You are on page 1of 16

Vol. 3 No.

2 (2020)

PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA DI MEDIA SOSIAL


(STUDI DESKRIPTIF TINGKAT DAN POLA POLITIK
PARTISIPATIF GEN-Z KOTA YOGYAKARTA MELALUI
PEMANFAATAN APLIKASI INSTAGRAM TAHUN 2019)1
Al Musa Karim¹, Adi Wibawa², Puguh Toko Arisanto³
1,2,3
Fakultas Bisnis, Psikologi dan Komunikasi, Universitas Teknologi Yogyakarta
Koresponden E-mail: musa.karim@staff.uty.ac.id

Doi:10.23969/paradigmapolistaat.v3i2.3093

Abstract
Gen-Z that can hardly be separated from social media in their daily activities is
categorized as a group of beginner voters and has the potential to be exposed to
political content on social media in the midst of the Indonesia election 2019. In the
context of Indonesia election 2019, Gen-Z in the province of Yogyakarta faces long-
running currents of local political culture and national political culture. The local
political culture tends to be calmer in the context of the political situation and on the
other hand, a national political culture seems boisterous, especially in the online world
that is abundant on political content flows on social media, both positive and negative.
This research seeks to see how the level and pattern of participatory politics of Gen-Z
confronted with flows of local and national political culture through Instagram in the
city of Yogyakarta. This research uses a case study method applying two stages of data
collection and analysis. The first stage uses the survey method to 160 respondents and
the second stage uses the interview method to 10 respondents selected from the results
of the first stage. The results showed that Gen-Z's level of participatory politics was still
low which was marked by forms of responses that tended to be passive towards political
content and voluntary awareness to follow political content but had yet to reach the
stage of sharing political content.

Keywords: Gen-Z, Political Culture, Participatory Politics, Beginner Voters,


Yogyakarta.

Abstrak
Gen-Z sebagai generasi yang tidak bisa dipisahkan dari media sosial dikategorikan
sebagai kelompok pemilih pemula dan sangat berpotensi terpapar konten-konten politik
di media sosial di tengah kontestasi pemilu 2019. Dalam konteks pemilu 2019, Gen-Z di
wilayah provinsi Yogyakarta dihadapkan pada arus budaya politik lokal yang telah lama
berkembang dan budaya politik nasional. Budaya politik lokal yang cenderung lebih
tenang dalam konteks situasi politik dan di sisi lain, budaya politik nasional yang riuh
terutama di ranah online serta penuh dengan arus konten-konten politik di media sosial,
baik bernada positif maupun yang bernada negatif. Penelitian ini berupaya untuk
melihat bagaimana tingkat dan pola politik partisipatif Gen-Z dihadapkan pada arus
budaya politik lokal dan nasional melalui aplikasi Instagram di lingkungan Kota
1
Penelitian ini didanai oleh Kemenristekdikti melalui skema Penelitian Dosen Pemula (PDP).

116
Vol. 3 No. 2 (2020)

Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan menggunakan dua
tahapan pengumpulan dan analisis data. Tahapan pertama menggunakan metode survei
kepada 160 responden dan tahapan kedua menggunakan metode wawancara kepada 10
responden yang dipilih dari hasil tahap pertama. Hasil penelitian menunjukkan tingkat
politik partisipatif Gen-Z yang masih rendah yang ditandai dengan bentuk-bentuk
respon yang cenderung pasif terhadap konten-konten politik serta kesadaran yang
bersifat voluntary untuk mengikuti konten-konten politik namun belum sampai pada
tahap berbagi konten politik.

Kata Kunci: Gen-Z, Budaya Politik, Politik Partisipatif, Pemilih Pemula, Yogyakarta.

I. PENDAHULUAN berkembang ke ranah internet dan media


Demokrasi dan media sosial merupakan sosial.
dua hal yang sudah tidak dapat Sebaran pemanfaatan internet dan media
dipisahkan lagi. Demokrasi di satu sisi sosial dalam kegiatan politik saat ini
membutuhkan saluran suara bagi setiap dapat dikatakan telah menyentuh hampir
individu untuk memperoleh dan semua negara di dunia. Sebagai contoh,
menjalankan hak dan kewajiban di Amerika Serikat kegiatan utama
politiknya. Kebutuhan ini lahir sebagai demokrasi sekelas pemungutan suara
fitrah demokrasi yang memberikan ruang dalam Pemilu telah dilaksanakan secara
suara yang sebesar-besarnya bagi setiap online. Di samping itu, para politisi di
warga sebagai perwujudan dari hak asasi Amerika Serikat juga telah umum
setiap individu terutama pada aspek memanfaatkan media sosial guna
politik warga negara. Di sisi lain, media kepentingan komunikasi politik mereka,
sosial sebagai anak kandung dari baik dalam komunikasi politik harian
perkembangan teknologi komunikasi dan maupun dalam penggalangan suara di
informasi menyediakan lahan yang seputaran masa kampanye dan pemilu.
sangat luas bagi penyaluran suara-suara Pemanfaatan media sosial dalam
masyarakat. Media sosial menyediakan panggung kontestasi politik formal
ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan terdokumentasi dengan baik dalam rekam
oleh siapa saja dengan syarat mampu jejak perjalanan Barack Obama
mengoperasikan perangkat teknologi menggapai kursi kepresidenan Amerika
yang terus berkembang. Serikat tahun 2009. Dengan
Keterbukaan yang ditawarkan di memanfaatkan platform media sosial
era internet saat ini, sudah dimanfaatkan Facebook dalam menjalankan program
secara sadar oleh berbagai pihak. kampanyenya, Obama berhasil menjadi
Lembaga-lembaga pemerintah saat ini presiden Amerika Serikat ke-44 setelah
memiliki akun di berbagai media sosial mendapat suara terbanyak dalam
untuk kegiatan komunikasi dua arahnya. penghitungan suara elektoral. Facebook
Demikian juga dengan para politisi untuk bisa dikatakan sebagai salah satu faktor
kegiatan komunikasi politik sekaligus kunci keberhasilan kampanye politik
penjaringan massa menjelang pemilu. Obama. Tim kampanye Obama mampu
Tidak ketinggalan, di level massa secara menggunakan Facebook sebagai alat
umum media sosial dimanfaatkan dalam promosi politik yang bersifat top-down.
berbagai kegiatan politik partisipatif. (Gerodimos & Justinussen, 2014). Ini
Gerakan-gerakan massa mulai dilakukan dengan menampilkan konten-
konten yang menggambarkan sisi-sisi

