You are on page 1of 183

i

Cerita Anak
Budaya Bugis Makassar
ii

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002


tentang Hak Cipta, Pasal 72 Ketententuan Pidana

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumpulkan atau memperbayak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan,
mendengarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dipidanakan dengan pidana penjara.
iii

Isnaeni Wahab
Nurhadifah Amaliyah

Cerita Anak
Budaya Bugis Makassar
iv

Cerita Anak Budaya Bugis Makassar

Pengarang: Isnaeni Wahab & Nurhadifah Amaliyah


Penata sampul: Jusuf Blegur
Penata letak: Zuvyati A. Tlonaen

Hak cipta © pada Pengarang

Penerbit Jusuf Aryani Learning


Jl. Flamboyan, No. 12, RT. 007, RW. 002, Lasiana
Kotamadya Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 85228
Telp. (0380) 8552354, Hp. 082232055550
e-mail. jal_penerbit@yahoo.com

Cetakan pertama, Juli 2019


vii + 174; 15,5 x 23 cm

p-ISBN: 978-623-91076-1-1
e-ISBN: 978-623-91076-2-8

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku


dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
v

Kata Pengantar

ALHAMDULILLAH, segala Puji dan Syukur penulis panjatkan


kehadirat Allah SWT karena kami dapat menyelesaikan
penyusunan buku cerita ini yang manabuku ini disusun untuk
memperkenalkan cerita anak berbasis budaya lokal dari Bugis
Makassar.

Kami sangat berharap buku ini dapat mendorong dan


meningkatkan minat baca anak-anak nusantara khususnya
yang ada di Sulawesi selatan. Melalui buku ini, anak-anak bisa
mengetahui cerita rakyat yang ada di Sulawesi selatan, dapat
menginspirasi dan memotivasi anak-anak untuk membaca dan
menulis kemudian selanjutnya berkreasi. Tak hanya itu, anak-
anak pun diharapkan dapat menyadari dan
mengimplementasikan pesan moral yang ada di dalam setiap
cerita, terutamayang mengandung nilai-nilai kearifan lokal
seperti sifat, sikap, perilaku baik, sopan, saling menghargai,
tolong menolong, berdiskusi dan cinta kasih dalam
berinteraksi di dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Karena
vi

salah satu tujuan dibuatnya cerita anak adalah untuk mendidik


dan menumbuhkembangkan budi pekerti generasi muda sejak
dini. Selain itu, untuk mendukung program Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI yaitu Gerakan Literasi
Nasional” yang bertujuan untuk menumbuhkan budaya literasi
dikalangan siswa dari jenjang pendidikan dasar sampai
menengah maupun masyarakat umum.

Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak


yang telah ikut berperan dalam pembuatan buku ini. Semoga
buku cerita ini bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi siswa
dan masyarakat umum untuk menumbuhkan budaya literasi.
Tiada gading yang tak retak. Kami selaku penulis menyadari
bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu,
kami bersedia menerima saran dan kritik yang membangun.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Makassar, ....... Juni 2019

Tim Penulis,
vii

Daftar Isi

Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Putri Tandampalik 1
Daeng Sinoraja 18
Nenek Pakande 29
Ambo Upe dan Burung Beo 46
La Upe dan Raja Ikan 57
I Laurang Manusia Udang 67
Sawerigading 84
Lamaddukelleng 102
Pung Darek-Darek na Pung Kura-Kura 124
Sepakbola Binatang 133
La Tongko-Tongko 146
Penakluk Rajawali 167
Referensi 173
viii
1

Bagian 1

Putri Tandampalik

DAHULU KALA, di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, berdiri


sebuah kerajaan Iuwu. Kerajan ini dipimpin seorang raja
bernama Datu Luwu. Dia sangat disenangi oleh rakyatnya
karena sifatnya yang adil, arif dan bijaksana.

Datu Luwu mempunyai seorang putri yang cantik jelita


dan juga baik. namanya Putri Tandampalik. Berita kecantikan
dan perilaku baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di
Sulawesi Selatan.

Pada suatu hari, Raja Bone ingin menikahkan putranya


dengan Putri Tandampalik, la pun mengutus beberapa
pengawal istana ke Kerajaan Luwu untuk melamar sang Putri.
Mendengar lamaran yang disampaikan utusan tersebut. Datu
Luwu terdiam sejenak. la bingung untuk mengambil
keputusan, menerima atau menolaknya, sebab dalam adat
Kerajaan Luwu, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah
dengan pemuda dari negeri lain. Akan tetapi, jika lamaran itu
ditolak, ia khawatir akan terjadi perang yang sangat besar
2

antara dua kerajaan sehingga membuat rakyat menderita.


Sejenak ia berfikir, Datu Luwu kebingungan memberikan
jawaban.

Mereka pun kembali ke Kerajaan Bone untuk


menyampaikan berita tersebut kepada Raja Bone. Keesokan
harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik
terserang penyakit kusta. Sekujur tubuhnya mengeluarkan
cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikan. Para
tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik terserang
penyakit menular yang sangat berbahaya.

Berita tentang musibah


yang menimpa sang Putri
sudah tersebar ke seluruh
penjuru negeri. Rakyat
negeri Luwu sangat bersedih
atas penyakit yang diderita
oleh sang Putri yang mereka
cintai itu. Setelah berpikir
dan menimbang nimbang.
Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke
3

suatu tempat yang Jauh. Ia khawatir penyakit putrinya akan


menular ke seluruh rakyatnya. Datu Luwu terpaksa harus
berpisah dengan putri yang Sangat dicintainya itu.
Berangkatlah sang Putri dengan perahu bersama beberapa
pengawal istana.

Datu Luwu memberikan sebuah keris pusaka kepada Putri


Tandampalik sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan,
apalagi membuang anaknya. Setelah mempersiapkan segala
perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu
daerah yang jauh dari Rerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah
mereka berlayar tanpa arah dan tujuan.

Pada suatu hari, tampaklah sebuah pulau dari kejauhan.


Para pengawal pun semakin cepat mengayuh perahunva
mendekati pulau itu. Seorang pengawal yang lebih dahulu
menginjakkan kakinya di pulau itu menemukan buah wajo.
Pengawal itu kemudian memetik beberapa biji buah wajo
untuk sang Putri.

Sejak saat itu, Putri Tandampalik beserta pengawalnya


memulai kehidupan baru. Mereka hidup penuh
kesederhanaan. Meskipun demikian, mereka tetap bekerja
keras penuh dengan semangat dan gembira. Tak terasa satu
tahun sudah mereka berada di tempat itu.
4

Suatu waktu, Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang


terletak di tengah pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih
menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut.
Semula, sang Putri hendak mengusirnya. Tetapi, hewan itu
tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya, ia diamkan
saja.

Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali dijilat oleh kerbau itu,


kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba hilang
tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih
seperti sediakala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada
Tuhan, karena penyakitmya telah sembuh. la kemudian
berpesan kepada para pengawalnya,

Permintaan sang Putri itu langsung dipenuhi oleh seluruh


pengawalnya dan masyarakat setempat, kerbau putih tersebut
disebut sebagai sakkoli.

Pada suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan


pemburu. Mereka adalah Putra Mahkota Kerajaan Bone yang
didampingi oleh Anreguru Pakanranyeng, yang tak lain adalah
Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking
5

asyiknya berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau


ia sudah terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan.

Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat


memejamkan matanya. Suara-suara binatang malam
membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di tengah gelapnya
malam, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari kejauhan.
Semakin lama, pancaran cahaya tu semakin terang. la sangat
penasaran ingin mengetahuinya. la kemudian memberanikan
diri untuk mencari sumber cahaya itu.

