You are on page 1of 23

MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER

STRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER


DI PERGURUAN TINGGI

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selain sebagai orang dewasa, mahasiswa juga disebut sebagai pebelajar dewasa (adult
learner/adult student) adalah individu yang sedang dalam proses belajar yang oleh lingkungan
sosialnya sudah dianggap dewasa, baik dalam pendidikan formal maupun non formal. Pebelajar
dewasa dicirikan belajar berbasis masalah dan mencari ilmu untuk memecahkan solusi tertentu
dank arena suatu kebutuhan yang jelas, terutama berhubungan dengan karier dan kehidupannya
(Budu:2012).
Mahasiswa dengan berbagai karakternya memiliki peranan dan fungsi yang sangat
strategi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ada tiga peran dan fungsi utama
mahasiswa, yaitu: agent of change, social of control, dan moral force (manggala:2011). Sebagai
agen perubahan (agent of change), mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membuat perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat.
Karakter mahasiswa dapat dikembangkan diperguruan tinggi. Karena karakter seseorng
dapat tumbuh secara perlahan dan berkelanjutan melalui proses pendidikan. Perguruan tinggi
merupakan jenjang pendidikan kelanjutan dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya, dari TK,
SD, SMP dan SMA. Seorang tidak mungkin menjadi mahasiswa tanpa melalui jenjang-jenjang
pendidikan sebelumnya.
Buchori(2010) mengungkapkan: “pembentukan karakter perlu waktu panjang, dari masa
kanak-kanak sampai usia dewasa ketika seseorang mampu mengambil keputusan mengenai
dirinya sendiri dan mempertanggung jawabkan kepada dirinya sendiri.”

B. Tujuan
1. Bagaimanakah pendidikan Karakter diperguruan tinggi?
2. Seberapa pentingkah pendidikan karakter diperguruan tinggi?
3. Apa sajakah model-model implementasi pendidikan karakter diperguruan tinggi?
4. Bagaimana stategi internalisasi pendidikan karakter di perguruan tinggi?
5. Bagaimana Pendidikan Karakter di UNNES?

C. Manfaat
1. Untuk mengetahui mengenai macam-macam model-model implementasi pendidikan karakter di
perguruan tinggi.
2. Untuk mengetahui strategi internalisasi pendidikan karakter di perguruan tinggi.

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas
baik faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh
dan berkembang. Pembentukan karakter mahasiswa merupakan proses pendidikan yang
memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak antara lain, keluarga, sekolah/kampus maupun
masyarakat. Wadah dari pengembangan ini adalah keluarga, kampus dan masyarakat, serta
lembaga formal maupun nonformal.
Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, membantu manusia yang utuh,
bermoral, bersosial, berkarakter, berkepribadi, berpengetahuan dan berohani. Pendidikan
merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju kearah yang lebih baik sesuai
dengan potensi kemanusiaan. Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter.
Untuk membangun bangsa yang berkarakter dimulai dari manusia yang berakhlak mulia
atau berbudi pekerti luhur. Setiap individu dianjurkan untuk membangun karakter bangsa sesuai
kapasitasnya, sebagai ilmuwan, pemimpin, hartawan maupun orang awam. Soemarno
Sudarsono mengatakan ada enam hal dalam membentuk karakter, yaitu kejujuran, keterbukaan,
keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen dan kemampuan
berbagi.
Menurut Djohar, membangun karakter dikategorikan sebagai komponen “the hidden
curriculum” yang pencapaiannya tergantung pada proses pendidikan pada substansi
pendidikannya. Kebiasaan mahasiswa belajar akan mewarnai karakter mereka. Karakter tidak
dapat diajarkan, akan tetapi diperoleh dari pengalaman, oleh karena itu harus dilatihkan.
Kebiasaan sehari-hari dapat menghasilkan pengalaman belajar. Pembangunan moral dan karakter
lebih efektif melalui dialogik dengan mendiskusikan kasus nyata yang diangkat melalui proses
pelatihan itu. Proses dalam pendidikan terbuka kondusif untuk pembangunan karakter itu.
Mahasiswa berperan sebagai kontrol sosial dan menjadi golongan masyarakat yang
memberikan perubahan. Di dalam civil society, mahasiswa harus memberikan peranan yang adil,
egaliter, beretika, aspiratif-partisipatif, dan nonhegemonik. Intinya kekuatan mahasiswa terletak
pada ide, pemikiran, dan gagasannya.
Perguruan Tinggi membentuk insan akademis yang dapat melakukan learning by
themselves atau belajar secara mandiri dengan melakukan self improvement serta mencari dan
membela kebenaran ilmiah. Dengan adanya pendidikan karakter yang diterapkan di Perguruan
Tinggi maka diharapkan mahasiswa dapat merancang visi masa depan untuk diri sendiri,
lingkungan, dan keluarga dan membentuk masyarakat madani yang kreatif dan inovatif.
Pendidikan yang diberikan dari Perguruan Tinggi ini mengarahkan pada perjuangan mahasiswa
untuk mendekatkan realita dengan kondisi ideal.
Di lingkungan perguruan tinggi mahasiswa merupakan elemen yang paling peka
merespon problematika bangsa sebagai promotor “people power” yang menyangkut kepentingan
masyarakat umum. Begitu banyak kegiatan yang dijalankan, mulai dari diskusi, seminar sampai
pada demonstrasi damai yang kritis-analisi untuk memperjuangkan kebenaran dan menjunjung
tinggi kesejahteraan. Mahasiswa sebagai agen perubahan dimaksudkan bahwa dalam
mengadakan sebuah perubahan yang holistik dan sistematik demi kemaslahatan bersama, maka
mahasiswa dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Pendidikan yang hanya berbasis
pada pengembangan intelektual tanpa pengembangan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan
emosional, merupakan metode pendidikan yang perlu dikoreksi. Sebab, intelegensia tinggi tanpa
diimbangi dengan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan emosional, tidak akan menghasilkan
kecerdasan sosial yang diharapkan.
Dalam kaitan dengan pengembangan karakter dan kepribadian secara sistemik di
perguruan tinggi, dalam pembinaan pembelajaran dan kemahasiswaan akan sangat dibutuhkan
tahapan yang jelas dan terukur dengan program yang sistemik dan berkesinambungan, yaitu :
1. Tahap pertama, antara semester 1 sampai semester 3 adalah pembelajaran untuk pembentukan
jati diri. Mengantarkan mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai manusia yang memiliki
beragam potensi, sekaligus memiliki beragam kelemahan.
2. Tahap kedua, antara semester 4 sampai 6, tahap pembelajaran dan pembimbingan untuk
pembentukan daya kreasi dan inovasi mahasiswa. Proses pembelajaran dikembangkan untuk
mempersiapkan, membangun suatu kondisi sehingga kreasi, kreatifitas dan daya inovasi
mahasiswa dapat ditingkatkan dan mahasiswa berperan aktif dalam berbagai aktivitas belajar dan
kegiatan kemahasiswaan.
3. Tahap ketiga, antara semester 7 sampai 8 adalah tahapan pembelajaran yang lebih diorientasikan
pada pembentukan dan pematangan jiwa kewirausahaan, kepemimpinan dan manajemen
mahasiswa. Sehingga peningkatan karakter dan kepribadian mahasiswa lebih berfokus pada
latihan kepemimpinan dan keterampilan komunikasi, berargumentasi secara ilmiah. Tahap ini
merupakan tahap terakhir dari proses pembinaan pembelajaran bagi mahasiswa di kampus.
Kapasitas seseorang dapat ditentukan oleh akumulasi 2 fungsi yaitu kompetensi bidang
ilmu (hard skills) dan karakter (soft skills), sehingga pengembangan karakter harus dimulai dari
pelatihan soft skills. Pendidikan karakter adalah bagian dari pendidikan soft skills. Dengan
adanya karakter yang kuat adalah kelebihan dan kekuatan seseorang, apabila tidak disertai
dengan karakter yang baik, kelebihan dan kekuatan itu akan muncul sebagai kelemahan.
Sebaliknya orang yang memiliki potensi sederhana tetapi karakternya luar biasa, maka dapat
dipastikan dia memiliki potensi yang besar. Satu unsur penting yang sepertinya selama ini
diabaikan dalam praktek pendidikan adalah metode keteladanan yang proposional. Keteladanan
dianjurkan dalam rangka mengantar pendidikan yang mampu membentuk karakter mahasiswa.
Pembentukan karakter generasi muda bangsa merupakan hal yang sangat penting bagi
suatu bangsa dan bahkan menentukan nasib bangsa itu di masa depan termasuk juga Indonesia.
Namun pada kenyataannya, di era globalisasi yang telah menempatkan generasi muda Indonesia
pada derasnya arus informasi yang semakin bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi
dan telekomunikasi sebagai akibat dari globalisasi. Akibat dari globalisasi tersebut, nilai-nilai
asing secara disadari maupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak
langsung kepada generasi muda Indonesia.
Pembangunan karakter dikalangan generasi muda perlu dilakukan secara serius, karena
generasi miuda memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Menurut
www,.sek.neg.com yang dikemukan oleh Hatta Rajasa, fungsi generasi muda dalam
pembangunan karakter bangsa adalah:
1. Generasi muda sebagai pembangun- kembali karakter bangsa (character builder). Di era
globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa seperti
misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa yang positif sehingga pembangunan
kemandirian bangsa sesuai pancasila dapat tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman
globalisasi.
2. Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter
bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga
generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character
enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi muda untuk
menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang
positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri.
3. Generasi muda sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan dibutuhkannya
adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat ketahanan bangsa Indonesia. Character
engineer menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Pengembangan dan
pembangunan karakter positif generasi muda bangsa juga menuntut adanya modifikasi dan
rekayasa yang sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter pejuang dan
patriotism yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, tetapi dapat dalam konteks
lainnya yang bersifat non-fisik. Esensinya adalah peran genarasi muda dalam pemberdayaan
karakter tersebut.
Khususnya di Perguruan Tinggi, peran semua civitas akademika kampus sangat penting.
Hal ini karena pendidikan karakter bukan untuk mahasiswa saja akan tetapi juga selluruh elemen
kampus. Mahasiswa selalu melihat perilaku dosen dan meniilai dosen mana yang baik dan buruk
dari kacamata mahsiswa. Dosen yang baik akan menjadi panutan mahasiswa, artinya baik bukan
hanya sekedar member nilai yang baik, tetapi baik karena memenuhi criteria sebagai dosen.

