You are on page 1of 26

ISLAM INDONESIA DAN DIPLOMASI SOFT POWER

(Studi Kasus Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah)

Oleh:
Ketua:
Abid Rohman, S.Ag, M.Pd.I
Anggota Peneliti:
Eva Putriya Hasanah, Fhananda Fabryzio Al Rifqi, Fahma Safin Alhusna

Abstract
This research aims to understand the strategy of Nahdatul Ulama
(NU) and Muhammadiyah in disseminating Islam Indonesia and how the
value of Islam Indonesia becomes the source of Indonesia‟s soft power.
This research conducts a qualitative-descriptive approach. The researchers
found that both mass organizations have been actively participated in
Indonesian diplomacy through dialog-based diplomacy. This new variant
of public diplomacy is crucial due to its people-to-people approach in
connecting the different perspective Islam-Western. NU and
Muhammadiyah along with the Indonesian government have conducted
interfaith dialogue in both Muslim and non-Muslim countries. Other
strategy is by holding international conference among Islamic scholars.
Muhammadiyah has their own conferences focused on interfaith dialogue
as well as Muhammadiyah studies. nevertheless, both organizations
prioritize the synchronization of vision in resolving global conflicts. Islam
Indonesia becomes the source of Indonesia‟s soft power through interfaith
dialogue activities, as well as the papers and books written by Indonesian
ulama‟, scholarships, and arts. Despite the influence are limited in scope, it
is undeniable that NU and Muhammadiyah are vital non-state actors who
embrace the value of Islam Indonesia in Indonesia‟s soft power diplomacy.
Keywords: Islam Indonesia, diplomacy, soft power, Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah

Latar Belakang Masalah


Di tataran hubungan internasional, interaksi antar suatu negara dengan
negara yang lain sangat dipengaruhi oleh cara/metode yang diambil. Diplomasi
adalah salah satu cara/metode yang diambil untuk meraih kepentingan nasional
suatu negara. Secara umum, kajian diplomasi sering dikaitkan dengan proses,
aktivitas, dan negosiasi yang dilakukan dengan cara damai oleh suatu negara

1
dalam menjalin hubungannya dengan negara lain1. Kepentingan nasional negara
yang berbeda-beda dapat diidentifikasi dan sebaliknya kepentingan negara yang
sama dapat difasilitasi sehingga muncul kerjasama.2 Namun dalam
perkembangannya, diplomasi tidak hanya berbicara seputar negosiasi politik dan
pengiriman wakil tetap diplomatik. Praktik diplomasi menjadi sangat bervariasi,
baik dari aktor, sumber, instrumen, isu, maupun hasil yang dicapai.
Keberhasilan suatu negara melaksanakan diplomasi tergantung pada
sumber kekuatan atau pengaruh yang dimiliki negara tersebut. Kekuatan atau
pengaruh tersebut dapat dibagi menjadi hard power dan soft power. Strategi
diplomasi yang sempurna adalah dengan menggabungkan pengaruh hard power
dan soft power. Sejatinya, apabila dibandingkan, unsur hard power relatif lebih
mudah untuk diidentifikasi dan diukur, sementara soft power memiliki sifat yang
lebih susah dikontrol dan diprediksi3. Tetapi bila suatu negara dapat memaknai
dan mengimplementasikan dengan baik, maka soft power akan menjadi satu
sumber kekuatan atau pengaruh yang sangat berkarakter.
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak sumber kekuatan atau
pengaruh yang bisa menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya negara
berpenduduk terbanyak ke-4 dan berwilayah terluas ke-5 di dunia, Indonesia juga
merupakan negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, sekaligus negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dua fakta terakhir tersebut menegaskan
bahwa Indonesia memiliki elemen soft power yang layak dijadikan sebagai
sumber kekuatan atau pengaruh, termasuk nilai Islam Indonesia yang
kemunculannya masih mengandung pro dan kontra di kalangan luas.
Islam Indonesia adalah nilai-nilai ke-Islaman berkarakter khas Indonesia:
memiliki warna Islam universal, namun pada saat yang bersamaan tetap memiliki

1
Kajian dan referensi lanjut mengenai definisi, makna, dan sejarah diplomasi dapat ditemukan
pada tulisan S.L. Roy, Diplomasi (1991); Joseph Nye Jr, Soft Power: The Mean to Success in
World Politics (2004); G.R Berridge, Diplomacy Theory and Practice (2010); dan Barston,
Modern Diplomacy (2006)
2
Sartika Soesilowati, “Diplomasi Soft Power Indonesia melalui Atase Pendidikan dan
Kebudayaan”, dalam Jurnal Global dan Strategis, Th.9,No.2, 295
3
Fan, Ying. “Soft Power: Power of Attraction or Confusion”, dalam Place Branding and Public
Diplomacy, No.48 Vol.2, 147

2
distingsi unik yaitu mengakui lokalitas4. Akarnya tak terlepas dari peran sejarah
Nahdatul Ulama‟ (NU) dan Muhammadiyah. Sejarah perkembangan Islam di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dua organisasi Islam tersebut. NU
melahirkan konsep Islam Nusantara, sedangkan Muhammadiyah memunculkan
konsep Islam Berkemajuan. Perpaduan kedua konsep di atas membentuk Islam
Indonesia yang sangat kompatibel dengan nasionalisme, demokrasi dan kemajuan.
Konsep Islam Nusantara mendapat perhatian intens dari publik setelah
diangkat menjadi tema dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada
bulan Agustus 2015 lalu. Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, menegaskan
bahwa Islam Nusantara adalah wujud Islam yang santun, ramah, beradab dan
berbudaya. Meski konsep ini masih sebatas wacana, para intelektual NU
berasumsi kuat bahwa konsep Islam Nusantara adalah konsep dakwah Islam
paling ideal dibanding Islam Timur Tengah. Nilai-nilai „pertengahan‟ dalam Islam
Nusantara sudah lama diterapkan di Indonesia bahkan sejak zaman Wali Songo di
Jawa5.
Muhammadiyah hadir menawarkan konsepnya yang berjudul Indonesia
Berkemajuan. Konsep ini dikukuhkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di
Makassar. Din Syamsuddin menyatakan bahwa “Islam Berkemajuan” berjalan
beriringan dengan konsep negara Indonesia, yakni “memajukan kesejahteraan
umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 19456. Konsep ini, selain berlandaskan Al-Quran dan Hadits,
mempunyai relevansi bahkan urgensi dengan realitas kehidupan umat Islam yang
belum menunjukkan cita kemajuan.
Kedua konsep ini tidak hanya dihidupkan di kalangan masing-masing
organisasi dan pengikutnya, tetapi juga mulai direspon positif oleh pemerintah
dan diasumsikan sebagai sumberdaya (resources) yang berpotensi menjadi
kekuatan atau pengaruh Indonesia di kancah global. Pemerintah Indonesia

4
“Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, Dari Indonesia Untuk Dunia”, Lihat di
http://presidenri.go.id/internasional/islam-nusantara-dan-islam-berkemajuan-dari-indonesia-untuk-
dunia.html. Diakses pada 2 Agustus 2017
5
Azyumardi Azra. “Islam Nusantara: Islam Indonesia (2)”, Lihat di http://www.republika.co.id
/berita/kolom/resonansi/15/06/25/islam-nusantara-islam-indonesia-2. Diakses pada 30 Juli 2017
6
“Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan”, Ibid.