Putra Mahkota berusaha berjalan menelusuri gelapnya


malam. Akhirnya, sampailah ia di sebuah perkampungan yang
ramai dengan rumah-rumah penduduk. Setelah ia memasuki
perkampungan itu, sumber cahaya itu semakin jelas, ia melihat
sebuah rumah yang nampak kosong. Dengan melangkah pelan-
pelan, Putra Mahkota mendekati dan memasuki rumah itu.
Alangkah terkejunya la ketika melihat seorang gadis yang
cantik sekali bak bidadari sedang menjerang air di dalam
rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri
Tandampalik.

Pangeran dan sang puteri pun Jatuh cinta. Namun, Putra


Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo karena ia
harus kembali ke negerinya untuk menyelesaikan beberapa
kewajbannya di Istana Bone.
6

Sesampai di Kerajaan Bone, Putra Mahkota selalu teringat


wajah cantik Putri Tandampalik. Anreguru Pakanyareng yang
lebih dulu tiba di negeri Bone setelah berpisah dengan Putra
Mahkota di Pulau Wajo, mengetahui apa yang dirasakan oleh
putra rajanya itu. Ia sering melihat Putra Mahkota duduk
termenung seorang diri di tepi telaga. Oleh karena itu, ia tidak
ingin melihat tuannya terus bersedih, maka Anreguru
Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan semua
kejadian yang pernah mereka alami di Pulau Wajo.

Setelah mendengar semua cerita dan usulan Anreguru itu,


Raja Bone segera mengutus beberapa pengawalnya
mendampingi Putra Mahkota untuk melamar Putri
Tandampalik di Pulau Wajo. Sesampainya di pulau itu, Putri
Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra
Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu
yang diberikan ayahnya ketika ia diasingkan.
7

Setelah bermusyawarah dengan pengawalnya, Putra


Mahkota memutuskan untuk berangkat sendiri ke Kerajaan
Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan
semangat. Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota
menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan
menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.

Datu Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar


berita baik tersebut. Datu Luwu sangat kagum dengan
perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa bahwa Putra
Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata
lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang
lagi, Datu Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus.
Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang
mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri
kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri
tunggalnya sangat mengharukan.

Beberapa hari kemudian, Putri Tandampalik menikah


dengan Putra Mahkota Raja Bone. Pesta pernikahan mereka
berlansung sangat meriah. Seluruh keluarga dari dua Kerajaan
8

Besar di Sulawesi Selatan itu sangat gembira dengan


pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra Mahkota
hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota
diangkat menjadi raja yang arif dan bijaksana.
9
10

Princess Tandampalik

ONCE UPON A TIME, stood a Luwu kingdom in South Sulawesi.


This kingdom was led by a king named Datu Luwu. He was
very loved by his people because he was fair, kind and wise.

Datu Luwu had a beautiful and kind daughter. She's called


Putri Tandampalik. The news of her beauty and kindness
spread to various countries in South Sulawesi.

One day, King of Bone wanted to marry his son to a


Princess Tandampalik, and then he sent several palace guards
to the Kingdom of Luwu to propose the Princess. Hear that
messenger, Datu Luwu quite for a moment. He was confused to
make decisions, accept or reject it, because in the custom of
Luwu Kingdom, a Luwu girl was not allowed to marry with a
young man from another country. However, if the proposal
was rejected, he feared that there would be a terrible war
between the two kingdoms that made the people suffered.He
thought for a moment, Datu Luwu was confused giving an
answer.
11

They returned to the Kingdom of Bone to deliver the news


to King Bone. The next day, suddenly the country of Luwu was
uproar. Putri Tandampalik had leprosy. All over his body let
out a thick, rancid and very disgusting liquid. The physician
said that Princess Tandampalik had a very dangerous
infectious disease.

The news of the disaster that had befallen the Princess had
spread throughout the country. The people of Luwu were very
saddened by the illness that their beloved Princess has
suffered. After cogitating, Datu Luwu decided to exile his
daughter to a distant place. He was worried that his daughter's
illness would spread to all people. Datu Luwu was forced to
separate with the daughter he deeply loved. Then, the
Princess left by a boat with several palace guards.

Datu Luwu gave an inheritance creese to Putri


Tandampalik as a sign that she had never forgotten, let alone
throw away his child. After preparing all the necessary
supplies, they departed to an area far from the Luwu Kingdom.
They had sailed for months without direction and destination.

One day, they saw an island from a distance. The guards


were faster to peddle their boat closer to the island. A
12

bodyguard who first set foot on the island found wajo fruit.
The bodyguard then plucked some Wajo fruit for the Princess.

Since then, Putri Tandampalik and her bodyguards began


a new life. They lived in simplicity. Nevertheless, they
continued to work hard full of enthusiasm and joy. It didn't feel
like they had been in that place for a year.

One day later, Princess Tandampalik sat on the edge of a


lake located in the middle of the island. Suddenly a white
buffalo approached and licked the Princess's skin gently.
Initially, the Princess will drive away it. However, the animal
looked tame and continued to lick it. Finally, he just let it go.

What a miracle! After being repeatedly licked by the


buffalo, the Princess's skin that released fluid suddenly
disappeared without a trace. The Princess's skin is smooth,
flawless and clean as before. The Princess was moved and
grateful to God, because her illness was cured. He then advised
his bodyguards.
13

The Princess's request was immediately filled by all her


bodyguards and local people; the white buffalo was called
sakkoli.

One day a group of hunters arrived on Wajo island. They


were the Crown Prince of the Kingdom of Bone accompanied
by Anreguru Pakanranyeng, Commander of the Kingdom of
Bone, and several of his bodyguards. Because of the fun of
hunting, the Crown Prince of King Bone did not realize that he
was separated from his entourage and lost in the forest.

Late night, the Crown Prince could not close his eyes. The
sounds of the night animals kept him awake and nervous. In
the dark of the night, he suddenly saw a beam of light from a
distance. The longer, the radiance of the light gets brighter. He
was very curious to find out. He then ventured to look for the
light source.

The Crown Prince tried to walk through the darkness of


the night. Finally, he arrived at a village that was crowded with
houses. After he entered the village, the light source became
clearer; he saw a house that looked empty. Stepping slowly,
the Crown Prince approached and entered the house. What a
surprise he was when he saw a girl who was very beautiful
strike the water in the house. The beautiful girl was Princess
Tandampalik.
14

Prince and the princess fell in love. However, the Crown


Prince could not linger on Wajo Island because he had to
return to his country to complete some of his duties at the
Bone Palace. He also invited the princess to return to his
palace.

Arriving at the Kingdom of Bone, the Crown Prince always


remembered Princess Tandampalik's beautiful face. Anreguru
Pakanyareng who first arrived in the land of Bone after parting
with the Crown Prince on Wajo Island, knew what his king's
son felt. He often saw the Crown Prince sitting pensively by the
lake. Therefore, he did not want to see his princess continue to
grieve, so Anreguru Pakanyareng immediately turned up and
told of all the events they had experienced on Wajo Island.

After hearing all of Anreguru's stories and proposals, King


Bone immediately sent some of his guards to accompany the
Prince to apply for Princess Tandampalik on Wajo Island.
Arriving on the island, Putri Tandampalik did not immediately
accept the Prince's proposal. He only gave the heirloom creese
of the Luwu Kingdom which his father gave him when he was
exiled.
15

After discussing with his guard, the Crown Prince decided


to go alone to the Kingdom of Luwu. The journey for days he
lived was full of enthusiasm. Arriving in the Kingdom of Luwu,
he recounted his meeting with Putri Tandampalik and handed
over the heirloom creese to Datu Luwu.