B. Pentingnya Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi


Secara khusus, Pemerintah Indonesia melalui kebijakan nasional pembangunan karakter
bangsa, menekankan perlunya pendidikan karakter bagi bangsa dengan beberapa alasan adanya
(1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; (2) keterbatasan perangkat kebijakan
terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara; (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa;
ancaman disintegrasi bangsa; dan (5) melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan
Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, dalam Siswanto 2011). Melalui UU no 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan komitmen tentang pendidikan
karakter sebagaimana termuat dalam rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam kaitannya dengan perguruan
tinggi, Peraturan Pemerintah no 17 tahun 2010 pasal 84 ayat 2, menyebutkan bahwa perguruan
tinggi memiliki tujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur, sehat, berilmu dan cakap, kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri, dan berjiwa wirausaha, serta toleran, peka sosial dan lingkungan,
demokrtis dan bertanggung jawab.
Berdasarkan UU Sisdiknas tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010 diatas, nampak jelas
bahwa pemerintah Indonesia memberikan dukungan secara konkrit pada pendidikan karakter ini.
Mengingat keberhasilan institusi pendidikan terletak tidak saja pada penguasaan ilmu
pengetahuan namun juga pada pembentukan karakter yang baik pada anak didiknya, maka
tanggungjawab pembentukan karakter baik tidak hanya terletak pada tingkat pendidikan sekolah
dasar dan menengah namun juga perguruan tinggi. Meskipun demikian, yang selama ini terjadi
adalah penerapan pendidikan karakter dominan dilakukan pada pendidikan dikedua level
sebelumnya, dan belum pada level perguruan tinggi.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi : masihkah diperlukan ?
Perguruan tinggi, menurut Flexner (dalam Syukri 2009) merupakan tempat pencarian
ilmu pengetahuan, pemecahan berbagai masalah, tempat mengkritisi karya-karya yang
dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Senada dengan Flexner, Syukri (2009)
menyatakan dunia perguruan tinggi merupakan tempat menyemai, mendidik dan melatih
mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam dan luas.
Sayangnya perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pembentukan karakter mahasiswa.
Bahkan Arthur (dalam Syukri, 2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjanjikan
pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa seperti yang terjadi di Inggris, semua itu
hanya retorika institusi universitas modern. Sementara itu, menurut Syukri (2009) masyarakat
Indonesia masih menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai tempat latihan dan pendidikan
putra putrinya menjadi kaum intelektual yang memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji.
Ironisnya tak ada perguruan tinggi yang menjamin lulusannya memiliki moral etika yang baik.
Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu
pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009), sehingga secara eksplisit pembentukan karakter
dianggap bukan merupakan tugas perguruan tinggi. Oleh karena itu implementasi pendidikan
karakter di perguruan tinggi akan menemui tantangan tersendiri. Schwartz (2000) menyatakan
beberapa hal yang menyebabkan pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui kendala
karena adanya pendapat yang keliru yaitu :
1. Karakter seseorang sudah terbentuk sebelum masuk ke perguruan tinggi dan merupakan
tanggung jawab orangtua untuk membentuk karakter anaknya.
2. Perguruan tinggi, khususnya dosen, tidak memiliki kepentingan dengan pembentukan karakter,
karena mereka direkrut bukan untuk melakukan hal tersebut
3. Karakter merupakan istilah yang mengacu pada agama atau idiologi konservatif tertentu,
sementara itu perguruan tinggi di barat secara umum melepaskan diri dari agama atau idiologi
tertentu.
Keengganan perguruan tinggi di barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus
masalah moral antara lain karena masalah moral merupakan wilayah pribadi dan mereka
dipengaruhi oleh idiologi liberal yang telah menjadi gaya hidup. Selain itu, ada empat alasan
perguruan tinggi, khususnya di Inggris yang tidak menaruh perhatian pada pembentukan moral
mahasisiwa: 1) takut dengan tuntutan berbagai macam karakter dan perilaku mahasiswa untuk
mendapatkan pembinaan, 2) menjalankan pendidikan sesuai dengan kebijakan politik
pemerintah, 3) mahasiswa diarahkan menjadi warga negara yang demokratis, 4) perguruan tinggi
mengembangkan karakter sesuai dengan tuntutan pasar dan jaringan (Arthur, dalam Syukri
2009).
Uraian diatas menggambarkan bahwa meskipun pendidikan karakter di perguruan tinggi
bisa melengkapi puzzle karakter yang belum terbentuk pada tingkatan pendidikan sebelumnya,
namun hal tersebut tidak akan berjalan dengan mudah. Schwartz (2000) juga menyatakan hanya
ada relatif sedikit institusi, biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama atau berjuang untuk
menginspirasi, yang memiliki komitmen luas dan komprehensif terhadap perkembangan karakter
dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi.
Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak boleh lepas tangan atau lepas tanggung jawab
dengan alasan apapun termasuk menganggap bahwa karakter sudah terbentuk sebelum
mahasiswa masuk perguruan tinggi, merupakan tanggung jawab orangtua dan institusi
pendidikan di tingkat bawahnya, apalagi dengan alasan beban berat menghasilkan lulusan sesuai
tuntutan pasar. Sebagai institusi pencetak sumber daya manusia yang akan menjadi penyokong
utama kualitas sumber daya manusia Indonesia, perguruan tinggi memikul tanggung jawab
mewujudkan amanat UU sistem pendidikan nasional tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010
tentang perguruan tinggi. Apalagi jika mengingat data dari Badan Perencana Pembangunan