3
memiliki kesadaran dan komitmen tinggi untuk menjadikan Islam Indonesia
sebagai salah satu bentuk diplomasi Indonesia di luar negeri.
Dari penjelasan di atas, peneliti berasumsi bahwa nilai-nilai “Islam
Indonesia” yang menaungi konsep “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”
merupakan salah satu potensi soft power yang berkarakter khas Indonesia. Oleh
karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana kedua organisasi
menyebarluaskan konsepnya masing-masing, tidak hanya ke pengikutnya, tetapi
juga ke pemerintah dan masyarakat luas. Selanjutnya, peneliti juga ingin
mengetahui bagaimana kedua konsep tersebut dapat diramu menjadi Islam
Indonesia dan diimplementasikan sebagai soft power Indonesia.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Penelitian ini
akan memaparkan strategi penyebarluasan konsep Islam Indonesia, yang mana
meliputi konsep Islam Nusantara oleh NU dan Islam Berkemajuan oleh
Muhammadiyah. Kedua organisasi Islam ini pantas menjadi cerminan umat
muslim di Indonesia karena merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia,
telah berkontribusi bagi kemajuan Indonesia sejak jaman perjuangan RI, dan
melahirkan gagasan baru terkait nilai Islam dan kebangsaan nilai yang diusung
masing-masing.

Diplomasi “Soft Power”


Menurut Barston, diplomasi terkait erat dengan pengaturan hubungan
antara satu negara dan negara lainnya, maupun aktor internasional lainnya. Dari
perspektif negara, diplomasi berhubungan dengan kegiatan memberi masukan,
membentuk, dan melaksanakan kebijakan luar negeri.7 Diplomasi juga berarti
metode/cara yang dipakai aktor negara atau perwakilannya dan aktor lainnya
dalam mengartikulasikan, mengkoordinasikan, dan melindungi kepentingan
bersama yang lebih besar, menggunakan korespondensi, pembicaraan tertutup,
saling menukar pandangan, lobi, kunjungan, ancaman dan kegiatan lainnya.

7
R.P. Barston. Modern Diplomacy, (New York: Routledge, 2006), 3

4
Seiring berkembangnya hubungan antarnegara yang semakin kompleks,
maka penerapan diplomasi pun semakin bervariasi. Dari segi aktor pelaksana,
diplomasi tidak hanya dilakukan oleh elit pejabat negara tetapi juga
individu/tokoh, organisasi, komunitas hingga masyarakat luas. Diplomasi ini
dikenal dengan sebutan multitrack diplomacy. Menurut Diamond dan McDonald,
multitrack diplomacy merupakan diplomasi yang memadukan diplomasi jalur
pemerintah, jalur kelompok, dan jalur individu. Tujuan multitrack diplomacy
adalah untuk mendorong lahirnya perdamaian dunia yang terintegrasi satu sama
lain dengan menggunakan soft power.8 Salah satu syarat penting dalam penerapan
multitrack diplomacy adalah adanya keterlibatan aktif dari publik, termasuk dari
tokoh dan organisasi massa keagamaan. Dalam penelitian ini, tokoh dan
organisasi yang dimaksud adalah NU dan Muhammadiyah.
Joseph Nye Jr. menyatakan bahwa soft power adalah “getting others to
want the outcomes that you want without inducements (“carrots”) or threats
(“sticks”).9 Soft power ini sendiri melengkapai dua dimensi hard power suatu
negara yakni militer (”carrots”) dan tekanan ekonomi (“sticks”) dimana soft
power menjadi cara ataupun perilaku ketiga untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan, tanpa paksaan maupun iming-iming. Adapun tiga sumber utama
dalam soft power yakni, daya tarik budayanya, nilai politik dan kebijakan luar
negerinya. Soft power bergantung pada kemampuan membentuk kesukaan
(preferences) satu pihak. Kemampuan untuk membentuk kesukaan (preferensi) ini
seringkali dikaitkan dengan aset yang intangible seperti pribadi yang menarik,
budaya, institusi dan nilai politik, dan kebijakan yang dianut.

Diplomasi Islam Indonesia dalam Perspektif NU


Cerminan Islam Indonesia sejatinya dapat ditemui dalam konsep yang
diusung NU (Islam Nusantara) dan Muhammadiyah (Islam Berkemajuan). Fakta
bahwa kedua organisasi telah berkontribusi besar dalam membangun Republik
Indonesia sejak jaman perjuangan adalah hal tidak dipungkiri lagi.

8
Diamond and McDonald (1991) dalam Sartika Soesilowati. “Diplomasi Soft Power”, Ibid, 297
9
Joseph Nye Jr, Ibid, 7

5
Peran sejarah inilah yang membentuk identitas Islam Indonesia. Islam dan
Nasionalisme Indonesia adalah elemen yang tidak bisa dibahas scara terpisah.
Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, namun tidak serta-merta
membuat Indonesia menjadi Negara Islam. Pemikiran bahwa bangsa ini dibangun
dan didirikan oleh berbagai kelompok golongan dari Sabang-Merauke menjadikan
Indonesia tetap teguh terhadap Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.10
 Komite Hijaz
Dalam catatan sejarah, interaksi NU dengan organisasi atau masyarakat
antar-peradaban sudah dirintis bahkan sejak kelahirannya, atau tepatnya saat
Komite Hijaz dibentuk oleh KH Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1926.
Komite yang menjadi cikal bakal kelahiran organisasi Nahdatul Ulama ini
dibentuk sebagai respon atas keputusan Raja Ibnu Sa‟ud dari Najed dengan
paham Wahabi yang melarang madzhab berkembang di Hijaz. Sentimen anti-
madzhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan
budaya yang berkembang di dunia Islam, termasuk penghancuran artefak
sejarah, menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.
Padahal, kebebasan bermadzhab telah berlangsung lama sehingga Hijaz
menjadi salah satu tempat menimba ilmu dari umat Islam di dunia.11
Dalam Kongres Al-Islam ke-IV bulan Agustus 1925 di Yogyakarta, Kiai
Wahab menyampaikan bahwa delegasi yang dikirim ke Muktamar Islam di
Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa‟ud untuk mempertahankan dan
melindungi kebebasan bermadzhab. Perjuangan tersebut menunjukkan bahwa
ulama pesantren tidak hanya melakukan perjuangan di tingkat lokal, tetapi
juga dalam skala internasional dengan melakukan upaya diplomasi global.12
 International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
Di tahun 2003, NU mengundang para ulama dan pemikir dari luar
negeri untuk datang ke Indonesia untuk berkumpul persepsi dan bersama-

10
“Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan”, Ibid.
11
Fathoni Ahmad. 2017. Risalah Komite Hijaz Kepada Raja Saud. Lihat di
http://www.nu.or.id/post/read/77439/ risalah-komite-hijaz-kepada-raja-saud. Diakses pada 31 Juli
2017.
12
ibid