Datu Luwu and the empress were very happy to hear the
good news. Datu Luwu was very impressed with the
temperament of the Prince. Datu Luwu felt that the Prince was
a determined young man, said softly, politely and full of
enthusiasm. Without thinking, Datu Luwu received the
heirloom creese sincerely. Without waiting a long time, Datu
Luwu and the empress came to visit Wajo Island to meet his
favorite daughter. Datu Luwu's meeting with his only daughter
was very moving.
16

A few days later, Putri Tandampalik married the Crown


Prince Raja Bone on Wajo Island. Their wedding party is very
festive. All the families of the two Great Kingdoms in South
Sulawesi were very happy with the marriage. Putri
Tandampalik and Crown Prince live happily. A few years later,
the Crown Prince was appointed to be a king replaces his
father whose was wise.
17
18

Bagian 2

Daeng Sinoraja

DAENG SINORAJA adalah julukan seorang raja di sebuah


kerajaan besar dari Kota Makassar. Beliau adalah sosok yang
gagah berani dan sangat terkenal. Raja Sinoraja memiliki
seorang patih yang bernama Daeng Magang. Ia adalah seorang
patih yang pemberani dan memimpin prajurit yang sangat
banyak.

Di suatu malam, sang raja bermimpi dimana beliau


dipertemukan dengan seorang putri yang sangat cantik. Putri
itu adalah Dewi Ratna Sari, seorang putri dari Tawang Alun
adipati Kabonan. Mimpi itu begitu berkesan bagi Raja Daeng
Sinoraja dan berharap mimpi itu menjadi kenyataan. Tanpa
pikir panjang ia pun memerintahkan patih Daeng Magang
untuk memimpin seluruh prajurit ke seluruh pelosok negeri
untuk mencari putri Dewi Ratna Sari.
19

Setelah mencari ke beberapa wilayah di penjuru


nusantara, mereka pun sampai ke pulau Madura. Disana
mereka bertemu dengan pangeran Madura dan membenarkan
bahwa ada seorang adipati Kabonan bernama Tawang Alun
yang tinggal di daerah ujung Pangkah yang memiliki putri yang
namanya sama dengan yang
hadir di mimpi raja Daeng
Sinoraja. Pangeran dari
Madura pun mengantar patih
Daeng Magang menyeberangi
selat Madura menuju ujung
pangkah untuk menemui
putri tersebut. Karena
kelelahan berlayar, mereka beristirahat di pesisir ujung
pangkah. Daeng Magang tiba tiba melihat tiga orang putri
sedang duduk bersendau gurau di tepi pantai. Ia pun
menghampiri ketiga putri tersebut dan mengajaknya
berbicara. Namun karena terkendala oleh Bahasa yang
berbeda, patih Daeng Magang meminta pangeran dari Madura
untuk menjadi perantara Bahasa. Ternyata salah satu dari
ketiga gadis itu bernama Dewi Ratna Sari.

Setelah mengetahui bahwa gadis yang dihadapannya itu


adalah orang yang dicari, patih daeng Magang meminta Dewi
Ratna Sari untuk ikut dengannya bertemu dengan raja Daeng
Sinoraja di Makassar. Namun, Dewi Ratna Sari menolak karena
20

sudah mempunyai suami dan seorang anak laki-laki. Daeng


Magang tidak peduli dengan alasan Dewi Ratna Sari. Mereka
memaksa putri Dewi untuk ikut bersamanya yang ditemani
seorang putri utusan Pangeran dari Madura untuk menemui
Daeng Sinoraja. Sedangkan, kedua gadis lainnya dilepaskan.

Sesampainya di Makassar, sang Dewi dibawa kehadapan


raja Sinoraja. Sang raja pun memintanya untuk menikah
dengannya tapi ditolak oleh Dewi Ratna Sari. Raja begitu
marah mendengar permintaannya ditolak dan ia pun
memasukkan sang Dewi ke dalam penjara.

Hilangnya Dewi Ratna Sari sudah tersebar di Kadipaten


Kabonan tapi suaminya belum mengetahui hal itu karena
sudah lama meninggalkan Kabonan untuk mengembara,
sedangkan anaknya, Jaka Cinde tidak tinggal diam setelah
mendengar ibunya menghilang. Ia pergi ke Madura untuk
mencari keberadaan sang ibu. Karena tak kunjung bertemu
dengan ibunya, tanpa sengaja dia bertemu dengan seorang
teman yang bersedia membantunya untuk mencari ibunya.

Setelah mendengar bahwa ibunya di bawa ke Makassar,


kedua anak cilik yang pemberani itu berlayar ke Timur menuju
Makassar. Karena kecerdasan dan keterampilan yang dimiliki
oleh keduanya, Jaka Cinde dan temannya melakukan
pertunjukan sulap dan silat yang membuat rakyat Makassar
kagum dengan kemampuan mereka. Berita tentang
21

kemampuan yang dimiliki keduanya sampai ke istana sang


Raja Sinoraja. Sang raja pun penasaran dan mengundang
keduanya untuk melakukan pertunjukan di istana.
Sesampainya di istana, Jaka Cinde bertemu dengan Putri dari
Madura yang menemani ibunya selama berada di Makassar.
Mereka pun mengatur siasat untuk membebaskan ibunya dari
penjara dan melarikan diri bersama dari istana itu. Jaka Cinde
dan temannya pun memulai pertunjukannya yang membuat
raja dan penonton sangat senang dan terkagum-kagum. Jaka
Cinde melanjutkan pertunjukan sulapnya dengan
mengeluarkan sebuah selendang. Seketika sang raja tertidur,
sedang para penonton menjadi panik yang membuat istana
menjadi riuh. Situasi itu dimanfaatkan oleh Jaka cinde untuk
membebaskan ibunya dari penjara dan keluar dari istana.

Mereka berempat berlari menuju pesisir pantai dan


berlayar menuju Madura. Sesampainya di pantai ujung
pangkah, Jaka cinde membimbing ibunya yang disusul oleh
temannya dan putri dari Madura berjalan menjauh dari pantai.
Tiba-tiba mereka diserang oleh seseorang. Seorang laki-laki
setengah baya yang gagah perkasa. Jaka Cinde tidak terima dan
menyerang balik dan perkelahian pun tak bisa dihindari. Jaka
cinde mengeluarkan senjata pusakanya berupa selendang
Cinde. Seketika lawannya itu tercengung dan berkata “Wahai
anak muda, siapa engkau sebenarnya?”
22

Mendengar nama Raden Simbar, Dewi Ratna Sari kaget


dan berlari mendekati Raden Simbar sambil bersimpuh “oh
kakanda, apa yang dikatakannya benar. Jaka cinde adalah
anakmu wahai kakanda”. Perkelahian yang tadinya sengit
menjadi haru. Dewi Ratna Sari menceritakan kejadian yang
baru saja menimpanya dan bagaimana perjuangan sang anak
untuk mencari dan menolongnya.

Mereka pun kembali ke Kabonan dan menghadap sang


adipati tawang Alun. Ia pun sangat bahagia melihat dan
berkumpul kembali dengan keluarganya. Setelah beberapa
hari berlalu, Daeng Sinoraja bersama bala tentaranya tiba di
Ujung Pangkah. Ia bermaksud untuk menyerang Kabonan
tempat Adipati tawang alun berkuasa. Terjadilah pertempuran
yang sengit dan berakhir dengan kekalahan Daeng sinoraja.

