Professional Documents
Culture Documents
Makalah Pendidikan Karakter
Makalah Pendidikan Karakter
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain sebagai orang dewasa, mahasiswa juga disebut sebagai pebelajar dewasa (adult
learner/adult student) adalah individu yang sedang dalam proses belajar yang oleh lingkungan
sosialnya sudah dianggap dewasa, baik dalam pendidikan formal maupun non formal. Pebelajar
dewasa dicirikan belajar berbasis masalah dan mencari ilmu untuk memecahkan solusi tertentu
dank arena suatu kebutuhan yang jelas, terutama berhubungan dengan karier dan kehidupannya
(Budu:2012).
Mahasiswa dengan berbagai karakternya memiliki peranan dan fungsi yang sangat
strategi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ada tiga peran dan fungsi utama
mahasiswa, yaitu: agent of change, social of control, dan moral force (manggala:2011). Sebagai
agen perubahan (agent of change), mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membuat perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat.
Karakter mahasiswa dapat dikembangkan diperguruan tinggi. Karena karakter seseorng
dapat tumbuh secara perlahan dan berkelanjutan melalui proses pendidikan. Perguruan tinggi
merupakan jenjang pendidikan kelanjutan dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya, dari TK,
SD, SMP dan SMA. Seorang tidak mungkin menjadi mahasiswa tanpa melalui jenjang-jenjang
pendidikan sebelumnya.
Buchori(2010) mengungkapkan: “pembentukan karakter perlu waktu panjang, dari masa
kanak-kanak sampai usia dewasa ketika seseorang mampu mengambil keputusan mengenai
dirinya sendiri dan mempertanggung jawabkan kepada dirinya sendiri.”
B. Tujuan
1. Bagaimanakah pendidikan Karakter diperguruan tinggi?
2. Seberapa pentingkah pendidikan karakter diperguruan tinggi?
3. Apa sajakah model-model implementasi pendidikan karakter diperguruan tinggi?
4. Bagaimana stategi internalisasi pendidikan karakter di perguruan tinggi?
5. Bagaimana Pendidikan Karakter di UNNES?
C. Manfaat
1. Untuk mengetahui mengenai macam-macam model-model implementasi pendidikan karakter di
perguruan tinggi.
2. Untuk mengetahui strategi internalisasi pendidikan karakter di perguruan tinggi.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas
baik faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh
dan berkembang. Pembentukan karakter mahasiswa merupakan proses pendidikan yang
memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak antara lain, keluarga, sekolah/kampus maupun
masyarakat. Wadah dari pengembangan ini adalah keluarga, kampus dan masyarakat, serta
lembaga formal maupun nonformal.
Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, membantu manusia yang utuh,
bermoral, bersosial, berkarakter, berkepribadi, berpengetahuan dan berohani. Pendidikan
merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju kearah yang lebih baik sesuai
dengan potensi kemanusiaan. Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter.
Untuk membangun bangsa yang berkarakter dimulai dari manusia yang berakhlak mulia
atau berbudi pekerti luhur. Setiap individu dianjurkan untuk membangun karakter bangsa sesuai
kapasitasnya, sebagai ilmuwan, pemimpin, hartawan maupun orang awam. Soemarno
Sudarsono mengatakan ada enam hal dalam membentuk karakter, yaitu kejujuran, keterbukaan,
keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen dan kemampuan
berbagi.
Menurut Djohar, membangun karakter dikategorikan sebagai komponen “the hidden
curriculum” yang pencapaiannya tergantung pada proses pendidikan pada substansi
pendidikannya. Kebiasaan mahasiswa belajar akan mewarnai karakter mereka. Karakter tidak
dapat diajarkan, akan tetapi diperoleh dari pengalaman, oleh karena itu harus dilatihkan.
