You are on page 1of 815
S}tqewaGrte mu Penyakit Dalam BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM EDISI2 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipt (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus Jima puluh juta rupiah). (8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus Jima puluh juta rupiah). (9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). ‘Dr SOETOMO Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RUMAH SAKIT PENDIDIKAN Dr. SOETOMO SURABAYA EDISI-2 EDITOR Prof. Dr. Askandar Tjokroprawiro, dr., Sp.PD, K-EMD, FINASIM Poernomo Boedi Setiawan, dr., Sjp.PD, K-GEH, FINASIM Chairul Effendi, dr., Sp.PD, K-Al, FINASIM Prof. Djoko Santoso, dr., PhD, Sp.PD, K-GH, FINASIM Dr. Gatot Soegiarto, dr., Sp.PD, K-Al, FINASIM Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR Airlangga University Press © 2015 Airlangga University Press AUP 600/13.569/05.15 (0.6) Dilarang mengutip dan atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotoprint, mikrofilm dan sebagainya. Cetakan pertama = 2015 Penerbit: Airlangga University Press (AUP) Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Telp. (031) 5992246, 5992247 Fax. (031) 5992248 E-mail: aup.unair@gmail.com Dicetak oleh: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP) (PNB 001/01.14/AUP-B6E) Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)_ Buku ajar ilmu penyakit dalam : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya/editor, Askandar Tjokroprawiro ... [et al.]. ~~ Ed. Airlangga University Press (AUP), 2015. 21 x 28 cm. ISBN 978-602-0820-03-3 1. Penyakit. I. Askandar Tjokroprawiro 616 15 16171819/987654321 Anggota IKAPI Anggota APPTI: o01/aT1/95 001/KTA/APPTI/x/2012 KO EDITOR Pranawa, dr, Sp.PD. K-GH, FINASIM Dr. Ari Sutjahjo, dr., Sp.PD. K-EMD, FINASIM Prof. Iswan A. Nusi, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM Prof. Dr. Joewono Soeroso, dr., MSc., Sp.PD, K-R, FINASIM Prof. Usman Hadi, dr, PhD., Sp.PD, K-PTI Prof. Dr. Ami Ashariati, dr., Sp.P, K-HOM, FINASIM Justi Ichwani, dr., Sp.PD, K-Ger, FINASIM EDITOR PEMBANTU Lita Diah Rahmawati, dr., Sp.PD, K-R., FINASIM Budi Widodo, dr., Sp.PD, FINASIM Hermina Novida, dr., Sp.PD, FINASIM Cahyo Wibisono Nugroho, dr., Sp.PD Kontributor DIVISI ALERGL-IMUNOLOGI KLINIS * Chairul Effendi, dr., Sp.PD, K-Al, FINASIM + Dr. Gatot Soegiarto, dr., Sp.PD, K-Al, FINASIM * Ari Baskoro, dr., Sp.PD, K-AI, FINASIM + Deasy Fetarayani, dr, Sp.PD, FINASIM DIVISI ENDOKRINOLOGI-METABOLIK * Prof. Dr. Askandar Tjokroprawiro, dr., Sp.PD, K-EMD, FINASIM + Dr. Ari Sutjahjo, dr., Sp.PD, K-EMD, FINASIM * Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., MSc., Sp.PD, K-EMD, FINASIM * Sri Murtiwi, dr., Sp.PD, KEMD, FINASIM * Soebagijo Adi, dr., Sp.PD, K-EMD, FINASIM % Sony Wibisono, dr., Sp.PD, K-EMD, FINASIM * Jongky Hendro Prajitno, dr., Sp.PD, FINASIM. “ “Hermina Novida, dr, Sp.PD, FINASIM ¢ Hermawan Susanto, dr., Sp.PD * Rio Wironegoro, dr., Sp.PD DIVISI GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI * Prof. Dr. Hernomo O. Kusumobroto, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM * Prof. Iswan Abbas Nusi, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM + Poernomo Boedi Setiawan, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM * Herry Purbayu, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM + Ummi Maemunah, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM + Titong Sugihartono, dr., Sp.PD, K-GEH, FINASIM * Budi Widodo, dr., Sp.PD, FINASIM + Ulfa Kholili, dr., Sp.PD, FINASIM Husin Thamrin, dr, Sp.PD DIVISI HEMATOLOGI-ONKOLOGI MEDIK * Prof. Soebandiri, dr, Sp.PD, K-HOM, FINASIM * Prof. Sugianto, dr, Sp.PD, K-HOM, FINASIM * Prof. Dr. Ami Ashariati, dr., Sp.PD, K-HOM, FINASIM “ Made Putra Sedana, dr., Sp.PD, K-HOM, FINASIM * Dr. Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro, dr. SpPD-KHOM, FINASIM DIVISI NEFROLOGI-HIPERTENSI Prof. Moh. Yogiantoro, dr., Sp.PD, Pranawa, dr., Sp.PD, K-GH, FINASIM Chandra Irwanadi, dr., SpPD, K-GH, FINASIM Prof. Djoko Santoso, dr., PhD, Sp.PD, K-GH, FINASIM Nunuk Mardiana, dr, Sp.PD, K-GH, FINASIM Prof. Mochammad Thaha, dr., PhD, Sp.PD, K-GH, FINASIM, FACP, FASN Widodo, dr., Sp.PD, K-GH, FINASIM Aditiawardana, dr, Sp.PD, K-GH, FINASIM Artaria Tjempakasari, dr., Sp.PD, K-GH, FINASIM H, FINASIM eae be sees DIVISI REMATOLOGI % Prof. Dr. Joewono Soeroso, dr, MSc., Sp.PD, K-R, FINASIM Dr. Yuliasih, dr, Sp.PD, K-R, FINASIM Awalia, dr, Sp.PD, K-R, FINASIM Lita Diah Rahmawati, dr., Sp.PD, K-R, FINASIM DIVISI PENYAKIT TROPIK DAN INFEKSI * Prof. Dr. Suharto, dr, MSc., MPdk., DTM&H, Sp.PD, K-PTI, FINASIM * Prof. Dr. Usman Hadi, dr., Sp.PD, K-PTI % Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM “ Erwin Astha Triyono, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM ¢ Mohammad Vitanata Arifijanto, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM * Bramantono, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM “ Dr. Purwati, dr., Sp.PD, FINASIM. ‘ Musofa Rusli, dr., Sp.PD, FINASIM DIVISI GERIATRI * Justi Ichwani, dr,, Sp.PD, K-Ger, FINASIM + “Hadiq Firadusi, dr., Sp.PD, FINASIM * Novira Widajanti, dr., Sp.PD, K-Ger, FINASIM Kata Sambutan Ketua Editor Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya Assalamu‘alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh Alhamdulillah, dengan surat penugasan dari Ketua Departemen-SMF Imu Penyakit Dalam tanggal 26 Februari 2014 No.: 181/UN3.1.1/PD/SP/I1/2014, rencana untuk menerbitkan Buku Ajar Edisi ke-2 dapat dimulai. Seperti halnya pada tujuan edisi pertama yaitu dengan merangkum kepakaran dan pengalaman Klinik para staf setiap divisi, maka buku ini akan mengalami revisi dan inovasi dengan mengikuti perkembangan Ilmu Penyakit Dalam yang semutakhir mungkin yang seiring dalam menyongsong Era Globalisasi. Buku ini diharapkan akan sangat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa FK Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya beserta para dokter muda, PPDS Ilmu Penyakit Dalam dan PPDS yang terkait, dan pula untuk para staf pengajar Departemen-SMF Imu Penyakit Dalam termasuk semua para Sp.PD dan spesialis yang terkait. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi-2 ini akan memuat semua makalah para kontributor dari 8 Sub Bagian/Divisi yaitu Alergi-Immunologi, Endokrinologi-Metabolik, Gastroenterologi-Hepatologi, Hematologi- Onkologi Medik, Nefrologi-Hipertensi, Rematologi, Tropik-Infeksi, Geriatri dan membahas juga Toksikologi. Buku-Ajar Edisi-2 ini mengandung perkembangan Ilmu Penyakit Dalam dan pengalaman klinik para kontributor yang meliputi 127 judul dan akan tercetak 812 halaman (Edisi-l hanya memuat 64 judul dengan 384 halaman). Para Editor, Ko Editor, dan Editor Pembantu sudah berusaha secara maksimal demi kualitas maupun kuantitas Buku-Ajar Edisi2 ini, namun demikian apabila masih ada kekurangan di sana sini, kami mohon maaf yang sebesarnya. Kami akan menerima dengan lapang hati beserta ucapan terima kasih yang tak terhingga atas segala saran dan koreksi demi kesempurnaan Buku-Ajar Edisi-2. Pada Kesempatan ini saya atas nama tim editor, ko-editor, dan editor pembantu, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Departemen-SMF Penyakit Dalam, Bapak Dekan, dan Bapak Direktur atas Perhatian dan Kepercayaannya kepada kami semua untuk menerbitkan Buku Ajar Imu Penyakit Dalam Edi Akhirnya, dengan ucapan Alhamdulillah...Alhamdulillah...Alhamdulillah Buku-Ajar Imu Penyakit Dalam Edisi-2 ini dapat terbit dan disebarluaskan dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua para pembaca, baik mahasiswa Fakultas Kedokteran, PPDS Ilmu Penyakit Dalam dan PPDS lain, maupun Sp.PD beserta spesialis yang terkait. Segala kritik dan saran yang inovatif atas Buku Ajar Edisi-2 ini akan kami terima dengan lapang hati beserta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. ‘Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Surabaya, 2 Mei 2015 Ketua Editor Prof. Dr. Askandar Tjokroprawiro, dr, Sp.PD, K-EMD, FINASIM Kata Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Pertama-tama mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,, karena berkat limpahan dan rahmatNya maka Buku Ajar Imu Penyakit Dalam ini dapat tersusun dengan baik. Buku ini merupakan salah satu perwujudan kerja keras dari seluruh staf pengajar Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo dalam melaksanakan visi dan misi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Sebagai Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya kami memberikan apresiasi yang sangat baik dengan penerbitan buku ini, Harapan kami Buku Ajar Imu Penyakit Dalam ini dapat menjadi buku acuan dan sumber pengetahuan bagi para mahasiswa, dokter muda, para dokter peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS), staf pengajar maupun berbagai pihak yang membutuhkan. Selain itu terbinya buku ini akan mendukung kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi terutama di bidang pendidikan. Semoga dengan terbitnya buku ini dapat meningkatkan mutu pendidikan dokter di masa datang dan akhirnya kami ucapkan selamat kepada seluruh staf pengajar dan berbagai pihak yang terlibat dalam penerbitan Buku Ajar IImu Penyakit Dalam ini. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Surabaya, 2 Mei 2015 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M-Kes., Sp.PD, K-EMD, FINASIM Kata Sambutan Direktur RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo merupakan rumah sakit rujukan tipe A, rumah sakit pendidikan dan pusat penelitian kesehatan yang selalu menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan, pendidikan serta penelitian, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ini telah disusun oleh staf Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga-RS Pendidikan Dr. Soetomo sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan pelayanan Rumah Sakit kita. Buku Ajar IImu Penyakit Dalam ini selain dapat menjadi sumber pengetahuan bagi tenaga kesehatan, juga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu untuk pasien dan keluarganya di lingkungan RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Penghargaan Kami berikan kepada editor dan seluruh staf Departemen-SMF Imu Penyakit Dalam yang telah bekerja keras menyelesaikan penyusunan buku ajar ini dengan sebaik-baiknya. Semoga bermanfaat. ‘Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Surabaya, 2 Mei 2015 Direktur RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya ‘Dodo Anondo, dr., MPH Kata Sambutan Ketua Departemen—SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, yang telah memberikan rahmat kepada kita semua, sehingga Buku Ajar Edisi-2 Imu Penyakit Dalam FK UNAIR - RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya dapat diterbitkan. Buku Ajar Edisi-2 ini dibuat dengan memperhatikan kepentingan yang seimbang antara pendidikan dan pelayanan/klinis praktis, dan dengan demikian akan sangat memberikan manfaat