Kini, Jaka Cinde menggantikan kakeknya menjadi seorang


raja di Kabonan. Ayahnya, Raden Simbar tak bisa meneruskan
kekuasaan Tawang Alun sebagai adipati karena harus
berkelana kembali. Hingga kini, di ujung pangkah masih
23

terdapat petilasan berupa sendang yang memiliki air yang


jernih tapi kadang-kadang berubah warna menjadi merah
seperti darah. Konon kolam itu adalah tempat mencuci keris
yang berlumuran darah setelah perang melawan tentara dari
Makassar.
24

Daeng Sinoraja

DAENG SINORAJA was the nickname of a king in a large


kingdom of Makassar City. He was a brave and very famous
figure. King Sinoraja had a vice regent named Daeng Magang.
He was a brave vice regent and led many soldiers.

One night, the king dreamed of where he was met with a


very beautiful princess. The daughter was Dewi Ratna Sari, a
daughter of Tawang Alun adipati Kabonan. The dream was so
memorable for King Daeng Sinoraja and hoped the dream
would come true. Without thinking, he ordered the vice regent
Daeng Magang to lead all the soldiers to all corners of the
country to find Dewi Ratna Sari.

After finding to several regions throughout the


archipelago, they reached the island of Madura. They met
Prince Madura and confirmed that there was a Duke of the
Kabonan named Tawang Alun who lived in the end of Pangkah
which had a daughter whose name was the same as the one
present in Daeng Sinoraja's dream. Prince of Madura also took
25

vice regent Daeng Magang across the Madura strait toward


ujung Pangkah to meet the princess. Because of the fatigue
they sailed, they rested on the shore of Ujung pangkah. Daeng
Magang suddenly saw three daughters sitting seated joking on
the beach. He approached the three daughters and invited him
to speak. However, because of being constrained by different
languages, the vice regent Daeng Magang asked the prince
from Madura to become a language mediator. Apparently one
of the three girls was named Dewi Ratna Sari.

After finding out that the girl in front of him was the
person being sought, Daeng Magang asked Dewi Ratna Sari to
come with him to meet the king Daeng Sinoraja in Makassar.
However, Dewi Ratna Sari refused because she already had a
husband and a son. Daeng Magang didn't care about the reason
Dewi Ratna Sari. They forced Dewi to come with him
accompanied by a princess of the Prince's envoy from Madura
to meet Daeng Sinoraja. Meanwhile, the other two girls were
released.

Arriving in Makassar, Dewi was brought to meet with King


Sinoraja. The king asked her to marry with him but was
rejected by Dewi Ratna Sari. The king was so angry to hear his
request was rejected and he put Dewi Ratna Sari in jail.

The loss of Dewi Ratna Sari has spread in the Duchy of


Kabonan, but her husband did not know it because he had long
26

left the Kabonan to wander, while his son, Jaka Cinde, did not
remain silent after hearing his mother disappear. He went to
Madura to look for the existence of his mother. Because he
never met his mother, he accidentally met a friend who was
willing to help him find his mother.

After hearing that his mother was taken to Makassar, the


two brave children sailed east to Makassar. Because of the
intelligence and skills possessed by both, Jaka Cinde and his
friend performed magic and silat that made the people of
Makassar amazed by their abilities. News of their abilities
reached the King Sinoraja palace. The king was curious and
invited both to perform at the palace. Arriving at the palace,
Jaka Cinde met with a Princess from Madura who accompanied
her mother while in Makassar. They also arranged a strategy
to free his mother from prison and escape together from the
palace. Jaka Cinde and his friend started the show which made
the king and the audience very happy and amazed. Jaka Cinde
continued his magic show by removing a scarf. Instantly the
king fell asleep, while the audience panicked, making the
palace boisterous. The situation was used by Jaka Cinde to free
his mother from prison and escape of the palace.

The four of them ran towards the coast and sailed towards
Madura. Arriving at the beach ujung Pangkah, Jaka Cinde
guided his mother, who was followed by his friend and the
princess from Madura walking away from the beach. Suddenly
27

they were attacked by someone. A mighty middle-aged man.


Jaka Cinde didn’t accept and attacks back and even fights
cannot be avoided. Jaka Cinde took out his weapon in the form
of a Cinde scarf. Immediately his opponent was dumbfounded
and said "young man, who are you?"

Hearing the name of Raden Simbar, Dewi Ratna Sari was


shocked and ran towards Raden Simbar while kneeling “Oh
kakanda, what he said was true. Jaka cinde is your son
kakanda”. A fight that had been fierce became emotion. Dewi
Ratna told the events that have just happened to her and how
their son struggled to find and help her.

They returned to the Kabonan and faced the duke of


Tawang Alun. He was very happy to see and meet with his
family. After several days passed, Daeng Sinoraja and his army
arrived at Ujung Pangkah. He intended to attack the Kabonan
where Adipati tawang alun was in power. There was a fierce
battle and ended with the defeat of Daeng Sinoraja.
28

Now, Jaka Cinde replaces his grandfather to become a king


in the Kabonan. His father, Raden Simbar could not continue
the power of Tawang Alun as duke because he had to wander
back. Until now, at the end of Pangkah there are still mudflats
that have clear water but sometimes turn red like blood. The
pool was the place to wash the creese covered in blood after
the war against the army from Makassar.
29

Bagian 3

Nenek Pakande

DI ZAMAN DAHULU KALA di sebuah kabupaten di Sulawesi


Selatan tepatnya di daerah Soppeng, terdapat sebuah desa
dengan masyarakatnya yang ramah, damai, dan tentram.
Setiap hari mereka beramai-ramai turun ke ladang karena
bertani adalah satu-satunya sumber mata pencaharian
mereka. Pada suatu ketika, desa itu terganggu oleh hadirnya
seorang nenek tua. Ia memiliki rambut yang memutih dengan
memakai konde, wajahnya keriput dan badannya setengah
membungkuk lalu memakai sarung batik dan kemeja lusuh.
Nenek itu tampak biasa-biasa saja tapi dibalik itu ia adalah
siluman yang suka memangsa anak kecil untuk dimakannya.
Masyarakat di desa itu memanggilnya nenek Pakande
(Pakande diambil dari Bahasa Bugi yaitu kata manre yang
artinya makan).

Saat sang fajar mulai tenggelam, nenek Pakande selalu


berkeliaran disekitaran kampung itu untuk mencari mangsa.
Di suatu sore ketika hari sudah mulai gelap, dua orang kakak
30

beradik sedang asyik bermain bersama di halaman rumahnya.


“nak ayo segera masuk ke rumah, ini sudah malam!” seru
ibunya dari balik pintu. Kedua anak itu tidak menghiraukan
perintah ibunya dan meneruskan permainannya. Tidak lama
kemudian, ibunya keluar menghampiri mereka dan
mengajaknya untuk masuk
ke rumah tapi keduanya
masih lebih memilih untuk
bermain. Ibunya
menggelengkan kepala
seraya meninggalkan kedua
anaknya yang masih saja
bermain. Dari kejauhan,
ternyata nenek Pakande sedang mengawasi kedua anak itu.
setelah suasana sepi dan tak seorang pun berlalu lalang di
sekitar rumah itu, nenek Pakande menghampiri kedua anak itu
dan membawanya pergi.

