis dimana Lis dengan mantan suaminya dulu
menikah pada tahun 2015 dan dikaruniai dua orang anak, anak
pertama berusia enam tahun dan anak yang ke dua baru berusia
tiga tahun. Setelah enam tahun berjalan, pernkahan Lis dengan
mantan suaminya berakhir kandas, Lis dan mantan suamnya
bercerai pada tahun 2019 yang dimana kedua anak Lis ikut
bersama ibunya.

3. Faktor Internal yang Mempengaruhi Ketahanan Keluarga pada


Pasangan Istri Disabilitas Tunanetra dan Suami Non Disabilitas
Tunanetra
a. Komunikasi, emosi, fleksibilitas dan spiritual
Lebih lanjut lis menyatakan :
“Di dalam rumah tangga saya yang dulu, ketahanan
keluarga saya dengan mantan suami itu lemah, setiap hari
selalu ada saja yang menjadi permasalahan, ntah karena
saya telat menyiapkan makanan, kurang bersih, agak
brantakan kalau menaruh barang-barang di rumah, dan
lain sebagainya, padahal mantan suami saya menyadari
kalau dia menikah dengan wanita penyandang disabilitas,
seharusnya dia mengerti kalau saya menaruh barang agak
acak-acakan, karena sayakan tidak bisa melihat, hanya
meraba saja, ini bukannya dibantu malah diomeli. Itu
hanya satu dari sekian banyak permasalahan dalam
keluarga saya sebelumnya, permasalahan yang lainnya
lagi ya tentang ekonomi, dimana saya tidak bekerja,
penghasilan dari mantan suami juga pas-pasan, bahkan
kurang karena kebutuhan-kebutuhan rumah tangga itu
banyak, belum lagi kebutuhan untuk anak-anak, selain itu
juga suamisaya jarang shlat, mungki oleh sebab
kurangnya kedekatan dengan Tuhan membuat rumah
tangga saya tidak hangat, apa-apa diselesaikan dengan
emosional, ya karena permasalahan-permasalahan tadi
yang saya dan mantan suami tidak menemukan jalan
keluarnya, akhirnya kami memilih untuk bercerai.”73

73
Wawancara dengan Lis, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

73
Lebih lanjut peneliti juga mewawancarai mantan suami
dari Lis, Badar menyatakan bahwa:
“ Rumah tangga saya dengan mantan istri saya, Lis dulu
hanya bertahan sekitar empat tahun saja, yang menjadi
penyebab saya dengan Lis bercerai dulu itu ya
permasalahan ekonomi saja, mungkin dia tidak tahan
miskin bersama saya, ya karena itu si saya mencari wanita
lain yang bisa menerima saya apa adanya.”74

Selain itu peneliti juga mewawancarai Juniah dimana


Juniah dengan mantan suaminya menikah pada tahun 2013 dan
dari pernikahannya tersebut Juniah dikaruniai satu orang anak
yang saat ini berusia tujuh tahun, namun juniah menceritakan
bahwa rumah tangganya dengan mantan suaminya kandas pada
tahun 2018. Lebih lanjut juniah mengatakan :
“Rumah tangga saya dengan mantan suami hanya
bertahan selama kurang lebih lima tahun. Keretakan
dalam rumah tangga kami itu disebabkan oleh banyak
faktor, selain dari tidak adanya dukungan keluarga,
dimana ketika rumah tangga kami ada masalah, mertua
saya selalu mengompor-ngompori, ikut campur dalam
permasalahan rumah tangga saya dengan mantan suami,
dan salah satu yang paling saya ingat adalah, bahwa suami
saya itu sering melarang saya bekerja, tetapi dia juga
kadang bekerja, kadang tidak. Sehingga perekonomian
sulit, hutang sana sini, belum lagi kebutuhan rumah
tangga dan kebutuhan anak, mantan suami saya hanya
mendengarkan ocehan orang yang mengatakan bahwa
mantan suami saya tidak punya malu dinafkahi oleh istri
yang cacat, padahal saya bekerja itu tidak ada paksaan
sama sekali dari siapapun, saya hanya memikirkan agar
bagaimana kebutuhan-kebutuhan dapat terpenuhi, itu
saja.”

