You are on page 1of 7

Teks Editorial

Secara sederhana, teks editorial adalah artikel yang berisi tentang pemikiran
atau opini tim redaksi media massa terhadap suatu isu, peristiwa, atau masalah.
Teks ini juga dikenal sebagai tajuk rencana.

Meskipun bersifat opini, tetapi dalam penulisan teks editorial juga harus
mengandung fakta sebagai bahan berita. Fakta ini akan ditelusuri kebenarannya
sehingga dapat menghasilkan opini yang bermutu tinggi.

Fakta ini juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mendukung argumentasi
atau opini yang disampaikan oleh tim redaksi media massa. Selain itu, opini
yang disampaikan juga harus dapat dipertanggungjawabkan dan mengikuti
aturan tertentu.

Adapun tujuan dari teks editorial ini adalah mengajak pembaca untuk ikut
berpikir dan memberikan pendapat terhadap isu-isu yang tengah dibicarakan di
masyarakat. Teks editorial juga memiliki fungsi, antara lain:

 Menjelaskan berita dan akibatnya kepada masyarakat.


 Mempersiapkan masyarakat akan adanya kemungkinan yang terjadi.
 Mendorong masyarakat untuk menanggapi suatu isu dengan sikap yang
lebih bijak dan dewasa.
 Meneruskan penilaian moral tentang isu tersebut.

Teks editorial ini memiliki beberapa ciri-ciri yang menjadi perbedaannya


dengan jenis teks lainnya, yaitu:

 Bersifat aktual dan faktual, artinya teks harus menyajikan informasi yang
tengah ramai diperbincangkan di masyarakat, serta mengedepankan fakta
dari informasi tersebut.
 Sistematis dan logis, artinya teks harus disusun secara terstruktur dan
kaidah kebahasaannya. Opini yang disampaikan dalam teks juga harus
logis, bukan imajinatif.
 Argumentatif, artinya teks mengandung pendapat pribadi tim redaksi,
bukan pendapat pribadi penulis. Itulah mengapa, dalam teks editorial
tidak dicantumkan nama penulis karena pendapat yang ditulis berasal dari
hasil pandangan redaksi.

Selain itu, dalam menulis teks editorial, kamu juga harus memperhatikan
struktur dan kaidah kebahasaannya. Ada tiga bagian dalam struktur teks
editorial, yaitu pernyataan pendapat (thesis statement), argumentasi (argument),
dan pernyataan ulang pendapat (reiteration).
Sementara untuk kaidah kebahasaannya, teks editorial harus menggunakan kata
penghubung (konjungsi), kata adverbia, serta mengandung verba rasional dan
verba mental.

Contoh Teks Editorial beserta Strukturnya


1. Kesehatan

Cegah Hepatitis Akut Jadi Bencana

Pernyataan Pendapat

Belum selesai pandemi covid-19, dunia dihadapkan pada ancaman penyakit


baru yang juga berpotensi menjadi wabah. Penyakit itu ialah hepatitis akut.

Argumentasi

Hepatitis akut bukanlah jenis penyakit yang boleh dianggap sepele. Baik dari
sisi jumlah penderita maupun akibat, ia memperlihatkan tren yang
mengkhawatirkan. Sejak pertama kali diketahui pada 5 April dengan hanya 10
kasus di Inggris, kini sudah lebih dari 200 orang terpapar.

Hepatitis akut menyebar cukup cepat, tidak cuma di satu negara, tetapi sudah
lintas negara. Saat ini sedikitnya 20 negara telah melaporkan adanya penularan
penyakit itu.

Hepatitis akut bukanlah penyakit biasa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)


pun memasukkannya ke disease outbreak news (DONs) per 15 April. Tujuan
mereka dunia mengetahui informasi awal dan menjadikannya sebagai perhatian
bersama. Status kejadian luar biasa alias KLB diberlakukan pula.