Kebiasaan sehari-hari dapat menghasilkan pengalaman belajar. Pembangunan moral dan karakter
lebih efektif melalui dialogik dengan mendiskusikan kasus nyata yang diangkat melalui proses
pelatihan itu. Proses dalam pendidikan terbuka kondusif untuk pembangunan karakter itu.
Mahasiswa berperan sebagai kontrol sosial dan menjadi golongan masyarakat yang
memberikan perubahan. Di dalam civil society, mahasiswa harus memberikan peranan yang adil,
egaliter, beretika, aspiratif-partisipatif, dan nonhegemonik. Intinya kekuatan mahasiswa terletak
pada ide, pemikiran, dan gagasannya.
Perguruan Tinggi membentuk insan akademis yang dapat melakukan learning by
themselves atau belajar secara mandiri dengan melakukan self improvement serta mencari dan
membela kebenaran ilmiah. Dengan adanya pendidikan karakter yang diterapkan di Perguruan
Tinggi maka diharapkan mahasiswa dapat merancang visi masa depan untuk diri sendiri,
lingkungan, dan keluarga dan membentuk masyarakat madani yang kreatif dan inovatif.
Pendidikan yang diberikan dari Perguruan Tinggi ini mengarahkan pada perjuangan mahasiswa
untuk mendekatkan realita dengan kondisi ideal.
Di lingkungan perguruan tinggi mahasiswa merupakan elemen yang paling peka
merespon problematika bangsa sebagai promotor “people power” yang menyangkut kepentingan
masyarakat umum. Begitu banyak kegiatan yang dijalankan, mulai dari diskusi, seminar sampai
pada demonstrasi damai yang kritis-analisi untuk memperjuangkan kebenaran dan menjunjung
tinggi kesejahteraan. Mahasiswa sebagai agen perubahan dimaksudkan bahwa dalam
mengadakan sebuah perubahan yang holistik dan sistematik demi kemaslahatan bersama, maka
mahasiswa dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Pendidikan yang hanya berbasis
pada pengembangan intelektual tanpa pengembangan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan
emosional, merupakan metode pendidikan yang perlu dikoreksi. Sebab, intelegensia tinggi tanpa
diimbangi dengan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan emosional, tidak akan menghasilkan
kecerdasan sosial yang diharapkan.
Dalam kaitan dengan pengembangan karakter dan kepribadian secara sistemik di
perguruan tinggi, dalam pembinaan pembelajaran dan kemahasiswaan akan sangat dibutuhkan
tahapan yang jelas dan terukur dengan program yang sistemik dan berkesinambungan, yaitu :
1. Tahap pertama, antara semester 1 sampai semester 3 adalah pembelajaran untuk pembentukan
jati diri. Mengantarkan mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai manusia yang memiliki
beragam potensi, sekaligus memiliki beragam kelemahan.
2. Tahap kedua, antara semester 4 sampai 6, tahap pembelajaran dan pembimbingan untuk
pembentukan daya kreasi dan inovasi mahasiswa. Proses pembelajaran dikembangkan untuk
mempersiapkan, membangun suatu kondisi sehingga kreasi, kreatifitas dan daya inovasi
mahasiswa dapat ditingkatkan dan mahasiswa berperan aktif dalam berbagai aktivitas belajar dan
kegiatan kemahasiswaan.
3. Tahap ketiga, antara semester 7 sampai 8 adalah tahapan pembelajaran yang lebih diorientasikan
pada pembentukan dan pematangan jiwa kewirausahaan, kepemimpinan dan manajemen
mahasiswa. Sehingga peningkatan karakter dan kepribadian mahasiswa lebih berfokus pada
latihan kepemimpinan dan keterampilan komunikasi, berargumentasi secara ilmiah. Tahap ini
merupakan tahap terakhir dari proses pembinaan pembelajaran bagi mahasiswa di kampus.