74
Wawancara dengan Badar, Suami Non Disabilitas, Pada Tanggal 22 April
2022

74
Sama halnya dengan Suhiriah yang dimana rumah
tangganya dengan mantan suaminya hanya bertahan dua tahun
saja, Suhiriah dengan mantan suaminya menikah pada tahun
2019 dan memilih untuk berpisah pada tahun 2021. Lebih lanjut
Suhiriah menuturkan bahwa:
“Rumah tangga saya dengan mantan suami tidak bertahan
lama, ada beberapa faktor sehingga saya dan manta suami
memilih berpisah seperti permasalahan ekonomi,
permasalahan pekerjaan pada rumah tangga. Mungkin
kalau faktor ekonomi saya masih bisa maklumi, tetapi
kalau soal penghinaan saya tidak bisa, hati seorang
perempuan itu lembut, mudah tergores. Mantan suami
saya beberapakali menghina kondisi fisik saya, hal itu
sering terjadi ketika saya melakukan kesalahan dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, selalu saja marah-
marah tanpa memberi solusi seperti apa, padahal dia bisa
mengambil inisiatif untuk membantu saya dalam beberapa
hal seperti, memotong sayur, menyiapkan alat memasak
seperti pisau, parutan, alas memotong, panci dan lainnya,
sedangkan saya kan harus meraba dulu baru bisa
mengetahui benda-benda itu, bayangkan saja jika saya
salah-salah meraba pisau, yang diraba bagian yang
tajamnya, tetapi ya mau dikatakan apa lagi, ini sudah
takdir.”75

3. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Ketahanan Keluarga pada


Pasangan Istri Disabilitas Tunanetra dan Suami Non Disabilitas
Tunanetra.
a. Tidak ada dukungan keluarga, menghabiskan waktu bersama
keluarga, kondisi finansial yang kurang baik.
Berbeda dengan Suhiriah yang rumah tangganya hanya
bertahan selama dua tahun, Juminah menyatakan bahwa rumah
tangga Juminah dengan mantan suaminya bertahan selama tujuh
tahun, yang dimana Juminah mengatakan pada awalnya
Juminah dengan Mantan suaminya menikah pada tahun 2011
dan bercerai pada tahun 2018. Lebih lanjut suhairiah

75
Wawancara dengan Suhiriah, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022

75
menyatakan bahwa :
“Saya memutuskan untuk berpisah dari mantan suami itu
karena beberapa permasalahan yang tidak kunjung ada
jalan keluarnya, seperti permasalahan ekonomi, hingga
permasalahan-permasalahan kecil seperti
kesalahpahaman, selain itu juga karena memang tidak
adadukungan dari keluarga, ya semisal ada permasalahan
dalam rumah tangga, bukannya memberikan solusi,
mertua malah semakin mengompor-ngompori, selain itu
juga selama pernikahan kami tidak pernah menghabiskan
waktu bersama, maksud saya ya pergi jalan-jalan keluar
agar rumah tangga semakin harmonis, ini manta suami
saya malah lebih suka jalan bersama tean-temannya
seperti masih muda saja, padahal sudah mwmpunyai anak
dan istri dirumah, ya selain itu juga dirumah suami saya
jarang beribadah, mengajar anak mengajipun tidak, anak
justru belajar mengaji kemasjid, seharusnyakan orang tua
yang mengajari anak, agar pahalanya mengalir terus
ketika anak membaca Al-Quran.”

Selanjutnya peneliti juga mewawancarai suami dari


Juni’ah, Karim yang menyatakan :
“Dulu itu rumah tangga saya tidak harmonis, selain karena
permasalahan ekonomi, ya juga karena setiap hari itu ada
saja hal-hal kecil yang diributkan, oleh karena itu saya
juga merasa penat kalau setiap hari harus berselisih
paham, sehingga pada akhirnya, saya dengan mantan istri
saya Juni’ah memilih untuk berpisah.”76

Selanjutnya pada Mariani yang beberapa kali gagal dalam


pernikahan, Mariani menikah sebanyak tiga kali, rumah tangga
Mariani dengan mantan suami yang pertama hanya berlangsung
satu tahun dan dikaruniai anak satu. Sama halnya dengan
mantan suamimariani yang ke dua dimana, rumah tangga
Mariani dengan mantan suami yang kedua juga hanya bertahan
satu tahun saja dan dikaruniai satu orang anak. Lebih lanjut
Mariani menuturkan bahwa:

76
Wawancara dengan Karim, Suami Non Disabilitas, Pada Tanggal 21 April
2022

76
“Pada pernikahan pertama dengan mantan suami pertama
itu alasan rumah tangga saya retak karena permasalahan-
permasalahan seperti rumah tangga pada umumnya,
permasalahan ekonomi dan lainnya, sedangkan ketika
dengan mantan suami saya yang ke dua, saya memilih
berpisah dengan dia itu karena dia selalu menghina fisik
saya, dan status saya sebagai janda. Mantan suami saya
yang ke dua beberapa kali mengatakan bahwa saya yang
penyandang disabilitas ini sangat beruntung berjodoh
dengan dia yang normal, jadi besar kemungkinan
keturunan saya akan normal katanya, ya memperbaiki
keturunan kalau istilah sekarang, padahal tidak ada
sangkut pautnya, menikah dengan sesama disabilitas
tunanetrapun, banyak kok teman-teman saya yang anak-
anaknya normal.”77

Lebih lanjut peneliti mewawancarai mantan suami


Mariani yang pertama, Sanusi yang menyatakan bahwa:
“Saya menikah dengan mantan istri saya, Mariani itu
bertahan hanya seumur jagung, dulu kami memilih
berpisah itu ya karena faktor ekonomi, dan ya karena
memang tidak cocok saja, sering cek cok karena
permasalahan-permasalahan sepele, ya sepele menurut
saya itu kadang karena saya tidak pergi bekerja, kadang
karena saya tidur siang, kadang karena saya tidak mandi,
padahal kan saya tidak pergi bekerja itu karena memang
tidak ada yang membutuhkan tenaga fisik saya yang
sebagai kuli bangunan”.78

B. Analisis Ketahanan Keluarga pada Keluarga Disabilitas


Tunanetra di Perhimpunan Tunanatra NTB
Keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang
mempunyai hubungan darah atau keturunan, dalam arti sempit
keluarga meliputi orang tua dengan anak. Keluarga juga merupakan
sekelompok orang yang dihubungkan oleh pernikahan, keurunan, atau

77
Wawancara dengan Mariani, Istri Disabilitas, Pada Tanggal 20 April 2022
78
Wawancara dengan Sanusi, Suami Non Disabilitas, Pada Tanggal 21 April
2022

77
adopsi yang hidup dalam satu rumah tangga. Keluarga merupakan
satu unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan
anak yang saling berinteraksi dan memiliki hubungan yang erat untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Kata ketahanan berarti kuat, kokoh dan tangguh. Sebagai kata
sifat, ketahanan menunjukkan sifat yang mampu berpegang teguh
pada prinsip dan kaidah dasar yang melandasinya, sikap dan dan
pikiran dalam melakukan perbuatan tersebut meskipun kondisi
lingkungan sekitar sudah muali berubah.
Ketahanan keluarga (family strengh atau family resilience)
merupakan kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap
pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan
dasar seperti kebutuhan pangan, air bersih, pelayanan kesehaan,
kesempatan integrasi sosial. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun
1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga sejahtera pasal 1 ayat 15 ketaahanan keluarga adalah kondisi
dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta
mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual
guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk
mencapai keadaan harmonis dalam menigkatkan kesejahteraan lahir
dan batin.
Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yaitu
pada Pasal 1 Ayat 11. Pada ayat tersebut dituliskan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki
keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik
materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya
untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir dan batin. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor
52 Tahun 2009 tersebut maka ketahanan keluarga dapat diukur
menggunakan pendekatan sistem yang meliputi komponen input
(sumber daya fisik dan nonfisik), proses manajemen keluarga
(permasalahan keluarga dan mekanisme penanggulangannya), dan
output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikososial).
Era globalisasi yang terjadi saat ini banyak yang
mempengaruhi ketahanan keluarga, seperti yang peneliti temukan

