Professional Documents
Culture Documents
My Lovely Sister
My Lovely Sister
Oleh :
SHELOMITA
MANAY
Kelas : X MIPA 1
Jika setiap pukul empat pagi seluruh anggota keluarga sudah bangun untuk
beribadah pagi, Shin masih tertidur pulas. Bersatu dalam mimpi. Hihiy!
Sebenarnya, waktu Shin berusia 5 tahun. Shin sudah terbiasa shalat shubuh serta
bangun pagi. Bahkan bisa di bilang kelewat rajin. Pukul tiga pagi saja, mata
bulat kecilnya sudah melek sebelum ayam-ayam piaraan kakeknya berkokok.
Shin juga menjadi salah satu anak yang saleh di kampung asal Ayahnya,
Probolinggo. Ia juga sempat berkerudung, lho.
Namun, semenjak pindah ke kota pada usia 14 tahun. Shin sudah mulai
terpengaruh oleh arus-arus iblis yang menyesatkan anak-anak remaja. Shin
memang tidak bergaul dengan remaja-remaja perempuan yang gemar belajar
malam di bar-bar, cafe-cafe dan diskotik-diskotik. Melainkan, Shin bergaul
dengan remaja-remaja lelaki yang gemar bermain sepakbola, berpanas-panasan
di bawah terik matahari kompleks perumahannya. Sehingga, kulit putihnya yang
dulu menutupi kulitnya berangsur-angsur sedikit menjadi coklat muda seperti
kulit pohon mangga di samping rumah kakeknya di kampung.
Penutup kepala yang sering di sebut kerudung oleh orang islam yang dulu selalu
dikenakannya pun mulai ia tinggalkan. Dan parahnya, ia menjadi sulit bangun
pagi seperti dulu kala sebab keseringan melek di depan tivi layar datar Ayahnya
guna menonton pertandingan sepakbola grup kesayangannya, yaitu Chelsea!
Anehnya, Shin seperti terhipnotis sesuatu yang tak terlihat oleh mata tapi
tersentuh oleh perasaan sehingga merubah sifat alimnya selama ini. Entah apa
sesuatu itu. Yang jelas, sesuatu itu telah membuat Shindy menjadi remaja yang
menakutkan dimata remaja lainnya. Sifat apatis terhadap sesama semakin
menonjol ketika ia duduk di bangku SMA. Ia juga berubah menjadi anak yang
ringan tangan dan sukar mengendalikan diri.
Seperti siang ini, Shin baru saja menjabak rambut seorang anak kecil. Anak
kecil ?? Iya, seorang anak kecil yang tidak sengaja menumpahkan es cendol
yang baru dibelinya sepulang sekolah sehingga mengenai ujung tali sepatu Shin.
Ckck.. Ujung tali sepatu ?? Iya!
“Kakak jahaaatttt!!” histeris anak kecil tak berdosa itu ketika tangan Shin tiba-
tiba mendarat di kepala anak kecil itu dan menarik segempal rambutnya sambil
berkata dengan murka “Kalau jalan pake mata anak jelek!”.
Untungnya, anak tersebut tak melapor kepada orangtuanya sebab Shin telah
menyogoknya dengan melemparkan uang sepuluh ribu rupiah di depan wajah
murung anak kecil tersebut. Namun, kejadian itu terlihat langsung oleh Ibu Shin
yang kebetulan hendak berkunjung ke tetangga.
“Shin! Apa-apaan kamu ?! Anak kecil kok dikasarin ? Nggak punya hati kamu
ya ?!” hardik Ibunya penuh emosi ketika Shin masuk ke dalam rumah. Shin
hanya berjalan melewati Ibunya. Wajah Ibunya benar-benar merah padam
menahan amarah akan tingkah Shin yang sungguh kelewatan. Entah setan apa
yang kini merasuki pikiran Shin sehingga ia tega menyakiti seorang anak kecil.
“Tangan aku nggak bisa kompromi, Yah!” jawab Shin singkat begitu laporan
sang Ibu tiba di telinga Ayahnya. Ayah Shin menghela napas berat. Ia tak
meradang seperti reaksi Ibunya tadi. Ia sudah lelah menghardik anaknya ini.
Sebab, ratusan kali ia menghardik ratusan kali pula tak ada yang di dengar.
Hingga suatu ketika, kakak Shin yang bernama Meggie datang dari Probolinggo.
Ayahnya berniat memindahkan kuliahnya ke Jakarta sebab mereka akan sibuk
tahun ini. Ayah Shin berniat mengikuti tender kapal pesiar. Yang tentunya
membuat mereka akan sibuk untuk memenangkan tender tersebut. Mereka
khawatir Shin tak ada yang menjaga. Dan mereka juga berharap agar Shin dapat
mencontoh sifat Meggie yang kelewat baik serta tak brutal dan ringan tangan
seperti Shin. Kebaikan Meggie membuat ia tak tega memebunuh nyamuk
sekalipun. Leubay! Hahay!