bagi para mahasiswa kedokteran, dokter dan dokter spesialis dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Untuk kepentingan pendidikan maka topik/bahasan yang dipilih dan dijabarkan pada buku ajar ini sangat memadai, karena sesuai dengan kemutakhiran baik dari sisi pathogenesis dan tatalaksana yang ada di bidang penyakit dalam, sehingga dapat menjamin tambahan pengetahuan yang baik. Menyambut era pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia di mana sangat banyak hal atau istilah “baru” di dalam pelayanan kedokteran-kesehatan, maka materi yang dibahas dalam buku ajar ini sangat sesuai, dan dapat dipakai sebagai salah satu referensi untuk pembuatan PPK (Panduan Praktik Klinik, “Clinical pathway", Algoritma dll, dan sangat dapat disesuaikan dengan kemampuan fasilitas kesehatan setempat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien. Akhirnya saya ucapkan penghargaan yang sangat tinggi dan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD., KEMD., FINASIM selaku Ketua Editor beserta seluruh penulis Buku Ajar Edisi-2 ini atas segala usaha yang telah dilaksanakan Insya Allah bermanfaat dunia akhirat. ‘Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Surabaya, 2 Mei 2015, Ketua Departemen - SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya dr. Poernomo Boedi Setiawan Sp.PD., K-GEH., FINASIM. Daftar Isi Kontributor.. Kata Sambutan Ketua Editor Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalat rsitas Airlangga. Kata Sambutan Direktur RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Kata Sambutan Ketua Departemen-SMF Penyakit Dalam.. Kata Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran U1 Pengantar Tata Laksana Pasien Penyakit Dalam. Pendekatan Evidence Based Medicine (EBM) pada Diagnosis dan Terapi Alergi-Imunologi Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi Gatot Soegiarto, Chairul Effendi. 13, Patogenesis Penyakit Aes Gatot Soegiart... 21 Gatot Soegiarto, Deasy Fetarayani 32 Alergi Obat Gatot Soegiarto... 43 Alergi Makanan, Ari Baskoro . 62 Endokrinologi-Metabolik Diabetes Mellitus Askandar Tjokroprawiro, Sri Murtivi. a Penyuluhan: Edukasi Tentang Diabetes Mellitus Askandar Tjokroprawiro, Hermina Novida .... 82 Diet Diabetes: Terapi Nutrisi Medis Askandar Tjokroprawiro, Sri Murtiticccom — 87 Latihan Fisik Sri Murtiwi, Askandar Tjokroprawivo 96 ‘Terapi Farmakologis: OAD dan Insulin-Praktis Askandar Tjokroprawiro, Sri Murtiai. 100 Terapi Insulin Agung Pranoto, Jongky Hendro Prajtno. 108 vii ix xi xiii xv 1 4 Kegawatdaruratan Diabetes Mellitus Askandar Tjokroprawiro, Sri Murtiai. us Penyakit Graves (Graves' Disease) Ari Sujahjo, Rio Wironegoro, Hermina Novida. 126 ‘Tirotoksikosis Ari Suljahjo, Askandar Tjokroprawiro.. Krisis Tiroid Askandar Tjokroprawiro, Hermina Novida 140 Tirotoksikosis Periodik Paralisis Ari Sujahjo, Rio Wironegoro, 136 Jongky Hendvo Prajitno M7 Hipotiroid Ari Subj. 152 Tiroiditis Kronik Autoimun (Hashimoto's Thyroiditis) ‘Ari Suljahjo, Rio Wironegoro, Hermawan Susanto... Gangguan Tiroid dan Kehamilan Ari Sutjahjo, Rio Wironegoro, Hermina Novida.. 160 Dislipidemia Soebagijo Adi, Jongky Hendro Prajitno.. Penyakit Kelenjar Adrenal Sony Wibisono, Askandar Tjokroprawiro 0.0. 183 Insufisiensi Hipofisis Anterior Askandar Tjokroprawivo, Avi Sutjahjo, Hermina Novida... Diabetes Insipidus Sri Murtiwi, Hermawan Susanto, Askandar Tjokroprawin 192 195, Osteoporosis Sri Murtiwi, Agung Pranoto, Askandar Tjokroprawiro.. 197 Gastroenterologi- Hepatologi Dispepsia Iswan A Nusi, Budi Widodo 207 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Iswan A Nusi vs 212 Tukak Peptik Iswan A Nusi 214 Helicobacter Pylori Herry Purbiy tienes 208 Kanker Gaster Ummi Maemunah. 225 Achalasia_ Titong Sugihartono.. 231 Diare Kronik Herry Purbayu. 234 Inflammatory Bowel Disease ‘Hernomo O Kusumobroto. 242 Irritable Bowel Syndrome Ummi Maemunah. 246 Kanker Kolorektal Titong Sugihartono. 251 Pankreatitis Akut Ummi Maemunah. 254 Pankreatitis Kronis Ummi Maemunah. 261 Ikterus Herry Purbayu. 266, Kanker Pankreas Titong Sugihartono. 271 Hepatitis Virus Akut Hernomo O Kusumobroto. 275 Hepatitis B Kronis Poernomo Boedi Setiawan, Husin Thamrin Hepatitis C Kronis 278 Poernomo Boedi Setiawan, Ulja Kholil.. 287 Sirosis Hati Hernomo O Kusumobroto eee 292 Perlemakan Hati Non Alkoholik (Non Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD) Iswan A Nusi 299 Diet Hati Aswan A. Nusi... 308 Karsinoma Hepatoseluler Poernomo Boedi Setiawan.. 312 Abses Liver Titong Sugihartono. 317 Toksikologi Keracunan Akut Bahan Kimia Hernomo O Kusumobroto. 323, Keracunan Napza Hernomo O Kusumobr0t0 srcccenesnnnensen 327 Keracunan Pestisida Hernomo O Kusumobroto. 331 Keracunan Alkohol Hernomo O Kusumobroto... 339 Keracunan Makanan Hernomo O Kusumobroto. 343, Keracunan Minyak Tanah Hernomo O Kusumobroto. 349 Keracunan Bahan Korosif Hernomo O Kusumobroto... Hematologi-Onkologi Medik Anemia Ugroseno YB. Anemia Defisiensi Besi Ugroseno YB. 361 ‘Anemia Aplastik Sugianto, Anemia Hemolitik ‘Made Putra Sedana.. Anemia Hemolitik Autoimun Ami Ashariati, 369 Anemia Pada Penyakit Kronis Ugroseno YB. 375 Polisitemia Made Putra Sedan... Leukemia Akut Ami Ashariati, Leukemia Granulositik Kronik Ugroseno YB.. Leukemia Limfositik Kronik Made Putra Sedana. Limfoma Maligna Made Putra Sedantiinncnnennnnnnnnnennen 400 Multiple Myeloma Ugroseno YB. Diatesis Hemoragi Ami Ashariati, Soebandiri. 378 381 390 396 Purpura TrombositopenikImunologik (PT!) Ugroseno YB. . ‘Transfusi Darah Ami Ashariati. Sindroma Antifosfolipid Ugroseno YB, Soebandiri.. Kemoterapi Ami Ashariati. 419 423 429 433 Nefrologi—Hipertensi Pengantar Kuliah Nefrologi Nunuk Mardiana, Pranawa: Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal Artaria Tjempakasari, Moh. Yogiantoro. Hematuria Djoko Santoso. Proteinuria Djoko Santoso, Artaria Tjempakasari Sindroma Glomerular Chandra Irwanadi, Nunuk Mardiana. Penyakit Ginjal Kronis ‘Nunuk Mardiana, Aditiawardana . Acute Kidney Injury Widodo, Chandra Irwanadi Infeksi Saluran Kemih M. Thaha, Moh, Yogiantoro... Batu Saluran Kemih M. Thaha, Chandra Irwanadi. Hipertensi Pranawa, Artaria Tjempakasari. Hemodialisis & Peritoneal Dialisis pada Penyakit Ginjal Kronis Aditiawardana, Widodo... ‘Transplantasi Ginjal Widodo, Pranawa. 439 447 457 465 472 484 493 501 510 525 534 Rematologi Pemeriksaan Dasar Reumatologi Gait Arms Spine Legs System (GALS System) Yuliasih, Joewono Soeroso. Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi Lita Diah, Joewono Soeroso Artritis Reumatoid Joewono Soeroso.. Juvenile Rheumatoid Arthritis Yuliasih, Joewono Soeroso . Osteoartritis Joewono Soeroso, Yuliasih 543, 556 Spondiloartropati Yuliasih, Joewono Soeroso Artropati Kristal Yuliasih, Artritis Septik Awalia, Yuliasi... Fibromialgia Lita Diah, Joewono Soeroso.. - 584 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Yuliasih.. Kehamilan pada Systemic Lupus Exythematosus (SL Yuliasih, Skleroderma Yuliasih, Joewono Soeroso. Sindroma Sjogren Yuliasih, Amiloidosis Awalia, Joewono Soeros Vaskulitis 589 602 605 611 Awalia, Yuliasih. 623, Fenomena Raynaud Lita Diah, Joewono Soeroso.. 628, Manifestasi Paru pada Penyakit Reumat Yuliasih, Jorwono Soeroso. 633 Corticosteroid Induced Osteoporosis (CIO) Joewono Soeroso. Tropik-Infeksi Demam Tifoid Suharto Infeksi Nosokomial Suharto... Leptospirosis (Weil's Disease) Usman Hadi... Rabies Usman Hadi... Infeksi HIV Nasronudin Infeksi Fungal Sistemik Bramantono. 663 686 Kolera Erwin Astha Triyono Disentri Basiler M., Vitanata Arifijanto Filariasis M. Vitanata Arifijanto.. Seps M, Vitanata Arifijanto.. 691 695 698, 701 Ankilostomiasis Bramantono, Purwati. Infeksi Malaria Bramantono, Purwat Taeniasis Solium dan Si Usman Hadi, Musofaa Rusti ‘Taeniasis Saginata Usman Hadi, Musofa Rusti Dengue Usman Hadi, Musofaa Rusti Difteri M. Vitanata Arifijanto.. Tetanus Usman Hadi.. erkosis 708 75 721 725 728 737 740 Geriatri Pengkajian Geriatrik Novira Widajanti, Jusri Ickwani Konfusio Akut Jusri Ichwani, Hadig Firdausi.. Imobilitas pada Usia Lanjut Nowvira Widajanti, Jusri Ichwani Dekubitus Jusri Ichwani, Hadig Firdausi. Infeksi Akut pada Usia Lanjut Jusri Ichwani, Novira Widajanti Gizi pada Usia Lanjut Jusri Ichwani, Novira Widajanti Jatuh pada Usia Lanjut Jusri Ichwani Hadig Firdausi.. Inkontinensia Urin Jusri Ichwani, Novira Widajanti 756 758 762 769 774 730 786 Pengantar Tata Laksana Pasien Penyakit Dalam Poernomo Boedi Setiawan Penyakit dalam (dewasa) sangatlah luas dan mempunyai kekbususan tertentu. Penyaki-penyakit ini mungkin saja di kelola oleh dokter umum, dokter spesialis dalam dan bahkan dokter spesialis dalam -konsultan (sub spesialis) sesuai dengan kompetensi dokter tersebut dan tentu seharusnya sesuai dengan kondisi pasien. Pasien penyakit dalam mendatangi dokter atau rumah sakit dengan berbagai keluhan dan kondisi fisik yang sangat bervariasi, karenanya pendekatan holistik sangat diperlukan dalam tata laksana pasien penyakit dalam. Hampir tidak dikenal kondisi lokalis di dalam ranah penyakit dalam, sehingga seorang dokter harus berpikir secara luas, namun fokus, sehingga tata laksana pasien dapat mencapai hasil yang optimal Secara umum, tata laksana pasien dimulai dari pengumpulan data pasien, diagnosis awal, rencana pengobatan awal,, evaluasi hasil pengobatan, deteksi komplikasi, edukasi dan kemudian pemantapan tata Jaksana pasien dengan urutan serupa dalam rangka penatalaksanaan pasien jangka panjang bila diperlukan. Maksud dari tulisan ini adalah sebagai pengantar yang mungkin dapat dipakai untuk merencanakan tata laksana pasien dan bukan untuk menjelaskan setiap langkah yang harus dilakukan pada seseorang pasien, karena tentu diperlukan bahasan yang sangat panjang dan lengkap dan bahkan sebuah buku tersendiri PENGUMPULAN DATA PASIEN Penguasaan gejala dan tanda penyakit merupakan, hal penting untuk usaha pengumpulan data pasien. Pemahaman tentang etiologi, patogenesis termasuk didalamnya faktor risiko penyakit dan demografi penyakit akan memperkuat arah pengumpulan data pasien. Pengumpulan data terdiri dari: a. Anamnesis Anamnesis dimulai dari keluhan utama, dilanjutkan dengan riwayat penyakit sekarang (yang merupakan penjabaran dari keluhan utama), kemudian anamnesis sistemik dan Iain- Jain, disesuaikan dengan kondisi, situasi dan kebutuhan pasien. Sangat penting diketahui bahwa sesungguhnya tidak Jah terlalu banyak jenis keluhan utama pasien. Pasien bisa saja datang ke dokter dengan berbagai keluhan, namun dokter yang baik seharusnya bisa mengetahui keluhan utama apa sebenarnya pasien tersebut datang ke seorang dokter. Selanjutnya penjabaran dari keluhan utama akan menyesuaikan. Untuk menulis dalam. rekam medis maka sebaiknya dibuat terlebih dahulu dalam kertas konsep, kemudian ditulis kembali dalam bentuk kalimat yang jelas dan terarah menuju ke diagnosis awal. b. Pemeriksaan fisik Pada berbagai buku ajar tentang fisik diagnostik secara lengkap telah dijelaskan bagaimana pemeriksaan