Nasional (Bappenas) mengklaim indeks pembangunan manusia (IPM), alias kualitas sumber
daya manusia (SDM) Indonesia pada 2011 yang masih menempatkan indonesia di bawah
Malaysia (61), Singapura (26) dan Brunei Darussalam (33) (neraca.co.id, 17 April 2012) dan
juga kerusakan moral bangsa ini telah membawa perjalanan bangsa ini mencapai masyarakat
madani menjadi terseok-seok. Selain itu, jika pun pendidikan karakter sudah ada atau
dilaksanakan pada tingkat pendidikan sebelumnya maka pendidikan karakter di perguruan tinggi
akan menjadi pelengkap, untuk rebuild dan reshape, mengingat karakter bukanlah suatu hal yang
menetap dan sama sekali tidak bisa berubah atau baik kearah yang lebih baik atau malah kearah
kemerosotan karena pengaruh lingkungan.
Selain itu, ketiadaan koordinasi mengenai karakter apa yang akan dibentuk pada tingkat
pendidikan dasar, menengah pertama maupun menengah atas, menjadikan kedudukan perguruan
tinggi sebagai institusi pendidikan yang paling akhir untuk melengkapi puzzle karakter yang
belum ada dan membentuk karakter menjadi “bangunan moral yang sudah jadi dan kokoh” pada
mahasiswa. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi akan menjadi manusia dengan kualitas
ganda baik kualitas profesional sesuai keilmuannya dan kualitas moral yang tinggi, sehingga
dapat berkiprah sebagai warga negara yang baik sesuai bidang pekerjaannya.
Untuk mewujudkan pembentukan karakter Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik
yang berlatarbelakang religius maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan
kurikulumnya, khususnya efek baiknya, untuk membentuk pemikiran tetapi juga karakternya.
Kurikulum ini tidak saja membentuk intelectual habits namun juga moral habits mahasiswa.
Perguruan tinggi memiliki pilihan dalam mengajarkan pembentukan karakter yaitu dapat
mengintegrasikannya secara alami dengan kurikulum standar maupun mengajarkan beriringan
dengan kurikulum standar. Dibandingkan dengan menambahkan serangkaian pertemuan terpisah
pada kurikulum yang sesungguhnya sudah padat, pilihan yang mudah adalah mengintegrasikan
dengan mata pelajaran/mata kuliah pada semua kelas oleh semua pendidik (Stiff- William,
2010). Hal ini sesuai dengan salah satu pilar pendidikan yang digariskan UNESCO dalam
memberikan rambu-rambu menyusun kurikulum untuk pengembangan kepribadian mahasiswa
yaitu learning to be (belajar memahami diri sendiri). Perguruan tinggi di Indonesia,
menggunakan istilah khusus berkaitan dengan hal tersebut yaitu Mata Kuliah Pengembangan
kepribadian (Syukri, 2009).
Dengan demikian jika perguruan tinggi tidak menyusun program pendidikan karakter
tersendiri namun mengintegrasikannya kedalam kurikulum standar yang sudah ada, maka yang
perlu dilakukan adalah meninjau kembali muatan mata kuliah pengembangan kepribadian dan
mengembalikannya ke arah pembentukan karakter sesuai amanat Undang- undang Sisdiknas.
Tentu saja hal ini membawa konsekuensi cara pengajaran yang berbeda dan cara pemberian nilai
yang berbeda, tidak lagi mengevaluasi penguasaan teori atau kemampuan kognitif mahasiswa
namun lebih jauh mengevaluasi implementasi karakter atau nilai-nilai luhur. Adapun bentuk
evaluasi maupun formula penilaiannya dapat didiskusikan lebih lanjut dengan dosen-dosen
sehingga kepemilikan program ini menjadi ada pada seluruh civitas akademika.
Selain melalui mata kuliah pengembangan kepribadian, semua dosen pada semua mata
kuliah hendaknya menjadi figur yang mempraktekkan pembentukan karakter ini dalam semua
aktivitas di kelas maupun di luar kelas. Jika hal ini bisa dilakukan maka semua lingkungan di
kampus, baik di kelas, luar kelas maupun kantor administratif akan mencerminkan lingkungan
yang mendukung pembentukan karakter.
Beberapa kondisi diluar kurikulum yang perlu diperhatikan perguruan tinggi karena hal-
hal tersebut mendukung suksesnya implementasi pendidikan karakter menurut Melinda dan
Berkowitz (2005) adalah : 1) budaya kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin
bahwa mahasiswa diperlakukan dengan perhatian dan hormat, 2) Dosen, staf menjadi model
karakter yang baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi keseharian dengan
mahasiswa, 3) memberikan kesempatan pada mahasiswa memiliki otonomi dan pengaruh dalam
pengelolaan perguruan tinggi seperti memberikan wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa,
4) memberikan kesempatan mahasiswa untuk reflesi, berdebat maupun berkolaborasi mencari
pemecahan masalah isu-isu moral, 5) sharing visi dan sense of collectivity and responsibility, 6)
social skill training artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa yang tujuannya
agar mahasiswa dapat melakuan penyesuaian jangka panjang dengan memperkuat ketrampilan
pemecahan masalah interpersonal, 7) memberi kesempatan lebih pada mahasiswa untuk
berpartisipasi dalam dalam kegiatan pelayanan masyarakat oleh kampus yang bisa menaikkan
perilaku moral.
Dengan demikian, dosen maupun staf administratif akan menemui tantangan tersendiri
karena mereka akan menjadi pribadi yang juga berupaya menjadi model yang baik bagi
mahasiswa. Schwartz (2000) menyebutnya dengan istilah mendorong dan menginspirasi agar
mahasiswa mengembangkan moral yang baik dan trait, yang akan membuat mereka menjadi
orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab.
Hal yang tak kalah penting menurut Syukri (2009) adalah kejujuran perguruan tinggi
akan ketidakmampuannya untuk berdiri sendiri menyelenggarakan pendidikan karakter.
Perguruan tinggi harus mengakui bahwa kerjasama dengan stake holder, dalam hal ini orangtua
dan masyarakat sekitar adalah penting. Satu hal yang bisa dilakukan, menurut Melinda dan
Berkowitz (2005) adalah dengan memberikan newsletter mengenai pembentukan karakter dalam
keluarga dan masyarakat.
Meskipun berbagai strategi dan pendekatan yang digunakan mungkin berbeda namun
tujuannya adalah sama yaitu mendorong dan menginspirasi mahasiswa untuk mengembangkan
dan menerapkan moralnya sendiri ketika berada dalam tekanan lingkungan (Schwartz, 2000)

