You are on page 1of 4

DELAPAN BELAS TAHUN MENJADI SANDERA DI SENAYAN ; BENARKAH DPR

LANGGENGKAN PERBUDAKAN MODERN?

Ridea Oktavia

Mahasiswa Hukum Pidana


Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Topik : Sudahkah PEKERJA RUMAH TANGGA Bekerja dengan layak?

Sunggu pilu, bekerja namun tidak diakui sebaga pekerja, waktu dan upah kerja tidak jelas,
minim jaminan kesehataan, rentan pula akan kekerasan fisik, psikis maupun seksual,
mungkinkah ada pekerjaan seperti itu di Negara yang mendeklrasikan diri sebagai Negara
Hukum dan menjunjung Hak Asasi Manusia? Tentu saja tidak ada, namun jawaban tersebut
hanya sekadar harap belaka. Pekerja Rumah Tangga merupakan salah satu pekerjaan tertua
yang diperkirakan sudah ada sejak masa kerajaan maupun kolonial. Jumlahnya tidak sedikit,
bahkan setiap tahun bertambah. Jaringan Nasional Advokasi (JALA) Pekerja Rumah Tangga
mengatakan jumlah PRT telah mencapai 5 Juta di tahun 2022 yang didominasi oleh Pekerja
perempuan. Jumlah yang sangat besar ini mengindikasikan bahwa Pekerja Rumah Tangga
sangat dibutuhkan namun tidak pernah diakui keberadaannya, bahkan hingga kini tidak
memiliki payung hukum yang kuat.

Diskriminasi terhadap Pekerja Rumah Tangga semakin meningkat, berdasarkan data yang
dilansir dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat
bahwa sepanjang 2015 - 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di
Indonesia. Jumlah tersebut juga terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai perbandingan,
kekerasan terhadap PRT pada tahun 2018 tercatat sebanyak 434 kasus. Angka itu meningkat
di tahun 2019 menjadi 467 kasus. Pasalnya terdapat berbagai kerentanan, mulai dari jam
kerja yang panjang, tidak memiliki hari libur, tak mempunyai jaminan sosial, kesehatan, dan
ketenagakerjaan. Kemudian, beban kerja yang tak terbatas serta rentan terhadap eksploitasi,
sampai tindak kekerasan. Bahkan, kekerasan ekonomi juga dialami PRT seperti upah yang
tidak dibayarkan oleh pemberi kerjanya.

Mirisnya, perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah tangga hanya sebatas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga yang kini masih belum cukup memberikan perlindungan dan
kepastian hukum yang memadai, terlebih dari segi penggunaan istilah masih terdapat
inkonsistensi dan minim akan subtansi.

Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, mendefinisikan Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, artinya Pekerja Rumah Tangga termasuk
bagian didalamnya. Namun secara substantif sama sekali tidak mengatur Pekerja Rumah
Tangga. Kemudian Pasal 1 angka 15 Undang-Undang a quo menyebutkan bahwa Hubungan
Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Dari penjelasan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa hubungan kerja yang dimaksud dalam
Undang-Undang a quo hanyalah sebatas antara Pekerja/buruh dengan Pengusaha bukan
antara Pekerja dengan Majikan, mengapa demikian? karena konteks Pengusaha dan Majikan
sangatlah berbeda. Pengusaha ialah perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang
menjalankan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya, sedangkan
majikan terhadap pekerja rumah tangganya tidak memiliki tujuan seperti pengusaha. Hal ini
menunjukkan bahwa benar Undang-Undang Ketenagakerjaan memuat pengaturan mengenai
pekerja, namun pekerja yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo bukanlah Pekerja
Rumah Tangga.

Di sisi lain, Instrumen hukum Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak menjadikan Undang-
Undang Ketenagakerjaan sebagai konsideran, tentu ini mengonfirmasi secara langsung bahwa
Undang-Undang a quo secara subtansi memang tidak diperuntukkan kepada Pekerja Rumah
Tangga. Lebih lanjut, hak pekerja yang diatur dalam pasal 7 Permenaker PPRT belum cukup
memberikan perlindungan yang utuh, dikarenakan tidak mengatur hak-hak dasar pekerja
secara spesifik, misalnya hak dasar pekerja atas pemutusan hubungan kerja yang sama sekali
tidak disinggung sedikitpun baik dalam hak pekerja maupun dalam kewajiban pengguna atau
pemberi kerja. Konsekuensinya ialah Pengguna Pekerja Rumah tangga kapan saja dapat
memutuskan hubungan kerja tanpa syarat-syarat tertentu, dan sekali lagi hal ini sangat
merugikan pekerja.

Ditinjau dari sisi Kedudukan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang dibentuk atas dasar
kewenangan di bidang urusan pemerintahan memang berkualifikasi sebagai peraturan-
perundang-undangan sehingga memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat secara
umum. Meski begitu, substansi yang di atur dalam permenaker a quo jauh dari kata cukup.
Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila Permenaker ini kerab kali disebut sebagai harimau
yang kehilangan giginya.