Kapasitas seseorang dapat ditentukan oleh akumulasi 2 fungsi yaitu kompetensi bidang
ilmu (hard skills) dan karakter (soft skills), sehingga pengembangan karakter harus dimulai dari
pelatihan soft skills. Pendidikan karakter adalah bagian dari pendidikan soft skills. Dengan
adanya karakter yang kuat adalah kelebihan dan kekuatan seseorang, apabila tidak disertai
dengan karakter yang baik, kelebihan dan kekuatan itu akan muncul sebagai kelemahan.
Sebaliknya orang yang memiliki potensi sederhana tetapi karakternya luar biasa, maka dapat
dipastikan dia memiliki potensi yang besar. Satu unsur penting yang sepertinya selama ini
diabaikan dalam praktek pendidikan adalah metode keteladanan yang proposional. Keteladanan
dianjurkan dalam rangka mengantar pendidikan yang mampu membentuk karakter mahasiswa.
Pembentukan karakter generasi muda bangsa merupakan hal yang sangat penting bagi
suatu bangsa dan bahkan menentukan nasib bangsa itu di masa depan termasuk juga Indonesia.
Namun pada kenyataannya, di era globalisasi yang telah menempatkan generasi muda Indonesia
pada derasnya arus informasi yang semakin bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi
dan telekomunikasi sebagai akibat dari globalisasi. Akibat dari globalisasi tersebut, nilai-nilai
asing secara disadari maupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak
langsung kepada generasi muda Indonesia.
Pembangunan karakter dikalangan generasi muda perlu dilakukan secara serius, karena
generasi miuda memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Menurut
www,.sek.neg.com yang dikemukan oleh Hatta Rajasa, fungsi generasi muda dalam
pembangunan karakter bangsa adalah:
1. Generasi muda sebagai pembangun- kembali karakter bangsa (character builder). Di era
globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa seperti
misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa yang positif sehingga pembangunan
kemandirian bangsa sesuai pancasila dapat tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman
globalisasi.
2. Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter
bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga
generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character
enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi muda untuk
menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang
positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri.
3. Generasi muda sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan dibutuhkannya
adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat ketahanan bangsa Indonesia. Character
engineer menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Pengembangan dan
pembangunan karakter positif generasi muda bangsa juga menuntut adanya modifikasi dan
rekayasa yang sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter pejuang dan
patriotism yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, tetapi dapat dalam konteks
lainnya yang bersifat non-fisik. Esensinya adalah peran genarasi muda dalam pemberdayaan
karakter tersebut.
Khususnya di Perguruan Tinggi, peran semua civitas akademika kampus sangat penting.
Hal ini karena pendidikan karakter bukan untuk mahasiswa saja akan tetapi juga selluruh elemen
kampus. Mahasiswa selalu melihat perilaku dosen dan meniilai dosen mana yang baik dan buruk
dari kacamata mahsiswa. Dosen yang baik akan menjadi panutan mahasiswa, artinya baik bukan
hanya sekedar member nilai yang baik, tetapi baik karena memenuhi criteria sebagai dosen.
Simpulan
Berdasarkan pada pemikiran bahwa karakter mahasiswa dapat dikembangkan secara
perlahan dan berkelanjutan, pendidikan karakter diperguruan tinggi haruslah memperhatikan
bahwa terbentuknya karakter seseorang dipengaruhi banyak factor. Djohar(2011)
mengidentifikasi tiga factor yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorag yaitu:
1. Modal budaya yang dibawa sejak kecil
2. Dampak lingkungannya
3. Kekuatan individu orang merespons dampak lingkungannya.
Dalam konteks perguruan tinggi, modal budaya dipengaruhi oleh konteks lingkungan
dimana mahasiswa hidup, sehingga membentuk pengalaman, sekaligus karakternya. Oleh karena
itu, menciptakan lingkungan yang kondusif dan mendukung menjadi sangat penting dalam
rangka menumbuhn kembangkan karakter seorang mahasiswa. Dalam konteks perguruan tinggi,
lingkungan kampus, baik ekosistem dan akademiknya seharusnya disusun sedemikian rupa,
sehingga mendukung pengembangan karakter mahasiswa.
