You are on page 1of 238

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/369022321

BUKU AJAR IMUNOLOGI

Book · March 2023


DOI: 10.5281/zenodo.7700776

CITATIONS READS

0 4,750

11 authors, including:

Imam Agus Faizal Fajar Husen


Al Irsyad University of Cilacap College of Health Sciences of Bina Cipta Husada (STIKes BCH)
26 PUBLICATIONS 28 CITATIONS 29 PUBLICATIONS 38 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Phytopathology View project

Anti-Inflammatory Antioxidant View project

All content following this page was uploaded by Fajar Husen on 19 July 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BUKU AJAR IMUNOLOGI

Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si


Cut Indriputri, S.Tr.AK., M.Imun
Dr. Ns. Ady Purwoto, S. Kep., M. kep., S. H., M. H., M. Kn
DR.Padoli.S.Kp.M.Kes
Rini Ambawarwati.S.Kep.Ns.M.Si
Imam Agus Faizal, S.Tr.A.K., M.Imun.
apt. Muh Taufiqurrahman M.Farm
Fajar Husen, S.Si., M.Si.
Witriyani,S.Kep.,Ns.,M.Kep
Titin Supriatin,M.Kep
Aziza Rahmi M.Biomed

Cv . Science Tehcno Direct


i
Buku Ajar Imunologi

Imam Agus Faizal, S.Tr.A.K., M.Imun ;Fajar Husen, S.Si., M.Si.;


apt. Muh Taufiqurrahman M.Farm; Rini Ambarwati
.S.Kep.Ns.M.Si; DR.Padoli.S.Kp.M.Kes; Dr. Ns. Ady Purwoto, S.
Kep., M. kep., S. H., M. H., M. Kn; Cut Indriputri, S.Tr.AK.,
M.Imun; Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si;
Witriyani,S.Kep.,Ns.,M.Kep;Titin Supriatin,M.Kep ; Aziza Rahmi
M.Biomed

Copyright © 2023 by Penulis

Diterbitkan oleh: CV. Science Techno Direct


Penerbit Science Techno Direct
Alamat penerbit Perum Korpri Pangkalpinang
Penyunting: M. Seto
Tata letak: M.Seto
Desain Cover: M.Seto

Terbit: Februari, 2023


ISBN: 978-623-09-2145-2

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari
penerbit.

ii
Kata Pengantar
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob
seluruh alam yang telah memberikan karunia kepada
kami hingga kami dapat menyelesaikan Buku Ajar
Imunologi.
Byky Ajar Imunologi ini terdiri dari 9 bab yang masing-
masing memiliki capaian pembelajaran mata kuliah
dalam rangka mendukung capaian pembelajaran lulusan
program studi. Tipa Bab terdiri dari Capaian
pembelajaran, materi , tugas, rangkuman dan referensi.
Pada saat menggunakan buku ini, mulailah dengan
membaca capaian pembelajaran lulusan, capaian
pembelajaran mata kuliah.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan modul ini. Oleh karena itu, saran baik dari
tutor maupun dari mahasiswa akan kami terima dengan
terbuka. Semoga buku ini dapat bermanfaat, dan
membantu mahasiswa dalam pembelajaran Imunologi.

Jazakumullhahi khoiro jaza’ Wassalamu’alaikum Wr. W

iii
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................. iii


Daftar Isi ...................................................... iv
BAB I KONSEP DASAR IMUNOLOGI ......................... 1
BAB II SISTEM IMUNITAS NON SPESIFIK ................... 13
BAB III SISTEM IMUN ADAPTIF ............................ 35
BAB IV REAKSI ANTIGEN & ANTIBODI ..................... 53
BAB V SISTEM LIMFATIK ................................... 61
BAB VI SITOKIN .............................................. 93
BAB VII SISTEM KOMPLEMEN ............................. 115
BAB VIII HIPERSENSITIVITAS ............................. 133
BAB IX IMUNOLOGI MUKOSA ............................. 159
BAB X IMUNODEFISIENSI .................................. 191
BAB XI PROSES PATOLOGIS HIPERSENSITIVITAS.. 203
TENTANG PENULIS…………………………………………………….223

iv
BAB I KONSEP DASAR IMUNOLOGI
Titin Supriatin.S.Kep.,Ns.,M.Kep

A. SEJARAH
Imunologi berasal dari Bahasa latin yang
terdiri dari dua kata yaitu immunis da logos.
Immunis yang berarti kebal atau bebas, logos
berarti ilmu. Kata immunis dahulu dipakai oleh
raja Romawi untuk menyebut warganya yang
bebas.
Imunologi sudah dikenal sejak ratusan
tahun sebelum masehi, Raja Mithridates
Eupatoris VI seorang Raja Yunani pada 132-63 SM
sebagaia orang pertama ahli imunologi di dunia.
Saat itu Raja Mithridates Eupatoris VI merasa
cemas pada masa pemerintahannya musuh-
musuh yang tidak nampak olehnya suatu saat
akan membunuhnya dengan menggunakan racun.
Sang raja mengebalkan dirinya dengan mencari
segala jenis racun yang ada pada saat itu dan
meminumnya sedikit demi sedikit sehingga

1
dirinya kebal terhadap racun tersebut. Upaya
pengebalan diri terhadap racun yang dilakukan
Raja Yunani ini dinamakan mithridatisme.
Sebutan imunitas pertama kali diketahui
Ketika terjadi wabah di Athena tahun 430 SM.
Thuchydides ahli sejarah perang Peloponnesia
menggambarkan terjadinya wabah di Athena,
orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya
mengobati penyakit tanpa terkena penyakit
sekali lagi.
Pada abad ke-12, bangsa Cina juga
menerapkan pengetahuan yang sama untuk
menanggulangi wabah penyakit cacar. Cara
pencegahan penularan ini kemudian dikenal
dengan istilah variolasi.
Pada tahun 1798, Edward Jenner
mengamati bahwa seseorang dapat terhindar
dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah
terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow
pox). Sejak saat itu, mulai dipakai vaksin cacar
walaupun pada waktu itu belum diketahui
bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi.
Memang imunologi tidak akan maju bila tidak
diiringi dengan kemajuan dalam bidang
teknologi. Dengan ditemukannya mikroskop
maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi
meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab
penyakit infeksi.
Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru
dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880

2
menemukan penyebab penyakit infeksi dan
dapat membiak mikroorganisme serta
menetapkan teori kuman (germ theory)
penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan
dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia
tahun 1885.

B. DEFINISI
Imunologi merupakan salah satu bidang
ilmu yang mempelajari tentang mekanisme dari
seluler, molecular, serta fungsional system
imun. Imunologi berakar dari Imunitas atau
kekebalan dari penyakit tertentu akibat adanya
rangsangan molekul asing dari luar maupun dari
dalam tubuh hewan atau manusia, baik yang
bersifat infeksius maupun kemudian juga
termasuk non-infeksius. Imunologi juga berarti
ilmu yang mempelajari kemampuan tubuh untuk
melawan atau mempertahankan dari serangan
patogen atau organisme yang menyebabkan
penyakit.
Tubuh memerlukan imunitas atau
kekebalan agar tidak mudah atau terhindar dari
serangan penyakit yang dapat menghambat
fungsi organ tubuh. Salah satu bentuk dari
imunitas yaitu adanya antibodi yang di hasilkan
oleh sel-sel leukosit atau sel darah putih. Sel
darah putih bekerja dengan cara mengikat dan
kemudian menghancurkan sel-sel patogen atau
penyebab penyakit.

3
Immunitas (imunitas) selanjutnya dipakai
untuk suatu pengertian yang mengarah pada
perlindungan dan kekebalan terhadap suatu
penyakit, dan lebih spesifik penyakit infeksi.
Konsep imunitas yang berarti perlindungan dan
kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh
manusia sejak jaman dahulu.
Sistem imun adalah system dalam tubuh
manusia yang berperan dalam pertahanan diri,
sementara itu imunologi merupakan cabang ilmu
yg focus mempelajari tentang fungsi pertahan
tubuh, antigen, antibody. Ilmu ini menekankan
peran imunitas, baik terhadap reaksi yang
terjadi pada tubuh kita. Mulai dari reaksi
hieprsensitif, penolakan jaringan ataupun alergi.
Istilah inilah yang kemudian lebih sering dikenal
dengan isltilah system imun.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM IMUNOLOGI


Manusia dikaruniai wujud yang sempurna,
salah satunya adalah dengan memiliki anatomi
dan fisiologi yang luar biasa sangat
menakjubkan. Di dalam tubuh manusia terdapat
berbagai macam organ tubuh, sel, saraf, yang
berkerja bersama-sama dan saling berhubungan
satu sama lain. Salah satunya adalah kemampuan
tubuh dalam mempertahankan diri dari virus,
bakteri, parasite, dan jamur. Lemahnya system
imun seseorang, akan membuat manusia mudah

4
terserang penyakit tertentu salah satunya mudah
terkena kanker.
Berikut adalah organ yang paling
berpengaruh dalam system imun. Sistem imun
merupakan system pertahan diri tubh kita
terhadap infeksi. Baik itu infeksi yang sifatnya
makromolekul asing sampai serangan organisme
seperti parasite, virus dan bakteri. kekebalan
imun di dalam tubuh berfungsi untuk melawan
bakteri dan virus jahat yang masuk di dalam
tubuh. Peran imun juga mampu meminimalisir
bakteri yang berkembang menjadi tumor. Imun
juga mampu melawan protein tubuh dan molekul
lain yang ada pada gangguan autoimun.
Secara garis besar, organ dan jaringan
system imun manusia terdiri dari:
1. Adenoid
Adenoid terletak di belakang saluran
rongga hidung. Bentuknya berupa kelenjar.
Adenoid berfungsi melawan infeksi dan
kuman yang masuk melalui hidung dan mulut.
Kelenjar adenoid yang tidak mampu
mengatasi virus dan bakteri yang masuk,
dapat menimbulkan pembengkakan yang
disebut dengan adenoitis.
2. Sumsum Tulang Belakang
Sumsum tulang belakang adalah organ
tempat memproduksi sel darah baru. sumsum
tulang belakang termasuk ke dalam jaringan
limfatik, karena mampu memproses limfosit

5
muda, menjadi limfosit T dan limfosit B.
Pada sumsum tulang banyak ditemukan sel
imun yang dihasilkan oleh sel induk tulang
belakang.
3. Kelenjar Limfa (Getah Bening)
Kelenjar limfa fungsinya membawa
limfosit ke bagian organ limfoid dan aliran
darah. Kelenjar getah bening mengalir ke
kelenjar getah kapiler. Getha kapiler
memiliki lapisan yang tipis dan memiliki
banyak lubang kecil. Lubang kecil inilah yang
menjadi jalan gas, nutrisi dan air lewat
masuk disekitarnya. Ada beberapa titik yang
sering digunakan getah bening berkumpul,
yaitu dileher, selangkangan, para-aorta dan
di axilae. Tempat-tempat jika terjadi
penumpukan memunculkan benjolan hingga
ke permukaan kulit.
4. Peyers Patches
Peyers Patches terletak di usus halus.
Peyers Patches sebenarnya masih termasuk
jaringan limfoid.
5. Pembuluh Limpa
Limpa terletak di rongga perut. Di
pembuluh limpa terdapat cairan yang disebut
cairan limpa yang berasal dari cairan
ekstrasel (Cairan darah yang meresap dari
kapiler darah). Sama seperti usus, cairan
limpa juga mengandung lemak. Lemak yang

6
terdapat di usus diangkut oleh pembuluh
limpa.
Pembuluh limpa memiliki cabang halus
yang bagian ujungnya terbuka. Lokasinya di
sela- sela otot. Bentuk pembuluh limpa mirip
dengan vena yang memiliki katup banyak.
Pembuluh limpa terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu limpa kanan (Dada kanan) dan limpa
kiri (Dada kiri). Fungsi pembuluh limpa kanan
sebagai penampung cairan limpa dari kepala,
leher, dada, paru, dan lengan sisi kanan.
Sebaliknya, pembuluh limpa kiri menampung
cairan limpa dari kepala, kemudian ke leher,
dada, lengan, dan tubuh bagian bawah sisi
kiri.
6. Glandula Thymus
Glandula thymus berfungsi pada proses
sekresi hormone thymopoetin dan thymosin.
Dua hormon inilah yang akan mempengaruhi
perkembangan limfosit. Limfosit terbagi
menjadi Limfosit T Sitotoksik, Limfosit T
Helper, Limfosit B, dan Sel plasma. Hasil
produksi glandula thymus akan mematurasi
(mematangkan) Limfosit T ke jaringan Limfa
lainnya.
Limfosit T Sitotoksik berfungsi
memonitoring sel tubuh. Limfosit T Sitotoksik
akan merespon lebih aktif Ketika ada antigen
permukaan yang bersifat abnormal. Sel ini
akan menyerang dan menghancurkan sel

7
abnormal yang masuk. Sementara itu,
Limfosit T Helper akan bekerja lebih agresif
Ketika dirangsang dengan antigen presenting
sel (semacam makrofag). Disinilah T Helper
melepaskan factor yang mendorong
proliferasi sel Limfosit B. Ketika Limfosit B
berubah menjadi sel memori dan sel plasma,
ia akan memproduksi antibody. Lain halnya
dengan limfosit, sel plasma memiliki
reticulum endoplamik kasar yang banyak.
Reticulum endoplamik kasar inilah yang
bekerja untuk memproduksi antibody.
7. Nodus Limfatikus
Nodus Limfatikus atau Limfonodi
mengandung makrogfag dan limfosit dalam
jumlah banyak. Fungsi Limfatikus sebagai
kekebalan tubuh yang melawan
mikroorganisme. Lokasi Limfatikus di system
Limfatik.
8. Tonsil (Amandel)
tonsil adalah organ yang paling sering
memperoleh paparan benda asing dan
potagen. Tonsil atau yang sering disebut
amandel, terletak di kerongkongan sebelah
kiri dan kanan belakang rongga mulut. Tonsil
merupakan bagian jaringan kekebalan tubuh
dari serangan benda asing dan potagen
berbahaya.
Benda asing dan potagen yang masuk
kemudian dimasukkan ke sel Limfoit. Oleh

8
sebab itu, imun tonsil sangat penting,
terutama pada anak-anak. Struktur
imunologis tonsil paling besar ditemukan
pada anak-anak usia 4 sampai 10 tahun.
Sementara itu, pada usia 60 tahun ke atas,
tonsil mengalami penurunan dan fungsinya
akan digantikan dengan jaringan lain.
Anak di bawah usia 6 tahun, terutama
anak-anak balita, sering memasukkan
berbagai macam ke dalam mulutnya. Untuk
menjaga ketahanan tubuh, kelenjar tonsil
pada batita memproduksi lebih banyak sel
imun. Oleh karenanya, meskipun balita
sering memasukkan benda asing ke dalam
mulut, si anak dapat terbebas dari penyakit.
Apabila terjadi gangguang akibat peradangan
tonsil, anak jatuh demam dan sulit menelan
makanan.
9. Limfosit
Limfosit merupakan jenis sel darah
putih yang berfungsi melawan infeksi. Sel
darah ini bekerja dan merespon benda asing
yang ada di dalam darah. Limfosit memiliki
dua komponen, yaitu pulpa merah dan pulpa
putih. Pulpa merah terdapat di sinus dan
berfungsi sebagai organ filtrasi, yaitu
menghancurkan darah yang sudah tua dan
rusak dengan bantuan makrofag. darah tua
dan darah rusak jika dibiarkan memiliki
kecenderungan untuk merusak.

9
Pada pulpa putih terdapat limfosit dan
makrofag. Benda asing yang masuk di pulpa
putih dapat menstimulasi limfosit. Limfosit
di dalam pulpa putih berfungsi untuk
mengidentifikasi antigen. Pulpa putih juga
berfungsi memproduksi antibody untuk
melawan infeksi dan mengaktifkan respon
imunologi terhadap antigen di dalam darah.
Pada dasarnya, semua jenis sel darah,
termasuk imun seperti limfosit dibentuk di
sumsum tulang belakang. Dari hasil proses
tersebut Sebagian menjadi tipe lain, dan
Sebagian lagi menjadi sel imun disebut
fagosit.
D. DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG dan Rengganis Iris (2010).
Imunologi Dasar. Universitas Indonesia
Press. Jakarta

Ermawan Budhy (2018). Asuhan Keperawatan


Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Imunologi. PustakaBaru Press.
Yogyakarta

Kuby (2002). Imunology basic, immune system,


immunity, immunologi, immunite
naturelle, system immunitaire,
immunologi. New York: W.H. Freeman.

10
Maurice R. G. O’Gorman and Albert D.
Donnenberg (2008). Handbook of Human
Immunology. 2nd. by Taylor & Francis
Group, LLC CRC Press, an informa
business

11
12
BAB II SISTEM IMUNITAS NON
SPESIFIK
Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si

A. Tujuan pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian sistem
imunitas non spesifik
2. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme sistem
imunitas non spesifik
3. Mahasiswa mampu menjelaskan komponen sistem
imunitas non spesifik
4. Mahasiswa mampu menyebutkan bagian sistem
imunitas non spesifik
B.Materi
1. Pengetian Sistem imunitas Non Spesifik
Tubuh manusia memiliki suatu sistem
pertahanan terhadap benda asing dan patogen
misalnya bakteri, virus, protozoa, dan parasite
pertahanan ini disebut sebagai sistem imunitas.
Komponen-komponen sistem imunitas bermacam-
macam dan terdapat dalam jaringan limforetikuler

13
yang letaknya tersebar diseluruh tubuh diantaranya
adalah: sumsum tulang, kelenjar limfe limpa, timus,
saluran nafas, saluran pencernaan, dan organ
lainnya.

Imunitas adalah suatu kemampuan yang secara


alami dimiliki oleh tubuh untuk melawan
mikroorganisme atau toksin yang masuk kedalam
jaringan dan organ tubuh. Sistem imun memiliki
banyak fungsi, yaitu untuk pertahanan tubuh dari
benda asing, membersihkan sel mati, memperbaiki
jaringan rusak, dan juga mencegah aktifnya sel
kanker dan tumor didalam tubuh. Respon imun
timbul karena adanya reaksi yang dikoordinasi sel-
sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan
lainnya. Sistem imun terdiri atas sistem imun
alamiah atau non spesifik (natural/innate/native)
dan sistem imun didapat atau spesifik
(adaptive/acquired). Baik sistem imun non spesifik
maupun spesifik memiliki peran masing-masing,
keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan namun
sebenarnya ke dua sistem tersebut memiliki kerja
sama yang erat.

Sistem Imunnitas non spesifik merupaka sistem


pertahanan tubuh terhadap berbagai serangan
substansi asing (mikroorganisme, parasite, alergi dll)
tanpa memerlukan pengenalan terlebih dahulu.
Dengan kata lain sistem imunitas non spesifik/
bawaan akan bekerja dan merespon benda asing

14
walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar
zat tersebut.

Imunitas non spesifik memiliki sifat universal


terhadap segala macam benda asing yang masuk
kedalam tubuh. Sistem imun ini memiliki spektrum
yang luas dan telah ada dan menjalankan fungsinya
sejak dilahirkan. Sistem imun non spesifik berperan
untuk merespon antigen/ benda asing yang
pertamaa kali masuk kedalam tubuh. Sebagai
pertahanan tubuh yang pertama dilakukan dengan
pertahanan fisik dan kimiawi sebagai contoh adalah
kelanjar air mata memproduksi enzim lisozim
sebagai anti bakteri, flora normal didalam vagina,
perubahan pH dalam saluran pencernaan.

Gambar 2.1 Sistem imunitas non spesifik

15
Selain pertahanan berupa fisik dan kimiawi
dalam sistem imunitas non spesifik juga
membutuhkan pertahanan lapis kedua yang
dilakukan oleh berbagai jenis protein yang larut
didalam darah diantaranya adalah : mediator
inflamasi, sitokin, sel natral killer (NK), sel dendrit,
makrofag dan neutrophil.

2. Mekanisme sistem imunitas non spesifik


Mekanisme kerja dari sistem imunitas non
spesifik bersifat siap setiap saat dan memiliki respon
yang cepat dan berlangsung sesaat setelah ada
paparan dari antigen. Sistem imuitas non spesifik
bertindak sebagai pertahanan pertama dalam
menghalau infeksi dari antigen, sistem imunitas ini
tidak memerlukan paparan dari antigen untuk
bekerja. Sifat lain adalah tidak spesifik dalam artian
kerja dari sistem imunitas ini tidak ditujukan
terhadap antigen / mikroorganisme tertentu.

Sistem imunitas non spesifik memiliki 4


mekanisme pertahanan dalam menghadapi paparan
dari antigen/ mikroorganisme, yaitu :

a. Pertahanan fisik/ Mekanik


Pertahanan fisik dalam sistem imunitas
non spesifik berupa lapisan mukosa/ lendir,
silia pada saluran pernafasan selaput lendir
saluran pernapasan dan berfungsi untuk
mengeluarkan benda asing (mikroorganisme

16
atau debu) yang terperangkap dari udara
pernapasan melalui sistem transportasi
mukosiliaris. Mekanisme batuk dan
bersin termasuk kedalam pertahanan fisik
dalam menghadapi invas patogen dengan
batuk dan bersin merupakan suatu usaha
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk
ke dalam tubuhnya melalui sistem
pernapasan. Pertahanan fisik berperan dalam
melindungi tubuh dari patogen yang berasal
dari lingkungan.

b. Pertahanan biokimia
Pertahanan biokimia dalam sistem
imunitas non spesifik berupa zat-zat kimia
yang akan mengeliminasi mikororganisme
yang lolos dari pertahanan fisik/ mekanik.
Berbagai macam bentuk pertahanan ini
antara lain : pH asam yang disekersikan
lambung, kelenjar keringat, serta ASI dan
saliva. ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi bayi dari infeksi.

c. Pertahanan humoral
Pertahanan humoral melibatkan
molekul-molekul yang laut untuk
megeliminasi dan melawan mikroba yang
berhasil masuk kedalam tubuh. Pertahanan
humoral akan bantyak muncul pada bagian
tubuh yang mengalami . dilalui oleh mikroba.

17
Contoh dari pertahana humoral adalah
interferon dan sistem komplemen.

d. Pertahanan seluler
Dalam peertahanan seluler banyak
melibatkan sel-sel sistem imun untuk
melawan mikroorganisme. Sel-sel tersebut
banyak ditemukan dalam sirkulasi darah dan
jaringan. .Contoh sel yang dapat ditemukan
dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel
darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel
dalam jaringan adalah eosinofil, sel mast,
makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK
(Natural Killer).

3. Komponen sistem imun non spesifik


Terdapat beberapa sel yang termasuk dalam
sistem imunitas non spesifik yaitu:

a. Sel epitel
Sel epitel merupakan bagian pertama
jika terjadi infeksi baik oleh antigen maupun
mikroorganisme. Peranan dari sel epitrl ini
adalah sebagai perlindungan secara kimiawi,
mekanik dan biologis. Sel epitel banyak
terdapat pada kulit, saluran pencernaan,
paru-paru, mata hidung dan mulut.

18
b. Sel fagosit
Fagositosis merupakan istilah secara
harfiah adalah memakan dan dapat
dianalogikan dengan proses pinositosis.
Fagositosis merupakan suatu proses dan cara
untuk memekan bakteri atau benda asing
yang dilakuakn dimanasetelah benda asing
melekat dipermukaan makrofag, maka
makrofag akan membentuk sitoplasma
melekuk kedalam untuk membungkus bakteri
dan benda asing tersebut .

Gambar 2.2. Proses fagositosis


bakteri oleh makrofag

Sel-sel fagosistosis menelan dan


mencerna (fagositosis) benda asing yang
masuk ke dalam tubuh. Fagositosis dilakukan

19
oleh sel darah putih. Jenis-jenis sel darah
putih yang dapat melakukan fagositosis
adalah neutrofil, monosit, eosinofil, dan sel
pembuluh alami. Jika sel telah dirusak oleh
antigen maka sel tersebut akan mengirimkan
sinyal kimiawi yang menarik sel fagosit untuk
datang. Sel fagosit akan memasuki jaringan
yang terinfeksi lalu menelan dan mencerna
semua mikroba yang ada.salah satu contoh
sel fagpsit adalah makrofag. Makrofag
merupakan sel fagosit mononuclear yang
fungsi utamanya adalah fagositosis
mikroorganisme dan kompleks molekul asing
lainnya.

Makrofag diproduksi di sumsum tulang


belakang dari sel induk myeloid yang
mengalami proliferasi. Didalam darah
makrofag diaktifasi oleh berbagai macam
stimulant termasuk mikroba dan produknya,
kompleks antigen antibodi, inflamasi, sitokin
dan trauma.

Dalam kerjanya makrofag tidak sendirian,


namun akan berinteraksi dengan limfosit
ditempat yang mengalami infeksi. Fagositosis
yang efektif pada invasi kuman dini akan
dapat mencegah timbulnya infeksi. Sel
fagosit dalam kerjanya juga berinteraksi
dengan komplemen dan sistem imun spesifik.

20
c. Sel eosinophil
Eosinofil merupakan salah satu bagian
dari sel darah putih yang berfungsi untuk
melindungi diri dari parasit dan penyakit,
dan juga bertanggung jawab untuk
memunculkan reaksi alergi. Salah satu jenis
dari sel darah putih adalah eosinofil.
Eosinofil dapat ditemukan dalam semua
jaringan di seluruh tubuh, dan dapat hidup
selama beberapa minggu sebelum sumsum
tulang belakang kembali mensuplai sel darah
putih ke tubuh.

Sebagai bagian dari sel darah putih,


eosinofil memiliki peran untuk melindungi
tubuh dari serangan penyakit. Peran spesifik
dari eosinofil yaitu melawan parasit yang
lebih besar (misalnya cacing tambang) dan
membantu memunculkan sekaligus
mengontrol respon imun terhadap alergi.

Sel-sel eosinofil merupakan sel granulosit


yang juga berperan dalam respon imun. Sel
ini memiliki 2 lobus pada sitoplasmanya.
Eosinofil dapat mengeluarkan protein yang
toksik terhadap patogen. Selain itu sel
eosinofil juga berperan dalam peradangan
bersama-sama dengan sel mast dan basofil.
Eosinofil sendiri memiliki fungsi untuk
menyerang bakteri, membuang sisa sel yang

21
rusak, dan mengatur pelepasan zat kimia
pada saat menyerang bakteri.

d. Sel mast
Mastosit sangat mirip dengan granulosit
basofil, salah satu golongan sel darah
putih dan membuat banyak spekulasi bahwa
mastosit dan basofil berasal dari jaringan
yang sama Basofil meninggalkan sumsum
tulang setelah dewasa sedangkan mastosit
teredar dalam bentuk yang belum matang.
Sel mast banyak mengandung granula yang
mengandung histamin dan heparin yang
berperan langsung dalam reaksi alergi dan
hipersensivitas

Sel mast sangat dikenal peranannya


dalam proses alergi. Sel-sel ini banyak
terdapat pada tempat-tempat yang sering
berhubungan dengan lingkungan luar, seperti
kulit dan saluran pernafasan. Mekanisme sel
mast dalam mencegah infeksi dilakukan
dengan cara memproduksi protein inflamasi,
vasodilatasi dan rekrutmen sel-sel fagositik
ke tempat infeksi. Selain itu sel mast dapat
melepaskan histamine yang berperan dalam
proses alergi. Hal ini akan kita bahas lebih
lanjut dalam pertemuan yang membahas
hipersensitivitas.

22
e. Sel Natural killer (NK)
Sel natural killer merupakan bagian dari
respon bawaan yang termasuk dalam kelas
limfosit. Sel natural killer atau sel NK
merupkan bagian penting dari sistem imun
seseorang. Sel natural killer merupakan
turunan limfosit dan bagian dari sel darah
putih yang bisa membantu membunuh sel
berbahaya dalam tubuh. Jumlah sel NK yang
dimiliki manusia sekitar 10-15% dari seluruh
limfosit perifer darah. Sel natural killer
diproduksi di sumsum tulang belakang,
kelenjar timus, tonsil, dan juga kelenjar
limpa. Sel-sel ini juga disebut sel pembunuh
alami karena sel-sel ini dapat bertindak
segera tanpa perlu aktivasi. Sel target
(kanker atau sel yang terinfeksi virus) akan
mengalami kematian. Jumlah sel NK dalam
tubuh hanya sekitar 10-15% dari semua
limfosit dalam darah.

Sel natural killer ini memiliki kemampuan


untuk membaca sinyal keberadaan sel
abnormal dan sel patogen. Sinyal ini menjadi
perintah bagi sel Natural Killer untuk
menyerang sel dan mematikannya. Dan akan
bekerja menghancurkan sel patogen asing
yang masuk ke dalam tubuh sebelum sel
patogen tersebut menyerang sel sehat dan
membentuk infeksi. Sel ini juga efektif untuk

23
cara mencegah kanker. Karena sel ini akan
agresif menyerang sel-sel abnormal dan
mencegah sel melakukan pembelahan diri
masif atau proliferasi dan proses pelepasan
diri dari koloni untuk menyebar atau
metastasis. Sel Natural Killer memiliki
kemampuan dalam membedakan sel sehat
dan sel tidak normal. Sel ini dapat dengan
efektif membaca DNA nukleus dan
memastikan apakah sel dihadapannya dalah
sel sehat atau sel abnormal. Cara kerja sel
natural killer terbagi menjadi 5 tahapan
yaitu : 1). sel Natural Killer bekerja
berkeliling mengikuti saluran limfosit
menuju seluruh bagian tubuh. sel ini cukup
peka terhadap sinyal keberadaan sel kanker
dalam tubuh. Tidak hanya sel kanker,
sel Natural Killer juga melawan serangan
akibat bakteri, virus dan mikroba lain. 2).
Sel Natural Killer membaca sinyal
keberadaan sel yang tidak sebagaimana
biasa/ abnormal. Sel dapat mengidentifikasi
dari senyawa yang diproduksi, perilakunya,
formasi serta bentuknya, hingga komponen
protein yang ada. 3). Sel Natural Killer akan
mendekat pada sel asing untuk membaca
nukleus dari sel asing tersebut. Apabila sel
asing tersebut menunjukan jejak DNA yang
berbeda dari sel tubuh manusia
bersangkutan, maka sel Natural Killer akan

24
membacanya sebagai sel yang harus
dimatikan. 4). Sel Natural Killer membentuk
kelompok hingga muncul semacam koloni
yang menyerang masif dan terarah pada sel
abnormal tersebut. Sel akan menyerang
membran dari sel asing tersebut, kemudian
secara khusus mengincak nukleus sel hingga
sel asing ini meledak dan hancur. 5).
Sel Natural Killer juga akan melepas
semacam hormon yang bekerja memberi
sinyal bagi sel-sel sistem imun lain untuk
turut menyerang sel asing tersebut. Semakin
kuat sel asing yang dihadapi, semakin banyak
pula hormon dilepas dan semakin besar
koloni sistem imun yang akan dihadirkan.

f. Protein Komplemen
Komplemen merupakan sistem yang
terdiri atas sejumlah protein yang berperan
dalam pertahanan hospes, baik dalam sistem
imun nonspesifik maupun sistem imun
spesifik. Aktivasi komplemen merupakan
usaha tubuh untuk menghancurkan antigen
asing. Komplemen merupakan salah satu
sistem enzim serum yang berfungsi antara
lain untuk lisis bakteri, oposonisasi yang
meningkatkan fagositosis partikel antigen,
mengikat reseptor komplemen spesifik pada
sel sistem imun sehingga memicu fungsi sel
spesifik untuk memproduksi antibodi.

25
Komplemen berfungsi mengaktifkan
fagosit dan membantu destruktif bakteri dan
parasit karena komplemen dapat
menghancurkan sel membran bakteri.
Komplemen merupakan faktor kemotaktik
yang mengarahkan makrofag ke tempat
bakteri, komponen yang mengendap pada
permukaan bakteri sehingga memudahkan
makrofag untuk mengenal dan
memfagositosis (opsonisasi).

Sistem komplemen adalah kumpulan dari


protein terikat membran dan protein dalam
darah yang penting dalam pertahanan.
Protein ini dapat membantu proses
opsonisasi antibiotik terhadap antigen.
Diketahui bahwa protein ini terdapat di
plasma darah dan banyak diproduksi oleh sel-
sel hati. Pada tubuh manusia diketahui ada
lebih dari 30 protein komplemen. Hampir
mirip dengan komponen respon imun lainnya,
maka protein komplemen akan aktif jika ada
patogen. Demikian pula sebaliknya tidak
aktif jika tidak ada patogen.

Aktivasi sistem komplemen menyebabkan


interaksi berantai yang menghasilkan
berbagai substansi biologik aktif yang
diakhiri dengan lisisnya membran sel
antigen. Aktivasi sistemkomplemen tersebut

26
selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh,
sebaliknya juga dapat membahayakan
bahkan mengakibatkan kematian

Gambar 2.3. Jalur aktivasi komplemen

Aktivasi komplemen terjadi melalui 3


jalur, yaitu jalur klasik, jalur alternatif dan
jalur lektin. Ketiga jenis jalur aktivasi
komplemen ini memiliki persamaan yaitu
pada terbentuknya C3 convertase, yang
membelah molekul C3 menjadi C3b (fragmen
yang besar) dan C3a (fragmen yang lebih
kecil). Fungsi komplemen sebagai
anaphylatoxins diperankan oleh fragmen C3a
C4a dan C5a. Fragmen ini berperan untuk
menginduksi inflamasi melalui aktivasi sel
mast dan neutrofil. Ketiga fragmen ini

27
berikatan dengan sel mast dan menginduksi
terjadinya degranulasi dengan pelepasan
mediator-mediator vasoaktif seperti
histamin

C. Rangkuman

Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan


terhadap benda asing dan patogen misalnya bakteri,
virus, protozoa, dan parasite pertahanan ini disebut
sebagai sistem imunitas. Sistem imun terdiri atas sistem
imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/native)
dan sistem imun didapat atau spesifik
(adaptive/acquired). Sistem Imunnitas non spesifik
merupaka sistem pertahanan tubuh terhadap berbagai
serangan substansi asing. Imunitas non spesifik memiliki
sifat universal, merespon benda asing walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar zat asing, memiliki
spektrum yang luas dan telah ada dan menjalankan
fungsinya sejak dilahirkan, memiliki respon yang cepat
dan berlangsung sesaat setelah ada paparan dari
antigen. Sistem imunitas non spesifik memiliki 4
mekanisme pertahanan dalam menghadapi paparan dari
antigen/ mikroorganisme, yaitu : pertahanan fisik/
mekanik, pertahanan biokimia, pertahanan humoral,
pertahanan seluler. Komponen sistem imunitas non
spesifik terdiri dari sel epitel, sel fagosit, sel eosinophil,
sel mast, sel natural killer, dan protein komplemen.