fisik yang benar dan baik. Khusus pasien dengan penyakit dalam, terkadang sangat sulit membuat pemeriksaan fisik berfokus pada status lokalis, karenanya diperlukan kehati-hatian dalam menentukan_pemeriksaan fisik yang paling menonjol pada seorang pasien. Sangat bijaksana bila dilakukan usaha pengumpulan data pemeriksaan fisik yang abnormal sehingga dapat menuju ke diagnosis awal c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada umumnya terdiri dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan elektromedis, pemeriksaan imejing (= pencitraan) dan pemeriksaan lain sesuai kebutuhan pasien. Pemeriksaan ini sangat mungkin tidak selalu tersedia pada suatu fasilitas 2 ILMU PENYAKIT DALAM kesehatan dan sangat berbeda sesuai tingkat fasilitas kesehatan. Diperlukan kearifan dalam pemilihan pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan pada seorang pasien. Seorang dokter seyogyanya berpikir manfaat klinis apa yang didapat pasien bila dilakukan suatu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada suatu RS atau fasilitas kesehatan sebaiknya tercantum jelas dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) penyakit sehingga dapat terhindar dari pemeriksaan penunjang yang berlebihan maupun yang sangat minimal. Beberapa pemeriksaan penunjang invasi, semisal imejing dengan kontras, biopsi jaringan/organ tubuh, tes fisik kapasitas jantung atau paru, pemeriksaan endoskopi saluran cerna dan lain- lain, membutuhkan pengertian indikasi dan kontra indikasi pemeriksaan, karenanya sangat bijaksana untuk selalu mempertimbangkan risiko dan manfaat klinis yang akan diperoleh dari suatu pemeriksaan penunjang. DIAGNOSIS Kecepatan dan ketepatan pembuatan diagnosis bervariasi menurut situasi dan kondisi_pasien. Pasien dengan tanda mengancam jiwa memerlukan diagnosis awal yang cepat, sangat mungkin belum Jengkap, namun sudah dapat dipakai pedoman tata laksana awal yang optimal untuk penyelamatan pasien. Penulisan diagnosis awal, pada kasus yang masih belum memenuhi kriteria diagnosis penyakit, dapat berupa: a. Diagnosis dugaan Kelemahan adalah dokter dapat terpaku pada satu diagnosis tersebut saja, sehingga segala pemeriksaan penunjang, tata laksana berfokus pada satu diagnosis saja, yang mungkin tidak benar. b. Diagnosis kerja Bermanfaat untuk memulai tata laksana pasien, namun alternatif diagnosis selanjutnya tidak tampak, sehingga akan sulit mencari hubungan bila terjadi perubahan diagnosis c. Diagnosis banding Mempunyai_konsekuensi_ perencanaan awal yang banyak, mungkin terasa tidak fokus, bisa diatasi dengan membuat kemungkinan diagnosis banding apa yang paling mungkin berdasarkan urutan, untuk selanjutnya dilakukan tata laksana yang paling mungkin diagnosisnya dan aman ‘untuk pasien. Pada pasien rawat inap, setelah perawatan penentuan diagnosis utama harus dilakukan secara hati-hati. Penulisan diagnosis utama seyogyanya adalah penyakit yang menyebabkan pasien dirawat, dan diagnosis tersebut harus dapat dikelompokkan sesuai ICD yang diberlakukan di RS tersebut. TATA LAKSANA PASIEN Pada kondisi tertentu tata laksana pasien dapat segera dimulai, walaupun diagnosis belum dapat dipastikan. Di bidang penyakit dalam tata laksana pasien dapat terdiri dari: a. Pengaturan aktivitas pasien b. Pengaturan, diit dan nutrisi, serta cairan pasien c. Pengaturan keseimbangan asam d. Pemberian obat-obatan ¢. Tindakan medis non bedah, missal nya pungsio cairan pleura, asites, endoskopi saluran cerna dan lain-ain, f£ Dil Patut diperhatikan adalah prinsip “first do no harm”. Sebagian besar pengobatan di bidang penyakit dalam bersifat tidak dapat atau sulit dikembalikan lagi pada kondisi sebelum obat diberikan, atau dengan kata lain bila terjadi pemberian obat yang tidak sesuai, maka dokter akan kesulitan mengkoreksinya. Semua aspek pemberian obat harus dikuasai oleh seorang dokter. Dengan ragam obat yang sangat banyak pada saat ini, dianjurkan dokter hanya memberikan obatobatan yang telah “terbiasa’, atau bila hendak memberikan obat “baru” dikenal dianjurkan membaca dan memahami obat baru tersebut sehingga aman bagi pasien dan dokter. Pemberian obat yang baik termasuk salah satu bukti telah melaksanakan kode etika dokter Indonesia dengan baik. HUBUNGAN DOKTER-PASIEN PENYAKIT DALAM Hubungan dokter-pasien selalu merupakan hal utama dalam perawatan seorang pasien. Di bidang penyakit dalam hal ini pada beberapa penyakit terasa lebih khusus, karena mungkin saja pasien akan terus berobat dalam jangka lama sepanjang hidupnya atau pasien dalam kondisi stadium akhir suatu penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Sikap “care” dan “cumpassion * harus ditunjukkan seorang dokter. Menyediakan waktu cukup untuk komunikasi, dan sikap tidak tergesa-gesa akan menimbulkan rasa aman pada pasien dan menimbulkan kepercayaan pada seorang dokter. Pujian pada seorang pasien atas keberhasilan melakukan anjuran atau nasihat dokter penting dilakukan untuk menimbulkan semangat pasien, Sangat banyak buku yang membahas tentang hubungan dokter pasien, sepatutnya dokter menyediakan waktu untuk membaca dan memahaminya. PENGANTAR TATA LAKSANA PASIEN PENYAKIT DALAM 3 DAFTAR PUSTAKA Bickley LS, Szilgy PG (2013). Overview: Physical Examination and history taking, in: Bate,s Guide to physical examination and history taking — 11'" edition, pp. 4-22. Douglas G, Nicol F, Robertson C (2014). Pemeriksaan Klinis Macledo. Edisi bahasa Indonesia. Edisi ke 13, him 1. Fleming D (2013). Future directions of internal medicine training. Special lecture. Proceeding World Congress of Internal Medicine 2014, p. 21. Kohler HP (2014). Internist-Specialist-subspecialist = Sub sub specialist. Plenary lecture. Proceeding World Congress of Internal Medicine 2014, p. 3. Pendekatan Evidence Based Medicine (EBM) pada Diagnosis dan Terapi Joewono Soeroso ESENSI EBM. * EBM adalah penerapan epidemiologi dan biosatistika pada pengelolaan pasien yang rasional © Meningkatkan akurasi, efektivitas dan efisiensi © Tetap mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terkini. PENGELOLAAN PASIEN YANG RASIONAL Kekhasan para Klinisi adalah mereka menangani pasien secara individual dan dalam pengambilan keputusan pada pengelolaan pasien hampir selalu atas dasar: a. Ilmu yang berisi komponen-komponen: © pengetahuan (ilmu kedokteran), * logika (sintesis dan analisis data Klinis mis; melalui POMR) + pengalaman b. Seni yang merupakan komposit dari © keyakinan, © pertimbangan, + intuisi Keputusan yang rasional merupakan proyeksi hasil penelitian pada sekelompok pasien yang menggunakan strategi epidemiologi dan biostatistika. Penerapan metode epidemiologi pada hakikatnya dilaksanakan oleh 2 pelaku yaitu: 1. Peneliti (doers). Penelitiannya dapat berupa penelitian klinis, 2. Pengguna (users). Mereka adalah para Alinisi pengguna hasil penelitian sebagai back up untuk diterapkan dalam pengelolaan pasien. Pengelolaan Akurasi, Efikasi dan Efisiensi Pengelolaan Pasien a, Telaah Kritis, EBM pengelolaan pasien metode epidemiologi dan penerapan hasil penelitian yang sahih, bermanfaat dan aplikabel untuk tata laksana pasien. Untuk mengetahui hasil penelitian yang sahih, bermanfaat dan aplikabel kita harus mempunyai kemampuan melakukan telaah kritis (critical appraisal) terhadap metodologi dasar artikel hasil penelitian yang akan kita gunakan untuk tata laksana pasien. Tujuan telah kritis, adalah agar seorang Klinisi bisa: © Memilih artikel sahih, bermanfaat dan aplikabel untuk diterapkan pada pengelolaan pasien © Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Akses untuk mendapat informasi cepat dan mudah melalui jejaring ilmiah di internet misalnya PubMed, Highwire, MEDLINE, SPIRS dll. Mengapa perlu memilih artikel penelitian yang Sahih, bermanfaat dan aplikabel? Haynes et. al. (1986) melaporkan bahwa dari 4 majalah penyakit dalam terkemuka di dunia, hanya 19%. yang metodologi dasarnya memenuhi syarat, bahkan untuk peneltian sensitivitas dan spesifisitas tes diagnostik Reid, Lachs dan Feinstein (1995) melaporkan hanya 6%. Jika artikel yang tidak sahih, bermanfaat dan aplikabel kita gunakan sebagai back-up suatu keputusan, pasien dapat dirugikan, PENDEKATAN EVIDENCE BASED MEDICINE (EBM) PADA DIAGNOSIS DAN TERAPI 5 b. Metode Kuantitatif Metode kuantitatif atau kuantifikasi adalah Penerapan statistika untuk memperhitungkan akurasi dan efisiensi diagnosis, terapi dan prognosis. Misalnya; metode nilai prediksi, ikelihood ratio methods dan clinical decision analysis. Ekonomi Klinis Efisiensi lebih ditingkatkan jika diaplikasikan ilmu ekonomi dalam pengelolaan pasien. Analisis ekonomik meliputi cost-analysis, cost-effectiveness analysis, cost-benefit analysis dan cost- wility analysis serta sensitivity analysis. d. Timu Sosial Imu sosial sangat penting dalam pengelolaan pasien. Dalam menegakkan diagnosis (misal; AIDS dll.), informasi sosial dan perilaku sangat diperlukan. Kepatuhan tethadap perintah dokter dalam diagnosis dan terapi juga dipengaruhi faktor sosial TETAP MENGIKUTI PERKEMBANGAN Agar tetap mutakhir seorang klinisi sebaiknya membaca 200 artikel dan 70 editorial terbaru setiap bulan, padahal klinisi tidak mempunyai banyak waktu, oleh karena itu perlu metode cepat untuk menilai kesahih, bermanfaat dan aplikabelan sebuah artikel. Metode telaah kritis telah dikembangkan. Dengan metode ini diperlukan hanya beberapa menit untuk menafsir kesahih, bermanfaat dan aplikabel dari suatu artikel. Panduan kriteria telaah kritis terdiri dari: 1. Pemilihan tes diagnostik I. Uji klinis terapi II. Penelitian faktor prognosis IV. Uji diagnosis dini (screening trial) V. _ Penelitian faktor risiko dan etiologi. VI. Penelitian analisis ekonomik dan VIL. Tinjauan Pustaka (review article). Pengelolaan yang Baik Berasal dari Penelitian yang Baik Dari penjelasan diatas kita lihat bahwa pengelolaan pasien yang baik hampir selalu berasal dari penelitian yang baik, Oleh karena itu pemahaman EK diharapkan akan merangsang para klinisi untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas penel CONTOH PENERAPAN ALAT DIAGNOSTIK METODE NILAI PREDIKTIF (MNP) Metode nilai prediksi (MNP) merupakan alat untuk menentukan sakit tidaknya (normalitas) seseorang, Langkah-langkah pada MNP: 1. Memperkirakan besarnya probabilitas prates seseorang untuk menderita suatu penyakit Ceci Sc | Peneliti_ +. Artikel ka ‘imu Frayakinn ‘pengetahuan fogka S *pertimbangan ) \ ct pengalaman nuit Gambar 1. Skema Konsep Epidemiologi Klinis* sebelum suatu tes diagnostik yang akan digunakan. Mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas tes diagnostik yang akan digunakan. Menafsir kesahih, bermanfaat dan aplikabelan Sn dan Sp dari tes diagnostik yang akan digunakan. Mengolah informasi yang berasal dari butir 1,2,3 dalam Tabel 1 x 2 untuk mendapatkan probabilitas seseorang untuk menderita penyakit setelah dilakukan tes diagnostik. Ini disebut probabilitas pascattes. Penentuan Probabilitas Prates Nilai probabilitas prates sangat ditentukan oleh kemampuan seorang Klinisi antara lain: * Ilmu kedokteran dasar, keterampilan diagnosis fisis, penguasaan ilmu penyakit, ketepatan penerapan skor dan kriteria diagnosis serta ilmu kedokteran yang lain. © Kemampuan sintesis dan analisis data klinis yang digali dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium sederhana. * Pengalaman dalam menemukan kasus serupa, di mana makin besar pengalaman makin akurat nilai probabilitas pratesnya. © Seni (art) masing-masing dokter yang merupakan komposit dari pertimbangan, intuisi, keyakinan Mengetahui Sn dan Sp Tes Diagnostik Mengetahui Sn dan Sp setiap tes diagnostik yang akan kita gunakan adalah penting, lebih-lebih jika tes diagnostik tersebut berbiaya tinggi atau riskan jika dilakukan. Tes diagnostik yang kita pilih sebaiknya yang paling akurat, yaitu Sn dan ‘Spnya tinggi atau mendekati 5-80%, tetapi tidak jarang susah untuk mendapatkannya. Patokan yang dapat membantu memilih akurasi tes diagnostik adalah: © Jika individu yang sakit tetapi tidak terdiagnosis (negatif palsu) akan memberat atau meninggal jika tidak diobati, kita pilih tes diagnostik dengan Sn yang tinggi (mis; neonatal fenilketonuria dan beberapa keganasan). 