6
sama mencari solusi konflik global. Forum ini dinamakan International
Conference of Islamic Scholars atau ICIS. Banyaknya konflik dan kekerasan
terkait agama, termasuk terorisme, yang terjadi di berbagai tempat di
Indonesia maupun luar negeri, menyadarkan NU sebagai organisasi massa
Islam terbesar di Indonesia untuk mengambil peran bersama-sama dengan
pemerintah untuk meredamkan konflik-konflik di dalam negeri. Mengingat
terorisme menyebarkan doktrin yang dapat meracuni masyarakat dengan
ketakutan, maka NU melakukan pembentukan opini kontraterorisme dengan
berkeliling ke seluruh warga NU dan masyarakat umum. Prinsip ajaran
moderat (tawashut) dalam NU secara berkelanjutan terus dipromosikan
sebagai bagian dari pelurusan persepsi salah yang beredar di masyarakat
global tentang Islam dan terorisme. Ajaran moderat (tawashut) menegaskan
bahwa terorisme tidak dianggap bagian dari agama, tetapi justru bagian yang
merusak agama. Karena itu, para ulama NU diundang ke berbagai negara dan
menyampaikan pandangannya mengenai konsep Islam moderat kepada dunia.
Moderasi pemikiran Islam dan aspek kebangsaan Indonesia harus
dipromosikan keluar negeri, sehingga bisa meng-Indonesia-kan luar negeri,
bukan me-luar negeri-kan Indonesia.13
Prinsip pemikiran ICIS adalah penggiatan pemikiran moderat dan
kebangsaan. ICIS diharapkan dapat “bersaing” dengan kelompok-kelompok
yang menghimpit moderasi yakni kelompok liberal dan kelompok ekstrim.
Moderasi yang dimaksud adalah keseimbangan antara keimanan dan
toleransi, sementara liberal, toleransi mereduksikan iman, sementara yang
ekstrim tidak memberi ruang toleransi.14 ICIS harus memposisikan dirinya di
garis moderat serta diterima oleh Barat maupun Timur. Di level internasional,
posisi ICIS sejajar dengan WCRP, OKI, Liga Arab dan lainnya. Para ulama
sepakat untuk memperkuat ICIS sebagai saluran jenjang pengkaderan
pemikiran-pemikiran generasi muda untuk berpikir global. Meski begitu,
konferensi ini bersifat people-to-people karena sering terjadi perbedaan antara

13
Ibid.
14
Ibid.

7
aspirasi rakyat dengan pemerintah, sehingga dalam konteks kehadiran peserta
konferensi ini berbeda dengan OKI.
 International Summit of Moderat Islamic Leaders (ISOMIL)
Di bawah kepemimpinan Prof. KH. Saiq Aqil Sirodj, NU menggelar
International Summit of Moderat Islamic Leaders (ISOMIL) di Jakarta pada
bulan Mei 2016. Banyaknya pertikaian dan perselisihan antar sesama Muslim
di beberapa negara membuat para ulama NU sadar bahwa sebelum interfaith
dialogue, pihak pemerintah dan ulama dituntut untuk memfasilitasi adanya
intrafaith dialogue atau dialog antar sesama Muslim. Dari latar belakang
itulah, ISOMIL diselenggarakan. Persoalan interfaith tidak bisa selesai
selama persoalan intrafaith tidak dituntaskan.15 Islam Nusantara digaungkan
dalam forum yang dihadiri 35 ulama yang berasal dari 30 negara Islam di
seluruh dunia, terutama Timur Tengah. Islam ala NU dapat menjadi perekat
pergaulan umat untuk membangun peradaban dunia untuk menjadi inspirasi
terciptanya tata pergaulan dunia baru.16 Pertemuan yang bersifat people to
people bertujuan untuk menciptakan sinergi antar masyarakat Muslim dunia,
mencari solusi atas konflik yang terjadi di negara-negara Muslim, dan bersatu
dalam menyuarakan perdamaian di tingkat global. Di bawah konsep Islam
Nusantara, NU mengajak komunitas Muslim lain mengingat sejarah
kedinamisan Islam yang lahir dari pertemuan antara ajaran Islam dengan
budaya, seperti halnya Islam di Indonesia. Islam Nusantara berpandangan
tidak adanya pertentangan antara agama dan kebangsaan.
Selain mengadakan dialog dalam balutan konferensi internasional, NU
juga sering terlibat dalam shuttle diplomacy, yakni berkunjung dan menemui
para pihak bertikai untuk kembali ke jalur dialog dan negosiasi (Palestina-
Israel), menemui para pihak bertikai dan mendorong dialog demi meredam
konflik sektarian Sunni-Syiah (Suriah, Libanon, Iran) dengan mengedepankan
ukhuwah islamiyah. Dalam kunjungannya, para ulama NU menjelaskan

15
Ibid
16
Ibid

8
tentang Islam rahmatan lil‟alamin sehingga mengurangi kesalahpahaman dan
Islamophobia.
Diplomasi lainnya adalah menggalang dukungan antiserangan Amerika
Serikat ke Irak di Vatikan dan Uni Eropa, mendesak PBB untuk memfasilitasi
dan memediatori dialog antarperadaban, mengirim tenaga-tenaga muda dari
pesantren ke Inggris mengikuti pelatihan manajemen pendidikan dan studi
lanjut sekaligus dalam rangka pengenalan budaya lain, menyampaikan
simpati dan mengunjungi para keluarga korban Bom Bali I serta menjelaskan
sikap NU yang menentang terorisme terhadap publik Australia, serta
menggalang kerjasama dalam bidang pendidikan. Kepercayaan dan apresiasi
juga diperoleh dari upaya menjembatani konflik Pattani di Thailand.
Pendekatan kepada parapihak termasuk pada ulama melalui beberapa
pertemuan dan pembahasan pada akhirnya membuahkan hasil. 17
 Cabang Istimewa
Pendirian kantor cabang di luar negeri, atau sering disebut dengan Pengurus
Cabang Istimewa NU (PCINU) membantu organisasi menularkan nilai-
nilainya ke masyarakat luar negeri. PCINU telah mencapai 15 cabang, di
antaranya adalah Pakistan, Australia, Mesir, Taiwan, Sudan, Syria, Amerika
Serikat, dan Inggris. Selain berfungsi sebagai kepanjangan tangan NU di
kancah internasional, PCINU berfungsi menyiapkan kader ulama dan
cendekiawan NU yang berwawasan global.

Diplomasi Islam Indonesia dalam Perspektif Muhammadiyah


 Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC)
Aktifitas diplomasi Muhammadiyah di tingkat global mengalami
perkembangan yang sangat pesat di bawah kepemimpinan Prof. Din
Syamsuddin. Beliau banyak menggalang aliansi perdamaian dengan berbagai
kelompok beragama dan peradaban dari berbagai negara. Menurutnya,
bangsa-bangsa pecinta damai dan keadilan harus bangkit dan bekerjasama
17
Andi Purwono, “Organisasi Keagamaan dan Keamanan Internasional: Beberapa Prinsip dan
Praktik Diplomasi Nahdatul Ulama (NU) Indonesia”, Jurnal Politik Profetik, Vol.2 No.2, Tahun
2013

9
membangun perdamaian sejati, menghentikan kezaliman dan penjajahan baru
dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, World Peace Forum, yang
diprakarsai Muhammadiyah bersama CDCC (Center for Dialogue and
Cooperation among Civilisations), telah menjadi pertemuan reguler para
aktor strategis gerakan perdamaian tingkat dunia.
Lembaga CDCC didirikan oleh Prof. Din Syamsuddin bersama
cendikiawan dan aktivis dari berbagai latar belakang untuk memfasilitasi
dialog dan kerjasama antar-peradaban. Beberapa sasaran yang ingin dicapai
adalah mempromosikan kesadaran mengenai pemikiran sosial, ekonomi,
politik, budaya dan filosofis, menggarisbawahi sumbangan intelektual umat
manusia dan dampaknya para peradaban serta memperdalam dialog dan
mempererat kerjasama antar-peradaban. Lembaga ini menyediakan masukan
dan bantuan kepada pemerintah, organisasi dan para penentu kebijakan
mengenai pentingnya dialog dan kerjasama antar-peradaban sebagai model
dari membangun resolusi untuk masalah-masalah politik, sosial, ekonomi,
budaya, keamanan, dan lingkungan. Lembaga ini melihat kebhinekaan bukan
sebagai ancaman terhadap peradaban, namun melihat kebhinekaan komponen
integral pembangunan untuk menciptakan dunia yang damai. 18
Dalam kiprahnya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah tahun 2005-
2015, Prof. Dr. Din Syamsuddin telah banyak berkontribusi dalam
„mengekspor‟ nilai-nilai Islam Indonesia ala Muhammadiyah. Berikut adalah
catatan kontribusinya dalam diplomasi perdamaian di level internasional,19
diantaranya: aliansi strategis Rusia-Dunia Islam (2006); World Conference on
Religion for Peace (WCRP) (2006); Asian Conference of Religions for Peace
(ACRP) (2008); mendukung kemerdekaan bagi Kosovo di tahun 2012;
Summit of Religious Leaders di Jepang (2012); World Jewish Congress di
Hongaria (2013); Konferensi Pemikiran Islam di Jordania (2013); Assembly
of World Council of Churches (2013); Catholic-Muslim Forum di Vatikan

