You are on page 1of 7

Dari Jabir RA, bahwasanya Nabi SAW naik ke mimbar.

Ketika beliau naik ke


anak tangga pertama, kedua, dan ketiga beliau mengucapkan, “Amiin”. Lalu
para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, kami semua mendengar engkau
berkata: Amiin, amiin, amiin. Beliau menjawab, ”Ketika aku menaiki tangga
pertama, Jibril datang kepadaku dan berkata: Celakalah seorang hamba yang
mendapati bulan Ramadan namun dosanya tidak diampuni. Maka Aku pun
berkata: Amiin.

Kemudian Dia (Jibril) berkata: Celakalah seorang hamba, jika mendapati


kedua atau salah satu orang tuanya masih hidup, namun keberadaan kedua
orang tuanya tidak membuatnya masuk ke dalam surga. Aku pun berkata:
Amiin.

Kemudian Dia (Jibril) berkata: Celakalah seorang hamba, jika namamu


disebutkan dihadapannya tapi dia tidak bershalawat untukmu. Maka Aku pun
berkata: Amiin.

(HR. Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih al-
Tirmidzi)

Penjelasan Hadis

Hadis ini menjelaskan tentang doa malaikat Jibril terkait tiga amalan buruk
yang balasannya diaminkan langsung oleh Rasulullah SAW.

Ungkapan “Celakalah seorang hamba” setidaknya memiliki dua makna, yaitu:


ungkapan kebencian terhadap orang yang lalai memanfaatkan peluang
meraih kebaikan berlimpah dan buruknya etika seorang muslim terhadap
sosok atau sesuatu yang dimuliakan Allah SWT.

Obyek percakapan Malaikat Jibril AS dengan Rasulullah SAW dalam hadis ini
adalah bulan Ramadan, kedua orang tua, dan Rasulullah SAW yang memiliki
kemuliaan di sisi Allah SWT.

Memuliakan Bulan Ramadan

Kalimat “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadan namun


dosanya tidak diampuni”, menjelaskan sisi kemuliaan bulan Ramadan sebagai
bulan penuh ampunan, bulan penuh rahmat, bulan penuh hidayah, bulan
panen kebaikan, dan bulan yang mengembalikan manusia kepada fithrah.

Tetapi ironisnya, tidak sedikit umat Islam yang telah melewati bulan Ramadan
namun kefithrahan jiwanya tidak kembali, justru “bebal” dalam kemaksiatan
dan keburukan moral tanpa menoreh kebaikan. Oleh karena itu, malaikat Jibril
langsung memberikan predikat “celaka”.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah SAW menjelaskan keistimewaan bulan
Ramadan yang tidak dimiliki bulan-bulan selainnya. Salah satunya hadis dari
Abu Hurairah RA, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Setiap amal anak
Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu bentuk kebaikan diberi pahala
sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman; “Kecuali puasa,
karena puasa itu adalah bagi-Ku dan Akulah yang akan memberinya pahala.
Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-
Ku.” Dan orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, (yaitu)
kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan
Rabb-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi
Allah daripada wanginya kasturi.” (HR. Muslim).

Ramadan membuka pintu ampunan dosa seluas-luasnya. Ibadah puasa dan


ibadah di malam hari yang dilakukan dengan penuh keimanan menjadi faktor
utama pengampunan dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Abu
Hurairah RA,

"Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan dengan penuh keimanan


dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah
lalu”. (Hadis Shahih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda;

"Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan


iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni”. (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Memuliakan Orang Tua

Kalimat “Celakalah seorang hamba, jika mendapati kedua atau salah satu
orang tuanya masih hidup, namun keberadaan kedua orang tuanya tidak
membuatnya masuk ke dalam surga” menjelaskan sisi kemuliaan orang tua
yang harus diperlakukan secara baik sepanjang hidupnya. Sisi kemuliaan
orang tua tersebut ditegaskan dengan jaminan surga bagi anak yang setia
membahagiakan dan merawatnya hingga akhir hayat.

Secara gamblang, Al Qur’an menjelaskan dua perintah yang harus berjalan


seiring dan tidak bisa dipisahkan yaitu perintah menyembah Allah dan berlaku
ihsan terhadap kedua orang tua serta perintah bersyukur kepada Allah dan
kedua orang tua. Sebagaimana firman Allah SWT;

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain


Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak...." (QS. Al-Isra: 23)

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua
orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu."
(QS Luqman:14)

Perintah berlaku ihsan dan berterimakasih kepada kedua orang tua


merupakan kewajiban unlimited yaitu tanpa melihat batas usia orang tua,
meski keduanya telah wafat maka perintah tersebut tetap melekat dalam diri
seorang anak, tentunya dalam bentuk melanjutkan kebaikan keduanya,
mendoakan, atau bershadaqah untuk keduanya.