6 ILMU PENYAKIT DALAM © Jika diagnosis yang positif palsu dapat membawa kepada terapi yang riskan (mis; kemoterapi, bedah jantung terbuka) atau tindak lanjut yang riskan (kateterisasi jantung) atau membawa efek merugikan pada pasien (AIDS, gangguan jiwa, keganasan), kita pilih tes dengan Sp yang tinggi. 3. Menilai Kesahih, bermanfaat dan aplikabelan Sn dan Spesifitas Hal lain yang penting adalah kesahihan, bermanfaat dan aplikabel nilai Sn dan Sp yang akan kita terapkan pada metode nilai prediktif. Nilai Sn dan Sp biasanya kita ambil dari artikel yang melaporkan hasil penelitian suatu tes diagnostik baik dari luar negeri maupun dalam negeri, yang mana tidak semua artikel itu sahih, bermanfaat dan aplikabel. Oleh karena itu kita sebaiknya menelaah terlebih dahulu kesahih, bermanfaat dan aplikabelannya Untuk lebih terperinci silahkan mempelajari kriteria untuk menilai kesahih, bermanfaat dan aplikabelan artikel penelitian yang meneliti tentang Sn dan Sp suatu tes diagnostik yang salah satunya terdapat di dalam buku: Clinical Epidemiology. A Basic Science of Clinical Medicine Pengolahan Metode Nilai Prediksi Marilah kita melihat pada Tabel 1 x 2 (Tabel 1) di mana didalamnya terdapat 4 buah sel yaitu sel a, sel b, sel c dan sel d dan juga kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sakit tidaknya seseorang. Sebelum itu kita simak beberapa batasan di bawah ini: © Tes diagnostik adalah istilah luas yang meliputi riwayat penyakit, gejala dan tanda, teknik penerawangan (misal: sinar X, CT scan dll), prosedur (misal: EKG) dan tes-tes laboratorium yang bisa dipergunakan untuk membuat keputusan Klinik. * Sensitifitas (Sn) suatu tes diagnostik adalah probabilitas individu sakit untuk mempunyai tes positif atau disebut juga true positive rate. Rumusnya adalah * Negatif palsu adalah probabilitas individu yang sakit untuk mempunyai tes yang negatif. Rumusnya adalah * Spesifisitas (Sp) suatu tes diagnostik adalah probabilitas individu tidak sakit untuk mempunyai tes yang negatif atau disebut juga true negative rate. Rumusnya. * Positif palsu adalah probabilitas individu yang tidak sakit dengan hasil tes yang positif. Rumusnya adalah, © Probabilitas prates (PP) adalah probabilitas individu untuk menderita suatu_ penyakit sebelum dilakukan suatu tes diagnostik tertentu. Sering disebut juga sebagai prevalence of disease. Rumusnya adalah. * Probabilitas pascates positif (PPP) adalah probabilitas individu dengan tes positif untuk menderita suatu penyakit atau disebut nilai prediktif positif. Rumusnya adalah. * Probabilitas pascates negatif (PPN) adalah probabilitas individu dengan tes negatif untuk tidak menderita suatu_penyakit atau sering disebut dengan nilai prediktif negatif. Rumusnya adalah. Pada makalah ini digunakan 5-80% - PPN untuk melihat prosentase perubahan dari probabilitas prates ke probabilitas pascates. * Standar emas (gold standard) adalah tes yang paling akurat (misalnya: otopsi, biopsi, arteriografi koroner) yang digunakan untuk diagnosis penyakit di mana dia dipakai sebagai standar pembanding dari tes diagnostik yang digunakan untuk penyal Tlustrasi Kasus Kasus I Pria 55 tahun, mengeluh nyeri substernal yang menjalar ke leher, dagu bawah dan lengan bagian dalam. Nyeri terutama timbul jika mendaki dan berkurang pada waktu istirahat. Ada episode nyeri waktu berganti baju sehabis kegiatan fisik. Pada pemeriksaan didapatkan hipertensi berat dan irama galop. Apakah pada pasien bisa tredmil? Penyelesaian Suatu artikel sahih, bermanfaat dan aplikabel menyebutkan bahwa Sn tredmil untuk mendeteksi stenosis koroner (depresi ST 1 mm) dibandingkan dengan arteriografi koroner (stenosis a. koronaria 70%) sebagai standar emas, adalah 60% dan Sp nya 91%. Oleh si dokter diperkirakan kemungkinan/ probabilitas pasien tersebut untuk menderita penyakit jantung koroner/PJK (sebelum dilakukan tredmil) adalah 90% (probabilitas prates/PPr = 90%). Atas dasar informasi tersebut dibuat model simulasi 5-800 sampel hipotetis yang dirakit dalam Tabel 1 x 2 (Tabel 1). PENDEKATAN EVIDENCE BASED MEDICINE (EBM) PADA DIAGNOSIS DAN TERAPI 7 Tabel 1. Manfaat Tredmil pada Kasus | Probabilitas prates = PaK atclatbctd = {arteriografi koroner, 1900/5-800=90% penyempitan 2 70%) Ya Tidak Probabilitas pascates Perubahan Pos Dep sT 349 + 8% 540 (@/a+b =540/549=98%) TREDMIL 1mm a 8 Neg € D Dep ST 360 7 451 10% | 50%). Mengukur Efisiensi Suatu Terapi Secara Sederhana Kita tetap pada penelitian hipotetis di atas. Di sini diukur efisiensi terapi secara sederhana melalui cara Number Needed to Treat (NNT) yaitu, sedangkan ARR adalah proporsi stroke dan angka kematian pada plasebo dikurangi proporsi stroke dan angka kematian pada obat X, sebagai berikut: Interpretasi hasil NNT di atas yaitu; pada pasien hipertensi dengan kerusakan organ target diperlukan hanya 7 orang yang diterapi dengan obat X untuk mencegah terjadinya 1 komplikasi stroke atau kematian, sedangkan pada pasien hipertensi tanpa kerusakan organ target diperlukan 17 orang yang diterapi dengan obat X untuk mencegah terjadinya 1 komplikasi stroke atau kematian. Kesimpulan; obat X lebih efisien jika diberikan pada pasien hipertensi dengan kerusakan organ target dibandingkan jika diberikan pada pasien hipertensi tanpa kerusakan organ target untuk mencegah terjadinya komplikasi stroke atau kematian. DAFTAR PUSTAKA Dixon RA, Munro JF, Silcocks PB (1997). The evidence based medicine work book. Critical appraisal for clinical problem solving. Oxford: Butterworth-Heineman Glasziou P, Del Mar C, Salisbury J (2007). Evidence- based Practice Workbook. Bridging the gap between health care research and practice. BMJ Book, pp. 38, Tabel 4. Penghitungan RRR Proporsi Kematian Relative Risk Reduction (RRR) Status waktu masuk penelitian Plasebo P ‘bat P-X/P Tanpa kerusakan organ target 022 0.08 0.22 -0.08/0.22 = 64% Dengan kerusakan organ target 05-8 0.04 05-8-0.04/0.5-8 = 60% Tabel 5. Penghitungan NNT ProporsiKematian NNT ‘Status waktu masuk penelitian PlaseboP _Obat X RRR ARR(PX) VAR = NNT Tanpa kerusakan organ target 0.22 0.08 64% 05-8 W05-8=7 Dengan kerusakan organ target 05-8 0.04 60% 0.06 v0.06 = 17 10 LMU PENYAKITDALAM Haynes RB (1986). How to keep up with medical literature II. Deciding which journal to read regularly. Ann Intern Med, 5-85 Haynes RB, Guyyat GH, TugwellP, Sackett DL (2006). Clinical Epidemiology. How to do clinical pactice research. 3rd Ed. Philadephia: Lippincott William Wilkins, pp. 224-289 Haynes RB, McKibbon KA, Fitzgerald D, Guyyat GH, Walker GJ, Sackett DL (1986). How to Keep Up with the Medical Literature: II. Deciding Which Journals to Read Regularly. Ann Intern Med, 5-84 Reid MC, Lachs MS, Feinstein AR (1995). Use of methodological standards in diagnostic test research. Getting better but still not good. JAMA, 651 Sackett DL, Haynes RB, Guyatt GH, Tugwell P (1991). Clinical epidemiology. A basic science for clinical medicine. Boston: Little, Brown and Company Strauss SE, Richardson WS. Glasziou P, Haynes B (2005). Evidence based medicine How to practice EBM. Elsevier New York: Churchil -Livingstone, pp. 234-245 Alergi—-Imunologi Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi Gatot Soegiarto, Chairul Effendi Melebihi perkiraan semula, prevalensi penyakit alergi terus meningkat di banyak negara di dunia. Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi di negara- negara maju seperti Eropa dan Amerika, tetapi juga di negara-negara berkembang seperti di Eurasia, Afrika, Asia dan Amerika Latin. Hasil penelitian epidemiologis di negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan tidak ketinggalan Indonesia menunjukkan kecenderungan serupa. Itulah yang mendorong sejumlah abli dan isi yang berkecimpung di bidang alergi dan disiplin ilmu terkait berkumpul di Davos, Swiss, dalam ‘Global Allergy Forum’ serta menyatakan bahwa alergi adalah masalah kesehatan dunia. Penyakit alergi meliputi antara lain: anafilaksis yang dapat mengancam jiwa, asma, rinitis, konjungtivitis, angioedema, urtikaria, eksim, alergi makanan, penyakit yang disebabkan oleh cosinofil (termasuk esofagitis eosinofilik), alergi obat dan alergi sengatan serangga. Secara global, lebih dari 300 juta orang menderita asma, 250 juta orang lebih menderita alergi makanan, 400 juta orang menderita rinitis, dan hampir sepersepuluh penduduk dunia pernah mengalami alergi obat. Tidak jarang beberapa penyakit alergi didapatkan pada seorang penderita yang sama, Hal tersebut sangat memengaruhi kualitas hidup penderita, menyebabkan hilangnya jutaan hari sekolah dan hari kerja pertahun, dan bahkan dapat menjadi penyebab kematian. Beban ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit alergi menjadi sangat besar. Oleh karena itu dalam salah satu rekomendasinya, “Global Allergy Forum’ menekankan pentingnya edukasi dan pelatihan bagi para mahasiswa kedokteran dan dokter yang memberikan layanan kesehatan primer agar memiliki pengetahuan yang lebih komprehensif mengenai penyakit alergi, serta mampu melakukan pendekatan diagnostik dan Tata laksana penyakit alergi secara lebih baik. Pendekatan, diagnostik penyakit alergi yang dimaksud meliputi: 13 anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Bab ini akan mengulas langkah-langkah penegakan diagnosis penyakit alergi. Diharapkan dengan menguasai langkah-langkah tersebut, para pembaca (mahasiswa maupun Klinisi) mampu mengidentifikasi dan menegakkan diagnosis penyakit alergi menggunakan data anamnesis, pemeriksaan fisik, mampu memilih pemeriksaan penunjang yang tepat dengan kondisi penyakit penderita membawa manfaat maksimal bagi penderita penyakit alergi. DIAGNOSIS PENYAKIT ALERGI DAN ATOPI Penyakit alergi dapat mengenai atau melibatkan satu atau lebih sistem organ antara lain: mata, saluran nafas, saluran cerna, kulit, dan lain-lain. Selain manifestasi klinisnya yang beragam, penyakit alergi juga muncul dengan tingkat keparahan dan perjalanan penyakit yang bervariasi, yang beberapa di antaranya belum sepenuhnya dipahami. Manifestasi_penyakit alergi sebagian besar ditentukan oleh jenis reaksi hipersensitivitas yang mendasarinya (sesuai klasifikasi Gell dan Coombs) namun juga ditentukan oleh interaksi antara bakat genetik dan faktor lingkungan. Penegakan diagnosis, penyakit alergi dengan demikian membutuhkan langkah-langkah integratif menggunakan semua informasi yang tersedia. Tujuan utamanya bukan hanya memastikan adanya alergi, tetapi juga identifikasi alergen penyebabnya. Diagnosis pasti akan memungkinkan Tata laksana penyakit alergi secara komprehensif, mengimplementasikan terapi yang ditujukan pada faktor etiologis penyakit alergi, termasuk pengendalian faktor lingkungan dan imunoterapi. Sebaliknya penyingkiran diagnosis alergi akan menghindarkan penderita dari terapi yang tidak perlu, pelarangan atau penghindaran alergen (terutama makanan) yang tidak perlu. 