C. Model-Model Implementasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi


Sebagai individu dewasa, mahasiswa dicirikan dengan ciri-ciri, antara lain:
1. Merupakan pribadi mandiri yang memiliki identitas diri
2. Pentingnya keterlibatan / partisipasi
3. Mengharapkan pengakuan, saling percaya dan menghargai
4. Tidak senang dipaksa atau ditekan
5. Memiliki kepercayaan dan tanggung jawab diri
6. Pengawasan dan pengendalian berada disekililingnya
7. Belajar mengarahkan pada pencapaian pemantapan identitas diri
8. Belajar merupakan proses untuk mencapai aktualisasi diri (self actualization)
Selaian sebagai orang dewasa, mahasiswa juga disebut sebagai pebelajar dewasa (adult
learner/adult student) adalah individu yang sedang dalam proses belajar yang oleh lingkungan
sosialnya sudah dianggap dewasa, baik dalam pendidikan formal maupun non formal. Pebelajar
dewasa dicirikan belajar berbasis masalah dan mencari ilmu untuk memecahkan solusi tertentu
dank arena suatu kebutuhan yang jelas, terutama berhubungan dengan karier dan kehidupannya
(Budu:2012).
Mahasiswa dengan berbagai karakternya memiliki peranan dan fungsi yang sangat
strategi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ada tiga peran dan fungsi utama
mahasiswa, yaitu: agent of change, social of control, dan moral force (manggala:2011). Sebagai
agen perubahan (agent of change), mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membuat perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat.
Melihat peran dan fungsi mahasiswa yang begitu strategis, mahasiswa perlu memiliki
karakter yang kuat. Karakter tersebut tidak bisa dibentuk secara otomatis. Seorang mahasiswa
yang menyelesaikan pendidikan disebuah perguruan tinggi misalnya, tidak serta merta memiliki
karakter mulia tertentu secara otomatis setelah melalui semua proses pembelajarannya.
Karakter mahasiswa dapat dikembangkan diperguruan tinggi. Karena karakter seseorng
dapat tumbuh secara perlahan dan berkelanjutan melalui proses pendidikan. Perguruan tinggi
merupakan jenjang pendidikan kelanjutan dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya, dari TK,
SD, SMP dan SMA. Seorang tidak mungkin menjadi mahasiswa tanpa melalui jenjang-jenjang
pendidikan sebelumnya.
Buchori(2010) mengungkapkan: “pembentukan karakter perlu waktu panjang, dari masa
kanak-kanak sampai usia dewasa ketika seseorang mampu mengambil keputusan mengenai
dirinya sendiri dan mempertanggung jawabkan kepada dirinya sendiri.”
Berdasarkan pada pemikiran bahwa karakter mahasiswa dapat dikembangkan secara
perlahan dan berkelanjutan, pendidikan karakter diperguruan tinggi haruslah memperhatikan
bahwa terbentuknya karakter seseorang dipengaruhi banyak factor. Djohar(2011)
mengidentifikasi tiga factor yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorag yaitu:
1. Modal budaya yang dibawa sejak kecil
2. Dampak lingkungannya
3. Kekuatan individu orang merespons dampak lingkungannya.
Dalam konteks perguruan tinggi, modal budaya dipengaruhi oleh konteks lingkungan
dimana mahasiswa hidup, sehingga membentuk pengalaman, sekaligus karakternya. Oleh karena
itu, menciptakan lingkungan yang kondusif dan mendukung menjadi sangat penting dalam
rangka menumbuhn kembangkan karakter seorang mahasiswa. Dalam konteks perguruan tinggi,
lingkungan kampus, baik ekosistem dan akademiknya seharusnya disusun sedemikian rupa,
sehingga mendukung pengembangan karakter mahasiswa.
Pada tahun 2010, pemerintah telah membuat dan menetapkan kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Tujuan tersebut adalah “membina dan
mengembangkan karakter warga Negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab., berjiwa pemersatu
Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
dan perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (Pemerintahan RI, 2010:4).
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa memiliki tiga fungsi utama, yaitu:
1. Pegembangan potensi dasar, agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
2. Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik.
3. Penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.
Pendidikan karakter di lingkup satuan pendidikan perguruan tinggi dilaksanakan melalui
tridharma perguruan tinggi, budaya organisasi, kegiatan kemahasiswaan dan kegiatan keseharian.
Mengacu pada Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, sejumlah perguruan tinggi di
Indonesia teah mengembangkan startegi-strategi pelaksanaannya, sehingga melahirkan berbagai
model pelaksanaan pendidikan karakter diperguruan tinggi.
1. Pendidikan Karakter Model Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Model pendidikan karakter UPI Bandung dikembangkan melalui tiga cara, yaitu:
a. Melalui penguatan pendidikan kewarganegaraan
b. Mengoptimalkan layanan bimbingan konseling kepada para mahasiwa
c. Menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik
UPI Bandung memandang prnting memposisikan PKN sebagai mata kuliah yang strategis
dalam pendidikan karakter, karena mata kuliah PKN dirancang sebagai:
a. Mata kuliah yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga Negara
Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, parsitipatif dan bertanggung jawab.
b. Mata kuliah yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik yang bersifat
saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks subtansi ide, nilai, konsep, dan moral
pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela Negara
c. Mata kuliah yang menekankan pada isi yang mengusung niali-nilai dan pengalaman belajar
dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan
merupakan tuntutan hidup bagi warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep dan moral Pancasila,
kewarganegaraan yang demokratis, dan bela Negara.
Model pembelajaran PKN UPI diselenggarakan dengan basis project Citizen. Melalui
model ini mahasiswa diajak untuk berdiskusi, mengerjakan tugas, mengobservasi, melakukan
awancara, menemukan alternative pemecahan masalah, berdialog dengan dosen, menggambar,
menari, bernyanyi, berdeklamasi, menulis laporan, dan sebagainya.
UPI Bandung memandang bimbingan konseling berperan penting dalam pendidikan
karakter, karena melalui mata kuliah ini dapat dikembangkan:
a. Dirumuskannya aspek-aspek kepribadian penting yang menjadi pilar kekuatan karakter yang
perlu dikembangkan dalam pendidikan karakter sebagai kompetensi pribadi mahasiswa.
b. Dikembangkannya model-model dan teknik-teknik implementasi pendidikan karakter dalam
bimbingan dan konseling.
c. Dikembangkannya program-program bimbingan konseling yang merujuk pada pendidikan
karakter sebagai bagian program bimbingan dan konseling di sekolah.
d. Menyelaraskan pelaksanaan kurikulum bimbingan yang mengacu pada pengembangan
kompetensi pribadi yang berdimensi pendidikan karakter (Dasim,dkk.,2010:109-110)
Model yang digunakan UPI dalam pendidikan karakter adalah model bimbingan dan
konseling komprehensif. Yaitu model yang berfokus pada upaya untuk memfasilitasi mahasiswa
dalam mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Model ini
mencakup empat layanan inti, yaitu
a. Kurikulum bimbingan
b. Layanan responsive
c. Layanan perencanaan individual
d. Layanan dukungan system
Model bimbingan dan konseling komprehensif UPI diimplementasikan melalui strategi
latihan. Strategi latihan merupakan salah satu strategi yang dapat mengaktifkan aktifitas-aktifitas
yang berstruktur, terencana dan terukur baik dalam hal durasi, materi dan resikonya. UPI
memilih strategi latihan dengan berbagai pertimbangan, karena strategi ini mampu:
a. Mengembangkan diskusi dan partisipasi
b. Memfokuskan kelompok
c. Mengangkat suatu focus
d. Memberi kesempatan untuk pembelajaran eksperiensial
e. Memberi konselor informasi yang berguna
f. Memberi kesenangan dan relaksasi
g. Meningkatkan level kenyamanan
Model terakhir adalah KKN Tematik, merupakan program kurikuler wajib bagi seluruh
mahasiswa UPI(S1). Saat ini KKN UPI diarahkan menjadi KKN tematik berbasis pendidikan