18
Alpha Amirrachman. Dialog Antar-Agama, Ibid, 289
19
Alpha Amirrachman, Dialog Antar Agama, Ibid, 292

10
(2014); International Symposium in the Roles of Religion on Disaster Risk
Reduction di Jepang (2015)
 International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM)
IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah) atau
Konferensi Internasional Studi Ke-Muhammadiyah-an diselenggarakan di
Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2012 lalu. IRCM diadakan
untuk memperingati 100 tahun Muhammadiyah. Secara umum, konferensi di
Malang menampilkan kemampuan Muhammadiyah untuk melangkah ke
tingkat global dan menunjukkan wajah Indonesia ke masyarakat dunia.
Menurut Azyumardi Azra, acara yang dibawakan dengan bahasa Inggris
seperti itu tidak bisa terjadi bahkan di Malaysia, Filipina, dan Thailand. Ia
bahkan menyebut ini merupakan konferensi terbesar di dunia yang membahas
tentang organisasi Islam. Konferensi internasional itu sangat berguna untuk
melihat perkembangan studi Muhammadiyah yang selama satu abad ini telah
dilakukan oleh banyak sarjana, baik dalam negeri maupun luar negeri.20
Sebelum tahun 1980-an, kajian tentang gerakan Islam di Indonesia
didominasi oleh studi-studi tentang Muhammadiyah. Hampir setiap sarjana
dari Eropa dan Amerika yang mengkaji Islam di negeri ini hamper selalu
menuliskan tentang peran dan posisi Muhammadiyah. Hal ini bisa dilihat
pada karya-karya sarjana seperti Clifford Geertz, Harry Benda, Leslie
Palmier, Lance Castles, Howard Federspiel, Mitsuo Nakamura, dan James
Peacock. Namun, kajian tentang Islam Indonesia kembali mengalami
pergeseran setelah terjadi tragedi pada tahun 2001. Kajian yang diminati
pasca kejadian itu adalah tentang radikalisme dan terorisme. Beberapa studi
tentang Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama juga terkait dengan radikalisme
dan terorisme. Kajian tentang Muhammadiyah pada periode ini juga
didominasi oleh orang Indonesia sendiri seperti Ahmad Jainuri, Din
Syamsuddin, dan Alwi Shihab. Para sarjana asing lebih melirik studi tentang
Nahdlatul Ulama yang terlihat lebih atraktif dan lincah, tidak seperti
sebelumnya yang identik dengan kesan kelompok tradisionalis dan sarungan.

20
Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan, 75

11
Beberapa pergeseran dan fenomena sosial-keagamaan inilah yang
melatarbelakangi diadakannya konferensi internasional tersebut.
 Cabang Istimewa Muhammadiyah
Pendirian Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dimulai
tahun 2005, dengan beberapa pertimbangan alasan mengapa Muhammadiyah
di luar negeri perlu didirikan.21 Pertama, perlunya memperluas dakwah
perjuangan Islam yang rahmatan lil „alamin dalam perspektif Muhammadiyah
tidak hanya di negara Indonesia tetapi ke berbagai negara. Kedua, banyaknya
kader, anggota dan warga Muhammadiyah yang menyebar ke berbagai
negara, baik untuk studi maupun kerja dan mereka memerlukan ruang untuk
berorganisasi. Saat ini terdapat 21 PCIM yang tersebar di berbagai negara,
seperti Mesir, Iran, Sudan, Belanda, Jerman, Inggris, Cina, Taiwan, Korea
Selatan, Arab Saudi, Malaysia, Australia, dan negara-negara lainnya. Inisiatif
mendirikan PCIM harus tumbuh dari bawah, karena mereka inilah yang
memahami situasi lokal. Menurut Syafiq A. Mughni, PCIM harus terus
berkembang baik dari sudut kuantitas maupun kualitas. Kualitas bermakna
peran organisasi yang semakin intensif memperkenalkan Muhammadiyah di
kalangan komunitas akademik maupun pusat-pusat kegiatan Islam dan
lembaga-lembaga non-government. Selain itu, PCIM juga berfungsi sebagai
duta Persyarikatan di tempat masing-masing.

Dialogue-Based Diplomacy
Upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah
mencerminkan diplomasi publik yang sejatinya melibatkan peran aktif aktor
negara dan non-negara dalam merespon isu hubungan internasional. Dalam
kaitannya dengan penyebaran nilai-nilai Islam Indonesia, upaya yang selama ini
ditempuh oleh kedua organisasi massa adalah dengan dialogue-based diplomacy.

21
Adam. Bagaimana Muhammadiyah di Luar Negeri? Simak Cerita Mereka Para Kader
Persyarikatan. Lihat di http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/9297.html. Diakses pada 30
Agustus 2017.

12
Dalam dialogue-based diplomacy, menurut Shaun Riordan, keterlibatan
aktor non-negara untuk menyelesaikan konflik beragama sangatlah vital. 22
Diplomasi yang dilakukan oleh diplomat sebagai representasi negara tidak
memiliki kredibilitas yang cukup dan akses yang luas apabila harus berhadapan
dengan kelompok masyarakat. Diplomat akan dipandang sebagai aktor yang
memiliki misi politik ketimbang pihak pendamai, sehingga tidak bisa mendapat
keleluasaan dalam melakukan aktifitasnya. Khusus konflik di dunia Muslim,
dialog haruslah dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih moderat. Organisasi
massa Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, berperan penting sebagai agen
perubahan yang dapat merangkul dan menjangkau komunitas Muslim di berbagai
belahan dunia. Apalagi, semangat mewujudkan perdamaian sudah menjadi
kewajiban tiap Muslim, seperti yang disebutkan dalam Al Qur‟an:

"Sesungguhnya orang-orang mu‟min adalah bersaudara karena itu damaikanlah


antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat." QS. Al Hujurat: 10

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa umat Muslim sudah seharusnya
berperan aktif mengambil peran, meningkatkan peran diplomasi untuk mencari
solusi dari berbagai konflik global yang terjadi.
Meski begitu, peran pemerintah bukan berarti tidak mendapat tempat.
Pemerintah tetap menjadi pendorong utama dalam dialog antar peradaban ini.
Dukungan pemerintah seperti memfasilitasi interfaith dialogue, undangan lawatan
ke berbagai negara, dan menyediakan dana maupun kelengkapan teknis adalah
beberapa tugas yang sudah seharusnya dipenuhi oleh pemerintah. Maka, aktifitas
mensinergikan peran pemerintah dengan organisasi massa keagamaan haruslah
dibangun. Pemerintah harus mengartikulasikan dengan jelas apa yang menjadi
prioritas kebijakan luar negerinya dan organisasi juga harus menjelaskan secara

