Professional Documents
Culture Documents
3093-Article Text-14759-1-10-20210202
3093-Article Text-14759-1-10-20210202
2 (2020)
Doi:10.23969/paradigmapolistaat.v3i2.3093
Abstract
Gen-Z that can hardly be separated from social media in their daily activities is
categorized as a group of beginner voters and has the potential to be exposed to
political content on social media in the midst of the Indonesia election 2019. In the
context of Indonesia election 2019, Gen-Z in the province of Yogyakarta faces long-
running currents of local political culture and national political culture. The local
political culture tends to be calmer in the context of the political situation and on the
other hand, a national political culture seems boisterous, especially in the online world
that is abundant on political content flows on social media, both positive and negative.
This research seeks to see how the level and pattern of participatory politics of Gen-Z
confronted with flows of local and national political culture through Instagram in the
city of Yogyakarta. This research uses a case study method applying two stages of data
collection and analysis. The first stage uses the survey method to 160 respondents and
the second stage uses the interview method to 10 respondents selected from the results
of the first stage. The results showed that Gen-Z's level of participatory politics was still
low which was marked by forms of responses that tended to be passive towards political
content and voluntary awareness to follow political content but had yet to reach the
stage of sharing political content.
Abstrak
Gen-Z sebagai generasi yang tidak bisa dipisahkan dari media sosial dikategorikan
sebagai kelompok pemilih pemula dan sangat berpotensi terpapar konten-konten politik
di media sosial di tengah kontestasi pemilu 2019. Dalam konteks pemilu 2019, Gen-Z di
wilayah provinsi Yogyakarta dihadapkan pada arus budaya politik lokal yang telah lama
berkembang dan budaya politik nasional. Budaya politik lokal yang cenderung lebih
tenang dalam konteks situasi politik dan di sisi lain, budaya politik nasional yang riuh
terutama di ranah online serta penuh dengan arus konten-konten politik di media sosial,
baik bernada positif maupun yang bernada negatif. Penelitian ini berupaya untuk
melihat bagaimana tingkat dan pola politik partisipatif Gen-Z dihadapkan pada arus
budaya politik lokal dan nasional melalui aplikasi Instagram di lingkungan Kota
1
Penelitian ini didanai oleh Kemenristekdikti melalui skema Penelitian Dosen Pemula (PDP).
116
Vol. 3 No. 2 (2020)
Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan menggunakan dua
tahapan pengumpulan dan analisis data. Tahapan pertama menggunakan metode survei
kepada 160 responden dan tahapan kedua menggunakan metode wawancara kepada 10
responden yang dipilih dari hasil tahap pertama. Hasil penelitian menunjukkan tingkat
politik partisipatif Gen-Z yang masih rendah yang ditandai dengan bentuk-bentuk
respon yang cenderung pasif terhadap konten-konten politik serta kesadaran yang
bersifat voluntary untuk mengikuti konten-konten politik namun belum sampai pada
tahap berbagi konten politik.
Kata Kunci: Gen-Z, Budaya Politik, Politik Partisipatif, Pemilih Pemula, Yogyakarta.
117
Vol. 3 No. 2 (2020)
personal Obama dan keluarganya dan perpolitikan nasional yang ramai dan
disajikan dengan menampilkan aspek- dinamis. Pilkada tahun 2018 di sejumlah
aspek simbolik dengan menyasar aspek daerah dan Pemilu 2019 yang dihadapi
afektif para calon pemilih. Selain itu, tim Indonesia bahkan dianggap sebagai
kampanye Obama dapat secara spesifik politik media sosial (Republika, 2018).
menarget calon pemilih potensial dengan Politik media sosial diartikan sebagai
memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia di politik yang kental dengan pemanfaatan
Facebook. Keberhasilan kampanye media sosial sebagai saluran komunikasi
politik tersebut dapat dilihat dari semakin dan politik partisipatif. Dalam kurun
meningkatnya jumlah pengguna waktu yang cukup singkat, para
Facebook yang memberikan respon pengguna media sosial atau yang biasa
semisal likes pada konten-konten yang disebut sebagai netizen (internet citizen)
diunggah dari awal masa kampanye beramai-ramai menjadikan isu-isu politik
sampai berakhirnya periode Pemilu sebagai bahasan utama sehari-hari. Daftar
(Gerodimos & Justinussen, 2014). topik-topik terhangat (trending topics) di
Bukan hanya di Amerika Serikat, berbagai media sosial diisi oleh topik-
kisah serupa juga terjadi di Indonesia. topik politik yang selalu mengalami
Sejumlah politisi di tanah air juga update secara cepat. Isu-isu politik yang
memanfaatkan internet dan media sosial diunggah ke berbagai platform media
untuk menambang popularitas di sosial tersebut kemudian menjadi ruang
kalangan masyarakat menjelang masa- diskusi hingga perdebatan netizen
masa Pemilu. Keberhasilan Joko Widodo Indonesia.
terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta Kondisi tersebut tidak jarang
tahun 2012 merupakan salah satu bukti menjadikan media sosial sebagai ajang
kedahsyatan efek media sosial dalam pertarungan isu dan konten politik secara
sistem politik nasional. Popularitas Joko online. Polarisasi kelompok pemilih
Widodo sebagai Walikota berprestasi akibat dari ditetapkannya (hanya) dua
dari Kota Solo berhasil diangkat di pasangan calon presiden dan wakil
berbagai platform media sosial dan presiden yang akan berkompetisi dalam
berimbas pada tingginya harapan Pilpres 2019 menjadi semakin tajam
masyarakat Jakarta untuk menarik Joko dengan adanya perang konten antar
Widodo ke Jakarta. Fenomena tingginya pendukung kedua calon presiden di
popularitas Joko Widodo ini ternyata media sosial. Berbagai kelompok
berpengaruh positif terhadap masyarakat yang sebelumnya tidak
elektabilitasnya. Fenomena ini berujung terlalu peduli dengan bahasan-bahasan
pada ditetapkannya Joko Widodo sebagai politik tiba-tiba berubah menjadi
Gubernur DKI Jakarta dengan menggeser masyarakat yang sangat reaktif terhadap
petahana ketika itu (Utomo, 2013). setiap isu politik yang muncul di media
Bahkan kemudian Joko Widodo lebih sosial, terutama jika isu tersebut
lanjut terpilih menjadi Presiden Republik melibatkan calon yang mereka dukung.
Indonesia dalam Pilpres tahun 2014. Dukungan yang diberikan terhadap
Sejak fenomena kepopuleran Joko masing-masing calon terlihat telah
Widodo tersebut, media sosial semakin menyentuh ranah afektif dari masyarakat
mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia secara luas.
Indonesia. Hingga tahun 2018, Joko Widodo yang kembali
perkembangan penggunaan media sosial bersaing dalam perebutan kursi
berperan besar menciptakan suasana kepresidenan sebagai petahana di satu
118
Vol. 3 No. 2 (2020)
sisi dan Prabowo Subianto yang kembali Dengan kata lain sekitar setengah dari
muncul sebagai pesaingnya maju dengan populasi pengguna internet di Indonesia
bermodal basis pendukung yang sama- telah mengenal media sosial. Sedangkan
sama luas. Jumlah pendukung kedua media sosial yang paling populer adalah
kubu yang relatif berimbang jika dilihat Youtube, Facebook, Whatsapp dan
dari hasil Pilpres tahun 2014 mengalami Instagram (Wearesocial, 2019) . Generasi
peningkatan tensi secara signifikan muda sendiri menempati posisi dominan
menjelang Pilpres 2019. Pendukung komposisi pengguna internet di
kedua kubu saling melempar isu negatif, Indonesia. Selaras dengan riset
tuduhan, bahkan hinaan terhadap calon WeAreSocial, hasil survei Asosiasi
presiden dan pendukung kubu Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
sebelahnya. Kondisi tersebut semakin (APJII) sepanjang tahun 2017
riuh dengan muncul dan tersebarnya menunjukkan bahwa 16,68% pengguna
berita-berita bohong atau hoax politik di internet di Indonesia adalah anak usia 13-
tengah masyarakat (Tirto, 2019). 18 tahun dan 49,52% adalah kaum muda
Tingginya tensi adu konten di usia 19-34 tahun (APJII, 2018). Dari data
media sosial sampai-sampai di atas dapat dikatakan bahwa Gen-Z
menghasilkan makna baru pada kata merupakan aktor penting dalam dinamika
“cebong” dan “kampret”. Besarnya dunia internet di Indonesia. Hal ini makin
kapasitas konten negatif (dan juga menguatkan posisi kalangan Gen-Z
positif) yang menyebar, secara tidak (sebagai sebutan untuk generasi kelahiran
langsung menggambarkan besarnya kisaran tahun 1995 hingga 2005 yang
kapasitas arus konten politik di Indonesia saat ini berusia 13-23 tahun) sebagai
Tingginya angka politik masyarakat digital native di era teknologi
partisipatif di Indonesia yang tergambar internet dan media digital.