28
D. Tugas
1. Jelaskan sifat dari system imunitas non spesifik!
2. Jelaskan mekanisme pertahanan system imunitas
non spesifik dalam menghadapi paparan dari
antigen/ mikroorganisme !
3. Gambarkan proses fagositosis mikroba oleh sel
makrofag !
4. Jelaskan tahapan kerja dari sel Natural killer !
5. Jelaskan 3 tahap alur aktifasi system komplemen
!
E. Referensi

Abbas, A.K, Andrew, H.L, Shiv P. 2012. Cellular And


Molecular Immunobiology . 6th Ed. Saunders
Elsevier . Philadhelphia

Baratawidjaya K G. (2009). Imunologi Dasar. Edisi Ke 9.


Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Baratawidjaya K G. (2012). Imunologi Dasar Edisi Ke-10.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Murphy, K. 2012. Janeway´S Immunobiology. 8th Ed.


Garland Sciencw. London

Roitt I M. 2002. Imunologi Essential Immunology Edisi 8.


Jakarta: Widya Medika;

29
Siagian, Ernawati. (2018). Immunology. Jakarta :
Gramedia.

F. Glosarium
Patogen : mikroorganisme parasit yang dapat
menyebabkan penyakit pada inangnya
seperti tubuh manusia
Inflamasi : reaksi kekebalan alami yang dimiliki
tubuh untuk melawan berbagai serangan
penyakit atau mikroorganisme jahat
Sitokin : molekul peptida atau protein yang
berfungsi dalam komunikasi antar sel.
sel natural killer : turunan limfosit yang mempunyai
andil sangat besar dalam sistem imun
bawaan
dendrit : bagian neuron yang berfungsi menangkap
rangsangan dalam bentuk impuls dan
menghantarkannya ke akson
makrofag : sel fagosit terpenting dalam sistem imun
yang berasal dari sel monosit dewasa
yang menetap di jaringan
neutrophil : salah satu jenis sel darah putih yang
ada di dalam tubuh manusia
antigen : zat yang dapat merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk menghasilkan
antibodi sebagai bentuk perlawanan

30
mukosa : apisan kulit dalam, yang terutup pada
epitelium dan fungsinya sendiri terlibat
dalam proses absorpsi dan proses sekresi.
Antibodi : zat kimia yang beredar di aliran darah dan
termasuk dalam bagian dari sistem
imunitas atau kekebalan tubuh
Interferon: potein alami dari sistem kekebalan
tubuh manusia yang berfungsi melawan
penyebab penyakit (patogen), seperti
bakteri dan virus,
Eosinophil : Salah satu jenis sel darah putih yang dari
kategori granulosit yang berperan
dalam sistem kekebalan dengan
melawan parasit multiselular dan
beberapa infeks
Basofil : salah satu jenis sel darah putih yang
memiliki peran penting sebagai bagian
dari sistem kekebalan tubuh. berperan
penting dalam menghasilkan reaksi
peradangan untuk melawan infeksi dan
turut berperan dalam munculnya reaksi
alergi.
Monosit : Salah satu jenis sel darah putih yang
berfungsi untuk melawan infeksi dan
meningkatkan kekebalan tubuh
Fagositosis : proses seluler dari fagosit dan protista
yang menggulung partikel padat dengan
membran sel dan membentuk fagosom
internal.

31
Proliferasi : Pertumbuhan dan pertambahan sel yang
sangat cepat (dalam keadaan abnormal)
Inflamasi : eaksi kekebalan alami yang dimiliki tubuh
untuk melawan berbagai serangan
penyakit atau mikroorganisme jahat.
Lobus : bagian korteks serebri yang terletak di
belakang dan berhubungan dengan
penafsiran rangsangan visual.
Hipersensifitas : reaksi dari sistem kekebalan yang
terjadi saat jaringan tubuh sehat
mengalami cidera atau luka.
Vasodilatasi : merupakan pembesaran dari
pembuluh darah di dalam tubuh.
Histamin : salah satu zat kimia yang diproduksi saat
tubuh alami alergi
Lisis : peristiwa pecah atau rusaknya integritas
membran sel dan menyebabkan
keluarnya organel sel.
Anaphylatoxins : fragmen protein yang terbentuk
saat sistem komplemen teraktivasi dan
terdiri dari C3a, C4a, C5a

G. Indeks

Patogen 1, 3, 5, 6, 7, 8, 10
Inflamasi 2, 5, 6, 9
Sitokin 2, 5
sel natural killer 6, 7, 10

32
dendrit 16
makrofag 16, 20, 19, 22
neutrophil 16
antigen 16, 17, 18, 19, 22, 24
mukosa 17
antibody 19, 22
interferon 17
eosinophil 19, 24
basophil 19, 20
monosit 17, 18
fagositosis 18, 19, 22
proliferasi 19, 21
lobus 19
vasodilatasi 20
histamin 20, 23
lisis 22
anaphylatoxins 23

33
34
BAB III SISTEM IMUN ADAPTIF
Cut Indriputri, S.Tr.AK., M.Imun

Sistem imun adaptif adalah kebalikan dari sistem


imun innate (non spesifik). Sistem imun adaptif tidak
dibentuk secara alami, melainkan harus mengalami
proses pajanan (pengenalan) antigen terlebih dahulu.
Meskipun proses pengenalan ini membutuhkan waktu
yang lebih lama, pertahanan yang dihasilkan akan lebih
spesifik. Oleh sebab itu, sering juga disebut sebagai
sistem imun spesifik.
Imunitas adaptif merupakan jenis kekebalan yang
sangat maju dan lebih spesifik dengan sifat luar biasa
dalam menginduksi respons "memori" pada paparan
kedua terhadap beberapa antigen, sehingga sangat
efektif dalam pertahanan terhadap infeksi mikroba
patogen. Perbedaan dengan innate adalah bahwa innate
hanya mengenali struktur penyusun mikroba (jenis
antigen), sementara adaptif dapat mengekspresikan
reseptor yang secara spesifik dapat mengenal berbagai
molekul penyusun mikroba (variasi antigen). Sistem
imun adaptif juga memiliki kemampuan untuk
mengenali self atau non-self yang lebih baik. Setiap zat
yang secara khusus dikenali oleh limfosit atau antibodi

35
disebut antigen. Respon imun adaptif yang efektif
melibatkan dua kelompok sel utama, yaitu sel limfosit
dan produknya (antibodi), dan antigen-presenting cell
(APC).
1. Jenis Imunitas Adaptif
Imunitas adaptif dibagi menjadi dua, yaitu Imunitas
Humoral dan Imunitas yang Dimediasi oleh Sel (Cell-
Mediated Immunity).
a. Imunitas Humoral
Imunitas ini dimediasi oleh protein-protein
yang disebut antibodi. Antibodi diproduksi oleh sel
plasma, sel hasil diferensiasi limfosit B. Antibodi
yang disekresikan masuk ke dalam sirkulasi dan
cairan mukosa, kemudian menetralisasi dan
mengeliminasi mikroba ekstraselular dan toksinnya.
b. Cell-mediated immunity
Dimediasi oleh jenis limfosit T, yaitu limfosit T
helper dan limfosit T sitotoksik. Limfosit T helper
mengaktivasi sel fagosit untuk menghancurkan
mikroba yang sudah dicerna sebelumnya dan
limfosit T sitotoksik berperan mengeliminasi sel
yang terinfeksi mikroba intraselular (seperti virus
dan bakteri tuberkulosis).

36
Imunitas Cell-mediated
Humoral Immunity

Mikroba

Mikroba Mikroba yang Mikroba intraselular


ekstraselular difagosit oleh (contoh: virus)
makrofag

Respon
limfosit
Limfosit T Limfosit T
Limfosit B Helper Sitotoksik

Antibodi
sekresi
Mekanisme
efektor

Blokir dan Makrofag


teraktivasi
eliminasi Membunuh dan
Fungsi mikroba Eliminasi
mikroba yang mengeliminasi
ekstrasel sel terinfeksi
difagosit

Gambar 3.1. Jenis imunitas adaptif.


(Sumber: Abbas et al., 2016)

37
2. Sumber Imunitas Adaptif
Imunitas seseorang dapat diperoleh secara aktif
maupun pasif. Imunitas aktif adalah imunitas yang
diperoleh melalui aktivasi sel-sel imun. Hal ini
dapat terjadi melalui infeksi (secara alami), atau
melalui vaksinasi (secara buatan). Imunitas pasif
adalah imunitas yang diperoleh tanpa perlu aktivasi
sel-sel imun. Imunitas dapat langsung diperoleh
melalui transfer antibodi, baik secara alami
(melalui ibu ke anak) atau buatan (transfer antibodi
monoklonal).

IMUNITAS AKTIF IMUNITAS PASIF


Alami Buatan Alami Buatan

Antibodi Antibodi
Infeksi Vaksinasi maternal monoklonal

Gambar 3.2. Sumber sistem imun adaptif.


(Sumber: https://ib.bioninja.com)

38
3. Spesifisitas Imunitas Adaptif
Imunitas adaptif memiliki spesifisitas yang
sangat tinggi. Spesifisitas atau kemampuan
mengenali antigen yang dimiliki ini sangat unik.
Walaupun setiap limfosit hanya memiliki satu jenis
reseptor epitop (TCR atau BCR), mereka mampu
mengenali dan membedakan setiap jenis patogen
yang memiliki begitu banyak molekul antigen, di
mana masing-masing dapat memiliki beberapa
epitop.
Dasar spesifisitas dan keragaman yang luar
biasa ini adalah bahwa limfosit mengekspresikan
reseptor yang terdistribusi secara klonal untuk
antigen, yang berarti bahwa populasi total limfosit
terdiri dari banyak klon yang berbeda (masing-
masing terdiri dari satu sel dan turunannya), dan
setiap klon mengekspresikan reseptor antigen yang
berbeda dari reseptor klon lainnya.
4. Mekanisme Memori
Salah satu keunikan imunitas adaptif adalah
dapat mengembangkan mekanisme memori. Istilah
memori muncul karena sel-sel ini mampu mengingat
paparan antigen sebelumnya. Ketika terjadi
paparan infeksi, imunitas adaptif akan mempelajari
dan mengingat patogen penyebab infeksi tersebut,
sehingga dapat memberikan pertahanan dan
perlindungan jangka panjang terhadap infeksi
berulang. Imunitas adaptif meningkatkan respons

39
yang lebih besar dan lebih efektif terhadap paparan
berulang untuk antigen yang sama.
Respon terhadap paparan pertama, disebut
respon imun primer, diperankan oleh limfosit
naif, yaitu limfosit yang pertama kali terpapar
dengan antigen. Istilah naif mengacu pada sel-sel
yang secara imunologis belum pernah terpapar
oleh antigen sebelumnya. Paparan berikutnya
dengan antigen yang sama menyebabkan respons
yang disebut respons imun sekunder. Respon ini
biasanya lebih cepat, lebih besar, dan lebih
mampu mengeliminasi antigen dibanding respons
primer. Respons sekunder adalah hasil aktivasi
limfosit memori, yang merupakan sel berumur
panjang yang diinduksi selama respons imun
primer.
Memori juga merupakan salah satu alasan
mengapa vaksin memberikan perlindungan
jangka panjang terhadap infeksi. Vaksinasi
terhadap virus dapat dilakukan menggunakan
virus aktif yang dilemahkan, atau bagian
tertentu dari virus yang tidak aktif. Baik virus
utuh maupun partikel virus yang dilemahkan
sebenarnya tidak dapat menyebabkan infeksi
aktif. Sebaliknya, vaksin ini hanya meniru
keberadaan virus aktif untuk menstimulasi
respons imunitas. Dengan mendapatkan
vaksinasi, tubuh seolah terpapar pada suatu
antigen virus, sehingga menghasilkan antibodi

40
khusus, dan memperoleh memori tentang virus
tersebut, tanpa perlu mengalami sakit.
Beberapa gangguan dalam sistem memori imunologi
dapat menyebabkan penyakit autoimun. Mimikri
molekuler dari self-antigen oleh patogen infeksius,
seperti bakteri dan virus, dapat memicu penyakit
autoimun karena respon imun reaktif silang terhadap
infeksi. Salah satu contoh organisme yang menggunakan
mimikri molekuler untuk bersembunyi dari pertahanan
imunologis adalah infeksi Streptococcus.

Sel plasma

Respon
anti-X
Sel
Titer antibodi serum

sekunder
plasma
Sel
Sel B plasma
memori
Sel B Respon
naif anti-X
primer

Minggu ke

Gambar 3.3. Mekanisme memori pada respon


imun primer dan sekunder.
(Sumber: Abbas et al., 2016

41
5. Respon Imun Adaptif terhadap Mikroba
Jika sistem imun innate tidak mampu dalam
menghadapi paparan mikroba, respon imun adaptif
akan diaktivasi. Dalam hal ini sistem imun innate dan
adaptif saling bekerjasama. Oleh sebab itu,
mekanisme respon imun adaptif dimulai dari
presentasi antigen oleh APC kepada limfosit T naif
(rekognisi antigen); aktivasi limfosit; eliminasi antigen
melalui imunitas humoral dan selular; regulasi respon
imun (homeostasis); dan mekanisme memori.

Rekognisi Aktivasi Eliminasi Homeostasis Memori


antigen limfosit antigen
Sel Limfosit T
plasma Eliminasi
efektor antigen
Jumlah relative limfosit spesifik antigen

Diferensiasi

Imunitas
humoral

Cell-mediated Sel memori


immunity
Apoptosis
Ekspansi
klon

Limfosit T
naif

Limfosit B
naif

42
Gambar3. 4. Tahapan respon imun adaptif terhadap
mikroba. Respons imun adaptif terjadi dalam beberapa
langkah. Langkah pertama adalah rekognisi (pengenalan)
antigen pada titik waktu 0 yang mengarah pada aktivasi sel T
naif atau sel B yang secara langsung mengikat antigen. Fase
efektor terdiri dari aktivasi limfosit dan eliminasi antigen yang
berlangsung selama lebih kurang 14 hari. Ketika antigen telah
dimusnahkan, fase kontraksi (homeostasis( respon imun
dimulai, sebagian besar sel B dan T mati oleh apoptosis dan
hanya sedikit sel berumur panjang yang bertahan dan
memberikan respon imun memori. (Sumber: Abbas et al.,
2016)

a. Rekognisi antigen
Sebelum sampai pada tahap eliminasi, suatu
patogen harus dikenali dahulu, baik struktur
penyusunnya, maupun antigennya. Hal ini
dimaksudkan agar respon yang dihasilkan lebih
spesifik dan efektif. Ketika terjadi paparan mikroba
(patogen), sel-sel penyaji antigen (APC) khususnya
sel dendritik residen segera menangkap patogen
tersebut dan membawanya ke organ limfoid
sekunder untuk dipresentasikan ke limfosit T naif.
Antigen protein mikroba diproses dalam sel
dendritik untuk menghasilkan peptida yang akan
dipresentasikan pada permukaan sel yang terikat

43
pada molekul MHC. Sel T naif akan mengenali
kompleks peptida-MHC ini, dan ini adalah langkah
pertama dalam inisiasi respons sel T. Di sisi lain,
Protein antigen yang sama juga diproses oleh
limfosit B untuk dipresentasikan ke sel T. Limfosit B
juga dapat memproses antigen polisakarida dan
antigen nonprotein lainnya yang tidak dapat
dilakukan APC dan sel T.

b. Aktivasi limfosit
Sel dendritik aktif mampu
mengekspresikan molekul kostimulator dan
mensekresikan sitokin yang keduanya diperlukan,
selain antigen, untuk menstimulasi proliferasi dan
diferensiasi sel T. Proses ini melibatkan tiga sinyal
utama, yaitu sinyal 1 (aktivasi); sinyal 2
(kostimulasi); dan sinyal 3 (sekresi sitokin).
Sinyal ini memastikan bahwa respons
imun adaptif benar diinduksi oleh mikroba dan
bukan oleh zat yang tidak berbahaya. Sinyal yang
dihasilkan dalam sel T oleh keterlibatan reseptor
antigen dan reseptor kostimulator menyebabkan
transkripsi berbagai gen, yang menyandikan sitokin,
reseptor sitokin, molekul efektor, dan protein yang
mengontrol kelangsungan hidup sel.
Ketika diaktifkan oleh antigen dan
kostimulator di organ limfoid, sel T naif kemudian
mengeluarkan sitokin yang berfungsi sebagai
growth factor dan merespons sitokin lain yang
disekresikan oleh sel dendritik. Kombinasi sinyal

44
(antigen, kostimulasi, dan sitokin) merangsang
proliferasi (ekspansi klon) sel T dan diferensiasinya
menjadi sel T efektor.

Sitokin

Sinyal 3

Sinyal 1

Sinyal 2

Sel T Naif
Sel Dendritik

Gambar 3.5 Tiga sinyal aktivasi sel T. Aktivasi sel


T spesifik-antigen membutuhkan tiga sinyal berbeda.
Sinyal 1 disebut sinyal aktivasi, adalah pensinyalan
spesifik-antigen yang dimediasi oleh keterlibatan
reseptor sel-T (TCR) dari peptida patogen yang disajikan
oleh molekul MHC. Sinyal 2 adalah sinyal kostimulatori,
terutama dimediasi oleh interaksi CD28 dengan salah
satu molekul B7 (CD80 dan CD86). Sinyal 3 adalah sinyal
sekresi sitokin oleh sel dendritik dan sel T, sinyal ini
menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T. (Sumber:
www.nature.com)

45
c. Eliminasi antigen
Dalam mengeliminasi anitgen, sistem imun
adaptif mengembangkan dua mekanisme utama,
yaitu cell-mediated immunity dan imunitas
humoral. Imunitas humoral diperankan oleh
antibodi sementara cell-mediated immunity
diperankan oleh sel T.
1) Cell-mediated immunity
Beberapa sel T efektor yang dihasilkan di
organ limfoid dapat bermigrasi kembali ke
dalam darah dan kemudian ke tempat mana
pun di mana antigen (atau mikroba) berada.
Sel-sel efektor ini diaktifkan kembali oleh
antigen di tempat infeksi dan melakukan
fungsinya untuk mengeliminasi mikroba. Sel T
helper dapat berdiferensiasi menjadi subset sel
efektor yang berbeda dengan fungsi yang
berbeda. Beberapa dari sel T helper merekrut
neutrofil dan leukosit lain ke tempat infeksi; sel
T helper lainnya mengaktifkan makrofag untuk
membunuh mikroba yang difagosit; dan yang
lainnya tetap berada di organ limfoid untuk
membantu aktivasi limfosit B untuk
memproduksi antibodi. Selain sel T hepler, sel
T sitotoksik (CTL) berperan membunuh secara
langsung sel yang terinfeksi atau mengandung
mikroba di sitoplasma. Dengan menghancurkan
sel yang terinfeksi, CTL menghilangkan
reservoir infeksi.

46
Berikut peran limfosit T dalam
mengeliminasi antigen;
a) Merekrut netrofil dan leukosit lain ke
tempat infeksi;
b) Mengaktifkan makrofag untuk
membunuh mikroba yang difagosit;
c) Membantu aktivasi limfosit B untuk
memproduksi antibodi;
d) Membunuh sel yang terinfeksi virus
oleh sel T sitotoksik.
2) Imunitas Humoral
Imunitas humoral diperankan oleh
antibodi, produk dari limfosit B. Pada saat
aktivasi, sel B berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang mensekresikan
berbagai kelas antibodi (IgM, IgG, IgE, IgA, IgD)
yang memiliki fungsi berbeda.
Banyak antigen non protein, seperti
polisakarida dan lipid, memiliki beberapa
determinan antigenik (epitop) identik yang
mampu bereaksi secara langsung dengan
reseptor antigen sel B dan memulai aktivasi sel
B tanpa memerlukan bantuan sel T. Antigen
protein biasanya terlipat dan tidak
mengandung epitop identik, sehingga tidak
dapat mengikat reseptor antigen secara
bersamaan, sehingga respons sel B terhadap
antigen protein memerlukan bantuan sel T
helper (CD4+). Sel B menelan antigen protein,
mendegradasinya, dan mempresentasikannya

47
(peptida) melalui molekul MHC kepada sel T
helper. Sel T helper kemudian mengekspresikan
sitokin dan protein permukaan sel, yang
bekerja sama untuk mengaktifkan sel B.
Aktivasi sel B tanpa bantuan sel T disebut T-
independent dan dengan bantuan sel T disebut
T-dependent.

Gambar 3.6. Respon antibodi T-dependent dan T-


independent. Respons antibodi terhadap antigen protein
memerlukan bantuan sel T, dan antibodi yang dihasilkan
biasanya menunjukkan penggantian isotipe dan memiliki

48
afinitas tinggi. Antigen non-protein (misalnya, polisakarida)
dapat mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Sebagian
besar respons yang bergantung pada T dibuat oleh sel B
folikel, sedangkan sel B zona marginal dan sel B-1 berperan
lebih besar dalam respons yang tidak bergantung pada sel
T (Sumber: Abbas et al., 2016).
Sel B yang diaktivasi secara langsung oleh
antigen non protein biasanya mensekresikan
antibodi dengan fungsi terbatas dan memiliki
afinitas rendah terhadap antigen. Sementara
antigen protein, dengan melibatkan bantuan
sel T, dapat merangsang produksi beberapa
jenis antibodi dengan fungsi berbeda dan
memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap
antigen. Selain itu, antigen protein dapat
menginduksi sel plasma dan sel B memori yang
berumur sangat panjang.
Respons imun humoral bertahan melawan
mikroba dengan berbagai cara. Antibodi dapat
mengikat dan menetralisasi mikroba sehingga
mencegahnya menginfeksi sel. Antibodi dapat
melapisi (opsonisasi) mikroba dan menargetkannya
untuk difagositosis, karena sel-sel fagosit (neutrofil
dan makrofag) mengekspresikan reseptor spesifik
untuk antibodi (reseptor Fc). Selain itu, antibodi
juga dapat mengaktifkan sistem komplemen jalur
klasik untuk menghancurkan dinding sel mikroba

49
dan mengembangkan mekanisme sitotoksik sel
untuk menghancurkan mikroba atau sel yang
terinfeksi. Jenis antibodi tertentu dan mekanisme
transpor antibodi juga memiliki peran berbeda pada
lokasi anatomi tertentu, termasuk lumen saluran
pernapasan dan saluran pencernaan serta plasenta
dan janin.

Mengikat antigen à menghantarkannya


ke sistem pemusnahan (Fagosit)

1 2 3 4 5
Aktivasi Transitosis &
Netralisasi Opsonisasi komplemen ADCC Neonatal immunity
Gambar 7. Fungsi antibodi secara umum

d. Hemostasis dan Memori


Setelah melaksanakan tugasnya mengeliminasi
mikroba, sebagian besar limfosit efektor akan mati
oleh mekanisme apoptosis, sehingga sistem imun
dapat kemb=ali ke keadaan semula (istirahat), yang
disebut homeostasis. Ini terjadi karena mikroba
memberikan stimulasi penting untuk kelangsungan
hidup dan aktivasi limfosit, dan sel efektor berumur
pendek. Oleh karena itu, ketika rangsangan
dihilangkan, limfosit yang diaktifkan tidak lagi
bertahan hidup. Aktivasi awal limfosit menghasilkan

50
sel memori berumur panjang, yang dapat bertahan
selama bertahun-tahun setelah infeksi dan
meningkatkan respons yang cepat dan kuat
terhadap paparan berulang dengan antigen.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas, K.A., Lichtman, A.H., Pillai S. (2016). Basic
Immunology: Functions and Disorders of the Immune
System (5th edition). Canada: Elsevier
2. Bioninja. Types of Immunity.
https://ib.bioninja.com
3. Carlberg, C and Velleuer, E. (2022). Molecular
Immunology. Jerman: Springer
4. Khanacademy. (2017). Adaptive immunity.
https://www.khanacademy.org
5. Lee, G.H., Cho, M.Z., Choi, J.M. (2020). Bystander
CD4+ T cells: crossroads between innate and
adaptive immunity. Experimental & Molecular
Medicine, 52, 1255-1263.
https://doi.org/10.1038/s12276-020-00486-7

51
52 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB IV REAKSI ANTIGEN & ANTIBODI
Dr. Ns. Ady Purwoto, S. Kep., M.
kep., S. H., M. H., M. Kn

A. Tujuan Pembelajaran
Mampu memahami materi tentang reaksi antigen
dan antibodi.
B. Penjelasan Materi Dengan Ilustrasi Dan Contoh
Antigen Merupakan zat protein yang saling
berkaitan antar bakteri dan virus yang ada di dalam
tubuh manusia tergolong pada makromolekul dengan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 53
dua jenis bakteri atau virus yaitu olisakarida dan
polipeptida.

Antibodi merupakan protein yang terbentuk dari


antigen yang ada di dalam tubuh manusia yang bereaksi
secara spesifik dengan antigen sehingga menghasilkan
sebuah antibodi yang digunakan untuk melindungi
sistem imun tubuh.
Dari antigen tersebut memiliki sebuah
konfigurasi dengan antibodi yang mana konfigurasi
molekul kedua hal tersebut membentuk suatu respon
terhadap antigen yang mana cocok untuk memicu
sebuah reaksi-reaksi antigen dan antibodi sehingga
terjadi interaksi kimia yang mana antara sel B dengan
reaksi antigen imun.
Reaksi antigen antibodi tersebut merupakan
sebuah reaksi yang muncul karena adanya proses
molekul-molekul asing dalam kompleks seperti patogen
Dan racun kimia yang ada di dalam darah dengan
antigen yang diikat oleh antibodi secara khusus dengan
adanya afinitas tinggi sehingga membentuk suatu
kompleks imun yang disebut dengan reaksi.

54 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
1. Respon Tubuh Terhadap Antigen

Pemaparan antigen yang masuk dalam tubuh


tersebut pertama kali direspon oleh sel makrofag
yang mana nantinya sel makrofag tersebut akan
memberikan antigen kepada sel t helper untuk
membentuk suatu respon pertahanan dengan
antigen dari sel t helpers tersebut mengaktivasikan
kepada sel B dan sel t sitotoksik yang mana kedua
proses tersebut mengalami aktivasi yang merespon
terhadap

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 55
antigen dan menjaga kekebalan humoral
sehingga menghasilkan antibodi dalam plasma darah
selain itu juga untuk melisiskan sel-sel yang sudah
terinfeksi adanya antigen.
Saat pengaktivisan tersebut sel B lebih
memperbanyak diri agar sel-sel tersebut dapat
digunakan sebagai sel respon sekunder untuk
menyerang antigen sehingga pemaparan antigen
tersebut yang datang langsung menuju ke sel B akan
diproduksi antibodinya untuk melawan sel antigen
tersebut. sehingga antigen yang masuk dan diikat oleh
antibodi tersebut akan menjadi sebuah bagian epitel
yang mana epitel tersebutlah yang menentukan antara
kecocokan antigen dengan antibodi apabila antigen
tersebut sudah diikat oleh antibodi dan diuraikan untuk

56 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dibuang keluar tubuh bersama dengan aliran darah
maka antigen tersebut tidak termasuk antigen yang baik
untuk sistem kekebalan tubuh.
C. Rangkuman

Antigen merupakan zat protein yang berkaitan


dengan bakteri dan virus sedangkan antibodi
merupakan sebuah protein yang terbentuk adanya
antigen di dalam tubuh sehingga menciptakan sebuah
sistem imun kekebalan tubuh.
Reaksi yang timbul adanya pengikatan dari
antigen dan antibodi tersebut adalah sebuah reaksi
yang mana terdapat molekul di dalamnya dengan
adanya konfigurasi molekul yang saling berkaitan
dengan adanya antigen yang diikat oleh antibodi antara
sel B sampai dengan sel t yang saling berkaitan untuk
menciptakan sebuah sistem kekebalan imun dan
dikeluarkan melalui darah.
D. Tugas
1. Bagaimana reaksi yang timbul apabila antigen
tersebut diikat oleh antibodi? Jelaskan menurut
pendapat anda?
2. Bagaimana reaksi antibodi terbentuk di dalam tubuh
kita dan manfaat apa yang diperoleh adanya
antibodi dalam tubuh kita?
3. Apa antibodi yang dapat menggumpalkan antigen?
4. Apa ciri-ciri dari antibodi?
5. Jelaskan perbedaan dari antigen dan antibodi serta
Bagaimana hubungan antara antigen dan antibodi
dalam sistem tubuh anda?
6. Bagaimana cara kerja antibodi tersebut pada saat
tubuh kita diserang oleh bakteri virus jelaskan cara
kerjanya?
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 57
7. Mengapa antigen dikeluarkan dari sistem tubuh oleh
antibodi?
8. Di mana letak antigen dan di mana letak antibodi
jelaskan masing-masing letak kedua reaksi tersebut
beserta dengan contohnya!
E. Referensi

Ren, J., & Zhao, Y. (2017, 1 September). Memajukan


terapi sel T reseptor antigen chimeric dengan CRISPR/Cas9.
Protein dan Sel . Pers Pendidikan Tinggi.
https://doi.org/10.1007/s13238-017-0410-x
Ningrum, NR, Ritchie, NK, & Syafitri, R. (2018).
Skrining Antibodi dan Identifikasi Antibodi pada Pasien
Transfusi di Laboratorium Rujukan Unit Transfusi Darah PMI
DKI Jakarta. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional
Penelitian & Pengabdian Masyarakat , 1 (1), 589–596.
Noviar, G., Ritchie, NK, Bela, B., & Soedarmono, YS
(2019). Prevalensi Antibodi IgG dan DNA Cytomegalovirus
pada darah donor di unit transfusi darah Provinsi DKI
Jakarta. Jurnal Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit
Menular , 3 (1), 28–35.
https://doi.org/10.22435/jhecds.v3i1.1814
Gunawan, LS, & Puspita, RC (2019). Perbedaan
Derajat Aglutinasi Uji Golongan Berdasarkan Darah Teknik
Penanganan Sampel dalam Pembuatan Suspensi Sel Darah
Merah. Biomedika , 12 (2), 187–196.
https://doi.org/10.31001/biomedika.v12i2.546
Mutiawati, VK (2013). PERBEDAAN DERAJAT
AGLUTINASI PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH ANTARA
ERITROSIT TANPA PENCUCIAN DENGAN PENCUCIAN PADA
PENDERITA TALASEMIA. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala , 13
(2), 65–70. Diambil dari
http://jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/3404
58 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
F. Glosarium

Antigen : zat yang mampu menyebabkan sistem imun


tersebut menghasilkan sebuah antibiotik.
Antibodi : protein yang timbul dari adanya ikatan
antigen.
Bakteri : sebuah kelompok mikroorganisme yang
mana bisa menyebabkan timbulnya suatu penyakit dalam
sistem tubuh manusia dan mengurangi sistem imun dalam
tubuh manusia.
Imun : kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
melawan mikroorganisme yang ada di dalam tubuh yang
dapat menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh.
Konfigurasi : suatu hal yang merujuk pada bentuk,
wujud dan benda serta nilai-nilai dari zat tersebut.
Molekul : bagian senyawa terkecil yang tersusun
antar beberapa atom sehingga jika saling berikatan dengan
zat lain akan membentuk suatu konfigurasi.
Olisakarida : gabungan dari beberapa molekul
monosakarida yang menjadi sebuah molekul olisakarida
yang mana memiliki sebuah fungsi untuk membantu adanya
sistem imun yang ada di dalam tubuh.
Patogen : suatu agen dalam biologis yang
menyebabkan penyakit dalam sistem inang sehingga
membantu virus-virus dan bakteri yang di dalam sel tubuh
tersebut berkembang dan membentuk suatu penyakit.
Polipeptida : susunan antara beberapa molekul dari
peptida yang tersusun dalam suatu gugus amino yang mana
terdapat antara beberapa karbon.
Reaksi : suatu bentuk gejala yang timbul adanya
ikatan antara kedua belah zat atau molekul sehingga
menciptakan sebuah konfigurasi molekul.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 59
Tubuh : bentuk fisik dari kerangka manusia yang
dilengkapi dengan adanya zat-zat dan molekul di dalamnya.
Virus : mikroorganisme dari patogen yang tidak
memiliki kelengkapan dalam selulernya sehingga virus
tersebut akan saling bergantung terhadap molekul-molekul
yang ada di sekitarnya.
G. Indeks

Antigen...................................................61,
85,121
Antibodi.................................................3,65
,89
Imun........................................................2,
7,16,89
Molekul..................................................3,12
,89
Virus.......................................................12,
89

60 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB V SISTEM LIMFATIK
Dr. Padoli SKp.M.Kes

A. Tujuan pembelajaran :

Tujuan Instruksional Umum (TIU) : Mahasiswa


mampu mengenal dan membedakan organ-organ yang
termasuk dalam sistem limfatis
Tujuan Instruksional Khusus (TIK) :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi system
limfatik
2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan pembuluh
limfatik dan Sirkulasi Limfatik
3. Mahasiswa mampu menyebutkan organ dan jaringan
limfatik
4. Mahasiswa mampu menyebutkan kelainan pada
system limfatik

B. Materi

1. Pendahuluan
Sistem limfatik terdiri dari cairan yang disebut getah
bening, pembuluh yang disebut pembuluh limfatik yang

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 61
mengangkut getah bening, sejumlah struktur dan organ
yang mengandung jaringan limfatik (limfosit dalam
jaringan penyaring), dan sumsum tulang merah (lihat
gambar 1) . Sistem limfatis di dalam tubuh kita merupakan
suatu sistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan
cairan dalam tubuh, mengabsorpsi lemak dan substansi
lainnya dalam sistem pencernaan dan yang paling penting
adalah sebagai sistem pertahanan tubuh dari
mikroorganisme dan substansi asing lainnya. Sebagian
besar komponen penyaring plasma darah melalui dinding
kapiler darah untuk membentuk cairan interstisial. Setelah
cairan interstitial masuk ke pembuluh limfatik, itu disebut
getah bening. Perbedaan utama antara cairan interstisiil
dan getah bening berada: cairan interstisial ditemukan
antara sel, dan getah bening terletak di dalam pembuluh
limfatik dan jaringan limfatik. Jaringan limfatik adalah
bentuk khusus dari jaringan jaringan ikat retikuler yang
mengandung banyak limfosit. Dua jenis limfosit
berpartisipasi dalam respon imun adaptif: sel B dan sel T.