Hepatitis akut juga masih misterius. Belum diketahui etiologinya, kausalitasnya,


asal muasalnya. Yang pasti, ia bisa berdampak fatal, bahkan memicu kematian.
Itulah yang terjadi di beberapa negara, termasuk di negara kita, Indonesia.

Di negeri ini, kabar pilu datang dari RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Dalam dua pekan terakhir hingga 30 April, tiga anak meninggal karena diduga
terjangkit oleh hepatitis akut.

Jelas, sangat jelas, kita tak boleh memandang enteng penyakit itu. Keseriusan
dalam antisipasi ialah kemestian, kesungguhan untuk pencegahan menjadi
keniscayaan. Pengalaman buruk di awal-awal serangan covid-19 pantang
terulang.
Belum lupa dari ingatan betapa sejumlah pejabat menjadikan covid-19 sebagai
bahan candaan. Narasi-narasi yang menganggap sepele mereka hamburkan,
padahal dunia sudah jelas-jelas mengalami serangan hebat virus korona. Karena
itu, ketika virus mematikan itu benar-benar menggempur negeri ini, kita kalang
kabut lalu babak belur.

Mencegah lebih baik daripada mengobati memang ujaran kuno, tetapi ia tetap
relevan setiap saat sampai kapan pun. Termasuk saat ini, ketika kita kembali
menghadapi ancaman hepatitis akut.

Itulah yang mesti ditunjukkan pemerintah. Di satu sisi, mereka mesti secepatnya
menginvestigasi penyebab kematian tiga anak apakah betul-betul akibat
hepatitis akut. Jika betul, mesti segera diketahui pula kenapa penyakit itu bisa
menjangkiti mereka.

Dengan selekasnya mengetahui sebab musababnya, dengan diagnosis yang


cepat dan tepat, kita bisa lebih cepat dan tepat melakukan langkah-langkah
pencegahan. Hal itu penting, sangat penting, agar tidak muncul kasus-kasus
baru.

Yang tak kalah penting, pemerintah mesti menggencarkan sosialisasi kepada


masyarakat akan datangnya ancaman virus ini. Belum banyak yang paham
perihal gejala penyakit yang menyerang anak-anak itu seperti sakit perut,
muntah, diare mendadak, dan buang air kecil berwarna teh tua. Begitu pula
gejala kuning, buang air besar berwarna pucat, kejang, dan kesadaran menurun.

Masih sangat sedikit yang paham cara pencegahan hepatitis akut seperti
memastikan makanan matang dan bersih, tidak bergantian alat makan, serta
menghindari kontak dengan orang sakit. Masyarakat mesti segera diberi
pemahaman.

Reiteration

Hepatitis akut memang belum tentu menjadi wabah. Namun, ia terang sudah
ada dan berbahaya. Kita memang tidak boleh panik, tetapi mutlak waspada
menghadapinya.

Pengalaman mengajarkan kepada kita, tidak bijak menyikapi ancaman dengan


sebelah mata. Ia hanya akan menghadirkan ketidakseriusan, overconfidence.
Akan lebih baik kita menganggap setiap ancaman ialah mengkhawatirkan.
Dengan begitu, kita akan bersungguh-sungguh menangkalnya, termasuk
hepatitis akut ini agar tak menjadi bencana.
2. Pendidikan

Melindungi Ibu Pendidikan

Pernyataan Pendapat

Salah satu prasyarat jika ingin bangsa bergerak maju ialah pendidikan yang
kuat. Pendidikan ialah fondasi sekaligus tiang kemajuan bangsa. Jangan
bermimpi bangsa ini akan kuat dan maju kalau sektor pendidikan tak dijadikan
unggulan. Begitu kredo yang selalu kita pegang dan yakini selama ini.

Guru tentu saja menjadi aktor utama dari kredo tersebut. Tanpa guru,
pendidikan bukanlah apa-apa karena sejatinya di tangan merekalah penyemaian
dan penumbuhan benih-benih calon pelaku kemajuan bangsa diletakkan. Karena
itu, patutlah bila guru dijunjung dan dimuliakan. Negara bahkan menetapkan
tanggal 25 November sebagai Hari Guru, sebagai simbolisasi penghormatan
tinggi kepada guru.