***
Pelan tapi pasti, aku melangkahkan kaki-kaki tirusku menyusuri halaman rumah
menuju pintu. Belum sempat aku mengetuk pintu, seseorang dengan kasar
membuka daun pintu sehingga aku spontan memegang dadaku. Aku terkejut
sehingga jantungku berdegup kencang.
Shin terpana melihat sosokku yang anggun berdiri di depan pintu rumah
walaupun dengan mimik terkejut. Perlahan Shin mulai mengembangkan sebuah
senyuman yang sudah lama hilang dari wajahnya. Senyuman bahagia
menungguku seharian. Sinar matanya menunjukan sinar anak-anak kesepian
Namun, senyuman Shin nampak tidak sempurna seperti dulu. Sehingga aku
melihatnya sebagai senyuman keheranan bukan senyuman kebahagiaan.
Aku mengernyitkan dahi. Tak mengenal gadis yang berdiri di hadapanku ini.
Seorang gadis kasar dengan senyuman yang tak sempurna di mataku.
“Kakak ??” panggil Shin memecah keherananku. Tapi yang terjadi, aku malah
bertambah heran.
“Kok bengong kak ? Kakak nggak senang ya datang ke Jakarta?” sosor Shin
dengan pertanyaan-pertanyaan. Ia tak menyadari bahwa aku tak mengenalinya
sama sekali. Raut wajahnya memang terlihat ‘agak’ mirip denganku. Hanya saja
kesan pertama bertemu meruntuhkan ke agak miripan itu.
Aku masih terpaku. Aku tak berpikir sedikitpun bahwa gadis ini adalah adikku.
Meskipun aku sudah mendengar tentang kebandelan adikku dari kedua
orangtuaku. Namun, sosok Shin yang ku bayangkan bukanlah seperti ini.
Berkulit gelap akibat panas matahari, berambut pendek berwarna hitam
kepirangan, dan ughhh, pakaian yang sama sekali tak pantas digunakan seorang
wanita. Kaos oblong dan celana pendek yang bagian bawahnya tersisa kain-kain
celana yang entah di sengaja atau memang seperti itulah celana itu. Sangat
kontras denganku yang mengenakan baju panjang, rok panjang hingga mata
lutut serta kain kerudung hitam yang menutupi kepalaku. Aku akhirnya
berkesimpulan bahwa aku salah rumah. Aku menengok kanan kiri mencari
nomor rumah. Tapi tak kutemukan.
“Maaf. Apa ini rumah keluarga Anton?” tanya ku sopan. Shin terkejut
mendengar pertanyaanku. Ia sadar sekarang kenapa aku bersikap seperti itu
padanya.
“Tentu saja benar! Dan aku adalah anaknya. Shindy!” jawab Shin ketus. Aku
meringgis keheranan. Ternyata bayanganku tentang adikku sama sekali tak
tepat.
“Shindy ? Itukah kau ? Oohh...” ujar ku mencoba senang sambil memeluk Shin.
Shin terlihat kesal dengan sikapku yang tak mengenalinya. Ia kemudian melepas
pelukanku dengan kasar.
“Aku mau mandi dulu! Masuklah dan cari kamarmu sendiri!” jelas Shin kasar.
Aku melongo keheranan di depan pintu.
“Apa Ayah dan Ibu sudah pergi ?” tanya ku sambil mendekati Shin yang sudah
menaiki anak tangga.
“Mereka tak pernah di rumah!” jawab Shin masih ketus. Ia terus ke lantai dua
tanpa menoleh.
Sebenarnya Shin sempat tergerak hatinya begitu melihat sosok kakaknya yang
sangat anggun. Sosok yang tak pernah di lihatnya selama berada di Jakarta.
Namun, sikap kakaknya membuatnya mual. Ia marah sebab Meggie tak
mengenalinya.
***
Meggie sangat sedih melihat keadaan adikku. Mungkin, Shin adalah korban
kesibukan orangtua. Atau mungkin Shin adalah anak-anak kurang perhatian.
“Shin!! Shin!! Kakak boleh masuk nggak ?” sapa ku suatu hari. Aku merasa
inilah kesempatan bercerita dengan Shin. Sebab Shin sedang berada di rumah.
Shin tak menjawab. Di dalam Shin justru menutup kupingnya dengan headset.
“Shin!! Kakak masuk ya!” ulang ku lagi. Aku mencoba membuka pintu Shin.