2. Fungsi Sistem limfatik


Sistem getah bening memiliki tiga fungsi utama yaitu
menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh, mengabsorpsi
lemak dan substansi lain dan sebagai sistem pertahanan
tubuh.
a. Keseimbangan Cairan
Sistem limfatik mengembalikan kelebihan cairan
dan protein dari jaringan yang tidak dapat kembali
melalui pembuluh darah. Cairan sering terkumpul di
ruang kecil yang mengelilingi sel, yang dikenal sebagai
62 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
ruang interstisial. Kapiler getah bening kecil
menghubungkan ruang-ruang ini ke sistem limfatik.
Sekitar 90% plasma yang mencapai jaringan dari kapiler
darah arteri kembali melalui kapiler vena dan vena. 10%
sisanya berjalan melalui sistem limfatik.
b. Transport Lipid Makanan
Sistem limfatik memainkan peran kunci dalam
fungsi usus. Pembuluh limfatik mengangkut lipid dan
vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, dan K) yang
diserap oleh saluran pencernaan. Bagian dari selaput usus
di usus kecil mengandung tonjolan kecil seperti jari yang
disebut vili. Setiap vili mengandung kapiler limfa kecil,
yang dikenal sebagai lakteal. Ini menyerap lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak untuk membentuk cairan
putih susu yang disebut chyle. Cairan ini mengandung
lemak getah bening dan emulsi, atau asam lemak bebas.
Ini memberikan nutrisi secara tidak langsung ketika
mencapai sirkulasi darah vena. Kapiler darah mengambil
nutrisi lain secara langsung.

c. Pertahanan Tubuh
Sistem limfatik bertanggung jawab untuk
mengambil kelebihan air dan protein interstitial serta sel-
sel lain, termasuk bakteri, yang dapat masuk ke jaringan
melalui luka kecil atau luka di kulit. Bakteri dan antigen
lainnya diangkut oleh sistem limfatik dari interstitium ke
limfosit di kelenjar getah bening, di mana respon imun
dapat dimulai.
Bagaimana sistem limfatik melawan infeksi?
Sistem limfatik menghasilkan sel darah putih yang
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 63
disebut limfosit. Ada dua jenis limfosit: sel T dan sel B.
Keduanya berjalan melalui sistem limfatik. Saat
mencapai kelenjar getah bening, mereka bersentuhan
dengan virus, bakteri, dan partikel asing dalam cairan
getah bening. Setelah kontak, limfosit membentuk
antibodi dan mulai mempertahankan tubuh. Mereka juga
dapat menghasilkan antibodi dari ingatan jika mereka
telah menemukan patogen spesifik di masa lalu. Sistem
limfatik dan aksi limfosit merupakan bagian dari respon
imun adaptif tubuh. Ini adalah tanggapan yang sangat
spesifik dan tahan lama terhadap patogen tertentu.

Gambar 5.1: Anatomi Sistem Limfatik (OpenStax


Rice University , 2016. Anatomy and Physiology
Houston, Texas, P 982)
3. Pembuluh Limfatik (Lymph Vessels ) dan Sirkulasi
Getah Bening
Pembuluh limfatik dimulai sebagai kapiler
limfatik. Kapiler ini, yang terletak di ruang antar sel,
ditutup pada satu ujung (Gambar 2). Sama seperti kapiler

64 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
darah berkumpul untuk membentuk venula dan kemudian
vena, kapiler limfatik bersatu untuk membentuk lebih
besar pembuluh limfatik (lihat Gambar1), yang
menyerupai vena kecil dalam struktur tetapi memiliki
dinding yang lebih tipis dan lebih banyak katup. Pada
interval sepanjang pembuluh limfatik, getah bening
mengalir melalui kelenjar getah bening, dikemas organ
berbentuk kacang yang terdiri dari massa sel B dan sel T.
Perbedaan utama antara sistem limfatik dan
kardiovaskular pada manusia adalah bahwa getah bening
tidak dipompa secara aktif oleh jantung, tetapi dipaksa
melalui pembuluh oleh gerakan tubuh, kontraksi otot
rangka selama gerakan tubuh dan pernafasan. Pompa
pernafasan secara bergantian mengembang dan menekan
getah bening pembuluh darah di rongga dada dan
membuat getah bening terus bergerak. Pembuluh getah
bening di ekstremitas, terutama tungkai, dikompresi oleh
otot rangka yang mengelilinginya; ini adalah pompa otot
rangka. Katup satu arah (katup semi-lunar) di pembuluh
limfatik menjaga agar getah bening tetap bergerak ke arah
jantung. Getah bening mengalir dari kapiler limfatik,
melalui pembuluh limfatik, dan kemudian dialirkan ke
sistem peredaran darah melalui saluran limfatik yang
terletak di persimpangan vena jugularis dan subklavia di
leher.

a. Kapiler Limfatik
Kapiler limfatik, juga disebut limfatik terminal,
adalah pembuluh di mana cairan interstitial memasuki
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 65
sistem limfatik menjadi cairan limfe. Kapiler limfe
berbentuk seperti pipa, memiliki struktur yang hampir
sama dengan kapiler darah tetapi memiliki permeabilitas
yang lebih besar dari kapiler darah demikian dapat
menyerap molekul besar seperti protein dan lemak.
Terletak di hampir setiap jaringan dalam tubuh, pembuluh
ini terjalin antara arteriol dan venula dari sistem peredaran
darah di jaringan ikat lunak tubuh. Pengecualian adalah
sistem saraf pusat, sumsum tulang, tulang rawan, gigi,
epidermis dan kornea mata, yang tidak mengandung
pembuluh getah bening.
Kapiler limfatik juga berdiameter sedikit lebih
besar dari kapiler darah dan memiliki struktur satu arah
yang unik itu memungkinkan cairan interstitial mengalir
ke dalamnya tetapi tidak keluar. Kapiler limfatik dibentuk
oleh satu lapisan sel endotel setebal sel dan merupakan
ujung terbuka dari sistem, memungkinkan cairan
interstitial mengalir ke dalamnya melalui sel yang
tumpang tindih (lihat Gambar 2). Ketika tekanan
interstisial rendah, penutup endotel menutup untuk
mencegah aliran balik. Saat tekanan interstisial
meningkat, ruang antar sel terbuka, memungkinkan cairan
masuk. Masuknya cairan ke dalam kapiler limfatik juga
dimungkinkan oleh filamen kolagen yang berlabuh
kapiler ke struktur sekitarnya. Saat tekanan interstisial
meningkat, filamen menarik penutup sel endotel,
membukanya lebih jauh untuk memungkinkan masuknya
cairan dengan mudah. Ketika kelebihan cairan interstisial
itu menumpuk dan menyebabkan pembengkakan
jaringan, filamen penahan ditarik, membuat bukaan antar
66 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
sel semakin besar sehingga lebih banyak cairan dapat
mengalir ke kapiler limfatik.

Gambar 5. 2: Kapiler Limfatik (OpenStax Rice


University , 2016. Anatomy and Physiology Houston,
Texas, P 983)

Di usus kecil, kapiler limfatik yang disebut lakteal


membawa lipid makanan ke dalam pembuluh limfatik dan
akhirnya ke dalam darah. Lacteal vili menyerap produk
akhir pencernaan yang larut dalam lemak, seperti sebagai
asam lemak dan vitamin A, D, E, dan K bergabung dengan
lipid dan protein lain. Kehadiran lipid ini menyebabkan
getah bening mengalir dari usus kecil tampak putih krem
(seperti susu); getah bening tersebut disebut sebagai chyle
. Di tempat lain, getah bening berwarna kuning pucat
cairan. Chyle kemudian berjalan melalui sistem limfatik,
akhirnya memasuki hati dan kemudian aliran darah.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 67
b. Pembuluh Limfe Besar (Lymph Vessels )
Dinding pembuluh limfe besar memiliki ketebalan
yang hampir sama dengan vena kecil serta lapisan yang
sama tetapi batas antar lapisan tidak jelas. Pada tunika
intima terdapat sel endotel, serat elastis, serat kolagen tipis
dan membrana elastika interna. Tunika media terdiri dari
otot polos yang berjalan oblik dan sirkuler serta serat
elastis. Sedangkan pada tunika adventisia dapat terlihat
otot polos yang berjalan longitudinal dan oblik dan serat
kolagen. Pembuluh limfe memiliki katup atau valvula
yang berfungsi untuk mencegah aliran balik cairan limfe
Pembuluh limfatik dibagi menjadi dua kelompok
besar; pembuluh limfatik superfisial dan dalam. Pembuluh
superfisial terletak di lapisan subkutan kulit tempat
mereka mengumpulkan getah bening dari struktur
superfisial tubuh. Mereka cenderung mengikuti drainase
sistem vena dan pada akhirnya mengalir ke pembuluh
limfatik yang dalam. Pembuluh limfatik yang dalam
membawa getah bening dari organ dalam. Berbeda dengan
pembuluh superfisial, pembuluh dalam disertai dengan
arteri. Arteri ini bersandar ke dinding pembuluh limfatik
yang dalam, memberi tekanan padanya dan membantu
aliran getah bening.
Sepanjang jalan, pembuluh limfatik superfisial dan
dalam melewati kelenjar getah bening yang memantau isi
getah bening. Pembuluh limfatik yang membawa getah
bening menuju kelenjar getah bening dikenal sebagai
aferen, sedangkan pembuluh yang membawa getah bening
dari kelenjar getah bening disebut pembuluh limfatik
eferen. Pembuluh limfatik eferen keluar dari area tertentu
68 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
bagian tubuh, selanjutnya mereka bergabung membentuk
trunkus (batang) getah bening (trunkus limfatik). Trunkus
limfatik diberi nama sesuai dengan wilayah tubuh tempat
mereka mengalirkan getah bening. Ada empat pasang
Trunkus: lumbar, bronkomediastinal, subklavia dan
jugularis. Trunkus lumbar mengalirkan getah bening dari
tungkai bawah, dinding dan jeroan panggul, ginjal,
kelenjar adrenal, dan dinding perut. Trunkus usus
mengalirkan getah bening dari perut, usus, pankreas,
limpa, dan sebagian hati. Trunkus bronkomediastinal
mengalirkan getah bening dari dinding toraks, paru-paru,
dan jantung. Trunklus subklavia mengalirkan tungkai
atas. Trunkus Jugularis mengalirkan kepala dan leher.

Gambar 5.3: Rute Drainase limfe dari trunkus


limfatik menuju ductus Torasikus dan ductus limfatik
Kanan (Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson. 2014,
Principles of Anatomy and Physiology 14th Edition,
John Wiley & Sons, Inc. P 803)

Getah bening mengalir dari trunkus limfatik menuju


ke dua saluran utama (ductus), yaitu duktus toraksikus dan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 69
duktus limfatik kanan, kemudian mengalir ke darah vena.
Duktus toraksikus (limfatik kiri).
1) Pembuluh limfa kanan (duktus limfatikus dekster)
: Pembuluh limfa kanan terbentuk dari cairan limfa
yang berasal dari daerah kepala dan leher bagian kanan,
dada kanan, lengan kanan, jantung dan paru-paru yang
terkumpul dalam pembuluh limfa. Pembuluh limfa
kanan bermuara di pembuluh balik (vena) subklavia
kanan.
2) Pembuluh limfa kiri (duktus limfatikus toraksikus)
: Pembuluh limfa kiri disebut juga pembuluh dada,
panjang 38 – 45 cm. Pembuluh limfa kiri terbentuk
dari cairan limfa yang berasal dari kepala dan leher
bagian kiri dan dada kiri, lengan kiri, dan tubuh bagian
bawah. Pembuluh getah bening dari tubuh bagian
bawah bersatu di depan vertebra lumbal 2, membentuk
pembuluh disebut cisterna chyli, yang berlanjut ke atas
depan tulang belakang sebagai saluran toraks.
Pembuluh limfa ini bermuara di vena subklavia kiri.

c. Cairan Limfe (Getah Bening)


Semua jaringan dalam tubuh mengandung
banyak cairan jaringan yang berasal dari darah dan
seluruh kandungannya beserta hasil sekresi sel berupa
bahan-bahan yang telah dipergunakan dan akan
dibuang. Sekitar 21 liter cairan plasma keluar dari
kapiler dan masuk ke dalam jaringan. Untuk menjaga
komposisi dan volume cairan dalam jaringan dan
pembuluh darah, maka cairan jaringan tersebut akan
diabsorpsi kembali ke dalam pembuluh darah. Cairan
70 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
yang tidak terabsorpsi berjumlah sekitar 3 liter
perhari akan masuk ke dalam pembuluh limfatik dan
menjadi cairan limfe atau getah bening. Karena
sebagian besar protein plasma terlalu besar
meninggalkan pembuluh darah, cairan interstitial
hanya berisi sedikit jumlah protein. Protein yang
meninggalkan plasma darah tidak bisa kembali ke
darah melalui difusi karena gradien konsentrasi
(protein tingkat tinggi di dalam kapiler darah, tingkat
rendah di luar) menentang gerakan tersebut. Namun,
protein dapat bergerak dengan mudah melalui kapiler
limfatik yang lebih permeabel ke dalam getah bening.
Cairan limfe merupakan cairan yang jernih
kekuningan dengan komposisi menyerupai plasma
dan cairan interstisial. Tergantung di mana getah
bening diproduksi, komposisi getah bening dapat
bervariasi (misalnya getah bening yang diproduksi di
sistem pencernaan kaya akan lemak).
Aliran limfe sekitar 100 ml /jam melalui
ductus torasikus dan sekitar 20 ml/jam mengalir ke
dalam sirkulasi melalui saluran lain, sehingga
diperkirakan aliran limfe 120 ml/jam atau 2-3 liter per
hari. Cairan limfe juga mengandung banyak zat lain
termasuk ; 1) Protein, trigliserida, mineral, nutrien,
dan substansi lain, yang memberi nutrisi pada
jaringan, 2) Sel rusak, sel kanker, dan partikel asing
(seperti bakteri dan virus) yang mungkin masuk ke
dalam cairan jaringan yang akan di filtrasi dan
dihancurkan oleh limfonodus. Selain itu cairan limfe

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 71
juga mengandung limfosit yang beredar dalam sistem
limfatis.

d. Jaringan dan Organ Limfatik


Organ dan jaringan limfatik yang didistribusikan
diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan
fungsinya. Organ limfatik primer adalah area di mana sel
punca membelah dan menjadi imunokompeten, yaitu,
mampu meningkatkan respons imun. Organ limfatik
primer adalah sumsum tulang merah (dalam tulang pipih
dan epifisis tulang panjang orang dewasa) dan timus. Sel
induk berpotensi majemuk di sumsum tulang merah
menimbulkan matang, sel B imunokompeten dan sel pra-
T. Sel pra-T pada gilirannya bermigrasi ke timus, di
mana mereka menjadi imunokompeten sel T.
Organ dan jaringan limfatik sekunder adalah area
di mana sebagian besar respon imun terjadi. Mereka
termasuk kelenjar getah bening, itu limpa, dan nodul
limfatik (folikel). timus, kelenjar getah bening, dan
limpa dianggap organ karena masing-masing dikelilingi
oleh a kapsul jaringan ikat; kelenjar getah bening,
sebaliknya, tidak dianggap organ karena tidak memiliki
kapsul.
1) Sumsum Tulang Merah
Di dalam embrio, sel darah dibuat di kantung kuning
telur. Saat perkembangan berlanjut, fungsi ini diambil
alih oleh limpa, kelenjar getah bening, dan hati.
Belakangan, sumsum tulang mengambil alih sebagian
besar fungsi hematopoietik, meskipun pada tahap akhir
dari diferensiasi beberapa sel dapat terjadi di organ lain.
72 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Sumsum tulang merah adalah kumpulan sel yang
longgar di mana hematopoiesis terjadi, dan sumsum
tulang kuning adalah tempat penyimpanan energi, yang
sebagian besar terdiri dari sel-sel lemak. Sumsum tulang
merah merupakan jaringan penghasil limfosit B dan T.
Sel B mengalami hampir semua perkembangannya di
sumsum tulang merah, sedangkan sel T yang belum
matang disebut timosit, meninggalkan sumsum tulang
dan sebagian besar matang di kelenjar timus. Limfosit-
limfosit ini berperan penting untuk melawan penyakit
2) Kelenjar Timus
Timus memiliki fungsi spesifik, yaitu tempat
perkembangan limfosit yang dihasilkan dari sumsum
merah untuk menjadi limfosit T. Timus tidak berperan
dalam memerangi antigen secara langsung seperti pada
organorgan limfoid yang lain. Untuk memberikan
kekebalan pada limfosit T ini, maka timus
mensekresikan hormon tipopoietin.
Timus terletak tepat mediastinum antara sternum
dan aorta. (Gambar 4). Satu pembungkus lapisan
jaringan ikat menyatukan kedua lobus, tetapi kapsul
jaringan ikat memisahkan keduanya. Ekstensi dari
kapsul, yang disebut trabekula, menembus ke dalam dan
membagi setiap lobus menjadi lobulus. Setiap lobulus
timus terdiri dari korteks luar yang sangat gelap dan
medula sentral dengan pewarnaan lebih terang. Korteks
terdiri dari sejumlah besar sel T dan sel dendritik yang
tersebar, sel epitel, dan makrofag. Sel T imatur (sel pra-
T) bermigrasi dari sumsum tulang merah ke korteks
timus, di mana mereka berkembang biak dan mulai
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 73
matang. Sel T yang sedang berkembang disebut timosit.
Timosit kemudian pindah ke medula timus, di mana
terjadi diferensiasi lebih lanju. Sel dendritik yang
berasal dari monosit (mereka memiliki proyeksi
bercabang yang panjang yang menyerupai dendrit
neuron), membantu proses pematangan. Setiap sel epitel
khusus di korteks memiliki beberapa proses panjang
yang mengelilingi dan berfungsi sebagai kerangka kerja
untuk 50 sel T. Ini sel epitel membantu "mendidik" sel
pra-T dalam proses yang dikenal sebagai seleksi positif.
Selain itu, mereka menghasilkan hormon timus yang
dianggap membantu pematangan T sel. Hanya sekitar
2% sel T yang berkembang bertahan hidup di korteks.

Gambar 5.4: Lokasi, Struktur dan Histologi Timus


((OpenStax Rice University , 2016. Anatomy and
Physiology Houston, Texas, P 987)

74 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Medula terdiri dari sel T yang lebih matang dan
tersebar luas, sel epitel, sel dendritik, dan makrofag. sel
T itu meninggalkan timus melalui migrasi darah ke
kelenjar getah bening, limpa, dan jaringan limfatik
lainnya, di mana mereka menyatu sebagai bagian organ
dan jaringan ini. Karena kandungan jaringan
limfoidnya yang tinggi dan kekayaannya suplai darah,
timus memiliki penampilan kemerahan. Namun,
seiring bertambahnya usia, infiltrasi lemak
menggantikan jaringan limfoid dan timus lebih
berwarna lemak kekuningan yang memberikan kesan
palsu tentang ukuran yang mengecil.
Pada bayi, timus memiliki massa sekitar 70 g (2,3
oz). Setelah pubertas, adiposa dan jaringan ikat areolar
mulai menggantikan jaringan timus. Saat seseorang
mencapai kedewasaan, bagian fungsional dari kelenjar
berkurang secara signifikan, dan pada usia tua porsi
fungsional mungkin hanya berbobot 3 g (0,1 oz).
Sebelum timus mengalami atrofi, itu mengisi organ dan
jaringan limfatik sekunder dengan sel T. Namun,
beberapa sel T terus berkembang biak di timus
sepanjang hidup, tapi menurun seiring bertambahnya
usia. Penurunan timus dianggap sebagai alasan
produksi sel-T menurun seiring bertambahnya usia.
Hormon timus diperlukan untuk apa dapat disebut
"kompetensi imunologis." Menjadi kompeten berarti
mampu melakukan sesuatu dengan baik. Hormon
thymus memungkinkan sel T untuk berpartisipasi
dalam pengenalan antigen asing dan untuk
menyediakan kekebalan. Kemampuan sel T ini
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 75
terbentuk awal kehidupan dan kemudian diabadikan
oleh limfosit sendiri.
Sistem kekebalan bayi baru lahir adalah belum
sepenuhnya matang, dan bayi lebih rentan infeksi
tertentu daripada anak-anak yang lebih tua dan orang
dewasa. Biasanya pada usia 2 tahun, sistem kekebalan
menjadi matang dan berfungsi penuh. Ini sebabnya
beberapa vaksin, seperti vaksin campak, tidak
direkomendasikan untuk bayi berusia kurang dari 15
hingga 18 tahun usia bulan. Sistem kekebalan mereka
belum matang cukup untuk menanggapi vaksin dengan
kuat, dan perlindungan yang diberikan oleh vaksin
mungkin tidak lengkap.

3) Nodus Limfe

Kelenjar getah bening terletak di sepanjang


pembuluh limfatik. Kelenjar getah bening dan nodul
adalah massa jaringan limfatik. Manusia memiliki
sekitar 500-600 kelenjar getah bening dalam
tubuhnya (lihat gambar 5). Nodus biasanya lebih
besar, 10 hingga 20 mm panjang, dan ditutupi oleh
kapsul jaringan ikat padat yang meluas ke nodulus.
Ekstensi kapsular, disebut trabekula, membagi nodus
menjadi kompartemen-kompartemen, menyediakan
dukungan, dan menyediakan rute untuk pembuluh
darah ke interior sebuah simpul. Bagian dalam kapsul
adalah jaringan pendukung serat retikuler dan
fibroblas. Kapsul, trabekula, serat retikuler, dan
fibroblas merupakan stroma (kerangka pendukung
76 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dari jaringan ikat) dari kelenjar getah bening.
Parenkim (bagian yang berfungsi) dari kelenjar getah
bening dibagi menjadi korteks superfisial dan medula
dalam. Korteks terdiri dari korteks luar dan korteks
dalam. Pada korteks luar adalah kumpulan sel B
berbentuk telur yang disebut nodul limfatik (folikel).
Nodus limfatik yang terdiri dari terutama sel B
disebut nodul limfatik primer.
Sebagian besar kelenjar limfatik di korteks luar
adalah nodul limfatik sekunder, yang terbentuk
sebagai respons terhadap antigen (zat asing) dan
merupakan situs sel plasma dan pembentukan sel
memori B. Setelah sel B di kelenjar limfatik primer
mengenali antigen, nodul limfatik primer
berkembang menjadi nodus limfatik sekunder.

Gambar 5.5: Sistem pembuluh limfatik dan


kelompok nudus limfatik (Valerie C. Scanlon, Tina,
2007,Essential Of Anatomy and Physiology, F. A. Davis
Company, Philadelphia, Page 326)

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 77
Korteks bagian dalam tidak mengandung kelenjar
getah bening. KOrtek bagian dalam terutama terdiri dari
sel T dan sel dendritik yang memasuki getah bening
simpul dari jaringan lain. Sel dendritik menyajikan
antigen untuk sel T, menyebabkan proliferasi mereka. Sel
T yang baru terbentuk kemudian bermigrasi dari kelenjar
getah bening ke area tubuh di mana ada aktivitas antigenik
Kelenjar getah bening ditemukan berkelompok di
sepanjang jalur pembuluh getah bening, dan getah bening
mengalir melaluinya node dalam perjalanan ke vena
subklavia. Getah bening masuk sebuah simpul melalui
beberapa pembuluh getah bening aferen dan keluar
melalui satu atau dua pembuluh eferen. Saat getah bening
melewati kelenjar getah bening, bakteri dan bahan asing
lainnya difagositosis oleh makrofag yang diam
(stasioner). Sel plasma berkembang dari limfosit terkena
patogen dalam getah bening dan menghasilkan antibodi.
Antibodi ini pada akhirnya akan mencapai darah dan
beredar ke seluruh tubuh.

78 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 5.6: Sistem pembuluh limfatik dan
kelompok nudus limfatik (Valerie C. Scanlon, Tina,
2007,Essential Of Anatomy and Physiology, F. A. Davis
Company, Philadelphia, Page 325)

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 79
Nodus mengandung limfosit, yang masuk dari
aliran darah melalui pembuluh khusus yang disebut
venula endotel tinggi. Sel T berkumpul di korteks
bagian dalam (paracortex), dan sel B diatur di pusat
germinal di korteks luar. Getah bening, bersama
dengan antigen, mengalir ke nodus melalui pembuluh
limfatik aferen (masuk) dan meresap melalui nodus
limfa, di mana ia bersentuhan dengan dan
mengaktifkan limfosit. Limfosit aktif, dibawa dalam
getah bening, keluar dari nodus melalui pembuluh
eferen (keluar) dan akhirnya memasuki aliran darah,
yang mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Terdiri
dari vasa aferen dan vasa eferen.
Fungsi dari limfonodus, adalah : menyaring
cairan limfe, membentuk antibodi , membentuk
limfosit dan membatasi penyebaran sel tumor

4) Nodul Limfatik
Nodul limfatik (folikel) adalah massa jaringan
limfatik berbentuk telur yang tidak dikelilingi oleh
kapsul. Karena mereka tersebar di seluruh lamina
propria (jaringan ikat). selaput lendir yang melapisi
saluran pencernaan, saluran kemih, dan saluran
reproduksi serta saluran pernapasan, nodul limfatik di
dalamnya area ini juga disebut sebagai limfatik terkait
mukosa jaringan (MALT). Meskipun banyak nodus
limfatik berukuran kecil dan soliter, beberapa terjadi
dalam beberapa agregasi besar di bagian tertentu
tubuh. Di antaranya adalah Tonsil di daerah faring
dan kumpulan folikel limfatik (plak Peyer) di ileum
80 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
usus halus. agregat nodul limfatik juga terjadi pada
apendiks. Biasanya ada lima tonsil, yang membentuk
cincin di persimpangan rongga mulut dan orofaring
dan di persimpangan rongga hidung dan nasofaring.
Tonsil diposisikan secara strategis untuk
berpartisipasi dalam respons kekebalan terhadap zat
asing yang dihirup atau disuntikkan. Tonsil faring
tunggal atau adenoid, tertanam di dinding posterior
nasofaring. Keduanya Tonsil Palatine terletak di
daerah posterior dari rongga mulut, satu di kedua sisi;.
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil
palatine dan adenoid dan dapat dilakukan jika tonsil
meradang kronis dan bengkak, seperti yang mungkin
terjadi pada anak-anak

5) Limpa (Spleen)
Selain kelenjar getah bening, limpa adalah organ
limfoid sekunder utama. Limpa (Lien) merupakan
jaringan limfatik yang terbesar. Limpa terletak di
kuadran hipokondriakal kiri rongga perut atas, tepat
di bawah diafragma, di belakang perut. Panjangnya
sekitar 12 cm (5 inci) dan melekat pada batas lateral
lambung melalui ligamen gastrosplenic. Limpa
adalah organ yang rapuh tanpa kapsul yang kuat, dan
berwarna merah tua karena vaskularisasinya yang
luas. Tulang rusuk bagian bawah melindungi limpa
dari trauma fisik. Permukaan atas limpa halus dan
cembung dan sesuai dengan permukaan cekung
diafragma. Organ tetangga membuat lekukan di
permukaan visceral limpa — impresi lambung
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 81
(lambung), impresi ginjal (ginjal kiri), dan impresi
kolik (fleksi kolik kiri usus besar). Limpa memiliki
hilus yang dilewati arteri limpa, vena limpa, dan
pembuluh limfatik eferen. Suatu kapsul jaringan ikat
padat mengelilingi limpa dan ditutupi oleh membran
serosa, peritoneum visceral. Trabekula meluas ke
dalam dari kapsul. Kapsul ditambah trabekula, serat
retikuler, dan fibroblas membentuk stroma limpa;
parenkim limpa terdiri dari dua yang berbeda jenis
jaringan yang disebut pulpa putih dan pulpa merah.
Pulpa putih adalah jaringan limfatik, sebagian besar
terdiri dari limfosit dan makrofag diatur di sekitar
cabang arteri limpa disebut arteri sentral.

Gambar 5.7: Struktur Limpa (Gerard J. Tortora,


Bryan H. Derrickson. 2014, Principles of Anatomy and
Physiology 14th Edition, John Wiley & Sons, Inc. P
809)

Pulpa merah terdiri dari berisi darah sinus vena


dan tali jaringan limpa disebut tali limpa atau kabel
Billroth. Tali limpa terdiri dari sel darah merah,
82 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
makrofag, limfosit, sel plasma, dan granulosit. Vena
adalah terkait erat dengan pulpa merah. Darah
mengalir ke limpa melalui arteri limpa masuk arteri
sentral pulpa putih. Di dalam pulpa putih, B sel dan
sel T menjalankan fungsi kekebalan, mirip dengan
getah bening kelenjar getah bening, sedangkan
makrofag limpa menghancurkan patogen yang
ditularkan melalui darah oleh fagositosis. Di dalam
pulp merah, limpa melakukan tiga fungsi-fungsi yang
berkaitan dengan sel darah: (1) pembuangan sel darah
dan trombosit yang pecah, aus, atau cacat oleh
makrofag; (2) penyimpanan trombosit, hingga
sepertiga dari suplai tubuh; dan (3) produksi sel darah
(hemopoesis) selama kehidupan janin.
Pada janin, limpa menghasilkan sel darah merah,
fungsi yang diasumsikan oleh sumsum tulang merah
setelah lahir. Setelah lahir, limpa sangat mirip dengan
getah bening yang besar node, kecuali bahwa
fungsinya mempengaruhi darah itu mengalir melalui
itu daripada getah bening.
Fungsi limpa setelah lahir adalah:
1) Mengandung sel plasma yang menghasilkan
antibodi terhadap antigen asing.
2) Mengandung makrofag tetap (sel RE) yang
memfagosit patogen atau bahan asing lainnya di
dalam darah. Makrofag limpa juga memfagosit sel
darah merah tua dan membentuk bilirubin. Oleh
cara sirkulasi portal, bilirubin dikirim ke hati untuk
diekskresikan dalam empedu.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 83
3) Menyimpan trombosit dan menghancurkannya
saat masih ada tidak berguna lagi. Limpa tidak
dianggap sebagai organ vital, karena organ lain
mengkompensasi fungsinya jika limpa harus
diangkat (splenektomi). Hati dan sumsum tulang
merah akan mengeluarkan sel darah merah tua
dan trombosit dari peredaran. Limpa
menghilangkan partikel-partikel asing, agen
mikrobia, dan sel-sel darah tua atau degeneratif
dari sirkulasi.
4) Banyak kelenjar getah bening dan nodul akan
memfagosit patogen (seperti halnya hati) dan
memiliki limfosit untuk diaktifkan dan sel
plasma untuk diproduksi antibodi. Meskipun
redundansi ini, seseorang tanpa limpa agak lebih
rentan terhadap infeksi bakteri tertentu seperti
pneumonia dan meningitis.
5) Limpa juga merupakan gudang penyimpanan
keping-keping darah. Limpa dapat menyimpan
sampai 1/3 jumlah keping darah yang
bersirkulasi, splenektomi dapat berakibat
trombositosis sedang, pembesaran limpa dapat
berakibat trombositopenia. Aliran darah yang
lambat dalam limpa memberi kesempatan
dihilangkannya eritrosit tua dan cacat. Sel-sel
yang tak mampu mengadakan deformasi sewaktu
melewati limpa (misalnya sperosit pada anemia
hemolitik autoimun) akan difagositosis.
Demikian pula, limpa mampu menghilangkan

84 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
benda-benda H (Heinz bodies) dan parasit dari
permukaan eritrosit
6) Limpa adalah organ hematopoetik selama
kehidupan fetal dan neonatal. Meskipun tidak
merupakan fungsi utama pada makhluk dewasa,
namun dia tetap bertahan pada umur dewasa.
Limpa juga merupakan tempat pendewasaan
eritrosit. Limpa punya fungsi imunitas melalui
sel B dan sel T
6) Kelainan Sistem Limfatik
Sistem limfatik mungkin tidak menjalankan fungsinya
secara memadai karena:
a) Penyumbatan (obstruksi): Obstruksi pada sistem
limfatik menyebabkan penumpukan cairan
(limfedema). Obstruksi dapat terjadi akibat jaringan
parut yang berkembang ketika pembuluh atau nodus
limfa rusak atau diangkat selama pembedahan, terapi
radiasi, cedera, atau infeksi cacing kremi (filariasis)
yang menyumbat saluran limfatik negara tropis).
b) Infeksi: Infeksi dapat menyebabkan pembengkakan
kelenjar getah bening karena kelenjar getah bening
meradang. Kadang-kadang kelenjar getah bening itu
sendiri dapat terinfeksi (limfadenitis) oleh organisme
yang menyebar melalui sistem limfatik dari tempat
asal infeksi.. Limfadenitis adalah istilah yang
digunakan saat pembengkakan kelenjar getah bening
terasa nyeri atau memiliki tanda peradangan
(misalnya kemerahan atau nyeri tekan), biasanya
karena infeksi virus atau bakteri.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 85
c) Filariasis limfatik (FL) : merupakan salah satu
penyakit yang paling melemahkan dan merusak
penampilan seseorang. Infeksinya disebabkan oleh
tiga cacing helmintik – Wucheraria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori, dan ditularkan oleh
nyamuk yang termasuk dalam 4 kelompok vector –
Culex, Anopheles, Aedine dan Mansonia. Cacing –
cacing tersebut menghuni saluran limfatik (getah
bening) dan menyebabkan terjadinya penyumbatan
rongga limfatik, yang pada fase selanjutnya
menyebabkan pembengkakan (lymphoedema) dan
elephantiasis.
d) Kanker: Kanker sel darah putih seperti limfoma dapat
berkembang di kelenjar getah bening, dan tumor di
organ lain dapat menyebar (bermetastasis) ke kelenjar
getah bening di dekat tumor. Kanker di kelenjar getah
bening dapat mengganggu aliran cairan limfatik
melalui kelenjar getah bening. Kanker di daerah lain
dapat menyumbat saluran limfatik.
Limfangiosarcoma adalah tumor yang sangat langka
yang dapat berkembang di sel-sel sistem limfatik.