Argumentasi

Namun, amat disayangkan, pendidikan hari-hari ini justru melenceng dari


pakem tersebut. Fenomena memilukan makin sering menimpa dunia pendidikan
kita. Ironisnya, guru kerap menjadi korban. Mereka yang mestinya dimuliakan
malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan hingga kekerasan. Celakanya,
kekerasan tidak hanya datang dari siswa didik, tapi juga oleh orangtua murid.

Dua peristiwa kekerasan terhadap guru yang terjadi belum lama ini di Gresik,
Jawa Timur, dan Takalar, Sulawesi Selatan, seolah menjadi peneguh bahwa
corengan terhadap dunia pendidikan Tanah Air sudah kian mengkhawatirkan.
Kejadian serupa selalu berulang, nyaris tanpa pernah ada solusi komprehensif
dan konkret.

Di Gresik, seorang murid SMP berani menantang guru yang menegur dia untuk
tidak merokok di dalam kelas. Tak hanya menantang, si murid bahkan berani
memegang kepala sang guru dan mendorongnya. Di Takalar, seorang pegawai
honorer dianiaya empat siswa SMP beserta orangtua mereka setelah awalnya
dia diejek dan dilecehkan.

Kejadian-kejadian memiriskan itu di satu sisi mengisyaratkan bahwa


kemerdekaan guru dalam menjalankan amanah pendidikan kian terampas. Guru
bukan lagi seperti kata falsafah Jawa ‘digugu lan ditiru’, melainkan hanya
sebatas petugas pengajar tanpa wibawa yang semestinya. Di sisi yang lain, itu
dapat juga diinterpretasikan bahwa sistem pendidikan nasional kita memang
masih jauh dari ideal.

Fakta itu semakin menjadi ironi karena pada saat yang hampir bersamaan,
dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019 di
Sawangan, Depok, Jawa Barat, yang digelar Kemendikbud, isu yang
berkembang meneguhkan bahwa pembangunan sumber daya unggul mesti
dilakukan melalui sistem pendidikan yang kuat. Membangun manusia tidak
sebatas pada kemampuan inteligensi, tapi juga mencakup rasa, norma, dan
karakter.

Dalam rembuk itu juga profesionalitas guru menjadi salah satu sasaran program
pemerintah di sektor pendidikan. “Ke depan kami akan menjadikan guru
sebagai ibu pendidikan,” kata Ketua Steering Committee RPNK 2019 Ananto
Kusuma Seta.

Kita sangat menyambut baik bila guru memang dipersiapkan menjadi ibu
pendidikan. Itu akan memperkuat posisi guru sebagai bagian paling penting
dalam sistem pendidikan kita di masa mendatang. Karena itu, upaya
mengangkat profesionalitas kiranya juga harus dibarengi dengan penguatan
perlindungan terhadap profesi guru.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen jelas
disebutkan bahwa selain punya kewajiban, salah satunya mengembangkan dan
meningkatkan kualifikasi akademis dan kompetensi, guru juga berhak
mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Artinya, negara
mesti memastikan bahwa paradigma pendidikan di masa depan harus mampu
meramu solusi atas dua persoalan tersebut, yakni keringnya profesionalitas dan
tumpulnya perlindungan terhadap guru.