22
Shoun Riordan. “Dialogue-based Public Diplomacy”, Ibid, 182

13
detail nilai-nilai apa yang mereka tawarkan dalam rangka ikut menciptakan
perdamaian dunia.
Penulis menilai bahwa sudah ada sinergi yang baik antara pemerintah,
NU, dan Muhammadiyah. Kedua organisasi mendukung dan berperan aktif dalam
diplomasi publik pemerintah Indonesia. Ini dibuktikan dengan adanya rangkaian
interfaith dialogues mulai tahun 2004 hingga saat ini. Kegiatan dialog antar
agama ini diinisiasi tidak lama setelah pemerintah membuka seksi Diplomasi
Publik dan Informasi dalam struktur Kementerian Luar Negeri pada tahun 2004.
Selain itu, secara kelembagaan, masing-masing organisasi mengupayakan dialog
dan pertemuan. NU membentuk International Conference of Islamic Scholars
(ICIS) pada era KH. Hasyim Muzadi dan menyelenggarakan International Summit
of Moderat Islamic Leaders (ISOMIL) dalam kepemimpinan Prof. Said Aqil
Siroj. ICIS bisa disebut sebagai upaya internasionalisasi Islam Rahmatan Lil
‟alamin. Melalui lawatan-lawatan di berbagai negara, kampanye ini juga
disebarkan ke Syiria, Libanon, Iran, Palestina-Israel, Pakistan, Vatikan, Uni
Eropa, Inggris, Jerman, Australia, Amerika, dan PBB. Sedangkan ISOMIL
mempromosikan Islam ala NU, yang diharapkan dapat menjadi perekat pergaulan
umat untuk membangun peradaban dunia untuk menjadi inspirasi terciptanya tata
pergaulan dunia baru. Begitu juga dengan Muhammadiyah yang memprakarsai
World Peace Forum, bersama CDCC (Center for Dialogue and Cooperation
among Civilisations). Forum ini telah menjadi pertemuan reguler para aktor
strategis gerakan perdamaian tingkat dunia. Lembaga ini hasil pemikiran Prof.
Din Syamsuddin bersama cendikiawan dan aktivis dari berbagai latar belakang
untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama antar-peradaban. Bahkan, untuk
memperingati seabad usia organisasinya, Muhammadiyah mengadakan konferensi
internasional tentang studi ke-Muhammadiyah-an, yakni IRCM (International
Research Conference on Muhammadiyah) yang diselenggarakan pada tahun 2012
lalu. Lawatan diplomasi oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP
Muhammadiyah tahun 2005-2015, juga menjadi catatan tersendiri. Di berbagai
kunjungannya, beliau kerap mempromosikan nilai keberagaman dan toleransi. Hal
ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dan kehadiran organisasi massa

14
keagamaan dianggap vital dalam usaha penyelesaian konflik. Masukan dan solusi
yang ditawarkan saat berdialog dapat membuka pikiran bagi pihak-pihak yang
berkonflik bahwa mereka bisa belajar dari pihak lain yang tak jarang memiliki
persepektif yang berbeda dalam melihat persoalan.
Sinergi antara aktor negara dan non-negara dalam melakukan aktifitas
diplomasi publik dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan organisasi massa
keagamaan, utamanya NU dan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, pemerintah
(biasa diwakili Kementerian Luar Negeri dan Kementeriaan Agama) telah
menginisiasi penyelenggaraan dialog antaragama (interfaith dialogue) baik tingkat
internasional maupun regional, multilateral, maupun bilateral.
Kementerian Luar Negeri bersama NU dan Muhammadiyah gencar
meyuarakan Islam moderat yang menjunjung toleransi dan harmoni. Pada bulan
Desember 2004, pemerintah menyelenggarakan untuk pertama kalinya Asia
Pacific Conference: Interfaith Dialogue and Cooperation. Pada tahun 2005,
interaksi dilanjutkan dengan kegiatan Interfaith Dialogue antara negara-negara
Asia dan Eropa. Dalam pelaksanaan dialog antar-agama tersebut, Indonesia telah
diakui perannya sebagai penggagas dialog lintas agama baik pada tataran bilateral
maupun multilateral.23 Pemerintah Indonesia bahkan menjadikan dialog ini
sebagai program unggulan dalam diplomasi publik yang merupakan second-track
diplomacy, dengan melibatkan para intelektual dan tokoh berbagai organisasi
keagamaan. Keterlibatan mereka dapat memberikan gambaran obyektif dan
pengalaman kehidupan beragama di Indonesia yang damai dan toleran.24 Melalui
dialog, pemerintah berharap bahwa ada pemahaman positif tentang Islam dan
Indonesia yang terbangun di kalangan masyarakat global.
Kebutuhan adanya dialog tidak lepas dari banyaknya persepsi atau
asumsi yang tidak benar (misleading) tentang hubungan antara negara dan agama,
politik global, dan isu terorisme, di kalangan penstudi politik global maupun
masyarakat pada umumnya. Maka dari itu, ada desakan bagi Indonesia untuk

23
Hasyim Muzadi, “ICIS, Islam Moderat, dan Interfaith Dialogue”, Tabloid Diplomasi, (Jakarta:
Kementerian Luar Negeri RI), 12
24
Masykuri Abdillah, Menduniakan Islam Indonesia, Lihat di http://www.republika.co.id/berita/
koran/opini-koran/15/12/18/nzjks621-menduniakan-islam-indonesia. Diakses pada 30 Juli 2017.

15
menjelaskan kepada dunia internasional mengenai bagaimana sebetulnya Islam
diterapkan di Indonesia. Kesalahan persepsi yang berkembang luas hanya bisa
diluruskan dengan mengadakan dialog dan saling memahami perbedaan yang ada
di tatanan masyarakat global. Meski tidak bisa hasilnya dilihat secara instan, tetapi
dialog lintas agama merupakan inisiatif yang baik dalam konteks diplomasi
people-to-people.
Ketika para pemimpin Muslim di berbagai negara, pemimpin politik dari
negara-negara Barat, dan pengamat internasional (terutama Indonesianis)
menyarankan kepada negara-negara Muslim di dunia akan pentingnya belajar dari
Islam Indonesia, maka pemerintah dan sejumlah tokoh organisasi Islam di
Indonesia merespon hal ini dengan berbagi pengalaman dengan para tokoh umat
di negara lain. Aktifitas safari yang dilakukan dapat menguatkan posisi Indonesia
sebagai aktor utama dalam dialog lintas agama di tingkat regional maupun global.
Meski baru dimulai secara resmi di tahun 2004, tetapi aktifitas ini bukanlah hal
yang asing di Indonesia mengingat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
sudah ada sejak tahun 1974, dan kemudian berkembang sedemikian rupa.25

Islam Indonesia Sebagai Soft Power Indonesia


Islam Indonesia yang merupakan nilai khas Indonesia secara eksplisit
telah diterapkan, baik oleh NU dan Muhammadiyah. Namun pertanyaan yang
muncul adalah apakah nilai Islam Indonesia sudah menjadi bagian dari soft power
Indonesia. Untuk menjadikan Islam Indonesia sebagai salah satu soft power,
Indonesia butuh strategi yang matang.
Dalam sejarahnya, Islam sudah menjadi bagian penting dalam politik
Indonesia, termasuk dalam aktifitas diplomasi dengan negara lain. Hal ini diakui
oleh James B Hoesterey, yang menegaskan bahwa Islam model Indonesia dapat
menjadi alat diplomasi publik ke dunia Barat. Hal itu karena Islam Indonesia lebih