Tak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu kembali ingin
menghampiri di luar rumah tapi ia tak mendapati satupun dari
kedua anaknya. Ia mencari ke seluruh sudut rumahnya tapi tak
didapatinya juga. Hal tersebut membuatnya cemas dan
khawatir. Ia pun keluar dari rumah seraya meminta tolong
“tolong…. Tolong…. Tolong anak ku hilang!” teriaknya sambil
menangis. Warga pun mulai berdatangan setelah mendengar
teriakan nya” ada apa bu? Apa yang terjadi dengan anak ibu?”
31

tanya salah satu warga. Lalu ibu itu pun menceritakan kejadian
yang menimpa anak-anaknya.

Semua warga yang berkumpul mulai mencari keberadaan


kedua anak itu. mereka mencari ke seluruh pelosok desa
dengan menggunakan alat penerangan seadanya karena
suasana yang begitu gelap. Mereka mencari begitu lama tapi
tak kunjung ada yang menemukannya, akhirnya kepala
kampung memerintah-kan untuk melanjutkannya esok hari.

Keesokan harinya, seorang ibu juga melaporkan


kehilangan bayinya. Bayinya tiba-tiba menghilang saat ia
tertidur lelap semalaman. Warga pun semakin resah dengan
peristiwa itu. Malam harinya, warga menjadi khawatir dan tak
bisa tidur nyenyak demi menjaga anak-anak mereka dari
penculikan yang diduga dilakukan oleh nenek Pakande.

Di suatu hari, para warga berkumpul dan salah seorang


dari mereka mengusulkan untuk pergi ke rumah nenek
Pakande. “mengapa kita hanya berdiam diri saja disini,
mengapa kita tidak mendatangi saja rumah nenek Pakande itu
karena mungkin dialah yang telah menculik anak-anak itu”
ujar salah seorang warga. “Hei, bukankah nenek Pakande itu
adalah seseorang yang sakti, bukankah dia memiliki kekuatan
gaib yang sulit untuk dikalahkan” sahut warga lainnya. “ya itu
benar.”
32

Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sakti. Tak


seorang manusia pun yang mampu untuk melawannya selain
raksasa bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tapi
sekarang entah dimana raksasa itu” tambah warga lainnya.
Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah seorang raksasa
yang tingginya sekitar 7 hasta dengan badan yang besar, dia
juga suka memakan manusia akan tetapi dia baik hati dan
hanya memakan manusia yang bersifat buruk. “Lantas apa
yang harus kita perbuat untuk mengusir nenek Pakande dari
desa kita ini?” salah satu warga kembali bertanya tapi tak
seorang pun yang bisa menjawabnya.

Suasana menjadi hening sesaat, tiba tiba seorang pemuda


berdiri diantara mereka. Pemuda itu bernama La Beddu,
seorang pemuda yang cerdik, pandai dan pemberani. Dia juga
dikenal sangat ramah, taat beribadah dan suka membantu
orang lain.

Warga saling berpandangan, ada beberapa warga yang


menaruh harapan besar tapi tak sedikit yang meremehkan
perkataan nya. “Hei La Beddu apakah kuasa mu? Kamu
hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian seperti
yang dimiliki oleh nenek Pakande” seru salah seorang warga.
33

La Beddu kemudian tersenyum dan berkata “tidak selamanya


kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai
manusia punya akal untuk berpikir cara mengalahkan nenek
itu” jawabnya tenang.

“Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu. Apakah kamu


tidak takut sedikit pun dengan nenek Pakande?” tanya warga.
Maksud saya kita bisa melawan nenek Pakande tidak harus
dengan bertarung dengan menggunakan kesaktian tetapi kita
bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu
membahu melawannya yakinlah bahwa kita bisa
memusnahkannya dari desa kita ini. olehnya itu saya meminta
semua warga untuk mencari ekor belut, kura kura, salaga
(garu), busa sabun satu ember, kulit rebung yang telah kering
dan sebuah batu besar. Dan setelah itu, kumpulkan semuanya
dirumah saya” perintah La beddu.

Warga pun membubarkan diri dan mencari apa yang La


Beddu minta. Setelah semuanya terkumpul, mereka
membawanya kerumah La Beddu. “hai La Beddu, sekarang
jelaskan kepada kami apa yang hendak kamu lakukan dengan
semua ini” ujar salah seorang warga. La Beddu kemudian
34

menjelaskan apa yang akan dilakukannya. Selaga akan


digunakannya sebagai sisir dan kura kura sebagai kutu
raksasa. Busa sabun ia jadikan menyerupai air liur, dan kulit
rebung sebagai terompet agar menyerupai suara sang raksasa.
Adapun belut dan batu besar akan diletakkan di depan pintu
dan dibawah tangga. Hal tersebut untuk menyamar sebagai
sang raksasa mengelabui nenek Pakande.

La Beddu dan warga mulai menyusun rencana untuk


mengelabui nenek Pakande. Dua orang warga bertugas untuk
menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah
tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung.
Setelah hari mulai gelap, sebagian warga diminta untuk masuk
ke rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Semua warga
diminta untuk memadamkan pelita yang menerangi rumah
mereka kecuai sebuah rumah panggung yang sangat besar
yang dinamakan Balla Raja. Rumah itu dibuat sebegitu
terangnya dan menaruh seorang bayi di dalamnya. Hal ini
dilakukan untuk memancing nenek Pakande untuk datang ke
tempat itu.

Malam itu adalah malam jumat dan sinar rembulan begitu


terang. Nenek Pakande mulai berkeliaran disekitar desa itu. ia
pun kebingungan mengapa tidak ada lampu di setiap rumah
kecuali rumah panggung yang berada diujung perkampungan.
Nenek Pakande pun menghampiri rumah itu dan kemudian ia
mencium adanya seorang bayi dari dalam rumah itu. Tanpa
35

pikir panjang nenek Pakande masuk ke dalam rumah


sedangkan dua warga lainnya melaksanakan tugasnya dan
kembali bersembunyi.

Ketika Nenek Pakande berada tepat di depan sebuah pintu


kamar yang tinggi dan besar, ia pun semakin merasakan
aroma bayi yang ada di dalam kamar itu. Tiba-tiba muncullah
suara misterius yang membuat nenek Pakande kaget “ hei
nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang
kesini?” tanya La Beddu yang meniru suara sang raksasa besar
Raja Bangkung Pitu Reppe Rawo Ale.

“Saya ingin mengambil bayi yang ada di dalam kamar ini.


siapa kamu?” jawab nenek Pakande. “Saya Raja Bangkung Pitu
Reppe Rawo Ale. Saya ingin kamu pergi dari sini karena sudah
mengganggu warga kampung” ujar nya lagi. “Ahh saya tidak
percaya jikalau kamu itu adalah raksasa Raja Bangkung Pitu
Reppe Rawo Ale” jawab nenek Pakande tanpa takut sambil
melangkahkan kakinya mendekati daun pintu kamar tempat
bayi itu berada. La Beddu pun menumpahkan seember busa
sabun menyerupai air liur raksasa dan memperdengarkan
suara mengaung “aku lapar, lihatlah air liurku sudah mengalir.
Jika kamu tak segera pergi dari sini maka kamu akan menjadi
santapanku malam ini”. “Hehehehe saya tidak percaya
denganmu, pasti kamu hanyalah manusia biasa yang
menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppe Rawo Ale” lanjut
nenek Pakande.
36

La Beddu pun menjatuhkan selaga menyerupai sisir yang


besar dan kura kura secara bersamaan “ahh.. kutu ini begitu
menggangguku dan membuat kepalaku sangat gatal. Hmmm
nenek Pakande kamu jangan membuatku lebih marah lagi”.
Melihat selaga dan kura-kura yang jatuh ke lantai membuat
nenek Pakande mulai percaya dan membuatnya terlihat
ketakutan. Tanpa menunggu lebih lama, nenek Pakande
kemudian berlari menuju pintu keluar dan menginjak belut
yang sengaja diletakkan oleh warga. Ia pun terpeleset dan
jatuh ke anak tangga yang membuat kepalanya terbentur di
batu besar yang juga sudah disiapkan. Nenek Pakande bangkit
dengan rasa sakit tapi dengan kesaktiannya ia pun berhasil
melarikan diri terbang ke bulan. Nenek Pakande pun
meninggalkan pesan kepada warga “saya akan mengawasi
anak-anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di
malam yang begitu gelap. Dan suatu saat nanti saya akan
datang untuk memangsa anak-anak kalian”.