untuk pemberdayaan masyarakat. Program-programnya memiliki beberapa dimensi, yaitu:
1) Sebagai program kurikuler
2) Program ko-kurikuler
3) Program eksrakurikuler
4) Program pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh para mahasiswa.
Nilai-nilai karakter mahasiswa yang dikembangkan melalui program KKN tematik
mencakup 10 nilai karakter mulia, antara lain: sikap ilmiah, cerdas, toleran, gotong royong,
disiplin, kerjasama, bertanggung jawab, berani karena benar, peduli, tanpa pamrih, adil, jujur,
tangguh, dan kepemimpinan (Dasim, 2010:171-172).
2. Pendidikan Karakter Model Universitas Indonesia
Model pendidikan karakter UI dikembangkan dan diimplementasikan melalui dua
kegiatan utama, yaitu orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) dan Program Dasar Pendidikan Tinggi
(PDPT). Kegiatan pertama merupakan program yang didesain secara khusus agar para
mahasiswa UI siap mengikuti program kegiatan yang kedua dan memberikan kesempatan pada
mahasiswa untuk mengenal lebih dekat serta mengembangkan jejaring dengan teman-teman
mahasiswa dari fakultas yang berbeda.
Kegiatan orientasi mahasiswa meliputi empat kegiatan pokok, yaitu
a. Keterampilan belajar (learning skills)
Keterampilan belajar yang dilatihkan lebih difokuskan pada keterampilan belajar yang
berdasarkan student center. Calon mahasswa diperkenalkan dengan cara belajar diperguruan
tinggi umumnya dan khususnya di UI, dilatih agar mampu mengembangkan kemampuan self
regulated learningnya, mampu belajar dalam kelompok secara efektif, mampu berfikir kritis, dan
mampu memecahkan masalah.
b. Pengenalan metode pembelajaran collaborative learning (CL) dan problem based learning
(PBL)
Dengan menggunakan metode aktif ini diharapkan lulusan UI terlatih selain mampu bekerja,
mampu bekerja sama dengan oranglain baik ditempat kerja maupun dilingkungan social lainnya
dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif dengan orang lain dengan mempertimbangkan
logika, berfikir kritis, dan etika.
Metode CL menuntut setiap anggota kelompok emmiliki tangggung jawab terhadap kemajuan
proses pembelajaran baik bagi dirinya sendiri maupun anggota kelompok lainnya. Pada akhirnya
akan terpupun keterampilan mereka dalam melakukan interaksi dan bekerja sama.
PBL merupakan metode pembelajaran yang didasarkan pada masalah sebagai pemicu. Masalah
yang diberikan menggambarkan situasi nyata, bermakna, tidak mempunyai struktur yang jelas,
cukup kompleks dan bersifat ambigu. Berdasarkan masalah atau pemicu tersebut, mahasiswa
melakukan kegiatan kelompok atau kegiatan mandiri.
c. Pengenalan computer dan computer mediated learning
Tujuan materi ini adalah agar mahasiswa mampu memanfaatkan computer dan internet dalam
mempelajari berbagai bahan ajar. Dibeberapa fakultas/ program studi proses pembelajarannya
sudah memanfaatkan internet, dimana baik bahan ajar maupun tugas-tugas diberikan melalui
jaringan internet.
d. Mengenalkan metode information literacy (pencarian sumber bacaan/ literature)
Mahasiswa diperkenalkan bagaimana cara mencari sumber bacaan atau literature secara efektif.
Adapun PDPT merupakan salah satu bentuk program pendidikan karakter yang dilakukan UI
untuk menjembatani dan mengembangkan aspek kepribadian mahasiswa UI.
PDPT dikembangkan dengan mengintegrasikan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK) dan matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) menjadi mata kuliah
Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPTK).
Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) terintegrasi meliputi pokok-pokok
bahasan Filsafat Ilmu, Logika dan Pancasila; akhlak, budi pekerti, dan masyarakat dan bahasa,
budaya, dan lingkungan. Dengan pokok-pokok bahasan tersebut diharapkan mahasiswa UI
mampu:
a. Menganilisis topic serta pemicu dengan menggunakan kerangka teori pada pokok bahasan
logika, falsafat ilmu, dan pancasila, berlatar belakang akhlak dan budi pekerti, masyarakat,
bangsa, budaya, dan lingkungan hidup di Indonesia.
b. Mendeskripsikan nilai-nilai akademik dan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia dari berbagai
kemajukan persepsi manusia dan budaya.
c. Membahas permasalahan yang ada dimasyarakat dengan menerapkan langkah-langkah belajar
secara aktif, dan mampu menggunakan teknologi Informasi.
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam diskusi, presentasi maupun dalam
bentuk tulisan ilmiah.
Intinya, mata kuliah diberikan kepada mahasiswa agar mereka menjadi mahasiswa-
mahasiswa yang beriman dana bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, beramal,
berakhlak mulia, memiliki etos kerja yang tinggi, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
kehidupan, serta menjadikan ajaran agama menjadi landasan berfikir dan berperilaku dalam
mengembangkan profesi.
3. Pendidikan Karakter Model Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Nilai-nilai yang dikembangkan UNY melalui pendidikan karakter meliputi 16 nilai target
(Zuchdi,dkk.,2010), yaitu:
a. Ketaatan beribadah
b. Kejujuran
c. Tanggung jawab
d. Kedisiplinan
e. Etos kerja
f. Kemandirian
g. Sinergi
h. Kritis
i. Kreatif dan inovatif
j. Visioner
k. Kasih sayang dan kepedulian
l. Keiklasan
m. Keadilan
n. Kesederhanaan
o. Nasionalisme
p. Internasionalisme
Model pendidikan karakter UNY dikembangkan berdasarkan tiga landasan utama, yaitu
pendekatan komprehensif, pembelajaran terintegrasi,dan pengembangan kultur universitas
(Zuhdi,dkk.:2010).
Pendekatan yang dipilih UNY dalam implementasi pendidikan karakter adalah bersifat
komprehensif. Rector UNY, Prof.Dr.Rahmat Wahab,M.Pd.,M.A., dalam pengantar buku
berjudul “Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Komprehensif” menyebutkan bahwa
pendekatn komprehensif itu dapat dipahami melalui beberapa pengertian, antara lain:
a. Nilai-nilai yang dikembangkan cukup luas, yang ditentukan secara kolektif oleh semua
komponen perguruan tinggi, yaitu pimpinan, dosen, pegawai, administrasi, dan mahasiswa.
b. Semua komponen perguruan tinggi bersinergi dengan orang tua dan pemuka masyarakat,
bertanggung jawab atas terselenggaranya prndidikan karakter dan pengembangan multikultur.
c. Metode yang digunakan meliputi dua metode tradisional, yakni inkulkasi (lawan indoktrinasi)
dan keteladanan, serta dua metode kontemporer yaitu fasilitasi nilai dan pengembangan soft
skills.
d. Tempat terselenggaranya pendidikan karakter, disamping di lembangga pendidikan juga dalam
keluarga dan masyarakat.
Pembelajaran terintegrasi adalah pembelajaran berupaya memberikan pengalaman belajar
kepada mahasiswa dengan cara menguhungkan materi pembelajaran dengan bidang studi lain.
Model pembelajaran ini dipandang dapat memberikan pengalaman yang berharga begi
mahasiswa, terutatama setelah nantinya mereka terjun ke masyarakat, dimana masalah-masalah
yang akan mereka hadapi nantinya dimungkinkan hanya dapat diatasi secra tuntas dengan
memanfaatkan berbagai bidang ilmu secara interdisipliner atau multidisipliner.
Pelaksanaan pendidikan karakter UNY melalui program pembinaan kemahasiswaan
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap pengenalan
Sasaran: mahasiswa semester I-II
Program utama: success skillyang merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
motivasi pada mahasiswa.
b. Tahap penyadaran
Sasaran: mahasiswa semester III-IV
Program utama: pengembangan kreatifitas mahasiswa.
Melalui kegiatan ini mahasiswa diharapkan tumbuh kesadarannya akan pentingnya membekali
diri dengan berbagai kemampuan untuk menghadapi masa depan yang penuh kompetitif.
c. Tahap pertumbuhan
Sasaran: mahasiswa semester V-VI
Program utama: kegiatan-kegiatan yang berdampak pada pengembangan jiwa kepemimpinan,
kewirausahaan, dan peningkata produktivitas dengan inovasi-inovasi baru.
d. Tahap pendewasaan
Sasaran: mahsiswa semester VII-VIII
Program utama: diarahkan pada pembentukan sikap dan kesiapan mahasiswa setelah lulus untuk
memasuki lapangan kerja atau menciptakan peluang kerja.