25
Andri Hadi. “Interfaith Dialogue: Dalam Konteks Hubungan Internasional”, Lihat di
http://www.tabloiddiplomasi.org/index.php/2010/06/19/interfaith-dialogue-dalam-konteks-
hubungan-internasional/, Diakses pada 31 Juli 2017

16
menekankan pentingnya persaudaraan dan harmoni.26 Lahirnya gerakan Islam
Nusantara yang diinisiasi oleh NU dan Islam Berkemajuan oleh Muhammadiyah
yang keduanya di bawah naungan Islam Indonesia sangatlah tepat untuk dijadikan
contoh atau bentuk diplomasi publik dalam upaya lebih memperkenalkan Islam
moderat Indonesia ke dunia Barat, terlepas dari pro-kontra yang timbul. Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah sebagai kedua organisasi massa terbesar di Indonesia
diharapkan agar saling bersinergi untuk membangun peradaban Islam yang
rahmatan lil „alamin.
Tentu tidak mudah membangun konsep Islam Indonesia sebagai
kekuatan baru dalam diplomasi Indonesia. Menurut Burhani, kritik yang sering
dilontarkan oleh pengamat asing terhadap Islam di Indonesia adalah kurangnya
rasa percaya diri dan lemahnya daya ekspansif ke luar negeri. Muhammadiyah
telah lahir di awal abad ke-20 namun lingkup kegiatan dan keanggotaannya masih
terbatas di Indonesia, hampir bisa dikatakan tidak memiliki pengikut asing dari
luar negeri. Hal ini sangat berbeda dengan organisasi-organisasi Islam yang lahir
di negara Islam lainnya seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir), Jamaah Tabligh
(Pakistan), Ghulen Movement (Turki), dan Hizbut Tahrir (Palestina). Walaupun
usia organisasi-organisasi tersebut lebih muda, namun mereka telah berkembang
pesat di berbagai negara. Mereka mampu mengekspor gagasan dan pemahaman
keagamaannya hampir di setiap sudut dunia tanpa bantuan pemerintah.27
Penulis menilai bahwa meski masih ada kekurangan dalam strategi
penyebaran Islam Indonesia ke publik luar negeri, tetapi secara umum nilai Islam
Indonesia sudah mempunyai pondasi yang baik dalam penyebarannya. Hal ini
dapat terlihat dari berbagai aktivitas dan produk diplomasi yang dilakukan oleh
NU dan Muhammadiyah yang dampaknya dirasakan hingga ke berbagai negara.
Berbagai tulisan ilmiah para penstudi NU dan Muhammadiyah dari dalam dan
luar negeri yang telah banyak dipublikasikan dan menjadi rujukan dalam
mendalami Islam Indonesia adalah salah satu bentuk pengaruh Islam Indonesia

26
“Islam Indonesia Dapat Jadi Alat Diplomasi Publik”, Lihat di http://graduate.uinjkt. ac.id
/index.php/8-berita-sekolah/125-islam-indonesia-dapat-jadi-alat-diplomasi-publik. Diakses pada
31 Agustus 2017
27
Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan, 159

17
dalam kajian Islam global. Dalam hal pendidikan, NU dan Muhammadiyah sama-
sama mempunyai kesadaran yang tinggi, sehingga kedua organisasi ini sering
memberikan program beasiswa terutama terhadap mahasiswa dari negara Muslim
untuk belajar di perguruan tinggi milik mereka. Bentuk diplomasi lain yang juga
dapat menjadi alat soft power adalah produk seni dan budaya Islam Indonesia.
Selain itu, fakta bahwa Islam sudah lama terkandung dalam kebijakan luar negeri
Indonesia menjadi sangat krusial mengingat banyak ulama maupun aktifis NU dan
Muhammadiyah yang terjun dalam politik praktis dan mempengaruhi arah politik
Indonesia terhadap politik global. Masing-masing aktifitas diplomasi ini harus
dijelaskan secara lebih mendalam agar terlihat bagaimana Islam Indonesia adalah
salah satu sumber soft power Indonesia.

Warisan Ulama Indonesia


Selain usaha yang dilakukan oleh kedua organisasi, sumber soft power
Indonesia sejatinya bisa ditemukan dalam berbagai warisan budaya, seperti kitab-
kitab yang ditulis para ulama dan bentuk kesenian seperti wayang, maupun
melalui bantuan beasiswa pendidikan yang ditawarkan oleh kedua organisasi.
 Kitab Karya Ulama Nusantara
Begitu banyak karya-karya buah pemikiran ulama-ulama di Indonesia
yang beredar luas dan menjadi rujukan para penstudi asing dalam
mempelajari Islam. Beberapa di antaranya adalah Syekh Nawawi al-Bantani,
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani,
dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sedangkan ulama kontemporer
yang karyanya juga diakui oleh dunia, diantaranya adalah Abdurrahman
Wahid, Amien Rais, Hasyim Muzadi, Syafii Ma‟arif, Din Syamsuddin, dan
Said Aqil Siroj.
Syekh Nawawi al-Bantani adalah tokoh ulama yang tepat dijadikan
rujukan. Ulama yang bernama lengkap Abu Abd al-Mu‟ti Muhammad bin
Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani ini lahir di Banten pada 1813 dan wafat di
Mekah pada 1897. Syekh Nawawi merupakan keturunan Maulana
Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat. Syekh Nawawi

18
mendapatkan tempaan ilmu pengetahuan agama langsung dari sang ayah.
Lalu, ia berguru kepada Kiai Sahal, Banten serta Kiai Yusuf di Purwakarta.
Di Mekkah, Nawawi beguru dengan banyak tokoh penting dalam dunia
Islam. Antara lain, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid, dan Syekh
Ahmad Dimyati. Syekh Nawawi juga sempat berguru kepada Syekh
Muhammad Khatib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, dua ulama besar di
Madinah, Arab Saudi.
Hingga akhir hayatnya, Syekh Nawawi berhasil menulis ratusan judul
kitab yang menjadi rujukan ulama-ulama di Jazirah Arab dan Asia Tenggara.
Di Indonesia, karya-karya itu menjadi kurikulum wajib di pesantren dan
madrasah, misalnya al-Tafsir al-Munir li al-Mualim al-Tanzil al-Mufassiran
wujuh mahasin al-Ta'wil musamma Murah Labid li Kasyafi Ma‟nâ Qur'an
Majid, Kâsyifah al-Saja syarah Safinah al-Naja, Sullam al-Munâjah, Nihayah
al-Zain, atau Nashaih al-„Ibad. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
merupakan ulama yang juga mendunia. Sejarah mencatat bahwa Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah orang non-Arab pertama yang
pernah menjadi imam besar di Masjidil Haram, Mekkah.
Kajian biografi karya ulama Nusantara sangatlah kaya dan luar biasa
agung28. Misal, dalam bidang khazanah fikih Islam Nusantara, yang diawali
penulisannya oleh Syeikh Nuruddin Raniri dengan kitab al-Shirath al-
Mustaqim (berbahasa Melayu klasik), lalu dilanjutkan oleh muridnya, yaitu
Syaikh Abdul Rauf Singkel dengan kitab Mir‟at al-Thullab (berbahasa
Melayu klasik), dan dilanjutkan terus menerus runut menurut abadnya,
sambung menyambung di setiap generasinya tanpa putus.
 Karya Seni dan Budaya
Dalam aspek seni dan budaya, Islam Indonesia sudah banyak mengalami
internalisasi yang dapat dilihat dari beberapa produk yang sudah banyak
dikenal oleh dunia, Pertama, seni kaligrafi. Seni yang berasal dari Timur
Tengah dan menyuguhkan keindahan huruf dan tulisan Al-Qur‟an ini telah
berkembang luas di Indonesia.