117
Vol. 3 No. 2 (2020)

personal Obama dan keluarganya dan perpolitikan nasional yang ramai dan
disajikan dengan menampilkan aspek- dinamis. Pilkada tahun 2018 di sejumlah
aspek simbolik dengan menyasar aspek daerah dan Pemilu 2019 yang dihadapi
afektif para calon pemilih. Selain itu, tim Indonesia bahkan dianggap sebagai
kampanye Obama dapat secara spesifik politik media sosial (Republika, 2018).
menarget calon pemilih potensial dengan Politik media sosial diartikan sebagai
memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia di politik yang kental dengan pemanfaatan
Facebook. Keberhasilan kampanye media sosial sebagai saluran komunikasi
politik tersebut dapat dilihat dari semakin dan politik partisipatif. Dalam kurun
meningkatnya jumlah pengguna waktu yang cukup singkat, para
Facebook yang memberikan respon pengguna media sosial atau yang biasa
semisal likes pada konten-konten yang disebut sebagai netizen (internet citizen)
diunggah dari awal masa kampanye beramai-ramai menjadikan isu-isu politik
sampai berakhirnya periode Pemilu sebagai bahasan utama sehari-hari. Daftar
(Gerodimos & Justinussen, 2014). topik-topik terhangat (trending topics) di
Bukan hanya di Amerika Serikat, berbagai media sosial diisi oleh topik-
kisah serupa juga terjadi di Indonesia. topik politik yang selalu mengalami
Sejumlah politisi di tanah air juga update secara cepat. Isu-isu politik yang
memanfaatkan internet dan media sosial diunggah ke berbagai platform media
untuk menambang popularitas di sosial tersebut kemudian menjadi ruang
kalangan masyarakat menjelang masa- diskusi hingga perdebatan netizen
masa Pemilu. Keberhasilan Joko Widodo Indonesia.
terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta Kondisi tersebut tidak jarang
tahun 2012 merupakan salah satu bukti menjadikan media sosial sebagai ajang
kedahsyatan efek media sosial dalam pertarungan isu dan konten politik secara
sistem politik nasional. Popularitas Joko online. Polarisasi kelompok pemilih
Widodo sebagai Walikota berprestasi akibat dari ditetapkannya (hanya) dua
dari Kota Solo berhasil diangkat di pasangan calon presiden dan wakil
berbagai platform media sosial dan presiden yang akan berkompetisi dalam
berimbas pada tingginya harapan Pilpres 2019 menjadi semakin tajam
masyarakat Jakarta untuk menarik Joko dengan adanya perang konten antar
Widodo ke Jakarta. Fenomena tingginya pendukung kedua calon presiden di
popularitas Joko Widodo ini ternyata media sosial. Berbagai kelompok
berpengaruh positif terhadap masyarakat yang sebelumnya tidak
elektabilitasnya. Fenomena ini berujung terlalu peduli dengan bahasan-bahasan
pada ditetapkannya Joko Widodo sebagai politik tiba-tiba berubah menjadi
Gubernur DKI Jakarta dengan menggeser masyarakat yang sangat reaktif terhadap
petahana ketika itu (Utomo, 2013). setiap isu politik yang muncul di media
Bahkan kemudian Joko Widodo lebih sosial, terutama jika isu tersebut
lanjut terpilih menjadi Presiden Republik melibatkan calon yang mereka dukung.
Indonesia dalam Pilpres tahun 2014. Dukungan yang diberikan terhadap
Sejak fenomena kepopuleran Joko masing-masing calon terlihat telah
Widodo tersebut, media sosial semakin menyentuh ranah afektif dari masyarakat
mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia secara luas.
Indonesia. Hingga tahun 2018, Joko Widodo yang kembali
perkembangan penggunaan media sosial bersaing dalam perebutan kursi
berperan besar menciptakan suasana kepresidenan sebagai petahana di satu

118
Vol. 3 No. 2 (2020)

sisi dan Prabowo Subianto yang kembali Dengan kata lain sekitar setengah dari
muncul sebagai pesaingnya maju dengan populasi pengguna internet di Indonesia
bermodal basis pendukung yang sama- telah mengenal media sosial. Sedangkan
sama luas. Jumlah pendukung kedua media sosial yang paling populer adalah
kubu yang relatif berimbang jika dilihat Youtube, Facebook, Whatsapp dan
dari hasil Pilpres tahun 2014 mengalami Instagram (Wearesocial, 2019) . Generasi
peningkatan tensi secara signifikan muda sendiri menempati posisi dominan
menjelang Pilpres 2019. Pendukung komposisi pengguna internet di
kedua kubu saling melempar isu negatif, Indonesia. Selaras dengan riset
tuduhan, bahkan hinaan terhadap calon WeAreSocial, hasil survei Asosiasi
presiden dan pendukung kubu Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
sebelahnya. Kondisi tersebut semakin (APJII) sepanjang tahun 2017
riuh dengan muncul dan tersebarnya menunjukkan bahwa 16,68% pengguna
berita-berita bohong atau hoax politik di internet di Indonesia adalah anak usia 13-
tengah masyarakat (Tirto, 2019). 18 tahun dan 49,52% adalah kaum muda
Tingginya tensi adu konten di usia 19-34 tahun (APJII, 2018). Dari data
media sosial sampai-sampai di atas dapat dikatakan bahwa Gen-Z
menghasilkan makna baru pada kata merupakan aktor penting dalam dinamika
“cebong” dan “kampret”. Besarnya dunia internet di Indonesia. Hal ini makin
kapasitas konten negatif (dan juga menguatkan posisi kalangan Gen-Z
positif) yang menyebar, secara tidak (sebagai sebutan untuk generasi kelahiran
langsung menggambarkan besarnya kisaran tahun 1995 hingga 2005 yang
kapasitas arus konten politik di Indonesia saat ini berusia 13-23 tahun) sebagai
Tingginya angka politik masyarakat digital native di era teknologi
partisipatif di Indonesia yang tergambar internet dan media digital.
dengan tingginya transaksi konten Lekatnya interaksi Gen-Z dengan
politik, khususnya hoax politik, dapat media sosial memunculkan pertanyaan
dilacak dari angka penggunaan internet mengenai kegiatan politik partisipatif
dan media sosial di Indonesia. Hasil riset pada kelompok usia ini. Mengingat
WeAreSocial (2018) menunjukkan bahwa Pemilu 2019 merupakan sebuah agenda
60% dari total pengguna internet di nasional, dinamika arus paparan konten-
Indonesia mengakses internet konten politik terjadi di seluruh wilayah
menggunakan smartphone. Hal ini di Indonesia, tak terkecuali Yogyakarta.
menggambarkan mobilitas yang tinggi Status keistimewaan yang disandang
dari mayoritas pengguna internet di Yogyakarta diyakini memiliki pengaruh
Indonesia. Smartphone dan media sosial besar dalam menghasilkan budaya politik
merupakan kombinasi yang tidak bisa lokal yang khas. Budaya politik lokal
dipisahkan satu sama lain. Mobilitas yang berkembang di masyarakat
yang melekat dengan smartphone Yogyakarta mengantarkan pada situasi
merupakan syarat kedekatan seseorang politik yang tenang dan menciptakan
dengan media sosial. Smartphone hiruk pikuk perpolitikan di Yogyakarta
menjadi faktor kunci yang membuat yang tidak semeriah seperti di provinsi
pemanfaatan media sosial menjadi lebih lainnya di Indonesia. Ini disebabkan
intensHasil riset WeAreSocial lebih karena sistem demokrasi lokal
lanjut menunjukkan bahwa 49% dari 130 Yogyakarta dalam pemilihan Gubernur
juta pengguna internet di Indonesia tidak melalui pemilihan langsung.
merupakan pengguna media sosial. Gubernur Yogyakarta bukanlah hasil