Dari kisah itulah, maka para orang tua sekarang banyak


yang menasehati anak-anaknya untuk tidak keluar rumah jika
hari mulai gelap, karena akan dimangsa oleh nenek Pakande.
37
38

Grandmother Pakande

IN ANCIENT TIMES in a district in South Sulawesi, precisely in


the Soppeng area, there was a village with a friendly, peaceful
and peaceful community. Every day, they went down into the
fields because farming is only their source of livelihood. One
day, the village was disturbed by the presence of an old
grandmother. She had white hair with Conde, his face was
wrinkled and his body was half bent and then wore a batik
sarong and a worn shirt. The grandmother looked ordinary but
behind that she was a stealth who likes to eat small children.
The people in the village called her grandma Pakande
(Pakande was taken from the language of Bugi, the word
manre which means to eat).

When the dawn began to sink, grandmother Pakande


always wandered around the village to look for prey. One
afternoon when it was getting dark, two sisters were playing
together in his yard. "Come on, let's go into the house right
away, it's already late!" their mother exclaimed from behind
39

the door. The two children ignored his mother's orders and
continued playing. Not long after, his mother came out to them
and invited him to enter the house but both of them still
preferred to play. Their mother shook her head while leaving
her two children who were still playing. From a distance, it
turned out that grandmother Pakande was watching the two
children. After the situation was quiet and nobody passed
around the house, grandmother Pakande approached the two
children and took them away.

Shortly thereafter, the mother of the two children back


again outside the house but she did not find any of her two
children. He found all corners of her house but she didn't find
it either. This made him anxious and worried. He also left the
house while asking for help "help ... help…. Help my daughters
disappear!" he shouted while crying. Some people began to
arrive after hearing her shout "what's wrong? What happened
to your daughter?" asked one of the people. Then he told the
incident that happened to her children.

All people who gathered began to look for the


whereabouts of the two children. They searched all corners of
the village using makeshift lighting equipment because it was
so dark. They searched for so long but no one to find it, finally
the headman asked to continue tomorrow.
40

The next day, she also reported losing her baby. The baby
suddenly vanished when he fell asleep all night. The people
were increasingly troubled by the incident. In the evening,
people became worried and could not sleep well to look after
their children from kidnapping allegedly carried out by
grandmother Pakande.

One day, residents gathered and one of them proposed to


go to grandma Pakande's house. "Why are we just staying
silent here, why don't we just come to grandma Pakande's
house because maybe she was the one who kidnapped the
children," said the people. "Hey, isn't that Pakande a powerful
person, doesn't she have magical powers that are difficult to
defeat" said other people. "Yes, it is true.

Pakande's grandmother is a powerful demon. No human


being can afford to fight her other than a giant named Raja
Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. "But now, where is the giant,"
added another resident. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale is
a giant with a height of about 7 cubits with a large body, he
also likes to eat humans but he is kind and only eats humans
who are bad. "Then what should we do to drive Pakande's
grandmother from our village?" One of the residents asked
again, but no one could answer it.

It became silent for a moment, suddenly a young man


stood between them. The young man was named La Beddu, he
41

was smart and courageous young man. He was also known to


be very friendly, devout and likes to help others.

Residents look at each other, there are some people who


put great hopes but not a few who underestimate his words.
"Hey La Beddu, what is your power? You are just an ordinary
young man who does not have the supernatural powers that
Grandma Pakande has, "exclaimed one resident. La Beddu then
smiled and said "not always the supernatural powers must be
resisted with supernatural powers too. We as humans have the
mind to think about how to defeat the grandmother, "he
replied calmly.

"What do you mean La Beddu. Are you not afraid in the


least with grandma Pakande? "Asked the residents. "I mean we
can fight grandmother Pakande not have to fight using magic
but we can fight it with our intelligence. If we work hand in
hand against each other, rest assured that we can destroy it
from our village. By that, I asked all residents to look for eel
tails, turtles, salaga (rakes),a bucket of soap foam, dried
bamboo shoots and a large rock. And after that, collect
everything in my house, "La Beddu ordered.
42

Residents disbanded and looked for what La Beddu asked


for. After everything was collected, they brought it to La
Beddu's house. "Hai La Beddu, now explain to us what you
want to do with all this," said one resident. La Beddu then
explained what he would do. Selaga will be used as a comb and
tortoise as a giant louse. The soap foam makes it resemble
saliva, and bamboo shoots as trumpets to resemble the sound
of the giant. Eels and boulders will be placed at the door and
under the stairs. This is to disguise himself as the giant tricking
grandma Pakande.

La Beddu and residents began to devise a plan to trick


grandma Pakande. Two residents were tasked with putting
large eels and stones in front of the door and under the stairs
then hiding under the house on the stage. After dark, some
residents were asked to enter the house and locked the door
tightly. All residents were asked to extinguish the lamp that
illuminated their house except a very large stage house called
Balla Raja. The house was made so bright and put a baby in it.
This was done to lure grandmother Pakande to come to that
place.
43

That night was Friday night and the moonlight was so


bright. Grandma Pakande began to wander around the village.
She was confused why there were no lights in every house
except the stage house which was at the end of the village.
Grandma Pakande approached the house and then felt the
presence of a baby from inside the house. Without thinking,
grandmother Pakande entered the house while the two
residents carried out their duties and returned to hiding.

When grandma Pakande was in front of a large and big


room, the more she felt the smell of the baby in the room.
Suddenly a mysterious voice appeared that made Grandma
Pakande shocked "Hey grandma Pakande, what is it that
makes you come here?" Asked La Beddu who imitated the
sound of the great giant Raja Bangkung Pitu Reppe Rawo Ale.

"I want to take the baby inside this room. Who are you?"
answered grandmother Pakande. "I am Raja Bangkung Pitu
Reppe Rawo Ale. I want you to leave here because you have
disturbed the villagers, "he said again. "Ahh, I don't believe if
you are the giant Raja Bangkung Pitu Reppe Rawo Ale"
answered grandmother Pakande without fear while stepping
closer to the door of the room where the baby was. La Beddu
spilled a bucket of soapy foam resembling a giant saliva and
made a roaring sound "I'm hungry, look at my saliva flowing. If
you don't leave here soon then you will be my meal tonight".
"Hehehehe I don't believe you, surely you are just an ordinary
44

human disguised as Raja Bangkung Pitu Reppe Rawo Ale"


continued grandmother Pakande.

La Beddu also dropped the selaga like a large comb and


turtle simultaneously "Ahh ... these fleas so bothered me and
made my head very itchy. Hmmm, grandmother, you don't
make me even angrier. Seeing Selaga and the turtle falling on
the floor made Grandma Pakande start to believe and made
her look scared. Without waiting longer, grandma Pakande
then ran towards the exit and stepped on the eel which was
deliberately placed by the residents. She slipped and fell to the
stairs which hit his head on a large rock that had also been
prepared. Grandma Pakande got up with pain but with her
supernatural powers she managed to escape flying to the
moon. Grandma Pakande also left a message to the citizens. "I
will watch your children from up there with the moonlight on
such a dark night. And someday I will come to prey on your
children".