28
A. Ginanjar Sya‟ban, Mahakarya Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Compass, 2017), xi

19
Kedua, seni beladiri pencak silat. Pencak silat adalah warisan budaya
Indonesia yang juga mendunia. Perkembangan silat secara historis mulai
tercatat pada abad ke-14. Ketika itu penyebarannya banyak dipengaruhi oleh
ajaran agama Islam di nusantara. Kala itu pencak silat diajarkan bersamaan
dengan pelajaran agama di surau atau pesantren.
Ketiga, seni wayang. Wayang merupakan seni pertunjukan yang
dimainkan oleh seorang dalang dan biasanya diiringi musik gamelan dan
suara merdu seorang pesinden. Wayang sendiri dimanfaatkan sebagai
pendekatan kepada masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam
Indonesia di masa Walisongo.
 Beasiswa Pendidikan Dari Ormas NU dan Muhammadiyah
NU dan Muhammadiyah adalah organisasi yang sama-sama
mengedepankan pendidikan sebagai salah satu prinsip pendiriannya.
Pendidikan adalah sarana umat manusia untuk terbebas dari keterbelakangan
dan kebodohan. NU dan Muhammadiyah mempunyai lembaga pendidikannya
masing-masing, mulai pendidikan dasar hingga universitas yang tersebar di
seluruh Indonesia. Selama ini kedua organisasi tak hanya juga memberikan
beasiswa bagi pelajar yang kurang mampu, namun juga mereka memberikan
beasiswa pula kepada pelajar asing yang ingin menuntut ilmu di masing-
masing sekolah maupun perguruan tinggi mereka. Beasiwa yang diberikan
kepada pelajar asing pun jika ditotal bukan hanya segelintir ataupun puluhan,
akan tetapi sudah mencapai ratusan. Diplomasi yang dilakukan oleh kedua
organisasi termasuk memberikan beasiswa terhadap mahasiswa dari berbagai
negara, khususnya negara-negara Muslim.
Muhammadiyah yang tidak hanya terlibat aktif dalam penciptaan
perdamaian di Thailand selatan, tetapi juga memberikan 300 beasiswa kepada
pelajar dari luar negeri untuk melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi
Muhammadiyah di Indonesia29. Selain itu, 17 mahasiswa asing dibiayai

29
“Kontribusi Muhammadiyah Untuk Dunia, Mediasi Perdamaian Hingga Ratusan Beasiswa Bagi
Mahasiswa Asing”, Lihat di http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/kontribusi-
muhammadiyah-untuk-dunia-mediasi-perdamaian-hingga-ratusan-beasiswa-bagi-mahasiswa-
asing/, Diakses pada 30 Juli 2017

20
menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Malang melalui program
beasiswa Darmasiswa. Lebih dari seratus mahasiswa asing juga mendapatkan
beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Universitas
Muhammaditah Yogyakarta juga telah mengirimkan 59 mahasiswanya ke 17
negara untuk melakukan pertukaran pelajar.30
Nahdlatul Ulama juga banyak memberikan beasiswa bagi mahasiswa
asing yang ingin menempuh pendidikan mereka di Indonesia seperti institut
swasta yang baru diresmikan tahun 2015 lalu yakni Institut KH. Abdul
Chalim yang memberikan 19 beasiswa bagi mahasiswa asing dari enam
negara. STAINU Jakarta juga memberikan belasan beasiswa bagi mahasiswa
asing serta program pertukaran pelajar dengan beberapa universitas di
Maroko dan Tunisia. Pemberian beasiswa juga dilakukan oleh NU kepada 23
putri asal Afghanistan untuk mengikuti kuliah di Indonesia. Mereka
ditempatkan di Universitas Wahid Hasyim Semarang sembari mengikuti
pendidikan agama di pesantren mahasiswa.31
Pemberian beasiswa serta program pertukaran pelajar yang dilakukan
oleh kedua organisasi Islam ini juga sebagai bentuk kesuksesan diplomasi
mereka terhadap negara-negara lain sehingga Islam yang selama ini
dipandang keras mampu membukakan mata mereka bahwa Islam di Indonesia
lebih terbuka karena keduanya memegang prinsip toleransi dan moderat.

Kesimpulan
Dari hasil temuan di lapangan dan kajian pustaka yang tersedia, maka
penulis menyimpulkan beberapa poin simpulan sesuai dengan rumusan masalah
yang ada, yaitu:
1. Strategi yang digunakan oleh Nahdatul Ulama adalah dengan mengedepankan
diplomasi dialog (dialogue-based diplomacy), baik itu dalam pertemuan
interfaith dialogue atas kerjasama dengan pemerintah Indonesia, maupun

30
“UMM Sambut Mahasiswa Asing Penerima Beasiswa Darmasiswa,”, Lihat di http://www.umm.
ac.id/id/berita/umm-sambut-mahasiswa-asing-penerima-beasiswa-darmasiswa.html, Diakses pada
30 Juli 2017
31
Andi Purwono, Organisasi Keamanan, Ibid

21
dalam bentuk konferensi internasional, seperti International Conference of
Islamic Scholars (ICIS), International Summit of Moderat Islamic Leaders
(ISOMIL), serta keterlibatan aktif NU dalam shuttle diplomacy penyelesaian
konflik di berbagai negara. Kehadiran cabang NU di luar negeri juga menjadi
kepanjangan tangan organisasi tersebut.
2. Strategi diplomasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam menyebarkan
nilai Islam Nusantara sejatinya tidak jauh berbeda dengan NU, yaitu tetap
mengedepankan diplomasi dialog (dialogue-based diplomacy). Kegiatan
diplomasi dilakukan Muhammadiyah bersama CDCC (Center for Dialogue
and Cooperation among Civilisations) dengan mengadakan World Peace
Forum. Pertemuan ini telah menjadi pertemuan reguler para aktor strategis
gerakan perdamaian tingkat dunia. Kegiatan penyebaran Islam Berkemajuan
lainnya adalah dengan menyelenggarakan IRCM (International Research
Conference on Muhammadiyah) atau Konferensi Internasional Studi Ke-
Muhammadiyah-an diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang
pada tahun 2012. Kegiatan ini merupakan pertemuaan dalam rangka usia
seabad Muhammadiyah. Berbagai lawatan yang dilakukan oleh Prof. Dr. Din
Syamsuddin ke berbagai negara mempunyai dampak yang luas dalam
penyebaran Islam Berkemajuan.
3. Untuk menjadikan Islam Indonesia sebagai salah satu sumber soft power
dibutuhkan strategi yang matang dan strategis. Islam Indonesia yang
merupakan nilai khas Indonesia secara eksplisit telah diterapkan, baik oleh
NU dan Muhammadiyah. Untuk menjadikan Islam Indonesia sebagai salah
satu soft power, Indonesia butuh strategi yang matang. Dalam sejarahnya,
Islam sudah menjadi bagian penting dalam politik Indonesia, termasuk dalam
aktifitas diplomasi dengan negara lain. Beberapa aktifitas dan produk
diplomasi Indonesia dapat menjadi bukti kuat bahwa nilai Islam Indonesia
telah lama berkontribusi dalam kajian politik global, khususnya dalam
penciptaan perdamaian dunia. Produk diplomasi yang dapat dijadikan ukuran
adalah tulisan-tulisan buah pemikiran para ulama‟, banyaknya beasiswa
pendidikan yang diberikan oleh NU dan Muhammadiyah, maupun seni dan

22
budaya khas Indonesia yang mengandung nilai Islam yang telah banyak
diperkenalkan ke berbagai negara.