119
Vol. 3 No. 2 (2020)

pemilihan dalam konteks Pilkada level internasional. Dalam masa-masa


sebagaimana di daerah lain. Dan posisi kampanye Pemilu para pemilih pemula
gubernur yang secara sosial budaya juga didekati oleh para elit politik secara
merupakan seorang Raja menjadikan intensif melalui beragam cara. Para anak
situasi politik di wilayah ini cenderung muda ini menjadi penting dalam
lebih tenang dan stabil. sengitnya persaingan mendulang suara
Berdasarkan fakta di atas dan demi perebutan kursi kekuasaan.
dalam konteks pemilu 2019, Gen-Z di Kedekatan mereka dengan media sosial
wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dengan menjadi kata kunci yang menjadi
demikian mengalami terpaan dari dua pertimbangan terkait metode pendekatan
model budaya politik yang berbeda. yang dilakukan. Beragam konten media
Budaya politik lokal di satu sisi dan sosial dibuat dalam rangka menarik minat
budaya politik nasional yang riuh para pemilih pemula yang dikenal
terutama di ranah online serta penuh dinamis.
dengan arus konten-konten politik di Ramainya sorotan terhadap
media sosial, baik bernada positif partisipasi politik kaum muda, terutama
maupun yang bernada negatif semisal Gen-Z baik di ranah online maupun
hoax. Penelitian ini berusaha menggali offline juga terjadi pada ranah akademis.
tingkat dan pola politik partisipatif yang Di tingkatan lokal, sejumlah penelitian
dilakukan oleh Gen-Z di wilayah Kota telah dilakukan dalam rangka usaha
Yogyakarta di tengah terpaan dua model memotret pola maupun tingkatan
budaya politik. Budaya politik lokal yang partisipasi politik secara umum, maupun
lebih santun di satu sisi dan pergolakan politik partisipatif secara khusus, yang
politik nasional, dengan arus informasi dilakukan para pemilih pemula dalam
negatifnya, yang mengarah pada keseharian politik mereka. Setali tiga
disintegrasi di sisi lain. Dalam penelitian uang, di level internasional kedekatan
ini Instagram dipilih sebagai platform Gen-Z dengan gawai dan segala jenis
yang disoroti mengingat posisinya teknologi di dalamnya sebagai sarana
sebagai satu dari empat media sosial politik partisipatif kelompok umur ini
paling poluler di Indonesia beradasarkan juga sedang gencar dibahas.
hasil survei WeAreSocial tahun 2019. Dalam tulisan ini, sejumlah
penelitian dijadikan pijakan awal untuk
II. TINJAUAN PUSTAKA membangun asumsi mengenai pola dan
Gen-Z merupakan generasi yang tingkat politik partisipatif Gen-Z di Kota
mendapatkan identitas yang khas dalam Yogyakarta. Sejumlah penelitian yang
era informasi saat ini. Gen-Z sebagai dijadikan rujukan diantaranya sebagai
digital native yang lahir dengan berikut:
perkembangan teknologi digital yang 1. Tingkat Partisipasi Politik dan
semakin pesat dapat dikatakan sebagai Sosial Generasi Muda Pengguna
orang pribumi dari era internet. Di sisi Media Sosial, oleh Morissan
lain, dalam kegiatan politik praktis dalam
(2016). Penelitian ini bertujuan
kerangka demokrasi, Gen-Z menempati
posisi sebagai pemilih pemula dalam melihat bentuk partisipasi politik
kegiatan Pemilu. yang dilakukan oleh pemilih
Posisi Gen-Z dalam lingkar pemula yang aktif menggunakan
politik menjadi sangat diperhitungkan media sosial dalam kehidupan
saat ini, baik di Indonesia maupun di sehari-hari. Dari kegiatan partisi

120
Vol. 3 No. 2 (2020)

politik formalnya, hasil penelitian Kota Yogyakarta Tahun 2017),


ini menunjukkan bahwa 73,2% oleh Fauzi (2017). Penelitian ini
respoden menyalurkan suaranya menemukan bahwa di tahun 2017
pada Pemilu legislatif 2014 di partisipasi politik pemilih pemula
Jakarta. Di sisi lain, bentuk di wilayah Provinsi DIY masih
partisipasi politik yang dilakukan rendah, baik laki-laki maupun
para responden adalah perempuan. Penelitian ini juga
membicarakan isu politik dengan menemukan sejumlah kegiatan
teman, ikut serta atau pola perilaku politik pemilih
mempromosikan, membantu pemula di ranah media sosial.
kampanye atau memberikan
sumbangan ke kandidat/partai Ketiga penelitian di atas
politik tertentu. menunjukkan bahwa secara umum
2. Partisipasi Politik Pemilih tingkat partisipasi politik pemilih pemula
di sejumlah kota besar di Indonesia
Pemula dalam Bingkai Jejaring
(Jakarta, Bandung, Surabaya,
Sosial di Media Sosial, oleh Yogyakarta) di ranah media sosial masih
Perangin-angin & Zainal (2018). rendah, namun telah menunjukkan pola-
Penelitian ini berupaya mencari pola interaksi. Temuan tersebut
tahu partisipasi politik pemilih menunjukkan bahwa partisipasi politik
pemula yang aktif berinteraksi pemilih pemula di kota besar di
melalui media sosial dan selalu Indonesia telah memberikan harapan
akan adanya politik partisipatif yang
terhubung dengan internet di kota
dilakukan, tidak terkecuali di Provinsi
Bandung, Surabaya dan Jakarta. D.I. Yogyakarta.
Partisipasi politik yang diukur Dari asumsi di atas, penelitian ini
dalam penelitian ini yaitu mencoba untuk menggali partisipasi
partisipasi secara online (memberi politik generasi muda, khususnya
like, komentar, dan forward kelompok usia Gen-Z, yang berada di
konten) maupun offline Kota Yogyakarta dalam situasi sekitar
Pemilu dan Pilpres tahun 2019 yang
(bergabung dengan partai politik, diwarnai dengan fenomena polarisasi
menjadi simpatisan partai, atau opini dan dukungan masyarakat yang
sekedar menjadi anggota tim cenderung menjurus pada disintegrasi
sukses atau calon legislatif dan dalam iklim politik yang tidak sehat. Dari
eksekutif). Dari penelitian yang ketiga hasil penelitian di atas dapat
dilakukan didapat bahwa hanya disimpulkan bahwa:
1. Secara umum partisipasi generasi
sebagian kecil responden yang
muda dalam bidang politik masih
melakukan partisipasi politik baik rendah.
secara online maupun offline. 2. Generasi muda telah
3. Media Sosial Dan Partisipasi menunjukkan pola-pola politik
Politik (Studi Tentang Partisipasi partisipatif dalam kegiatannya di
Politik Pemilih Pemula Melalui ranah online.
Media Sosial Pada Pemilukada

