Professional Documents
Culture Documents
Juknis Surveilans Campak Rubela 2023
Juknis Surveilans Campak Rubela 2023
Pembina
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Pengarah
dr. Prima Yosephine, MKM, Direktur Pengelolaan Imunisasi
Kontributor:
dr. Endang Budi Hastuti; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I
dan KIPI
dr. Fristika Mildya, M.K.K.K; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans
PD3I dan KIPI
dr. Solihah Widyastuti, M.Epid; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I
dan KIPI
Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini, Sp.A(K); Komite Ahli Nasional
Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Prof. Dr.dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K),M.Trop,Paed.; Komite
Ahli Nasional Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I)
Prof. Dr. dr. Ismoedijanto, Sp.A(K); Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Prof. Dr. dr. Rita S. Sitorus, Sp.M; Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Dr. dr. Hariadi Wibisono, MPH; Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Dr. dr. Nyilo Purnami, Sp.T.H.T.B.K.L(K); Komite Ahli Nasional
Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Dr. dr. Tri Yunis Miko, M.Sc; Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Dr. dr. Syarif Rohimi, Sp.A(K); Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Dr. dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K); Komite Ahli Nasional
Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Dr.dr. Anggraeni Alam, Sp.A(K); Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
dr. Sholah Imari, M.Sc; Komite Ahli Nasional Surveilans Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
iii
dr. Damayanti Soetjipto, Sp.T.H.T.B.K.L(K); Komite Ahli Nasional
Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
dr. Nina Dwi Putri, Sp.A; Komite Ahli Nasional Surveilans Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Niprida Mardin, SKM, M.Kes; Komite Ahli Nasional Surveilans
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
dr. Rusipah, M.Kes; Komite Ahli Nasional Surveilans Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
dr. Sidik Utoro, MPH; Komite Ahli Nasional Surveilans Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
dr. Cornelia Kelyombar; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I
dan KIPI
dr. Bie Novirenallia Umar, MARS; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans
PD3I dan KIPI
Muammar Muslih, SKM,M.Epid; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans
PD3I dan KIPI
dr. Febry Immanuella; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I
dan KIPI
Berkat Putra Sianipar, SKM; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I
dan KIPI
Anggun Pratiwi, SKM, M.Epid; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans
PD3I dan KIPI
Dini Surgayanti, SKM; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I dan KIPI
Debsy V. Pattilima, SKM,M.Epid; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans
PD3I dan KIPI
Vivi Voronika, SKM, M.Kes; Tim Kerja Imunisasi Bayi dan Baduta
dr. Sherli Karolina, MKM; Tim Kerja Imunisasi Tambahan dan
Khusus
dr. Devi Anisiska, MKM; Tim Kerja Imunisasi Tambahan dan Khusus
Lulu Ariyantheny Dewi, SKM, MIPH; Tim Kerja Imunisasi Tambahan
dan Khusus
dr. Nani H Widodo, SpM , MARS; Direktorat Pelayanan Kesehatan
Rujukan
dr. Mursinah, Sp.PK; Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan
dan Sumber Daya Kesehatan Badan Kebijakan Pembangunan
Kesehatan
Subangkit, SSI, M.Biomed; Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan
Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan, Badan Kebijakan
Pembangunan Kesehatan
Dr. dr. Adi Pramono Hendrata,Sp.PK; BBLK Surabaya
Wiwik Dwi Irawati, S.ST, M.Imun; BBLK Surabaya
dr. Woro Umi Ratih, M.Kes, Sp.PK; BLK Yogyakarta
iv
dr. Dyah Widhiastuti, M.Kes; Laboratorium Nasional Campak-
Rubela/CRS, Biofarma
dr. Mushtofa Kamal, M.Sc.; World Health Organization Indonesia
dr. Joshua Harmani; World Health Organization Indonesia
Ni’mah Hanifah, S.Gz; World Health Organization Indonesia
Tri Murti, SKM; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I dan KIPI
Editor:
dr. Cornelia Kelyombar; Tim Kerja Imunisasi WUS, Surveilans PD3I
dan KIPI
Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini, Sp.A(K); Komite Ahli Nasional
Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
v
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
vi
Kami sangat menghargai dan berterima kasih atas dukungan dan kontribusi
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan revisi buku pedoman ini. Semoga
pelaksanaan surveilans campak-rubela dapat berjalan optimal guna mendukung
pencapaian eliminasi campak-rubela/CRS di Indonesia
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya buku Petunjuk Teknis
Surveilans Campak-Rubela telah selesai.
Indonesia telah berkomitmen untuk
mencapai eliminasi campak-rubela/
Congenital Rubella Syndrome (CSR). Hal
ini sejalan dengan target global maupun regional yang didahului dengan pemutusan
transmisi virus campak-rubela indigenous pada tahun 2023. Surveilans campak-
rubela diperlukan untuk mengetahui epidemiologi dan beban penyakit campak-rubela
di masyarakat. Data surveilans campak-rubela juga dapat digunakan sebagai alat
advokasi untuk mendapatkan dukungan yang kuat dari pemerintah dalam program
pengendalian penyakit campak-rubela di Indonesia.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang berkontribusi dalam
penyusunan buku ini. Kami berharap masukan dan saran yang membangun dari
semua pihak demi penyempurnaan buku ini.
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB IV KEGIATAN SURVEILANS CAMPAK-RUBELA ................. 23
4.1. Tujuan Surveilans Campak-Rubela ............................ 23
4.2. Pengertian ........................................................................ 24
4.3. Definisi Operasional....................................................... 25
4.4. Klasifikasi Kasus ............................................................. 26
4.5. Pelaksanaan Surveilans Campak dan Rubela .......... 28
BAB V KLB CAMPAK-RUBELA DAN
PENANGGULANGANNYA .................................................... 46
5.1. Definisi Operasional KLB ............................................. 46
5.2. Penetapan KLB ............................................................... 47
5.3. Pencabutan Status KLB ................................................ 47
5.4. Penyelidikan Epidemiologi KLB ................................. 47
5.5. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi KLB ................... 48
5.6. Langkah-langkah Penyelidikan Epidemiologi KLB 49
5.7. Penanggulangan KLB .................................................... 59
BAB VI PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ............................... 63
6.1. Pengolahan dan Analisis Data Rutin .......................... 64
6.2. Pengolahan dan Analisis Data KLB ............................ 67
BAB VII PEMBERIAN NOMOR EPID KASUS INDIVIDU DAN
KLB .......................................................................................... 73
7.1. Pemberian Nomor EPID Kasus Individu Bukan
KLB ................................................................................... 73
7.2. Pemberian Nomor EPID Kasus Individu KLB ....... 74
BAB VIII JEJARING KERJA LABORATORIUM ............................ 76
8.1. Peran dan Fungsi Laboratorium ............................. 76
8.2. Penatalaksanaan Spesimen Laboratorium
Campak-Rubela ........................................................... 77
x
8.3. Pemeriksaan Laboratorium...................................... 86
8.4. Interpretasi Hasil Laboratorium Kejadian Luar
Biasa (KLB) .................................................................. 89
8.5. Pengembangan Laboratorium Pemeriksa Campak-
Rubela ........................................................................... 90
8.6. Pelaporan Hasil ........................................................... 91
8.7. Laboratorium Nasional dan Wilayah Pelayanan
Pemeriksaan Spesimen Campak-Rubela .............. 92
8.8. Pemberian Nomor Spesimen Laboratorium
Campak ......................................................................... 93
BAB IX LOGISTIK SURVEILANS CAMPAK-RUBELA ............... 95
9.1. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen Campak-
Rubela ........................................................................... 95
9.2. Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Campak-
Rubela ........................................................................... 97
BAB X KOMUNIKASI RISIKO DALAM KEGIATAN
SURVEILANS DAN RESPON KLB CAMPAK............... 102
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 106
LAMPIRAN ........................................................................................... 107
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
Gambar 15. Bagan Perhitungan Populasi yang Terbentuk
Kekebalan Campak Berdasarkan Cakupan
Imunisasi ................................................................ 72
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR SINGKATAN
AR : Attack Rate
ASI : Air Susu Ibu
APD : Alat Pelindung Diri
AFP : Acute Flaccid Paralysis
ASD : Atrial Septal Defect/Defek Septum Atrial
BIAN : Bulan Imunisasi Anak Nasional
BLK : Balai Laboratorium Kesehatan
BBLK : Balai Besar Laboratorium Kesehatan
BPS : Bidan Praktek Swasta
CBMS : Case Based Measles Surveillance
CFR : Case - Fatality Rate
CRS : Congenital Rubella Syndrome
Dinkes : Dinas Kesehatan
Dit. Surkarkes : Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
Ditjen P2P : Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
DPM : Dokter Praktek Mandiri
EPID : Epidemiologi
ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
EV : Efikasi Vaksin
Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Form : Formulir
HFMD : Hand, Foot, and Mouth Disease
HQ : Head Quarter
HIV : Human Immunodeficiency Virus
xvi
HHV-6 : Human Herpes Virus – 6
Ig M : Immunoglobulin M
ICU : Intensive Care Unit
IU : International Unit
KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KLB : Kejadian Luar Biasa
Lab : Laboratorium
ORI : Outbreak Response Immunization
NICU : Neonatal Intensive Care Unit
MIS-C : Multisystem inflammatory in children after COVID-19
MR : Measles-Rubella
MMR : Measles-Mumps-Rubella
MLIS : Measles Laboratory Information System
PDA : Patent Ductus Arteriosus
PICU : Pediatric Intensive Care Unit
PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
PE : Penyelidikan Epidemiologi
PCR : Polymerase Chain Reaction
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PHEOC : Public Health Emergency Operation Center
PPD : Purified Protein Derivative
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PS : Pulmonary Stenosis/Stenosis Katup Pulmonal
PT : Perseroan Terbatas
RCA : Rapid Convenience Assessment
RNA : Ribo Nucleic Acid (Asam Ribonukleat)
xvii
RT : Rukun Tetangga
RT-PCR : Real Time-PCR
RW : Rukun Warga
RS : Rumah Sakit
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SNHL : Sensorineural Hearing Loss/ Tuli Sensorineural
SKDR : Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
SEARO : South-East Asia Regional Office
SOP : Standar Operasional Prosedur
SSPE : Subacute Sclerosing Pan Encephalitis
SARS : Surveilans Aktif Rumah Sakit
TN : Tetanus Neonatorum
TPMB : Tempat Praktek Mandiri Bidan
UNICEF : United Nations Children’s Fund
VSD : Ventricular Septal Defect/Defek Septum Ventrikel
VVM : Vaccine Vial Monitor
VTM : Virus Transport Media
W1 : Formulir Laporan KLB
WA : WhatsApp Messenger
WHO : World Health Organization
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1
adalah Malvides dan Sri Lanka. Sementara Bhutan, DPR Korea dan
Timor Leste masih menunggu proses verifikasi untuk rubela.