Pintunya ternyata tak dikunci. Mungkin Shin lupa atau mungkin juga Shin
sengaja.
Aku mendapati Shin yang tertidur sambil mendengarkan lagu. Aku tersenyum.
Aku menyesal telah mengganggu tidur Shin. Kudekati Shin dan mencium pipi
adik yang sangat aku rindukan. Sebulir air mataku jatuh membasahi pipi adikku.
Segelintir kenangan masa lalu hinggap di benakku. Aku terharu akan kenangan
bersama adikku di kampung dulu.
Aku masih ingat ketika mereka akan berpisah. Ibu terpaksa hanya membawa
Shin sebab kakek ingin tinggal bersama cucunya. Dan Ibu akhirnya memilihku
untuk tinggal. Aku setuju. Walaupun tentu aku sangat sedih berpisah dengan
adik tercinta.
Kami takkan bersama-sama lagi pergi ke surau bersama kakek untuk mengaji.
Bermain air di sumur samping rumah kakek atau mencuci pakaian di sungai
bersama nenek. Itu tak akan terjadi lagi untuk hari-hariku ke depan.
“Shin tidak mauuu!! Shin mau tinggal sama kakak disini. Shin tidak mau ikut
Ibu!!” teriak Shin sehingga aku terpaksa menutup mulutnya. Kakek terkejut
akan sikap Shin. Begitupun aku dan nenek. Untuk pertama kalinya Shin
berteriak kasar pada kami. Ia adalah anak yang lembut sebelumnya.
Tak ada satupun yang mengerti sikap Shin. Jika aku jadi dirinya tentu aku sangat
senang tinggal bersama Ibu. Melepas semua kerinduan selama Ibu tinggal di
Kota dan kami di desa. Namun, ternyata Shin memiliki pandangan berbeda yang
hanya di mengerti olehnya.
Shin yang begitu ngotot tidak mau ikut Ibu juga terjadi ketika Ibu datang
menjemputnya. Kontan saja, Ibu sangat terkejut.
“Shin? Ini ibu nak. Shin tidak mau ikut Ibu ?” tanya Ibu heran ketika Shin
menolak keluar kamar. Shin menggeleng mantap.
“Shin tidak rindu sama Ibu yaa ?” goda Ibu mencoba menarik perhatian Shin.
Tapi Shin malah menatap Ibu tajam. Tatapan yang menunjukan sikap tidak suka
terhadap seseorang. Senyuman hangat ibu lalu berubah menjadi masam. Hatinya
tentu sakit melihat kenyataan ini.
Ibu keluar dari kamar Shin dan menemui Kakek. Ia berbicara empat mata
dengan kakek. Sempat Kakek berbicara dengan nada tinggi hingga terdengar ke
luar kamar. Kemudian mereda kembali. Ibu menangis sedih karena Shin seolah
tak menganggapnya Ibu. Kakek menghela nafas panjang. Ia berusaha
menasehati Ibu bahwa Shin mungkin belum ingin pergi. Ibu malah bertambah
sedih.
“Ayaah!! Apa Ayah tega melihat aku hidup berpisah dengan anak-anakku?”
Kakek terlihat marah dengan ucapan Ibu. Tapi ia mencoba menahan diri.
“Apa kau juga tega melihat gadis kecil itu menangis histeris?” balas kakek.
“Ayaaahh! Dia anakku, ayah! Bantu aku Ayah! Shin harus tinggal bersamaku.
Aku juga ingin membesarkannya” Kakek masih marah dengan sikap Ibu. Dan Ia
benar-benar marah kali ini. Apalagi setelah Ibu mengucapkan beberapa kata
yang sungguh melukai hati kakek. Kakek mencoba terus menahan diri sebab ia
tak tega melihat anak dan cucunya menangis.
“Bawa dia! Dan bilang padanya, jika kau tak ikut Ibu, kakek tak akan berbicara
padamu!”
Shin benar-benar terpukul dengan keputusan Kakek. Ia berlari menuju Ibu dan
tak menoleh sedikitpun kepada kami. Ia masuk kedalam mobil dengan wajah
yang murung dan penuh kemarahan. Aku tidak mengerti sikap Shin. Namun
dapat kubayangkan betapa sakit hatinya. Ia bahkan tak mengucapkan selamat
tinggal padaku.
Kakek juga terlihat sedih. Ia menjadi diam dalam beberapa hari. Aku mencoba
mengorek informasi dari nenek. Tapi nenek tak pernah mau menceritakan alasan
kakek membiarkan Shin pergi. Padahal kakek sangat menyayangi Shin.