121
Vol. 3 No. 2 (2020)

3. Secara khusus, tingkat partisipasi Wilson dalam Budiarjo (2010) terdiri dari
politik generasi muda di empat tingkatan yakni:
Yogyakarta secara umum masih a. Apolitis: orang yang tidak peduli
rendah (dari penelitian tahun politik sama sekali;
2017). b. Penonton: orang yang
Titik tolak penelitian ini pada dasarnya memerhatikan pembangunan
lebih pada aspek situasi politik yang politik, terlibat diskusi politik,
melingkupi Gen-Z di Kota Yogyakarta. pemilih dalam Pemilu, anggota
Lingkup politik yang dihadapi Gen-Z di kelompok kepentingan; orang
Kota Yogyakarta dapat dikatakan sebagai yang menghadiri reli-reli politik;
kombinasi dari budaya politik lokal yang c. Partisipan: orang yang terlibat
bertolak belakang dengan politik dalam komunitas proyek,
nasional. Budaya politik di Yogyakarta partisipan aktif dalam kelompok
pada umumnya lebih santun dan kepentingan dan tindakan-
cenderung minim konflik. Di sisi tindakan politis, orang yang
sebaliknya, situasi politik nasional bekerja untuk kampanye, dan
menjelang Pemilihan Presiden (pilpres) anggota parpol yang aktif;
tahun 2019 merupakan situasi politik d. Aktivis: merupakan kelompok
yang sangat ramai, tidak terkecuali di elite politik seperti pejabat aktif
ranah media sosial. Sehingga Gen-Z yang parpol, pejabat/calon pejabat
lekat dengan media sosial terindikasi publik, dan the deviant.
sebagai korban dari derasnya arus pesan
bergenre politik yang dipenuhi dengan Participatory politics atau Politik
konten-konten politik berwujud hoax dan partisipatif diartikan oleh Cohen &
kampanye-kampanye negatif yang berbau Kahne (2011) sebagai “interactive, peer-
provokatif. based acts through which individuals and
group seek to exert both voice and
A. Partisipasi Politik dan Politik influence on issues of public concern.
Partisipatif Importantly, these acts are not guided by
Partisipasi politik oleh Budiarjo (2010) deference to elites or formal institutions”.
dipandang sebagai beragam kegiatan Lebih lanjut tim Youth & Participatory
yang terkait dengan mulai dari memilih Politics menyebutkan bahwa kegiatan
pemimpin, berperan aktif dalam politik partisipatif dapat berupa:
kelompok kepentingan, hingga memobilisasi gerakan, melakukan respon
melakukan berbagai interaksi dengan elit berupa masukan dan berdialog dengan
politik dalam rangka mempengaruhi politisi, dan mengusahakan penyebaran
kebijakan pemerintah. Lebih lanjut konten politik lewat media massa.
Budiarjo menjelaskan bahwa partisipasi Dengan demikian, dapat
politik pada umumnya Negara dikatakan bahwa politik partisipatif
berkembang merupakan kombinasi dari merupakan bentuk lain dari partisipasi
kegiatan yang dipaksakan (semisal politik yang lebih merupakan hubungan
Pemilu) dan kegiatan politik yang tidak antara orang perorang dan atau gerakan
dipaksakan (misal gerakan massa). massa yang terlibat aktif untuk aktivitas
Lebih lanjut, tingkatan-tingkatan yang berhubungan secara langsung
dalam pelaksanaan partisipasi politik dengan kepentingan umum dengan titik
menurut David F. Roth dan Frank L. tekan pada independensi kelompok
pergerakan tersebut dari kepentingan

122
Vol. 3 No. 2 (2020)

penguasa dan sekaligus bukan bentuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.


partisipasi politik yang dipaksakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Dalam kasus ini, politik partisipatif yang lokalitas budaya politik akan menurun
disoroti adalah yang menggunakan media pada pola partisipasi politik masyarakat,
sosial sebagai sara sosialisasi, diskusi, baik pada pemilihan maupun tindakan
dan mobilisasi massa. lain dalam rangka mempengaruhi
kebijakan.
B. Budaya Politik
Budaya Politik diartikan sebagai suatu C. Gen-Z dan Politik Partisipatif
sistem nilai dan keyakinan bersama Media sosial yang berkembang pesat
mengenai pola hubungan politik dan beberapa tahun belakangan seolah
kebijakan publik dalam suatu unit sosial menciptakan suatu public sphere sebagai
tertentu (Swedlow, 2013). Pola hubungan wadah bagi masyarakat untuk dapat
politik mencakup pola pikir, sikap dan berperan aktif dalam menjalankan
perilaku politik individu anggotanya. partisipasi politiknya (McNair, 2016).
Budaya Politik terdiri dari kata „budaya‟ Sifat media sosial yang interaktif
yang meliputi tujuh unsur yaitu sistem memungkinkan penggunanya untuk
religi, kemasyarakatan/organisasi sosial, bertindak lebih aktif dalam suatu
bahasa, pengetahuan, kesenian, mata kegiatan komunikasi di media (McQuail,
pencaharian hidup & ekonomi, peralatan 2011) termasuk dalam kegiatan politik
hidup dan teknologi, dan kata „politik‟ partisipatif. Politik partisipatif dapat
yang identik dengan konsep kebijakan, dilakukan dengan berbagai kegiatan, dari
kekuasaan dan pemerintahan. yang bersifat pionir semisal membentuk
Budaya sendiri terbentuk dalam forum diskusi online, ikut menyebarkan
proses yang lama dan rumit hingga konten politik, hingga sekedar
akhirnya melekat dalam pola pikir, sikap, memberikan komentar terhadap konten
dan perilaku masyarakat dalam ataupun dalam suatu forum diskusi
kesehariannya. Budaya yang melekat (Cohen & Kahne, 2011).
pada masyarakat merupakan faktor yang Salah satu pengguna dominan
berpengaruh besar terhadap konsep dari media sosial saat ini adalah
hubungan-hubungan terkait kebijakan, kelompok Gen-Z atau mereka yang
kekuasaan dan pemerintahan sehingga berusia sekitar 13-23 tahun. Gen-Z
membentuk suatu budaya politik merupakan kelompok masyarakat digital
(Swedlow, 2013). Kekhasan atau native yang terlahir di era teknologi
lokalitas budaya di suatu daerah dengan digital, termasuk media sosial. Kedekatan
demikian memiliki pengaruh besar Gen-Z dengan media sosial dalam
terhadap pembentukan corak dan konteks politik menempatkan mereka
kekhasan budaya politik masyarakat sebagai aktor paling dekat dengan politik
setempat yang akan membedakannya dari partisipatif. Politik partisipatif
daerah lain. merupakan dimensi yang signifikan bagi
Perbedaan budaya politik akan kehidupan politik Gen-Z. Dengan politik
berdampak terhadap kecenderungan partisipatif, mereka akan mampu
perilaku politik termasuk pola partisipasi memberikan pengaruh terhadap
politik. Budiarjo (2010) menekankan kebijakan.
bahwa partisipasi politik merupakan
kegiatan memilih pemimpin politik serta
semua tindakan dalam rangka