Berdasarkan hasil pertemuan Regional Consultation on re-Setting the
Target Date for Achieving the Measles And Rubella (MR) Elimination
Goal In WHO SEA pada bulan Maret 2023 di India, Indonesia
ditetapkan untuk mencapai eliminasi campak-rubela/CRS pada tahun
2026 dan juga merevisi strategi yang diperlukan untuk mencapai target
tersebut. Saat ini, Indonesia sedang menyusun Strategi Nasional
Eliminasi Campak dan Rubela Tahun 2024-2027, untuk menargetkan
pencapaian eliminasi campak-rubela/CRS pada tahun 2026 sesuai
dengan rekomendasi pertemuan tersebut.
Surveilans dan respon KLB merupakan beberapa komponen
penting dalam pencapaian target eliminasi. Buku ini bertujuan untuk
memberikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan surveilans dan
respon KLB campak-rubela di Indonesia. Untuk acuan pelaksanaan
surveilans CRS akan dibahas di pedoman khusus untuk surveilans
CRS.
1.2. Tujuan
2
2. Tatalaksana kasus campak-rubela;
3. Manajemen spesimen kasus campak-rubela;
4. Pengumpulan, pencatatan dan analisis data kasus
campak-rubela;
5. Penyusunan rekomendasi dan intervensi kesehatan
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit campak-rubela;
6. Respon kesehatan masyarakat dan rekomendasi
tatalaksana sebagai acuan untuk pencegahan,
penyelidikan dan penanggulangan KLB campak-rubela
3
i. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949 tahun 2004 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian
Luar Biasa (KLB);
1.4.2. Sasaran
Petunjuk teknis ini dibuat sebagai acuan bagi para pengambil
kebijakan, pengelola program dan petugas kesehatan di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, rumah sakit, puskesmas dan
jaringan pelayanannya, serta fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya yang melakukan kegiatan surveilans campak-rubela
dan penanggulangan KLB campak-rubela.
4
BAB II
GAMBARAN PENYAKIT CAMPAK
DAN RUBELA
5
Meskipun pelaksanaan imunisasi campak telah berhasil
menurunkan angka kematian, KLB campak masih mungkin dan akan
terjadi pada daerah kantong dengan cakupan imunisasi yang rendah.
Anak-anak di bawah lima tahun menjadi kelompok usia dengan risiko
tinggi untuk mengalami kematian akibat campak.
Hasil Laboratorium
Jumlah Suspek Jumlah Kematian Positif
Tahun
Campak Suspek Campak
Campak Rubela
2018 10.998 0 920 1.684
2019 8.828 1 639 710
2020 3.434 1 310 159
2021 2.931 0 132 267
2022 21.057 6 4.844 839
TOTAL 47.261 8 6.846 3.659
6
Tabel 2. Perbandingan Jumlah Kasus Suspek Campak pada Uji
Coba Enhanced CBMS di 6 Kab/Kota di 6 Provinsi terpilih,
September – Desember 2015
7
Tabel 2 menunjukkan dalam periode 4 bulan tersebut, ternyata
jumlah penemuan dan pelaporan kasus suspek campak meningkat
sebanyak 6 kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Hal
ini membuktikan bahwa masih banyak kasus suspek campak yang
terdapat di masyarakat namun terlewat untuk dilaporkan serta
pentingnya peran fasyankes swasta dalam penemuan dan pelaporan
kasus suspek campak.
KLASIFIKASI
JUMLAH
TAHUN CRS CRS
SUSPEK CRS DISCARDED
PASTI KLINIS
2015 298 36 60 202
2016 336 65 113 158
2017 532 54 151 327
2018 534 97 135 302
2019 664 35 176 453
2020 457 10 112 335
2021 916 29 200 687
2022 1026 25 148 853
TOTAL 4763 351 1095 3317
Sumber: Ditjen P2P - Kemenkes. 2023
8
klinis, sedangkan sisanya sejumlah 3317 adalah kasus discarded
(bukan CRS).
2.2.2. Patogenesis
Berbeda dengan virus infeksi pernapasan lainnya, infeksi oleh
virus campak pada manusia yang tidak kebal selalu
menyebabkan penyakit sistemik. Virus yang menginfeksi
saluran napas akan menyebabkan penekanan respon imun
spesifik. Penyakit ini memiliki penularan yang tinggi dengan laju
reproduksi (R0) yaitu 17–18. Virus campak masuk ke saluran
napas atas manusia melalui aerosol/airborne yang dapat
berupa percikan mikro dan melalui bersentuhan dengan benda
yang terkontaminasi dan selanjutnya menginfeksi epitel
pernapasan.
Kejadian campak dikaitkan dengan penekanan kekebalan
yang mengakibatkan mudahnya manusia mengalami infeksi
sekunder pada pernapasan dan saluran pencernaan.
Penekanan imunitas yang hebat akibat campak juga
diperlihatkan dengan hasil anergi saat pemberian tes PPD
(Mantoux) serta respons antibodi terhadap imunisasi.
9
Gambar 1. Patogenesis Campak
Sumber: Laksono BM, et al. Curr Opin Virol. 2020 Apr;41:31-37
2.2.3. Penularan
Penyakit ini memiliki penularan yang tinggi dengan laju reproduksi
(R0) yaitu 17 - 18. Virus campak ditularkan melalui udara
(aerosol/airborne) yang dapat berupa percikan mikro yang
keluar dari hidung, mulut atau tenggorokan orang yang
terinfeksi virus campak pada saat bicara, batuk, bersin; atau
melalui sekresi hidung; atau jika bersentuhan dengan benda
yang terkontaminasi.
Masa penularan adalah 4 hari sebelum sampai dengan 4 hari
setelah timbul ruam. Puncak penularan pada saat gejala awal
(fase prodromal) yaitu pada 1-3 hari pertama sakit.
10
2.2.4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi penyakit campak adalah 7 – 18 hari, rata-rata
10 hari.
11
atau lebih, beberapa hari kemudian (4-7 hari) akan
menyebar ke seluruh tubuh dan ruam akan menyatu
(confluence);
● Bercak kemerahan maculopapular setelah 7 – 30 hari akan
berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan disertai
kulit bersisik. Untuk kasus yang telah menunjukkan
hiperpigmentasi maka perlu dilakukan anamnesis dengan
teliti dan apabila pada masa akut (permulaan sakit)
terdapat gejala-gejala yang telah disebutkan sebelumnya
maka kasus tersebut merupakan kasus suspek campak.
12
campak klinis, konfirmasi laboratorium atau hubungan
epidemiologi yang terjadi dalam 30 hari setelah timbul rash dan
bukan disebabkan oleh hal-hal lain seperti trauma atau
penyakit kronik yang tidak berhubungan dengan komplikasi
campak.
13
Viremia terjadi pada 4–7 hari setelah virus masuk tubuh. Masa
penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7
hari setelah timbulnya ruam/rash/bercak merah/
makulopapular.
14
Bentuk kelainan pada CRS:
a. Kelainan jantung: Patent Ductus Arteriosus (PDA), Defek
Septum Atrial/Atrial Septal Defect (ASD), Defek Septum
Ventrikel/Ventricular Septal Defect (VSD), Stenosis Katup
Pulmonal/Pulmonary Stenosis (PS);
b. Kelainan pada mata: Katarak Kongenital, Glaukoma
Kongenital, Pigmentary Retinopathy;
c. Kelainan pendengaran: Tuli Sensori Neural/Sensorineural
Hearing Loss (SNHL);
d. Kelainan pada sistim saraf pusat: retardasi mental,
mikrosefali dan meningoensefalitis;
e. Kelainan lain: purpura, splenomegaly, ikterik yang muncul
dalam 24 jam setelah lahir, radiolucent bone, serta
gangguan pertumbuhan.
PERHATIAN
Penularan penyakit campak-rubela adalah melalui percikan ludah mikro
(aerosol/airborne) sehingga perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan
dalam mencegah penularan kedua penyakit tersebut dengan cara:
1. Menerapkan protokol kesehatan (menggunakan masker, mencuci
tangan, dan menjaga jarak) pada saat melakukan tata laksana kasus
campak dan rubela;
2. Sebaiknya petugas kesehatan telah mendapatkan imunisasi campak-
rubela;
3. Bagi petugas kesehatan yang hamil dianjurkan tidak memberikan
pelayanan langsung dengan kasus demam dan ruam.