14 ILMUPENYAKITDALAM Penegakan diagnosis penyakit alergi dimulai dengan anamnesis yang teliti dan lengkap tentang riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik yang cermat dan menyeluruh. Identifikasi keterk: temporal antara paparan alergen dan munculnya gejala klinis merupakan dasar untuk memilih jenis pemeriksaan selanjutnya. Kecurigaan atau dugaan klinis dikonfirmasi dengan beberapa pemeriksaan penunjang in-vivo maupun in-vitro, Pemeriksaan in- vitro mungkin bermanfaat pada kondisi di mana hasil pemeriksaan in-vivo tidak sesuai atau tidak berkorelasi dengan riwayat penyakit, atau tidak bisa dilakukan pada penderita. Pemeriksaan in-vitro juga dapat digunakan untuk mendeteksi sensitisasi terhadap jenis alergen tertentu yang berpotensi menimbuikan penyakit (alergi) di kemudian hari. Pemilihan pemeriksaan penunjang harus dikaji dengan seksama karena pemeriksaan penunjang yang tidak ‘valid’ akan menambah biaya tidak perlu yang seharusnya bisa di hemat. ANAMNESIS RIWAYAT PENYAKIT Prinsip dasar anamnesis untuk riwayat penyakit alergi adalah sama dengan anamnesis penyakit pada umumnya namun lebih cermat dan terfokus pada beberapa hal yang terkait dengan alergi penderita, antara lain: keluhan khusus yang mengarah pada manifestasi utama penyakit alergi (hidung, saluran nafas, kulit, alergi sengatan serangga, alergi makanan, atau alergi obat), saat awal mula timbulnya keluhan, lamanya keluban penyakit yang dirasakan, tingkat keparahan, pola kemunculan keluhan penyakit (akut atau kronis, terus menerus atau kambuhan, musiman atau sepanjang tahun, terutama pada pagi hari, siang, atau malam), keterkaitan keluhan atau gejala yang dirasakan dengan paparan alergen tertentu, paparan alergen di tempat kerja, interval waktu antara paparan alergen dengan munculnya gejala, dugaan pencetus yang lain, hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala, pemeriksaan alergi yang sudah pernah dijalani, pengobatan yang sudah diperoleh dan respons tethadap pengobatan tersebut, riwayat penyakit alergi dan atopi dalam keluarga, jenis penyakit alergi dalam keluarga, riwayat kelahiran (spontan atau bedah caesar) dan pola penyusuan, kondisi rumah dan lingkungan geografis (kelembaban, penggunaan karpet, umur bangunan, rumah, tinggal di lingkungan perkotaan, pinggiran kota, pedesaan, sawah dan pertanian, perkebunan, atau hutan), kepemilikan hewan peliharaan, riwayat merokok aktif maupun pasif, riwayat vaksinasi, serta pertanyaan seputar kualitas hidup penderita. Bila keluhan utama mengarah pada alergi makanan atau alergi obat maka perlu ditanyakan dan dibuat daftar makanan atau obat-obatan yang pernah menimbulkan gejala atau diduga menjadi penyebab munculnya gejala pada penderita. Selain itu perlu dievaluasi pula riwayat penyakit lain yang menyertai penyakit alergi penderita (infeksi HIV atau virus yang lain) beserta semua daftar obat lengkap yang saat ini dikonsumsi oleh penderita, apakah saat ini penderita sedang hamil atau menyusui atau tidak. Untuk memudahkan pengambilan anamnesis yang lengkap dan sistematis beberapa pusat layanan telah menyusun formulir anamnesis riwayat penyakit alergi secara khusus sehingga semua informasi yang relevan dapat dikumpulkan untuk setiap penderita secara seragam dan standard. Beberapa contohnya dapat diunduh melalui internet (misalnya: www.drlenoir.com/ beta/allergy_form.pdf, atau http://www.repch. ac.uk/system/files/protected/page/2011_ RCPCH_AllergyFocusedClinicalHistory_v4.pdf, atau http://intermountainhealthcare.org/ services/medicalgroup/clinics/physicianclinies/ utahvalleyent/resources/Documents/ Utah%20Valley%20ENT%20-% 20New% 20Patient% 20Medical% 20History%20and%20Allergy%20Surv eypdf) PEMERIKSAAN FISIK. Sama halnya dengan pemeriksaan fisik untuk penyakit lainnya, pemeriksaan fisik untuk penyakit alergi juga meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskuitasi serta dilakukan secara menyeluruh dan sistematis. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, manifestasi klinis penyakit alergi sangat beragam, namun sering kali keluhan utama dan riwayat penyakit penderita sudah memberikan petunjuk tentang sistem organ mana saja yang terkena. Pemeriksaan fisik bertujuan mengumpulkan semua tanda penyakit alergi pada penderita yang mengkonfirmasi atau menyingkirkan adanya penyakit alergi beserta kemungkinan diagnosis alternatifnya. Keadaan umum dan tanda vital merupakan hal yang harus dievaluasi pertama kali. Penderita anafilaksis seringkali datang dengan gangguan hemodinamik dan respirasi yang akut. Selanjutnya dievaluasi beberapa sistem organ yang sering terlibat pada penyakit alergi. Manifestasi penyakit alergi yang paling sering adalah pada kulit. Beberapa kemungkinan kelainan di kulit yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain: urtikaria, angioedema, eksantema makulopapular eritematous, eksim, lesi berupa vesikula, bulla atau ulkus, vaskulitis pada kulit, bekas-bekas garukan di kulit, dan dermatografisme. Perlu dideskripsikan secara lengkap pola penyebaran lesinya, lokasinya, ukurannya, adakah tanda-tanda infeksi, apakah juga mengenai membran mukosa, dan sebagainya. Manifestasi pada hidung dan saluran nafas yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain berupa: tanda hidung buntu, sekret pada rongga PENDEKATAN DIAGNOSTIK PENVAKIT ALERG! 15 hidung, polip hidung, tanda-tanda infeksi pada rongga sinus paranasalis, tanda gangguan atau kesulitan bernapas, pola pernapasan, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, adanya suara nafas tambahan, serta tanda hipoksia kronis seperti adanya sianosis dan jari tabuh. Penyakit alergi di hidung sering kali juga disertai kelainan pada mata seperti: mata merah, pembengkakan kelopak mata, banyak mengeluarkan air mata, Beberapa temuan khusus untuk penderita rinitis alergi antara lain adalah: ‘allergic salute’ (sikap penderita, terutama anak-anak, yang sering menggosok-gosokkan jari atau tangannya pada hidung untuk mengurangi rasa gatal atau buntu pada hidung), ‘allergic crease’ (tanda kerutan dan kasar pada bagian tepi dari cuping hidung akibat penderita sering menggosok- gosok hidungnya), dan ‘allergic shiner’ (warna gelap pada bagian bawah mata akibat hidung buntu dan pembengkakan di bawah mata yang kronis) Sistem organ yang lain juga harus diperiksa dengan cermat untuk mengevaluasi keterlibatannya pada penyakit alergi yang dialami oleh penderita. Penyakit alergi sistemik seperti anafilaksis sering kali melibatkan lebih dari 2 sistem organ, termasuk jantung, hemodinamik dan pernapasan. Kelainan yang menyerupai sindroma koroner akut mungkin merupakan manifestasi penyakit alergi pada jantung (allergic myocardial infaction atau Kounis syndrome). Demikian pula ‘Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms’ (DRESS) sering disertai tanda- tanda sistemik seperti demam, dan tanda-tanda kelainan hepar. Bersama dengan data yang diperoleh dari anamnesis, kelainan yang didapat pada pemeriksaan fisik akan menjadi penuntun untuk menentukan jenis pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi penderita, PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang untuk penyakit alergi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu pemeriksaan in-vivo dan pemeriksaan in- vitro, Pemeriksaan yang akan dibahas dalam Bab ini adalah pemeriksaan standard yang telah diakui kebenaran konsep dan validitasnya dalam ilmu kedokteran konvensional. Beberapa pemeriksaan yang kebenaran konsepnya atau yang validitasnya masih dipertanyakan seperti: analisis rambut, pemeriksaan kadar IgG ELISA (IgG dan IgG4), provocation-neutralisation test (Miller test), leucocytotoxic test (Bryan’s test), VEGA testing (electrodermal testing), auriculo-cardiac reflex, applied kinesiology (tes kelemahan otot), dan ALCAT tidak direkomendasikan dan tidak akan dibahas dalam Bab ini. Pemeriksaan In vivo © Tes Tusuk Kulit ‘Tes tusuk kulit (skin prick test) direkomendasikan sebagai metode utama penegakan diagnosis penyakit alergi yang dimediasi oleh IgE. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik, hasilnya dapat diperoleh dengan cepat, fleksibel, murah, ditoleransi dengan baik oleh penderita, dan secara langsung dapat menunjukkan jenis alergen yang reaktif pada penderita. Walaupun demikian, interpretasi hasil tes tusuk kulit ini juga dipengaruhi oleh variabilitas pelaksana dan pengamat Tes tusuk kulit harus dikerjakan oleh tenaga medis (atau paramedis) yang terlatih dan berpengalaman, di sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang memadai untuk menangani efek samping sistemik reaksi alergi (anafilaksis) yang mungkin terjadi. Tenaga medis pelaksana harus mengamati reaksi yang terjadi dan menginterpretasikan hasilnya dengan mempertimbangkan data riwayat penyakit dan tanda serta gejala yang dialami oleh penderita. Hasil tes harus dicatat dengan benar dan dikomunikasikan dengan jelas menggunakan formulir standar sehingga mudah dipahami oleh sejawat dokter lain maupun oleh penderita. Informasi dan penyuluhan harus diberikan kepada penderita secara pribadi, berdasarka hasil tes, data klinis penderita, dan kondi Jingkungan setempatnya. Tes tusuk kulit ini dapat dikerjakan pada penderita bayi hingga penderita lanjut usia Daftar lengkap obat-obatan yang sedang digunakan oleh penderita harus ditanyakan dan dicatat sebelum tes tusuk kulit dikerjakan, Beberapa jenis obat tertentu dapat mengganggu tes ini dan mungkin harus dihentikan beberapa hari hingga 1 minggu sebelumnya, antara lain: antihistamin H1 dan H2 oral, antihistamin semprot hidung, antibodi anti IgE. (omalizumab), antidepresan trisiklik, glukokortikoid topikal (yang digunakan di daerah yang akan dilakukan tes tusuk kulit), serta tacrolimus topikal. Pada umumnya tes tusuk kulit dianggap positif bila didapatkan bintul dengan diameter > 2-3 mm dibandingkan diameter