C. RANGKUMAN

1. Sistem limfatik melakukan respons imun dan terdiri dari


getah bening, pembuluh limfatik, dan struktur dan organ
yang mengandung jaringan limfatik (jaringan retikuler
khusus yang mengandung banyak limfosit). Sistem
limfatik mengalirkan cairan interstisial, mengangkut
86 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
lemak makanan, dan melindungi dari invasi melalui
respon imun.
2. Pembuluh limfatik dimulai sebagai kapiler limfatik ujung
tertutup di ruang jaringan antar sel. Cairan interstisiil
mengalir ke kapiler limfatik, sehingga membentuk getah
bening. Kapiler limfatik bergabung menjadi bentuk yang
lebih besar pembuluh, disebut pembuluh limfatik, yang
membawa getah bening masuk dan keluar dari kelenjar
getah bening.
3. Rute aliran getah bening adalah dari kapiler limfatik ke
pembuluh limfatik ke trunkus getah bening ke ductus
toraksikus (saluran limfatik kiri) dan saluran limfatik
kanan ke vena subklavia. Getah bening mengalir karena
kontraksi otot rangka dan gerakan pernafasan, katup
dalam pembuluh limfatik juga membantu aliran getah
bening.
4. Organ limfatik primer adalah sumsum tulang merah dan
timus. Organ limfatik sekunder adalah getah bening,
limpa, dan kelenjar getah bening.
5. Timus terletak di antara tulang dada dan pembuluh darah
besar di atas jantung. Ini adalah tempat pematangan.sel T
6. Kelenjar getah bening berkapsul, struktur berbentuk telur
yang terletak di sepanjang pembuluh limfatik. Getah
bening masuk kelenjar getah bening melalui pembuluh
limfatik aferen, disaring, dan keluar melalui pembuluh
limfatik eferen. Kelenjar getah bening adalah tempat
proliferasi sel B dan sel T.
7. Limpa adalah jaringan limfatik tunggal terbesar di dalam
tubuh. Di dalam limpa, sel B dan T sel menjalankan
fungsi kekebalan dan makrofag menghancurkan patogen
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 87
yang ditularkan melalui darah dan menjadi merah aus sel
darah secara fagositosis.
8. Nodul limfatik tersebar di seluruh mukosa
gastrointestinal, pernapasan, kemih, dan saluran
reproduksi. Jaringan limfatik ini disebut jaringan limfatik
terkait mukosa (MALT).

D. TUGAS
Jawablah latihan berikut dengan menuliskan jawabannya di
lembar yang telah disediakan.

Setelah Anda menyelesaikan semua latihan ini, buka "kunci


untuk Latihan" di akhir pelajaran dan periksa jawaban Anda.
Untuk setiap latihan yang dijawab salah, bacalah kembali materi
yang dirujuk dengan jawaban.

Manakah dari berikut ini yang tidak terkait langsung dengan


jalur limfatik?
A. Trunkus limfatik
B. Duktus Limfatikus
C. Duktus Torasikus
D. Arteri Karotis
E. Vena subclavikula
ANSWER: D

Timus bertanggung jawab untuk mengeluarkan _____ dari


sel epitel.
A. Timosin
B. Hormon pertumbuhan
C. Makrofag
88 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
D. Sel plasma
E. Erytrosit
ANSWER: A

Pernyaatan yang benar mengenai pembuluh limfe


adalah
A. Struktur pembuluh limfe serupa dengan arteri kecil, tetapi
memiliki lebih banyak katup
B. Struktur pembuluh limfe serupa dengan vena kecil, tetapi
memiliki lebih sedikit katup katup
C. Struktur pembuluh limfe serupa dengan arteri kecil, tetapi
memiliki lebih sedikit katup
D. Struktur pembuluh limfe serupa dengan vena kecil, tetapi
memiliki lebih banyak katup
E. Struktur pembuluh limfe serupa dengan arteri kecil, tetapi
memiliki lebih banyak katup
ANSWER: D

Pembuluh limfa kanan terbentuk dari cairan limfa yang


berasal dari
A. Daerah kepala dan leher bagian kanan, dada kanan
B. Daerah kepala dan leher bagian kanan, dada kanan, lengan
kanan, jantung dan paru-paru yang terkumpul dalam pembuluh
limfa
C. Kepala dan leher bagian kanan dan dada kiri, lengan kiri, dan
tubuh bagian bawah
D. Kepala dan leher bagian kiri dan dada kiri
E. Kepala dan leher bagian kiri dan dada kiri, lengan kiri, dan
tubuh bagian bawah
ANSWER: B

Berikut tidak termasuk Organ limfoid adalah …

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 89
A. Sumsum merah
B. Nodus limfa
C. Limpa
D. Timus
E. Parotis
ANSWER: E

Sumsum merah mencakup jaringan yang menghasilkan…


A. Limfosit
B. Erytrosit
C. Leukosit
D. Monosit
E. Erytropoetin
ANSWER: A

Tempat limfosit berkembang menjadi sel T adalah


A. Sumsum merah
B. Nodus limfa
C. Limpa
D. Timus
E. Parotis
ANSWER: D

Salah satu fungsi sistem limfatik adalah mengembalikan


cairan interstitial yang diawali dengan proses …
A. Difusi dari ruang antar jaringan tubuh ke pembuluh darah
B. Osmosis dari pembuluh darah ke pembuluh limfa
C. Difusi dari ruang antar jaringan tubuh ke pembuluh limfa
D. Osmosis dari jaringan tubuh ke pembuluh darah
E. Osmosis dari kapiler limfatik ke pembuluh limfa
ANSWER: C

90 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
REFERENSI:

1. Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson. 2014,


Principles of Anatomy and Physiology 14th Edition,
John Wiley & Sons, Inc. P 799-831
2. Kenneth Murphy , Casey Weaver, 2017. Janeway’s
Immunobiology, 2017, Garland Science, Taylor &
Francis Group, LLC, United States of America Page
3. KenHub Lymphatic system Available
from:https:/ /www.kenhub.com/en/library/anatomy/l
ymphatic-system (lastaccessed 27.7.2020)
4. Lymphatic system. Available from
www.encyclopaediabritannica.com , accessed on
Desember 08 , 2022
5. Marianne Belleza, 2021. Lymphatic System
Anatomy and Physiology.
https://nurseslabs.com/lymphatic-system-anatomy-
physiology/ accessed on Desember 12 , 2022
6. OpenStax Rice University , 2016. Anatomy and
Physiology Houston, Texas, P 979 -1035
7. Delves Peter J, Ivan M. Roitt, et all, 2017, Roitt’s
Essential Immunology, Thirteenth edition,
8. Valerie C. Scanlon, Tina, 2007,Essential Of Anatomy
and Physiology, F. A. Davis Company, Philadelphia,
Page 319 – 337

Glosarium :

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 91
Afferent lymphatic vessels : mengarah ke kelenjar
getah bening
Cisterna chyli : pembuluh seperti kantong yang
membentuk awal duktus toraksikus
Efferent lymphatic vessels: mengarah keluar dari
kelenjar getah bening
Lymph : cairan yang terkandung dalam sistem limfatik
Lymph node: salah satu organ berbentuk kacang yang
ditemukan berhubungan dengan pembuluh limfatik
Lymphatic capillaries: pembuluh limfatik terkecil
dan asal aliran getah bening
lymphatic system: jaringan pembuluh limfatik,
kelenjar getah bening, dan saluran yang membawa getah
bening dari jaringan dan kembali ke aliran darah
Lymphatic trunks: limfatik besar yang
mengumpulkan getah bening dari pembuluh limfatik yang
lebih kecil dan bermuara ke dalam darah melalui saluran
limfatik
Primary lymphoid organ: tempat limfosit matang dan
berkembang biak; sumsum tulang merah dan kelenjar timus
Pecondary lymphoid organs: tempat di mana limfosit
meningkatkan respons imun adaptif; contohnya termasuk
kelenjar getah bening dan limpa
Thymus: organ limfoid primer; tempat limfosit T
berkembang biak dan matang

92 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB VI SITOKIN
RINI AMBARWATI.S.Kep.Ns.M.Si

A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang sitokin dan
peranannya dalam respon imun non spesifik dan spesifik

B. Tujuan pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan sitokin.
2. Mahasiswa mampu menyebutkan macam-macam
sitokin.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan peran sitokin
dalam proses peradangan.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan peran sitokin
dalam respon imun spesifik.

C. Materi

1. Pendahuluan
Sitokin adalah nama yang umum, berasal dari
dua kata dari bahasa Yunani, yaitu “cyto’ yang
berarti sel dan “kinos” yang berarti pergerakan.
Dalam hal ini sitokin memang beperan dalam
pergerakan sel-sel imun menuju ke tempat
infeksi.Sitokin merupakan protein yang dihasilkan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 93
oleh sel dan berfungsi terhadap sel itu sendiri
maupun sel-sel lain di sekitarnya (Gambar
18).Sitokin ini berperan dalam aktivasi sel-sel
imun (baik non spesifik maupun spesifik),
mengatur hematopoiesis maupun membantu
terjadinya peradangan (inflamasi).

Sitokin memiliki beberapa nama lain yang


dihubungkan dengan jenis sel penghasil, sel target dan
cara kerja sitokin tersebut. Monokin adalah sel yang
dihasilkan oleh makrofag, limfokin adalah sitokin yang
dihasilkan oleh limfosit, interleukin adalah sitokin
yang dihasilkan oleh dan berfungsi untuk sel leukosit,
kemokin adalah sitokin yang berfungsi untuk
menstimulasi pergerakan sel-sel leukosit ke tempat
infeksi.

Gambar 6.1. Sitokin


2. Sifat Umum Sitokin
Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak
langsung. Sitokin yang berefek
Langsung :
a. Lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel
(pleiptropi)

94 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
b. Autoregulasi (fungsi autokrin)
c. Terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi
parakin)

Tidak langsung :
a. Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin
lain atau bekerja sama dengan sitokin lain
dalam merangsang sel (sinergisme)
b. Mencegah ekspresi reseptor atau produksi
sitokin (antagonisme)

3. Ciri-ciri Sitokin :
a. Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai
respons terhadap rangsang mikroba dan antigen
lainnya dan antigen lainnya dan berperan sebagai
mediator pada reaksi imun dan inflamasi.
b. Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar,
tidak disimpan sebagai molekul preformed.
Kerjanya sering pleiotropik (satu sitokin bekerja
terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan
berbagai efek) dan redundan (berbagai sitokin
menunjukkan efek yang sama). Oleh karena itu,
efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan
hasil nyata karena ada kompensasi dari sitokin yang
lain.
c. Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan
efek sitokin yang lain.
d. Efek sitokin dapat lokal atau sistemik.
e. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin atau
respons sel terhadap sitokin
f. Efek sitokin terjadi melalui ikatan dengan
reseptornya pada membran sel sasaran

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 95
g. Respons selular terhadap kebanyakan sitokin terdiri
atas perubahan ekpresi gen terhadap sel sasaran
yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang
proliferasi sel sasaran.

Sitokin merupakan protein pembawa pesan


kimiawi, atau perantara dalam komunikasi antarsel yang
sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (10-
10
-10-15 mol/l dapat merangsang sel sasaran). Reseptor
yang diekspresikan dan afinitasnya merupakan faktor
kunci respons selular.

4. Fungsi Sitokin
Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik
dan spesifik dan mengawali, mempengaruhi dan
meningkatkan respons imun nonspesifik. Pada imunitas
nonspesifik, sitokin diproduksi makrofag dan sel NK
(natural killer), berperan pada inflamasi dini,
merangsang poliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel
efektor khusus seperti makrofag. Pada imunitas spesifik
sitokin yang diproduksi sel T mengaktifkan sel-sel imun
spesifik.
5. Mekanisme Kerja Sitokin
Terdapat 3 cara kerja sitokin, yaitu
autokrin, parakrin dan endokrin.
a. Autokrin
Sitokin yang dihasilkan akan bekerja pada sel yang
memproduksinya

96 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 6.2.

b. Parakrin
Sitokin yang berfungsi pada sel sel –sel yang
terdapat disekitarnya

Gambar 6.3.

c. Endokrin
Sitokin yang dihasilkan akan berfungsi pada sel sel
yang letaknya jauh dari sel penghasil sitokin, di
sebar melalui darah contohnya : hormon

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 97
Gambar 6.4.

6. Kemampuan Kerja Sitokin


Terdapat beberapa kemampuan kerja sitokin yaitu
pleiotropisme, redundansi, sinergi dan antagonism.
Pleiotropisme adalah kemampuan satu sitokin untuk
bekerja pada beberapa jenis sel target. Redundansi
adalah kemampuan beberapa sitokin yang dapat
menghasilkan respon yang sama. Sinergi merupakan cara
kerja beberapa sitokin yang saling bekerja sama untuk
menghasilkan satu jenis respon. Sedangkan antagonism
adalah kemampuan satu jenis sitokin yang dapat
menghambat sitokin lain.
Karakteristik sitokin juga cukup khas, diantaranya
: (1) akan diproduksi oleh-sel yang teraktivasi karena
mengenal patogen, (2) sitokin yang diproduksi kemudian
akan berikatan dengan reseptor yang ada di permukaan
sel target, (3) ekspresi reseptor sitokin ini akan diatur
oleh sinyal eksternal, (4) sitokin yang sudah mencapai
sel target dapat mengubah ekspresi gen sel target,
sehingga akan terjadi perubahan sifat dan perbanyakan
sel target, (5) produksi sitokin juga akan diatur sehingga
tidak terlalu banyak pada tubuh (feedback mechanism).
98 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 6. 5.

7. Penggolongan Sitokin.
sitokin ini dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan berdasarkan fungsinya. Sitokin digolongkan
menjadi : Sitokin yang berperan dalam pengaturan
respon imun non spesifik; Sitokin yang berperan
dalam pengaturan respon imun spesifik; dan Sitokin
yang berperan dalam hematopoiesis.

a. Peran Sitokin dalam Imunitas nonspesifik


Respoms imun nonspesifik dini yang penting
terhadap virus dan bakteri berupa sekresi sitokin yang
diperlukan untuk fungsi banyak sel efektor. Interaksi
antigen dan makrofag dan yang menimbulkan aktivasi
Th menimbulkan pelepasan sejumlah sitokin dan
menimbulkan jaring interaksi kompleks dalam
respons imun.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 99
SITOKIN Sumber Sasaran
Utama Utama dan Efek
Biologik
IL-1 Makrofag, Endotel : aktivasi
endotel, (inflamasi,
beberapa sel koagulasi)
epitel Hipotalamus:
panas
Hati : APP
IL-6 Makrofag, sel Hati : sintesis
endotel, sel T APP
Sel B : proliferasi
sel plasma
IL-10 Makrofag, Sel T Makrofag, sel
terutama Th2 dendritik :
mencegah
produksi IL-21
dan ekspresi
kostimulator dan
MHC-II
IL-12 Makrofag, sel Sel T:
dendritik diferensiasi Th1
Sel NK dan sel T :
sintesis IFN-γ,
meningkatkan
aktivitas sitolitik
IL-15 Makrofag, sel Sel NK :
lain proliferasi
Sel T : proliferasi
(sel memori
+
CD8 )
100 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
IL-18 Makrofag Sel NK dan sel T :
sintesis IFN-γ
IFN-α, IFN-β IFN-α : makrofag Semua sel :
IFN-β : fibroblas antivirus,
peningkatan
ekspresi MHC-I
Sel NK : aktivasi
IFN-γ Th1 Aktivasi sel NK
dan makrofag,
induksi MHC II
Kemokin Makrofag, sel Leukosit :
endotel, sel T, kemotaksis,
fibroblas, aktivasi, migrasi
trombosit ke jaringan
TNF Makrofag, sel T Sel endotel :
aktivasi
(inflamasi,
koagulasi)
Neutrofil :
aktivasi
Hipotalamus :
panas
Hati : sintesis
APP
Otot, lemak :
katabolisme
(kaheksia)
Banyak jenis sel :
apoptosis

1) IL-1

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 101
Fungsi utama IL-1 adalah sama dengan TNF,
yaiu mediator inflamasi yang merupakan respons
terhadap infeksi dan rangsangan lain. Bersama TNF
berperan pada imunitas nonspesifik. Sumber utama
IL-1 juga sama dengan TNF yaitu fagosit
mononuklear yang diaktifkan.

2) Il-6
IL-6 berfungsi dalam imunitas nonspesifik,
diproduksi fagosit mononuklear, sel endotel
vaskular, fibroblas dan sel lain sebagai respons
terhadap mikroba dan sitokin lain. Dalam imunitas
nonspesifik, IL-6 merangsang hepatosit untuk
memproduksi APP dan bersama CSF merangsang
progenitor di sumsum tulang untuk memproduksi
neutrofil. Dalam imunitas spesifik, IL-6 merangsang
pertumbuhan dan diferensiasi sel B menjadi sel mast
yang memproduksi antibodi.

3) IL-10
IL-10 merupakan inhibitor makrofag dan sel
dendritik yang berperan dalam mengontrol reaksi
imun nonspesifik dan imun selular. IL-10 diproduksi
terutama oleh makrofag yang diaktifkan. IL-10
mencegah produksi IL-12 oleh makrofag dan sel
dendritik yang diaktifkan. IL-10 mencegah ekspresi
kostimulatori molekul MHC-II pada makrofag dan sel
dendritik.

4) IL-12
IL-12 merupakan mediator utama imunitas
nonspesifik dini terhadap mikroba intraselular dan

102 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
merupakan induktor kunci dalam imunitas selular
spesifik terhadap mikroba. Sumber utama IL-12
adalah fagosit mono nuklear dan sel dendritik yang
diaktifkan.

5) IL-15
IL-15 diproduksi fagosit mononuklear dan
mungkin jenis sel lain sebagai respons terhadap
infeksi virus, LPS dan sinyal lain yang memacu
imunitas nonspesifik. IL-15 merupakan faktor
pertumbuhan dan faktor hidup terutama untuk sel
CD8+ yang hidup lama.

6) IL-18
IL-18 memiliki stuktur yang homolog dengan
IL-1, namun mempunyai efek yang berlainan. IL-18
diproduksi makrofag sebagai respons terhadap LPS
dan produk mikroba lain, merangsang sel NK dan sel
T untuk memproduksi IFN-γ. Jadi IL-18 adalah
induktor imunitas selular bersama IL-21.

7) IL-19, IL-20, IL-22, IL-23, IL-24


Beberapa sitokin lain telah dapat
diidentifikasi dan diketahui sebagai homolog dengan
IL-10. Diduga sitokin-sitokin ini berperan pada
inflamasi kulit. Fungsi IL-19 belum diketahui secara
jelas. IL-21 homolog dengan IL-15, merangsang
proliferasi sel NK. IL-23 serupa dengan IL-12, dapat
merangsang respons imun selular.

8) IFN tipe I

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 103
IFN tipe I (IFN-α dan IFN-β) berperan dalam
imunitas nonspesifik dini pada infeksi virus. Nama
interferon berasal dari kemampuannya dalam
intervensi infeksi virus. Efek IFN tipe I adalh proteksi
terhadap infeksi virus dan meningkatkan imunitas
selular terhadap mikroba intraselular. IFN tipe I
mencegah replikasi virus, meningkatkan ekspresi
molekul MHC-I, merangsang perkembangan Th1,
mencegah proliferasi banyak jenis sel antara lain
limfosit in vitro.
IFN tipe I diproduksi oleh sel terinfeksi virus
dan makrofag. Interferon adalah sitokin berupa
glikoprotein yang diproduksi makrofag yang
diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang
mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons
terhadap infeksi virus. IFN mempunyai sifat
antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel
yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap
virus.

9) TNF (Tumor Necrosis Factor)


TNF merupakan sitokin utama pada respons
inflamasi akut terhadap bakteri negatif-gram dan
mikroba lain. Infeksi yang berat dapat memicu
produksi TNF dalam jumlah besar yang
menimbulkan reaksi sistemik .
TNF disebut TNF-α atas dasar historis dan untuk
membedakannya dari TNF-β atau limfotoksin.
Sumber utama TNF adalah fagosit mononuklear dan
sel T yang diaktifkan antigen, sel NK dan sel mast.
Pada kadar rendah, TNF bekerja terhadap leukosit
dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada

104 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
kadar sedang, TNF berperan dalam inflamasi
sistemik. Pada kadar tinggi, TF menimbulkan
kelainan patologik syok septik.

b. Peran Sitokin pada Imunitas Spesifik


Sitokin berperan dalam proliferasi dan
diferensiasi limfosit setelah antigen dikenal dalam
fase aktivasi pada respons spesifik dan selanjutnya
berperan dalam aktivasi dan proliferasi sel efektor
khusus.

1) IL-2
IL-2 adalah faktor pertumbuhan untuk sel T yang
dirangsang dan berperan pada ekspansi klon sel T
setelah antigen dikenal. IL-2 meningkatkan
proliferasi dan diferensiasi sel imun lain (sel NK,
sel B). IL-2 meningkatkan kematian apoptosis sel T
yang diaktifkan antigen melalui Fas. Fas adalah
golongan reseptor TNF yang diekspresikan pada
permukaan sel T.
IL-2 merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T,
sel B dan NK. IL-2 juga mencegah respons imun
terhadap antigen sendiri melalui peningkatan
apoptosis sel T melalui Fas dan merangsang
aktivitas sel T regulatori.

2) IL-4
IL-4 merupakan stimulus utama produksi IgE dan
perkembangan Th2 dari sel CD4+ naif. IL-4
merupakan sitokin petanda sel Th2. IL-4
merangsang sel B meningkatkan produksi IgG dan
IgE dan ekspresi MHC-II. IL-4 merangsang isotipe

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 105
sel B dalam pengalihan IgE, diferensiasi sel T naif
ke subset Th2. IL-4 mencegah aktivasi makrofag
yang diinduksi IFN-γ dan merupakan GF untuk sel
mast terutama dalam kombinasi dengan IL-3.

3) IL-5
IL-5 merupakan aktivator pematangan dan
diferensiasi eosinofil utama dan berperan dalam
hubungan antara aktivasi sel T dan inflamasi
eosinofil. IL-5 diproduksi subset sel Th2 (CD4+) dan
sel mast yang diaktifkan. IL-5 mengaktifkan
eosinofil.

4) IFN-γ
IFN-γ yang diproduksi berbagai sel sistem imun
merupakan sitokin utama MAC dan berperan
terutama dalam imunitas nonspesifik dan spesifik
selular. IFN-γ adalah sitokin yang mengaktifkan
makrofag untuk membunuh fagosit. IFN-γ
merangsang ekspresi MHC-I dan MHC-II dan
kostimulator APC. IFN-γ meningkatkan diferensiasi
sel CD4+ naif ke subset sel Th1 dan mencegah
proliferasi sel Th2.

5) TGF-β
Efek utama TGF-β adalah mencegah proliferasi dan
aktivasi limfosit dan leukosit lain. TGF-β
merangsang produksi IgA melalui induksi dan
pengalihan sel B.

6) Limfotoksin

106 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
LT diproduksi sel T yang diaktifkan dan sel lain. LT
mengaktifkan sel endotel dan neutrofil,
merupakan mediator pada inflamasi akut dan
menghubungkan sel T dengan inflamasi. Efek ini
sama dengan TNF.

7) IL-13
IL-13 memiliki struktur homolog dengan IL-4 yang
diproduksi sel CD4+ Th2. IL-13-R ditemukan
terutama pada sel nonlimfoid seperti makrofag.
Efek utamanya adalah mencegah aktivasi dan
sebagai antagonis IFN-γ. IL-13 merangsang
produksi mukus oleh sel epitel paru dan berperan
pada asma.

8) IL-16
IL-16 diproduksi sel T yang berperan sebagai
kemoatraktan spesifik eosinofil.

9) IL-17
IL-17 diproduksi sel T memori yang diaktifkan dan
menginduksi produksi sitokin proinflamasi lain
seperti TNF, IL-1 dan kemokin.

10) IL-25
IL-25 memiliki struktur seperti IL-17, disekresi sel
Th2 dan merangsang produksi sitokin Th2 lainnya
seperti IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-17 dan IL-25 diduga
berperan dalam meningkatkan reaksi inflamasi
yang sel T dependen bentuk lain.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 107
c. Peran Sitokin dalam hematopoiesis
Sitokin yang menstimulasi hematopoiesis.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sel-sel
penyusun sistem imun berasal dari sel punca yang ada
di sumsum tulang. Sel-sel punca ini akan
berdiferensiasi menjadi sel-sel imun yang memiliki
fungsi yang spesifik. Proses diferensiasi ini
merupakan suatu proses berjenjang dan dibantu oleh
sitokin. Beberapa sitokin yang berperan dalam proses
hematopoiesis antara lain IL-7 dan GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor).
Interleukin 7 (IL-7) merupakan sitokin yang unik
karena dihasilkan oleh sel-sel epitel kelenjar getah
bening. Sitokin ini banyak berperan dalam membantu
pembentukan sel-sel limfosit T dan B dari sel-sel
progenitor (sel-sel turunan sel punca yang dapat
berdiferensiasi menjadi sel lain). Sedangkan GM-CSF
adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel makrofag,
limfosit T, sel NK dan sel mast yang berfungsi dalam
diferensiasi selsel granulosit seperti eosinofil, basofil
dan netrofil, dendritik serta monosit.

C. RANGKUMAN
Sitokin adalah keluarga protein sebagai mediator
dan regulator respon imun alami dan didapat. Sitokin
bekerja saling berinteraksi satu sama lain sehingga
membentuk konsep "network ".
Fungsi sitokin adalah mengatur selsel imun untuk
mengeliminir mikroba, menagtur hematopoiesis dan
membantu terjadinya peradangan inflamasi. Istilah lain
yang menunjukan sel penghasil, sel target maupun cara
kerja sitokin : 1. monokin sitpokin yang dihasilkan oleh

108 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
sel makrofag, 2. Limfokin sitokin yang dihasilakn oleh
limfosit, 3. Interleukin adalah sitokin yang dihasilkan
dan berfungsi untuk leukosit, kemokin adalah sitokin
yang berfungsi untuk menstimulasi pergerakan sel sel
respon imun ke tempat infeksi. Cara kerja sitokin
melalui autokrin, Parakrin dan endokrin. Kemampuan
Kerja Sitokin
Terdapat beberapa kemampuan kerja sitokin yaitu
pleiotropisme, redundansi, sinergi dan antagonism.
sitokin bisa berperan dalam respon imun non spesifik,
spesifik maupun pada hematopoiesis. Dalam respon
imun non spesifik sitokin sangat berperan dalam proses
peradangan, sedangkan pada respon imu spesifik sangat
berperan dalam aktivasi sel-sel imun spesifik

D. TUGAS
1. Apakah sitokin itu?
2. Apa nama sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel
leukosit?
3. Hormon adalah salah satu sitokin yang dihasilkan
dengan cara
4. Apa peran sitokin dalam respon imun spesifik?
5. Apa yang dimaksud dengan TNF (Tumor Necrosis
Factor) ?

E. REFERENSI

Abbas, A. K., Licthman, A. H. & Pillai, S., 2016.


Imunologi Dasar Abbas: Fungsi dan Kelainan Sistem Imun
(5th ed). Singapura: Saunders

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 109
Baratawidjaja, K. G. & Rengganis, I., 2016. Imunologi
Dasar (11 ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kresno S B. 2010. Imunologi Diagnosis dan Prosedur


Laboratorium. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010

Murphy, K. 2012. Janeway’s Immunobiology. 8th Ed.


Garland Science. London

F. Glosarium

Antibodi : Zat yang dibentuk dalam darah untuk


memusnahkan bakteri virus atau untuk melawan toksin
yang dihasilkan oleh bakteri.

Autokrin : Sitokin yang dihasilkan akan bekerja pada


sel yang memproduksinya

Bakteriologi : Ilmu tentang berbagai segi yang


menyangkut bakteri.

Biokimia : Ilmu yang mempelajari tentang peranan


berbagai molekul dalam reaksi dan proses kimia yang
berlangsung dalam tubuh makhluk hidup.

Fagosit : Sel-sel yang berfungsi mematikan


mikroorganisme asing di sekitar dengan cara

110 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
meluluhkannya ke dalam plasma selnya, misalnya sel
darah putih memakan kuman.

Granulosit : Sel yang terdiri atas butir-butir


kecil berisi sitoplasma.

Hemopoesis : Sering juga dikenal dengan


hematopoiesis adalah peristiwa pembuatan

Hipersensitivitas : Reaksi berlebihan, tidak diinginkan


karena terlalu senisitifnya respon imun (merusak,
menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang
berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun.

Hormon : Zat yang dibentuk oleh bagian tubuh


tertentu (misalnya kelenjar gondok) dalam jumlah
kecil dan dibawa ke jaringan tubuh lainnya serta
mempunyai pengaruh khas (merangsang dan
menggiatkan kerja alat- alat tubuh).

Imun : Kekebalan terhadap suatu penyakit.


interleukin : sitokin yang dihasilkan oleh dan
berfungsi untuk sel leukosit

kemokin : sitokin yang berfungsi untuk


menstimulasi pergerakan sel-sel leukosit ke
tempat infeksi.

Leukosit : Sel darah tanpa warna (berfungsi


untuk membinasakan bakteri yang memasuki tubuh);
sel darah putih.
limfokin : sitokin yang dihasilkan oleh limfosit,

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 111
Limfosit : Leukosit yang berinti satu, tidak
bersegmen, pada umumnya tidak bergranula, berperan
pada imunitas humoral dan imunitas sel

Makrofag : Jenis leukosit yang membersihkan tubuh


dari sampah yang tidak diinginkan seperti bakteri dan sel-
sel mati.

Monokin : adalah sel yang dihasilkan oleh makrofag.

Monosit : Sel yang terdiri atas butir-butir kecil berisi


sitoplasma.

Parakrin : Sitokin yang berfungsi pada sel sel –sel yang


terdapat disekitarnya

Patogen : Parasit yang mampu menimbulkan penyakit


pada inangnya.

Reseptor : Ujung saraf yang peka terhadap rangsangan


pancaindra; penerima.

Pleiotropisme : Kemampuan satu sitokin untuk


bekerja pada beberapa jenis sel target.

Redundansi : Kemampuan beberapa sitokin yang dapat


menghasilkan respon yang sama.

Sinergi : merupakan cara kerja beberapa sitokin


yang saling bekerja sama untuk menghasilkan satu jenis
respon.

112 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Antagonism : Kemampuan satu jenis sitokin yang
dapat menghambat sitokin lain.

IL : Interleukin adalah merupakan sekelompok


sitokin yang disintesis oleh limfosit, monosit,
makrofag, dan sel tertentu lainnya

IFN : Interferon (IFN) adalah salah satu


jenis molekul sitokin yang dihasilkan sel tubuh
manusia sebagai respon terhadap berbagai jenis
rangsangan, khususnya sebagai akibat dari infeksi
suatu virus.

CD4 : adalah sel bagian dari sistem imun


yang berperan vital untuk menghadang

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 113
114 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB VII SISTEM KOMPLEMEN
Imam Agus Faizal, S.Tr.A.K.,
M.Imun

A. Tujuan pembelajaran :
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi komplemen.
 Mahasiswa mampu mendefinisikan mekanisme jalur
aktivasi komplemen.
 Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi komplemen.

B. Sistem Komplemen
1. Pendahuluan
Sistem komplemen adalah salah satu mekanisme
efektor utama dari imunitas humoral dan juga
merupakan mekanisme efektor yang penting berperan
pada innate immunity. Dinamakan komplemen berawal
dari percobaan yang dilakukan oleh ilmuwan Jules
Bordet tak lama setelah penemuan antibodi. Dia
menunjukkan bahwa jika serum segar mengandung
antibakteri antibodi ditambahkan ke bakteri pada suhu
fisiologis (37° C), maka bakteri tersebut lisis. Namun,
jika serum dipanaskan hingga 56°C atau lebih, ia
kehilangan kapasitas litiknya. Hilangnya kapasitas litik

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 115
ini bukan karena untuk pembusukan aktivitas antibodi,
karena antibodi relatif panas stabil, dan bahkan serum
yang dipanaskan mampu mengaglutinasi bakteri.
Kapasitas litik serum dapat dipulihkan dengan
menambahkan serum segar, bahkan dari hewan yang
belum diimunisasi. Bordet menyimpulkan bahwa untuk
melisiskan bakteri, serum harus mengandung komponen
labil panas lain yang ada di semua individu dan
membantu, atau melengkapi, fungsi litik antibodi. Atas
penemuan itu makan dinamakan komplemen.
Sistem komplemen terdiri dari serum dan protein
permukaan sel yang berinteraksi satu sama lain dan
dengan molekul lain dari sistem kekebalan tubuh dengan
cara yang sangat diatur untuk menghasilkan produk yang
berfungsi untuk menghilangkan mikroba. Protein
komplemen adalah protein plasma yang biasanya tidak
aktif; mereka akan aktif saat kondisi tertentu untuk
menghasilkan produk yang memediasi berbagai fungsi
efektor. Beberapa fitur pelengkap aktivasi sangat
penting untuk fungsi normalnya diantaranya:
a. Sistem komplemen diaktifkan oleh mikroba dan
oleh antibodi dan lektin yang terikat pada mikroba
dan lainnya antigen.
b. Aktivasi komplemen melibatkan proteolisis
berurutan protein untuk menghasilkan kompleks
enzim dengan aktivitas proteolitik.
c. Beberapa produk pembelahan yang aktif secara
biologis dari aktivasi komplemen menjadi terikat
secara kovalen permukaan sel mikroba, terhadap
antibodi yang terikat pada mikroba dan antigen lain,
dan sel tubuh yang apoptosis.

116 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
d. Aktivasi komplemen dihambat oleh protein
regulator yang hadir pada host cells normal dan
terbebas dari mikroba.

2. Jalur Aktivasi Komplemen


Peristiwa sentral dalam aktivasi komplemen
adalah proteolisis dari protein komplemen C3 untuk
menghasilkan produk yang aktif secara biologis dan
ikatan kovalen berikutnya dari produk C3, yang disebut
C3b, ke permukaan sel mikroba atau ke antibodi yang
terikat pada antigen. Meskipun jalur aktivasi
komplemen berbeda bagaimana mereka dimulai,
semuanya menghasilkan pembelahan yang paling
banyak komplemen protein yang melimpah, C3. Aktivasi
komplemen melibatkan pembentukan kompleks
proteolitik, C3 convertase, yang membelah C3 menjadi
dua fragmen yang disebut C3a dan C3b. (dikonvensi
oleh produk proteolitik dari setiap protein komplemen
diidentifikasi dengan akhiran huruf kecil, mengacu pada
produk yang lebih kecil dan b ke yang lebih besar; C2
adalah pengecualian, karena alasan historis.) Menjadi
terikat secara kovalen ke permukaan sel mikroba atau
ke molekul antibodi yang terikat pada antigen. Semua
fungsi biologis komplemen tergantung pada
pembelahan proteolitik C3. Misalnya, aktivasi
komplemen meningkatkan fagositosis karena C3b
menjadi terikat secara kovalen dengan mikroba, dan
fagosit (neutrofil dan makrofag) mengekspresikan
reseptor untuk C3b. Peptida diproduksi oleh proteolisis
C3 (dan protein komplemen lainnya) merangsang
peradangan. Di ketiga jalur aktivasi komplemen,
setelahgenerasi C3b oleh C3 convertase, kompleks

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 117
enzim kedua disebut C5 convertase dirakit, yang
membelah C5 menjadi C5a dan C5b. C5 convertase
memberikan kontribusi baik untuk peradangan oleh
generasi fragmen C5a, dan untuk pembentukan pori-
pori di membran target mikroba. Jalur aktivasi
komplemen yang berbeda bagaimana C3b diproduksi
tetapi mengikuti Bersama urutan reaksi setelah
pembelahan C5. Jalur aktivasi komplemen secara
ringkas dibagi menjadi 3 yaitu jalur alternatif, klasik,
dan lektin.