From that story, many parents now advise their children


not to leave the house if it gets dark, because it will be eaten by
grandmother Pakande.
45
46

Bagian 4

Ambo Upe dan Burung Beo

DI SUATU HARI, Ambo Upe kembali mengembalakan enam


kerbaunya di padang rumput yang luas sementara ia pun
beristirahat di bawah pohon asam yang rindang. Tiba-tiba
seekor anak burung yang terluka jatuh di dekatnya. Ambo Upe
kemudian menghampiri anak burung itu dan dibawa pulang
kerumahnya untuk diobati. Ia pun kemudian memelihara dan
merawat burung itu dengan penuh kasih sayang.

Beberapa hari kemudian, Ambo Upe baru mengetahui jika


anak burung yang dirawat itu adalah anak burung beo. Seiring
berjalannya waktu, burung beo itu menjadi jinak kepada Ambo
Upe. Meski tidak dikandang, ia tidak terbang jauh. Kerap kali ia
hinggap di bahu Ambo Upe jika tengah duduk beristirahat.
Setiap Ambo Upe mengembalakan kerbaunya, burung beo itu
selalu turut serta dengannya.
47

Pada suatu hari, Ambo Upe tertidur ketika


mengembalakan kerbau-kerbaunya. Seekor ular berbisa
merayap ke arah Ambo Upe, burung beo yang mengetahui ada
bahaya yang mengancam
Ambo Upe segera
bertindak. Dengan sigap
ia mematuk mata ular
tersebut. Ular berbisa itu
menggeliat- geliatkan
tubuhnya karena kesakitan sebelum akhirnya menjauh dari
tempat itu. Si burung beo kemudian mengepak-ngepakkan
sayapnya di dekat telinga Ambo Upe hingga terbangun.
Mengetahui peristiwa yang hampir membahayakan Ambo upe,
ia pun berterimakasih kepada burung beo dan mengelus-elus
kepalanya.

Pada suatu ketika, terjadi musim kemarau yang


berkepanjangan. Rumput-rumput di padang pengembalaan
mengering. Ambo Upe berniat mengembalakan kerbau-
kerbaunya di pinggir hutan yang masih banyak rumput hijau.
Para pengembala lainnya tidak berani mengembalakan hewan
gembalaan di tempat itu karena daerah tersebut adalah daerah
rawan. Hutan itu kerap dijadikan tempat persembunyian para
perampok.

Kekhawatiran para pengembala terbukti benar, ketika


Ambo Upe membiarkan kerbau-kerbaunya mencari makan,
48

dua perampok datang dan menyerang Ambo Upe. Mereka


mengikat Ambo Upe pada sebatang pohon dan membawa
keenam kerbaunya ke dalam hutan. Burung beo yang melihat
kejadian tersebut kemudian terbang dan mengikuti kemana
kerbau-kerbau milik Ambo Upe itu akan disembunyikan oleh
para perampok. Setelah mengetahui enam kerbau itu
disembunyikan di dalam gua yang berada di dalam hutan,
burung beo tersebut terbang secepatnya ke rumah Ambo Upe.

Ayah Ambo Upe terheran-heran melihat burung beo


peliharaan anaknya itu kembali ke rumah dan mengoceh.
Sama sekali ia tak mengetahui apa yang diucapkan burung beo
tersebut. Namun, karena burung beo seperti hendak
mengajaknya, ayah Ambo Upe akhirnya menyadari akan
bahaya yang tengah dialami anaknya. Ayah Ambo Upe dan
beberapa tetangganya, mengikuti ke mana burung beo
terbang. Tidak lupa mereka membawa senjata untuk
menghadapi hal-hal buruk yang mungkin akan mereka temui.
Mereka kaget menemukan Ambo Upe terikat pada batang
pohon sementara keenam kerbau gembalaannya telah
menghilang entah kemana. Ambo Upe kemudian menceritakan
kejadian yang dialaminya.
49

Ayah Ambo Upe dan yang lainnya sepakat untuk mencari


dimana kedua perampok itu berada. Namun, mereka merasa
bingung hendak mencari kemana. Mendadak burung beo
terbang di dekat Ambo Upe dan memberi isyarat agar Ambo
Upe mengikutinya. Orang-orang akhirnya mengikuti arah
terbang burung beo tersebut ke dalam hutan. Beberapa saat
kemudian, mereka menemukan sebuah gua. Mereka mengintai
dengan hati-hati dan terdengar suara kerbau.

Mereka kemudian mengepung gua tersebut. Mereka


bergerak hati-hati ketika memasuki gua, di dalam gua mereka
mendapati berpuluh-puluh ekor kerbau. Mereka juga melihat
dua perampok itu tengah tertidur di dalam dua lubang kecil di
dalam gua. Serentak mereka menangkap dua perampok itu
dan mengikat kedua tangan mereka.

Dua perampok beserta kerbau-kerbau hasil rampokannya


di giring keluar dari dalam gua. Kedatangan mereka disambut
suka cita penduduk, terutama mereka yang kehilangan kerbau.
Kerbau-kerbau mereka telah berhasil ditemukan kembali dan
50

dua perampok yang selama ini meresahkan warga akhirnya


diringkus.

Ambo Upe tak menyangka sama sekali jika burung beo itu
akan membalas budi begitu besar terhadapnya. Ia hanya sekali
menyelamatkan burung beo itu, namun berulangkali burung
beo itu menyelamatkannya dari bahaya yang mengancam
jiwanya. Ambo Upe sangat berterima kasih kepada burung beo
peliharaannya itu. Ia pun berjanji untuk menyayangi hewan-
hewan lainnya, karena hewan pun sesungguhnya bisa
membalas budi jika mendapat perlakuan yang baik. Seperti
yang ditunjukkan burung beo peliharaannya itu.
51
52

Ambo Upe and the Parrot

ONE DAY, Ambo Upe returned to herd six buffaloes in a vast


meadow while he rested under a shady tamarind tree.
Suddenly a wounded bird fell near him. Ambo Upe then
approached the bird and took home to be treated. He then
nurtured and cared the bird with affection.

A few days later, Ambo Upe only knew out if the baby bird
being cared for was a parrot. As time went on, the parrot
became tame to Ambo Upe. Although it’s not the cage, he did
not fly far. Often he perched on Ambo's shoulder Upe if he was
sitting resting. If Ambo Upe shepherded his buffaloes, the
parrot always joined him.

One day, Ambo Upe fell asleep while feeding his buffalo. A
poisonous snake crawled towards Ambo Upe, a parrot who
knew there was a danger threatening Ambo Upe to act
immediately. He swiftly pecked at the snake's eyes. The
poisonous snake writhed its body in pain before moving away
from the place. The parrot flapped its wings near Ambo Upe's
53

ear to make him wake up. Knowing the incident, he thanked to


the parrot and caressed his head.

At one time, there was a long dry season. The grass in the
pasture dries. Ambo Upe intended to feed his buffaloes on the
edge of the forest where there is still a lot of green grass. The
other herders did not dare to herd pastures in that place
because the area was a vulnerable area. The forest was often
used as a hideout for robbers.