dengan tingginya transaksi konten Lekatnya interaksi Gen-Z dengan
politik, khususnya hoax politik, dapat media sosial memunculkan pertanyaan
dilacak dari angka penggunaan internet mengenai kegiatan politik partisipatif
dan media sosial di Indonesia. Hasil riset pada kelompok usia ini. Mengingat
WeAreSocial (2018) menunjukkan bahwa Pemilu 2019 merupakan sebuah agenda
60% dari total pengguna internet di nasional, dinamika arus paparan konten-
Indonesia mengakses internet konten politik terjadi di seluruh wilayah
menggunakan smartphone. Hal ini di Indonesia, tak terkecuali Yogyakarta.
menggambarkan mobilitas yang tinggi Status keistimewaan yang disandang
dari mayoritas pengguna internet di Yogyakarta diyakini memiliki pengaruh
Indonesia. Smartphone dan media sosial besar dalam menghasilkan budaya politik
merupakan kombinasi yang tidak bisa lokal yang khas. Budaya politik lokal
dipisahkan satu sama lain. Mobilitas yang berkembang di masyarakat
yang melekat dengan smartphone Yogyakarta mengantarkan pada situasi
merupakan syarat kedekatan seseorang politik yang tenang dan menciptakan
dengan media sosial. Smartphone hiruk pikuk perpolitikan di Yogyakarta
menjadi faktor kunci yang membuat yang tidak semeriah seperti di provinsi
pemanfaatan media sosial menjadi lebih lainnya di Indonesia. Ini disebabkan
intensHasil riset WeAreSocial lebih karena sistem demokrasi lokal
lanjut menunjukkan bahwa 49% dari 130 Yogyakarta dalam pemilihan Gubernur
juta pengguna internet di Indonesia tidak melalui pemilihan langsung.
merupakan pengguna media sosial. Gubernur Yogyakarta bukanlah hasil
119
Vol. 3 No. 2 (2020)
120
Vol. 3 No. 2 (2020)
121
Vol. 3 No. 2 (2020)
3. Secara khusus, tingkat partisipasi Wilson dalam Budiarjo (2010) terdiri dari
politik generasi muda di empat tingkatan yakni:
Yogyakarta secara umum masih a. Apolitis: orang yang tidak peduli
rendah (dari penelitian tahun politik sama sekali;
2017). b. Penonton: orang yang
Titik tolak penelitian ini pada dasarnya memerhatikan pembangunan
lebih pada aspek situasi politik yang politik, terlibat diskusi politik,
melingkupi Gen-Z di Kota Yogyakarta. pemilih dalam Pemilu, anggota
Lingkup politik yang dihadapi Gen-Z di kelompok kepentingan; orang
Kota Yogyakarta dapat dikatakan sebagai yang menghadiri reli-reli politik;
kombinasi dari budaya politik lokal yang c. Partisipan: orang yang terlibat
bertolak belakang dengan politik dalam komunitas proyek,
nasional. Budaya politik di Yogyakarta partisipan aktif dalam kelompok
pada umumnya lebih santun dan kepentingan dan tindakan-
cenderung minim konflik. Di sisi tindakan politis, orang yang
sebaliknya, situasi politik nasional bekerja untuk kampanye, dan
menjelang Pemilihan Presiden (pilpres) anggota parpol yang aktif;
tahun 2019 merupakan situasi politik d. Aktivis: merupakan kelompok
yang sangat ramai, tidak terkecuali di elite politik seperti pejabat aktif
ranah media sosial. Sehingga Gen-Z yang parpol, pejabat/calon pejabat
lekat dengan media sosial terindikasi publik, dan the deviant.
sebagai korban dari derasnya arus pesan
bergenre politik yang dipenuhi dengan Participatory politics atau Politik
konten-konten politik berwujud hoax dan partisipatif diartikan oleh Cohen &
kampanye-kampanye negatif yang berbau Kahne (2011) sebagai “interactive, peer-
provokatif. based acts through which individuals and
group seek to exert both voice and
A. Partisipasi Politik dan Politik influence on issues of public concern.
Partisipatif Importantly, these acts are not guided by
Partisipasi politik oleh Budiarjo (2010) deference to elites or formal institutions”.
dipandang sebagai beragam kegiatan Lebih lanjut tim Youth & Participatory
yang terkait dengan mulai dari memilih Politics menyebutkan bahwa kegiatan
pemimpin, berperan aktif dalam politik partisipatif dapat berupa:
kelompok kepentingan, hingga memobilisasi gerakan, melakukan respon
melakukan berbagai interaksi dengan elit berupa masukan dan berdialog dengan
politik dalam rangka mempengaruhi politisi, dan mengusahakan penyebaran
kebijakan pemerintah. Lebih lanjut konten politik lewat media massa.