D. Strategi Internalisasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi


Zamroni (2011) menawarkan tujuh strategi pendidikan karakter yang menurut hemat
penulis relevan untuk dilaksanakan dalam pendidikan tinggi, yaitu:
1. Tujuan, sasaran dan target yang dicapai harus jelas dan konkrit.
2. Pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien bila dikerjakan tidak hanya oleh perguruan
tinggi, melainkan haus ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan orang tua mahasiswa.
3. Menyadarkan pada semua dosen akan peran yang penting dan tanggung jawab dalam
keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter.
4. Kesadaran dosen akan perlunya “hidden curriculum”, dan merupakan instrument yang amat
penting dalam pengembangan karakter mahasiswa.
5. Dalam pelaksanaan pembelajaran dosen hendaknya menekankan pada daya kritis dan
kreatifmahasiswa, kemampuan bekerja sama, dan keterampilan mengambil keputusan.
6. Kultur perguruan tinggi harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter mahasiswa.
7. Pada hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dikampus yang dapat dimonitor dan di control oleh dosen.

E. Pendidikan Karakter di Universitas Negeri Semarang


Pada level pendidikan tinggi, pemerintah telah menyusun Pola Pengembangan
Kemahasiswaan (Polbangmawa). Tujuan dari pola pengembangan kemahasiswaan tersebut
adalah (1) mengembangkan kegiatan kemahasiswaan sesuai dengan visi dan misi pendidikan
tinggi, (2) mengembangkan penalaran dan keilmuan; penelusuran bakat, minat, dan kemampuan;
kesejahteraan; kepedulian sosial; dan kegiatan penunjang berdasarkan pada kaidah akademis,
moral, dan etika ilmu pengetahuan serta kepentingan masyarakat, (3) mengembangkan dan
meningkatkan kualitas program dan sarana penunjangnya. Sebagai bagian integral dari
pembangunan pendidikan tinggi secara menyeluruh, pengembangan kemahasiswaan diarahkan
untuk mengembangkan organisasi kemahasiswaan yang sehat dan membina sumber daya
manusia yang berkualitas (Direktorat Kelembagaan Ditjen Dikti 2006:2). Berdasarkan
Polbangmawa, program kemahasiswaan dikembangkan dengan paradigma baru, yaitu
mempersiapkan mahasiswa agar mandiri dalam memasuki dunia kerja serta tangguh menghadapi
tantangan di masa depan (Direktorat Kelembagaan Ditjen Dikti 2006).
Pengembangan nilai-nilai karakter luhur yang menjadi acuan bagi seluruh warga Unnes,
sudah berlangsung selama puluhan tahun. Nilai-nilai itu disemaikan melalui pendidikan,
penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh warga
Unnes. Selain itu, diperkuat oleh keteladanan para founding fathers dan pendahulu Unnes. Ada
sejumlah nilai karakter luhur yang dapat digali dari khazanah kehidupan warga Unnes.
Nilai-nilai karakter luhur yang sudah berkembang selama ini dan dapat dikembangkan
lebih lanjut, meliputi nilai religius, jujur, peduli, toleran, demokratis, santun, cerdas, dan
tangguh. Kedelapan nilai tersebut merupakan jabaran dari nilai utama Unnes, yaitu sehat, unggul,
dan sejahtera.
Di Unnes, penyemaian nilai-nilai karakter dilakukan melalui lembaga kemahasiswaan
(Badan Eksekutif Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, Kongres Mahasiswa, dan Unit
Kegiatan Mahasiswa). Pengembangan karakter dilakukan melalui kegiatan penalaran dan
keilmuan. Kegiatan yang dilakukan berupa Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM),
Pengembangan Kreativitas Mahasiswa (PKM), Mahasiswa Berprestasi, dan kegiatan penelitian,
seminar, dan diskusi. Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan sikap ilmiah, merangsang daya
kreasi dan inovasi, meningkatkan kemampuan meneliti dan menulis, dan pemahaman profesi.
Nilai-nilai yang disemaikan dari berbagai kegiatan tersebut, diantaranya toleransi, demokrasi,
tanggung jawab, dan kejujuran. Dalam kegiatan bakat, minat, dan kemampuan, kegiatan yang
dilakukan diantaranya Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM), Pekan Olahraga
Mahasiswa, Pekan Seni Mahasiswa, Kepramukaan, Resimen Mahasiswa, Pecinta Alam
(Mahapala), Pers dan Penerbitan Kampus, Radio Ekspresi Mahasiswa (REM) FM, Korps
Sukarela Mahasiswa, dan Pemilihan Putra Putri Kampus (Papika). Program dan kegiatan
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam manajemen praktis,
berorganisasi, menumbuhkan apresiasi terhadap seni dan olahraga, kepramukaan, bela negara,
cinta alam, jurnalistik, kepenyiaran, dan bakti sosial. Nilai-nilai yang dikembangkan dari
kegiatan tersebut adalah kejujuran, kepedulian, cinta tanah air, toleransi, demokrasi, kesantunan,
kecerdasan, dan ketangguhan. Kegiatan kesejahteraan yang dikembangkan Unnes diantaranya
pemberian beasiswa, koperasi mahasiswa (Kopma), MTQ Mahasiswa, Paduan Suara, dan Unit
Kegiatan Kerohanian (Islam, Kristen, dan yang lain). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan fisik, mental, dan kerohanian mahasiswa. Nilai-nilai yang dihayati mahasiswa dari
kegiatan tersebut adalah religiusitas, toleransi, demokrasi, kecerdasan, kebersamaan, dan
kepedulian. Kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian sosial diwadahi dalam UKM Bakti
Sosial, Gerakan Anti Narkoba (Gerhana), Pelayaran Kebangsaan, dan lain-lain. Kegiatan ini
bertujuan untuk meningkatkan pengabdian kepada masyarakat, menanamkan persatuan dan
kesatuan bangsa, menumbuhkan kecintaan kepada tanah air dan lingkungan. Nilai-nilai karakter
yang tumbuh dan berkembang dari kegiatan tersebut adalah kepedulian, demokrasi, kecerdasan,
dan ketangguhan.
Dari berbagai kegiatan atau program yang dikembangkan Unnes, model pendidikan
karakter yang dikembangkan adalah mensinergikan kegiatan akademik (pembelajaran) dan
kemahasiswaan. Model pendidikan karakter yang dikembangkan di Unnes adalah Pendidikan
Karakter berbasis Konservasi (PKK). Pendidikan Karakter berbasis Konservasi ini merupakan
upaya pendidikan untuk menyemaikan dan mengembangkan nilai-nilai religius, jujur, peduli,
toleran, demokratis, santun, cerdas, dan tangguh ke dalam diri mahasiswa dengan maksud agar
mereka mampu menjadi agen masyarakat yang sehat, unggul, dan kompetitif. Melalui kegiatan
pembelajaran yang demokratis dan beretika serta kegiatan kemahasiswaan yang inovatif dan
produktif, diharapkan output dan outcome pendidikan di Unnes adalah lulusan yang memiliki
keunggulan, sehat, dan mampu bersaing. Kegiatan pembelajaran yang lebih banyak memberikan
peluang kebebasan berpikir kepada mahasiswa Unnes, mendorong mereka lebih demokratis
dalam bergaul dan menyampaikan pandangan kepada sesama mahasiswa, dosen, dan tenaga
administrasi. Demikian pula, kegiatan kemahasiswaan yang melibatkan unsur dosen pendamping
dan partisipasi masyarakat, memberikan makna kepada mahasiswa betapa pentingnya nilai
kebersamaan dan kekeluargaan untuk mencetak mahasiswa yang berkepribadian tangguh.
Kegiatan akademik dan kemahasiswaan sebagaimana dikemukakan tersebut didukung oleh
pembiasaan hidup berkarakter dari civitas akademik Unnes beserta tenaga administrasi. Dalam
kaitan ini, Unnes mencanangkan disiplin dalam bertugas (masuk-pulang kantor), kebiasaan
berjalan kaki atau bersepeda di dalam kampus, kebiasaan hidup bersih, dan berhemat dalam
menggunakan listrik dan AC. Keteladanan yang ditunjukkan oleh Rektor Unnes dengan etos
konservasinya, misalnya datang ke kampus paling awal dan pulang paling akhir, bersepeda
ketika berkunjung ke unit lain di kampus, dan sikap ramahnya memberikan energi positif bagi
keluarga besar Unnes untuk mewujudkan visi Unnes konservasi. Pembiasaan positif yang
ditunjukkan Rektor beserta jajaran pimpinan lainnya serta kepedulian organisasi kemahasiswaan
menularkan virus konservasi kepada lingkungan sekitar. Interaksi dengan masyarakat,
diharapkan membuat masyarakat memiliki ketahanan sosial yang tangguh.
BAB 3
PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan pada pemikiran bahwa karakter mahasiswa dapat dikembangkan secara
perlahan dan berkelanjutan, pendidikan karakter diperguruan tinggi haruslah memperhatikan
bahwa terbentuknya karakter seseorang dipengaruhi banyak factor. Djohar(2011)
mengidentifikasi tiga factor yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorag yaitu:
1. Modal budaya yang dibawa sejak kecil
2. Dampak lingkungannya
3. Kekuatan individu orang merespons dampak lingkungannya.
Dalam konteks perguruan tinggi, modal budaya dipengaruhi oleh konteks lingkungan
dimana mahasiswa hidup, sehingga membentuk pengalaman, sekaligus karakternya. Oleh karena
itu, menciptakan lingkungan yang kondusif dan mendukung menjadi sangat penting dalam
rangka menumbuhn kembangkan karakter seorang mahasiswa. Dalam konteks perguruan tinggi,
lingkungan kampus, baik ekosistem dan akademiknya seharusnya disusun sedemikian rupa,
sehingga mendukung pengembangan karakter mahasiswa.
Dalam pembahasan tersebut terlihat jelas bahwa UPI, UI dan UNY memiliki model
penerapan pendidikan karakter yang berbeda-beda dan berhasil mereka terapkan pada
mahasiswanya.

Saran
Pendidikan karakter di perguruan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan karakter di
jenjang yang lebih rendah. Dalam hal ini, pendidikan karakter hendaknya dirumuskan
dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Di
dalam pelaksanaannya, inti kegiatan di perguruan tinggi ialah Tridharma Perguruan Tinggi,
sehingga semua kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
dilaksanakan dengan berkarakter.
Diposting oleh Vieka Raika di 13.45
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
DUA BELAS tahun lebih sejak reformasi bergulir, tak ada perubahan yang signifikan atas
kondisi bangsa ini. Kemiskinan masih menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Angka
pengangguran menunjukkan jumlah yang meningkat tiap tahunnya. Di sana sini masih sering
kita dengar berita tentang kelaparan dan balita kurang gizi.