15
● Epstein-Barr virus
● Adenovirus
● Measles
● Rubella
● Fifth disease (parvovirus)
● Enterovirus
● Hepatitis B virus (popular acrodermatitis)
● HIV
● Fase konvalesen dengue
● COVID-19
BAKTERI
● Mycoplasma pneumoniae
● Group A Streptococcus (scarlet fever)
● Arcanobacterium hemolyticus
● Secondary syphilis
● Leptospirosis
● Pseudomonas
● Meningococcal infection (early)
● Salmonella
● Lyme disease
● Listeria monocytogenes
RICKETTSIA
● Early Rocky Mountain spotted fever
● Typhus
● Ehrlichiosis
16
LAINNYA
● Kawasaki disease
● Multisystem inflammatory in children after COVID-19 (MIS-C)
● Coccidioides immitis
17
Penyembuhan terhadap penyakit campak-rubela tergantung kepada
kemampuan respon dari T-cell yang adekuat. Anak yang dilahirkan
dari ibu yang sudah mempunyai kekebalan terhadap campak-rubela
akan mempunyai kekebalan (maternal antibody). Dengan adanya
maternal antibody, anak-anak akan terlindung dari penyakit campak-
rubela untuk beberapa bulan. Namun biasanya antibodi maternal pada
anak akan sangat berkurang setelah anak berumur 6 – 9 bulan, yang
menyebabkan anak menjadi rentan terhadap penyakit campak-rubela.
Oleh sebab itu seorang anak harus diberikan imunisasi campak-rubela
ketika sudah berusia 9 bulan dan diulang pada saat anak berusia 18
bulan. Suatu infeksi dengan kadar virus yang tinggi kadang kala dapat
melampaui tingkat perlindungan dari maternal antibodi sehingga anak
dapat terserang penyakit campak-rubela pada umur 3 - 4 bulan
(biasanya terjadi pada anak gizi buruk).
Puncak dari pembentukan antibodi terjadi 21 - 28 hari setelah
pemberian vaksinasi atau setelah terinfeksi virus campak-rubela.
Untuk sebagian besar individu imunitas akan terjadi seumur hidup (life
long) begitu juga imunitas yang terbentuk akibat terserang penyakit
campak-rubela. Vaccine efficacy campak-rubela pada anak yang
mendapatkan vaksin pada usia 9 bulan sebesar > 85 %, pada anak
yang menerima vaksin campak-rubela pada usia 12 bulan sebesar >
95% dan pada anak usia 15 bulan sebesar lebih kurang 98%.
Pemberian satu dosis imunisasi rubela dapat memberikan
kekebalan serupa dengan infeksi rubela secara alamiah yaitu
diasumsikan akan bertahan seumur hidup. Kekebalan akan terbentuk
dalam waktu 21 – 28 hari setelah pemberian imunisasi rubela dengan
efikasi vaksin lebih dari 95%.
18
Untuk mendapatkan kekebalan secara optimal terhadap
penyakit campak dan rubela seorang anak harus mendapatkan
minimal 2 dosis imunisasi yang diberikan pada umur 9 bulan dan 18
bulan. Untuk memastikan setiap anak sudah mendapatkan
perlindungan terhadap penyakit campak dan rubela maka diberikan 1
dosis lagi pada saat sekolah dasar kelas 1. Sejak tahun 2017
Indonesia telah melakukan introduksi vaksin campak-rubela. yang
didahului dengan kampanye imunisasi campak-rubela dengan
sasaran anak usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun. Kampanye dan
introduksi imunisasi campak-rubela fase I dilakukan pada tahun 2017
di 6 provinsi pulau Jawa dan fase II pada tahun 2018 di 28 provinsi
luar Jawa.
Pada tahun 2020 terjadi pandemi COVID -19 di Indonesia. Hal
ini berdampak terhadap semua program kesehatan termasuk program
imunisasi. Cakupan imunisasi tidak mencapai target yang ditetapkan
termasuk cakupan campak dan rubela, sehingga akan berdampak
pada pencapaian target eliminasi campak-rubela/CRS. Upaya yang
dilakukan pemerintah untuk menjaga komitmen dalam mencapai
target tersebut, pada tahun 2022 dilakukan kegiatan imunisasi
tambahan campak – rubela dan diintegrasikan dengan kegiatan
imunisasi kejar untuk menutup kesenjangan cakupan imunitas yang
dikenal dengan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN).
19
BAB III
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
SURVEILANS CAMPAK-RUBELA
3.1. Kebijakan
1. Mencapai dan mempertahankan surveilans campak-rubela
berbasis kasus individu (Case Based Measles
Surveillance/CBMS) yang sensitif, tepat waktu dan memenuhi
indikator kinerja surveilans yang direkomendasikan;
2. Memastikan kesiapsiagaan dan respon cepat KLB campak-
rubela.
3. Memperkuat dan memperluas jejaring laboratorium campak-
rubela yang terakreditasi di seluruh wilayah provinsi di Indonesia
sehingga mempermudah akses pemeriksaan laboratorium
campak-rubela
4. Memperkuat dukungan dan kerja sama antar program dan
sektor terkait termasuk diantaranya:
a. Perencanaan dan pemantauan kemajuan program
b. Advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi
c. Mengidentifikasi dan memanfaatkan keterpaduan program
yang ada
d. Penelitian dan pengembangan.
3.2. Strategi
1. Melaksanakan surveilans demam dan ruam maculopapular untuk
penemuan kasus suspek campak;
20
2. Mencapai discarded rate campak-rubela ≥2/100.000 penduduk
yang merata di setiap kabupaten/kota setiap tahun dan
mempertahankannya;
3. Mencapai konfirmasi laboratorium terhadap kasus suspek campak
(Case Based Measles Surveillance/CBMS) 100% setiap tahun dan
mempertahankannya;
4. Memperkuat dan mengembangkan jejaring laboratorium campak-
rubela nasional dan sub-nasional yang memiliki komitmen untuk
penyediaan dana operasional secara berkesinambungan
termasuk ketersediaan reagen dan logistik lainnya;
5. Melakukan pemantauan dan identifikasi genotipe campak-rubela;
6. Melibatkan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang potensial,
termasuk fasyankes swasta seperti RS, klinik dan praktek mandiri
(dokter, bidan, perawat, mantri) dalam penemuan dan pelaporan
kasus;
7. Melakukan pemetaan kelompok berisiko tinggi terhadap campak-
rubela
21
- Ketepatan Laporan Puskesmas (MR-01) > 80%
- Kelengkapan Laporan Surveilans Aktif Rumah Sakit > 90%
- Spesimen Adekuat untuk pemeriksaan IgM > 80%
- Spesimen Adekuat untuk pemeriksaan virologi > 80%
b. KLB :
- Kelengkapan Laporan MR-KLB > 90%
- KLB dilakukan Investigasi menyeluruh (fully investigated)
100%
- KLB dilakukan investigasi < 48 jam > 80%
- KLB suspek campak yang diperiksa virologi > 80%
22
BAB IV
KEGIATAN SURVEILANS
CAMPAK-RUBELA
23
6. Melakukan diseminasi hasil analisis/informasi kepada
program terkait;
7. Mewujudkan pengambilan keputusan dengan
menggunakan data surveilans campak-rubela.
4.2. Pengertian
24
4.2.3. Eliminasi Campak-Rubela
Tidak ditemukan transmisi virus campak-rubela endemik
selama minimal 12 bulan, dengan pelaksanaan surveilans
campak-rubela yang adekuat. Verifikasi status eliminasi
diperoleh jika dapat mempertahankan zero transmission
selama minimal 36 bulan.
25
4.4. Klasifikasi Kasus
4.4.1. Kasus Campak Klinis
Suspek campak yang tidak dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan tidak mempunyai hubungan epidemiologi
dengan kasus pasti secara laboratorium, namun disertai gejala
salah satu “C” (Cough/Batuk, Coryza/Pilek, Conjunctivitis/
Mata Merah).
26
Kasus Suspek
Campak
Spesimen Spesimen
Diperiksa Tidak Diperiksa
27
4.5. Pelaksanaan Surveilans Campak dan Rubela
4.5.1. Puskesmas
a. Penemuan Kasus
● Melakukan penemuan suspek campak dengan gejala
demam dan ruam makulopapular, dilaporkan dalam waktu
1x24 jam, dan selanjutnya wajib dilakukan penyelidikan
epidemiologi dalam waktu 2x24 jam setelah suspek
ditemukan.
28
● Hasil investigasi diisi ke dalam Form investigasi kasus
suspek campak-rubela (Form MR-01) yang dibuat untuk
masing-masing suspek (form individual).
● Melibatkan peran aktif kader atau petugas desa siaga dalam
pencarian kasus suspek campak di masyakarat dan segera
melaporkan ke petugas puskesmas.
● Pada saat melakukan penyelidikan epidemiologi petugas
puskesmas juga mencari kasus tambahan lainnya dengan
menanyakan apakah ada kasus yang sama di keluarga atau
tempat lain. Jika jumlah kasus memenuhi kriteria KLB
suspek campak, maka dilakukan penanggulangan KLB
tanpa menunggu hasil laboratorium kasus suspek campak
yang telah diambil spesimen serumnya.
● Melakukan verifikasi jika ada rumor/issue di masyarakat,
media massa dan atau media sosial dalam waktu <24 jam
sejak sinyal diterima.