78
pada keluarga pasangan disabilitas tunanetra dan non tunanetra di
Perhimpunan Tunanetra NTB (PERTUNI) dimana, ketahanan
keluarga pada pasangan dengan istri non disabilitas dan suami
disabilitas rumah tangga yang dijalani umumnya bertahan dan
berjalan harmonis, sedangkan pada pasangan keluarga dengan istri
disabilitas dan suami non disabilitas, rumah tangga yang dijalani
berujung dengan perceraian. Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi lemahnya ketahanan keluarga pasangan istri
disabilitas dengan suami non disabilitas adalah:
1. Lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai keislaman.
Nilai-nilai keislaman adalah pondasi dalam membangun
ketahanan keluarga. Rendahnya pengetahuan akan nilai-nilai yang
islami membuat komitmen terhadap nilai keislaman menjadi
rendah. Akibatkan ketahanan keluarga akan mudah rapuh.
2. Sikap hidup yang matrealistis.
Kehidupan yang lebih mementingkan materi membuat
orangtua hanya berpikir untuk mencari uang yang banyak. Anak
hanya dicukupi secara materi namun mengabaikan aspek kasih
sayang dan perhatian. Akibatnya anak banyak mencari perhatian di
luar rumah, sehingga cenderung melakukan perilaku menyimpang.
3. Minimnya komunikasi antar anggota keluarga.
Tuntutan ekonomi terkadang membuat kedua orang tua harus
bekerja. Kesibukan dalam bekerja seringkali membuat komunikasi
antar anggota keluarga terhambat. Komunikasi yang terjadi lebih
banyak yang bersifat sekunder, yaitu menggunakan alat-alat
komunikasi seperti smart phone. Padahal komunikasi primer antar
anggota keluarga akan lebih meningkatkan keharmonisan
keluarga.
4. Lemahnya tarbiyah ’ailiyah (pembinaan keluarga).
Tanpa adanya pembinaan keluarga maka ketahanan keluarga
adalah hal yang mustahil untuk dicapai. Kondisi batin yang tenang
dipengaruhi oleh kesadaran tentang tujuan hidup dan juga tujuan
pernikahan yang diorientasikan semata mencapai keridhoan Allah
SWT. Sehingga apapun situasinya yang dihadapi dalam
pengalaman hidup berkeluarga akan dikembalikan kepada
kehendak Allah dan kepada tujuan untuk menggapai ridho-Nya.

79
Ketahanan keluarga dapat dicapai bila mampu memenuhi
lima aspek, sebagai berikut:
a. Kemandirian Nilai
Langkah pertama yang harus dipenuhi untuk mencapai
ketahanan keluarga muslim. Kemandirian nilai, khususnya
nilai-nilai islami mampu membentengi anggota keluarga dari
perilaku hedonis dan liberalis. Orang tua menjalankan fungsi
sosialisasinya berdasarkan nilai-nilai Islam. Bila anak sudah
memiliki pondasi nilai-nilai Islam yang kuat, maka anak tidak
akan mudah terpengaruh nilai-nilai negatif yang datang akibat
globalisasi.
b. Kemandirian Ekonomi
Sandang, pangan, dan papan adalah hal mendasar yang
harus dipenuhi dalam keluarga. Dalam Islam seorang ayah
berkewajiban untuk mencari nafkah yang halal bagi
keluarganya, sebab nafkah yang haram bisa memberikan
dampak yang negatif bagi anak. Orang tua harus benar-benar
menjamin bahwa makanan yang dia berikan kepada anaknya
100% halal.
c. Kesalehan Sosial
Kesalehan Sosial menunjuk pada perilaku orang-orang
yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat
sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat
perhatian terhadap masalah- masalah umat, memperhatikan
dan menghargai hak sesama, mampu berpikir berdasarkan
perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.
Kesalehan sosial mampu mewujudkan keseimbangan Antara
hubungan vertikal kepada Allah SWT yang disebut dengan
hablum minAllah, dan hubungan horizontal kepada sesama
manusia dan alam sekitarnya yang disebut dengan “hablum
minannas”.
d. Ketangguhan menghadapi konflik
Konflik adalah bagian dari proses interaksi sosial
manusia yang saling berlawanan. Artinya, konflik adalah
bagian dari proses sosial yang terjadi karena adanya

80
perbedaan-perbedaan baik fisik, emosi, kebudayaan, dan
perilaku.
e. Kemampuan Menyelesaikan Masalah
Seringkali apa yang kita harapkan berbeda dengan apa
yang terjadi, disitulah muncul yang namanya masalah. Bila
terjadi masalah dalam keluarga maka yang seharusnya
dilakukan adalah menghadapinya. Keluarga muslim harus
meyakini bahwa setelah kesukaran pasti ada kemudahan.
Masalah yang menimpa keluarga tidak boleh dihadapi dengan
putus asa, sebab putus asa adalah salah satu dosa. Bila kelima
aspek tersebut dapat dipenuhi, maka ketahanan keluarga akan
tercapai. Ketahanan keluarga yang baik akan memberikan
pengaruh yang positif dalam kehidupan masyarakat.
Bila melihat dari kacamata Islam, upaya dalam
membangun ketahanan keluarga selaras dengan tujuan
pernikahan dalam Islam, sebagaimana termuat dalam KHI
Pasal 3, yakni menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah
dan rah}mah. Begitupula dalam UU Perkawinan No 1 Tahun
1974 Pasal 1 (2) yang menegaskan bahwa tujuan pernikahan
ialah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Berdasar hal tersebut, setiap pasangan harus menjaga mahligai
rumahtangganya yakni dengan membangun ketahanan
keluarga agar tidak goyah.48 Ketahanan keluarga merupakan
salah satu faktor untuk mewujudkan keharmonisan dalam
keluarga. Oleh sebab itu, nilai-nilai ketahanan keluarga dengan
dilandasi nilai- nilai agama perlu difahami sebagai kebutuhan
bersama dalam keluarga sehingga apa yang menjadi tujuan
keluarga yakni menciptakan keluarga yang harmonis dan
bahagia dapat terwujud.
Demikian akad nikah yang dilangsungkan oleh pasangan
suami istri adalah untuk selama-lamanya hingga akhir hayat,
karena yang diinginkan oleh Islam adalah langgengnya
kehidupan pernikahan. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa ikatan
antara suami istri adalah ikatan yang paling suci, sakral dan
kokoh, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah An-
Nisa’ (4:21) sebagai berikut :