Dalam pembahasan tersebut terlihat jelas bahwa UPI, UI dan UNY memiliki model
penerapan pendidikan karakter yang berbeda-beda dan berhasil mereka terapkan pada
mahasiswanya.
Saran
Pendidikan karakter di perguruan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan karakter di
jenjang yang lebih rendah. Dalam hal ini, pendidikan karakter hendaknya dirumuskan
dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Di
dalam pelaksanaannya, inti kegiatan di perguruan tinggi ialah Tridharma Perguruan Tinggi,
sehingga semua kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
dilaksanakan dengan berkarakter.
Diposting oleh Vieka Raika di 13.45
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
DUA BELAS tahun lebih sejak reformasi bergulir, tak ada perubahan yang signifikan atas
kondisi bangsa ini. Kemiskinan masih menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Angka
pengangguran menunjukkan jumlah yang meningkat tiap tahunnya. Di sana sini masih sering
kita dengar berita tentang kelaparan dan balita kurang gizi.
Sementara itu, kebobrokan moral juga menimpa banyak pejabat Negara kita, dari tingkat pusat
hingga daerah. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Berita tentang ketidakjujuran,
KKN, dan suap-menyuap di kalangan pejabat Negara tak henti-hentinya menghiasi media massa.
Tiap hari kejahatan kerah putih tak kian berkurang, tetapi malah makin bertambah dengan
modus-modus baru. Seakan ada saja cara dan jalan untuk mengorupsi uang Negara,
menggelapkan uang rakyat.
Gagalkah reformasi Mei 1998? Di manakah para aktivis 1998 yang dulu menggembar-
gemborkan perubahan, pemberantasan koupsi, dan perbaikan sistem hukum? Larikah mereka
sekarang, setelah berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru? Ataukah kini mereka
bungkam dan tak berkutik setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan, dan setelah merasakan
manisnya uang berlimpah?
Pepatah Arab mengatakan, Syubban al-yawm rijal al-ghad (pemuda pada hari ini adalah
penguasa/ tokoh di masa depan). Dengan demikian, pemahaman terbaliknya mengatakan,
penguasa hari ini adalah para pemuda di masa lampau. Secara lebih spesifik, orang-orang yang
duduk di kursi kekuasaan pada saat ini adalah para mahasiswa pada masa lampau. Dalam
konteks ini penulis mengamini apa yang ditulis Hammidun Nafi’ S. di rubrik ini (14/8) bahwa
para koruptor sekarang adalah mahasiswa generasi-generasi sebelumnya.
Ada apa dengan sistem pendidikan tinggi kita, hingga produk yang dihasilkan adalah generasi
yang akrab dengan ketidakjujuran, dan terbiasa dengan manipulasi? Apa yang terjadi dengan
pendidikan di kampus, hingga produk yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang tak peka
terhadap penderitaan rakyat?
Melihat karut-marut kondisi politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia saat ini, kita patut
mempertanyakan efektivitas pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi. Kampus yang
diharapakann menjadi kawah candradimuka untuk menempa calon-calon pemimpin sejati di
masa depan, kini malah menjadi pabrik penghasil calon-calon koruptor.
Kampus yang sejatinya menjadi tempat pendidikan bagi calon pejuang nasib rakyat kini malah
menjadi agen kapitalisme yang hanya menghamba pada pasar. Kampus pun kini hanya
mengajarkan mahasiswanya bagaimana mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya, agar
jika lulus nanti mudah terserap pasar tenaga kerja. Masalah kejujuran dipikir belakangan.