29
serumnya dan langsung diklasifikasikan sebagai kasus
dengan hubungan epidemiologi.
● Spesimen serum diambil maksimum sampai hari ke-28
dari tanggal ruam.
● Melakukan pengambilan spesimen urin/usap tenggorok
terhadap kasus suspek campak yang ditemukan dalam
periode 5 hari sejak onset ruam, terutama kasus dengan
gejala tambahan batuk, pilek atau conjunctivitis. Jumlah
spesimen urine/usap tenggorok yaitu minimal 1 kasus
per kab/kota/tahun (berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota).
● Pada KLB suspek campak, spesimen urin/usap
tenggorok diambil sebanyak maksimal lima (5) kasus
suspek campak yang ditemukan dalam periode lima (5)
hari sejak onset ruam, terutama kasus yang memiliki gejala
tambahan batuk, pilek atau conjunctivitis.
● Spesimen urine/usap tenggorok diambil maksimum
sampai hari ke-5 dari tanggal ruam.
30
● Pengiriman dan pengepakan spesimen serum harus
adekuat (volume minimal 0,5 cc dan suhu 2-8 ˚C sampai ke
laboratorium)
d. Pencatatan Pelaporan
● Setiap kasus suspek campak baik rutin maupun KLB dicatat
dalam Form investigasi kasus suspek campak (Form
MR-01) kemudian segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (Dinkes Kab/Kota) dengan melampirkan
Form MR-01 melalui mekanisme pelaporan yang ditentukan
(WA. Email, dsb) dan dilaporkan melalui mekanisme SKDR.
● Pastikan setiap kolom pada Form MR-01 (nomor EPID
diberikan oleh Dinkes Kab/Kota) diisi dengan lengkap dan
tepat.
31
4.5.2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Swasta (Klinik/Praktek
Dokter, Bidan, Perawat)
a. Penemuan Kasus
● Penemuan kasus suspek campak bisa berasal dari Dokter
Praktek Mandiri (DPM), bidan praktek swasta (BPS), dan
klinik/balai pengobatan swasta lainnya.
● Setiap suspek campak yang ditemukan di fasyankes swasta
harus diinformasikan ke Puskesmas di tempat fasyankes
tersebut berkedudukan (puskesmas setempat) dalam waktu
1x24 jam sejak suspek ditemukan. Informasi dapat
disampaikan melalui mekanisme pelaporan yang ditentukan
(WA, email, dsb)
● Setelah mendapatkan informasi dari fasyankes swasta
maka Puskemas segera melakukan investigasi sekaligus
pengambilan spesimen (jika fasyankes swasta tidak
melakukan pengambilan spesimen serum).
● Fasyankes swasta menginformasikan kepada kasus bahwa
akan ada petugas puskesmas yang berkunjung ke rumah
kasus untuk investigasi dan sekaligus melakukan
pengambilan spesimen.
32
● Spesimen serum diambil maksimum sampai hari ke-28
dari tanggal ruam.
● Spesimen diambil oleh Puskesmas setempat disertai Form
MR-01.
● Bila tidak diambil langsung oleh Puskesmas, spesimen
disimpan di lemari es (bukan di freezer). Suhu
dipertahankan antara 2-8˚C.
● Apabila fasyankes swasta tidak melakukan pengambilan
spesimen serum maka fasyankes swasta
menginformasikan kepada kasus bahwa akan ada petugas
puskesmas yang berkunjung ke rumah kasus untuk
pengambilan spesimen dan sekaligus melakukan
investigasi.
33
AFP dan PD3I lainnya) melalui Surat Keputusan Direktur RS. Tim
surveilans RS sebaiknya terdiri dari koordinator surveilans RS dan
contact person surveilans di setiap unit yang yang berpotensi
menemukan kasus suspek campak atau PD3I lainnya.
a. Penemuan Kasus
● Penemuan suspek campak dapat berasal dari semua unit yang
berpotensi seperti Rawat Inap, Rawat Jalan, Gawat Darurat,
NICU/PICU/ICU, dan Rekam Medis.
● Contact person di setiap unit terkait menelusuri setiap kasus
atau kematian yang disebabkan oleh bronchopneumonia,
diare, ensefalitis. dan lainnya yang merupakan salah satu
komplikasi dari penyakit campak. Jika merupakan komplikasi
dari penyakit campak maka kasus tersebut harus dicatat dan
dilaporkan sebagai kasus suspek campak.
34
c. Pencatatan dan Pelaporan
● Setiap contact person unit RS yang menemukan kasus suspek
campak segera menghubungi koordinator surveilans RS pada
hari yang sama.
● Setiap kasus suspek campak dicatat dalam Form Notifikasi
Rumah Sakit/Fasyankes Swasta untuk suspek PD3I (Form
MR-03) dan dilaporkan ke Dinkes Kab/Kota dalam waktu 1x24
jam sejak suspek ditemukan dengan melalui mekanisme
pelaporan yang ditentukan (WA. email, dsb)
● Dinkes Kab/Kota segera melakukan verifikasi dalam waktu
1x24 jam dari sejak laporan diterima.
● Tim surveilans RS melakukan rekapitulasi data suspek
campak dari Form Notifikasi Rumah Sakit/Fasyankes
Swasta untuk suspek PD3I (Form MR-03) ke dalam Form
SARS-PD3I dan dilaporkan ke Dinkes Kab/Kota setiap hari
Senin. Jika tidak ada kasus AFP dan PD3Inya, form SARS-
PD3I tetap dilaporkan pada hari Senin dengan keterangan
NIHIL (zero report).
35
yang telah dilaporkan sebelumnya. Dinkes Kab/Kota
melibatkan Puskesmas untuk melakukan SARS di RS
dalam wilayah kerjanya.
● Setiap kasus suspek campak yang ditemukan dan
dilaporkan dari RS dan fasyankes swasta segera dilaporkan
ke Dinkes Kab/Kota untuk diinformasikan ke Puskesmas
dalam waktu 1x24 jam sejak laporan diterima. Puskesmas
segera melakukan penyelidikan epidemiologi, pencarian
kasus tambahan serta pengambilan spesimen (jika
diperlukan) dalam waktu 2x24 jam sejak mendapatkan
informasi dari RS.
● Setiap sinyal/alert yang muncul dari SKDR maka dalam
waktu 1x24 jam sejak sinyal diterima Dinkes Kab/Kota
segera melakukan :
1. Verifikasi alert ke Puskesmas
2. Berkoordinasi dengan Puskesmas untuk melakukan
investigasi di lapangan.
3. Verifikasi form MR-01
● Jika ada rumor/issue di masyarakat media massa dan atau
media sosial maka Dinkes Kab/Kota melakukan verifikasi
pada sumber rumor/issue dalam waktu 1x24 jam sejak
sinyal diterima.
36
Provinsi (Dinkes Provinsi) atau ke Laboratorium
Nasional/Subnasional Campak dan Rubela (menggunakan
Form MR-04).
● Selama pengiriman spesimen ke Dinkes Provinsi atau ke
Laboratorium Nasional/Subnasional Campak dan Rubela
harus dipastikan spesimen disimpan dalam suhu antara 2-
8˚C sampai ke tempat tujuan.
37
dsb). Jika tidak ada kasus pada minggu berjalan, form MR-
02 tetap dilaporkan pada hari Selasa.
● Membuat Form MR-05 Kabupaten/Kota yang berasal dari
rekapitulasi setiap KLB suspek campak di Puskesmas.
Form MR-05 Kab/Kota dilaporkan ke Dinkes Provinsi paling
lambat hari Selasa di setiap minggunya melalui mekanisme
pelaporan yang ditentukan oleh Dinkes Provinsi (WA, email,
dsb). Jika tidak ada KLB pada minggu berjalan, form MR-05
tetap dilaporkan pada hari Selasa.
● Membuat rekap kelengkapan ketepatan laporan
Puskesmas dan RS berdasarkan absensi laporan
mingguan puskesmas dari data SKDR dan laporan
mingguan RS dari form SARS-PD3I untuk kemudian
dilaporkan ke Dinkes Provinsi paling lambat hari Selasa di
setiap minggunya melalui mekanisme pelaporan yang
ditentukan oleh Dinkes Provinsi (WA, email, dsb).
38
− Daerah dimana kelompok masyarakatnya menolak/anti
imunisasi
− Situasi pengungsian seperti pada kondisi bencana
− Komunitas imigran
● Hasil analisis dapat digunakan untuk perencanaan, advokasi
dan pengambilan keputusan untuk perbaikan program.
e. Asistensi teknis
Dinkes Kab/Kota melakukan asistensi teknis ke Puskesmas,
RS dan fasyankes swasta untuk meningkatkan kinerja
surveilans dan imunisasi, dalam bentuk pelatihan/ penyegaran/
pendampingan/on the job training.
f. Monitoring evaluasi
Dinkes Kab/Kota melakukan monitoring evaluasi terhadap
kinerja Puskesmas, RS dan fasyankes swasta untuk melihat
keberhasilan, tantangan dan capaian kinerja penyelenggaraan
surveilans dan imunisasi minimal 2x setahun.
g. Umpan balik
● Sasaran : Puskesmas, Rumah Sakit, Fasyankes swasta
● Frekuensi : Setiap bulan
● Diseminasi : Surat resmi, pertemuan, e-mail, SMS, WA,
telepon
● Isi :
− Analisis tentang situasi kasus campak-rubela (sesuai
point d)
− Absensi kelengkapan dan ketepatan laporan
Puskesmas dan Rumah Sakit
39
− Rekomendasi/saran untuk memecahkan permasalahan
yang ada.