Aku keluar dari kamar Shin. Shin mulai membuka matanya dan menyadari ada
tetesan air mata di wajahnya. Hati Shin bergetar. Ia merasakan sesuatu yang
menyesakkan di hatinya. Sesuatu yang seperti ia rasakan dulu. Sesuatu yang
membuat ia merubah semua sikapnya.
“Kakak!!” panggil Shin pelan. Ku menoleh tak percaya dengan apa yang di
dengarnya.
“Shin? Kau sudah bangun ?” tanya ku senang karena Shin mau menyapanya.
“Aku rindu kakak! “ ujar Shin sambil beranjak memelukku. Untuk pertama kali
setelah kepindahannya. Shin menangis tersedu-sedu. Ia menumpahkan semua
yang di pendamnya sejak saat itu dengan air matanya.
“Kakak juga Shin. Maaf ya, kakak benar-benar minta maaf padamu” ujar Ku
terharu.
“Aku sayang kakak” ujar Shin lagi. Ia tak ingin melepas pelukannya. Seperti
saat ia meminta pada kakek untuk membantunya. Ia memelukku erat
Shin kini ingat sosok dirinya dulu. Gadis kecil penurut dan penuh kelembutan.
Dan ia juga ingat saat-saat ia memutuskan untuk berubah. Hatinya benar-benar
sakit sehingga ia bingung menetukan arah. Ia menjadi sangat kasar untuk
menahan sakit hatinya.
“Ceritakan padaku tentang Desa kak” pinta Shin sambil mengajakku duduk di
tempat tidur.
“Semua!!” Aku senang akan perubahan Shin. Aku mulai mencertakakn semua
tentang Desa. Bagaimana indahnya metahari terbit di balik sawah, di balik
gunung. Tentang pelangi yang menghiasi hijaunya desa. Tentang sungai yang
dialiri air jernih. Tentang semua yang masih kuingat.
“Apa ?”
“Bohong !!”
“Ia mengusirku!”
“Iya! Apa kakak tidak pernah berpikir tentang ini! Tentang Ibu yang hanya
sibuk dengan dunianya! Ia tak pernah menginginkanku dan kau. Ia hanya
menjadikanku boneka disini. Kenapa Kakek tak memikirkan itu, kak !!” Shin
menumpahkan semua yang dipendamnya. Ia menangis sedih. Aku kini
mengenalinya lagi. Aku tak sanggup menahan keharuanku.
“Kakek sudah memikirkan semua itu. Tapi ...” Aku mengingat saat nenek mau
bercerita padaku.
“Kakek marah pada Ibumu, Meggie” ujar Nenek ketika kucertitakan bahwa Shin
sangat bandel di Jakarta.
“Ibumu mengancam Kakek. Ia berkata akan melapor pada polisi sebab Kakek
menghalangi bersatunya anak dan ibu”
“Kakek sebenarnya tak ingin memberi Shin pada Ibumu. Tapi, kakek tak berhak
menghalangi Shin dan Ibumu. Hah.. semua sudah terjadi. Jika Shin berubah, Itu
salah Ibumu. Bukan kakek, Meggie”
Aku mengerti sekarang. Aku mencoba menghubungi Ibu. Tapi tak diangkat.
Aku mulai kesal padanya. Benar kata Shin, ia tak pernah menginginkan kami. Ia
hanya ingin menjadikan kami boneka yang di pajang di kamar miliknya.
***
Suatu hari,
“Shin! Ibu mengizinkan kita berlibur ke kampung. Apa kau mau ikut ?”
“Kakek akan senang melihatmu” ujarku sambil menyerahkan pakaian yang baru
kubeli untuknya. Shin hanya diam dan membawa pakaian itu ke dalam
kamarnya.
“Ayo!” ajakku.
“Aisyah adalah Ibu kita. Bagaimanapun juga ia pasti menyanyangi kita. Jadi
kakak mohon. Jangan ulangi kesalahan masa lalu”
“Tentu tidak, Kak! Aku pasti kembali ke Jakarta. Karena kakak ikut bersamaku”
jawabnya senang.
“Aku akan membuat Ibu sayang pada kita Kak!” ujarnya lagi.
Shin kini menjadi seperti dulu. Aku sangat rindu padanya. Begitupun kakek dan
nenek. Kami menghabiskan liburan di kampung dengan sebaik-baiknya.
Memanfaatkan kesempatan yang di beri Allah pada kami untuk berbaikan.
Apalagi Allah memberikan umur panjang pada kakek dan nenek sehingga dalam
usia rentanya, mereka masih bisa melihat kedua cucunya tertawa riang bersama.
“Aku mencintaimu Kak” aku bergidik mendengar itu. Ku coba berpikir positif,
tapi pelukan Shin membuatku tak tenang.
“Aku mencintaimu Kak” ulang Shin.