Kelemahan-kelemahan regulasi yang ada sudah cukup lama memberikan nestapa bagi
Pekerja Rumah Tangga. Empat periode pemerintahan berganti, delapan belas tahun sudah
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masuk dalam Program
Legislatif Nasional Prioritas. Selama itu pula koalisi masyarakat sipil menjerit, mendesak
agar disahkannya RUU PPRT. Namun hingga kini desakan seolah menjadi angin lalu, RUU
yang dibahas tak kunjung disahkan, korban kasus kekerasan tehadap pekerja rumah tangga
semakin membeludak. Berapa lamakah RUU PPRT menjadi sandera DPR? mengapa RUU
PPRT tidak juga disahkan? Bukankah artinya DPR sama saja seperti membiarkan terjadinya
perbudakan modern?

Mariana Amiruddin selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan mengatakan, sejak tahun 2004
RUU ini terus mengalami pro dan kontra baik dalam hal perspektif dan subtantif, hingga saat
ini masih ada anggapan terutama dikalangan pengambil kebijakan dan pembuat undang-
undang, bahwa UU PPRT masih belum mendesak mengingat jumlah kelompok yang kecil.
bahkan UU PPRT dianggap dapat mengganggu tatanan sosial dan budaya yang sudah ada.
Namun menurut Willy Aditya selaku Ketua Panja RUU PPRT, mengungkapkan berdasarkan
hasil pleno badan legislasi terdapat 7 fraksi yang menyetujui dan 2 fraksi menolak
pengesahan RUU PPRT dengan alasan RUU a quo terlalu spesifik sehingga dikhawatirkan
banyak RUU lain akan muncul. Saat ini hambatan pengesahan RUU PPRT hanya tinggal
menunggu political will dari pimpinan legislatif.

Dengan demikian, benarlah bahwa sejatinya DPR pun mengakui Pekerja Rumah Tangga
ialah satu-satunya kelompok pekerja tanpa perlindungan hukum, urgensi hadirnya RUU
PPRT pun tidak perlu diperpanjang lagi, sudah terlalu kentara. Akar permasalahannya ada
pada kemauan politik pengambil kebijakan yang tidak diketahui kapan akan
ditindaklanjutkan. Sedangkan jutaan Pekerja Rumah Tangga di luar sana bekerja bertaruh
nyawa tanpa perlindungan. Bukankah DPR mengecam dan mengutuk keras perbudakan
manusia yang dilakukan oleh Bupati Langkat tempo lalu? Tidakkah DPR sadar bahwa itulah
wujud perbudakan yang sering kali terjadi pada Pekerja Rumah Tangga. Lantas sampai kapan
DPR bergeming di singgasana? Sampai kapan pula masyarakat menunggu ketidakpastian
hukum ditengah penderitaan? Mari kita lihat bagaimana kepedulian penguasa terhadap
rakyatnya yang menderita. Bagaimanapun sadar atau tidak, penundaan serta minimnya
perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga benar-benar sudah melanggengkan
perbudakan modern yang terjadi. Sebagai bagian dari masyarakat tugas kita ialah mengawal,
mengingatkan pembentuk undang-undang untuk segara mengesahkan RUU PPRT tanpa ragu
sama sekali. Kita tidak ingin kesengsaraan ini berlanjut, maka wakil rakyat bertindaklah
dengan bijaksana, jangan menunggu masyarakat menggerutu.

DAFTAR PUSTAKA
Dewansyah, Bilal. “Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-
undangan”. Hukum Online. 19 Mei 2014. (Diakses pada 28 Juni 2022)
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-peraturan-menteri-dalam-hierarki-
peraturan-perundang-undangan-lt5264d6b08c174

Fundrika, Bimo Aria. “Jalan Panjang Berliku Mencari Perlindungan Untuk PRT”. Suara.com.
10 Maret 2022 (Diakses pada 28 Juni 2022)
https://www.suara.com/news/2022/03/10/135000/jalan-panjang-berliku-mencari
perlindungan-untuk-prt.

Juliansyah, Henderi, 2015.“Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga


Yang Bekerja Sebagai Pekerja Rumah Tangga Menurut Permenaker RI Nomor 2 Tahun
2015”. Skripsi. Fakutas Hukum. Universitas Muhammadiyah Palembang : Palembang.

Ramanta, Dedy. 2020. “Mendorong informatiltas PRT menjadi Sektor Formal”, RDPU Baleg
DPR RI : Jakarta Pusat

Tirtania, Ni Putu Yulia dan Laksana, I G.N Dharma, 2019. “ Perlindungan Hukum Pekerja
Rumah Tangga Dalam Undang – Undang Ketenagakerjaan”, Program Kekhususan Hukum
Bisnis. Fakultas Hukum. Universitas Udayana : Bali

Wiandani, Tiasri. “Kisah Pekerja Rumah Tangga, Dari Masa Kolonial Hingga Masa Kini”.
Konde.co. 25 Maret 2016 (Diakses pada 28 Juni 2022) https://www.konde.co/2016/03/kisah-
pekerja-rumah-tangga-dari-jaman.html/

Winata, Indra Bayu, 2016, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Sektor Informal (Home
Industry) di Widya Usaha Pujon Lor”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Malang : Malang

You might also like