40
d. Pencatatan dan pelaporan
● Memeriksa kelengkapan informasi atau variabel pada
laporan form MR-01 sebelum melaporkan ke Pusat. Pastikan
setiap informasi pada form MR-01 sudah diisi dengan benar.
Jika ada informasi yang kurang valid, validasikan terlebih
dahulu dengan petugas surveilans Dinkes Kab/Kota.
● Membuat laporan mingguan ke Pusat dikirim paling lambat
hari Kamis dengan melampirkan:
o Form MR-01
o Form MR-02 (List kasus suspek campak)
o Form MR-05 (Rekap KLB)
o Rekapitulasi kelengkapan dan ketepatan laporan,
berdasarkan SKDR dan laporan SARS-PD3I
● Laporan mingguan surveilans campak-rubela ke Pusat
dikirim bersama dengan laporan mingguan surveilans PD3I
lainnya.
● Laporan ke Pusat dikirim melalui email ke
epidataino@gmail.com ditembuskan ke
survpd3i.kipi@gmail.com.
41
- Lokasi pemukiman yang padat dan kumuh
- Daerah rawan gizi
- Daerah sulit dijangkau atau jauh dari pelayanan
kesehatan
- Daerah dimana kelompok masyarakatnya menolak/anti
imunisasi
- Situasi pengungsian seperti pada kondisi bencana
- Komunitas imigran
● Hasil analisis dapat digunakan untuk perencanaan, advokasi
dan pengambilan keputusan untuk perbaikan program.
● Menentukan klasifikasi risiko kabupaten/kota setiap tahun
● Hasil analisis dapat digunakan untuk perencanaan, advokasi
dan pengambilan keputusan untuk perbaikan program.
f. Asistensi Teknis
Provinsi melakukan asistensi teknis ke kab/kota untuk
meningkatkan kinerja surveilans dan imunisasi dalam bentuk
pelatihan/penyegaran/pendampingan/on the job training.
g. Monitoring Evaluasi
Provinsi melakukan monitoring evaluasi terhadap kinerja
kabupaten/kota untuk melihat keberhasilan capaian program
setiap dua (2) kali dalam satu tahun dengan cara terintegrasi
dengan program lain.
h. Umpan Balik
● Sasaran : Kabupaten/Kota
● Frekuensi : Setiap bulan
42
● Diseminasi : Surat resmi, pertemuan, e-mail, SMS, WA,
telphone
● Bentuk : Buletin bulanan surveilans.
● Isi :
- Analisis tentang situasi kasus campak-rubela (sesuai
poin d)
- Rekap data MR-02 Dinas Kesehatan Kab/Kota.
- Rekap data MR-05 Dinas Kesehatan Kab/Kota.
- Absensi kelengkapan dan ketepatan laporan rekap form
MR-02 dan form MR-05 Dinas Kesehatan Kab/Kota.
- Rekomendasi untuk memecahkan permasalahan per
kabupaten/kota.
43
● Melakukan validasi dengan Dinkes Provinsi atau dengan
Dinkes Kab/Kota terkait pencatatan dan pelaporan kasus
suspek campak-rubela.
● Melaporkan kasus campak-rubela ke WHO regional
SEARO sebagai laporan perkembangan program eliminasi
campak-rubela di Indonesia.
44
imunisasi campak-rubela, ditetapkan strategi program lebih
lanjut.
45
BAB V
KLB CAMPAK-RUBELA
DAN PENANGGULANGANNYA
46
*Hubungan epidemiologi dapat berarti terdapat kontak antara kasus-kasus
tersebut seperti satu keluarga, satu kelas, satu teman sepermainan dalam
kurun waktu empat minggu berturut-turut.
Hubungan epidemiologi yang lebih luas dapat dipertimbangkan terutama jika
cakupan imunisasi campak-rubela masih rendah.
Kasus-kasus dalam satu kelurahan atau kecamatan dapat dipertimbangkan
sebagai suatu hubungan epidemiologi
47
c. Mengambil maksimal 10 spesimen serum dan 5 spesimen urin.
Kasus suspek campak tambahan yang ditemukan dalam masa KLB
maka tidak diperlukan pengambilan spesimen dan diklasifikasikan
sebagai kasus campak/rubela hubungan epidemiologi.
48
5.6. Langkah-langkah Penyelidikan Epidemiologi
KLB
49
24 jam melalui SMS/telepon/WA/E-mail yang disertai
laporan W1.
50
5.6.5. Tatalaksana Kasus
Tata laksana kasus pada suspek campak yang dilakukan oleh
tim investigasi yang meliputi:
a. Isolasi: dapat dilakukan di rumah atau jika kasus
diharuskan mendapatkan perawatan rumah sakit (karena
komplikasi), maka isolasi dilakukan di ruangan terpisah
dan jika tersedia menggunakan ruangan bertekanan
negatif.
b. Edukasi PHBS
c. Pengobatan simtomatis kasus yang tidak komplikasi:
Beri pengobatan simtomatik seperti antipiretik untuk
menurunkan suhu tubuh kasus.
Orang tua dianjurkan untuk merawat anaknya di rumah
dan terus menyusui bagi bayi yang masih
mendapatkan ASI (Air Susu Ibu)
Beri makanan cukup gizi dan asupan cairan yang
cukup.
d. Pemberian vitamin A dosis tinggi
Pemberian vitamin A dosis tinggi pada kasus sesuai
dengan usia dan pada populasi balita berisiko sekitar
lokasi KLB
51
Tabel 4. Pemberian vitamin A
52
f. Rujuk kasus ke Rumah Sakit
Segera rujuk kasus ke rumah sakit bila menunjukan
keadaan umum memburuk, antara lain jika terdapat
salah satu gejala di bawah ini:
Anak tampak lemas
Kesadaran menurun
Nafas cepat atau susah bernafas
Diare berat yang menunjukkan gejala dehidrasi, tidak
mau minum
Nadi cepat,
Mulut merah (mukositis) dan semua makanan
dimuntahkan.
Kejang
Mata nyeri dan penglihatan kabur
53
● Jelaskan kepada orang tua kasus tentang
maksud kedatangan, gejala, bahaya dan cara
pencegahan campak-rubela (imunisasi).
● Luas wilayah yang dikunjungi seluas perkiraan
terjadinya transmisi berdasarkan kajian
epidemiologi. Jika KLB terjadi di sekolah. dan
kasus berasal dari beberapa wilayah, maka
dilakukan kunjungan di sekitar kasus tinggal
sesuai perkiraan penyebaran kasus secara
epidemiologis.
● Penentuan luas wilayah penyelidikan tergantung
berbagai faktor seperti : mobilitas, kepadatan
penduduk, dan kondisi yang membatasi wilayah.
● Semua rumah sesuai kriteria di atas harus
dikunjungi walaupun tidak ada kasus suspek
campak-rubela, untuk memastikan tidak ada
kasus yang lolos.
54
menghitung efikasi vaksin guna identifikasi
adanya masalah dalam penyelenggaraan
imunisasi.
● Tanyakan apakah ada ibu hamil trimester 1 dan
2 di wilayah terjangkit KLB (tidak termasuk
wilayah yang berisiko). Jika ada, maka spesimen
serum ibu hamil di wilayah terjangkit KLB
tersebut harus diambil dan diperiksa. Ini penting
dilakukan mengingat 50% ibu hamil yang
terinfeksi rubela tidak mempunyai gejala.
● Jadi total spesimen yang diambil saat KLB
adalah 10 spesimen serum supek campak-
rubela ditambah spesimen serum ibu hamil.
c. Pengambilan Spesimen
● Ambil 10 spesimen serum dan 5 spesimen urin
kasus (untuk lebih jelasnya lihat Bab VIII
mengenai Jejaring Kerja Laboratorium)
● Untuk selanjutnya, jika menemukan kasus
suspek campak tidak perlu diambil spesimen.
Kasus tersebut akan diklasifikasikan sebagai
kasus dengan hubungan epidemiologis.
Pengambilan spesimen kembali dapat
dilakukan setelah 2 bulan, terutama untuk
mengkonfirmasi apakah KLB masih berlangsung.
● Ambil spesimen serum ibu hamil trimester 1
dan 2 di wilayah terjangkit KLB.
55
5.6.7. Pengolahan dan Analisis Data
Setiap selesai melakukan penyelidikan epidemiologi
KLB, dilakukan pengolahan dan analisis data untuk
mengambil kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut
(untuk lebih jelasnya lihat BAB VI mengenai Pengolahan
dan Analisis Data).
56
i) Perhitungan efikasi vaksin
j) Analisis pelaksanaan penyelenggaraan imunisasi
(manajemen, logistic, cakupan)
k) Upaya yang sudah dilakukan seperti pengobatan,
pemberian vitamin A, penyuluhan maupun
pemeriksaan laboratorium.
l) Laporan respon KLB
m) Lesson learned, rekomendasi dan kesimpulan.
Rekomendasi dapat mencakup beberapa area
seperti untuk imunisasi, surveilans, laboratorium,
manajemen kasus, komunikasi risiko/
pemberdayaan masyarakat dan lainnya.
57
3) Laporan hasil investigasi yaitu form MR-01 dan
MR-06 segera dikirim ke Dinkes Kab/Kota setelah
investigasi selesai dilaksanakan.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota:
1) Data dari formulir MR-01 direkap ke dalam formulir
MR-02. Kemudian direkap kembali ke formulir
MR-05.