123
Vol. 3 No. 2 (2020)

III. METODOLOGI PENELITIAN masa-masa awal seorang warga negara


Metode penelitian ini menggunakan mix- tergolong sebagai pemilih pemula.
method research yang bersifat Dalam penelitian ini dilakukan
eksplanatoris. Menurut Creswell (2014: dua tahapan pengumpulan data. Tahap
43), metode ini adalah integrasi data pertama dilakukan survei terhadap 160
kuantitatif dan kualitatif untuk responden untuk mengukur rataan tren
memeriksa keakuratan validitas data pola dan tingkatan politik partisipatif
lainnya. Peneliti melakukan eksplorasi obyek. Dalam tahap kedua, terhadap 10
lebih jauh dalam melihat data penelitian responden dengan peringkat tertinggi
yang berbeda. Penelitian dilakukan akan diwawancara untuk menjawab lebih
dengan menggali fakta dari realitas di dalam sejumlah pertanyaan untuk
lapangan dengan tidak bertujuan memperoleh jawaban lebih lengkap
membuat generalalisasi dari hasil yang mengenai fenomena.
diperoleh. Hasil yang diperoleh dalam Dalam tahap pengumpulan responden,
penelitian ini hanya akan memberi peneliti melihat bagaimana tingkat
gambaran fenomena di situasi, waktu, pengetahuan politik khususnya pemilih
dan lokasi spesifik yang diangkat. pemula yang cenderung menggunakan
Penelitian ini menggunakan dua tahap; media sosial sebagai sumber informasi
pertama, tahap kuantitatif dengan apapun. Data yang dikumpulkan bersifat
menggali informasi yang dimiliki oleh kuantitatif, dengan meranking beberapa
responden kemudian dilakukan jawaban yang diberikan berdasarkan
penyeleksian. Kedua, tahap kualitatif pengetahuan politik yang dimiliki oleh
dengan melakukan wawancara mendalam responden seperti; isu politik
dari hasil seleksi di tahap pertama kontemporer, informasi politik kandidat,
(Creswell, 2014: 274). Metode yang isu kebijakan, informasi tentang partai
digunakan dalam penelitian ini adalah politik atau isu yang berkaitan dengan
studi kasus. Studi kasus menurut Yin elektoral lainnya.
(2015) merupakan metode inkuiri yang Pada tahap selanjutnya, peneliti
bisa bersifat eksplanatoris dan berusaha melakukan wawancara mendalam
menjawab pertanyaan “bagaimana” pada terhadap informan yang telah dipilih dari
aspek waktu tertentu. jawaban awal. Tahap ini dilakukan
Penelitian ini bertujuan untuk dengan metode wawancara mendalam
melengkapi penelitian-penelitian berkenaan dengan positioning politik
sebelumnya yang menarget kelompok para pemilih pemula. Tahap ini melihat
usia Gen-Z namun dalam situasi dan bagaiamana budaya politik yang
lokasi yang berbeda dibandingkan berkembang. Sebagaimana kita ketahui
dengan penelitian terdahulu. Penelitian pengalaman masyarakat Yogyakarta
dilakukan dengan menetapkan Kota terkait kontestasi politik elektoral
Yogyakarta sebagai lokasi sasaran terbilang cukup minim, dikarenakan
pengumpulan data. Kota Yogyakarta kultur politik yang berkembang bersifat
dipilih karena wilayah urban cenderung patrimonial (Lihat Jati, 2012) serta tidak
lebih terpapar oleh teknologi adanya mekanisme voting dalam
dibandingkan dengan wilayah pedesaan. pemilihan Gubernur. Hal ini menjadi
Responden yang dipilih adalah kaum perhatian penting karena saling
muda dengan rentang usia 17-21 tahun. bertautannya antara budaya politik
Pemilihan rentang usia ini merupakan sebagai aktifitas keseharian pemilih

124
Vol. 3 No. 2 (2020)

dengan tingkat partisipasi politik KATEGORI 1: PENGETAHUAN POLITIK


khususnya di media sosial. [VALUE]

IV. HASIL
[VALUE] [VALUE]
Sebagaimana yang telah dijelaskan di
bagian sebelumnya, pengumpulan data [VALUE] [VALUE]
pada penelitian ini dilakukan melalui dua
tahap. Tahap pertama pengumpulan data
melibatkan 160 responden Gen-Z berlatar
belakang pelajar dan mahasiswa dengan
cara pengisian kuisioner. Setelah Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Skala 5
mendapatkan hasil rekapitulasi data di Semakin Tinggi Skala Semakin Tinggi Tingkat
tahap pertama, pengumpulan data Pengetahuan Politik
dilanjutkan dengan pelaksanaan
pengumpulan data tahap kedua melalui Dalam hal pengetahuan politik, sebanyak
metode wawancara. Hasil kedua tahap 31,16% responden mendapat nilai 3 dari
pengumpulan data tersebut akan skala 1 sampai 5. Kelompok responden
dijelaskan satu persatu di bawah ini: ini merupakan yang terbanyak di kategori
tersebut sedangkan yang mendapat nilai 5
A. Tahap pertama hanya sejumlah 14% dari total
Pada tahap pertama penelitian ini, responden. Dari hasil tersebut dapat
peneliti mengajukan 30 pertanyaan dalam disimpulkan bahwa pengetahuan politik
bentuk kuisioner yang diberikan kepada para responden berada di tingkat
responden. 30 pertanyaan tersebut dibagi menengah. Hanya sebagian kecil
ke dalam 3 kategori. Kategori pertanyaan responden yang benar-benar memiliki
pertama terdiri dari 14 pertanyaan yang pengetahuan yang baik tentang politik.
ditujukan untuk mengetahui budaya dan
pengetahuan dasar politik para KATEGORI 2: PARTISIPASI POLITIK
responden. Kategori kedua berisi 11 [VALUE]
pertanyaan guna mengukur tingkat
[VALUE]
partisipasi politik para responden.
Kategori terakhir terdiri dari 5 pertanyaan
yang berguna untuk mengetahui tingkat [VALUE]
apatisme politik para responden. Setiap
pertanyaan dari ketiga kategori tersebut [VALUE]
dijawab oleh para responden [VALUE]
menggunakan skala angka dari 1 sampai
5. Seluruh jawaban dari setiap pertanyaan Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Skala 5
di masing-masing kategori dijumlahkan Semakin Tinggi Skala Semakin Tinggi Tingkat
kemudian dicari rerata nilai untuk Partisipasi Politik
kategori tersebut. Hasilnya dapat dilihat
melalui grafik-grafik di bawah ini.
Pada kategori yang kedua ini, peneliti
mencoba mencari tahu bagaimana tingkat
partisipasi politik para responden.
Pengukuran juga dilakukan dengan
menggunakan skala 1 sampai 5 dimana 1