kontrol negatif dan dapat disertai eritema berdiameter 10 mm atau lebih di sekelilingnya. Hasil positif terhadap suatu alergen tertentu pada tes tusuk kulit semata- mata hanya menunjukkan bahwa pada penderita didapatkan IgE spesifik terhadap alergen tersebut. Belum tentu secara klinis penderita mengalami alergi terhadap alergen tersebut. Tes tusuk kulit yang positif tanpa disertai riwayat 16 ILMU PENYAKIT DALAM. gejala alergi yang relevan mengindikasikan adanya sensitisasi subklinis pada penderita yang pada suatu saat kelak dapat berkembang menjadi penyakit klinis. Tes Intradermal Tes intradermal dilakukan dengan menyuntikkan secara superfisial suatu larutan alergen tertentu (dengan volume 0,02-0,05 mL) ke dalam kulit penderita. Umumnya dilakukan di lengan atas atau lengan bawah penderita. Hasil tes diinterpretasi setelah 15— 20 menit dan dibandingkan terhadap kontrol positif (histamine) dan kontrol negatif (larutan salin). Tes yang positif biasanya menunjukkan bintul (wheal) dan warna kemerahan (flare) di sekitarnya, berukuran sekurangnya 3 mm lebih besar dibandingkan kontrol negatif. ‘Tes intradermal jauh lebih sensitif dibandingkan tes tusuk kulit, artinya dibutuhkan konsentrasi cekstrak alergen yang 100-1000 kali lebih rendah dibandingkan tes tusuk kulit untuk menghasilkan respons yang sama. Namun demikian spesifisitas tesini lebih rendah. Tes tusuk kulit menggunakan pelarut glycerin 50% yang membuatnya lebih stabil, sedangkan tes intradermal tidak bisa menggunakan pelarut yang sama dan karenanya sering menimbulkan hasil positif palsu. Dengan demikian hasil tes tusuk kulit lebih berkorelasi dengan kondisi klinis. Tes intradermal biasanya dilakukan pada kasus alergi sengatan serangga atau alergi obat (khususnya golongan penicillin) i mana hasil tes tusuk kulitnya negatif tetapi Gambar1. Tes tempel kulit (patch testing) secara klinis kecurigaan terhadap adanya alergi sangat besar. Tes Tempel Kulit Tes tempel kulit (patch test) merupakan prosedur pemeriksaan untuk menentukan apakah penderita mengalami alergi terhadap suatu senyawa tertentu yang digunakan secara topikal (kosmetik, metal/logam). Beberapa senyawa yang diduga menjadi penyebab reaksi alergi kontak - biasanya dalam bentuk gel atau pasta - diletakkan dalam beberapa cawan kecil (chamber) berdiameter 0,8-1 cm yang diletakkan pada lembaran plaster hipoalergenik berperekat (Gambar 1). Selanjutnya lembaran plaster (patch) tersebut ditempelkan dan dilekatkan pada kulit punggung penderita selama 48 jam. Selama itu plaster harus dijaga agar tetap kering sepanjang waktu, Daerah punggung merupakan lokasi pilihan karena memiliki area luas yang memungkin penempelan plaster secara lebih leluasa. Setelah 48 jam (hari ke-3), plaster dilepas dari kulit punggung dan hasil tes diinterpretasi (pembacaan pertama). Interpretasi berikutnya (pembacaan kedua) dilakukan setelah 48 jam berikutnya (hari ke-5). Kadang-kadang diperlukan pembacaan pada hari ke-7 untuk beberapa jenis alergen yang lambat menimbulkan_ reaksi (late reactors) seperti obat neomycin atau kortikosteroid. Patch berperekat yang sudah berisi beberapa Jjenis alergen kontak yang dicurigai ditempelkan di kulit dacrah punggung. Hasil positif ditandai dengan adanya reaksi berupa eritema dengan atau tanpa edema, vesikula, atau bullae (Dikutip dari: Occupational Dermatology Research and Education Centre, http://www.occderm.asn.au/ services.html). Hasil positif (Gambar 2) memastikan bahwa dalam tubuh penderita terdapat limfosit T yang sensitif tethadap senyawa alergen tersebut. Untuk pemeriksaan ini masih diperdebatkan apakah penderita perlu menghentikan pemakaian antihistamin oral, sedangkan penggunaan semua jenis kortikosteroid oral maupun sistemik Gambar2. Skor hasilreaksi tes tempel kult (patch testing) PENDEKATAN DIAGNOSTIK PENVAKIT ALERG! 17 harus dihentikan minimal 48 jam sebelumnya. Mekanisme reaksi alergi yang dievaluasi dengan pemeriksaan ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV yang biasanya mendasari timbulnya dermatitis kontak alergi. Hasil positif pada tes tempel kulit diberi skor menurut metode Wilkinson: (a) reaksi +; (b) reaksi +4; (c) reaksi +++. Reaksi + berupa reaksi nonvesikuler (lemah), disertai eritema dan sedikit infiltrasi. Reaksi ++ berupa reaksi vesikuler disertai edema, eritema, infiltrasi dan vesikula, Reaksi +++ berupa reaksi yang sangat kuat, disertai bullae atau ulserasi (Dikutip dari: Lachapelle JM, Maibach HI, 2012. “Patch testing methodology’. In: Lachapelle JM, Maibach HI (eds), Patch testing and prick testing: a practical guide, 3 ed, Springer-Verlag, Germany, Berlin, Pp: 35-77). Tes Provokasi Bronkial Tes provokasi bronkial pernah digunakan untuk membantu penegakan diagnosis asma, memonitor efektivitas terapi asma, dan mengukur prevalensi asma di masyarakat. Pada umumnya dikenal dua kategorik tes provokasi bronkial yaitu ‘direk’ dan ‘indirek’, Provokasi bronkial ‘direk’ menggunakan zat atau senyawa farmakologis (histamin dan methacholine) yang secara langsung berinteraksi dengan reseptornya masing-masing pada otot polos bronkus dan menyebabkan kontraksi. Tes ini merupakan metode yang sensitif untuk mengidentifikasi hipereaktivitas saluran nafas, namun saat ini diketahui bahwa hipereaktivitas saluran nafas bukanlah kelainan yang spesifik untuk asma. Individu normal yang tidak menderita asma, penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan perokok juga menunjukkan_hipereaktivitas saluran nafas terhadap zat-zat farmakologis tersebut. Tes ini dianggap cukup sensitif untuk mendeteksi penderita asma yang secara klinis sudah didiagnosis sebagai asma dan dikirim untuk pemeriksaan di laboratorium, namun kurang sensitif untuk mendeteksi_ penderita asma di masyarakat karena hanya mengukur respons saluran nafas terhadap satu mediator farmakologis saja padahal dalam kenyataannya banyak sekali mediator endogen yang terlibat dan menyebabkan konstriksi bronkus. Kategori tes kedua dikenal sebagai provokasi bronkial ‘indirek’, menggunakan rangsangan fisik seperti aktivitas olahraga, pernapasan cepat dengan udara kering, aquades, salin hipertonik, manitol, dan adenosine monophosphate. Zat-zat tersebut merangsang konstriksi bronkus secara tidak langsung yaitu dengan cara memicu pelepasan berbagai mediator bronkokonstriksi oleh sel-sel_inflamasi di saluran_nafas. Meditor-mediator tersebut pada gilirannya berinteraksi dengan reseptornya_masing- masing dan menyebabkan konstriksi: bronkus. Tes provokasi bronkus ‘indirek’ kurang sensitif untuk mendeteksi hipereaktivitas bronkus pada penderita di laboratorium namun lebih spesifik dalam mengidentifikasi adanya asma. Metode ‘direk’ dan ‘indirek’ memiliki sensitivitas yang setara untuk mendeteksi hipereaktivitas bronkus di masyarakat. Tes Provokasi Nasal Tes provokasi nasal adalah tes yang bertujuan untuk membuktikan terjadinya respons mukosa rongga hidung terhadap paparan alergen inhalan secara terkendali, Pemeriksaan ini diindikasikan sebagai konfirmasi diagnosis rinitis alergi bila terdapat ketidaksesuaian antara riwayat penyakit penderita dengan hasil tes tusuk kulit atau pemeriksaan serologis. Selain itu teknik ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi sensitivitas penderita terhadap suatu alergen inhalan, efektivitas imunoterapi, penelitian mekanisme patofisiologis respons mukosa rongga hidung terhadap alergen, serta memberi informasi tentang alergen apa saja yang menjadi etiologi penyakit saluran nafas akibat ker} Seperti pada pemeriksaan alergi in-vivo lainnya, penggunaanantihistamin oral harusdihentikan 1- 2 minggu sebelum tes dilaksanakan, antihistamin topikal dihentikan 4-5 hari sebelumnya, kortikosteroid oral dihentikan 2-3. minggu sebelumnya, kortikosteroid nasal dihentikan 2-3 hari sebelumnya, nasal decongestant dihentikan 2 hari sebelumnya, obat antidepresan trisiklik dihentikan 2-3 minggu sebelumnya, obat anti- inflamasi non steroid (OAINS) dihentikan 1 minggu sebelumnya. Penderita diminta untuk berhenti merokok atau menkonsumsi alkohol 1-2 hari sebelumnya. Metode yang sering dipakai adalah: metered- dose pump spray, filter paper disc, nasal pool device, dan allergen exposure chamber. Respons tethadap tes provokasi nasal dapat dinilai secara klinis maupun laboratoris. Beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai respons alergi fase cepat maupun lambat antara lain: skor gejala hidung, pemeriksaan derajat obstruksi rongga hidung (nasal peak inspiratory flow rate), rhinomanometry, acoustic rhinometry, serta analisis seluler atau mediator inflamasi pada sekret hidung. Derajat produksi cairan rongga hidung (rhinorrhea) dan obstruksi rongga hidung dinilai sebelum, serta 15 dan 30 menit sesudah provokasi. Belum satupun pemeriksaan tersebut yang terstandarisasi. Tes Provokasi Oral Tes ini merupakan cara yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis alergi makanan dan alergi obat (oral) tertentu. Pada kasus alergi 18 ILMUPENYAKITDALAM makanan, tes provokasi oral dikenal juga dengan istilah ‘oral food challenge’ (OFC). Metode umum OFC ialah pemberian makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap yang dilakukan di bawah kendali dan pengawasan medis. Tes ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik yang berbeda: open-challenge (penderita mengetahui jenis alergen makanan yang dicobakan), single- blind challenge (penderita tidak mengetahui apakah makanan yang dicobakan mengandung alergen yang dicurigai tetapi diketahui oleh tim medis pemeriksa), dan double-blind placebo controlled food challenge (baik penderita maupun tim medis tidak mengetahui apakah bahan makanan yang dicobakan mengandung alergen yang dicurigai atau plasebo). Hasil tes dianggap definitif jika provokasi atau paparan makanan tidak menimbulkan gejala alergi (berarti hasil tes negatif) atau justru menimbulkan gejala objektif yang sesuai dengan reaksi alergi yang dilaporkan sebelumnya (berarti hasil tes positif). Double-blind placebo controlled food challenge (DBPCFC) dianggap merupakan baku emas untuk penegakan diagnosis alergi makanan. Beberapa perusahaan komersial telah menyediakan kit provokasi yang meliputi sediaan serbuk kering berbagai alergen makanan (antara lain: telur, susu sapi, gandum, kedelai) dan zat penyamar rasa (misalnya strawberry puree). Tes ini juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan imunoterapi alergen makanan, Pada kasus alergi obat oral, tes provokasi obat peroral merupakan baku emas diagnosis, Tes ini hanya boleh dikerjakan bila hasil tes tusuk kulit dan tes intradermal terhadap obat yang dicurigai tersebut negatif serta tidak dijumpai adanya kontraindikasi pelaksanaannya. Uraian lebih mendalam mengenai topik ini akan dibahas dalam Bab lain di buku ini. Pemeriksaan In vitro © Kadar IgE Total dan IgE Spesifik Di masa lalu pemeriksaan kadar IgE total sering dikerjakan pada evaluasi awal penderita alergi, namun pemeriksaan tersebut tidak memastikan alergen penyebab