2) Laporan hasil investigasi (disertai dengan form
MR-01. Form MR-05 dan form MR-06) segera
dikirim ke Dinkes Provinsi setelah investigasi
selesai dilaksanakan.
3) Membuat laporan tertulis yang lengkap setelah
KLB dinyatakan berakhir (setelah 2 kali masa
inkubasi terpanjang atau rata-rata 1 bulan setelah
kasus terakhir).
Dinas Kesehatan Provinsi:
1) Data dari formulir MR-02 direkap ke formulir MR-
05.
2) Laporan hasil investigasi (disertai dengan form
MR-01, form MR-05 dan form MR-06) segera
dikirim ke Pusat (melalui Direktorat Pengelolaan
Imunisasi dan ditembuskan ke PHEOC) melalui
WA atau email .
3) Membuat laporan tertulis yang lengkap setelah
KLB dinyatakan berakhir (setelah 2 kali masa
inkubasi terpanjang atau rata-rata 1 bulan setelah
kasus terakhir).
58
5.6.10. Diseminasi informasi hasil penyelidikan
KLB
Hasil penyelidikan KLB dilaporkan kepada Kepala
Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Provinsi,
Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota) untuk
mendapatkan dukungan dalam penanggulangan dan
pengendalian KLB.
59
c. Sejak KLB ditetapkan atau ketika suatu wilayah telah
memenuhi kriteria KLB, upaya penguatan Imunisasi rutin
harus segera dilakukan dan mulai melakukan upaya
imunisasi kejar.
d. Pelaksanaan Respon Imunisasi Segera (Outbreak
Response Immunization/ORI) berdasarkan hasil kajian
epidemiologi.
e. ORI dilakukan untuk menghentikan transmisi campak
dan/atau rubela dengan cara meningkatkan kekebalan
masyarakat terhadap kedua penyakit tersebut sehingga
KLB dapat ditanggulangi.
Pemberian imunisasi Campak-Rubela pada kegiatan ORI
dilakukan tanpa memandang status imunisasi
sebelumnya, secara massal. Kegiatan ORI dilakukan
pada wilayah terjangkit dan wilayah sekitar yang berisiko
tinggi dengan kelompok usia sasaran sesuai usia tertinggi
suspek atau berdasarkan kajian epidemiologi. Target
cakupan ORI adalah minimal 95%, merata di seluruh
desa/kelurahan. Selanjutnya, bila KLB sudah dapat
ditanggulangi, harus dicapai cakupan imunisasi rutin
campak-rubela yang tinggi dan merata.
Penentuan wilayah sekitar yang berisiko tinggi dilakukan
dengan melakukan analisa terhadap kriteria wilayah,
akses terhadap layanan imunisasi, tren cakupan imunisasi
Campak-Rubela serta performa surveilans. Wilayah
sekitar yang berisiko tinggi adalah wilayah dengan kriteria
sebagai berikut:
60
Tren cakupan imunisasi rutin campak rubela, selama
3 tahun terakhir, baik dosis 1, dosis 2 maupun BIAS
kurang dari 80%
Indikator performa surveilans campak-rubela:
discarded (bukan campak-bukan rubela) rate kurang
dari 2/100.000 penduduk selama 3 tahun terakhir
Mobilisasi tinggi
Wilayah padat penduduk, kumuh, terdapat pekerja
migran, kelompok marjinal dan pengungsi yang
berdomisili, wilayah pedesaan dan sulit secara
geografis atau wilayah pemukiman baru
Status gizi dan PHBS masyarakat secara umum
kurang baik
Kegiatan pelayanan imunisasi di puskesmas atau
fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan kurang
dari 2 kali setiap minggu dan pelayanan imunisasi di
posyandu tidak dilaksanakan rutin 1 kali setiap bulan
61
Menyelenggarakan layanan imunisasi sesuai
prosedur ORI, dilaksanakan dengan membuka
layanan imunisasi di Posyandu, Puskesmas, Rumah
Sakit, Klinik, Dokter Praktik, Tempat Praktek Mandiri
Bidan (TPMB), Praktik Mandiri Perawat, pos imunisasi
lainnya di lokasi pusat desa/kelurahan yang dekat
dengan tempat tinggal masyarakat, maupun sarana
pendidikan (misalnya sarana PAUD, TK, dll).
Setelah dilakukan pemberian imunisasi, tunggu
sekitar 30 menit untuk memantau reaksi paska
imunisasi (KIPI).
Tindak lanjut dari kegiatan ORI yaitu dilaksanakannya
Rapid Convenience Assessment (RCA) guna
melakukan verifikasi cakupan, menemukan sasaran
yang belum mendapat imunisasi dan menjadwalkan
pemberian imunisasi bagi sasaran tersebut serta
menentukan corrective actions.
62
BAB VI
PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
63
5) How (Bagaimana):
Apabila masalah sudah dapat diketahui, maka tindakan selanjutnya
adalah merumuskan upaya penanggulangan dalam mengatasi
masalah tersebut yang akan direkomendasikan kepada program
imunisasi.
64
Gambar 8. Contoh Analisis Data Menurut Tempat (Spot Map)
65
Gambar 9. Contoh Analisis Data Menurut Tempat (Area Map)
66
Sedangkan untuk menggambarkan status imunisasi pada masing-masing
kelompok usia dapat menggunakan grafik batang
67
● Penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan spot map akan
membantu analisis yang akan dilakukan.
● Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan
rekapitulasi data dari format MR-01 dan MR-06 ke dalam master
table seperti tabel 1 berikut selanjutnya menghitung attack rate dan
vaksin efikasi.
Gambar 12. Contoh Tabel Bantu untuk Menghitung Attack Rate dan
Vaccine Efficacy
68
Gambar 13. Contoh Analisis Data KLB
● Analisis data KLB berupa kurva epidemi, spot map kasus, diagram
pie diagram kasus menurut kelompok umur dan status imunisasi.
Kurva epidemi sebaiknya digambarkan dengan grafik batang.
● Selanjutnya lakukan analisis kesimpulan tentang faktor risiko
terjadinya KLB dan rekomendasi tindak lanjut.
Contoh rekomendasi : Dari gambar 12. Desa yang terjangkit adalah
desa A. Terhadap desa A dilakukan penanggulangan KLB
(tatalaksana kasus dan respon imunisasi sesuai dengan cakupan
campak di daerah tersebut). Sedangkan Desa B (merah) adalah
desa yang jumlah susceptible cohort (populasi rentan) selama 5 th
terakhir mendekati jumlah sasaran (satu kohort kelahiran). Desa ini
berpotensi untuk terjadi KLB (high risk). Maka perlu dilakukan
69
imunisasi massal. Desa D dan G (kuning) dengan daerah risiko
sedang. Perlu dilakukan imunisasi selektif Desa E, F dan C (hijau),
desa dengan risiko rendah. Cakupan imunisasi campak-rubela
dipertahankan tinggi dan merata.
70
Semakin kecil proporsi kasus pada anak yang divaksinasi semakin tinggi
vaksin efikasinya.
e. Pemantauan Populasi Rentan
Populasi rentan (susceptible) atau tak terlindungi imunisasi campak-rubela
dapat dihitung secara sederhana dengan rumus :
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 = (𝐴𝐴 − 𝐵𝐵) + (15% 𝑋𝑋 𝐵𝐵)
(4) (5)
(2) (3)
(1) 15 % Tak Populasi
Cakupan Jml Tak
Tahun Jml Terbentuk Balita
Imunisasi Imunisasi
Sasaran Imunitas Rentan
Campak 1 - (2 x 1)
(1 – 3) x 15% (3 + 4)
2018 2500 75 % 625 281 906
2019 2525 80 % 631 284 915
2020 2545 80 % 509 305 814
2021 2575 85 % 386 328 714
2022 2650 75 % 662 497 1159
Jumlah Balita Rentan 2813 1695 4508
71
Gambar 15. Bagan Perhitungan Populasi yang Terbentuk Kekebalan
Campak Berdasarkan Cakupan Imunisasi
Pada bagan diatas dapat dilihat bahwa dengan cakupan imunisasi 80% maka
tingkat kekebalan pada masyarakat hanya akan terbentuk sebesar 68%.
72
BAB VII
PEMBERIAN NOMOR EPID KASUS
INDIVIDU DAN KLB
Keterangan :
● C = Inisial dari Campak
● 1–2 = Kode Provinsi
● 3–4 = Kode Kabupaten/Kota
● 5–6 = Tahun sakit
● 7–9 = Nomor urut kasus dalam 1 tahun. yang dimulai
dengan 001 setiap tahun
73
7.2. Pemberian Nomor EPID Kasus Individu KLB
Setiap KLB suspek campak diberi nomor EPID oleh
Kabupaten/Kota. Caranya adalah dengan menambahkan huruf K
dan nomor urut KLB dibelakang nomor EPID setiap kasus suspek
campak pada KLB tersebut. Pemberian nomor EPID berurutan
selama 1 tahun. Pada tahun berikutnya penomoran dimulai kembali
dari nomor satu.
Contoh : Provinsi Aceh memiliki kode provinsi 01. Kota Banda
Aceh memiliki kode kabupaten/kota 01. Jika di tahun 2023 Kota
Banda Aceh terjadi KLB suspek campak pertama dengan 5 kasus
maka penomoran EPID adalah sbb:
Kasus 1 : C-010223001/K1
Kasus 2 : C-010223002/K1
Kasus 3 : C-010223003/K1
Kasus 4 : C-010223004/K1
Kasus 5 : C-010223005/K1
74
kabupaten/kota dimana kasus/KLB pertama kali ditemukan.
