Professional Documents
Culture Documents
Resensi Buku Garis Batas
Resensi Buku Garis Batas
A. Identitas Buku
B. Sinopsis Buku
Agustinus memulai langkahnya sebagai backpacker tak hanya sebagai identitas
semata saja, melalui backpacker ia mengalami sebuah proses pembelajaran, bukanlah
sekadar mengunjungi tempat, hanya demi mengatakan, ”I have been there. I have done
it.” Hal inilah yang pada akhirnya ia wujudkan dengan kisahnya yang memulai
perjalanan ke berbagai negara di daratan Asia Tengah. Baginya negara-negara pecahan
Uni Soviet adalah refleksi masa lalu komunisme dan sebuah pencarian jati diri negara-
negara baru, yang tertatih dan mencoba eksis. Hampir paralel dengan perjalanan hidup
pribadinya. Sebuah penggambaran yang apik yang membawa Agustinus pada akhirnya
memutuskan untuk menyelami perjalanannya kali ini hingga menemukan kepingan titik-
titik yang berhubungan menjadi sebuah garis, garis batas yang tidak biasa.
Agustinus berusaha untuk melihat dinamisme manusia melalui perjalanan ke
negeri-negeri Stan, seiring dinamisme dirinya dalam melihat mereka. Benarkah agama
menciptakan syak wasangka? Benarkah komunisme membunuh toleransi? Benarkah hati
nurani berubah ketika kapitalisme merengut negeri-negeri Stan sedikit demi sedikit. Dan
apakah dirinya yang terlahir sebagai minoritas bisa memahami superiority complex yang
menjangkiti mayoritas etnis?
Buku Garis Batas ini adalah bagian dari perjalanannya yang panjang lewat darat,
melalui banyak titik penyeberangan yang jarang dilewati. Sebagai pembaca, Anda akan
dibawa melihat sudut negara yang baru muncul dua puluh tahunan silam. Carut marut,
kekacauan, ketidakadilan, dan kisah-kisah yang menawarkan petualangan. Tetapi seperti
bukunya terdahulu, Selimut Debu tentang Afghanistan, ia mampu melihat ke cantikan
dan keindahan di balik negeri suram nan berdebu.
C. Ulasan Singkat
Buku ini membawa perjalanannya Agustinus di lima negara di Asia Tengah,
bekas Uni Soviet yang kini telah berdiri sendiri-sendiri. Memproklamirkan kemerdekaan
Negara mereka yang baru. Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan
Turkmenistan. Namun, pembaca dibawa untuk melihat dari sudut pandang kemerdekaan
bahwa apakah mereka menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Melalui bukunya, Agustinus berusaha memberikan jawaban-jawaban tersirat dari
pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi lingkungan, sosial, hingga politik negara-negara
tersebut Kemiskinan masih terlihat jelas di beberapa negeri yang baru “merdeka”
tersebut, tapi di sisi lain kota akan terlihat banyak warga yang hidup mewah berlimpah.
Beberapa orang tua masih mengenyangkan kenangan mereka akan masa lalu yang
katanya lebih baik, semua dapat pekerjaan, harga barang tidak meroket, kebutuhan
tercukupi. Tapi menjadi pertanyaan kembali bahwa adakah lebih baik perut kenyang
tetapi terjajah dan dibatasi, atau lebih baik perut lapar tapi merdeka?
Dalam perjalanan Agus pada negara Tajikstan, ia menyuguhkan perjuangan-
perjuangan pelik untuk dapat menembus negara tersebut dari segala persyaratan yang
tidak terbayangkan sebelumnya. Melangkah ke Kirgizstan dengan carut maut
permasalahan politi. Namun, satu kutipan menarik adalah kutipan, “Kami Bangsa Kirgiz,
Sudah mengalami ribuan kematian, tetapi kami menjalani ribuan kehidupan”.
Selanjutnya, catatan-catatan perjalanan dilanjutkan Agus ke negara Kazakhtan,
Uzbekistan dan Turkmensitan. Di mana ditemukan fenomena ketimpangan sosial yang
sangat tinggi di Kazakhstan, lalu fenomena buruknya perekonomian di negara
Uzbekistan, dan berbeda dengan yang lain, kesan hampir sempurna justru ia temui di
Turkmenistan.
Tak hanya mengambil sudut pandang sebagai seorang backpacker di negeri orang
lain, Agustinus juga mengungkapkan opini-opini pribadinya mengenai garis batas
transparan yang terbentuk di Indonesia.