Sementara itu, kebobrokan moral juga menimpa banyak pejabat Negara kita, dari tingkat pusat
hingga daerah. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Berita tentang ketidakjujuran,
KKN, dan suap-menyuap di kalangan pejabat Negara tak henti-hentinya menghiasi media massa.
Tiap hari kejahatan kerah putih tak kian berkurang, tetapi malah makin bertambah dengan
modus-modus baru. Seakan ada saja cara dan jalan untuk mengorupsi uang Negara,
menggelapkan uang rakyat.

Gagalkah reformasi Mei 1998? Di manakah para aktivis 1998 yang dulu menggembar-
gemborkan perubahan, pemberantasan koupsi, dan perbaikan sistem hukum? Larikah mereka
sekarang, setelah berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru? Ataukah kini mereka
bungkam dan tak berkutik setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan, dan setelah merasakan
manisnya uang berlimpah?

Pepatah Arab mengatakan, Syubban al-yawm rijal al-ghad (pemuda pada hari ini adalah
penguasa/ tokoh di masa depan). Dengan demikian, pemahaman terbaliknya mengatakan,
penguasa hari ini adalah para pemuda di masa lampau. Secara lebih spesifik, orang-orang yang
duduk di kursi kekuasaan pada saat ini adalah para mahasiswa pada masa lampau. Dalam
konteks ini penulis mengamini apa yang ditulis Hammidun Nafi’ S. di rubrik ini (14/8) bahwa
para koruptor sekarang adalah mahasiswa generasi-generasi sebelumnya.

Ada apa dengan sistem pendidikan tinggi kita, hingga produk yang dihasilkan adalah generasi
yang akrab dengan ketidakjujuran, dan terbiasa dengan manipulasi? Apa yang terjadi dengan
pendidikan di kampus, hingga produk yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang tak peka
terhadap penderitaan rakyat?

Melihat karut-marut kondisi politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia saat ini, kita patut
mempertanyakan efektivitas pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi. Kampus yang
diharapakann menjadi kawah candradimuka untuk menempa calon-calon pemimpin sejati di
masa depan, kini malah menjadi pabrik penghasil calon-calon koruptor.

Kampus yang sejatinya menjadi tempat pendidikan bagi calon pejuang nasib rakyat kini malah
menjadi agen kapitalisme yang hanya menghamba pada pasar. Kampus pun kini hanya
mengajarkan mahasiswanya bagaimana mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya, agar
jika lulus nanti mudah terserap pasar tenaga kerja. Masalah kejujuran dipikir belakangan.

Bergeser sedikit kepada kegiatan ekstra kampus, kita akan mendapati kumpulan mahasiswa yang
sangat bersemangat belajar organisasi. Dengan bergabung ke dalam organisasi kemahasiswaan
mereka berharap bisa belajar berpolitik. Dan memang mereka belajar bagaimana memenej
organisasi dengan baik, serta bagaimana melakukan lobi-lobi politik yang efektif. Namun
kemampuan teknis berorganisasi yang mereka kuasai itu akhirnya digunakan untuk
memanipulasi dan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka pegang. Lepas dari kampus,
mereka terseret oleh jaringan patronase politik-kekuasaan yang hanya menguntungkan individu
dan kelompok mereka sendiri. Rakyatlah yang lagi-lagi menjadi korban.

Pendidikan Karakter
Sudah saatnya kampus menggalakkan pendidikan karakter secara kongkrit bagi mahasiswanya.
Pencapaian intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman moral
dan akhlak yang bagus. Kemampuan manajerial dan sosial mahasiswa harus disertai dengan
sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan rendah hati. Ini ditujukan agar mahasiswa tak
hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus,
serta mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.

Pendidikan karakter yang idealnya ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan dasar dan
menengah, seharusnya lebih ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab peserta didik di
lingkungan kampus mempunyai kepentingan langsung dan praktis terhadap karakter-karakter
positif, serta lebih dekat untk terjun dalam kehidupan riil di masyarakat. Dengan demikian
karakter-karakter positif bagi mahasiswa merupakan keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak.

Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif dan mengena apabila dilakukan
melalui keteladanan. Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan
di kampus harus turut ambil bagian dalam memberikan keteladanan yang baik kepada
mahasiswa. Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh perilaku jujur,
disiplin, kreatif, kritis, d.l.l. kepada mahasiswa yunior. Dengan lingkungan yang kondusif,
penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima dan diteladani mahasiswa baru.

Selain melalui keteladanan para sivitas akademika, pendidikan karakter bagi mahasiswa juga
bisa dilakukan melalui pembangunan kultur akademik yang baik di lingkungan kampus. Dengan
membiasakan diri menghindari plagiasi dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-
tugas kuliah secara jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya.

Satu hal lagi yang merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui
integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan.
Penanaman karakter positif seyogianya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari bidang
keilmuan yang dipelajari. Sebab sikap moral yang baik akan menjadi fondasi yang bagus atas
segala bidang keahlian. Dengan demikian, apapun profesi yang ditekuni mahasiswa nantinya,
jika dia memiliki integritas moral yang tangguh, dia akan memberikan dampak positif bagi diri
dan masyarakatnya kelak.

Karakter positif merupakan hasil pendidikan dan pembiasaan yang dimulai sedari kecil, bukan
hal yang instan. Karena itu, keluarga, masyarakat, dan sekolah berperan sangat signifikan dalam
pembentukan karakter seseorang. Pembentukan dan pematangan karakter ini akan mencapai
klimaksnya di lingkungan perguruan tinggi. Karena itu, lingkungan kampus harus dibuat sebaik
mungkin sebagai media pengembangan karakter positif bagi calon-calon pemimpin di masa
depan. [*]

Most Read Articles


 Kantor Pusat
 Zat Makanan yang Diperlukan Tubuh
 Macam-macam Gaya
 Ikutilah Kontes Write a Story!
 Operasi Hitung Campuran Bilangan Bulat

Pendidikan Karakter untuk Mahasiswa

Wednesday, 08 May 2013 15:21

DUA BELAS tahun lebih sejak reformasi bergulir, tak ada perubahan yang signifikan atas
kondisi bangsa ini. Kemiskinan masih menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Angka
pengangguran menunjukkan jumlah yang meningkat tiap tahunnya. Di sana sini masih sering
kita dengar berita tentang kelaparan dan balita kurang gizi.

Sementara itu, kebobrokan moral juga menimpa banyak pejabat Negara kita, dari tingkat pusat
hingga daerah. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Berita tentang ketidakjujuran,
KKN, dan suap-menyuap di kalangan pejabat Negara tak henti-hentinya menghiasi media massa.
Tiap hari kejahatan kerah putih tak kian berkurang, tetapi malah makin bertambah dengan
modus-modus baru. Seakan ada saja cara dan jalan untuk mengorupsi uang Negara,
menggelapkan uang rakyat.

Gagalkah reformasi Mei 1998? Di manakah para aktivis 1998 yang dulu menggembar-
gemborkan perubahan, pemberantasan koupsi, dan perbaikan sistem hukum? Larikah mereka
sekarang, setelah berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru? Ataukah kini mereka
bungkam dan tak berkutik setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan, dan setelah merasakan
manisnya uang berlimpah?

Pepatah Arab mengatakan, Syubban al-yawm rijal al-ghad (pemuda pada hari ini adalah
penguasa/ tokoh di masa depan). Dengan demikian, pemahaman terbaliknya mengatakan,
penguasa hari ini adalah para pemuda di masa lampau. Secara lebih spesifik, orang-orang yang
duduk di kursi kekuasaan pada saat ini adalah para mahasiswa pada masa lampau. Dalam
konteks ini penulis mengamini apa yang ditulis Hammidun Nafi’ S. di rubrik ini (14/8) bahwa
para koruptor sekarang adalah mahasiswa generasi-generasi sebelumnya.

Ada apa dengan sistem pendidikan tinggi kita, hingga produk yang dihasilkan adalah generasi
yang akrab dengan ketidakjujuran, dan terbiasa dengan manipulasi? Apa yang terjadi dengan
pendidikan di kampus, hingga produk yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang tak peka
terhadap penderitaan rakyat?