81
‫َ ا‬ ُ ْ َ َ ُ ‫ف َت ْأ ُخ ُذ َون ُه َو َق ْد َأ ْف َض ٰى َب ْع‬
ْ ‫ض ُك ْم إ َل ٰى َب‬ َ ََْ
‫ض َوأخذ َن ِم ْنك ْم ِميثاقا‬
ٍ ‫ع‬ ِ ‫وكي‬
‫َ ا‬
‫غ ِليظا‬
Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-
isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat
(QS. An-Nisa ; 21)

Setiap usaha yang merusak hubungan pernikahan adalah


hal yang dibenci oleh ajaran Islam, karena dianggap telah
merusak dan menghilangkan kemaslahatan antara suami dan
istri. Sebagaimana yang dideklarasikan dalam fikih, yaitu
menghadirkan segala kebaikan (jalb al-masalih) dan
menghindari segala keburukan (dar’u al-mafasid). Dalam
konteks pernikahan, kaidah tersebut harus diwujudkan dalam
setiap tahapan kehidupan rumah tangga, agar pernikahan
tersebut dapat membahagiakan setiap pasangan suami istri.
Kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, kasih sayang, dan
keselamatan merupakan impian setiap keluarga. Namun pada
kenyataannya kehidupan tidak semulus yang diimpikan, tidak
dapat dipungkiri berbagai problematika dapat menimpa rumah
tangga, sehingga harapan dan idaman tidak selalu dapat diraih.
Tidak jarang timbul berbagai masalah atau konflik dalam
rumah tangga yang bila tidak segera diatasi akan
mengakibatkan perceraian atau putusnya perkawinan.
Atas dasar inilah setiap keluarga dituntut agar mampu
menjaga ketahanan keluarga. Hal ini sesuai dengan konsep
ketahanan keluarga, bahwa keluarga diharapkan memiliki
kemampuan untuk mengelola sumber daya dan berbagai
masalah yang muncul di tengah kehidupan, mampu bertahan
dan beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang terus berubah
secara dinamis serta memiliki sikap positif terhadap berbagai
tantangan kehidupan keluarga.

82
Sehubungan dengan hal di atas, agar pasangan suami
istri dapat membina keluarga sakinah yang diridai Allah SWT,
maka pasangan tersebut harus siap menjaga ketahanan
keluarga sebagai upaya mencegah runtuhnya rumah tangga.
Langgengnya pernikahan sebagaimana yang diharapkan oleh
ajaran Islam menuntut keluarga untuk mampu membangun
dan menguatkan ketahanan keluarga. bila merujuk pada ayat-
ayat al- Qur’an terdapat lima pilar sebagai tiang dalam
kehidupan berumah tangga, yaitu komitmen pada perkawinan,
prinsip berpasangan dan berkesalingan, saling memberi
kenyamanan, saling memperlakukan dengan baik dan
musyawarah. Demikian apabila kelimanya dipraktikkan secara
kokoh dan kesinambungan, visi dan tujuan keluarga untuk
membentuk keluarga yang sakinah akan mudah untuk dicapai.
Keluarga sakinah sebagai suatu kondisi yang ideal dalam
rumah tangga yang pada dasarnya lahir atas dasar iman serta
teguh pada pedoman ajaran agama yang di dalamnya terdapat
cinta dan kasih sayang, adanya ketentraman dan kesejahteraan,
serta dapat memanajemen dan menyelesaikan konflik yang
terjadi dengan baik. Patuh dan taat pada ajaran agama Islam
memiliki efek yang penting serta berkorelasi positif dengan
kebahagiaan seseorang dalam suatu perkawinan. Demikian hal
tersebut selaras dengan konsep ketahanan keluarga yang
menuntut keluarga untuk mampu mengelola dan menghadapi
berbagai masalah yang muncul untuk mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan lahir dan batin.
Adapun dalam mewujudkan keluarga sakinah dapat
dicapai melalui pembinaan ajaran Islam serta saling
menghormati antar masing-masing pasangan suami istri.
Selain itu, faktor dalam mewujudkannya juga dapat melalui
kesetiaan, kecukupan ekonomi dan mengikuti pembinaan
bimbingan rumah tangga.Dengan kata lain, dalam
pembentukan keluarga sakinah dapat dicapai melalui dua
aspek yaitu aspek habl min Allah dan habl min al-nas.
Sedangkan pada pendapat lain membaginya melalui empat
aspek yang melingkupi dua aspek tersebut, yaitu aspek agama,