Penyelidikan dan penanggulangan dilakukan secara bersama-sama
oleh kabupaten/kota terjangkit.
75
BAB VIII
JEJARING KERJA LABORATORIUM
76
4) Partisipasi dalam penilaian kualitas dan program akreditasi WHO
Laboratorium berpartisipasi dalam pengujian profisiensi tahunan
melalui teknik tertentu dan dievaluasi secara tahunan melalui
program akreditasi WHO. Semua laboratorium harus merujuk
sampel untuk pengujian konfirmasi yaitu dengan mengirimkan
beberapa persentase sampel ke laboratorium jaringan di tingkat
yang lebih tinggi.
77
8.2.1. Pengambilan Spesimen
Untuk mendapatkan spesimen yang adekuat maka pengambilan
spesimen harus dilakukan dengan cara yang tepat dan
menggunakan peralatan yang tepat.
A. Persiapan peralatan pengambilan spesimen
a. Dokumen
- Formulir MR-01
b. Peralatan Pelindung diri (APD)
- Jas lab
- Sarung tangan
- Masker
- Kantong biohazard
- Desinfektan (alkohol 70%)
c. Peralatan Pengambilan Spesimen
Darah/Serum
- Spuit disposable 3 mL atau 5 mL atau sistem
vaccutainer set (tutup merah atau kuning)
- Wing needle (jika diperlukan)
- Kapas alkohol 70%
- Kapas Kering
- Vial 1.8 ml atau tabung
Urin
- Kontainer steril spesimen urine (air kemih)
Usap Tenggorok
- Parafilm
- Virus transpor media (Hanks BSS atau sejenisnya)
- Dacron swab
- Label specimen
78
d. Peralatan Pengiriman Spesimen
- Ice pack
- Cool box
- Label pengiriman
- Plastik klip
- Gunting
- Alat tulis
- Tisu
79
16.a 16.b
Gambar 16. Pengambilan Spesimen Darah
16. a menggunakan spuit/jarum suntik
16. b menggunakan vaccutainer set
80
● Dilarang mengirimkan spesimen dalam bentuk
darah utuh (whole blood)
● Isi formulir MR-01 sesuai data kasus disertai surat
pengantar
● Tiga tanggal yang penting yang perlu dilengkapi
- Tanggal imunisasi campak-rubela terakhir
- Tanggal timbulnya ruam (kemerahan)
- Tanggal pengambilan sampel
81
Gambar 167. Pengambilan Spesimen Urine
82
Swab
diusapkan
pada bagian
belakang
pharinx
83
Gambar 20. Cara Mematahkan Plastik Swab Tenggorok
84
Gambar 22. Cara Membungkus Spesimen
85
5) Tutup cool box dengan selotip dan beri label pada sisi kanan dan
atau kiri cool box, yang ditujukan ke laboratorium rujukan.
DILARANG:
- Mengirim spesimen menggunakan syringe;
- Mengirim spesimen dalam bentuk whole blood;
- Mengirim spesimen tanpa ditutup rapat (sebaiknya gunakan wadah tutup
ulir);
- Mengirim spesimen tanpa data-data yang lengkap.
Spesimen adekuat untuk virologi adalah urin atau usap tenggorok (dalam VTM)
yang diambil dalam rentang waktu 0-5 hari setelah onset ruam dan diterima di
laboratorium dalam kondisi dingin dengan rentang waktu 5 hari sejak
pengambilan.
86
optimal dalam waktu 4 - 28 hari timbulnya rash (ruam). Pada
72 jam pertama rash, sekitar 30% sampel hasilnya akan
menghasilkan negatif palsu. Kasus suspek campak dengan
hasil IgM positif namun dengan riwayat imunisasi MR atau
MMR dalam 6 minggu onset ruam perlu diperhatikan bukan
sebagai kasus campak namun karena efek vaksin. Oleh
sebab itu penting untuk mencantumkan tanggal mulainya
rash (ruam) dan tanggal pengambilan spesimen darah untuk
interpretasi hasil dan juga data riwayat imunisasi melakukan
interpretasi hasil pemeriksaan.
Teknik serologis tidak dapat membedakan antara
respon imun terhadap infeksi alami dan imunisasi, ini hanya
dapat dicapai dengan isolasi dan karakterisasi virus. Oleh
karena itu disarankan itu kasus IgM-positif dengan riwayat
campak dan / atau vaksinasi rubela dalam 1 sampai 6 minggu
sebelum onset ruam dapat dibuang setelah epidemiologi
menyeluruh investigasi dan tidak ada bukti yang ditemukan
dari kasus lain yang dikonfirmasi di sekitarnya atau tautan
epidemiologi untuk kasus yang dikonfirmasi di tempat lain.
Interpretasi hasil laboratorium dari pemeriksaan serologi dari
kasus dapat dilihat pada tabel 5.
Hasil
Agen Laborato Interpretasi Laboratoris Interpretasi Klinis
rium
Terdapat IgM Campak di Kasus konfirmasi
Positif
dalam serum kasus terinfeksi Campak
Campak
Tidak Terdapat IgM Campak Kasus tidak terinfeksi
Negatif
di dalam serum kasus Campak
87
Kemungkinan terdapat IgM Kasus dikategorikan
Equivoka/
Campak di dalam serum sebagai konfirmasi
Borderline
kasus dengan kadar rendah terinfeksi Campak.
Terdapat IgM Rubela di Kasus konfirmasi
Positif
dalam serum kasus terinfeksi Rubela
Tidak Terdapat IgM Rubela Kasus tidak terinfeksi
Negatif
Rubela di dalam serum kasus Rubela
Kemungkinan terdapat IgM Kasus dikategorikan
Equivoka/
Rubela di dalam serum sebagai konfirmasi
Borderline
kasus dengan kadar rendah terinfeksi Rubela.
88
Tabel 6. Interpretasi Hasil Virologi Kasus Campak dan Rubela
Hasil
Agen Interpretasi Laboratoris Interpretasi Klinis
Laboratorium
Spesimen mengandung
Kasus konfirmasi
Positif substansi genetik virus
terinfeksi Campak
Campak
Campak
Spesimen tidak mengandung
Kasus tidak
Negatif substansi genetik virus
terinfeksi Campak
Campak
Spesimen mengandung Kasus konfirmasi
Positif
substansi genetik virus Rubela terinfeksi Rubela
Rubela
Spesimen tidak mengandung Kasus tidak
Negatif
substansi genetik virus Rubela terinfeksi Rubela
89
d. Discarded : Jika kurang dari dua sampel positif campak atau
rubela. Kasus diperlakukan sebagai kasus sporadis.
Jumlah IgM
Jumlah IgM Positif
Positif Kesimpulan
Campak
Rubela
≥2 <2 KLB Campak
<2 ≥2 KLB Rubela
≥2 ≥2 KLB Campuran
<2 <2 Discarded
90
- Mengirimkan 50 spesimen atau 10% dari jumlah kasus di tiga
(3) bulan awal ke Laboratorium Nasional Campak-Rubela/CRS
untuk konfirmasi dengan nilai minimal 90%;
- Apabila telah dinyatakan layak dan mampu, laboratorium
diwajibkan untuk:
Mengikuti program EQA PT Panel yang diselenggarakan
oleh Laboratorium Nasional Campak-Rubela/CRS setiap
tahun;
Mengirimkan sebanyak 25 spesimen campak-rubela dalam
2 kali/tahun ke Laboratorium Nasional Campak-Rubela/
CRS untuk dilakukan konfirmasi;
Berpartisipasi dalam kegiatan audit internal tahunan
91
8.7. Laboratorium Nasional dan Wilayah
Pelayanan Pemeriksaan Spesimen Campak-
Rubela
Tabel 8. Laboratorium Nasional dan Wilayah Pelayanan Pemeriksaan
Spesimen Campak-Rubela
92
Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) 1. Jawa Tengah
Yogyakarta 2. Yogyakarta
Jl. Ngadinegaran MJ III/62, Yogyakarta
Telp : +62 274 378187 Fax : +62 274 381582
Email: labkesjogja@gmail.com
woro8121968@gmail.com
93
1. Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi: I / TT / NNN / SR
● I : Inisial laboratorium pemeriksa spesimen (B:PT.Biofarma.
J:Litbangkes. S:BBLK Surabaya. Y: BLK Yogyakarta. P:BBLK
Palembang. L:BBLK Jakarta. M:BBLK Makassar).
● TT : Tahun penerimaan spesimen.
● NNN : No urut spesimen pada jenis pemeriksaan serologi.
● SR : Pemeriksaan serologi.
2. Spesimen urin untuk pemeriksaan isolasi virus: I / TT / NNN / UR
● I : Inisial laboratorium pemeriksa spesimen (B:PT.Biofarma.
J:Litbangkes. S:BBLK Surabaya. Y: BLK Yogyakarta. P:BBLK
Palembang. L:BBLK Jakarta. M:BBLK Makassar).
● TT : Tahun penerimaan spesimen.
● NNN : No urut spesimen Urin pada jenis pemeriksaan virologi.
● UR : Pemeriksaan isolasi virus dengan spesimen urin.
3. Spesimen Usap Tenggorok untuk pemeriksaan isolasi virus: I / TT
/ NNN / TS
● I : Inisial laboratorium pemeriksa spesimen (B:PT.Biofarma.
J:Litbangkes. S:BBLK Surabaya. Y: BLK Yogyakarta. P:BBLK
Palembang. L:BBLK Jakarta. M:BBLK Makassar).
● TT : Tahun penerimaan spesimen.