125
Vol. 3 No. 2 (2020)

berarti menunjukkan tingkat partisipasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat


politik yang sangat rendah dan 5 apatisme politik para responden sangat
menunjukkan tingkat partisipasi politik tinggi dan hal tersebut sekaligus
tertinggi. Hasil yang diperoleh seperti mengonfirmasi temuan di kategori
yang digambarkan dalam grafik di atas, sebelumnya yang menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa jumlah responden tingkat partisipasi politik para responden
terbanyak (37,33%) berada di angka 1, cukup rendah.
dan sebaliknya hanya sebagian kecil Dengan melihat hasil ketiga kategori yang telah dije
(4,82%) yang memperoleh nilai tertinggi. berbeda dari kebanyakan responden lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan Sebagian kecil responden ini
bahwa secara umum tingkat partisipasi mendapatkan nilai yang tinggi di ketiga
politik para responden cenderung rendah kategori tersebut. Artinya tetap ada
meskipun tetap ada sebagian kecil yang sebagian kecil responden yang memiliki
tingkat partisipasi politiknya tinggi. pengetahuan politik yang baik, tingkat
partisipasi politik yang tinggi dan
KATEGORI 3: APATISME POLITIK apatisme politik yang rendah.
[VALUE]
B. Tahapan kedua
Dengan menggunakan data temuan di
tahapan pertama, pengumpulan data
penelitian dilanjutkan ke tahapan
[VALUE] berikutnya. Pada tahap lanjutan ini
[VALUE] peneliti berusaha untuk mendalami
[VALUE] [VALUE] sekelompok kecil informan yang
menunjukkan trend yang berbeda dari
Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Skala 5 mayoritas informan. Sekelompok kecil
Semakin Tinggi Skala Semakin Tinggi informan yang dimaksud adalah
Tingkat Apatisme Politik kelompok informan yang memiliki
penegetahuan politik yang baik, dan/atau
Kategori pertanyaan yang ketiga
tingkat partispasi politik yang cukup
merupakan kebalikan dari kategori
tinggi, dan/atau apatisme politik yang
sebelumnya sekaligus menjadi penegasan
rendah di media sosial Instagram.
terhadap hasil di kategori kedua.
Tahap kedua penelitian ini
Kategori ketiga ini berusaha
dilakukan dengan metode wawancara
mengonfirmasi temuan di kategori kedua.
tatap muka. Wawancara dilakukan
Kategori ini berusaha membuktikan
dengan melibatkan 10 orang informan
apatisme politik para responden atau
terpilih yang memenuhi kriteria-kriteria
kebalikan dari partisipasi politik yang
yang telah disebutkan sebelumnya.
diukur oleh kategori kedua. Artinya jika
Dengan mengajukan serangkaian
kategori kedua menunjukkan tingkat
pertanyaan terstruktur, peneliti mencoba
partisipasi politik para responden rendah,
menggali latar belakang dan alasan
seharusnya kategori ketiga ini
mengapa para informan ini berbeda dari
menunjukkan tingkat apatisme politik
kebanyakan teman seusia mereka dalam
yang tinggi dan sebaliknya. Dari grafik di
aspek pengetahuan dan partisipasi politik.
atas, dapat dilihat bahwa tingkat apatisme
Dari hasil wawancara dengan para
politik para responden terbukti cukup
informan, setidaknya terdapat tiga
tinggi. Dari skala 1 sampai 5, mayoritas
responden mendapat nilai 5. Angka

126
Vol. 3 No. 2 (2020)

temuan utama yang akan dijelaskan di salah satu informan: “Punya IG


bawah ini: Twitter Line WA sama Snapchat”
Selain itu, hasil wawancara juga
Temuan 1: Pengetahuan politik informan. menunjukkan bahwa Instagram
Wawancara dilakukan dengan cara merupakan salah satu platform
mengajukan pertanyaan yang berkaitan media sosia yang paling digemari
dengan tingkat pengetahuan politik dan paling sering diakses.
informan. Temuannya mengatakan Sebagaimana yang diungkapkan
bahwa tingkat pengetahuan politik salah satu informan:“Instagram
informan terhadap kontestasi elektoral sama Twitter. Tp yang paling
melalui media sosial dapat dilihat pada sering Instagram”
dua aspek; 2. Aktifitas informan di Instagram
Pertama adalah aspek Berdasarkan wawancara yang
pengetahuan dasar. Konten media sosial dilakukan, para informan
membantu para informan mengetahui cenderung lebih menggunakan
informasi tentang kandidat politik yang Instagram untuk memenuhi
akan bertarung, visi misi kandidat, serta kebutuhan informasi mereka
isu-isu publik lainnya. Konten politik dibanding untuk membagikan
yang mereka konsumsi juga memberikan aktifitas pribadi. Contohnya:
pengetahuan dasar tentang fungsi parpol, “Kalau Instagram Cuma buat
fungsi DPR, serta mengerti tugas dan lihat konten dan post.”
fungsi penyelenggara pemilihan. Kedua,
pada aspek political action dari beberapa Dari hasil wawancara sesi pertama dapat
informan. Informan tidak hanya disimpulkan bahwa para informan sangat
mengonsumsi informasi secara pasif akrab dengan media sosial, terutama
namun melakukan crosscheck terhadap Instagram. Dengan banyaknya pilihan
konten tersebut. Tindakan tersebut media sosial, para informan memilih
dilakukan untuk mengantisipasi Instagram untuk keperluan pencarian
meluasnya berita bohong, karena infromasi yang ingin mereka ketahui.
dianggap banyak informasi yang Para informan juga cenderung kurang
menyesatkan masyarakat terlebih dalam tertarik untuk memanfaatkan fitur-fitur di
momen-momen pemilihan. Instagram yang tidak berhubungan
dengan kebutuhan pencarian informasi
Temuan 2: pola interaksi informan atau berita yang mereka cari.
dengan Instagram.
Wawancara diawali dengan sejumlah Temuan 3: Budaya politik informan
pertanyaan yang bertujuan untuk mencari Sesi wawancara berlanjut dengan agenda
tahu pola interaksi informan dengan mencari tahu latar belakang budaya
media sosial, khususnya Instagram. Hasil politik informan. Latar belakang budaya
yang didapatkan dari proses wawancara politik informan akan mempengaruhi
sebagai berikut: pola partisipasi politik mereka, baik di
1. Penggunaan media sosial media sosial maupun dalam pergaulan
Dari temuan wawancara, hampir sehari-hari di dunia nyata. Hasil yang
semua informan menggunakan didapatkan dalam sesi kedua ini adalah:
lebih dari 3 media sosial. Seperti 1. Minat informan terhadap bahasan
halnya yang diungkapkan oleh politik