Dari analisis strategi penyebarluasan nilai Islam Indonesia yang


dilakukan oleh Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, maka dapat diringkas
menjadi tabel seperti di bawah ini:
Tabel 1. Peta Strategi NU dan Muhammadiyah
dalam Penyebaran Nilai Islam Indonesia
Organisasi Strategi Kegiatan Contoh
Dialog-based Konferensi ICIS, ISOMIL
diplomacy Internasional Ulama
Muslim
Cabang Istimewa Cabang NU di
kawasan Timur
Nahdatul Ulama
Tengah, Eropa, AS,
(NU)
Jepang, Korea
Interfaith dialogue Melakukan lawatan
ke berbagai negara
Muslim dan non-
Muslim
Dialogue-based Konferensi World Peace
diplomacy Internasional Lintas Forum, WCRP
Agama
Konferensi Studi Ke- IRCM
Muhammadiyah-an
Cabang Istimewa Cabang
Muhammadiyah di
Muhammadiyah
kawasan Timur
Tengah, Eropa, AS,
Jepang, Korea
Interfaith Dialogue Melakukan lawatan
ke berbagai negara
Muslim dan non-
Muslim

Daftar Pustaka
Amirrachman, Alpha dan Azaki Khoiruddin. Islam Berkemajuan Untuk
Peradaban Dunia. Bandung: Mizan Pustaka. 2015.
Barston, R.P. Modern Diplomacy. New York: Routledge. 2006.
Berridge, G.R. Diplomacy: Theory and Practice. New York: Palgrave. 2010.

23
Berridge, G.R. dan Lorna Lloyd. A Dictionary of Diplomacy. New York: Palgrave
Macmillan. 2012.
Burhani, Ahmad Najib. Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran Dari
Puritanism ke Kosmopolitalisme. Bandung: Mizan Pustaka. 2015.
Effendy, Muhadjir dan Asep Nurjaman. Ijtihad Politik Muhammadiyah: Politik
Sebagai Amal Usaha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Nashir, Haedar. Dinamika Politik Muhammadiyah. Malang: UMM Press. 2006.
Nye Jr, Joseph. Soft Power: The Means to Success in World Politics. New York:
Public Affairs. 2004.
Maarif, Syafii. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran
Islam dan Politik. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 2000.
Manheim, Jarol B. Strategic Public Diplomacy: The Evaluation of Influence. New
York: Oxford University Press. 1990.
Mellisen, Jan. The New Public Diplomacy. New York: Palgrave Macmillan. 2006.
Muhammad, Riezam. Muhammadiyah Prakarsa Besar Kiai Ahmad Dahlan.
Yogyakarta: Badan Penerbit UAD. 2005.
Musyadi, Hasyim. Nahdatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu. 1999.
Sahal, Akhmad dan Munawir Aziz (ed.). Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh
Hingga Konsep Historis. Bandung: Mizan Pustaka. 2015.
Sazali. Muhammadiyah dan Masyarakat Madani. Jakarta: Pusat Studi Agama dan
Peradaban. 2014.
Sirodj, Said Aqil. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat
Mutamaddin. Jakarta: LTN NU. 2015.
Sya‟ban, A. Ginanjar. Mahakarya Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Compass.
2017.

Jurnal
Fan, Ying. “Soft Power: Power of Attraction or Confusion”. Place Branding and
Public Diplomacy, Vol.2 No.48, 2008.

24
Margono, Hartono. “KH. Hasyim Asy‟ari dan Nahdatul Ulama: Perkembangan
Awal dan Kontemporer”. Media Akademika, Vol. 26 No. 3. 2011.
Nye Jr, Joseph. “Public Diplomacy and Soft Power”. Annals of the American
Academy of Political and Social Science, Vol. 616, Maret, 2008.
Mafidin. “Studi Literatur Tentang Peran Muhammadiyah dalam Mengembangkan
Pendidikan Islam di Indonesia”. Jurnal Tarbawi, Vol.1 No.1. 2014.
Purwono, Andi. “Organisasi Keagamaan dan Keamanan Internasional: Beberapa
Prinsip dan Praktik Diplomasi Nahdatul Ulama (NU) Indonesia”. Jurnal Politik
Profetik, Vol.2 No.2. 2013.
Rastati, Ranny. “Dari Soft Power Jepang Hingga Cosplay Hijab”. Jurnal
Masyarakat dan Budaya, Vol.17 No.3, 2015.
Rokhim. “Peran Organisasi Muhammadiyah Dalam Bidang Pendidikan di
Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah,
Vol.02.No.01. 2014.
Rozi, Fahrur. “NU dan Kontinuitas Dakwah Kultural. Jurnal Komunikasi Islam
Vol.01, No.02, Desember, 2011.
Rusydi, Rajiah. “Peran Muhammadiyah (Konsep Pendidikan, Usaha-usaha Di
Bidang Pendidikan dan Tokoh)”. Jurnal Tarbawi, Vol.1 No.2. 2016.
Setiawan, Zudi. “Pemikiran dan Kebijakan Nahdlatul Ulama dalam Menjaga
Kedaulatan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Era Reformasi
(1998-2009)”. Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol.7 No.1. 2010.
Soesilowati, Sartika. “Diplomasi Soft Power Indonesia melalui Atase Pendidikan
dan Kebudayaan.” Jurnal Global dan Strategis, Th.9,No.2, 2016.

Majalah/Tabloid
Muzadi, Hasyim. “ICIS, Islam Moderat, dan Interfaith Dialogue”. Tabloid
Diplomasi. Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI. 2010.

Artikel Online
Abdillah, Masykuri. 2015. “Menduniakan Islam Indonesia”. [Diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/12/18/nzjks621-
menduniakan-islam-indonesia] pada tanggal 30 Juli 2017.

25
Adam. “Bagaimana Muhammadiyah di Luar Negeri? Simak Cerita Mereka Para
Kader Persyarikatan” [Diakses dari http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/
9297.html] pada tanggal 2 Agustus 2017.
Ahmad, Fathoni. Risalah Komite Hijaz Kepada Raja Sa‟ud”.[Diakses dari
http://www.nu.or.id/post/read/77439/risalah-komite-hijaz-kepada-raja-saud]
pada tanggal 25 Juli 2017
Azra, Azyumardi. “Islam Nusantara: Islam Indonesia (2)”. [Diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/25/islam-nusantara-
islam-indonesia-2] pada tanggal 29 Maret 2017.
NN. “NU Diminta Wapres Bawa Konsep Islam Nusantara ke Timur Tengah”
[Diakses dari http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160427 153704-20-
126990/nu-diminta-wapres-bawa-konsep-islam-nusantara-ke-timur-tengah/]
pada tanggal 28 Maret 2017
NN. “Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, Dari Indonesia Untuk Dunia”
[Diakses dari http://presidenri.go.id/internasional/islam-nusantara-dan-islam-
berkemajuan-dari-indonesia-untuk-dunia.html] tanggal 24 Juli 2017
NN. “Islam Indonesia Dapat Jadi Alat Diplomasi Publik”, [Diakses dari
http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/8-berita-sekolah/125-islam-indonesia-
dapat-jadi-alat-diplomasi-publik] pada tanggal 2 Agustus 2017
Pramono, Siswo. ”Resources of Indonesian Soft Power Diplomacy” [Diakses dari
http://www.kemlu.go.id/bppk/en/blog/Pages/Resources-of-Indonesian-soft-
power-diplomacy.aspx] diakses pada tanggal 3 Agustus 2017

26

You might also like