Gambar 7.1. Mekanisme tahap-tahap aktivasi


jalur komplemen
a. Komplemen Jalur Alternatif

118 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Jalur alternatif aktivasi komplemen
menghasilkan proteolisis C3 dan keterikatan stabil
dari kerusakannya produk C3b ke permukaan
mikroba, tanpa peran antibodi. Biasanya, C3
dalam plasma terus menerus dihidrolisis dan
kemudian dibelah dengan kecepatan rendah (1%
sampai 2% dari total plasma C3 per jam) untuk
menghasilkan C3b dalam proses yang disebut C3
tickover. Proses ini melibatkan Faktor B dan D,
yang akan dijelaskan nanti. Protein C3
mengandung ikatan thioester reaktif yang
tertanam di wilayah protein yang dikenal sebagai
domain thioester. Saat C3 dibelah, molekul C3b
mengalami konformasi dramatis berubah dan
domain thioester membalik (pergeseran besar
sekitar 85 Å), memperlihatkan reaktif yang
sebelumnya tersembunyi ikatan tioester. Sejumlah
kecil C3b dapat menjadi kovalen melekat pada
permukaan sel, termasuk mikroba, melalui domain
tioester, yang bereaksi dengan gugus amino atau
hidroksil protein permukaan sel atau polisakarida
untuk membentuk amida atau ester ikatan. Jika
ikatan ini tidak terbentuk, C3b tetap ada fase
cairan, dan ikatan thioester reaktif terbuka
dengan cepat terhidrolisis, membuat protein
menjadi tidak aktif. Alhasil maka aktivasi
komplemen tidak dapat dilanjutkan didalam
plasma.
Ketika C3b mengalami perubahan konformasi
setelah pembelahan, wilayah pengikatan untuk
protein plasma yang disebut Faktor B juga terbuka.
Faktor B kemudian berikatan dengan protein C3b

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 119
yang sekarang secara kovalen terikat pada
permukaan sel. Bound Factor B pada gilirannya
dibelah oleh protease serin plasma yang disebut
Faktor D, melepaskan fragmen yang disebut Ba dan
menghasilkan fragmen yang lebih besar disebut Bb
itu tetap terhubung ke C3b. Kompleks C3bBb
adalah alternatifnya jalur C3 convertase dan
berfungsi untuk membelah lebih banyak molekul
C3, sehingga menyiapkan urutan amplifikasi.
Bahkan ketika C3b dihasilkan oleh jalur klasik atau
lektin, dapat membentuk kompleks dengan Bb,
dan kompleks ini mampu membelah lebih banyak
C3. Dengan demikian, jalur alternatif C3
convertase berfungsi untuk memperkuat aktivasi
komplemen ketika diprakarsai oleh salah satu dari
tiga jalur. Ketika C3 dipecah, C3b tetap melekat
pada sel dan C3a dilepaskan. Fragmen yang larut
memiliki beberapa kebutuhan biologis

120 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 7.2. Mekanisme komplemen jalur
alternatif

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 121
Aktivasi jalur alternatif mudah terjadi pada
sel mikroba permukaan tetapi tidak pada sel
mamalia. Jika kompleks C3bBb adalah terbentuk
pada sel mamalia, dengan cepat terdegradasi dan
reaksi diakhiri oleh pergerakan beberapa protein
regulator yang ada pada sel-sel ini. Kurangnya
protein regulator pada sel mikroba memungkinkan
diikat dan aktivasi jalur alternatif pada C3
convertase. Selain itu, protein lain dari jalur
alternatif, yang disebut properdin, dapat mengikat
dan menstabilkan Kompleks C3bBb, dan
keterikatan properdin sangat sesuai terhadap
mikroba dibandingkan dengan host cell normal.
Beberapa molekul C3b dihasilkan oleh jalur
alternatif C3 convertase berikatan dengan
convertase itu sendiri. Hal ini mengakibatkan
pembentukan kompleks yang mengandung satu
bagian Bb dan dua bagian molekul C3b, yang
berfungsi sebagai jalur alternatif C5 convertase,
yang akan membelah C5 dan memulai langkah-
langkah akhir aktivasi komplemen.

b. Komplemen Jalur Klasik


Jalur klasik dimulai dengan ikatan
komplemen protein C1 ke domain CH 2 dari IgG
atau domain CH 3 dari IgM molekul yang telah
mengikat antigen. Di antara antibodi IgG, IgG1 dan
IgG3 (pada manusia) lebih banyak aktivator
komplemen yang efisien daripada subkelas
lainnya. IgG2 memiliki beberapa kemampuan
untuk mengaktifkan komplemen, tetapi IgG4
tidak. C1 adalah kompleks protein multimerik

122 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
besar yang terdiri dari C1q, C1r, dan C1s subunit;
C1q berikatan dengan antibodi, dan C1r dan C1
adalah protease. Subunit C1q terdiri dari enam
susunan radial seperti rantai payung, yang masing-
masing memiliki kepala bulat yang dihubungkan
oleh lengan mirip kolagen ke tangkai pusat.
Heksamer ini melakukan fungsi pengenalan
molekul dan berikatan secara khusus dengan Fc
daerah µ dan beberapa rantai berat γ. Ikatan
dengan pentraksin seperti protein C-reaktif dan
serum protein amiloid dan juga dapat berikatan
dengan badan apoptosis.
Hanya antibodi yang terikat pada antigen,
dan antibody tidak beredar secara bebas, dapat
memulai aktivasi jalur klasik. Alasan untuk ini
adalah bahwa setiap molekul C1q harus berikatan
dengan setidaknya dua heavy chain
immunoglobulin (Ig) untuk diaktifkan dan setiap
wilayah Ig Fc hanya memiliki satu tempat
pengikatan C1q. Oleh karena itu, dua atau lebih
daerah Fc harus ada dan dapat diakses oleh C1
untuk memulai aktivasi jalur klasik. Karena setiap
molekul IgG hanya memiliki satu wilayah Fc,
banyak IgG molekul harus didekatkan sebelum C1q
dapat berikatan, dan beberapa antibodi IgG
disatukan hanya jika mereka secara bersamaan
berikatan dengan epitop identik dari antigen
multivalen atau ke beberapa molekul antigen pada
mikroba, sel, atau permukaan jaringan. Meskipun
IgM bebas (bersirkulasi) bersifat pentamerik, itu
tidak mengikat C1q karena domain CH3 dari IgM
bebas berada di a konfigurasi yang tidak dapat

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 123
diakses oleh C1q. Pengikatan IgM ke antigen
menginduksi perubahan konformasi yang
memaparkan C1q mengikat tempat di domain CH3
dan memungkinkan C1q untuk mengikat. Karena
dari struktur pentameriknya, satu molekul IgM
dapat berikatan beberapa molekul C1q, dan ini
adalah salah satu alasan IgM lebih pengikatan
pelengkap yang efisien antibodi daripada IgG.
C1r dan C1s adalah protease serin yang
membentuk tetramer yang mengandung dua
molekul dari setiap protein. Mengikat dua atau
lebih dari kepala globular C1q ke daerah Fc dari
IgG atau mengarah ke IgM aktivasi enzimatik dari
C1r terkait, yang membelah dan mengaktifkan
C1s. C1 yang teraktivasi membelah protein
berikutnya dalam kaskade, C4, untuk
menghasilkan C4b. (Fragmen C4a yang lebih kecil
saat dikeluarkan dan memiliki aktivitas biologis
yang dijelaskan kemudian.) C4 adalah homolog
dengan C3, dan C4b mengandung ikatan thioester
internal, mirip dengan C3b, yang membentuk
kovalen amida atau ikatan ester dengan kompleks
antigen-antibodi atau dengan permukaan yang
berdekatan dari tempat sel pada antibodi terikat.
Lampiran C4b ini memastikan bahwa aktivasi jalur
klasik berlangsung pada permukaan sel atau
kompleks imun. Protein komplemen berikutnya,
C2, kemudian kompleks dengan C4b yang terikat
permukaan sel dan dibelah oleh sebuah molekul
C1s terdekat untuk menghasilkan fragmen C2b
terlarut kepentingan yang tidak diketahui dan
fragmen C2a yang lebih besar yang tersisa secara

124 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
fisik berasosiasi dengan C4b pada permukaan sel.
Kompleks C4b2a yang dihasilkan adalah jalur klasik
C3 convertase; itu memiliki kemampuan untuk
mengikat dan membelah C3 secara proteolitik.
Ikatan kompleks enzim ke C3 dimediasi oleh
komponen C4b, dan proteolisis dikatalisis oleh
komponen C2a. Pembelahan C3 menghasilkan
penghilangan fragmen kecil C3a, dan C3b dapat
terbentuk ikatan kovalen dengan permukaan sel
atau dengan antibodi di mana aktivasi komplemen
dimulai. Setelah C3b disimpan maka dapat
mengikat Faktor B dan menghasilkan lebih banyak
C3 convertase dengan alternatif jalur, seperti yang
telah dibahas sebelumnya. Efek klinis dari banyak
langkah enzimatik dan amplifikasi adalah bahwa
jutaan molekul C3b dapat disimpan dalam
beberapa menit di permukaan sel di mana
komplemen diaktifkan. Langkah awal kunci dari
alternatif dan jalur klasik analog: C3 di jalur
alternatif adalah homolog dengan C4 di jalur
klasik, dan Faktor B adalah homolog dengan C2.
Beberapa molekul C3b dihasilkan oleh jalur klasik
C3 convertase berikatan dengan convertase
(seperti pada jalur alternatif) dan membentuk
kompleks C4b2a3b. Kompleks ini berfungsi sebagai
jalur klasik C5 convertase; itu membelah C5 dan
memulai terlambat langkah aktivasi komplemen.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 125
Gambar 7.3. Mekanisme komplemen jalur
klasik

126 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
c. Komplemen Jalur Lektin
Aktivasi Jalur lektin aktivasi komplemen
dipicu oleh pengikatan polisakarida mikroba ke
lektin yang bersirkulasi, seperti plasma mannose-
binding lectin (MBL), atau ke ficolin. Lektin
terlarut ini adalah protein mirip kolagen yang
secara structural menyerupai C1q. MBL, L-ficolin,
dan H-ficolin adalah protein plasma; M-ficolin
terutama disekresikan dengan diaktifkan makrofag
dalam jaringan. MBL memiliki kolagen seperti N-
terminal domain dan domain C-terminal
direkognisi oleh karbohidrat (lektin) sehingga
dengan demikian merupakan anggota keluarga
kolektin aglutinin serum. Ficolin memiliki struktur
yang mirip, dengan domain seperti kolagen
terminal-N dan domain seperti fibrinogen
terminal-C. Domain mirip kolagen membantu
menyusun struktur tiga heliks dasar yang dapat
membentuk oligomer orde tinggi. MBL berikatan
dengan residu manosa pada polisakarida, dan
domain mirip fibrinogen dari ficolin berikatan
Glikan yang mengandung N-acetylglucosamine.
Polisakarida ini dan glikan melimpah terdapat
pada bakteri dan jamur. Kemudian, MBL dan
ficolins berasosiasi membentuk MBL-associated
serine proteases (MASPs) termasuk MASP1, MASP2,
dan MASP3 (lihat Tabel 13.6). MASP secara
struktural homolog dengan protease C1r dan C1s
dan melayani fungsi yang hampir sama yaitu
pembelahan C4 dan mengaktifkan C2 jalur
komplemen. Multimer dari MBL berasosiasi dengan
MASP1 dan MASP2 (atau MASP3 dan MASP2), dan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 127
MASP2 adalah protease yang memotong C4 dan C2.
Peristiwa selanjutnya di jalur ini identik yang
terjadi pada jalur klasik.

Gambar 7.4. Mekanisme Komplemen Jalur


Lektin

128 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
3. Fungsi komplemen
Fungsi utama sistem komplemen dalam innate
immunity dan adaptive immunity humoral adalah untuk
mempromosikan fagositosis mikroba di mana
komplemen diaktifkan, untuk merangsang terjadinya
inflamasi, dan untuk menginduksi lisis mikroba ini.
Selain itu fungsi lain dari komplemen diantaranya:
a. Opsonisasi dan fagositosis
b. Menstimulasi respon inflamasi
c. Sitolisis yang dimediasi oleh komplemen

C. Rangkuman
 Sistem komplemen adalah salah satu mekanisme efektor
utama dari imunitas humoral dan juga merupakan
mekanisme efektor yang penting berperan pada innate
immunity.
 Sistem komplemen terdiri dari serum dan protein
permukaan sel yang berinteraksi satu sama lain dan
dengan molekul lain dari sistem kekebalan tubuh dengan
cara yang sangat diatur untuk menghasilkan produk yang
berfungsi untuk menghilangkan mikroba..
 Jalur aktivasi komplemen dibagi menjadi 3 yaitu jalur
alternatif, jalur klasik dan jalur lektin.
 Fungsi utama sistem komplemen dalam innate immunity
dan adaptive immunity humoral adalah untuk
mempromosikan fagositosis mikroba di mana
komplemen diaktifkan, untuk merangsang terjadinya
inflamasi, dan untuk menginduksi lisis mikroba,
opsonisasi, ,menstimulasi respon inflamasi dan sitolisis
yang dimediasi oleh komplemen.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 129
D. Tugas
1. Gambarlah mekanisme jalur aktivasi komplemen jalur
klasik, jalur klasik dan jalur lektin!
Ketentuan menggambar wajib memakai buku
gambar ukuran A4, dan memakai pewarna untuk
pewarnaan tiap jalur komplemen.
2. Jelaskan fungsi dari komplemen!

E. Referensi
Abul K. Abbas, Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. 2021.
Cellular and Molecular Immunology. Elsevier.
Bordet J. On the agglutination and dissolution of red blood
cells by the serum of animals injected with
defibrinated blood. Ann Inst Pasteur . 1898;12:688–
695 (In this study a serum component other than
antibody that helped antibodies cause the lysis of red
blood cells, later to be called “complement,” was
discovered. Bordet received the Nobel prize for this
discovery.).
Garcia B.L, Zwarthoff S.A, Rooijakkers S.H, Geisbrecht B.V.
Novel evasion mechanisms of the classical
complement pathway. J Immunol . 2016;197:2051–
2060.
Goldberg B.S, Ackerman M.E. Antibody-mediated
complement activation in pathology and protection.
Immunol Cell Biol . 2020;98:305–317.
Haapasalo K, Meri S. Regulation of the complement system
by pentraxins. Front Immunol. 2019;10:1750.
Liszewski M.K, Java A, Schramm E.C, Atkinson J.P.
Complement dysregulation and disease: insights from
contemporary genetics. Annu Rev Pathol .
2017;12:25–52.

130 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Presumey J, Bialas A.R, Carroll M.C. Complement system in
neural synapse elimination in development and
disease. Adv Immunol . 2017;135:53–79.
Reis E.S, Mastellos D.C, Hajishengallis G, Lambris J.D. New
insights into the immune functions of complement.
Nat Rev Immunol . 2019;19:503–516.
Ricklin D, Lambris J.D. New milestones ahead in
complement-targeted therapy. Semin Immunol .
2016;28:208–222.
Xie C.B, Jane-Wit D, Pober J.S. Complement membrane
aĴack complex: new roles, mechanisms of action, and
therapeutic targets. Am J Pathol . 2020;190:1138–
1150.

F. Glosarium
 Antibodi: produk tubuh saat melawan patogen untuk
membasmi patogen.
 Antigen: zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Misalnya
pathogen terdiri dari bakteri, virus, jamur dan parasit.
 Apoptosis: proses kematian sel.
 Cell host: sel tuan rumah pada tubuh
 Fagositosis: proses memakannya sel kekebalan terhadap
pathogen.
 Humoral: sistem kekebalan tubuh yang diproduksi oleh
tubuh, contohnya antibodi.
 Imunitas: sistem kekebalan tubuh manusia.
 Opsonisasi: pelapisan antigen oleh antibodi,
komplemen, fibronektin, yang berfungsi untuk
memudahkan fagositosis
 Reseptor: penanda sinyal, biasanya terdapat di sel
maupun pada mikroba.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 131
 Serum: komposisi sel darah, bagian paling atas dari sel
darah dan biasanya serum akan terlihat Ketika darah
didiamkan atau disentrifus.

G. Indeks
Adaptive immunity
Antibodi
Apoptosis
Antigen
Host cell
Humoral
Imunitas
Innate immunity
Jalur alternatif
Jalur klasik
Jalur lektin
Komplemen
Opsonisasi
Plasma
Reseptor
Serum

132 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB VIII HIPERSENSITIVITAS
Fajar Husen, S.Si., M.Si

A. Tujuan pembelajaran:
Mampu memahami dan menjelaskan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen serta tipe tipe reaksi
hipersensitivitas.

B. Materi
1. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas merupakan suatu kondisi
atau reaksi yang dapat menyebabkan suatu keadaan
cidera patologis ataupun cidera pada suatu jaringan.
Keadaan tersebut terjadi karena adanya peningkatan
sensitivitas serta aktivitas terhadap suatu antigen yang
pernah dipajankan dan telah dikenali sebelumnya.
Respon imun nonspesifik ataupun respon imun spesifik
yang biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi
protektif (memberikan perlindungan) terhadap infeksi
atau keganasan sel kanker, namun karena
hipersensitivitas dapat menyebabkan hal yang
merugikan bagi tubuh. Sehingga hipersensitivitas juga
dapat dikatakan sebagai reaksi dan respon imun di dalam
tubu yang berlebihan (over act). Umumnya bahwa reaksi
hipersensitivitas dapat terjadi pada dua kejadian utama,
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 133
yaitu respon imun terhadap antigen asing yang sifatnya
infeksius seperti mikroba atau yang non-infeksius berupa
antigen yang berada di lingkungan sekitar (misal debu),
dan kedua adalah respon dari sistem imun terhadap
antigen yang berasal dari dalam tubuh sendiri (autolog).
Keadaan dan respon terhadap antigen autolog ini terhadi
akibat kegagalan terhadap toleransi diri (self-
tolerance), atau yang biasa dikenal sebagai
autoimunitas. Autoimunitas dapat menyebabkan suatu
kelainan penyakit yang dikenal sebagai autoimmune
disease.

Pada intinya reaksi hipersensitivitas


merupakan reaksi yang timbul akibat respon yang tidak
normal (abnormal) serta tidak terkendali/ terkontrol
terhadap antigen asing, atau juga respon yang muncul
sebagai hasil reaksi autoimun terhadap antigen sendiri.
Penyakit atau kelainan yang muncul akibat reaksi
hipersensitivitas dikenal sebagai penyakit inflamasi yang
diperantarai oleh imunitas atau penyakit
hipersensitivitas. Sehingga pada keadaan
hipersensitivitas juga sangat spesifik yaitu adanya reaksi
peradangan/ inflamasi.

Reaksi hipersensitivitas sangat jelas


memberikan efek menciderai dan merugikan bagi
penjamu/ host. Rekasi ini timbul

2. Jenis-Jenis Reaksi Hipersensitivitas


Reaksi hipersensitivitas dapat dikatakan juga
sebagai reaksi yang berlebihan, menimbulkan efek
samping negatif yang merugikan (efek munculnya

134 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
ketidaknyamanan dan dapat berakibat fatal jika tidak
mendapatkan penanganan) dari sistem imunitas di
dalam tubuh. Normalnya, mekanisme perlindungan
(proteksi) tubuh, baik yang bersifat humoral maupun
seluler, bergantung pada sel B serta sel T.
Ketidaknormalan dari aktivitas serta mekanisme
tersebut dapat menyebabkan efek imunopatologis
berupa hipersensitivitas. Terdapat empat jenis atau tipe
reaksi hipersensitivitas yaitu

a. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi capat /


segera/ anafilaktif
b. Reaksi hipersensitivitas tipe II yaitu reaksi sitotoksik
c. Reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu reaksi kompleks
imun
d. Reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu reaksi yang
diperantarai oleh sel

Sementara jika didasarkan pada kecepatan dari


reaksi yang terjadi, maka reaksi hipersensitivitas tipe I
tergolong ke dalam reaksi tipe cepat, reaksi
hipersensitiitas tipe II dan III merupakan tipe
intermediet, sedangkan tipe IV merupakan reaksi tipe
lambat. Berikut penjelasan lengkap mengenai tipe-
tipe reaksi hipersensitivitas:

a. Hipersensitivitas tipe I/ reaksi cepat/ segera


Hipersensitivitas tipe I dapat disebut juga
dengan hipersensitivitas segera/ cepat. Hal
tersebut merujuk pada waktu yang berlangsung
dengan cepa tantara pajanan dari antigen (allergen)
dan manifestasi klinis reaksi. Sementara

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 135
hipersensitivitas lain berlangsung lebih lambat
disbanding tipe I. Pada tipe I ini terjadi pelepasan
mediator-mediator dari mast cell (sel mast),
sehingga menyebabkan reaksi patologis.
Kebanyakan reaksi yang timbul disebabkan karena
adanya produksi dari antibodi berupa
immunoglobulin E (IgE) terhadap adanya antigen
lingkunan serta ikatan IgE dengan mast cells di
berbagai jaringan tubuh.

Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe I


yang diakibatkan oleh adanya pelepasan mediator
yang sebelumnya telah disintesis, atau bahkan
dengan mediator yang baru disintesis baik oleh mast
cells atau basofil. Efek yang ditimbulkan dapat
bersifat lokal ataupun menyeluruh.

Gambar 8.1. Pelepasan Mediator Mast Cells

Pada pelepasan mediator yang dipicu adanya


ikatan antara IgE dengan allergen membutuhkan
energi (Gambar 1). Tahapan yang terjadi adalah
ifluks kalsium ke dalam mast cells yang kemudian
136 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dilanjutkan pengaktifan enzim fosodiesterase pada
sitoplasma dan terjadi penurunan cAMP (cyclic
adenosine monophosphate). Hal tersebut
menyebabkan granul granul pada mast cells yang
berisi mediator akan bergerak ke permukaan sel,
dan terjadilah mekanisme eksositosis. Pada cidera
jaringan dan penyakit mediator mast cells yaitu
amines vasoaktif, mediator lipid dan sitokin,
sementara inflamasi diperantarai oleh sitokin
(eosinophil, neutrophil, dan limfosit). Pada
mekanisme imun patologik yang berperan adalah sel
Th2, immunoglobulin E, mast cells dan eosinophil.

Rangkaian yang lebih lengkap kejadian yang


terjadi pada reaksi hipersensitivitas berupa alergi,
disajikan pada Gambar 7.2.

Gambar 7.2. Tahapan Reaksi


Hipersensitivitas Tipe I [Alergi]
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 137
Reaksi pada hipersensitivitas I yang
diilustrasikan pada Gambar 2 dimulai ketika , allergen
yang telah dikenali, akan menstimulasi sel Th2 dam
sel Tfh (sel T helper folikuler) yang nantinya akan
mensekresi IL-4 (interleukin 4) atau IL-13, serta
menstimulasi produksi antibodi (IgE) sebagai respon
akibat adanya antigen (allergen). Aktivitas
pengikatan antara IgE dengan reseptor FcɛRI yang
sangat spesifik pada mast cells. Hal yang terjadi pada
paparan berikutnya (repeat exposure) maka terjadi
pengikatan silang antara antobodi (IgE) yang terikat
antigen serta pelepasan mediator dari mast cells. Hal
tersebut akan menyebabkan reaksi patologis
hipersensitivitas segera.

Kedua jenis sitokin yang diproduksi pada


reaksi hipersenitivitas segera yaitu IL-4 dan IL-13
bekerja dengan menstimulasi limfosit B untuk
berubah menjadi cell plasm yang akan menghasilkan
produk antibodi (IgE). Oleh karenanya seseorang
dengan alergi (individu atopik) dapat menghasilkan
antibodi (IgE) yang cukup banyak sebagai respon
terhadap antigen. IgE yang dihasilkan merupakan
respon yang dihasilkan ketika allergen berikatan
dengan Fc receptor dengan afinitas yang sangat tinggi
dan spesifik dengan rantai berat ɛ (hasil ekspresi mast
cells). Karena letak mast cells yang ada diberbagai
tempat, maka sel mana yang akan diaktivasi oleh
pengikatan silang dari IgE sangat tergantung pada
jalur masuk dari allergen itu sendiri. Contohnya
ketika allergen yang masuk bersamaan dengan bolus

138 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
(makanan), maka mast cells yang akan diaktivasi ada
di dinding mukosa intestine.

Ketika mast cells yang telah tersensitasi oleh


IgE (IgE menyelubungi mast cells) oleh adanya
paparan allergen, maka sel teraktivasi untuk
mensekresikan mediator (Gambar 2). Sinyal
transduksi FcɛRI dan sinyal biokimiawi akan terpicu
ketika molekul FcɛRI yang membawa IgE terkait
silang, yang disebabkan karena adanya paparan
allergen pada dua atau bahkan lebih antibodi IgE pada
sel. Akibat sinyal yang terpicu maka akan
menyebabkan mast cells merespon dalam tiga bentuk
yaitu; sintesis serta releasing sitokin, sintesis dan
releasing mediator lipid, serta degranulasi secara
cepat (Gambar 2). Terdapat mediator yang sangat
penting dari hasil produksi mast cells yaitu
protease dan vasoactive amines. Kedua mediator
tersebut disimpan dan dikeluarkan oleh granula, serta
dikeluarkan dan disekresikan dari hasil metabolisme
arachidonic acid serta sitokin. Beberapa mediator
memiliki efek yang spesifik, seperti halnya amine dan
histamin yang mengakibatkan dilatasi pada pembuluh
darah kecil, peningkatan terhadap permeabilitas
vaskuler, dan menstimulasi secara temporer otot
polos. Efek protease yaitu kerusakan terhadap
jaringan yang bersifat lokal. Hasil metabolisme
arachidonic acid termasuk didalamya prostaglandin
yaitu efek vascular dilatation. Sementara leukotriene
menstimulasi secara terus menerus pada otot polos.
Mediator lain yaitu sitokin berperan dalam starting
point terjadinya inflamasi lokal. Sehingga dapat

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 139
disimpulkan bahwa mediator yang dihasilkan oleh
mast cells memiliki efek besar terhadap reaksi
vaskuler, reaksi pada otot polos, serta inflamasi (yang
merupakan ciri khas pada reaksi hipersensitivitas tipe
I).

Terdapat tiga fase utama pada reaksi


hipersensitivitas tipe I yang dapat kita
sederhanakan, diantaranya yaitu:

a. Fase sensitasi, merupakan suatu fase dimana


perlu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
dan sekresi IgE, sampai dimana IgE tersebut terikat
oleh reseptornya yang spesifik yaitu FcɛRI, pada
mast cells dan sel basofil
b. Fase aktivasi, merupakan fase yang terjadi akibat
pajanan berulang (repeat exposure) dengan
antigen yang spesifik. Pada tahap ini terjadi
pengikatan antigen dan terjadi ikatan silang
setelahnya, yaitu terhadap FcɛRI permukaan, oleh
antigen yang sudah berikatan dengan antibodi IgE.
c. Fase efektor, merupakan fase respon (efek) yang
ditimbulkan dan terjadi ketika senyawa yang di
releasing atau disekresikan oleh mast cells
menyebabkan suatu efek (biologis, patologis)
seperti reaksi alergi. Ketika sudah teraktivasi baik
mast cells maupun sel basofil akan secara cepat
dan segera melakukan proses degranulasi ke
lingkungan sekitarnya. Mediator inilah yang
dilepasakan pada tahapan degranulasi seperti
kemotaksi eosinophil, prostaglandin, histamin
atau sitokin, kemokin dan leukotrin.

140 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Secara sederhana beberapa contoh mediator lain,
selain yang sudah disebutkan dan dilepaskan pada reaksi
hipersensitivitas tipe I (immediate) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 8.1. Jenis Mediator Lain Pada Reaksi


Hipersensitivitas Tipe I

No Mediator Lainnya Peran


Pada Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe I
1 Leukotrin B4 Atraktan pada sel
basofil, kemotaktik
untuk eosinophil dan
monosit
2 Leukotrin C4 dan D4 Vasodilatasi,
proteolysis, sekresi
mucus, permeabilitas
vaskuler dan
bronchokontriksi yang
lebih poten
dibandingkan histamin
3 Prostaglandin D2 Agregasi
(PGD2) dan PAF thrombosis dan
(Platelet releasing agent untuk
Activating Factor) histamin serta
mikrotrombi
4 Triptase Vasodilatasi,
permeabilitas vaskuler
dan edema

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 141
5 ECF-A (Eosinophil Atraktan untuk sel
chemotactic factor eosinophil serta
of anaphylaxis) neutrophil

Leukosit dapat bergerak dengan lebih cepat


karena adanya stimulus dari sitokin yang telah
diproduksi oleh mast cells. Hal tersebut menyebabkan
reaksi fase lambat. Jenis leukosit yang paling berperan
pada reaksi ini diantaranya adalah neutrophil,
eosinophil, serta sel Th2. Sementara tumor necrosis
factor (TNF) akan mempengaruhi laju reaksi inflamasi.
Pengerahan leukosit pada reaksi hipersensitivitas tipe
I juga dipengaruhi karena adanya kemokin yang di
release oleh mast cells. Protease kemudian sekresikan
oleh neutrophil dan eosinophil, akibatnya terjadi
tissue damage. Kerusakan jaringan yang terjadi
semakin diperparah dengan adanya releasing sitokin
proinflamasi yang di sekresikan oleh sel Th2. Dapat
disimpulkan bahwa sel eosinophil sangat berperan
besar pada reaksi kerusakan jaringan dan alergi.
Aktivitas sel eosinophil ini sangat didukung dengan
aktivasi yang dilakukan IL-5 (yang merupakan sitokin
hasil sekresi dari mast cells, sel Th2 dan sel innate
lymphoid cells (ILCs).

Salah satu kelainan dan efek yang


ditimbulkan dari reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi
segera) adalah sinusitis serta alergi rhinitis (yang
merupakan contoh kejadian paling ringan pada reaksi
hipersensitivitas segera/ immediate). Kejadian ini
merupakan suatu respon alergi terhadap allergen yang

142 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
masuk melalui jalur inhalasi (pernafasan) karena
terhirup. Paling umum biasanya adalah serbuk sari dari
bunga/ pollen. Ketika reaksi ini terjadi maka kejadian
awal adalah mast cells akan melakukan releasing
histamin (terutama sel mas yang ada di mukosa
hidung). Selain itu juga akan dihasilkan sel Th2 dan
sitokin (IL-13). Kedua jenis mediator tersebut yang
akan berperan dalam reaksi peningkatan produksi
mucus. Apabila kejadian tersebut mengarah pada
reaksi lambat, maka akan menyebabkan kejadian
peradangan (inflamasi) yang berkelanjutan.

Kejadian lainnya yang termasuk ke dalam


kelainan akibat hipersensitivitas tipe I dan tergolong
pada efek yang berat, adalah reaksi anafilaksis.
Contoh kejadian anafilaksis yang dapat kita jumpai dan
umum adalah sengatan atau gigitan serangga (misal
lebah) ataupun injeksi antibiotik. Kejadian dapat
berlangsung dalam beberapa detik atau menit saja,
sejak allergen/ antigen dari lingkungan masuk.
Anafilaksis terjadi ketika degranulasi yang massif oleh
mast cells kemudian tersebar luas, hal ini diakibatkan
karena adanya distribusi yang cukup luas dan sistemik
dari antigen di dalam tubuh. Kejadian anafilaksis dapat
berakibat fatal karena secara tiba-tiba dapat
menyebabkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik
atau bahkan obstruksi pernafasan.

b. Hipersensitivitas tipe II/ reaksi sitotoksik


Merupakan reaksi hipersensitivitas yang
melibatkan peran antibodi yaitu immunoglobulin G dan
M (IgG dan IgM). Reaksi hipersensitivitas tipe II ini

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 143
terjadi untuk melawan antigen permukaan sel atau
matriks ekstraseluler. Sehingga pembentukan antibodi
tersebut ditunjukan kepada antigen yang memang
terdapat pada permukaan sel, matriks ekstraseluler,
ataupun jaringan yang merupakan komponen
membrane sel. Salah satu kejadian yang terjadi pada
reaksi tipe II ini adalah adanya penghancuran terhadap
sel (destruksi seluler) sebagai akibat dari proses lisis
yang diperantarai oleh antibodi, complement serta
ADCC (antibody-directed cellular cytotoxicity), atau
sitotoksisitas seluler yang diarahkan oleh antibodi.
Pada dasarnya tahapan reaksi hipersensitivitas tipe II
yaitu adanya pengendapan antibodi (IgG dan IgM) pada
sel ataupun jaringan serta adanya aktivasi
complement, hingga adanya perekrutan sel-sel
inflamatorik (kemudian terjadi destruksi sel dan
jaringan). Komponen utama yang berperan pada
reaksi tipe II ini yaitu antibodi, complement, dan sel
fagosit.

Antibodi baik IgG maupun IgM akan


meningkatkan aktivitas fagositosis sel tempat dimana
IgG/IgM ini terikat/ mengendap. Pada tahapan
selanjutnya akan mengarah pada inflamasi/
peradangan akibat perantara complement, kemudian
pengerahan berbagai sel leukosit yang dimediasi oleh
Fc reseptor. Selain itu antibodi juga dapat
mengaktivasi sel yang memiliki reseptor FcyR (reseptor
IgG), kemudian natural killer cells (NK cells) berperan
sebagai sel efektor melalui mekanisme ADCC
(antibody-directed cellular cytotoxicity). Ikatan yang
terjadi antara antibodi dan antigen dapat juga

144 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
mengaktifkan complement melalui reseptor C3b yang
dapat memudahkan proses fagositosis dan pelisisan.
Mekanisme hipersensitivitas tipe II disajikan pada
Gambar 3 dibawah ini:

Gambar 8.3. Tahapan Contoh Reaksi


Hipersensitivitas Tipe II

Proses pembunuhan (killing) dari sel dapat terjadi


melalui tiga mekanisme utama yaitu: 1. Lisis sel yang
diperantarai complement, 2. Sistem ADCC (antibody
dependent cell mediated cytotoxicity) dan Jalur 3.
Opsonisasi.

a. Jalur lisis sel yang diemdiasi oleh complement


(Complementt mediated lysis of cell)

Urutan kejadian yang disajikan pada Gambar


3 dimulai ketika lisi sel yang dimediasi atau
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 145
diperantarai oleh complement (atau dikenal sebagai
proses sitolitik oleh complement). Pada dasarnya
sistem complement sendiri merupakan sistem dari
enzim lisolitik yang tidak aktif pada darah. Enzim
dari sistem complement ini akan diaktivasi oleh
kompleks antigen-antibodi (Gambar 3). Ketika
antibodi terikat pada antigen (seperti mikroba)
maka akan terbentuk kompleks antigen-antibodi.
Kompleks antigen-antibodi akan mengaktifkan
sistem complement melalui beberapa jalur.
Terdapat tiga jalur berbeda yang dapat
mengaktifkan complement, yaitu jalur klasik, jalur
alternatif, dan jalur mekanisme cascade.
Complement yang teraktivasi berlangsung pada
mekanisme cascade (ketika complement teraktivasi
pada permukaan sel darah (red blood cells/ RBC)
maka akan menyebabkan lisis pada sel. Aktivasi
complement C5b-9 yang diikuti lisis sel secara
langsung terjadi pada jalur klasik.

b. Jalur sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel yang


bergantung pada antibodi/ AADC (antibody-
dependent cellular cytotoxicity)

Melalui jalur ADCC, antibodi akan terikat


dengan antigen pada sisi Fab nya. Sementara pada
bagian Fc dari antibodi memiliki reseptor sel
sitotoksik. Antiobdi akan mengubungkan target
antigen (misal mikroba) dengan sel sitotoksik dan
mendukung proses pembunuhan/ killing.
Kebanyakan sel sitotoksik juga berisi enzim digestif
dan hidrolitik, yang akan dikeluarkan pada bagian

146 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
permukaan sel target sehingga proses killing dapat
terjadi. Antibodi bertindak sebagai perantara atau
mediator yang akan membawa antigen ke sel
sitotoksik, serta sebaliknya sel sitotoksik sangat
bergantung pada antibodi untuk mengikat antigen
(oleh karenanya pada reaksi ini dikenal sebagai
antibody-dependent cellular cytotoxicity.