Melihat karut-marut kondisi politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia saat ini, kita patut
mempertanyakan efektivitas pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi. Kampus yang
diharapakann menjadi kawah candradimuka untuk menempa calon-calon pemimpin sejati di
masa depan, kini malah menjadi pabrik penghasil calon-calon koruptor.

Kampus yang sejatinya menjadi tempat pendidikan bagi calon pejuang nasib rakyat kini malah
menjadi agen kapitalisme yang hanya menghamba pada pasar. Kampus pun kini hanya
mengajarkan mahasiswanya bagaimana mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya, agar
jika lulus nanti mudah terserap pasar tenaga kerja. Masalah kejujuran dipikir belakangan.

Bergeser sedikit kepada kegiatan ekstra kampus, kita akan mendapati kumpulan mahasiswa yang
sangat bersemangat belajar organisasi. Dengan bergabung ke dalam organisasi kemahasiswaan
mereka berharap bisa belajar berpolitik. Dan memang mereka belajar bagaimana memenej
organisasi dengan baik, serta bagaimana melakukan lobi-lobi politik yang efektif. Namun
kemampuan teknis berorganisasi yang mereka kuasai itu akhirnya digunakan untuk
memanipulasi dan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka pegang. Lepas dari kampus,
mereka terseret oleh jaringan patronase politik-kekuasaan yang hanya menguntungkan individu
dan kelompok mereka sendiri. Rakyatlah yang lagi-lagi menjadi korban.

Pendidikan Karakter
Sudah saatnya kampus menggalakkan pendidikan karakter secara kongkrit bagi mahasiswanya.
Pencapaian intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman moral
dan akhlak yang bagus. Kemampuan manajerial dan sosial mahasiswa harus disertai dengan
sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan rendah hati. Ini ditujukan agar mahasiswa tak
hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus,
serta mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.

Pendidikan karakter yang idealnya ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan dasar dan
menengah, seharusnya lebih ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab peserta didik di
lingkungan kampus mempunyai kepentingan langsung dan praktis terhadap karakter-karakter
positif, serta lebih dekat untk terjun dalam kehidupan riil di masyarakat. Dengan demikian
karakter-karakter positif bagi mahasiswa merupakan keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak.

Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif dan mengena apabila dilakukan
melalui keteladanan. Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan
di kampus harus turut ambil bagian dalam memberikan keteladanan yang baik kepada
mahasiswa. Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh perilaku jujur,
disiplin, kreatif, kritis, d.l.l. kepada mahasiswa yunior. Dengan lingkungan yang kondusif,
penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima dan diteladani mahasiswa baru.

Selain melalui keteladanan para sivitas akademika, pendidikan karakter bagi mahasiswa juga
bisa dilakukan melalui pembangunan kultur akademik yang baik di lingkungan kampus. Dengan
membiasakan diri menghindari plagiasi dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-
tugas kuliah secara jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya.

Satu hal lagi yang merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui
integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan.
Penanaman karakter positif seyogianya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari bidang
keilmuan yang dipelajari. Sebab sikap moral yang baik akan menjadi fondasi yang bagus atas
segala bidang keahlian. Dengan demikian, apapun profesi yang ditekuni mahasiswa nantinya,
jika dia memiliki integritas moral yang tangguh, dia akan memberikan dampak positif bagi diri
dan masyarakatnya kelak.

Karakter positif merupakan hasil pendidikan dan pembiasaan yang dimulai sedari kecil, bukan
hal yang instan. Karena itu, keluarga, masyarakat, dan sekolah berperan sangat signifikan dalam
pembentukan karakter seseorang. Pembentukan dan pematangan karakter ini akan mencapai
klimaksnya di lingkungan perguruan tinggi. Karena itu, lingkungan kampus harus dibuat sebaik
mungkin sebagai media pengembangan karakter positif bagi calon-calon pemimpin di masa
depan. [*]

Most Read Articles


 Kantor Pusat
 Zat Makanan yang Diperlukan Tubuh
 Macam-macam Gaya
 Ikutilah Kontes Write a Story!
 Operasi Hitung Campuran Bilangan Bulat

Poerwadarminta

Menurut Poerwadarminta, Karakter berarti tabiat, watak sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Simon Philips

Menurut Simon Philips, Karakter adalah kumpulan tata nilai menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.

Mansur Muslich (2010:70)


Menurut Mansur Muslich, Karakter adalah cara berfikir dan berperilaku seseorang yang menjadi
ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat dan
negara.

Coon

Menurut Coon, Karakter adalah suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang
berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Unsur-Unsur Karakter
Secara psikologis dan sosiologis manusia memiliki beberapa unsur yang berkaitan dengan
terbentuknya karakter. Unsur tersebut menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur tersebut
diantaranya:

Sikap

Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan sikap dianggap sebagai cerminan
karakter orang tersebut. Sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada di hadapannya, biasanya
menunjukan bagaimana karakter orang tersebut. Jadi, semakin baik sikap seseorang maka
dikatakan orang tersebut memiliki karakter yang baik. Sebaliknya, semakin tidak baik sikap
seseorang maka dikatakan orang tersebut memiliki karakter yang tidak baik.

Emosi

Emosi yaitu gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia yang disertai dengan efek pada
kesadaran, perilaku, dan ini juga merupakan proses fisiologis. Emosi ini identik dengan perasaan
yang kuat.

Kepercayaan

Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio psikologis. Kepercayaan
mengenai sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman dan intuisi
sangat penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh
eksistensi diri dan hubungan dengan orang lain.

Kebiasaan dan Kemauan

Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada
waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berulang kali. Sedangkan kemauan adalah
kondisi yang mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan
yang mencerminkan perilaku orang tersebut.

Konsepsi diri (Self-Conception)


Konsepsi diri adalah proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang bagaimana karakter
dan diri seseorang terbentuk. Jadi, konsepsi diri adalah bagaimana kita harus membangun diri,
apa yang kita inginkan dan bagaimana kita menempatkan diri dalam kehidupan.

Jenis-Jenis Karakter
Berikut ini beberapa contoh macam-macam karakter seseorang yang banyak ditemui disekitar
kita diantaranya:

 Pemarah
 Pemaaf
 Pemalas
 Pembenci
 Penyayang
 Pengkhianat
 Ceria
 Bijaksana
 Jujur
 Tamak
 Rajin
 Pendendam
 Pendiam
 Penakut
 Dan lain sebagainya.

Proses Pembentukan Karakter


Karakter seseorang pada dasarnya terbentuk melalui proses pembelajaran yang cukup panjang.
Karakter manusia tidaklah dibawa sejak lahir, karena karakter terbentuk oleh faktor lingkungan
dan juga orang yang ada sekitar lingkungan tersebut.

Karakter terbentuk melalui berbagai proses pembelajaran yang didapatkan dari berbagai tempat
seperti rumah, sekolah dan juga lingkungan tempat tinggal. Pihak yang berperan dalam
pembentukan karakter seseorang antara lain keluarga, guru dan teman.

Karakter biasanya berkaitan erat dengan tingkah laku seseorang. Jika seseorang memiliki
perilaku yang baik maka kemungkinan besar orang tersebut memiliki karakter yang baik pula.
Namun, jika seseorang memiliki perilaku yang buruk maka kemungkinan besar karakter yang
orang tersebut juga buruk.

Demikian artikel tentang”Pengertian Karakter, Unsur, Jenis dan Proses Pembentukan Karakter
Terlengkap“, semoga bermanfaat.

Baca Artikel Lainnya:


 Menunjukkan Perilaku Positif terhadap Upaya Peningkatan Jaminan Keadilan
 Pengertian Dan Macam-Macam Perilaku Menyimpang dan Pengendalian Sosial Menurut
Para Ahli
 Pengertian Kecerdasan, Jenis dan Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Terlengkap
 21 Pengertian Kepribadian Menurut Para Ahli Terlengkap
 Macam Teori Teori Kepribadian dan Pengertian Kepribadian Menurut Ahli

Posted in Psikology, sosiologiTagged contoh karakter, definisi karakter, jenis-jenis karakter,


karakter seseorang, macam-macam karakter, pendidikan karakter adalah, pengertian karakter
menurut para ahli, pengertian karakter secara umum

You might also like