● NNN : No urut spesimen Usap Tenggorok pada jenis
pemeriksaan virologi
● TS : Pemeriksaan isolasi virus dengan specimen usap
tenggorok.
94
BAB IX
LOGISTIK SURVEILANS
CAMPAK-RUBELA
95
6) Vial Ukuran 1.5 - 2 ml atau Tabung Penampung
(Terbuat dari Palstik dan bertutup Ulir)
7) Label Tabung
8) Marker / Pulpen OHP
9) Plastik Biohazard
96
5) Plastik Pembungkus Formulir MR01
6) Gunting
7) Alat Tulis
8) Tisu
97
10. Petunjuk Instruksi
11. Sertifikat Quality Control
2 ELISA Kit Euroimmun cat. EI 2590-9601-2 M Kit 96 test
Rubella Anti-Rubella Virus Glycoprotein
ELISA (IgM) yang terdiri dari :
1. Microplate Well
2. Calibrator
3. Positif Kontrol
4. Negatif Kontrol
5. Enzym Konjugat
6. Sampel Buffer
7. Wash Buffer
8. Kromogen/Substrat Solution
9. Stop Solution
10. Petunjuk Instruksi
11. Sertifikat Quality Control
3 Yellow Tips Kemasan Tray/Kotak : 96 Tips Box (10 1 Tray : 96
Ukuran 10 s.d. 200 ul Tray) Tips
Low Retention Recommended
4 Blue Tips Kemasan Tray/Kotak : 96 Tips Box (10 1 Tray : 80
Ukuran 250 s.d. 1000 ul Tray) Tips
Low Resistant Recommended
5 Microtiter Kemasan Tray/Kotak : 96 Tips Box (10 1 Tray : 96
Tube Ukuran Volume 1.2 ml Tray) Tips
6 Whatman Kemasan kotak pack 1 pack:
903 Protein 100 card
saver Snap
apart Card
PEMERIKSAAN KULTUR / MOLEKULER
1 DMEM Bottle (500ml) Botol Botol 500
ml
2 Hepes Buffer Bottle (100ml) Botol Botol 100
Solution (1M) ml
3 Fungizone Bottle (20ml) Botol Botol 20
ml
98
4 Penicllin- Bottle (100ml) Botol Botol 100
Streptomycin ml
5 Trypsin- Bottle (100ml) Botol Botol 100
EDTA 2.5% ml
6 Geneticin Bottle (20ml) Botol Botol 20
ml
7 Flask 25 360/case 1 case:
260 pieces
8 Flask 75 100/case 1 case:
100 pieces
9 One Step kit (100Rxns) kit 1 kit: 100
PCR Kit 100 x 50 µl reaksi: reaksi
Enzyme Mix (1 x 200 µl).
5x OneStep RT-PCR Buffer (1 x 1
ml).
dNTP Mix (1 x 200 µl. 10 mM
each).
5x Q-Solution (1 x 2 ml).
RNase-Free Water (2 x 1.9 ml)
10 Superscrift III 1 kit terdiri dari: kit 1 kit: 100
qRT-PCR • 100 µl SuperScript® reaksi
One Step III/Platinum® Taq Mix
• 2 × 1.25 ml 2X Reaction Mix
• 1 ml Magnesium Sulfate (50 mM)
• 100 µl ROX Reference Dye (25
µM)
11 Primer set
measles (gel
base)
12 Primer set
rubella (gel
base)
13 Primer-Probe set
Rubella
99
14 Aerosol Kemasan Tray/Kotak : 96 Tips Box (10 1 Tray : 96
barier Tips Ukuran 1000 ul Tray) Tips
1000ul
15 Aerosol Kemasan Tray/Kotak : 96 Tips Box (10 1 Tray : 96
barier Tips Ukuran 200 ul Tray) Tips
200ul
100
23 POP-7™ 1 botol untuk 384 sampel Botol 1 botol:
Polymer for 384
3500/3500xl sampel
Genetic
Analyzers
101
BAB X
KOMUNIKASI RISIKO DALAM
KEGIATAN SURVEILANS DAN
RESPON KLB CAMPAK
102
campak-rubela, cara penularan,
pencegahan dan penanganannya.
Terdapat informasi yang valid terkait
pentingnya investigasi kasus untuk
memutus rantai penularan dan memberikan
upaya medis yang sesuai.
Perilaku Adanya panduan untuk upaya pencegahan
terjadinya penularan/infeksi campak-rubela
Adanya panduan/informasi terkait
bagaimana masyrakat bisa mengakses
layanan seperti layanan untuk Imunisasi,
vitamin A dan pelaporan kasus.
Lingkungan sosial Memastikan tidak adanya stigma bagi para
penderita penyakit campak/rubella.
Bagaimana mengkomunikasikan terkait
dampak campak-rubela bagi Kesehatan
individu maupun masyarakat
Bagaimana mengkomunikasikan kepada
masyarakat untuk memiliki kepedulian
terhadap sekitarnya misalnya jika ada anak
yang belum mendapatkan Imunisasi
lengkap, anak sakit atau adanya kelompok
yang masih menolak Imunisasi.
103
Para akademisi
Kelompok swasta
104
Tabel 11. Kelompok Rentan
Kelompok Rentan
1. Anak-anak dan remaja
2. Lanjut usia
3. Orang dengan komplikasi
4. Ibu hamil
5. Kelompok minoritas (etnik minoritas)
6. Kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil
7. Kelompok yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (homeless)
8. Penyintas GBV (Gender-based violence)
9. Kelompok yang tinggal di panti sosial dan Lembaga pemasyarakatan
10. Masyarakat yang tinggal di daerah padat dan kumuh
11. Orang dengan disabilitas
12. Orang dengan gangguan Kesehatan jiwa
13. Kelompok pengungsi atau migran
105
DAFTAR PUSTAKA
106
Lampiran 1. Formulir MR 01
Lampiran 1. Formulir MR 01
107
108
Lampiran 2. Formulir MR 02
109
Lampiran 3. Formulir MR 03
110
Lampiran 4. Formulir MR 04
111
Lampiran 5. Formulir MR 05
112
Lampiran 6. Formulir MR 06
Form MR-06
113
Form MR-06
Manajemen Vaksin dan Rantai Vaksin
Apakah suhu lemari es dicatat 2 x sehari pada Ya / Tidak
kartu suhu
setiap hari? (Lihat kartu suhu)
Apakah temperatur di lemari es memenuhi Ya / Tidak
syarat penyimpanan vaksin (2 s/d 8 derajat Suhu saat
celsius) pada Kunjungan ………ºC
saat kunjungan?
Apakah dijumpai vaksin sisa yang terbuka Ya / Tidak
(pelayanan dari komponen statis) atau vaksin Jika Ya, Jenis vaksin
yang susah dilarutkan (Co: BCG dan Campak- …………….
Rubella) melebihi waktu yang Berapa vial
ditentukan? …………………..
Apakah di dalam lemari es ada vaksin yang Ya / Tidak
disusun/disimpan tidak sesuai ketentuan
(Seharusnya: vaksin sensitif beku jauh dari
evaporator dan vaksin sensitif
panas dekat dengan evaporator)?
Apakah ditemukan vaksin dengan Vaccine Vial Ya / Tidak
Monitor Jika Ya, Berapa vial?
(VVM) dengan kriteria C dan/atau D? ……………….
Apakah vaksin dan logistik lainnya tersedia?
Sebutkan logistik yang tidak tersedia dan sejak
kapan?
Pemantauan dan Evaluasi Imunisasi
Apakah Puskesmas membuat analisa PWS
(Pemantauan Wilayah Setempat) yang juga
dikaitkan dengan situasi
penyakit PD3I? (lihat grafik atau spot map)
Apakah sudah dibuat pemetaan desa/kel
risiko tinggi campak / rubella dan
strategi tindak lanjutnya?
Desa resiko tinggi campak / rubella:
kelurahan/desa dengan cakupan imunisasi rutin
campak – rubella <80% selama 3 tahun
berturut-turut atau pernah terjadi KLB Campak/
Rubella pada tahun sebelumnya atau
endemis
Campak/ Rubella.
114
Form MR-06
Faktor Risiko Lainnya
Apakah desa terjangkit mudah dijangkau dari fasilitas
pelayanan kesehatan ?, Jelaskan
Apakah penduduknya padat ? Ya/tidak
Identifikasi faktor sosial lainnya yang berpengaruh
terhadap pelaksanaan imunisasi.
Bagaimana kondisi status gizi masyarakat secara umum ? Baik / Tidak
Baik
Manajemen Kontak
Identifikasi semua orang yang berhubungan (kontak) dengan suspek campak
pada kejadian KLB tersebut selama ia pada fase menular (7 hari sebelum dan
7 hari setelah timbulnya ruam); Yang termasuk dalam kategori kontak kasus
adalah: tinggal satu rumah / asrama, tetangga / kerabat / pengasuh, teman
kelas / bermain / guru, teman kerja, petugas kesehatan, yang merawat kasus.
Catat kontak tersebut pada tabel di bawah ini, tentukan apakah mereka
sedang sakit atau tidak dan apabila ada kontak yang sedang hamil, pastikan
informasi status kehamilan harus diperoleh.
Berapa kali
Kategori pernah
Umur Kondisi
Kontak Imunisasi
No Nama (Tahun) Alamat saat itu
Kasus campak -
rubella
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
115
Lampiran
Lampiran 7. Format
7. Format Pelaporan
Pelaporan Surveilans
Surveilans Aktif RSAktif
(FormRS (Form SARS-PD3I
SARS-PD3I)
116