3. Jalur opsonisasi

Mekanisme opsonisasi terjadi ketika antigen


masuk ke dalam tubuh inang, yang setelahnya
dibentuklah antibodi. Antibodi yang telah terikat
dengan antigen melalui bagian Fab, namun sisi
bagian Fc dari antibodi tetap bersifat bebas (free).
Neutrophil sebagai sel fagositik, kemudian
makrofag, dan monosit memiliki respetor yang
dapat berikatan (binding) dengan bagian Fc dari
antibodi (dikenal sebagai reseptor FcR). Molekul
antibodi kemudian secara langsung (direct)
menghubungkan antigen yang masuk ke tubuh
dengan sel fagositik. Cross-linkage (hubungan
silang) tersebut akan mengaktifkan sel-sel fagositik
sehingga proses fagositosis berlangsung lebih cepat.
Aktivitas peningkatan fagositosis dengan bantuan
pengikatan antibodi terhadap antigen yang dikenal
sebagai proses opsonisasi. Dapat dikatakan juga
bahwa fragmen Fc dari antibodi merupakan
“jembatan pengubung” antara sel efektor dengan
sel target/ sasaran dalam hal ini antigen (opsonic
adherence).

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 147
4. Hipersensitivitas tipe III/ reaksi kompleks imun
Hipersensitivitas tipe III merupakan rekasi yang
melibatkan kompleks sistem imun. Sehingga reaksi ini
dikenal juga reaksi yang terjadi pada penyakit
kompleks imun. Dalam darah (sistem sirkulasi)
antibodi dapat berikatan dengan antigen yang akan
membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini
terdeposit pada pembuluh darah (blood vessel). Akibat
yang ditimbulkan adalah inflamasi pembuluh darah
atau dikenal sebagai vasculitis. Namun pada
reaksinya, kejadian ini tidak dengan segera
meneybabkan kerusakan jaringan secara menyeluruh,
karena adanya aliran darah (blood flow) yang
mengganggu dan menghambat reaksi. Pada reaksi tipe
III ini juga melibatkan peran dari antibodi (IgG dan
IgM), perbedaannya adalah bahwa antibodi disini
ditunjukkan dan dikhususkan kepada antigen yang
terlarut dalam serum.

Gambar 8.4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Seperti halnya hipersensitivitas tipe II, pada


tipe III ini juga melibatkan antibodi. Reaksi tipe III ini
148 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun,
dimana keruskan dan penghancuran sel diperantarai/
dimediatori oleh kompleks antigen-antibodi. Gambar
4 menunjukkan ilustrasi bagaimana reaksi
hipersensitivitas tipe III berjalan. Ketika terdapat
antibodi yang bergabung (combine) dengan antigennya
yang spesifik, maka akan terbentuk kompleks imun.
Secara normal, kompleks tersebut dapat bertahan
dalam jumlah kecil yang tidak menyebabkan gangguan.
Perlu diketahui juga bahwa antigen yang terlibat pada
tipe III ini mirip dengan tipe lainnya, secara efek tidak
terlalu berbahaya serta merusak penjamunya.
Umumnya sel-sel fagositik dapat membersihkan
kompleks imun pada reaksi tipe III ini tanpa
menyebabkan kerusakan yang signifikan pada
penjamunya. Namun jika memang kompleks imun yang
terbentuk mengendap terlalu banyak maka dapat
mengaktifkan complement, perekrutan sel fagosistik,
dan kerusakan jaringan. Jaringan yang spesifik pada
tipe III ini adalah blood vessel, membran basal dari
glomerulus (ginjal) serta jaringan persendian.

Dimanapun lokasi penyimapanan kompleks


imun tesebut, maka tetap dapat mengaktifkan
complement, sel fagositik (makrofag, neutrophil),
sehingga akan muncul respon inflamasi atau cidera
jaringan. Mediator utama untuk antibodi pada tipe III
ini adalah IgG dan IgM, dan perlu diingat bahwa
antibodi ini akan bergabung dengan antigen yang
terlarut (tidak terikat pada permukaan sel). Antigen
yang menjadi pemicu dapat berasal dari diri sendiri
atau luar (lingkungan). Kerusakan pada jaringan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 149
terutama disebabkan oleh aktivasi complement serta
pelepasan enzim litik oleh neutrophil. Tahapan utama
yang terjadi meliputi deposit kompleks imun pada
jaringan, kemudian terjadi aktivasi complement,
aktivasi complement dapat memicu pelepasan
macrophage chemotactic factor (MCF) berupa C3b dan
C5a, atau melalui kemotaksis neutrofil (Gambar 4).
Makrofag kemudian akan melepaskan enzim serta
spesies oksigen reaktif (SOR) melalui proses
degranulasi yang akan merusak sel/ jaringan sekitar.

5. Hipersensitivitas tipe IV/ tipe lambat


Hipersensitivitas tipe IV dikenal juga sebagai
reaksi tipe lambat atau delayed type
hypersensitivity (DTH). Reaksi tipe IV tidak
melibatkan antibodi, tetapi sel T. akibatnya reaksi
yang timbul merupakan respon imun seluler.
Hipersensitivitas tipe terakhir yaitu tipe IV merupakan
gangguan atau kelainan yang diperantari oleh sel T
sebagai pemain utamanya. Sehingga tidak seperti tipe
lain yang melibatkan antibodi (IgE, IgG, IgM atau
kompleks antigen-antibodi). Reaksi tipe IV ini
diakibatkan oleh peradangan (inflamasi) yang
disebabkan oleh sitokin yang diproduksi dan
disekresikan oleh sel Th1 (CD4+) dan sel Th17. Atau
sitotoksisitas dan pembunuhan (killing) yang dilakukan
oleh sel CTLs CD8+ atau yang dapat kita sebut sebagai
sel T sitotoksik. Tipe IV ini sangat umum dijumpai pada
reaksi infeksi mikroorganisme seperti bakteri, virus,
ataupun fungi dan mikroparasit. Tahapan reaksi tipe IV
dapat dilihat pada Gambar 5.

150 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 8.5. Reaksi Contoh Hipersensitivitas Tipe
IV

Hipersensitivitas tipe IV membutuhkan waktu


yang lama dari awal terjadinya paparan sampai
munculnya reaksi dan respon. Seperti terlihat pada
ilustrasi Gambar 6, antigen yang dicontohkan (misal
alergen) yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan
dengan imunogen, kemudian akan di presentasikan ke
APC (makrofag) setelah antigen terikat pada reseptor
MHC kelas II yang dapat dikenali oleh sel Th naive .
Selanjutnya terjadi pelepasan sitokin pro-inflamasi (IL-
6, IL-12). Pelepasan sitokin ini juga menyebabkan sel Th
Naïve berdiferensiasi (terutama akibat stimulasi IL-12),
menjadi sel Th1. Peran sel Th1 ini adalah mensekresi
interferon-γ, yang berfungsi untuk mengaktivasi
makrofag. Makrofag yang teraktivasi akibat induksi IFN-

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 151
γ akan menyebabkan ekspresi reseptor pada sel endotel
meningkat yang berfungsi untuk merekrut lebih banyak
leukosit ke area. Aktivitas fagositik dari makrofag
menyebabkan pelepasan enzim lisosom dan spesies
oksigen reaktif yang dapat menyebabkan peningkatan
reaksi inflamasi. Kenyataan bahwa APC yang melepaskan
IL-6, juga melepaskan sitokin lain yang berperan untuk
menstimulasi diferensiasi sel Th Naïve menjadi sel Th17,
yang berperan dalam releasing IL-17 (berperan sebagai
aktivator neutrofil), dan menyebabkan reaksi inflamasi
(Gambar 6).

Gambar 8.6. Fase Sensitasi dan Efektor Pada


Hipersensitivitas Tipe Lambat (DTH)

152 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 6 menunjukkan ada dua reaksi utama yang
terjadi pada hipersensitivitas tipe IV ini yaitu fase sensitasi
dan efektor.
a. Fase sensitasi: pada fase ini akan diwali “inisiasi
sensitasi” melalui kontak antigen secara primer. Antigen
akan dikenali dan disajikan kepada APC yaitu sel Th
CD4+. Aktivasi sel CD4+ akan menstimulasi pembentukan
sel Th (perlu diingat bahwa selama kejadian ini, sel Th
akan berkembang dengan mengikat molekul MHC kelas
2). APC yang terlibat pada DTH diantaranya makrofag
dan sel Langerhans, dan sel T CD4+ merupakan sel utama
pada fase sensitasi pada DTH. Beberapa kasus juga
melibatkan sel T CD8+, yang turut berperan pada DTH.
b. Fase efektor: pada fase ini terjadi paparan antigen kedua
kalinya, sehingga menginduksi effector phage. Kemudian
sel Th1 akan mensekresi sitokin dan berperan dalam
rekrutmen serta aktivasi makrofag serta sel inflamsi non-
spesifik pada site masuknya antigen. Makrofag sebagai
efektor utama DTH menunjukan dua tindakan, apakah
istirahat atau teraktivasi (Gambar 6). Tingkat fagositas
yang meningkat ditunjukan pada makrofag yang
teraktivasi sehingga proses killing lebih tinggi. Makrofag
teraktivasi akan mengeluarkan enzim litik yang akan
merusak jaringan sekitar serta bakteri intraseluler.
Aktivasi makrofag sangat penting pada reaksi tipe IV ini,
sebagai pertahanan terhadap parasit atau bakteri
intraseluler. DTH dapat berlangsung negatif jika antigen
tidak mudah untuk dibersihkan, sehingga reaksi DTH
berlangsung terus-menerus dan berakibat pada inflamasi
yang intensif dan kronis, serta reaksi granulomatosa.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 153
b. Perbedaan tipe hipersensitivitas
Tabel 8.2. Perbedaan Tipe-Tipe Reaksi
Hipersensitivitas

C. Rangkuman
1. Hipersensitivitas merupakan sebuah reaksi imun
terhadap antigen yang dapat menyebabkan keruskan
jaringan. Penyakit akibat reaksi hipersensitivitas adalah
hypersensitivity disease atau inflamasi yang
diperantarai oleh imunitas. Reaksi ini muncul akibat
respon abnormal dan tak terkontrol terhadap antigen
asing/ sendiri (self)

154 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
2. Pembagian tipe hipersensitivitas didasarkan atas cara
atau mekanisme terjadinya kerusakan pada jaringan.
Hipersensitivitas tipe I (reaksi cepat), disebabkan oleh
aktivasi terhadap sel Th2 dan Tfh yang menghasilkan IL-
4, serta produksi antibodi (IgE) akibat antigen eksogen
(envirnonment), atau sensitasi mast cells oleh IgE serta
degranulasi mast cells pada repeat exposure.
Hipersensitivitas tipe II (sitotoksik), yang diperantarai
oleh antibodi IgG dan IgM, menyebabkan reaksi inflamasi
yang dimediatori oleh complement dan menyebabkan
kerusakan jaringan. Hipersensitivitas tipe III (kompleks
imun), diperantarai oleh antibodi terlarut (IgG dan IgM),
dimana ikatan antigen-antibodi yang membentuk
kompleks imun yang tedeposit di berbagai tempat
(menyebabkan inflamasi). Hipersensitivitas tipe IV (tipe
lambat), diperantarai oleh sel T, menyebabkan reaksi
inflamasi akibat produksi sitokin pro-inflamasi yang
disekresi oleh sel T CD4+, dan sel Th17, serta killing yang
dilakukan sel T sitotoksik (CD8+).
D. Tugas
1. Jelasakan tentang konsep “alergi” berdasarkan
matreri hipersensitivtas yang sudah kalian pelajari,
dan jelaskan salah satu contoh kejadian alergi
berikut mekansime yang terjadi
2. Jelaskan perbedaan reaksi hipersensitivitas tipe II
dan III yang saudara ketahui. Jelaskan dalam bentuk
narasi.
E. Referensi
Abbas, A. K., Lichtman, A. H., & Pillai, S. (2016). Basic
Immunology: Functions and Disorders of the Immune
System (H. Kalim (ed.); 5th Editio). Elsevier.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 155
Rittenhous-Olson, K., & Ernesto, D. N. (2013a).
Contemporary Clinical Immunology And Serology (1st
Editio). Perason Eduaction, Inc.
Rittenhous-Olson, K., & Ernesto, D. N. (2013b). Imunologi
Dan Serologi Klinis Modern: Untuk Kedokteran Dan
Analis Kesehatan (MLT/CLT): Edisi Terjemahan (Dian
Ramadhani, Devi Yulianti, Risalia Reni Arisanti, Retno
Martini. 2017 (H. Octavius & E. A. Mardella (eds.)).
Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Zubir, F. Z. (2015). Reaksi Hipersensitivitas tipe III. In
Konsep Konsep Dasar Imunologi (pp. 149–158). Divisi
Pulmonologi dan Alergi Imunologi – Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Universitas Sumatera Utara (USU).

F. Glosarium
GM-CSF: Granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF)

CCL2: Chemokine (C-C motif) ligand 2

CXCLB: Comorbidity pathway crosstalk-based targets


and drugs

MCP1: Monocyte chemoattractant protein-1

G. Indeks
Antigen Presenting Cells (APC), 11,12

156 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Hipersensitivitas, 1,2,5,7,9,14

Mast Cells, 2,5,13

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 157
158 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB IX IMUNOLOGI MUKOSA
apt. Muh Taufiqurrahman M.Farm

A. Tujuan pembelajaran :
Mampu memahami respon imunologi pada mukosa

B. Materi
1. Pendahuluan Imunologi Mukosa
Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem
imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari
sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih
bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut;
mukosa berhubungan langsung dengan lingkungan luar
dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri
dari bakteri komensal, antigen makanan dan virus
dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem
imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat
mungkin dicegah agar tidak menempel mukosa dengan
pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan
enzim-enzim mukosa.
Antigen yang telah menembus mukosa juga
dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 159
sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya
respons imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan
oleh karena adanya paparan antigen yang sangat
banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat
memicu respons imun oleh karena adanya paparan
antigen. Sistem imunitas mukosa menggunakan
beberapa mekanisme untuk melindungi pejamu dari
respons imunitas yang berlebihan terhadap isi lumen
usus. Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang
kuat, adanya enzim luminal yang mempengaruhi
antigen diri yang alami, adanya sel T regulator spesifik
yang diatur fungsinya oleh jaringan limfoid usus, dan
adanya produksi antibodi IgA sekretori yang paling
cocok dengan lingkungan usus. Semua mekanisme ini
ditujukan untuk menekan respons imunitas. Kelainan
beberapa komponen ini dapat menyebabkan
peradangan atau alergi.

Gambar 9.1. Mekanisme Sistem Imunitas


160 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
2. Struktur Sistem Imunologi Mukosa
Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian
atas, saluran cerna, saluran genital dan kelenjar
mammae. Mekanisme proteksi terhadap antigen pada
mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang menutupi
mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan
kimiawi yang sangat kuat, sistem imun
mukosa innate berupa eliminasi antigen dengan cara
fagositosis dan lisis, sistem imun mukosa
adaptif dimana selain melindungi permukaan mukosa
juga melindungi bagian dalam badan dari masuknya
antigen lingkungan. Sistem imun lokal ini merupakan
80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat. Sel-
sel ini terakumulasi di dalam atau transit antara
berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Ttisssue (MALT),
bersama-sama membentuk sistem organ limfoid
terbesar pada mamalia.
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama
yaitu; (i) melindungi membran mukosa dari invasi dan
kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin menembus
masuk, (ii) melindungi pengambilan (uptake) antigen-
antigen terdegradasi meliputi protein-protein asing dari
makanan yang tercerna, material di udara yang terhirup
dan bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya
respons imun yang berpotensi merugikan terhadap
antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut
mencapai dalam tubuh. Sehingga disini MALT
menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan
mengatur intensitasnya untuk menghindari kerusakan
jaringan dan proses imun berlebih. Sistem MALT terlihat
sebagai suatu sistem imun kompartemenisasi yang
bagus dan fungsi esensialnya berdiri sendiri dari

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 161
aparatus sistem imun. Secara fungsional, MALT terdiri
dari dua komponen yaitu jaringan limfoid mukosa
terorganisir dan sistem imunologi mukosa tersebar.

Gambar 9.2. Ilustrasi sistem imun mukosa pada


manusia. MALT regional, yang meliputi folikel sel-B dan
epitel terkait-folikel yang mengandung sel-M (M),
berfungsi sebagai situs induktif untuk kekebalan mukosa.
Antigen eksogen secara aktif disampaikan melintasi situs
ini untuk mencapai APC, seperti DC, makrofag, sel B, dan
FDC. Mukosa hidung di tengah berfungsi sebagai contoh
bagaimana DC intra- atau subepitel diam dapat
menangkap antigen di situs efektor dan bermigrasi
melalui pengeringan limfatik ke kelenjar getah bening
lokal atau regional di mana mereka menjadi APC aktif
dan merangsang sel T baik untuk produksi atau
downregulatory. respon imun (menekan). HEV
memungkinkan limfosit B dan T naif untuk memasuki
MALT (dan kelenjar getah bening). Mereka beralih dari
162 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
MALT dan kelenjar getah bening ke sirkulasi perifer
setelah dipersiapkan untuk menjadi memori/efektor B
dan sel T, di mana mereka kemudian akan ekstravasasi
di situs efektor mukosa (dicontohkan oleh mukosa usus
di sebelah kanan). Profil lokal molekul adhesi vaskular
dan kemokin mengontrol proses ini, dengan sel endotel
bertindak sebagai penjaga gerbang regional untuk
imunitas mukosa. Beberapa limfosit B tetapi sejumlah
besar plasmablast dan sel plasma IgA (dimer/polimer)
dan IgM (pentamer) yang mengekspresikan rantai-J
dapat ditemukan di usus lamina propria. Selain itu,
sejumlah besar sel T, sebagian besar CD4+, dan
beberapa sel plasma IgG yang tidak umum dengan
berbagai tingkat rantai-J (J), biasanya ada. Selain itu,
SIgA dan SIgM dibuat melalui transportasi epitel yang
dimediasi pIgR (mSC), dan kebocoran paraseluler
sejumlah kecil (panah rusak) dari antibodi IgG yang
diproduksi secara lokal dan yang diturunkan dari plasma
ke dalam lumen adalah ciri khas lainnya. Reseptor Fc
neonatal berpotensi terlibat dalam transpor IgG aktif
tertentu (tidak diindikasikan). Perlu dicatat bahwa
rantai IgG dan J tidak dapat berinteraksi untuk
menyediakan situs pengikatan untuk pIgR. Selain itu,
diagram ditampilkan menunjukkan distribusi limfosit
intraepitel, terutama reseptor sel-T/+CD8+ dan
beberapa/+sel T. Karakteristik sel M dan "kantungnya"
yang terdiri dari berbagai jenis sel ditunjukkan pada
inset (pojok kiri bawah). Dengan izin Elsevier, karikatur
diubah dari Brandtzaeg dan Pabst1. Sel penyaji antigen,
sel dendritik, sel dendritik folikuler, venula endotel
tinggi, jaringan limfoid terkait mukosa, komponen

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 163
sekretori membran, reseptor Ig polimer, IgA sekretori,
dan IgM sekretorik adalah contoh tipe sel.
3. Respons Umum Imunologi Mukosa
Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel
epitelial abortif dan sel epitelial spesifik (sel membran
atau sel mikrofold atau sel M) di mukosa induktif,
dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-
presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel
dendritik (DC), sel limfosit B dan makrofag) dan
dipresentasikan kepada sel-sel T konvensional αβ CD4+
dan CD8+, semuanya berada pada tempat induktif.
Beberapa antigen juga bisa langsung diproses dan
dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T
intraepitelial tetangga (neighboring intraepithelial T
cells) meliputi sel T dengan limited resevoire
diversity (sel T γδ dan sel NKT). Respons imun mukosa
dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang
terlibat dan lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan
tipe adalah antigen non patogen (protein makanan),
jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan APC lain
terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai
sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif
imunitas sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant,
meliputi kebanyakan patogen, mempunyai motif
disensitisasi oleh APC mukosa sebagai pertanda bahaya
(contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan
kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan
respons imun yang lebih kuat dan luas, baik sekresi
hormonal maupun sisi efektor imunitaas seluler dan
tidak menghasilkan toleransi oral. Ini diasumsikan
bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa
membedakan dari respons pada flora komensal. Tetapi

164 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
terakhir ditemukan bahwa pada kondisi normal, bakteri
komensal dapat dikenali oleh TLR, interaksi ini
tampaknya suatu yang penting untuk menjaga
homeostasis epitel di usus.
Sel B maupun sel T yang tersensitisasi,
meninggalkan tempat asal dimana berhubungan dengan
antigen (contohnya plak payeri), transit melewati
kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi, dan kemudian
menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya
pada mukosa asal dimana mereka kemudian
berdeferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori,
membentuk IgA sekretori. Afinitas sel-sel ini
kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh integrin
pada tempat spesifik (homing reseptors) pada
permukaannya dan reseptor jaringan spesifik
komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler.
Pada penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel
dendritik mukosa dapat mempengaruhi
properti homing . Sel dendritik dari plak payeri dan
limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari
limfa dan perifer, meningkatkan ekspresi reseptor
homing mukosa α4β7 dan reseptor CCR9, suatu reseptor
untuk gut-assosiated chemokine sel T memori dan sel T
CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel
intestinal. Juga, sel dendritikimprinting of gut homing
specifity, terlihat terdiri dari retinoid acid yang
diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi tidak oleh
sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa menjelaskan
dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit
teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas
ke jaringan mukosa jauh dari pada oleh karena imunitas
sistemik. Pada saat yang sama, oleh karena kemokin,

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 165
integrin dan sitokin terekspresi berbeda diantara
jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa menerangkan
sebagian, mengapa didalam sistem imun mukosa, ada
hubungan kompartemenisasi khas dengan tempat
mukosa terinduksi (contohnya usus dengan glandula
mamae dan hidung dengan saluran pernafasan dan
genital).
Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi
pertimbangan tempat diberikannya imunisasi mukosa
akan efek yang diharapkan. Imunisasi oral akan
menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di
proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan
glandula saliva tetapi tidak efektif menginduksi
antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil dan genital
wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan
menghasilkan respons antibodi yang kuat di rektum
tetapi tidak di usus halus dan colon proksimal. Imunisasi
per nasal dan tonsil akan memberikan respons antibodi
di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva dan
nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi
respons imun di mukosa vagina seperti yang terlihat
pada usaha imunisasi HIV. Penelitian pada tikus
ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa
menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.
4. Mekanisme efektor dan regulator pada imunologi
mukosa
1. Mekanisme efektor
Selain mekanisme pembersihan antigen
mekanis dan kimiawi, imuitas mukosa terdiri dari sel
lain berupa sistem imune innate yang meliputi
netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK
(natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan

166 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun
adaptif. Mekanisme pertahanan sistem imun
adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem
yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas
imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal
manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap protease
sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa.
Induksi IgA melawan patogen mukosa dan antigen
protein terlarut bergantung pada sel T helper.
Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA
dipengaruhi oleh TGF-β dan iterleukin (IL)10
bersama-sama dengan IL-4. Diketahui bahwa sel T
mukosa menghasilkan dalam jumlah yang banyak
TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel epitelial mukosa
menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk
bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan
lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel dan
limfosit T tetangga.
Walaupun IgA predominan sebagai
mekanisme pertahanan humoral, IgM dan IgG juga
diproduksi secara lokal dan berperan dalam
mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel T
limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran
penting dalam imunitas pembersihan patogen virus
dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan
terlihat setelah pemberian imunisasi oral, nasal,
rektal ataupun vaginal dan yang terbaru
perkutaneus.
2. Mekanisme regulator
Sistem imun mukosa telah mengembangkan
berbagai cara untuk menjaga toleransi
terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 167
mikroflora, antigen makanan dan material udara
terhirup. Tolerasi tersebut melalui mekanisme;
aktifasi sel penginduksi kematian (induce-cell
death), anergi dan yang paling penting induksi sel T
regulatori. Anergi terhadap sel T antigen spesifik
terjadi bila inhalasi atau menelan sejumlah besar
protein terlarut, dan penghilangan (deleting) sel T
spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis
nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus
sudah diketahui ada 4 sel T regulator, yaitu;
(i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like cells yang
memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel
efektor T helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlowyang
memproduksi IL-10, (iii) sel CD4+ dan CD8+ yang
memproduksi TGF-β (T helper 3), (iv) Sel
Treg (CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi
melalui suatu sel contact-dependent mechanism.
Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat
dikembangkan menjadi suatu bentuk sel antigen
spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa juga
mengubah aktifitas supresor pada sel CD4+ lain
dengan cara menginduksi ekspresi dari transkripsi
faktor Foxp3 dan atau ikatan MHC klas II dengan
molekul LAG-3 pada sel seperti infectious
tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan
langsung antara sel T inhibitor oleh Sel Treg , T
helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural
human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin
α4β7 mukosa, ketika bersama sel T CD4+
konvensional menginduksi sel T sekresiTr 1 like IL
10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T
efektor, dimana α4β1 Treg –positif lain

168 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
memperlihatkan cara yang sama dengan cara
menginduksi Thelper 3-like TGF-β-secreting
supressor T cells.
Data dari studi terakhir mengindikasikan
bahwa kesemua sel regulator yang berbeda tipenya
dan mekanismenya dapat diinduksi atau ditambah
(expand) oleh adanya antigen mukosa mengawali
terjadinya toleransi perifer. Sel T CD8+ γδ
intraepitelial mukosa respirasi dan usus juga
dicurigai berperan dalam toleransi mukosa. Jadi,
mekanisme pertahanan mukosa
dariautoagressive dan penyakit alergi melibatkan
berbagai tahap regulasi. Sedangkan aktivasi,
survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya
dikontrol oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya
sel dendritik jaringan spesifik meliputi sel dendritik
di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 169
Gambar 9.3. (a) Karbohidrat Zwitterionik yang
dilepaskan oleh Bacteroides fragilis mendorong
pertumbuhan sel T CD4+ di inang mamalia. Karbohidrat
zwitterionik menyebabkan pembentukan abses jika
mukosa usus rusak dan B. fragilis menginvasi jaringan
submukosa. Sebaliknya, (b) Clostridium difficile hanya
menyebabkan penyakit ketika flora komensal alami
tubuh terganggu, yang mengakibatkan cedera yang
dimediasi toksin (jingga) pada sel epitel. (c) Sel epitel
lambung yang memiliki Helicobacter pylori yang
melekat padanya mengembangkan gastritis, tukak
lambung, dan, dalam kasus yang jarang terjadi, kanker
lambung akibat peradangan yang terjadi..
5. Imunitas Mukosa Pada Masing-Masing Organ
Mukosa gastrointestinal, urogenital, dan saluran
pernapasan semuanya mengandung folikel limfoid yang
terisolasi.
a. Sistem imunitas mukosa saluran napas
Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri
dari nose-associated lymphoid tissue (NALT),
larynx-associated lymphoid tissue (LALT), and the
bronchus-associated lymphoid tissue (BALT).1BALT
terdiri dari folikel limfoid dengan atau tanpa
germinal center terletak pada dinding bronkus.
Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus
dengan infeksi amnion dan jarang terdapat
walaupun dalam jumlah sedikit pada fetus yang
tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid
intrauterin ini merupakan fenomena reaktif dan
tidak mempengaruhi prognosis.
Respons imun diawali oleh sel M (microfold
cells) yang berlokasi di epitel yang melapisi folikel

170 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang
dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel
M bertugas untuk uptake dan transport antigen
lumen dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel
APC dalam paru terdiri dari sel dendritik submukosa
dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag
alveolus merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana
sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus ini
merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan sel
dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak
terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi
saluran napas dari proses inflamasi pada keadaan
normal. Saat antigen masuk, makrofag alveolus
akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi
sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel
dendritik akan menangkap antigen,
memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah
melalui proses maturasi, akan memilih limfosit
spesifik antigen yang dapat memulai proses imun
selanjutnya.
Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan
bermigrasi dari MALT dan kelenjar limfoid regional
menuju darah perifer untuk dapat melakukan
ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses ini
diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan
kemokin lokal, khususnya mucosal addressin cell
adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik
antigen adalah efektor penting dari fungsi imun
melalui sel terinfeksi yang lisis atau sekresi sitokin
oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi
sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 171
akan membantu sel B untuk berkembang menjadi
sel plasma IgA.
b. Sistem imunitas mukosa saluran cerna
Luas permukaan saluran cerna mencapai
hampir 400m2 dan selalu terpajan dengan berbagai
antigen mikroba dan makanan sehingga dapat
menerangkan mengapa sistem limfoid saluran cerna
(gut associated lymphoid tissue /GALT) memegang
peranan pada hampir 2/3 seluruh sistem imun.
Pertahanan mukosa adalah struktur komplek yang
terdiri dari komponen selular dan non selular.
Pertahanan yang paling kuat masuknya antigen ke
jaringan limfoid mukosa adalah adanya enzim yang
terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon. Enzim
proteolitik di dalam lambung (pepsin, papain) dan
usus halus (tripsin, kimotripsin, protease
pankreatik) berfungsi untuk digesti. Pemecahan
polipeptida menjadi dipeptida dan tripeptida
bertujuan agar dapat terjadi proses digesti dan
absorpsi bahan makanan, dan membentuk protein
imunogenik yang bersifat nonimun(peptida dengan
panjang asam amino <8-10 bersifat imunogenik yang
buruk). Efek protease berlipat ganda dengan adanya
garam empedu yang memecah karbohidrat dan akan
didapatkan suatu sistem yang poten untuk
meningkatkan paparan antigen(Ag). Kadar pH yang
sangat rendah di dalam lambung dan usus halus dan
produk bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai
respons imun terhadap antigen oral. Sebagian besar
respons imun ini berfungsi melindungi manusia dari
bahann patogen. Perubahan untuk merespons atau
menekan respons imun berhubungan dengan cara

172 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
antigen masuk ke dalam tubuh. Patogen invasif
(yang merusak pertahanan) memicu respons agresif,
sedangkan untuk kolonisasi luminal dibutuhkan yang
lebih bersifat respons toleran.
Komponen utama pertahanan tubuh adalah
produk gen musin. Glikoprotein musin melapisi
permukaan epitel dari rongga hidung/orofaring
sampai ke rektum. Sel goblet yang menghasilkan
mukus secara kontinu memberikan pertahanan yang
kuat pada persambungan epitel. Partikel, bakteri
dan virus menjadi terperangkap dalam lapisan
mukus dan akan dikeluarkan dengan proses
persitaltik. Pertahanan ini mencegah patogen dan
antigen masuk ke bagian bawah epitel, disebut
proses eksklusi nonimun. Musin juga berfungsi
sebagai cadangan IgA. Antibodi ini berasal dari
epitel dan dikeluarkan ke dalam lumen.
Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus
berikatan dengan bakteri/virus dan mencegah
menempel pada epitel. Hubungan faktor-faktor,
disebut sebagai faktor trefoil, membantu
memperkuat pertahanan dan memicu pemulihannya
bila terdapat defek. Tidak adanya produk gen musin
atau faktor trefoil, manusia menjadi lebih rentan
terhadap inflamasi dan kurang mampu memperbaiki
kerusakan barier. Apakah defek tersebut berperan
pada pasien dengan alergi makanan masih dalam
penelitian.
Lapisan barier berikutnya adalah sel epitel.
Bersama-sama dengan persambungan bagian apeks
dan basal yang kuat, membran dan ruang antara sel
membatasi masuknya makromolekul yang besar.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 173
Namun demikian, persambungan yang kuat ini masih
mungkin dilalui oleh di- dan tripeptida serta oleh
ion-ion tertentu. Pada keadaan inflamasi,
persambungan ini menjadi kurang kuat sehingga
makromolekul dapat masuk ke dalam lamina
propria, contohnya respons terhadap antigen
makanan atau masuknya mikroorganisme lumen.
Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi
antigen asing, dimana pada individu yang memiliki
bakat alergi akan menginduksi proses alergi menjadi
berlanjut.
Sel epitel usus dapat memproses sebagian
antigen lumen dan mempresentasikannya ke sel T
dalam lamina propria. Dalam keadaan normal,
interaksi ini menyebabkan aktivasi selektif sel T
CD8+ regulator. Pada penyakit tertentu
(contohnya inflammatory bowel disease), aktivasi
beberapa sel rusak sehingga menyebabkan inflamasi
menetap. Pada alergi makanan, alergen yang
menembus epitel akan menempel pada sel mast
mukosa . Sel T yang teraktivasi dalam Peyer’s
patch setelah paparan dengan antigen disebut
sebagai Th3. Sel ini berfungsi
mengeluarkan transforming growth factor-
β, memicu sel B untuk menghasilkan IgA dan
berperan pada terjadinya toleransi oral (aktivasi
antigen spesifik non respons terhadap antigen yang
masuk per oral). Sel T regulator yang paling baru
dikenal adalah dengan fenotip CD4+ CD25+
CD45RA+. Sel ini awalnya dikenal pada gastritis
autoimun dan berfungsi menghambat kontak antar