Bergeser sedikit kepada kegiatan ekstra kampus, kita akan mendapati kumpulan mahasiswa yang
sangat bersemangat belajar organisasi. Dengan bergabung ke dalam organisasi kemahasiswaan
mereka berharap bisa belajar berpolitik. Dan memang mereka belajar bagaimana memenej
organisasi dengan baik, serta bagaimana melakukan lobi-lobi politik yang efektif. Namun
kemampuan teknis berorganisasi yang mereka kuasai itu akhirnya digunakan untuk
memanipulasi dan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka pegang. Lepas dari kampus,
mereka terseret oleh jaringan patronase politik-kekuasaan yang hanya menguntungkan individu
dan kelompok mereka sendiri. Rakyatlah yang lagi-lagi menjadi korban.
Pendidikan Karakter
Sudah saatnya kampus menggalakkan pendidikan karakter secara kongkrit bagi mahasiswanya.
Pencapaian intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman moral
dan akhlak yang bagus. Kemampuan manajerial dan sosial mahasiswa harus disertai dengan
sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan rendah hati. Ini ditujukan agar mahasiswa tak
hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus,
serta mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Pendidikan karakter yang idealnya ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan dasar dan
menengah, seharusnya lebih ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab peserta didik di
lingkungan kampus mempunyai kepentingan langsung dan praktis terhadap karakter-karakter
positif, serta lebih dekat untk terjun dalam kehidupan riil di masyarakat. Dengan demikian
karakter-karakter positif bagi mahasiswa merupakan keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak.
Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif dan mengena apabila dilakukan
melalui keteladanan. Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan
di kampus harus turut ambil bagian dalam memberikan keteladanan yang baik kepada
mahasiswa. Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh perilaku jujur,
disiplin, kreatif, kritis, d.l.l. kepada mahasiswa yunior. Dengan lingkungan yang kondusif,
penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima dan diteladani mahasiswa baru.
Selain melalui keteladanan para sivitas akademika, pendidikan karakter bagi mahasiswa juga
bisa dilakukan melalui pembangunan kultur akademik yang baik di lingkungan kampus. Dengan
membiasakan diri menghindari plagiasi dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-
tugas kuliah secara jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya.
Satu hal lagi yang merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui
integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan.
Penanaman karakter positif seyogianya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari bidang
keilmuan yang dipelajari. Sebab sikap moral yang baik akan menjadi fondasi yang bagus atas
segala bidang keahlian. Dengan demikian, apapun profesi yang ditekuni mahasiswa nantinya,
jika dia memiliki integritas moral yang tangguh, dia akan memberikan dampak positif bagi diri
dan masyarakatnya kelak.
Karakter positif merupakan hasil pendidikan dan pembiasaan yang dimulai sedari kecil, bukan
hal yang instan. Karena itu, keluarga, masyarakat, dan sekolah berperan sangat signifikan dalam
pembentukan karakter seseorang. Pembentukan dan pematangan karakter ini akan mencapai
klimaksnya di lingkungan perguruan tinggi. Karena itu, lingkungan kampus harus dibuat sebaik
mungkin sebagai media pengembangan karakter positif bagi calon-calon pemimpin di masa
depan. [*]
DUA BELAS tahun lebih sejak reformasi bergulir, tak ada perubahan yang signifikan atas
kondisi bangsa ini. Kemiskinan masih menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Angka
pengangguran menunjukkan jumlah yang meningkat tiap tahunnya. Di sana sini masih sering
kita dengar berita tentang kelaparan dan balita kurang gizi.
Sementara itu, kebobrokan moral juga menimpa banyak pejabat Negara kita, dari tingkat pusat
hingga daerah. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Berita tentang ketidakjujuran,
KKN, dan suap-menyuap di kalangan pejabat Negara tak henti-hentinya menghiasi media massa.
Tiap hari kejahatan kerah putih tak kian berkurang, tetapi malah makin bertambah dengan
modus-modus baru. Seakan ada saja cara dan jalan untuk mengorupsi uang Negara,
menggelapkan uang rakyat.