127
Vol. 3 No. 2 (2020)

Dari wawancara yang dilakukan, tidak jadi. Karena saya takut


informan menganggap bahwa memicu argument berbeda terus
pengetahuan akan bahasan- ya tidak jadi” “(terkait berita
bahasan politik merupakan hoax) Pernah ngecek, saya Tanya
sebuah keajiban bagi setiap warga orang sana gini aslinya gini.
negara. Seperti yang diungkapkan Ceritanya gini, jadi pas saya
salah satu informan: “Ya merasa tanya asli, bener segitu.” “(terkait
butuh aja karena kan kita mengikuti/follow akun politisi)
warganegara kan harus ngerti Presiden, Sandiga (Uno),
politik” Prabowo (Subianto) dan
2. Pengaruh Pemilu terhadap minat beberapa partai-partai”
informan pada bahasan politik 2. Meski fokus penelitian adalah
Berdasarkan hasil wawancara, pada aplikasi instagram, dalam
ditemukan adanya korelasi positif wawancara dengan informan
antara masa Pemilu dengan ditemukan bahwa memiliki pola
meningkatnya minat para politik partisipatif pada aplikasi
informan terhadap politik. Hal ini media sosial lainnya. Hal ini
ditunjukkan oleh salah satu ditunjukkan dari keterangan yang
informan: “Ngikutin sampe diberikan informan semisal: “(di
selesai pemilu aja stelahnya gak instagram) Ngga (repost) mas,
begitu ngikutin lagi” pernahnya ngretweet”

Dari hasil wawancara sesi kedua peneliti V. PEMBAHASAN


menemukan fakta bahwa minat para Berdasarkan hasil pengumpulan data
informan terhadap bahasan-bahasan yang telah dilakukan, setidaknya ada dua
politik dipengaruhi oleh berbagai faktor poin penting yang dapat ditemukan yaitu
seperti keluarga, teman sebaya dan masa pola politik partisipatif dan tingkat
Pemilu yang sedang berlangsung saat itu. partisipasi politik dari para responden.
a. Pola politik partisipatif
Temuan 4: Pola politik partisipatif Temuan yang didapat dari survei
Pada bagian akhir wawancara, peneliti awal dan wawancara mendalam pada
berupaya untuk mencari pola politik penelitian ini menunjukkan bahwa Gen-Z
partisipatif informan di media sosial di Kota Yogyakarta tahun 2019 telah
Instagram. Dengan mengajukan melakukan pola politik partisipatif
serangkaian pertanyaan, peneliti berupa:
menyimpulkan beberapa simpulan di 1. Memberikan respon terhadap
bawah ini: konten politik di aplikasi
1. Bentuk politik partisipatif Instagram
informan melalui instagram 2. Mengikuti/follow akun politisi
menunjukkan kepedulian mereka dan partai politik
terhadap politik. Secara umum 3. Responden tidak memberikan
dapat dikatakan informan komentar pada konten politik
berpartipasi dalam kegiatan 4. Responden tidak melakukan
politik partisipatif. Beberapa posting ulang konten politik di
keterangan dari informan antara Instagram
lain: “Tentang pilpres kemarin,
pengen repost pilihan saya tapi

128
Vol. 3 No. 2 (2020)

5. Ada responden yang melakukan ditandai dengan pola partisipasi yang


posting ulang konten politik di cenderung sangat rendah.
media sosial dalam hal ini twitter Interpretasi penulis terhadap data
6. Responden tidak membuat sendiri tersebut bahwa relasi yang terbentuk dari
konten politik untuk diunggah pengetahuan politik belum tentu sejalan
dengan budaya politik maupun pola
b. Tingkatan partisipasi politik partisipasi politik yang partisipatif.
Dari hasil temuan di lapangan, baik dari Sebagaimana Budiarjo (2010: 58)
survei awal dan wawancara mendalam menganggap bahwa budaya politik
disimpulkan bahwa tingkatan partisipasi adalah sebuah dimensi psikologis yang
politik Gen-Z di Kota Yogyakarta tahun menekankan pada orientasi individu,
2019 melalui aplikasi Instagram masih sikap politik maupun simbol-simbol yang
ditemukan: melekat pada suatu individu maupun
1. Responden memiliki kepedulian kolektif. Penulis menganggap bahwa
terhadap konten politik di simbol yang melekat pada institusi politik
Instagram baik parpol atau stakeholder tidak
2. Responden memberikan respon memberikan harapan terhadap
terhadap konten politik masyarakat Gen-Z tersebut. Hal tersebut
3. Responden secara aktif memantau diperkuat dengan tingkat kepercayaan
perkembangan situasi politik publik terhadap kinerja para pemangku
nasional melalui instagram kebijakan baik legislatif, partai politik
4. Belum ada responden yang maupun pemerintahan yang masih
menjadi simpatisan partai politik kurang memuaskan kehendak publik
5. Belum ada responden yang aktif (Katadata, 2019). Sehingga dampak yang
dalam kegiatan partai politik dihasilkan adalah Gen-Z memilih untuk
Jika menggunakan piramida Roth, maka bersikap apolitis dan cenderung tidak
tingkat politik partisipatif Gen-Z Kota membagikan konten-konten politik.
Yogyakarta tahun 2019 masih berada Almond dan Verba (1984) juga
pada level: Pengamat, satu level di atas mengklasifikasikan tiga budaya politik;
apolitis. Pertama, budaya partisan adalah budaya
yang terlibat aktif seperti mengikuti
Relasi Pengetahuan Politik, Budaya kegiatan politik secara langsung. Kedua,
Politik dan Pola Partisipasi Politik budaya subjek yang menitikberatkan
Dari pemaparan data pada tahap pertama pada kepatuhan masyarakat terhadap
yang dijelaskan sebelumnya, setidaknya sistem pemerintah dan tidak terlibat
relasi yang terbentuk antara pengetahuan secara aktif dalam kegiatan politik.
politik, budaya politik dan pola Terakhir, budaya parokial yang
partisipasi politik bersifat tidak linier. menekankan pada sikap
Tingkat pengetahuan politik di sesi ketidakpercayaan terhadap sistem
pertama paling banyak berada di skala 3, pemerintahan atau bersikap apolitis.
setidaknya responden memahami Penjelasan Almond dan Verba dalam
pengetahuan dasar yang berkaitan dengan data penelitian ini memiliki sifat yang
konteks politik-elektoral. Namun dalam paradoksal. Di satu sisi Gen-Z ikut
konteks budaya politik menunjukkan mencari tahu informasi atau kegiatan
sikap apolitis dimana Gen-Z ini kurang politik hingga proses pemilihan berakhir
berminat untuk membagi konten politik meski hanya melalui media sosial.
ke ruang-ruang publik lainnya dan ini Namun, di sisi lain positioning pada