Budiarjo menjelaskan bahwa partisipasi Dengan demikian, dapat
politik pada umumnya Negara dikatakan bahwa politik partisipatif
berkembang merupakan kombinasi dari merupakan bentuk lain dari partisipasi
kegiatan yang dipaksakan (semisal politik yang lebih merupakan hubungan
Pemilu) dan kegiatan politik yang tidak antara orang perorang dan atau gerakan
dipaksakan (misal gerakan massa). massa yang terlibat aktif untuk aktivitas
Lebih lanjut, tingkatan-tingkatan yang berhubungan secara langsung
dalam pelaksanaan partisipasi politik dengan kepentingan umum dengan titik
menurut David F. Roth dan Frank L. tekan pada independensi kelompok
pergerakan tersebut dari kepentingan
122
Vol. 3 No. 2 (2020)
123
Vol. 3 No. 2 (2020)
124
Vol. 3 No. 2 (2020)
IV. HASIL
[VALUE] [VALUE]
Sebagaimana yang telah dijelaskan di
bagian sebelumnya, pengumpulan data [VALUE] [VALUE]
pada penelitian ini dilakukan melalui dua
tahap. Tahap pertama pengumpulan data
melibatkan 160 responden Gen-Z berlatar
belakang pelajar dan mahasiswa dengan
cara pengisian kuisioner. Setelah Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Skala 5
mendapatkan hasil rekapitulasi data di Semakin Tinggi Skala Semakin Tinggi Tingkat
tahap pertama, pengumpulan data Pengetahuan Politik
dilanjutkan dengan pelaksanaan
pengumpulan data tahap kedua melalui Dalam hal pengetahuan politik, sebanyak
metode wawancara. Hasil kedua tahap 31,16% responden mendapat nilai 3 dari
pengumpulan data tersebut akan skala 1 sampai 5. Kelompok responden
dijelaskan satu persatu di bawah ini: ini merupakan yang terbanyak di kategori
tersebut sedangkan yang mendapat nilai 5
A. Tahap pertama hanya sejumlah 14% dari total
Pada tahap pertama penelitian ini, responden. Dari hasil tersebut dapat
peneliti mengajukan 30 pertanyaan dalam disimpulkan bahwa pengetahuan politik
bentuk kuisioner yang diberikan kepada para responden berada di tingkat
responden. 30 pertanyaan tersebut dibagi menengah. Hanya sebagian kecil
ke dalam 3 kategori. Kategori pertanyaan responden yang benar-benar memiliki
pertama terdiri dari 14 pertanyaan yang pengetahuan yang baik tentang politik.
ditujukan untuk mengetahui budaya dan
pengetahuan dasar politik para KATEGORI 2: PARTISIPASI POLITIK
responden. Kategori kedua berisi 11 [VALUE]
pertanyaan guna mengukur tingkat
[VALUE]
partisipasi politik para responden.
Kategori terakhir terdiri dari 5 pertanyaan
yang berguna untuk mengetahui tingkat [VALUE]
apatisme politik para responden. Setiap
pertanyaan dari ketiga kategori tersebut [VALUE]
dijawab oleh para responden [VALUE]
menggunakan skala angka dari 1 sampai
5. Seluruh jawaban dari setiap pertanyaan Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Skala 5
di masing-masing kategori dijumlahkan Semakin Tinggi Skala Semakin Tinggi Tingkat
kemudian dicari rerata nilai untuk Partisipasi Politik
kategori tersebut. Hasilnya dapat dilihat
melalui grafik-grafik di bawah ini.
Pada kategori yang kedua ini, peneliti
mencoba mencari tahu bagaimana tingkat
partisipasi politik para responden.
Pengukuran juga dilakukan dengan
menggunakan skala 1 sampai 5 dimana 1
125
Vol. 3 No. 2 (2020)
126
Vol. 3 No. 2 (2020)
127
Vol. 3 No. 2 (2020)
128
Vol. 3 No. 2 (2020)
129
Vol. 3 No. 2 (2020)
130
Vol. 3 No. 2 (2020)
131