Gagalkah reformasi Mei 1998? Di manakah para aktivis 1998 yang dulu menggembar-
gemborkan perubahan, pemberantasan koupsi, dan perbaikan sistem hukum? Larikah mereka
sekarang, setelah berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru? Ataukah kini mereka
bungkam dan tak berkutik setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan, dan setelah merasakan
manisnya uang berlimpah?
Pepatah Arab mengatakan, Syubban al-yawm rijal al-ghad (pemuda pada hari ini adalah
penguasa/ tokoh di masa depan). Dengan demikian, pemahaman terbaliknya mengatakan,
penguasa hari ini adalah para pemuda di masa lampau. Secara lebih spesifik, orang-orang yang
duduk di kursi kekuasaan pada saat ini adalah para mahasiswa pada masa lampau. Dalam
konteks ini penulis mengamini apa yang ditulis Hammidun Nafi’ S. di rubrik ini (14/8) bahwa
para koruptor sekarang adalah mahasiswa generasi-generasi sebelumnya.
Ada apa dengan sistem pendidikan tinggi kita, hingga produk yang dihasilkan adalah generasi
yang akrab dengan ketidakjujuran, dan terbiasa dengan manipulasi? Apa yang terjadi dengan
pendidikan di kampus, hingga produk yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang tak peka
terhadap penderitaan rakyat?
Melihat karut-marut kondisi politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia saat ini, kita patut
mempertanyakan efektivitas pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi. Kampus yang
diharapakann menjadi kawah candradimuka untuk menempa calon-calon pemimpin sejati di
masa depan, kini malah menjadi pabrik penghasil calon-calon koruptor.
Kampus yang sejatinya menjadi tempat pendidikan bagi calon pejuang nasib rakyat kini malah
menjadi agen kapitalisme yang hanya menghamba pada pasar. Kampus pun kini hanya
mengajarkan mahasiswanya bagaimana mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya, agar
jika lulus nanti mudah terserap pasar tenaga kerja. Masalah kejujuran dipikir belakangan.
Bergeser sedikit kepada kegiatan ekstra kampus, kita akan mendapati kumpulan mahasiswa yang
sangat bersemangat belajar organisasi. Dengan bergabung ke dalam organisasi kemahasiswaan
mereka berharap bisa belajar berpolitik. Dan memang mereka belajar bagaimana memenej
organisasi dengan baik, serta bagaimana melakukan lobi-lobi politik yang efektif. Namun
kemampuan teknis berorganisasi yang mereka kuasai itu akhirnya digunakan untuk
memanipulasi dan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka pegang. Lepas dari kampus,
mereka terseret oleh jaringan patronase politik-kekuasaan yang hanya menguntungkan individu
dan kelompok mereka sendiri. Rakyatlah yang lagi-lagi menjadi korban.
Pendidikan Karakter
Sudah saatnya kampus menggalakkan pendidikan karakter secara kongkrit bagi mahasiswanya.
Pencapaian intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman moral
dan akhlak yang bagus. Kemampuan manajerial dan sosial mahasiswa harus disertai dengan
sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan rendah hati. Ini ditujukan agar mahasiswa tak
hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus,
serta mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Pendidikan karakter yang idealnya ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan dasar dan
menengah, seharusnya lebih ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab peserta didik di
lingkungan kampus mempunyai kepentingan langsung dan praktis terhadap karakter-karakter
positif, serta lebih dekat untk terjun dalam kehidupan riil di masyarakat. Dengan demikian
karakter-karakter positif bagi mahasiswa merupakan keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak.
Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif dan mengena apabila dilakukan
melalui keteladanan. Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan
di kampus harus turut ambil bagian dalam memberikan keteladanan yang baik kepada
mahasiswa. Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh perilaku jujur,
disiplin, kreatif, kritis, d.l.l. kepada mahasiswa yunior. Dengan lingkungan yang kondusif,
penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima dan diteladani mahasiswa baru.