83
ekonomi, sosial, dan psikologis.
Pengupayaan dalam mewujudkan keluarga sakinah
sebagai tujuan perkawinan merupakan realisasi dalam
membangun ketahanan keluarga. Adapun pengupayaannya
memungkinkan untuk meminimalisir atau mencegah konflik
yang terjadi dalam keluarga yang sering berujung pada
perceraian. Adapun penyebab perceraian disebabkan oleh dua
faktor, yaitu internal meliputi ekonomi, tanggung jawab, dan
disharmonisasi atau ketidakmampuan melahirkan sakinah
dalam keluarga, serta eksternal meliputi perselingkuhan. Hal
lainnya yang dapat merusak ketahanan keluarga adalah
disebabkan minimnya komunikasi yang sehat antar pasangan
dalam menyelesaikan konflik dan tidak memperhatikan hak
dan kewajiban antar keduanya masing-masing. Demikian
rusaknya sebuah hubungan dalam keluarga diartikan gagal
dalam mencapai tujuan dari pernikahan itu sendiri yakni
menciptakan keluarga yang sakinah serta tidak mampu dalam
menjaga ketahanan keluarga.
Selain itu, fleksibilitas pasangan berpengaruh terhadap
kebahagiaan dan ketahanan keluarga, tidak ada pernikahan
yang terbebas dari permasalahan dan kunci penyelesaiannya
adalah kelenturan dalam menghadapi permasalahan, yang
terpenting adalah kelenturan dalam menghadapi perubahan.
Kehidupan tanpa keseimbangan akan menjadi kacau, termasuk
kehidupan rumah tangga.
Suami istri yang tidak dapat melakukan fleksabilitas
pasangan akan merasakan konflik, ketegangan, dan stres yang
terus-menerus. Fleksabilitas pasangan akan membuat suami
dan istri menjadi lebih baik dalam menghadapi dan
menyelesaikan konflik, ketegangan dan stres, sehingga akan
menjadi lebih bahagia dan mencapai kepuasan serta ketahanan
rumah tangga.

84
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi keluarga
dipengaruhi oleh kuatnya budaya partiarki yang menempatkan
suami sebagai kepala keluarga sedangkan istri sebagai pengurus
rumah tangga. Struktur kelembagaan kerja yang mempengaruhi
kegiatan, akses dan kontrol dalam keluarga ini berkaitan dengan
pelaksanaan kegiatan pada wilayah domestik maupun publik. Baik
suami disabilitas maupun non disabilitas tunanetra dianggap
sebagai kepala keluarga yang hanya bekerja pada wilayah publik,
sedangkan Istri non disabilitas tunanetra menanggung semua beban
tugas-tugas rumah tangga seperti mencici piring, mencuci pakaian,
menyapu, menepel, memasak, dan lain sebagainya, sedangkan
pada istri disabilitas tunanetra tidak diberikan kepercayaan dalam
mengerjakan tugas publik.
2. Ketahanan keluarga pada pasangan dengan istri non disabilitas
tunanetra dan suami disabilitas tunanetra rumah tangga yang
dijalani umumnya bertahan dan berjalan harmonis, sedangkan pada
pasangan keluarga dengan istri disabilitas tunanetra dan suami non
disabilitas tunanetra, rumah tangga yang dijalani berujung dengan
perceraian. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kuatnya
ketahanan keluarga pada pasangan istri non disabilitas dan suami
disabilitas diantaranya adalah: fleksabilitas, komunikasi yang
berjalan dengan baik, dukungan keluarga dan spiritualitas, dan
perekonomian yang baik, sedangkan faktor yang melatarbelakangi
lemahnya ketahanan keluarga pasangan istri disabilitas dengan
suami non disabilitas diantaranya adalah: lemahnya komitmen
terhadap nilai-nilai keislaman, ekonomi yang lemah, minimnya
komunikasi antar anggota keluarga, kemampuan menyelesaikan
masalah yang lemah, serta tidak ada dukungan dari keluarga.