Dalam sebuah hadits, suatu ketika, seorang sahabat bernama Jahimah


pernah datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah aku ingin ikut perang
dan aku datang kepadamu untuk meminta saran”. Rasulullah pun bertanya,
“Apakah kamu masih mempunyai ibu?” “Ya, masih,” jawabnya. Maka beliau
bersabda, “Kalau begitu, temanilah ia, karena surga itu terletak di kedua
kakinya.” (HR. Ahmad).

Jadi, memuliakan orangtua dan merawatnya adalah perkara utama. Bahkan


setara dengan jihad (perang) di jalan Allah. Sebaliknya, seorang Muslim yang
tidak memuliakan orang tuanya, enggan merawatnya, dan enggan
mendoakan kedua niscara hidupnya akan jauh dari keberkahan.
Sebagaimana dalam hadits,

Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang
enggan mendoakan kedua orang tua, maka niscara rizki anak tersebut di
dunia akan terputus .” HR. Ad-Dailamy

Keutamaan Shalawat

Kalimat “Celakalah seorang hamba, jika namamu disebutkan dihadapannya


tapi dia tidak bershalawat untukmu” menjelaskan tentang keutamaan
membaca shalawat kepada Rasulullah. Sebagai umat, kita wajib
berterimakasih atas perjuangan beliau serta beretika baik dengan bershalawat
ketika nama beliau disebut. Bershalawat setiap kali disebut nama Nabi
Muhammad SAW tidak bisa dipandang ringan, karena disitulah
kualitas mahabbah kita kepada beliau.

Perintah bershalawat memiliki kemuliaan tersendiri dalam Al Qur’an, bahwa


Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat dan memerintahkan umat
Islam untuk bershalawat. Ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat
56:

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai


orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam dengan penuh penghormatan kepadanya." (QS. Al-Ahzab:56)

Berdasarkan ayat ini para ulama sepakat bahwa hukum bershalawat kepada
Nabi Muhammad SAW adalah wajib bagi setiap orang mukmin. Ibnu Abdil
Barr sebagaimana dikutip oleh Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani
menuturkan bahwa para ulama telah sepakat bahwa bershalawat kepada
Nabi SAW adalah wajib bagi setiap orang mukmin berdasarkan ayat ini.

Bershalawat adalah ungkapan cinta, pengakuan terhadap hasil perjuangan,


dan harapan syafaat beliau di hari akhir kelak. Bershalawat dapat dilakukan
tanpa terikat waktu dan tempat, bahkan saat bersantaipun dapat bershalawat.

Dalam kitab Al Fawaid Al Mukhtaroh, Syaikh Abdul Wahhab Asy Sya’roni


meriwayatkan bahwa Abul Mawahib Asy Syadzily berkata: Aku pernah
bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW, aku bertanya “Ada hadis
yang menjelaskan sepuluh rahmat Allah diberikan bagi orang yang berkenan
membaca shalawat, apakah dengan syarat saat membaca harus dengan hati
hadir dan memahami artinya?” Kemudian Nabi menjawab “Tidak demikian,
ganjaran itu diberikan bagi siapa saja yang bershalawat kepadaku meski
hatinya lalai.”

Berdasarkan beberapa hadis, setidaknya ada empat keburukan yang


ditimpakan pada orang yang tidak bershalawat ketika mendengar nama Nabi
Muhammad SAW disebut:

Pertama, dicatat sebagai orang yang celaka. Berdasarkan hadis riwayat Ibnu
Sunni dari Jabir, Nabi Saw bersabda;
"Orang yang ketika namaku disebut di sampingnya, kemudian ia tidak mau
membaca shalawat kepadaku, maka ia telah celaka.”

Kedua, dicatat sebagai orang paling pelit, berdasarkan hadis riwayat Imam
Tirmidzi dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, Nabi SAW bersabda;

"Orang yang sangat pelit adalah orang yang ketika namaku disebut di
sampingnya, ia tidak mau membaca shalawat kepadaku.”

Ketiga, salah jalan menuju surga, berdasarkan hadis riwayat Imam Thabrani,
Nabi Saw bersabda;

"Barangsiapa yang aku disebut di sisinya lalu luput ia tak bershalawat


kepadaku maka ia telah salah jalan ke surga.”

Keempat, dicatat sebagai orang yang keras hatinya, berdasarkan hadis


riwayat Abdurrazad, Nabi SAW bersabda;
"Termasuk kasar hatinya adalah ketika aku disebut di sisi seseorang lalu ia
tidak bershalawat kepadaku.”

You might also like