Selain melalui keteladanan para sivitas akademika, pendidikan karakter bagi mahasiswa juga
bisa dilakukan melalui pembangunan kultur akademik yang baik di lingkungan kampus. Dengan
membiasakan diri menghindari plagiasi dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-
tugas kuliah secara jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya.
Satu hal lagi yang merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui
integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan.
Penanaman karakter positif seyogianya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari bidang
keilmuan yang dipelajari. Sebab sikap moral yang baik akan menjadi fondasi yang bagus atas
segala bidang keahlian. Dengan demikian, apapun profesi yang ditekuni mahasiswa nantinya,
jika dia memiliki integritas moral yang tangguh, dia akan memberikan dampak positif bagi diri
dan masyarakatnya kelak.
Karakter positif merupakan hasil pendidikan dan pembiasaan yang dimulai sedari kecil, bukan
hal yang instan. Karena itu, keluarga, masyarakat, dan sekolah berperan sangat signifikan dalam
pembentukan karakter seseorang. Pembentukan dan pematangan karakter ini akan mencapai
klimaksnya di lingkungan perguruan tinggi. Karena itu, lingkungan kampus harus dibuat sebaik
mungkin sebagai media pengembangan karakter positif bagi calon-calon pemimpin di masa
depan. [*]
Poerwadarminta
Menurut Poerwadarminta, Karakter berarti tabiat, watak sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Simon Philips
Menurut Simon Philips, Karakter adalah kumpulan tata nilai menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.
Coon
Menurut Coon, Karakter adalah suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang
berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Unsur-Unsur Karakter
Secara psikologis dan sosiologis manusia memiliki beberapa unsur yang berkaitan dengan
terbentuknya karakter. Unsur tersebut menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur tersebut
diantaranya:
Sikap
Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan sikap dianggap sebagai cerminan
karakter orang tersebut. Sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada di hadapannya, biasanya
menunjukan bagaimana karakter orang tersebut. Jadi, semakin baik sikap seseorang maka
dikatakan orang tersebut memiliki karakter yang baik. Sebaliknya, semakin tidak baik sikap
seseorang maka dikatakan orang tersebut memiliki karakter yang tidak baik.
Emosi
Emosi yaitu gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia yang disertai dengan efek pada
kesadaran, perilaku, dan ini juga merupakan proses fisiologis. Emosi ini identik dengan perasaan
yang kuat.
Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio psikologis. Kepercayaan
mengenai sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman dan intuisi
sangat penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh
eksistensi diri dan hubungan dengan orang lain.
Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada
waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berulang kali. Sedangkan kemauan adalah
kondisi yang mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan
yang mencerminkan perilaku orang tersebut.
Jenis-Jenis Karakter
Berikut ini beberapa contoh macam-macam karakter seseorang yang banyak ditemui disekitar
kita diantaranya:
Pemarah
Pemaaf
Pemalas
Pembenci
Penyayang
Pengkhianat
Ceria
Bijaksana
Jujur
Tamak
Rajin
Pendendam
Pendiam
Penakut
Dan lain sebagainya.
Karakter terbentuk melalui berbagai proses pembelajaran yang didapatkan dari berbagai tempat
seperti rumah, sekolah dan juga lingkungan tempat tinggal. Pihak yang berperan dalam
pembentukan karakter seseorang antara lain keluarga, guru dan teman.
Karakter biasanya berkaitan erat dengan tingkah laku seseorang. Jika seseorang memiliki
perilaku yang baik maka kemungkinan besar orang tersebut memiliki karakter yang baik pula.
Namun, jika seseorang memiliki perilaku yang buruk maka kemungkinan besar karakter yang
orang tersebut juga buruk.
Demikian artikel tentang”Pengertian Karakter, Unsur, Jenis dan Proses Pembentukan Karakter
Terlengkap“, semoga bermanfaat.