129
Vol. 3 No. 2 (2020)

sikap politik Gen-Z justru bersifat Politik dan Demokrasi di Lima


apolitis. Sehingga kurang tepat Negara, Jakarta: Bina Aksara.
meletakkan sikap politik Gen-Z pada Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
klasifikasi budaya politik tersebut. Indonesia. (2018). Penetrasi &
Senada dengan itu, Gen-Z di Yogyakarta Perilaku Pengguna Internet
juga kurang relevan dapat diletakkan Indonesia: Survei 2017.
pada klasifikasi budaya politik yang Budiarjo, Miriam. (2010). Dasar-Dasar
dijelaskan oleh Roth dan Wilson secara Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
distingsif. Pengamatan penulis, hubungan Pustaka Utama.
antara pengetahuan politik, budaya Cohen, C.J & Kahne, J. (2011).
politik dan partisipasi politik Gen-Z Participatory Politics: New Media
bersifat inter-relational, dimana and Youth Political Action, Youth
ketiganya tidak dapat didudukkan secara & Participatory Politics Survey
hierarkis seperti yang dijelaskan oleh Project, 2011, hal.8.
ilmuwan politik, namun ketiganya justru Creswell, J., W. (2014). Research
bersifat saling tumpang-tindih atau Design: Qualitative, Quantitative
melengkapi satu sama lain, yang tidak and Mixed Methods Approaches.
hanya dapat ditempatkan pada klasifikasi Fourth Edition (4th). California:
tertentu saja. Sage Publications.
Fauzi, Muhammad Oky. (2017). Media
VI. KESIMPULAN Sosial Dan Partisipasi Politik
Kesimpulan yang dapat ditarik dari (Studi Tentang Partisipasi Politik
penelitian ini secara umum adalah bahwa Pemilih Pemula Melalui Media
Gen-Z di Kota Yogyakarta tahun 2019 Sosial Pada Pemilukada Kota
memiliki tingkat politik partisipatif yang Yogyakarta Tahun 2017), Skripsi
masih rendah yang ditandai dengan pola Fisipol Universitas
politik partisipatif yang sebatas respon Muhammadiyah Yogyakarta.
terhadap konten dan kesadaran voluntary Gerodimos, Roman & Jakup Justinussen.
untuk mengikuti konten-konten politik (2014). Obama‟s 2012 Facebook
namun belum pada tahap berbagi konten Campaign: Political
politik. Di samping itu, pola partisipasi Communication in the Age of the
politik Gen-Z memiliki sifat temporer, Like Button, Journal of
dimana mereka menggunakan media Information Technology and
sosial hanya sekedar mengetahui atau Politics 00:1-20.
mengikuti kegiatan politik pada momen- Jati, Wasisto Raharjo. (2012). Kultur
momen pemilihan saja. Tidak adanya Birokrasi Patrimonialisme Dalam
tindakan lebih lanjut pasca-pemilihan, Pemerintah Provinsi Daerah
padahal partsipasi politik tidak hanya Istimewa Yogyakarta. Jurnal
dinilai dari seberapa jauh mereka Borneo Administrator, Vol. 8,
mengikuti kegiatan elektoral, namun No. 08 hal. 145-160
partisipasi juga mensyaratkan untuk ikut Katadata. (2019). Survei LSI: KPK dan
langsung dalam mengevaluasi kebijakan Presiden Jadi Lembaga yang
maupun kinerja pemerintahan. Paling Dipercaya Publik.
<https://databoks.katadata.co.id/d
REFERENSI atapublish/2019/08/30/survei-lsi-
Almond, G., A. & Verba, S. (1984). kpk-dan-presiden-jadi-lembaga-
Budaya Politik: Tingkah-laku

130
Vol. 3 No. 2 (2020)

yang-paling-dipercaya-publik> politik-media-sosial> diunduh


diunduh 18/8/2020 tanggal 4/8/2018
McNair, B. (2016) Pengantar Swedlow, B. (2013). Encyclopedia of
Komunikasi Politik: An Modern Political Thought,
introduction to Political Chapter: Political Culture, Editor:
Communication, Bandung: Nusa Gregory Claeys, CQ Press. hal.
Media. 624-625.
McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Tirto. (2019). Jokowi dan Prabowo dalam
Massa, Salemba Humanika, Bingkai Hoaks Pilpres 2019
Jakarta. <https://tirto.id/jokowi-dan-
Morissan. (2016). Tingkat Partisipasi prabowo-dalam-bingkai-hoaks-
Politik Dan Sosial Generasi Muda pilpres-2019-dl83>
Pengguna Media Sosial. Jurnal Utomo, W.P. (2013). Menimbang Media
Visi Komunikasi, Vol.5, No.01 Sosial dalam Marketing Politik di
hal. 96-113. Indonesia: Belajar dari Jokowi-
Perangin-angin, Loina Lalolo Krina dan Ahok di Pilkada DKI Jakarta
Munawaroh Zainal. (2018). 2012. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Partisipasi Politik Pemilih Pemula Politik, Vol. 17, No. 01, Juli, hal.
dalam Bingkai Jejaring Sosial di 67-84.
Media Sosial. Jurnal ASPIKOM, Wearesocial. (2018). The State of Social
Volume 3 Nomor 4, Januari. hlm Media and Messaging In Asia
737-754. Pacific: Trends and Statistics.
Republika. (2018) LSI: Pilkada 2018 Wearesocial. (2019). Hootsuite
adalah Politik Media Sosial. Wearesocial: Indonesian Digital
<https://www.republika.co.id/beri Report 2019.
ta/nasional/pilkada/18/01/08/p28l Yin, Robert K. (2015). Studi Kasus:
vo428-lsi-pilkada-2018-adalah- Desain dan Metode, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

131

You might also like