174 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
sel dan dapat menyebabkan kelainan autoimun pada
neonatus yang mengalami timektomi.
6. Aspek Klinis Imunologi Mukosa
a. Imunisasi
Alasan utama menggunakan vaksinasi
melalui mukosa adalah bahwa fakta kebanyakan
infeksi masuk melalui permukaan mukosa dan pada
infeksi ini, jarang diberikan vaksin topikal untuk
menginduksi respons imun protektif. Vaksinasi
mukosa diharapkan akan memberikan perlindungan
dengan cara mencegah penempelan dan kolonisasi
patogen pada epitel mukosa dan mencegah
penetrasi dan replikasi di mukosa serta menangkal
ikatan toksin mikrobial pada epitel mukosa dan sel
lain yang terkena. Beberapa organisme (V.
cholerae) memberikan imunitas dengan cara
memproduksi IgA sekretori dan dihubungkan
dengan memori imunologi. Organisme lain (H.
pylori, klamidia, herpes) memberikan imunitas
protektif dengan diperantarai oleh sel T helper CD4
dan mungkin juga sel sitolitik CD8 dan sel NK. Pada
mukosa pernafasan dan genital yang lebih
permeabel dan mudah dipenetrasi oleh antibodi
daripada mukosa intestinal, juga bisa mendapatkan
imunitas protektif dengan pemberian imunisasi
parenteral. Cara yang sama juga bisa terjadi pada
infeksi enterik (Shigella spp dan Salmonella typhi).
Infeksi kedua organisme ini bisa menyebabkan
penyakit setelah multiplikasi dan induksi inflamasi
di kelenjar limfoid mukosa. Walaupun demikian
masih ada kesulitan dalam mengembangkan vaksin
mukosa untuk mendapatkan kadar antibodi IgAs

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 175
yang memadai. Baru beberapa vaksin mukosa yang
ditemukan. Idealnya vaksin mukosa: (i) terlindungi
dari eliminasi fisik dan enzim pencernakan, (ii)
tempat target masuk mukosa meliputi membran
atau sel M, (iii) paling tidak, vaksin untuk melawan
infeksi, menstimulasi secara tepat sistim
imun innate yang akan mengaktifkan sistem imun
adaptif. Untuk itu perlu dicari sistem pengantaran
antigen dan adjuvant yang baik. Dalam penelitian,
adjuvant yang paling baik adalah toksin kolera.
Molekul DNA bakteri atau oligodeoxynucleotide juga
merupakan adjuvant yang menjanjikan.
Pada vaksin oral polio, akan bisa
menghasilkan antibodi di darah yang menimbulkan
efek proteksi mencegah terjadinya mielitis akibat
sebaran virus polio yang menempel di sistem saraf.
Kelebihan OPV dibanding dengan IPV, OPV bisa juga
mempoduksi IgAs yang memberikan respons imun
lokal di mukosa intestinal, tempat primer virus polio
untuk replikasi dan multiplikasi. Hal ini bisa
mencegah penularan orang ke orang, dan
menimbulkan herd immunity. Walau ada
kelemahan akan adanya virulensi yang pulih pada
virus vaksin sehingga bisa menyebabkan sakit.
Vaksin-vaksin untuk melawan infeksi enterik
antara lain V.cholerae, S.typhidan rotavirus. Tetapi
masih belum ditemukan vaksin untuk ETEC dan
shigella. Kolera merupakan organisme terbanyak
penyebab diare bakterial. Sebelumnya diberikan
imunisasi parenteral tetapi tidak menimbulkan
respons imun mukosa usus sehingga sekarang sudah
ditarik. Saat ini ada 2 vaksin kolera oral yang terdiri

176 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dari pertama, vaksin rekombinan dan vaksin
inaktifasi yang terbukti aman dan stabil, efektif,
dan bisa menghasilkan herd immunity. Efek poteksi
didapat dari produksi antibodi SigA anti-toksin dan
anti-bakterial di usus. Kedua, vaksin kolera hidup
yang dilemahkan terbukti aman dan bisa
memberikan proteksi 60-100% di negara tidak
endemis, tetapi tidak bisa membeikan proteksi yang
bermakna di negara endemis sepeti Indonesia.
Vaksin terhadap tifus pertama kali berupa
vaksin sel utuh, memberikan proteksi yang baik
tetapi terdapat reaksi lokal yan berat dan sering
demam. Saat ini ada 2 jenis yang direkomendasikan
yaitu vaksin yang terdiri dari antigen Vi kapsul
polisakarida murni, diberikan secara parenteral
dosis tunggal yang memberikan proteksi 70% dan
aman ditoleransi dengan baik. Jenis yang lain
adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang diberikan
secara oral memberikan perlindungan 67% selama 3
tahun, akan tetapi proteksi imunitas mukosa lokal
belum diketahui. Vaksin rotavirus yang terdahulu
adalah suatu vaksin quadrivalen dari rotavirus resus
monyet, tetapi cepat ditarik karena dicurigai
menyebabkan intususepsi. Saat ini telah
dikembangkan vaksin oral rotavirus hidup yang
dilemahkan, memberikan proteksi 62-90%.
Vaksin untuk infeksi saluran nafas antara lain
vaksin influensa dan pneumokok yang disuntikkan.
Diharapkan akan terbentuk IgG yang melindungi
penyebaran sistemik organisme tersebut. Dimana
mungkin juga secara transudasi memberikan
proteksi lokal mukosa saluran pernafasan bawah.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 177
Saat ini telah ada vaksin influensa yang diberikan
topikal lewat nasal. Dengan cara ini tejadi respons
imun seperti alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal
dengan membentuk sIgA yang menempel di
permukaan virus hemaglutinin dan neuroamidase
dan sistemik dengan cara membentuk IgG yang
mencegah penyebaran virus sistemik, viremia.
Kedua macam vaksin tersebut memberikan proteksi
sebesar 60-90%.
Vaksin mukosa untuk imunoterapi saat ini
mulai dipikirkan. Adanya toleransi imunologi di
mukosa menjadikan pilihan strategi untuk
mengembangkannya, untuk mengobati kesakitan
yang diakibatkan reaksi imun terhadap alergen
maupun antigen-self atau autoimmune disease.
Masih perlu diteliti lagi seberapa besar dan
seberapa sering alergen yang diberikan untuk bisa
menimbulkan efek protektif dengan aman. Teknik-
teknik baru dengan menggunakan modifikasi
alergen, vaksinasi gen alergen atau analog peptida
digabung dengan adjuvant yang sesuai
meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi
mukosa pada alergi dan asma.
b. Penyakit inflamasi usus
Ada dua penyakit yang penting pada
penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel
disease) yaitu kolitis ulserativa (UC) dan Crohn’s
disease (CD). Kedua penyakit itu bisa mengenai baik
anak-anak maupun dewasa. Penyakit UC adalah
suatu keadaan yang ditandai dengan adanya respons
inflamasi dan perubahan morfologi pada kolon.
Inflamasi terbatas di sepanjang kolon dan dapat

178 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
diikuti dengan ulkus, edema dan perdarahan.
Sedangkan CD adalah inflamasi menyerupai UC
tetapi bisa terjadi di seluruh bagian dari usus.
Bisanya segmen yang sakit diselingi bagian segmen
usus yang sehat disebut sebagai skip area.
Respons inflamasi yang merusak disebabkan
langsung oleh karena pengenalan terhadap self-
antigen seperti musin, sel goblet, kolonosit, dan
sel-sel lain. Sejumlah penelitian mencurigai CD
pada manusia adalah suatu penyakit yang
diperantarai sel T helper 1 dan berlebihan.
Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa
yang memerantarainya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa profil sitokin UC lain dengan
CD. Kemungkinan yang lebih berperan dalan UD
adalah T helper 2 dibanding T helper 1, juga
dicurigai adanya respons imun humoral yang
abnormal terjadi pada UC.
c. Imunitas mukosa saluran pernafasan pada asma
dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Imunoglobulin A berperan pada homeostasis
mukosa dan pertahanan host serta merupakan
mekanisme pertahanan pertama terhadap kelainan
jalan nafas kronis. Ini sudah diketahui, tetapi
perannya terhadap PPOK dan asma baru sedikit
diketahui. Pada PPOK diperkirakan bahwa respons
IgA mukosa terganggu dan terjadi kekurangan
transport IgA melewati epitel bronkus, yang
mungkin memunculkan proteinase neutrofil, dimana
akan mendegradasi reseptor imunoglobulin yang
dimediasi rute transepitelial ini. Sebaliknya,
respons IgA terhadap alergen pada asma memainkan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 179
peran suatu proses patogenik dengan cara aktifasi
eosinofil. Jadi, IgA menginduksi degranulasi
eosinofil, dimana kita ketahui bahwa produk
degranulasi eosinofil terdiri dari mediator-mediator
inflamasi yang menyebabkan klinis asma terjadi.
Defisiensi IgA selektif berhubungan dengan
peningkatan prevalensi atopi, dimana pada
percobaan pada tikus dengan asma menunjukan
adanya efek protektif oleh IgA. Sehingga masih
diperlukan penelitian lagi untuk mencari peran
imunitas mukosa dan kemungkinan imunoterapi
yang efektif terhadap asma dan PPOK.
d. Peran imunitas mukosa urogenital terhadap
infeksi saluran kemih
Selain pertahanan fisik, kimiawi dan sistem
imune innate , IgA mempunyai peran yang sangat
penting dalam pertahana terhadap antigen dan
patogen di saluran urogenital. Ada satu penelitian
yang mengukur kadar IgA urine pada anak-anak
perempuan dengan ISK asimtomatik dan anak-anak
ISK simtomatik dibandingkan dengan anak sehat
tanpa ISK. Mereka menemukan bukti bahwa pada
anak sehat, ekskresi IgA rendah pada bayi kurang
dari 6 bulan dan pada umur 6-15 tahun terlihat
sekresi IgA meningkat dengan bertambahnya umur.
Pada anak-anak dengan ISK berulang asimtomatik
tanpa kelainan saluran kemih, ternyata mempunyai
kadar IgA yang lebih rendah dibanding kontrol.
Sedangkan pada anak dengan ISK simtomatik tanpa
kelainan saluran kemih mempunyai kadar ekskresi
IgA yang lebih tinggi dari kontrol. Anak dengan ISK
simtomatik dengan kelainan saluran kemih

180 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
mempunyai kadar ekskresi IgA paling tinggi.
Disimpulkan bahwa kadar IgA rendah bisa dijadikan
pertanda terjadinya ISK berulang pada anak-anak
perempuan tanpa kelainan saluran kemih.
Imunoterapi kelihatannya mempunyai
prospek yang baik untuk tatalaksana ISK dimasa
mendatang. Paling tidak ada 2 penelitian yang
mendukung hal tersebut. Penelitian dengan
menggunakan vaksinasi pervaginal terdapat
perbadaan bermakna angka reinfekasi dibanding
plasebo. Pada kelompok vaksin memperlihatkan 50%
pasien tidak terjadi reinfeksi ISK dibanding hanya
17% pada plasebo. Sedangkan penelitian yang
menggunakan vaksin oral, suatu metaanalisis
menyatakan bahwa pasien ISK yang mendapatkan
vaksin (18 uropatogenik E. coli) terjadi penurunan
yang nyata pada angka rekurensi dibanding dengan
plasebo. Tidak didapatkan perbedaan efek samping
yang bermakna dibanding kontrol. Sehingga, dengan
adanya resistensi yang semakin meningkat,
imunoterapi terhadap ISK akan menjadi alternatif
yang efeksif dan aman.
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi
utama yaitu; (i) melindungi membran mukosa dari
invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang
mungkin menembus masuk, (ii) melindungi
pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi
meliputi protein-protein asing dari makanan yang
tercerna, material di udara yang terhirup dan
bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya
respons imun yang berpotensi merugikan terhadap

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 181
antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut
mencapai dalam tubuh.
Mekanisme pembersihan antigen melalui
beberapa cara yaitu; mekanis dengan barries fisik,
kimiawi dengan enzim-enzim, sistem
imune innatemeliputi netrofil fagositik dan
makrofag, denritik sel, sel NK (natural killer), dan
sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi
patogen dan inisisasi respons imun adaptif.
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di
permukaan mukosa adalah suatu sistem yang
diperantarai antibodi IgA sekretori. Sistem imunitas
mukosa mempunyai berbagai cara untuk menjaga
toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan
pada mikroflora, antigen makanan dan material
udara terhirup. Tolerasi tersebut antara lain melalui
mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian
(induce-cell death), anergi dan yang paling penting
induksi sel T regulator. Adanya toleransi imun ini
melindungi tubuh dari terjadinya reaksi imun yang
berlebihan yang merugikan.
Kelainan klinis yang berhubungan dengan
imunitas mukosa diantaranya adalah defisiensi IgA
selektif, inflammatory bowel disease, asma dan
PPOK . Defisiensi IgA selektif adalah defisiensi berat
atau total tidak ada imunoglobulin A dalam serum
atau sekresi, tanpa ada defisiensi klas
imunoglobulin lain dimana fungsi sel T limfosit,
fagosit dan komplemen masih normal. kemungkinan
penyebab defisiensi ini adalah gangguan sintesis
akibat sel B tidak bisa mencapai matur atau
gangguan sekresi. Penyakit inflamasi usus

182 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
(inflammatory bowel disease) yaitu kolitis
ulcerativa (UC) dan Crohn’s disease (CD),
penyebabnya belum diketahui. Sejumlah penelitian
mencurigai CD pada manusia adalah suatu penyakit
yang diperantarai sel T helper 1 dan berlebihan.
Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa
yang memerantarainya. Pada asma, respons IgA
terhadap alergen memainkan peran suatu proses
patogenik dengan cara aktifasi eosinofil, sedangkan
PPOK diperkirakan bahwa respons IgA mukosa
terganggu dan terjadi kekurangan transport IgA
melewati epitel bronkus, yang mungkin
memunculkan proteinase neutrofil, dimana akan
mendegradasi reseptor imunoglobulin yang
dimediasi rute transepitelial ini.
Sistem imunitas mukosa ternyata
mempunyai sifat kompartemenisasi dimana ada
hubungan imunitas antara satu kompartemen
dengan kompartemen lain. Adanya hubungan
kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan
tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek
yang diharapkan. Vaksinasi mukosa dan imunoterapi
kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk
tatalaksana infeksi dimasa mendatang,
menggantikan peran antibiotik yang semakin
bertambah resistensinya dan antivirus. Untuk itu,
pemahaman imunologi mukosa yang komplek dan
belum sepenuhnya dimengerti menjadi sangat
penting.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 183
C. Rangkuman
Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas,
karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung
dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak
antigen yang terdiri dari bakteri komensal, antigen
makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan sistem imunitas sistemik. Hal ini
untuk mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan
yang akhirnya merugikan oleh karena adanya paparan
antigen yang sangat banyak. Sistem imunitas mukosa
menggunakan beberapa mekanisme untuk melindungi
pejamu dari respons imunitas yang berlebihan terhadap isi
lumen usus. Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik
yang kuat, adanya enzim luminal yang mempengaruhi
antigen diri yang alami, adanya sel T regulator spesifik yang
diatur fungsinya oleh jaringan limfoid usus, dan adanya
produksi antibodi IgA sekretori yang paling cocok dengan
lingkungan usus.
Mekanisme proteksi terhadap antigen pada mukosa,
terdiri dari: membran mukosa yang menutupi mukosa
dan enzim adalah perlindungan mekanik dan kimiawi
yang sangat kuat, sistem imun mukosa innate berupa
eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis,
sistem imun mukosa adaptif dimana selain melindungi
permukaan mukosa juga melindungi bagian dalam
badan dari masuknya antigen lingkungan. Sel-sel ini
terakumulasi di dalam atau transit antara
berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid
Ttisssue (MALT), bersama-sama membentuk sistem
organ limfoid terbesar pada mamalia. Sistem imun
mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)
melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi
184 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
mikroba berbahaya yang mungkin menembus masuk,
(ii) melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen
terdegradasi meliputi protein-protein asing dari
makanan yang tercerna, material di udara yang
terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi
berkembangnya respons imun yang berpotensi
merugikan terhadap antigen-antigen tersebut bila
antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Secara
fungsional, MALT terdiri dari dua komponen yaitu
jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem
imunologi mukosa tersebar.
Mukosa hidung di tengah berfungsi sebagai contoh
bagaimana DC intra- atau subepitel diam dapat
menangkap antigen di situs efektor dan bermigrasi
melalui pengeringan limfatik ke kelenjar getah
bening lokal atau regional di mana mereka menjadi
APC aktif dan merangsang sel T baik untuk produksi
atau downregulatory. Mereka beralih dari MALT dan
kelenjar getah bening ke sirkulasi perifer setelah
dipersiapkan untuk menjadi memori/efektor B dan
sel T, di mana mereka kemudian akan ekstravasasi di
situs efektor mukosa (dicontohkan oleh mukosa usus
di sebelah kanan). Profil lokal molekul adhesi
vaskular dan kemokin mengontrol proses ini, dengan
sel endotel bertindak sebagai penjaga gerbang
regional untuk imunitas mukosa. Beberapa limfosit B
tetapi sejumlah besar plasmablast dan sel plasma IgA
(dimer/polimer) dan IgM (pentamer) yang
mengekspresikan rantai-J dapat ditemukan di usus
lamina propria.
Selain itu, sejumlah besar sel T, sebagian besar CD4+,
dan beberapa sel plasma IgG yang tidak umum dengan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 185
berbagai tingkat rantai-J (J), biasanya ada. Respons
Umum Imunologi Mukosa Antigen yang berada di
lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan sel
epitelial spesifik (sel membran atau sel mikrofold atau
sel M) di mukosa induktif, dibawa atau langsung
ditangkap oleh antigen-presenting cel (APC)
profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC), sel
limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada
sel-sel T konvensional αβ CD4+ dan CD8+, semuanya
berada pada tempat induktif. Respons imun mukosa
dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang
terlibat dan lingkungan mikro lokal. Dengan
kebanyakan tipe adalah antigen non patogen (protein
makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan
APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons
berbagai sel T regulator, biasanya hasilnya adalah
supresi aktif imunitas sistemik, toleransi oral.
Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan patogen,
mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa
sebagai pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like
reseptor (TLR)) disatu sisi dan kondisi proinflamasi
pada umumnya, menghasilkan respons imun yang lebih
kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi
efektor imunitaas seluler dan tidak menghasilkan
toleransi oral. Ini diasumsikan bahwa pengenalan
patogen oleh TLR APC mukosa membedakan dari
respons pada flora komensal..
D. Tugas
Uraikan Pengembangan terkini dari penerapan Imunologi
Mukosa
E. Referensi
186 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
 Alswat, K., Al-Harthy, N., Mazrani, W., Alshumrani, G.,
Jhaveri, K., & Hirschfield, G. M. (2012). The spectrum
of sclerosing cholangitis and the relevance of IgG4
elevations in routine practice. Official journal of the
American College of Gastroenterology| ACG, 107(1),
56-63.
 Alpert, M. D., Harvey, J. D., Lauer, W. A., Reeves, R.
K., Piatak Jr, M., Carville, A., ... & Evans, D. T. (2012).
ADCC develops over time during persistent infection
with live-attenuated SIV and is associated with
complete protection against SIVmac251 challenge.
 Abul K. Abbas, Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. 2020.
Basic Immunology: Functions And Disorders Of The
Immune System, Sixth Edition. Elsevier Inc.
 Bertolino, P., Trescol-Biémont, M. C., & Rabourdin-
Combe, C. (1998). Hepatocytes induce functional
activation of naive CD8+ T lymphocytes but fail to
promote survival. European journal of immunology,
28(1), 221-236..
 Canary, L. A., Vinton, C. L., Morcock, D. R., Pierce, J.
B., Estes, J. D., Brenchley, J. M., & Klatt, N. R. (2013).
Rate of AIDS progression is associated with
gastrointestinal dysfunction in simian
immunodeficiency virus–infected pigtail macaques. The
Journal of Immunology, 190(6), 2959-2965..
 Flatz, L., Cheng, C., Wang, L., Foulds, K. E., Ko, S. Y.,
Kong, W. P., ... & Nabel, G. J. (2012). Gene-based
vaccination with a mismatched envelope protects
against simian immunodeficiency virus infection in
nonhuman primates. Journal of virology, 86(15), 7760-
7770.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 187
 Holmgren, J., & Czerkinsky, C. 2005. Mucosal immunity
and vaccines. Nature medicine, 11(4), S45-S53.
 Johnson AG, Richard J. Ziegler P, Louise Hawley P.
2019. Board Review Series : Microbiology &
Immunology. 5th Edition. Volume 53. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Judy Owen, Jenni Punt, Sharon Stranford. 2019. Kuby
Immunology. 9th edition. W.H. Freeman & Company.
 Manafe, A. M., Fouk, M. F. W., & Ratu, M. 2020. Asuhan
Keperawatan Pada Nn. Gb Dan Tn. Mba Yang Mengalami
Hiv/Aids Dengan Masalah Perubahan Membran Mukosa
Oral Di Ruang Melati Dan Flamboyan Rsud Mgr. Gabriel
Manek, Svd Atambua. Jurnal Sahabat Keperawatan,
2(02), 18-32.
 Li W, Deng G, Li M, Liu X, Wang Y. 2012. Roles of
Mucosal Immunity against Mycobacterium tuberculosis
Infection. Tuberculosis research and treatment.
 Ogra, P. L., Mestecky, J., Lamm, M. E., Strober, W.,
McGhee, J. R., & Bienenstock, J. 2012. Handbook of
mucosal immunology. Academic Press.
 Prakoeswa, F. R. 2020. Peranan Sel Limfosit Dalam
Imunulogi: Artikel Review. Jurnal Sains dan Kesehatan,
2(4), 525-537.
 Rich, R., et al. 2019. Clinical Immunology Principles
and Practice. Elsevier Inc.
 Sato S, Kiyono H. 2012. The mucosal immune system of
the respiratory tract. Current opinion in virology.
 Sproston, N. R., & Ashworth, J. J. 2018. Role of C-
reactive protein at sites of inflammation and infection.

188 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Frontiers in Immunology, 9(APR), 1–11.
https://doi.org/10.3389/fimmu.2018.00754
 Wahyuni, I. S., Sufiawati, I., & Levita, J. 2022.
Farmakologi Obat Ulserasi Mukosa Mulut. Penerbit
NEM.
F. Glosarium
G. Indeks

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 189
190 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB X IMUNODEFISIENSI

Witriyani,S.Kep.,Ns.,M.Kep.,CWCS

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan kegiatan belajar ini,
Mahasiswa diharapkan:
1. Mampu memahami pengertian imunodefisiensi
2. Mampu memahami klasifikasi imunodefisiensi
3. Mampu memahami etiologi imunodefisiensi
4. Mampu memahami manifestasi klinis
imunodefisiensi
5. Mampu memahami dampak imunodefisiensi
terhadap tubuh

B. Materi
1. Pengertian Imunodefisiensi
Imunitas merupakan kekebalan terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Imun sistem
adalah semua hal yang berperan dalam proses imun
seperti sel, protein, antibody dan sitokin/kemokin.
Fungsi utama sistem imun adalah pertahanan
terhadap infeksimikroba, walaupun substansi non
infeksious juga dapat meningkatkan kerja sistem

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 191
imun. Respon imun adalah proses pertahanan tubuh
terhadap semua bahan asing, yang terdiri dari
sistem imun non spesifik dan spesifik.
Imunodefisiensi adalah kondisi ketika
kekebalan tubuh terganggu sehingga tidak bisa
melawan infeksi dan penyakit. Jenis gangguan ini
dapat membuat tubuh mudah terinfeksi oleh virus
dan bakteri. Gangguan ini bisa dimiliki sejak lahir
(primer) atau didapatkan di kemudian hari
(sekunder). Keadaan ini terjadi oleh adanya
penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Hal
ini dapat terjadi secara primer yang pada umumnya
disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan,
serta secara sekunder akibat penyakit utama lain
seperti infeksi, pengobatan kemoterapi,
sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan
(menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia
lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).

2. Klasifikasi Imunodefisiensi
Imunodefisiensi terbagi menjadi dua, yaitu
imunodefisiensi primer yang hampir selalu
ditentukan faktor genetik. Sementara
imunodefisiensi sekunder bisa muncul sebagai
komplikasi penyakit seperti infeksi, kanker, atau
efek samping penggunaan obat-obatan dan terapi.

a. Imunodefisiensi Primer
Gangguan immunodefisiensi primer merujuk
beragam gangguan yang ditandai dengan
berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau
lebih komponen dari sistem kekebalan tubuh.

192 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gangguan tersebut dapat bersifat kronis dan
biasanya merupakan gangguan yang cukup penting.
Imunodefisiensi primer menyebabkan individu tidak
dapat merespon secara adekuat infeksi yang ada
sehingga respon terhadap gangguan infeksi tidak
adekuat. Para peneliti telah mengidentifikasi lebih
dari 150 jenis imunodefisiensi primer.
Imunodefisiensi dapat mempengaruhi limfosit B,
limfosit T, atau fagosit. Gangguan imunodefisiensi
primer diantaranya yaitu:
1) Defisiensi IgA (imunoglobulin)
Imunoglobin ditemukan terutama di air
liur dan cairan tubuh lain sebagai perlindungan
pertama tubuh. Penyebabnya genetik maupun
infeksi toksoplasma, virus cacar, dan virus
lainnya. Orang yang kekurangan IgA cenderung
memiliki alergi atau mengalami pilek dan infeksi
pernapasan lain walaupun tidak parah.
2) Granulomatos kronis (CGD)
Penyakit imunodefisiensi yang diwariskan
sehingga penderitanya rentan terhadap infeksi
bakteri atau jamur tertentu. Penderitanya tidak
dapat melawan infeksi kuman yang umumnya
ringan pada orang normal.
3) Bruton's Agammaglobulinemia
Kelainan yang ditandai kegagalan
prekursor limfosit B karena cacat pada gen
kromosom X. Penyakit ini paling sering
ditemukan pada pria walaupun secara sporadik
terjadi juga pada wanita. Penyakit mulai
terlihat pada usia 6 bulan setelah imunoglobin
maternal mulai habis.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 193
4) Severe combined immunodeficiency (SCID)
SCID adalah gangguan sistem kekebalan
tubuh serius karena limfosit B dan limfosit T.
Mereka yang kekurangan hampir mustahil
melawan infeksi. Bayi yang mengalam SCID
umumnya mengalami kandidiasis oral, diaper
rash, dan kegagalan berkembang.
5) Sindroma DiGeorge (thymus displasia)
Sindrom cacat lahir dengan penderita
anak-anak yang lahir tanpa kelenjar timus.
Tanda sindroma ini antara lain menurunnya level
sel T, tetanus, dan cacat jantung bawaan.
Telinga, wajah, mulut dan wajah dapat menjadi
abnormal.
6) Sindroma Chediak-Higashi
Ditandai dengan ketidakmampuan
neutrofil untuk berfungsi sebagai fagosit secara
normal.
7) Hyper IgM syndrome
Penyakit ini ditandai dengan produksi IgM
tetapi defisiensi IgA dan IgE. Akibatnya terjadi
cacat pada respon imun sel T helper dan
maturasi sel B dalam sekresi imunoglobin
terhambat.
8) Wiskott-Aldrich Syndrome
Penyakit yang terkait dengan kromosom X
ditandai dengan trombositopenia, eksema, dan
rentan infeksi sehingga menyebabkan kematian
dini.

b. Imunodefisiensi Sekunder

194 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Penyakit ini berkembang umumnya setelah
seseorang mengalami penyakit. Penyebab yang lain
termasuk akibat luka, kurang gizi atau masalah
medis lain. Sejumlah obat-obatan juga
menyebabkan gangguan pada fungsi kekebalan
tubuh. Immunodefisiensi sekunder, diantaranya
yaitu :
1) Infeksi
HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS
(acquired immunodeficiency syndrome) adalah
penyakit umum yang terus menghancurkan sistem
kekebalan tubuh penderitanya. Penyebabnya adalah
virus HIV yang mematikan beberapa jenis limfosit
yang disebut sel T-helper. Akibatnya, sistem
kekebalan tubuh tidak dapat mempertahankan
tubuh terhadap organisme biasanya tidak
berbahaya. Pada orang dewasa pengidap AIDS,
infeksi HIV dapat mengancam jiwa.
2) Kanker
Pasien dengan kanker yang menyebar luas
umumnya mudah terinfeksi mikroorganisma. Tumor
bone marrow dan leukimia yang muncul di sumsum
tulang belakang dapat mengganggu pertumbuhan
limfosit dan leukosit. Tumor juga menghambat
fungsi limfosit seperti pada penyakit Hodgkin.

3) Obat-obatan
Beberapa obat menekan sistem kekebalan
tubuh, seperti obat kemoterapi yang tidak hanya
menyerang sel kanker tetapi juga sel-sel sehat
lainnya, termasuk dalam sum-sum tulang belakang
dan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, gangguan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 195
autoimun atau mereka yang menjalani transplantasi
organ dapat mengurangi kekebalan tubuh melawan
infeksi.
4) Pengangkatan Lien
Pengangkatan lien sebagai terapi trauma atau
kondisi hematologik dapat menyebabkan
peningkatan suspeksibilitas terhadap infeksi
terutama Streptococcus pneumoniae.

3. Etiologi
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi
yang didapat antara lain:
a. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme
1) Diabetes
2) Sindroma Down
3) Gagal ginjal
4) Malnutrisi
5) Penyakit sel sabit
b. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan
sistem kekebalan
1) Kemoterapi kanker
2) Kortikosteroid
3) Obat immunosupresan
4) Terapi penyinaran
c. Infeksi
1) Cacar air
2) Infeksi sitomegalovirus
3) Campak Jerman (rubella kongenital)
4) Infeksi HIV (AIDS)
5) Mononukleosis infeksiosa
6) Campak
7) Infeksi bakteri yang berat

196 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
8) Infeksi jamur yang berat
d. Penyakit darah dan kanker
1) Agranulositosis
2) Semua jenis kanker
3) Anemia aplastik
4) Histiositosis
5) Leukemia
6) Limfoma
7) Mielofibrosis
8) Mieloma
e. Pembedahan dan trauma
1) Luka bakar
2) Pengangkatan limpa
f. Lain-lain
1) Sirosis karena alkohol
2) Hepatitis kronis
3) Penuaan yang normal
4) Sarkoidosis
5) Lupus eritematosus sistemik

4) Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang menonjol pada
Imunodefisiensi adalah infeksi berulang atau
berkepanjangan atau oportunistik atau infeksi
yang tidak umum yang tidak memberikan respon
yang adekuat terhadap terapi antimikroba. Telah
diketahui bahwa reaksi imunologi pada infeksi
merupakan interaksi antara berbagai komponen
dalam sistem imun yang sangat komplek. Kelainan
pada sistem fagosit, limfosit T dan limfosit B
maupun dalam sistem komplemen dapat
menampilkan gejala klinik yang sama sehingga

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 197
sulit dipastikan komponen mana dari sistem imun
yang mengalami gangguan. Penderita dengan
defisiensi limfosit T biasanya menunjukan
kepekaan terhadap infeksi virus, protozoa, dan
jamur yang biasanya dapat diatasi dengan respon
imun seluler. Gejala penyakit imunodefisiensi
berbeda-beda tergantung pada jenisnya dan
individu. Tanda dan gejala imunodefisiensi
meliputi:
a) Pneumonia, bronkitis, infeksi sinus, infeksi
telinga, meningitis, atau infeksi kulit yang
berulang
b) Infeksi darah
c) Peradangan dan infeksi organ dalam
d) Kelainan darah, seperti jumlah trombosit yang
rendah atau anemia
e) Masalah pencernaan, seperti kram, kehilangan
nafsu makan, mual, dan diare
f) Pertumbuhan dan perkembangan lambat atau
tertunda
g) Gangguan autoimun, seperti lupus,
rheumatoid arthritis serta diabetes tipe 1.
5) Dampak Imunodefisiensi Terhadap Tubuh
Respon imun bawaan merupakan garis
pertahanan pertama terhadap organisme yang
berpotensi menyerang pertahanan tubuh.
Pengenalan yang baik terhadap ancaman dan
induksi gangguan dari kaskade inflamasi
merupakan langkah-langkah penting dalam
mengeliminasi organisme patogen dari sistem.
Kegagalan sistem bawaan untuk mengidentifikasi
patogen akan berdampak menunda induksi respon

198 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
imun dan dapat memperburuk hasil infeksi.
Banyak sel dan protein yang terlibat dalam respon
imun bawaan termasuk diantaranya fagosit
(neutrofil dan makrofag), sel dendritik dan
protein komplemen. Fagosit terutama bertanggung
jawab untuk proses fagositosis, sebuah proses di
mana sel menelan dan menghilangkan patogen
yang menyerang tubuh. Protein komplemen
berfungsi untuk mengidentifikasi dan
mengopsonisasi (mantel) antigen asing membuat
mereka rentan terhadap fagositosis. Cacat
dalam pengembangan dan fungsi dari setiap
unsur-unsur kekebalan bawaan dapat
menyebabkan imunodefisiensi primer dan kata
lain gangguan imunodefisiensi primer akan
berdampak pada kurang adekuatnya sel tubuh
membentuk pertahanan untuk mengikat
patogen. Kegagalan ini pada umumnya disebabkan
oleh karena mutasi gen atau faktor biokimia lain
seperti enzym.
Sedangkan imunodefiensi sekunder akan
berdampak yaitu semakin menurunnya respon
kekebalan tubuh manusia dimana individu
tersebut akan mudah sekali mengalami infeksi
oportunistik (infeksi penyerta) sehingga kualitas
hidup individu tersebut akan semakin menurun.

C. Rangkuman
Imunodefisiensi adalah kondisi ketika
kekebalan tubuh terganggu sehingga tidak bisa
melawan infeksi dan penyakit. Jenis gangguan ini

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 199
dapat membuat tubuh mudah terinfeksi oleh virus
dan bakteri. Imunodefisiensi terbagi menjadi dua,
yaitu imunodefisiensi primer yang ditentukan
faktor genetik. Sementara imunodefisiensi
sekunder bisa muncul sebagai komplikasi penyakit
seperti infeksi, kanker, atau efek samping
penggunaan obat-obatan dan terapi.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi
yang didapat antara lain Penyakit keturunan dan
kelainan metabolisme, bahan kimia dan
pengobatan yang menekan sistem kekebalan,
infeksi, penyakit darah dan kanker, pembedahan
dan trauma serta lain-lain.
Tanda dan gejala imunodefisiensi antara lain
meliputi Pneumonia, bronkitis, infeksi sinus, infeksi
telinga, meningitis, atau infeksi kulit yang
berulang, infeksi darah, peradangan dan infeksi
organ dalam, kelainan darah, seperti jumlah
trombosit yang rendah atau anemia, masalah
pencernaan, seperti kram, kehilangan nafsu
makan, mual, dan diare, pertumbuhan dan
perkembangan lambat atau tertunda, gangguan
autoimun, seperti lupus, rheumatoid arthritis serta
diabetes tipe 1.
Gangguan imunodefisiensi primer akan
berdampak pada kurang adekuatnya sel tubuh
membentuk pertahanan untuk mengikat patogen.
Kegagalan ini pada umumnya disebabkan oleh
karena mutasi gen atau faktor biokimia lain seperti
enzym.
Sedangkan imunodefiensi sekunder akan
berdampak yaitu semakin menurunnya respon

200 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
kekebalan tubuh manusia dimana individu
tersebut akan mudah sekali mengalami infeksi
oportunistik (infeksi penyerta) sehingga kualitas
hidup individu tersebut akan semakin menurun.