Reiteration

Dua tragedi kekerasan terhadap guru dan kegiatan RPNK 2019 sepatutnya bisa
menjadi momentum baik bagi pemerintah untuk menyusun sistem pendidikan
berbasis paradigma baru tersebut. Selalu ada secercah harapan untuk maju.
Namun, tanpa keinginan kuat untuk mengubah sistem yang ada sekarang,
generasi bangsa ini mungkin akan terus merasa risau melihat buramnya dunia
pendidikan.
3. Kedisiplinan Sekolah

Menguji Pendidikan tanpa Tatap Muka

Pernyataan Pendapat

Masa pandemi terus menguji kesanggupan adaptasi hidup. Kini ujian itu sedang
ditatap dunia pendidikan. Sejak minggu lalu, rumor pembukaan sekolah dengan
dimulainya tahun ajaran 2020/2021 pada Juli, langsung membuat orangtua dan
guru resah.

Senin (15/6), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akhirnya


memberikan penjelasan melalui pengumuman rencana penyusunan Keputusan
Bersama Empat Kementerian tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran
pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Covid-19.

Argumentasi

Peserta didik yang berada di zona kuning, oranye, dan merah dinyatakan tetap
melakukan pembelajaran dari rumah (PJJ). Ini mencakup 94% peserta didik di
pendidikan dini, dasar, dan menengah. Dengan begitu, hanya 6% peserta didik
yang diperkenankan menjalani pembelajaran di sekolah.

Namun, selain berada di zona hijau, masih ada tiga syarat untuk melaksanakan
pembelajaran di sekolah, yakni berdasarkan keputusan pemerintah daerah atau
kantor wilayah/Kantor Kementerian Agama memberi izin, satuan pendidikan
sudah memenuhi semua daftar periksa dan siap melakukan pembelajaran tatap
muka, serta disetujui oleh orangtua/wali murid.

Kita harus setuju bahwa persyaratan untuk berlangsungnya pembelajaran di


sekolah itu ialah bentuk adaptasi yang baik. Persyaratan itu tidak hanya
memperhitungkan aspek keamanan kesehatan, tetapi juga aspek kesiapan teknis
dan psikologis.

Para orangtua dan guru semestinya tidak lagi risau, bahkan panik dengan
panduan pembelajaran ini. Sebab, selama sekitar 3 bulan berlangsungnya PJJ,
keluhan pun tidak sedikit.

Kendala utama apalagi kalau bukan akses internet. Ini bukan hanya terkait
infrastruktur yang memang belum tersedia, tetapi juga beban ekonomi baru
akibat mahalnya biaya internet.

Maka pembelajaran kembali di sekolah, bukan saja pilihan yang baik bagi
peserta didik di zona hijau, melainkan memang urgen sebab banyak peserta
didik di zona itu yang selama 3 bulan ini tidak bisa belajar dengan semestinya
karena memang minimnya akses internet di sana.

Pemaksaan PJJ sesungguhnya menutup mata dari ketimpangan akses internet


yang sangat nyata di negeri ini.

Di sisi lain, para orangtua yang berada di luar zona hijau juga semestinya tidak
sepenuhnya bergembira dengan pemberlakuan PJJ sebab ada pekerjaan rumah
besar yang belum diselesaikan Kemendikbud dan sangat berdampak pada
kualitas pendidikan.

Sebagaimana yang sudah dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan


Guru Republik Indonesia, Prof Unifah Rosyidi, hingga saat ini pemerintah
belum membuat standar pembelajaran di masa pandemi.

Bahkan mengenai konsep ‘pembelajaran bermakna’ yang ditugaskan kepada


para guru, pemerintah hingga saat ini pun belum membuat ukuran-ukurannya.

Bisa dibayangkan, jika guru saja bingung, lalu kualitas ilmu macam apa yang
kita harapkan dicapai anak-anak kita?

Dalam tahap ini pemerintah semestinya sadar jika adaptasi di masa pandemi,
terlebih buat dunia pendidikan, tidaklah sekadar ada, tetapi juga menjaga
kualitasnya. Ini terutama penting karena dampak panjang sebuah pendidikan.

Reiteration

Maka sudah saatnya, Kemendikbud segera menyelesaikan tugas penting


selanjutnya, yakni memastikan kualitas pendidikan yang sama di semua model
pembelajaran, baik daring, se midaring, maupun luring.

You might also like