alergi karena hanya mengukur kadar total IgE dalam serum darah penderita. Kadar IgE. total yang tinggi hanya memberikan indikasi bahwa penderita memiliki bakat atau kecenderungan yang kuat untuk mengalami reaksi alergi. Pemeriksaan yang dianggap lebih bermanfaat secara klinis adalah pemeriksaan kadar IgE spesifik alergen. Saat ini sudah banyak tersedia pemeriksaan IgE spesifik untuk berbagai alergen inhalan dan makanan. Metode yang paling awal digunakan adalah ‘radio-allergosorbent test’ (RAST) disusul beberapa metode baru lainnya seperti modified RAST, Quidel QuickVue One- Step Allergen screen, atau Pharmacia Immunocap. Secara umum, pemeriksaan kadar IgE. spesifik bersifat sangat spesifik namun kurang sensitif dibandingkan dengan tes tusuk kulit, terutama untuk alergen makanan, Pemeriksaan kadar IgE spesifik dengan metode RAST atau lainnya hanya dipertimbangkan bila tes tusuk kulit dirasa sulit atau tidak mungkin dikerjakan, misalnya pada penderita dengan penyakit kulit yang luas, atau penderita yang tidak bisa menghentikan pemakaian obat-obatan yang dapat memengaruhi hasil tes tusuk kulit Lymphocyte Transformation Test (LTT) Dalam upaya penegakan diagnosis alergi obat, pemeriksaan ini dikerjakan untuk mengukur proliferasi limfosit T terhadap paparan obat in-vitro, Pemeriksaan ini disebut juga dengan ‘lymphocyte proliferation test’ atau ‘lymphocyte stimulation test’, dikembangkan berdasarkan pemahaman bahwa beberapa jenis obat tertentu mampu berinteraksi secara langsung dengan reseptor limfosit T tanpa harus mengatami metabolisme atau ikatan terlebih dahulu dengan protein. Aktivasi limfosit T dapat diukur dengan berbagai parameter, antara lain: sekresi IL-2, produksi IL-5, atau ambilan (uptake) °H- thymidine. Tes ini diinterpretasi setelah kultur selama 5 hari dalam satuan ‘stimulation index’ (SI) yaitu perbandingan antara ambilan SH-thymidine (dihitung sebagai counts per minute/epm) saat paparan obat dengan ambilan *H-thymidine tanpa paparan obat. Basophil Activation Test (BAT) Pemeriksaan ini dikerjakan untuk membantu menegakkan diagnosis reaksi hipersensitivitas obat tipe segera, baik yang melibatkan IgE (anafilaksis) maupun yang tidak (reaksi anafilaktoid atau pseudo-alergi), keduanya menyebabkan pelepasan histamin dan beberapa mediator inflamasi lainnya. Aktivitas basofil dievaluasi setelah paparan in-vitroantigen spesifik obat. Sel basofil yang aktifakan mengekspresikan CD63 dan meningkatkan ekspresi_ CD203c pada permukaan membran selnya. Tes ini menggunakan teknik flow cytometri dan antibodi monoklonal terhadap CD63 dan CD203c untuk menandai sel basofil yang aktif. BAT merupakan cara alternatif untuk mengevaluasi_reaksi simpang terhadap antibiotika atau OAINS yaitu pada situasi di mana uji provokasi langsung dengan obat secara in-vivo mengandung bahaya yang cukup besar. PENDEKATAN DIAGNOSTIK PENVAKIT ALERG! 19 DAFTAR PUSTAKA Beasly R, Keil U, von Mutius E, Pearce N, and ISAAC Steering Committee (1998). Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic thinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet, 351, 1225-1232 Bernstein IL, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, Spector SL, Tan R (2008). Allergy diagnostic testing: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol, 100 (Suppl 3), S1-S148 Campos A, Reyes J, Blanquer A, Lifares T, Torres M (2005). Total serum IgE: adult reference values in Valencia (1981-2004). Usefulness in the diagnosis of allergic asthma and rhinitis. Allergol Immunopathol (Madr,) 33, 303-306 Carosso A, Bugiani M, Migliore E, Antd JM, DeMarco R (2007). Reference values of total serum IgE and their significance in the diagnosis of allergy in young European adults. Int Arch Allergy Immunol, 142, 230-238 Cooper PJ, Chico ME, Rodrigues LG, Strachan DP, Anderson HR, Rodrigues EA, Gaus DP, Griffin GE (2004). Risk factors for atopy among school children in a rural area of Latin America. Clin Exp Allergy, 34, 845-852 Cox L, Williams B, Sicherer S, Oppenheimer J, Sher L, Hamilton R, Golden D; American College of Allergy, Asthma and Immunology Test Task Force; American Academy of Allergy, Asthma and Immunology Specific IgE Test Task Force (2008). Pearls and pitfalls of allergy diagnostic testing: report from the American College of Allergy, Asthma and Immunology/American Academy of Allergy, Asthma and Immunology Specific IgE Test Task Force. Ann Allergy Asthma Immunol, 101, 580-592 Dodig §, Richter D, Benko B, Zivci J, Raos M, Nogalo B, Cepelak I, Dodig M (2006). Cutoff values for total serum immunoglobulin E between non- atopic and atopic children in north-west Croatia, Clin Chem Lab Med, 44, 639-647 Dordal MT, Lluch-Bernal M, Sanchez MC, Rondén C, Navarro A, Montoro J, for SEAIC Rhinoconjunctivitis Committee (2011). Allergen- specific nasal provocation testing: review by the thinoconjunctivitis committee of the Spanish Society of Allergy and Clinical Immunology. J Investig Allergol Clin Immunol, 21, 1-12 Effendi C (2012). Diagnosing allergy today. In: Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XXVIT mu Penyakit Dalam, Tjokroprawiro A, Effendi C, Soeroso J, Thaha M, Baskoro A, Triyono EA, Eds. Surabaya: Departemen-SMF Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, pp.165-168 Fassio F, Almerigogna F (2012). Kounis syndrome (allergic acute coronary syndrome): different views in allergologic and cardiologic literature. Intern Emerg Med, 7, 489-495 Fetarayani D, Soegiarto G (2013). The drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) syndrome in a diabetic patient. Sci Med, 4, 65-71 Heinzerling L, Mari A, Bergmann KC, Bresciani M, Burbach G, Darsow U (2013). The skin prick test — European standards. Clin Transl Allergy, 3, 3, doi:10.1186/2045-7022-3-3 Ito K, Urisu A (2009). Diagnosis of food allergy based on oral food challenge test. Allergol Int, 58, 467-474 Kay AB (2001). Allergy and allergic diseases. First of two parts. N Eng J Med, 344, 30-37 Lachapelle JM, Maibach HI (2012). ‘Patch testing methodology’. In: Patch testing and prick testing: a practical guide, 3" ed, Lachapelle JM, Maibach HI, Eds. Germany: Springer-Verlag, pp: 35-77 Leuppi JD, Brannan JD, Anderson SD (2002). Bronchial provocation tests: The rationale for using inhaled mannitol as a test for airway hyperresponsiveness. Swiss Med Wkly, 132, 151-158 Li JT (2002). Allergy testing. Am Fam Physician, 66, 621-624,626 Loureiro G, Tavares B, Machado D, Pereira C (2012). Nasal provocation test in the diagnosis of allergic rhinitis. In: Allergic rhinitis, Kowalski M, Ed. Shangh ech, pp. 153-182 Niggemann B, Griber C (2004). Unproven diagnostic procedures in IgE-mediated allergic diseases. Allergy, 59, 806-808 Pawankar R, Canonica GW, Holgate, Lockey RF, editors (2011). The World Allergy Organization (WAO) white book on allergy. World Allergy Organization, Milwaukee, pp. 1-126. Available at http://www.worldallergy.org/UserFiles/file/ WAO-White-Book-on-Allergy.pdf Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF (2012). Allergic disease and asthma: a major global health concern. Curr Opin Allergy Clin Immunol, 12, 39-41 Pichler WJ, Tilch J (2004). The lymphocyte transformation test in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy, 59, 809-820 Portnoy JM (2001). Appropriate allergy testing and interpretation, Mo Med, 108, 339-343 Quah BS, Wan-Pauzi I, Ariffin N, Mazidah AR (2005). Prevalence of asthma, eczema and allergic rhinitis: two surveys, 6 years apart, in Kota Bahru, Malaysia. Respirology, 10, 244-249 Rajan TV (2003). The Gell-Coombs classification of hypersensitivity reactions: a re-interpretation, Trends Immunol, 24, 376-379 Ramam M, Kumar U, Bhat R, Sharma VK (2012). Oral drug provocation test to generate a list of safe drugs: experience with 100 patients. Indian J Dermatol Venereol Leprol, 78, 595-598 20 TLMUPENVAKIPDALAM Ring J (2012). Davos declaration: allergy as a global problem. Allergy, 67, 141-143, Satwani H, Rehman A, Ashraf $, Hassan A (2009). Is serum total IgE levels a good predictor of allergies in children? J Pak Med Assoc 59, 698-702 Soegiarto G, Abdullah MS, Damayanti LA, Suseno A, Abdullah N, Effendi C (2014). The prevalence of allergic diseases in school children of a metropolitan city of Indonesia shows a similar pattern to that of developed countries. In press von Mutius E, Fritzsch C, Weiland SK, Roll G, Magnussen H (1992). Prevalence of asthma and allergic disorders among children in united Germany: descriptive comparison. BMJ, 305, - 1399 von Mutius E, Weiland SK, Frizsch C, Duhme H, Keil U (1998). Increasing prevalence of hay fever and atopy among children in Leipzig, East Germany. Lancet, 351, 862-866 ‘Wiithrich B, 2005. Unproven techniques in allergy diagnosis. J Invest Allergol Clin Immunol, 15, 86-90 Yemaneberhan H, Flohr C, Lewis SA, Bekele Z, Parry E, Williams HC, Britton J, Venn A (2004). Prevalence and associated factors of atopic dermatitis symptoms in rural and urban Ethiopia Clin Exp Allergy, 34, 779-785 Yuksel H, Dine G, Sakar A, Yilmaz O, Yorgancioghu A, Celik P, Ozcan C (2008). Prevalence and comorbidity of allergic eczema, rhinitis, and asthma in a city in western Turkey. J Investig Allergol Clin Immunol, 18, 31-35 Patogenesis Penyakit Alergi Gatot Soegiarto Prevalensi_penyakit alergi terus meningkat melebihi perkiraan semula di banyak negara di dunia, Walaupun sudah tersedia banyak obat baru, tampaknya peningkatan prevalensi tersebut hampir tidak terbendung. Peningkatan terutama terjadi di negara-negara barat dan ditengarai bersamaan dengan terjadinya beberapa perubahan sosial seperti perbaikan Kesehatan masyarakat, menurunnya infeksi pada kanak-kanak, program vaksinasi, perubahan struktur keluarga dan kondisi tempat tinggal. Pengamatan tersebut telah melahirkan beberapa teori atau hipotesis yang mencoba menjelaskan fenomena peningkatan prevalensi penyakit alergi yakni ‘The Hygiene Hypothesis’ dan “The Biodiversity Hypothesis. Alergi pada dasarnya adalah penyakit inflamasi. Pemahaman kita tentang sel-sel dan mediator yang terlibat dalam inflamasi alergi terus bertambah dengan pesat dalam dua dasa warsa terakhir. Salah satu kemajuan yang sangat penting dalam hal ini adalah Ketersediaan uji diagnostik imunologis yang dengan jelas dapat mencerminkan mekanisme yang mendasari munculnya gejala pada penderita alergi Tanda dan gejala alergi merupakan manifestasi aktivitas sel-sel inflamasi di paru, hidung, Kulit, dan organ sasaran yang lain, Inflamasi alergi melibatkan begitu banyak sel: terutama sel mast, eosinofil, sel dendritik dan limfosit T tipe Th. Sel mast dan cosinofil adalah sel-sel efektor utama, sel dendritik merupakan master pengendali arah_polarisasi limfosit T, limfosit Th2 merupakan sumber sitokin yang menggerakkan reaksi inflamasi alergi. Sel- sel lain yang juga terlibat meliputi: sel netrofil, makrofag, sel epitel dan endotel. Berbagai macam mediator diproduksi dan disekresi serta berperan pada munculnya gejala alergi baik pada fase akut maupun kronis. Bab ini akan mengulas patomekanisme penyakit alergi dengan menguraikan secara ringkas peranan faktor genetik dan lingkungan pada kecenderungan mengidap penyakit alergi, mekanisme seluler dan a molekuler penyakit alergi, serta peranan berbagai sel imun di dalamnya. Diharapkan dengan pemahaman yang lebih baik, para pembaca (mahasiswa maupun Klinisi) dapat melakukan pendekatan diagnostik serta terapeutik yang sesuai dan membawa manfaat maksimal bagi penderita penyakit alergi. ALERGI DAN ATOPI Alergi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya peningkatan kepekaan sistem imun tubuh terhadap suatu zat tertentu. Sistem imun bereaksi berlebihan terhadap zatzat tertentu dari lingkungan, yang seharusnya dalam keadaan normal tidak menimbulkan reaksi. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Clemens von Pirquet pada tahun 1906 (berasal dari kata Yunani allos yang berarti kondisi yang berubah, dan ergon yang berarti reaksi atau reaktivitas). Dalam perkembangannya, saat ini istilah alergi sering kali dianggap sebagai sinonim bagi penyakit-penyakit alergi yang diperantarai oleh IgE. Istilah lain yang juga sering dipakai dalam alergi adalah atopi (berasal dari kata Yunani atopos yang berarti tidak pada tempatnya). Istilah atopi sering digunakan untuk menggambarkan penyakit-penyakit alergi yang diperantarai oleh IgE. Seseorang dengan atopi memiliki kecenderungan herediter untuk memproduksi IgE terhadap beberapa alergen dari lingkungan, dan mengidap satu atau lebih penyakit atopi (misalnya rinitis alergika, asma, dermatitis atopik, atau alergi makanan). Zatzat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada seseorang yang peka disebut dengan istilah alergen. Alergen dapat memasuki tubuh melalui beberapa jalur: © Inhalasi ke dalam saluran nafas (hidung dan paru) Misalnya: tepung sari (pollen) dari beberapa jenis tumbuhan (pohon atau rerumputan tertentu), debu rumah yang mengandung berbagai partikel 22 TLMUPENVAKITDALAM tungau (dust mite), spora jamur, serta serpihan kulit atau bulu hewan (dander) peliharaan (kucing, anjing dan sebagainya). © Masuk atau tertelan melalui mulut ke dalam saluran cerna Misalnya: udang, kacang tanah dan beberapa Jenis kacang-kacangan lain, beberapa jenis obat antibiotika oral seperti sulfonamid dan lain-lain. © Injeksi Misalnya: berbagai jenis antibiotika injeksi seperti penisilin dan derivatnya, obat analge ksi, serta sengatan serangga. * Absorbsi melalui kulit Misalnya: poison ivy, sumac dan oak, serta berbagai bahan obat atau kosmetika topikal Pada saat terpapar (terpajan) dengan alergen, seseorang yang tidak menderita atopi akan bereaksi dengan respons imunologis derajat rendah berupa produksi antibodi IgGl dan IgG4 yang spesifik tethadap alergen, proliferasi ringan limfosit T serta produksi interferon-y (IFN-y) dan interleukin- 2 (IL-2) oleh sel limfosit T tipe Th, sedangkan pada penderita atopi paparan yang sama akan menghasilkan reaksi berlebihan berupa produksi IgE spesifik tethadap alergen, serta produksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel limfosit T tipe Th2. FAKTOR GENETIK PENYAKIT ALERGI Faktor genetik tidak diragukan lagi memegang peranan yang penting pada kemunculan penyakit alergi, namun faktor genetik tidak berdiri sendiri melainkan bekerja sama dengan faktor lingkungan dalammenentukan manifestasikliniskecenderungan penyakit alergi. Melalui beberapa model penelitian: antara lain penelitian epidemiologis pada kembar siam, genome-wide search melalui proses penapisan genom, analisis gen kandidat (candidate gene studies) dan lain-lain, telah berhasil teridentifikasi beberapa lokus pada kromosom-kromosom tertentu (Tabel 1) yang berkaitan dengan asma atau alergi Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi sejumlah gen lain yang berasosiasi dengan penyakit alergi, antara lain: gen yang menyandi molekul pengendali fungsi imun (gen TLR, -4, -6, -9, -10; CD14, MYD88, NODI dan NOD2, IL-10, TGF-al, STAT3, STAT6, IL-13, IL- 33, IL-18, IL4, IL-4R, FCERIB, GATAS, TSLP, dan HLA kelas Il) atau gen yang memengaruhi struktur jaringan seperti epitel atau jaringan ikat (CLS, CCLI1, CCL24, CCL26, Filaggrin, COL29A1, ORMDL3, SMAD3, SPINK5, IRAKM, ADRB2, dan TGF-al) Faktor lingkungan dapat berinteraksi dengan gen melalui mekanisme regulasi epigenetik. Baru-baru ini diketahui bahwa metilasi DNA dan modifikasi histone terlibat dalam polarisasi limfosit T efektor ke arah Thl atau Th2. Modifikasi epigenetik ternyata juga diwariskan secara genetik, jadi selain dapat mengubah respons imun seseorang, mekanisme tersebut juga dapat memengaruhi: munculnya penyakit alergi pada generasi berikutnya. Walaupun banyak ditemukan_polimorfisme nukleotida tunggal yang berasosiasi dengan penyakit alergi tertentu, perubahan-perubahan genetik yang terjadi dalam kurun waktu 70 tahun terakhir tetap tidak dapat menerangkan fenomena peningkatan prevalensi penyakit alergi yang begitu cepat. Diyakini bahwa faktor lingkungan juga memegang peranan yang sangat penting pada kemunculan manifestasi penyakit alergi. Tabel 1. Keterkaitan antara gen tertentu dengan asma dan alergi Kromosom Gen kandidat atau produknya ip Te 12 receptor 3p24 Chemokine cell receptor 4 5923-35 13, IL-4 L5, IL-9, L-13, GM-CSF Leukotriene C4 synthase Macrophage colony-stimulating factor receptor 6p21-23 ‘Major Histocompatibilty Complex TNs Transporters involved in antigen processing & presentation (TAP! & TAP2) 7qui-14 Teell receptor y chain, IL-6 nals High affinity gE receptor (FceR) B chain ibroblast growth factor 3 tept1-12 M4 receptor p27 CC chemokine cluster 19q13 C022, tranforming growth factor B1 20p3 ADAM-33 PATOGENESIS PENVAKITALERG! 28 PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN PADA. PENYAKIT ALERGI Penelitian epidemiologis observasional di beberapa negara mengindikasikan bahwa faktor- faktor lingkungan ikut berperan pada terjadinya peningkatan prevalensi penyakit alergi di berbagai belahan dunia, Pada tahun 1989, David Strachan merupakan ilmuwan pertama yang mengamati dan menyimpulkan bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tidak higienis justru memberikan perlindungan terhadap munculnya penyakit alergi. Ia mengamati bahwa prevalensi rinitis alergi berasosiasi terbalik dengan jumlah saudara kandung dalam satu keluarga yang tinggal dalam satu rumah, Pendapatnya terkenal dengan sebutan ‘The Hygiene Hypothesis. Walaupun tidak semua sarjana sependapat dengan Strachan, banyak penelitian epidemiologis lain yang mendukung hipotesisnya. Berdasarkan pengamatan bahwa peningkatan prevalensi penyakit alergi seperti asma dan rinitis alergi terjadi secara bersamaan dengan menurunnya keanekaragaman hayati dan indeks kehidupan planet bumi, serta pemahaman bahwa mikroorganisma memiliki peranan yang penting pada terbentuknya toleransi imunologis dan integritas jaringan, beberapa sarjana mengembangkan lebih lanjut ‘The Hygiene Hypothesis’ menjadi ‘The Biodiversity Hypothesis! dan menyatakan bahwa keanekaragaman hayati dalam lingkungan akan memberikan perlindungan terhadap penyakit alergi maupun_penyakit autoimun. Jika ‘The Hygiene Hypothesis’ terutama menitikberatkan pada mikroba di rumah, dalam makanan-minuman, dan pada hewan peliharaan, “The Biodiversity Hypothesis’ memperluasnya menjadi lingkungan hidup manusiasecara umum, Kurangnya kontak dengan mikroorganisma dari lingkungan makro maupun mikro akan menyebabkan disfungsi sistem imun yang diyakini merupakan predisposisi untuk munculnya penyakit alergi atau penyakit autoimun, Penggunaan antibiotika yang terlalu sering pada usia dini (di bawah 2 tahun) juga meningkatkan risiko munculnya penyakit alergi. Paparan yang seimbang terhadap mikroba, parasit, alergen dan zatzat dari lingkungan lainnya akan mendorong perkembangan respons imun (Th dan Th2) yang normal. Bila terjadi peningkatan paparan alergen pada individu yang memiliki bakat genetik alergi maka terdapat kecenderungan respons imun Th2 yang berlebihan (dominan). Paparan yang adekuat terhadap parasit dan bakteri memberikan efek penyeimbang (counter-regulation), karena pada paparan tersebut limfosit T regulator (Treg), monosit, makrofag dan sel dendritik mensekresi IL-10, IL-10 memiliki peran sebagai pengendali respons imun yang mampu meredam respons Th maupun Th2 (Gambar 1) yang timbul akibat aktivasi sistem imun alamiah atau adaptif. Selain ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan, timbulnya penyakit alergi masih ditentukan pula oleh adanya kelainan (abnormalitas) organ target maupun faktor-faktor pencetus lain dari lingkungan (Gambar 2). Kombinasi berbagai faktor tersebut apakah bakat genetik untuk mengidap alergi (atopi) dapat berkembang lebih lanjut menjadi reaksi inflamasi alergi yang oleh sel Th2. ‘Timbulnya penyakit alergi interaksi antara faktor ge adanya defek (kelainan) pada organ target dan paparan faktor-faktor pencetus dari lingkungan. Beberapa sitokin tipe Th2 menjadi mediator utama patogenesis penyakit alergi atopik (Dikutip dari: Kay AB, 2001. Allergy and allergic diseases. First of two parts. N Eng J Med 344(1): 30-37) atopik membutuhkan ik, faktor lingkungan, SEL-SEL IMUN YANG TERLIBAT PADA REAKSI ALERGI Beberapa jenis sel terlibat pada reaksi alergi. Untuk dapat mengenali alergen yang masuk ke dalam tubuh, sistem imun mengandalkan peranan makrofag, sel dendritik, dan sel-sel lain yang mampu bertindak sebagai sel penyaji antigen (antigen ‘presenting cells). Limfosit T dengan spesifisitas reseptor yang bersesuaian akan teraktivasi dan selanjutnya mengarahkan limfosit B untuk membentuk antibodi spesifik (IgE) terhadap alergen yang masuk. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor IgE pada permukaan sel mast, eosinofil, dan basofil. Paparan berikutnya dengan alergen yang sama akan, memicu reaksi alergi fase akut maupun fase lanjut. Sel Dendritik Sel dendritik merupakan sel penyaji_ antigen profesional yang mampu membangkitkan dan mengarahkan inflamasi alergi. Sel dendritik berada di beberapa jaringan dan mendapatkan sebutan nama yang berbeda-beda, misalnya sebagai sel Langerhans di kulit atau sebagai sel glia di susunan saraf pusat. Sel ini mampu menjulurkan ‘dendritnya’ di celah antara sel epitel yang melapisi saluran nafas atau pencernaan, namun tetap mempertahankan ight junction’ bersama sel epitel di dekatnya. Alergen yang masuk dikenali oleh sel dendritik melalui Toll-like receptor (TLR). Pengenalan tersebut merangsang maturasi sel dendritik, menginduksi ekspresi reseptor kemokin CC yang memungkinkan sel dendritik bermigrasi menuju kelenjar limfoid regional. Di lokasi tersebut sel dendritik mempresentasikan peptida alergen kepada limfosit T tipe Th2. Tergantung stimulus yang diterimanya, sel dendritik juga memproduksi kemokin CC antara lain CCL2, CCL3, CCL4, CCLI7, CCL22 dan CXCL8 yang berfungsi untuk mengerahkan sel-sel inflamasi lainnya ke lokasi paparan alergen.

You might also like