D. Tugas
1. Jelaskan pengertian imunodefisiensi!
2. Jelaskan klasifikasi imunodefisiensi!
3. Sebutkan jenis-jenis gangguan imunodefisiensi
primer!
4. Sebutkan jenis-jenis gangguan imunodefisiensi
sekunder!
5. Jelaskan etiologi imunodefisiensi!
6. Sebutkan penyakit keturunan dan kelainan
metabolisme yang menjadi penyebab
imunodefisiensi!
7. Sebutkan macam-macam infeksi yang menjadi
penyebab imunodefisiensi!
8. Jelaskan manifestasi klinis imunodefisiensi!
9. Jelaskan dampak imunodefiensi primer
terhadap tubuh!
10. Jelaskan dampak imunodefiensi sekunder
terhadap tubuh!

E. Referensi
Abbas, AK., Andrew, HL., and Shiv P. 2007. Cellular and
Molecular Immunology. Philadelphia Saunder
Elsevier.
Delves, J.P. Seamus,J.M.,Dennis, R.B.,Ivan,M.R. 2006.
Essential Immunology. Australia. Blackwell
Pusblishing.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 201
Kusumo,DP. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer
(PID). Universitas Kristen Indonesia.Widya.
Martini, Frederic.H. 2001. Fundamental of Anatomy &
Phisiology. 5th Ed. NewJersey. Prentice-Hall.
Sloane, Etho. 2004. Anatomi Fisiologi Bagi Pemula.
Jakarta. EGC.
Thibodeau, G.A., Patton, Kevin.T. 2007. Anatomy and
Phisiology. Missouri. Mosby.
Tortora, GJ,B.R Funke,C.L. 2010. Case. Microbiology:
An Introduction. 10th Edition. New York. Pearson
education.

202 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB XI PROSES PATOLOGIS

HIPERSENSITIVITAS
Oleh: Aziza Rahmi, M.Biomed

Imunitas spesifik merupakan mekanisme ampuh untuk


menyingkirkan pathogen dan antugen asing. Mekanisme
efektor system imun sperti komplemen, fagosit,sitokin dan
lain-lainnya tidak spesifik untuk antigen asing. Kerena aitu
respon imun dan reaksi inflamasi yang menyertai respon
imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh itu
sendiri baik lokal maupun sistemik. Pada umumnya efek
samping demikian dapat dikendalikan dan membatasi diri
(self-limited) dan berhenti sendiri dengan hilangnya
antigen asing. Disamping itu dalam keadaan normal ada
toleransi terhadap antigen self sehingga kalanya merespon
atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan
rekasi demikian disebut reaksi hipersensivitas
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi bila
jumlah antigen yang mausk realtif banyak atau bila status
imunologik seseorang baik seluluer maupun humoral
meingkat. Reaksi itu tidak pernah timbul pada pemaparan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 203
pertama dan merupakan ciri khas individu bersangkutan.
Reaksi hipersensitivitas menimbulkan manifestasi klinik
dan patologik yang sangat heterogen
Bila seseorang pernah terpapar pada
antigen tertentu,maka pemaparan berikutnya dengan
antigen yang sama menyebabkan respons imunologik
sekunder dengan tujuan menyingkirkan antigen tersebut.
Hal ini merupakan reaksi alami tubuh untuk
mempertahankan diri. Namun, pada keadaan tertentu.
Reaksi imunologik itu berlangsung berlebihan atau tidak
wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.. Reaksi
hipersensitivitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang
masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang
baik secara selular maupun humoral, meningkat. Reaksi itu
tidak pernah timbul pada pemaparan pertama dan
merupakan ciri khas individu bersangkutan.
Reaksihipersensitivitas menimbulkan manifestasi klinik dan
patologik yangsangat heterogeny dan heterogenitas itu
ditentukan oleh: 1) jenis respon imun yang mengakibatkan
kerusakan jaringan dan 2 ) sifat dan lokasi antigen yang
menginduksi atau yang merupakan sasaran dari respon imun
tersebut. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi,
secara umum reaksi hipersensitivitas tipe I,II,III, dan IV.
Klasifikasi itu didasarkan pada mekanime patogik utama
yang bertanggung jawab atas kerusakn sela tau jaringan.
Reaksi tipe I, II, dan III terjadi karena interaksi antara
antigen dnegan antibody sehingga termasuk reaksi humoral
sedangkan rekasi tipe IV terjadi karena interaksi antara
antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan
limfosit T dan mengaktifkan limfosit T sehingga termasuk
reaksi selular. Reaksi tipe 1 terjadi apabila antigen
lingkungan dan respon IgE menyebabkan penglepasan

204 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
berbagi mediator oleh sel mastosit yang berkaibat reaksi
inflamasi. Tipe 11 terjadi apabila berikatan dengan antigen
(baik self maupun asing) merangsang terjadinya fagositosis
,aktivitas killer cells atau lisis oleh komplemen). Tipe III
terjadi apabila komplek antigen-antobodi dalam jumlah
banyak dan tidak dapat dibersihkan secara adekuat oleh
retikuloendotel dan menyebabkan reaksi serum sickness,
sedangkan tipe IV dapat terjadi apabila antigen
tertangkap oleh makrofag tetapi tidak dibersihkan atau
disingkirikan. Hal ini merangsng sel T memproduksi sitokin
yang menyebabkan reaksi inflamasi

Hipersensitivitas adalah respon imun yang


berlebihan dan tidak diinginkan karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut
oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut
kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini
terjadi dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi dalam klinis dua
atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi sering
bersamaan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 205
Tabel 11.1. Manisfestasi dan mekanisme reaksi
hipersensitivitas
Tipe Manifestasi Mekanismes
I Reaksi IgE dan Ig
hipersensitivitas cepat lain
II Antibodi IgG atau IgM
terhadap sel
III Kompleks Biasanya IgG
antibodi-antigen
IV Hipersentivitas Sel yang
lambat disensitisasi

206 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 1 Empat Tipe Reaksi Hipersensitivitas

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 207
Reaksi tipe 1
Reaksi tipe yang disebut tipe cepat, reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi dikenal reaksi yang segerea
timbul sesudah antigen masuk kedlam tubuh. Istilah alergi
yang pertama kali digunakan von Pirquet pada tahun 1906
diartikan sebagai reaksi penjamu yang berubah” bila
terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali
atau lebih
Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh
fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel Th2. Sel
yang akhir melepas sitokin akan merangsang sel B untuk
membentuk IgE. IgE akan diikat terutama oleh sel mast
mellaui reseptor Fc ( juga oleh basofil dan eosinophil). Bila
ada allergen yang sama masuk tubuh akan diikat oleh IgE
tadi (spesifik) dan menimbulkan degranulasi tersebut
mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin
208 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
(Gambar 1) yang didapat dalam granul-granul sel dan
menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe 1
Penyakit-penyakit yang timbul segera
sesudah tubuh terpajan dengan allergen adalah asma
bronkial, rhinitis, ultikaria dan dermatitis atopic.
Disamping histamin, mediator lain seperti prostaglandin
dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolism asam
arakidonat berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I
yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan
alergen
Hipersensitivitas tipe 1 ditandai oleh reaksi
alergi yang terjadi segera setelah pemaparan dengan
antigen yang disebut allergen. Jenis reaksi ini penting dan
sering dijumpai. Pemaparan antigen yang pada hakekatnya
tidak berbahaya untuk pertama kali, tidak menimbulkaaan
reaksi yang merugikan. Tetapi pemaparan berikutnya
dapat menimbulkan reaksi local maupun sistemik yang
kadang- kadang demikian hebat dan membahayakan seperti
yang terjadi pada renjatan anafilaktik
Istilah atopi menyatakan gejala klinik dari
hipersensitivitas tipe 1 mencakup asma eksim,hay fever, dan
urtikaria. Gejala ini biasanya muncul pada individu dengan
anggota kelurga yang menunjukan gejala yang sama, yaitu
menunjukan reaksi alergi segera terpapar pada antigen
lingkungan.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 209
Gambar 10.2. Reaksi Tipe 1
Reaksi Tipe II adalah reaksi sitotoksitosisitas yang
memerlukan bantuan antibodi
Penggolongan reaksi hipersensitivitas semula
berdasarkan atas perbedaan mekanisme kerusakan jaringan
yang diakibatkannya. Baik reaksi tipe II maupun rekasitipe
III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah bahwa
reaksi tipe II antibody ditujukan kepada antigen yang
terdapat pada permukaan sela tau jaringan tertentu,
sedangkan pada reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada
antigen yang larut dalam serum. Jadi pada reaksi tipe II,
antibodi yang terdapat dalam serum bereaksi dengan
antigen yang berada pada permukaan suatu sel yang
merupakan komponen membran sel
Sering kali suatu substansi berupa mikroba dan
molekul molekul kecil lain atau haptan, melekat pada
permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Komplek
antigen-antibodi pada permukaaan sel sasaran akan
dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh efektor,
misalnya oleh makrofag maupun oleh neutrophil dan
monosit atau limfosit T-sitotoksik dan sel NK sehingga
mungkin dapat menyebabkan kerusakan sel itu sendiri.
210 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Pada keadaan inisulit membedakan antara reaksi imun yang
normal dengan reaksi hipersensitivitas

Mekanisme kerusakan jaringan

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 211
Proses sitolisis terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu:
a. Proses sitolisis oleh sel efektor. Pada proses
sitolisis ini perlu kontak antar sel efektor dengan
sel sasaran. Kontak ini terjadi melalui molekul
immunoglobulin yang terikat oleh antigen pada
permukaan sel sasaran yang kemudian
berinteraksi dengam reseptor Fc yang terdapat
pada permukaan sel efektor, misalnya makrofag
,neutrophil, eosinophil dan sel NK. Dengan
demikian fragmen Fc merupakan jembatan
antara sel efektor dengan sel sasaran (opsonic
adherence)
b. Proses sitolisis oleh komplemen. Proses sitolisis
oleh komplemen terjadi karena Clq merupakan
reseptor Fc larut dan pengikatannya pada
kompleks antigen-antibodi yang terdapat pada
permukaan sel merangsang aktivasi C3.
Selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui
jalur klasik yaitu aktivasi C5b-9 diikuti lisis sel
sasaran secara langsung.
c. Proses sitolis oleh sel efektor dengan bantuan
komplemen (immune adherence). Sel sasaran
yang dilapisi komplemen dapat rusak oleh sel
efektor karena sel efektor memiliki resepetor
utntuk c3b dan c3d. Pengikatan C3b dan C3d
melalui reseptor C3 pada permukaan sel efektor
meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.

Subkelas immunoglobulin yang


berbeda beda menunjukan kemampuan yang
berbeda pula dalam hal intrekasi dengan

212 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
berbagai sel efektor dan system komplemen.
Hal ini berkaitan dengan perbedaan
karakteristik pengikatan apada jenis reseptor Fc
berbedasatu sama lain. Baik dengan fragmen-
fragmen komplemen maupun IgG dapat
bertindak selaku opsonin yang melapisi
permukaan sl mikroba, atau sel lain sehingga sel
efektor dapat lebih mudah menghancurkannya.
Opsonisasi meningkatkan aktivitas lisosom
fagosit dan meningkatkan kemampuannya untuk
melepaskan produk- produk
Oksigen realtif, misalnya superoksida,
sehingga hal itu juga meningkatkan kemampuan
sel efektor untuk menimbulkan keadaan
imunopatologik pada reaksi hipersensitivitas.
Disamping itu antibodi yang terikat pada
reseptor Fc pada permukaan sel efektor
merangsang sel itu untuk melepaskan asam
arakhidonik yang menghasilkan prostaglandin
dan leukotriene yang terilbat dalam reaksi
inflamasi . Beberapa unsur lain misalnya C5a
berfungsi sebagai factor kemotaktik yang
menarik sel efektor kerah terjadinya inflamasi
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik terjadi
karena dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel penjamu. Antibody
tersebut dapat mensensitasi Sel K sebagai efektor antibody
dependent cell cytoxicity (ADCC) atau mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II
adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfuse
dan penyakit anemia hemolitik pada bayi baru dilahirkan
dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 213
autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga
ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II. Anemia
hemolitik dapat ditimbulkan oleh obat seperti penisilin
,kinin dan sulfonamid
Mekanisme kerusakan jaringan
a. Proses sitolisis oleh sel efektor pada proses
sitolisis perlu ada kontak antara sel sel efektor
dengan sel sasaran. Kontak antara sel efektor
dengan sel sasaran. Kontak ini terjadi melalui
molekul immunoglobulin yang terikat oleh
antigen pada permukaaan sel sasaran yang
kemudian berinteraksi dengan reseptor Fc yang
terdapat pada permukaan sel efektor, misalnya
makrofag, neutrophil, eosinophil dan sel NK.
Dengan demikian fragmen Fc merupakan
jembatan antara sel efektor dengan sel sasaran
(opsonic adherence)
b. Proses sitolis oleh komplemen.proses sitolisis
oleh komplemen terjadi karena CLq merupakan
resepetor Fc yang larut dan pengikatannya pada
kompleks antigen-antibodi yang terdapat pada
permukaan sel merangsang aktivasi C3.
Selanjutnya terjadi aktivasi komplemen dengan
jalur klasik yaitu aktivasi C5b-9 diikuti lisis sel
sasaran secara langsung
c. Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan
komplemen (immune adherence) Sel sasaran
yang dilapisi komplemen dapat rusak oleh sel
efektor karena sel efektor memiliki reseptor
untuk c3b dan C3d. Pengikatam C3b dan C3d
melalui reseptor C3 pada permukaan sel efektor
meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.

214 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
3. Reaksi Tipe III
Reaksi tipe III disebut komplek imun terjadi
akibat endapan komplek antigen-antobodi
dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibody
disini biasnya jenis IgG. Komplek tersebut
mengaktifkan komplemen yang kemudian
melepas berbagai mediator terutama
macrophage chemotactic factor. Makrofag yang
dikerahkan ketmpat tersebut akan merusak
jaringa sekitarnya . antigen dapat berasal dari
infeksi kuman pathogen yang pesisten (malaria),
bahan terhirup spora jamur yang menimbulkan
alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan
sendiri (penyakit autoimun) infeksi tersebut
disertai antigen dalm jumlah yang berlebihan,
tetapi tidak disertai respons antibody efektif.
Sebab-sebab reaksi tipe III dan alat tubuh yang
sering merupakan sasaran penyakit komplek
imun

Komplek imun sebenarnya terbentuk setiap kali


antibodi bertemu dengan antigen, tetapi dalam keadaan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 215
normal pada umumnya komplek ini segera disingkirkan
secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetai
adakalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan
reaksi hipersensitivitas. Keadaaan imunopatologik
akibat pembentukan komplek imun ada dalam 3
golongan
1. Akibat kombinasi infeksi kronis yang ringan
dengan respon antibody yang lemah,
menimbulkan pembentukan komplek imun
kronis yang dapat mengendap diberbagai
jaringan
2. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan
pembentukan autoantibodi secara terus
menerus yang berikatan dengan jaringan self
3. Komplek imun yang terbentuk pada permukaan
tubuh misalnya dalam paru-paru, akibat
terhidupnya antigen secara berulang kali

Dalam keadaan normal komplek imun


dimusnakan oleh sel fagosit mononuclear
terutama dalam hati, limpa,paru tanpa
bantuan komplemen imun merupakan factor
penting. Pada umumnya komplek yang besar
mudah dan cepat dimusnakan dan oleh karena
itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi
meskipun untuk jangka waktu lama, baisanya
bila komplek imun menembus dinding
pembuluh darah dan mengendap dijaringan.
Gangguan fungsi ginjal diduga dapat
merupakan sebab mengapa komplek imun sulit
dimusnakan

216 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
4. Reaksi Tipe IV : reaksi Hipersensitivitas tipe
lambat

Reaksi ini tidak melibatkat antibodi


tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Pada
percobaan binatang hipersensitivitas ini tidak
dapat dipindahkan dari binatang yang satu
kepada yang lainnya dengan memindahkan
serum, tetapi pemindahan hipersensitivuats
dengan memindahkan limfosit T. Limfosit
adalah sel imunospesisifik dan pada
permukaannya mempunyai berbagi reseptor
antigen baik untuk antigen jaringan maupun
molekul molekul kecil yang melekat pada
membrane sel kemudian bersifat antigen.
Reaksi tipe IV disebut reaksi tipe lambat pada
umumnya timbul lebih dari 12 jam setelah
pemaparan antigen. Dikenal 4 jenis reaksi
hypersensitivitas tipe lambat yaitu: reaksi
Jones-Mote, reaksi kontak, reaksi tuberculin
dan reaksi granuloma
a. Reaksi Jones Mote
Merupakan reaksii yang timbul hanya
sebentar mencapai puncaknya paling
lambat setelah 24 jam dan kemudian
berkurang atau enghilang. Reaksi Jones-
Mote disebut cutaneous basophil
hypersentitivity, karena menunjukan
infiltrasi basofil dalam jumlah besar
dikulit. Menkanisme reaksi Jones-Mote dan
manifestasi kliniknya hingga saat ini belum
jelas

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 217
b. Reaksi kontak (contact hypersensitivity)
Dermatitis kontak ini dikenal dalam
klinik sebagai dermatitis yang timbul pada
kulit tempat kontak dengan allergen.
Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam
dan merupakan reaksi epidermal Sel
Langerhans sebagai antigen presenting cell
(APC), sel Th1 dan makrofag memegang
peran pada reaksi disini
c. Tuberkulin
Reaksi tuberkulin adalah reaksi
dermal yang berbeda dengan reaksi
dermatitis kontak dan terjadi 20 jam
setelah terpajan antigen. Reaksi terdiri
atas infiltrasi sel mononuclear (50% adalah
limfosit dan sisanya monosit0 setelah 48
jam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah
besar sekitar pembuluh darah yang
merusak hubungan serat-serat kolagen
kulit.Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin
dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau
granulomata.

218 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
d. Reaksi granulomata

Reaksi ini dianggap penting


karena banyak menimbulkan banyak efek
patologis. Hal tersebut terjadi oleh adanya
antigen yang persisten dalam makrofag
yang biasanya berupa mikroorganisme yang
tidak dapat dihancurkan atau komplek
imun yang menetap misalnya pada
alveolitis alergik
Reaksi granulomata terjadi
sebagai usaha badan untuk membatasi
kehadiran antigen yang persisten dalam
tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 219
merupakan respons imun selular yang
terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat
terjadi akibat sensitasi terhadap antigen
mikroorganisme yang sama misalnya pada
M.Tuberculosae dan M.lepra. Granulomata
terjadi pada hipersensitivitas terhadap
zerkonium sarcoidosis dan rangsangan
bahan non-antigenik seperti bedak
(talcum). Dalam hal ini makrofag tidak
dapat dimusnakan benda inorganic
tersebut. Granulomata non-imunologis
dapat dibedakan dari imunologisnya oleh
karena yang pertama tidak mengandung
limfosit.
Dalam reaksi granulomata
ditemukan sel epiteloid yang diduga
berasal dari sel-sel makrofag. Sel sel
raksasa Langerhans, sel tersebut
mempunyai bebrapa nucleus yang tersebar
dibagian perifer sel dan oleh karena itu
diduga sel tersebut merupakan hasil
differensiasi terminasi sel
monosit/makrofag
Granulomata imunologis
ditandai oleh inti yang terdiri atas sel
epiteloid dan makrofag, kadang-kadang
ditemukan sel raksasa yang dikelilingi oleh
ikatan limfosit. Disamping itu dapat
ditemukan fibrosis (endapan serat kolagen)
yang terjadi akibat profelirasi fibroblast
dan peningkatan sintesis kolagen). Pada
beberapa penyakit sperti tuberkulosis,

220 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
dibagian sentral dapat ditemukan nekrosis
dengan hilangnya struktur jaringan

Gambar 11.4. Pembentukan komplek imun dalam pembuluh


darah

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 221
Gambar 11.5. Granulomata Tuberkulosis

Daftar Pustaka

Abbas, Abul K. “Cellular and Molecular Immunology.”


Cellular and Molecular Immunology, 7 th, Elsevier Ltd,
2013, https://www.ptonline.com/articles/how-to-
get-better-mfi-results.

222 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9th ed.,
2006.

Abernathy, E. “How the Immune System Works.” The


American Journal of Nursing, vol. 87, no. 4, 1987,
doi:10.2307/3470435.

Charles, A, Janeway. Immuno Biology. 5th ed, Garlans,


https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-
better-mfi-results.

Kresno, SB. Respons Imun Pada Infeksi Dalam: Imunologi:


Diagnosis Dan Prosedur Laboratorium. 2003

Male, David, Roit, I. “Imunology.” Immunology, Eighth, vol.


4, no. 1, Elsevier sauder, 2013, pp. 88–100.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 223
224 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
TENTANG PENULIS

Fajar Husen lahir Rabu, 17 Mei


1995, Desa Mandiraja Wetan RT 07/
RW 02, Kecamatan Mandiraja,
Kabupaten Banjarnegara. Penulis
merupakan alumni dari MI Ma’arif
Mandiraja Wetan Tahun 2007, MTs
Ma’arif Mandiraja Tahun 2010, MA
Negeri 2 Banjarnega Tahun 2013, S1
Biologi Universitas Jenderal
Soedirman (UNSOED) Tahun 2017, dan S2 Ilmu Biologi
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Tahun 2019.
Penulis merupakan seseorang yang aktif dalam organisasi
dan aktivitas literasi terutama publikasi jurnal ilmiah baik
nasional, nasional terakreditasi dan internasional
bereputasi (terindeks Scopus dan WoS).
Penulis menyelesaikan pendidikan tingginya melalui
beasiswa Bidikmisi Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (KEMENRISTEK DIKTI), selain itu
pendidikan S2 juga mendapatkan biaya riset fully funded
melalui Hibah Riset Terapan Universitas Jenderal
Soedirman (RTU), sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan S2 nya hanya dalam waktu 1 tahun 2 bulan.
Aktivitas penulis saat ini adalah menjadi Dosen Tetap di

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 225
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Bina Cipta Husada,
Purwokerto sejak tahun 2021, Peneliti Aktif dengan Prof.
Dr. Nuniek Ina Ratnaningtyas, MS di Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) sejak tahun 2018
sampai sekarang untuk riset “herbal medicine,
antidiabetes, antiinflamasi, imunomodulator, antioksidan
dan nanogel”. Penulis juga merupakan Dosen Tutor di
Fakultas Sains Dan Teknologi (FST), Universitas Terbuka (UT
Pusat), sejak Tahun 2021 sampai sekarang.
Menulis merupakan hobi penulis sejak bangku
sekolah Dasar, berbagai kompetisi lietrasi seperti lomba
Pidato Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia
pernah penulis ikuti dengan berbagai gelar juara. Hal
tersebut membawa penulis pada aktivitas sekarang yang
melakukan riset, serta publikasi hasil riset bersama
koleganya dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Soedirman (UNSOED). Beberapa publikasi hasil riset dalam
3 tahun terakhir, khususnya pada Jurnal Internasional
Bereputasi (Terindeks Scopus Dan WoS) yaitu:
“Antidiabetic Effects and Antioxidant Properties of the
Saggy Ink Cap Medicinal Mushroom, Coprinus comatus
(Agaricomycetes), in Streptozotocin-Induced
Hyperglycemic Rats” terbit pada International Journal of
Medicinal Mushrooms (Scopus Q3), “Nephroprotective and
antioxidant effects of ethanol extract of Coprinus comatus
mushroom fruit-bodies on streptozotocin-induced diabetic
rat models” terbit pada IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science (Scopus Q4), “Ethanol extract of
the mushroom Coprinus comatus exhibits antidiabetic and
antioxidant activities in streptozotocin-induced diabetic
rats” terbit pada Pharmaceutical Biology (Scopus Q1),
“Antidiabetic Effects and Enzymatic Antioxidant Activity

226 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
of Chicken Drumstick Mushroom (Coprinus comatus)
Extract in Diabetic Rats Model” terbit pada Journal of
Pure and Applied Microbiology (Scopus Q4), dan “Anti-
inflammatory and immunosuppressant activity of Coprinus
comatus ethanol extract in carrageenan-induced rats
(Rattus norvegicus)” yang terbit pada Molekul Journal
(Scopus Q3), selain beberapa terbitan Jurnal Nasional
Terakreditasi SINTA 2 sampai 5.
Aktivitas penelitian penulis masih berjalan sejak
2018 sampai sekarang, terbaru penulis bekerjasama dengan
Prof. Dr. Nuniek Ina Ratnaningtyas, Prof. Dr. Hernayanti,
M.Si., dan beberapa kolega dari BRIN, pada riset Hibah
Kedaireka Matching Fund 2022, dimana penulis berperan
sebagai anggota tim peneliti. Beberapa judul riset yang
sedang dikerjakan antara lain yaitu:
1. Anti-inflammatory, anti-nephrotoxic, antioxidant, and
anti-oxidative stress effect of Coprinus comatus fruiting
body ethanol extract in carrageenan-induced paw
edema inflammation in Rats
2. Uji Aktivitas Antiinflamasi Nanogel Ekstrak Jamur Paha
Ayam (Coprinus comatus) Pada Hewan Tikus Yang
Diinduksi Complete Freund’s Adjuvant (CFA)
Aktivitas mengajar penulis terfokus pada mata kuliah
imunologi, mikologi, mikrobiologi dan toksikologi. Baik di
STIKes Bina Cipta Husada, atau di Fakultas Sains Dan
Teknologi (UT Pusat). Penulis juga aktif menjadi Reviewer
Jurnal yaitu pada Journal of Development Research
(SINTA 4) LPPM Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar,
dan Jurnal Farmasi Sains Dan Praktis (SINTA 3)
Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), serta
menjadi Editor and Chief Jurnal Bina Cipta Husada (STIKes
Bina Cipta Husada) Purwokerto.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 227
Penulis memiliki mimpi yang besar bersama tim
Risetnya, untuk mengembangkan produk herbal medicine
dari effervescent jamur Coprinus comatus, agar dapat
dimanfaatkan banyak orang. Baik sebagai obat herbal DM,
inflamasi, atau luka. Walaupun akan selalu ada tantangan,
penulis yakin bahwa setiap usaha yang diiringi dengan doa,
akan menghasilkan hal baik yang dapat memberikan
manfaat.

Aziza Rahmi, M.Biomed dilahirkan


di Batu Bulat, Batusangkar Pada
tanggal 02 Juni 1981. Tahun 2007
Lulus dari program sarjana SI
Biologi di Fakultas Ilmu
pengetahuan Alam Universitas
Negeri Padang. Pada tahun 2010
memperoleh gelar M.Biomed pada jurusan Imunologi Ilmu
diPasca sarjana Ilmu Biomedik Unand. Karier mengajar sejak
tahun 2011 mengajar di Stikes Amanah Padang sebagai dosen
Imunologi di program studi S1 keperawatan . Pada di 2014
dosen di Stikes Mercubaktijaya Padang sebagai dosen
Mikrobiologi program studi DIII kebidanan. Tahun 202I
sampai sekarang sebagai dosen Imunologi dan Biologi
Kedokteran di Program studi S1 kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Abdurrab Pekanbaru.
‘’

228 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Imam Agus Faizal, S.Tr.A.K.,
M.Imun.
Penulis kelahiran Pati, Jawa
Tengah lahir tahun 1993.
Menempuh studi pendidikan D4
Analis Kesehatan di Universitas
Muhammadiyah Semarang
(UNIMUS). Kemudian
melanjutkan pendidikan S2
program studi Imunologi di
Universitas Airlangga (UNAIR)
Surabaya. Sekarang beliau sebagai dosen tetap di
Universitas Al-Irsyad Cilacap (UNAIC) di Program Studi
Sarjana Terapan (D4) Teknologi Laboratorium Medis (TLM)
dan Farmasi. Sejak tahun 2019 sampai sekarang sudah
menghasilkan publikasi jurnal nasional sebanyak 12 artikel,
jurnal Internasional 1 scopus, 2 buku, HKI 4 dan 1 paten
sederhana. Rumpun ilmu Imunologi, Hematologi dan
Mikrobiologi serta aktif terlibat di dalam Tri Dharma
Perguruan Tinggi dan sekarang menjabat sebagai Kepala
program studi (Kaprodi) Sarjana Terapan Teknologi
Laboratorium Medis (D4 TLM) mulai sejak 2019 sampai
sekarang dan menjabat Ketua Bidang SDM dan Pendidikan
Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Ahli Teknologi
Laboratorium Medik Indonesia (DPC PATELKI) Cilacap
(2021- sekarang) serta aktif sebagai pengurus regional DIY
JATENG di Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Teknologi
Laboratorium Medik Indonesia (AIPTLMI).

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 229
Dr. Padoli, SKp.M.Kes dilahirkan di Kediri
pada tanggal 01 Juli 1968.
Penulis menempuh Pendidikan Akademi
Keperawatan Soetomo Surabaya lulus tahun
1991, Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK)
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung
tahun 1998, Pasca sarjana (S2) Ilmu Kedokteran Dasar
minat Biologi Medik Universitas Airlangga tahun 2003, dan
Program Doktoral Ilmu Kedokteran minat
Psikoneuroimunologi (PNI) lulus tahun 2011
Penulis bekerja sebagai dosen tetap Program Studi D3
Keperawatan Soetomo Surabaya sejak tahun 1992,
Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan Poltekkes
Surabaya sejak tahun 2007. Mata kuliah utama yang diampu
oleh penulis adalah Ilmu Biomedik Dasar, Keperawatan
Medikal Bedah, Fisika dan Biologi, Keperawatan Kritis.
Penulis juga menjadi dosen tidak tetap Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya’

Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si. Lahir


di Tuban – Jawa Timur 18 Agustus 1984
adalah dosen tetap Prodi S1 Gizi di
Institut Teknologi Sains dan kesehatan
(ITS) PKU Muhammadiyah Surakarta.
Lulus S1 Sarjana Pendidikan Biologi
Fakultas Ilmu dan Pendidikan Universitas
Ronggolawe Tuban tahun 2008, lulus S2 Program Magister
Sains di Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
tahun 2012. Mengampu mata kuliah Biologi manusia,
Biokimia dan Mikrobiolgi pangan. Selain mengajar penulis

230 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
juga akitf dalam menulis jurnal nasional dan oral presntasi
dalam pertemuan ilmiah
.

Titin Supriatin, Ners., M.Kep


Merupakan salah satu dosen
pengajar keperawatan di
Sekolah tinggi ilmu Kesehatan
(STIKes) Ahmad Dahlan Cirebon.
Penulis lahir di Cirebon pada
tanggal 11 Oktober 1980.
Jenjang Akademik penulis dimulai dengan menempuh
program diploma III di Akedemi Perawat Pemkab Indarmayu
2000-2002, melanjutkan pendidikan pada jenjang
pendidikan S1 Keperawatan di Fekultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Penulis mengambil Pendidikan
magister Keperawatan (S2) di Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Muh Taufiqurrahman adalah putra ke


dua dari tiga bersaudara dari pasangan
Ibrahim, BA dan Asiah S.Pd. Lahir 22
Agustus 1993 di Bima, Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Indonesia. Penggiat
literasi ini telah menamatkan pendidikan
SDN 55 Kota Bima, MTS Negeri 1 Kota
Bima, dan SMA Negeri 4 Kota Bima. Ia
saat ini tinggal di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan
Timur bersama istri. Setelah lulus Program Magister
Farmasi Universitas Pancasila, terhitung Agustus 2022, ia
diamanahkan menjadi Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKES) Dirgahayu, Kota Samarinda.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 231
Dr. Ns. Ady Purwoto,S.Kep.,M.Kep.,S.H.,M.H.,M.Kn
Ady Purwoto lahir di Tegal Jawa Tengah.
Putra Tunggal dari pasangan Bapak K.DJojo
Soemarto dan Ibu Sariah Ia Menempuh
pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Mahardika Cirebon untuk
jenjang S1 Keperawatan dan Profesi Ners,
Institut Ilmu Kesehatan STRADA
INDONESIA Kediri untuk jenjang S2
Keperawatan, Universitas Terbuka dan Universitas
Wiraswasta Indonesia Jakarta untuk jenjang S1 Hukum,
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon untuk jenjang S2
Hukum dan Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Untuk jenjang S3 Hukum. Saat ini ia bekerja sebagai dosen
tetap di Akademi Keperawatan Berkala Widya Husada
Jakarta sebagai Dosen Keperawatan, Universitas Ibn
Khaldun bogor sebagai Dosen Hukum. Artikel yang ia tulis
telah diterbitkan oleh berbagai jurnal nasional dan
Internasional bereputasi.

Cut Indriputri, S.Tr.AK., M.Imun lahir di Fakfak,


Papua Barat 24 Januari 1995. Lulus Jurusan Analis
Kesehatan Poltekkes Kemenkes Makassar pada tahun 2017,
mendapat predikat lulusan terbaik. Master of Immunology
diperoleh dari Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga
pada tahun 2020. Mengikuti pelatihan Polymerase Chain
Reaction (PCR) di Balai Besar Laboratorium Kesehatan
(BBLK) Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2020. Bekerja
sebagai ATLM dan Satgas Covid-19 di Laboratorium II Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2020. Saat ini
sebagai dosen pengajar di Program Studi Teknologi Bank

232 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Darah Poltekkes Megarezky dan di Program Studi Teknologi
Laboratorium Medik Universitas Megarezky.

Rini Ambarwati, S.Kep.Ns.,M.Si dilahirkan


di Jakarta 02 Juni 1972. Tahun 1993 Lulus
dari Akademi Keperawatan Depkes Jakarta,
Tahun 2003 lulus Program Studi Ilmu
Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Pasca sarjana (S2)
Ilmu Kedokteran Dasar minat Fisiologi
Universitas Airlangga tahun 2003. Bekerja sebagai dosen
tetap Program Studi D3 Keperawatan Soetomo Surabaya
sejak tahun 1994, Program Studi Sarjana Terapan
Keperawatan Poltekkes Surabaya. Mata kuliah utama yang
diampu oleh penulis adalah Ilmu Biomedik Dasar,
Keperawatan Komunitas.

B u k u A j a r I m u n o l o g i | 233

View publication stats

You might also like