85
B. Saran-saran
Setelah melakukan kajian dan pengamatan mendalam tentang
relasi gender pada keluarga pasangan disabilitas menjadi kepala
keluarga serta tentang Maka dari hasil penelitian tesis ini ada beberapa
saran yang penulis bisa sampaikna sebagai tindak lanjut dari penelitian
ini, diataranya:
1. Perlu adanya sosialisasi tentang arti pentingnya hukum keluarga
Islam bagi perkembanagna suatu masyarakat kepada seluruh
masyarakat lainnya. Sosialisasi dalam hal ini bisa berupa training
pra-nikah bagi pasangan yang akan menikah terlebih dahulu agar
memahami hakikat rumah tangga sesungguhnya, dampak
perceraian, hubungan suami dan istri, hak dan kewajiban suami istri,
tanggung jawab mereka masing-masing dan hal-hal yang bisa
menjadi tanggung jawab bersama
2. Perlunya keterlibatan pemerintah untuk keadaan ketahanan rumah
tangga misalnya dengan khusus membuat aturan tentang keluarga
disabilitas hal ini bisa menjadi salah satu alternative untuk menjaga
keutuan rumah tangga dan keberlangsungan hidup kekluarga, dalam
hal ekonomi secara mendalam juga misalnya dengan menciptakan
lapangan kerja lebih spesifik lagi, agar para keluarga pasangan
disabilitas tunanetra mampu dan dapat mempunyai pekerjaan
sehingga bisa dengan maksimal memenuhi hak dan kewajiban
dalam berumah tangga.

86
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Lathit Al- Brigawi, Fiqih Keluarga Muslim: Rahasia Mengawetkan


Bahtera Rumah Tangga, Jakarta: Amzah, 2012

Afifuddin dan Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:


Pustaka Setia, 2012

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta


Timur, 2019

Andarus Darahim, Membina Keharmonisan dan Ketahanan Keluarga,


Jakarta Timur: IPGH, 2015

Anna Apriana, Kajian Minat Belanja Kebutuhan Pokok Warga Perumahan


Royal Mataram, Jurnal Bisnis, Manajemen dan Akuntansi Vol. 4,
No 2: 2017

Anisah Cahyaningtyas, Pembangunan Ketahanan Keluarga, Jakarta: CV


Lintas Khatulistiwa, 2016

Argyo Demartoto, Menyibak Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel,


Surakarta: UNS Press, 2013

Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan


Sosiologis tentang Peran Wanita didalam Masyarakat, Jakarta:
Gramedia, 1985

Danik Fujiati, Relasi Gender dalam Institusi Keluartga dalam Pandangan


Teori Sosial dan Feminis, MUWAZAH Vol. 6, No.1: 2014

Dyah Astorini Wulandar, Kajian tentang Faktor-Faktor Komitmen dalam


Perkawinan, Jurnal Psycho Ideal, Universitas Muhammadiyah
Purwokwrto, Vol.2 No 1 : 2009

Faqihuddin Abdul Khodir, Qira’ah Mubadalah Tafsir Progresif untuk


Keadilan Gender dalam Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019

Gadis Arivia, feminisme Sebuah Kata Hati, Jakarta: Kompas, 2006

87
Herien Puspitawati, Kajian Akademik Pengertian Kesejahteraan dan
Ketahanan Keluarga, Bogor: IPB Press, 2010

Herein Puspitawati, Telaah Pengintegrasian Perspektif Gender dalam


Keluarga untuk Mewujudkan Kesejahteraan dan Keadilan Gender
dan Ketahanan Keluarga di Provinsi Jawa Timur Dan Sumatera
Utara, Jurnal Institut Pertanian Bogor 2016

Husein, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,Jakarta Rajawali


Pers, 2011

Ikhlasiah Dalimoenthe, Sosiologi Gender, Jakarta Timur: PT Bumi Aksara,


2021

Juliansyah Nor, Metodologi Penelitian Proposal Tesis, Tesis, Desertasi, dan


Karya Ilmiah, Jakarta: Kencana, 2008

Johan Arifin, Tingginya Angkacerai Gugat di Pengadilan Agama Pekan


Baru dan Relevansinya Dengan Konsep Kesetaraan Gender,
Marwah Vol. 16, No. 2 2017

Karina Meriem Beru Brahmana, Konflik Peran Gender pada Laki-Laki,


Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Lubis Amany, Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Islam, Jakarta:


Pustaka Cendikiawan Muda, 2018

Wahyu Wibisama, Pernikahan dalam Islam, Ta’lim Vol. 14, No. 2 2016

Maslamah, Konsep-Konsep Tentang Gender Perspektif Islam, SAWWA


Vol. 9, No. 2 2014

Muhamad Uyun, Ketahanan Keluarga dan Dampak Psikologis dimasa


Pandemi Global, Jurnal Fakultas Psikologi UIN Raden Patah, 2020

Noor Juliansya, Metodelogi Penelitian, Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya


Ilmiah, Jakarta: PT Kencana Media Group, 2011

Sofyan dan Zulkarnain Sulaiman, Fikih Feminis Menghadirkan Teks


Tandinga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014

88
Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Balai Pustaka, 2007

Undang-Undang R.I Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Wahyu, Pengantar Studi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2000

Yus Rusyana, Ideologi Gender, Malang: Beranda, 2021

89
90
LAMPIRAN-LAMPIRAN

91
92
Lampiran 1: Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA RELASI GENDER PASANGAN
DISABILITAS TUNANETRA (STUDI KASUS DI PERHIMPUNAN
TUNANETRA INDONESIA (PERTUNI) NTB)
Pedoman wawancara ditujukan kepada pasangan keluarga disabilitas
tunanetra dan non tunanetra di Pertuni NTB, istri disabilitas tunannetra
dengan suami non disabilitas tunanetra, istri non disabilitas tunannetra
dengan suami disabilitas tunanetra. Pemilihan informan tersebut relevan
dengan informasi yang ingin didapatka oleh peneliti terkait penelitian
yang akan dilakukan. Adapun pertanyannya sebagai berikut:
A. Pembagian tugas domestikdan publik
1. Siapakah yang bertugas pada ranah domestik di dalam rumah tangga?
2. Siapakah yang bertugas pada ranah publik di dalam rumah tangga?
3. Apa saja tantangan yang dihadapi ketika mengerjakan tugas domestik
dan publik?
4. Apakah ada pembagian peran yang khusus dalam rumah tangga ?
5. Apa saja kendala dalam mengerjakan tugas domestik dan publik ?
6. Bagaimana pengaruh tempat tinggal dalam menjalani tugas domestik
dan publik ?
7. Bagaimana upaya suami dan istri dalam menjalin komunikasi untuk
memebentuk kesepakatandalam mengerjakan tugas domestik dan
publik?
B. Ketahanan Keluarga
1. Apakah faktor yang menelatarbelakangi ketahanan keluarga kuat dan
melemah ?
2. Bagaimana upaya suami dan istri dalam menyelesaikan permasalahan
dalam rumah tangga ?
3. Bagaimana upaya suami dan istri dalam menjaga ktahanan keluarga?
4. Bagaimana fleksabilitas di dalam keluarga ?
5. Apa saja faktor utama penyebab perceraian ?

93
Lampiran 2: Pedoman Observasi
PEDOMAN OBSERVASI
RELASI GENDER PASANGAN DISABILITAS TUNANETRA
(STUDI KASUS DI PERHIMPUNAN TUNANETRA (PERTUNI) NTB)

No Unsur Observasi Fokus Pengamatan

1 Pembagian tugas a. Faktor yang menyebabkan


domestik dan publik. perempuan menjadi kepala
keluarga
b. Pengaruh budaya patriarki
terhadap pembagian tugas
domestik dan publik
2 Ketahanan keluarga di a. Pengaruh fleksibilitas
dalam keluarga terhadap keharmonisan
rumah tangga
b. faktor yang
melatarbelakangi kuat dan
lemahnya ketahanan
keluarga

94
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas diri
Nama : Dhevia Nursafitri
Tempat, Tanggal Lahir : Mengkudu, 19 Maret 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dusun Mengkudu Lauk, Desa Landah,
Kcamatan Praya Timur, Kabupaten
Lombok Tengah, Propinsi NTB
Email : dhevianursafitri99@icloud.com

Riwayat Pendidikan :
a. SDN 1 Mengkudu : 2010
b. SMPN 2 Praya Timur : 2013
c. SMAN 1 Praya Timur : 2016
d. Universitas Islam Negeri Mataram : 2020
Riwayat Organisasi :
a. FORMULA (forum silaturahmi pemuda Lombok tengah)
b. Forum Mahasiswa Hukum Tastura
c. UKM Olahraga Uin Mataram
d. KOPMA UIN Mataram
e. KAMMI (kesatuan mahasiswa muslim Indonesia)
f. KTI Desa Landah

97

You might also like