The herders' fears proved to be true, when Ambo Upe let


his buffaloes look for food, two robbers came and attacked
Ambo Upe. They tied Ambo Upe to a tree and brought his six
buffaloes into the forest. Parrots that saw the incident then
flew and followed where Ambo's buffalo Upe would be hidden
by the robbers. After knowing that the six buffaloes were
hidden in a cave in the forest, the parrot flew as soon as
possible to Ambo Upe's house.

Ambo Upe's father was astonished saw his son's pet


parrot returning home and babbling. He didn't know what the
parrot said at all. However, because the parrot was about to
invite him, Ambo Upe's father finally realized that his child was
experiencing the danger. Ambo Upe's father and several of his
neighbors followed where the parrot flew. Do not forget they
brought weapons to deal with bad things they might
encounter. They shocked to find Ambo Upe tied to a tree trunk
54

while the six buffalo herdsmen had disappeared


somewhere.Ambo Upe then recounted his incident.

Ambo Upe's father and others agreed to look for where the
two robbers were. However, they felt confused where to go.
Suddenly the parrot flew near Ambo Upe and motioned for
Ambo Upe to follow him. People finally followed the direction
of the parrot flying into the forest. Moments later, they found a
cave. They lurk carefully and sound buffalo.

They then surrounded the cave. They moved carefully


when entering the cave, inside the cave they found dozens of
buffaloes. They also saw the two robbers sleeping in two small
holes in the cave. Simultaneously they captured the two
robbers and tied their hands together.

Two robbers along with the buffaloes which were robbed


were herded out of the cave. Their arrival was welcomed by
residents, especially those who lost buffalo. Their buffaloes
55

have been recovered and two robbers who have been


troubling residents have finally been arrested.

Ambo Upe didn't expect it at all if the parrot would return


the favor so much to him. He only saved the parrot once, but
repeatedly the parrot saved him from danger that threatened
him. Ambo Upe is very grateful to her pet parrot. He also
promised to love other animals, because even animals can
actually return the favor if they get good treatment. As shown
by the pet parrot.
56
57

Bagian 5

La Upe dan Raja Ikan

DI SEBUAH KAMPUNG di Sulawesi Selatan, hiduplah seorang


anak yang bernama La Upe. Ia tidak lagi mengingat wajah
ibunya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih kecil. Ia tinggal
bersama ayahnya. Ketika berumur sepuluh tahun, ayahnya
menikah lagi dengan seorang janda dari kampung lain, dengan
harapan La Upe dapat dirawat dengan baik oleh ibunya tirinya
itu. I Ruga, itulah nama ibu tiri La Upe. Tetapi apa yang
diinginkan sang ayah malah sebaliknya, Setiap hari La Upe di
siksa oleh I Ruga.

Suatu hari, La Upe disuruh oleh ibu tirinya memancing


ikan di sungai. Di bawah matahari yang terik, La Upe berusaha
mendapatkan ikan, namun sudah seharian tidak seekorpun
ikan yang tersangkut dikailnya. La Upe pun sudah mulai putus
asa, “Aku pasti marahi dan dipukuli lagi kalau tidak
mendapatkan ikan untuk dibawa pulang” ujarnya.
58

Akhirnya La Upe memutuskan untuk berhenti memancing


karena hari sudah siang dan perutnya sudah mulai lapar.
Ketika hendak mengangkat
kailnya, seekor ikan
menyambar umpannya.
Tampak seekor ikan besar.
La Upe berusaha menarik
kail dengan berlahan-lahan
dan penuh kehati-hatian.
La Upe merasa senang,
setelah ikan itu diangkat ke pinggir sungai. Ketika hendak
dimasukkan ke dalam wadah, La Upe terkejut. Ikan itu tiba-
tiba berbicara layaknya manusia.

Karena merasa kasihan, La Upe akhirnya melepaskan ikan


itu ke sungai. Ia pun pulang ke rumah tanpa hasil.
59

I Ruga pun marah besar dan mengambil tongkatnya


hendak memukul La Upe. Namun, ketika hendak dipukul, La
Upe teringat akan pesan yang diberikan oleh ikan. Ia pun
segera membaca mantra sakti yang diberikan kepadanya.

I Ruga pun terlekat pada pintu. I Ruga berteriak minta


tolong agar dilepaskan dari pintu. La Upe menolak dan pergi
meninggalkan ibunya. Ayah La Upe datang dan hendak
membuka pintu. Didorongnya pintu itu dengan kuat. Setelah
terbuka, Ayah La Upe terkejut melihat I Ruga melengket di
pintu dan tidak bisa dilepaskan. Setelah mendengar cerita sang
istri, Sang Ayah pergi mencari La Upe. Setelah bertemu, sang
ayah memohon agar I Laurang melepaskan Ibu tirinya. Mereka
pun kembali ke rumah, I Ruga terlepas dari pintu setelah La
Upe membaca mantra saktinya. I Ruga meminta maaf kepada
suaminya dan La Upe kemudian berjanji akan menjadi ibu
yang baik untuk I Laurang.

La Upe tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Suatu hari, ia


melihat putri Raja yang sangat cantik sedang bersantai di
halaman istana. Ia begitu terpikat dengan kecantikan yang
dimiliki oleh sang putri. Merasa sering diperhatikan, Sang
Putri Raja menoleh kearah La Upe. Jantungnya berdetak
kencang ketika melihat La Upe. Wajahnya yang tampan
60

membuat nya jatuh hati kepada lelaki itu. Akhirnya mereka


pun sering bertemu tanpa sepengetahuan permaisuri dan raja.
Setelah mereka mengungkapkan perasaan masing-masing,
mereka sepakat untuk menikah. Kedua orang tua La Upe
datang ke istana untuk melamar sang putri, tetapi alangkah
kecewanya ketika lamaran mereka ditolak oleh raja dan
permaisuri karena dianggap tidak satu kasta.

La Upe pun mencari cara agar dapat menikah dengan putri


raja. Setelah berpikir keras, La Upe menyampaikan siasatnya
kepada putri raja. Mereka bertemu tidak jauh dari istana. Sang
putri raja memahami cara yang akan dilakukan La Upe,
mereka berdua menuju istana dan masuk ke kamar putri
secara diam-diam. Dengan mantra saktinya, La Upe
melekatkan putri raja pada pintu kamar.

Keesokan harinya, seluruh penghuni istana gempar


termasuk raja dan permaisurinya. Raja memerintahkan semua
tabib istana menolong putri. Hingga sore, tak seorangpun yang
dapat melepaskan putri dari pintu kamar. Raja memutuskan
untuk melakukan sayembara. Peserta sayembara pun
berdatangan dari seluruh pelosok daerah setelah mendengar
kabar bahwa siapa yang sanggup melepaskan putri raja dari
pintu kamar maka ia akan diangkat menjadi menantu.

Tak seorang pun yang dapat melepaskan putri dari pintu


kamar. Kini sisa satu peserta yaitu La Upe. Ia lalu berjalan
61

masuk ke istana menghampiri putri. La Upe lalu membaca


mantra saktinya. Sungguh ajaib, putri raja terlepas dari pintu
kamar. Seluruh hadirin terkejut melihat kejadian itu. Semua
orang kagum termasuk raja dan permainsurinya. Merekapun
dinikahkan.

La Upe dan Putri Raja pun hidup bahagia. Kedua orang tua
La Upe juga diajak untuk tinggal bersama di istana megah itu.
tak berselang waktu yang lama, La Upe diangkat menjadi raja
menggantikan ayah sang putri.
62

La Upe and the King of Fish

IN A VILLAGE in South Sulawesi, there lived a child named La


Upe. He no longer remembers his mother's face. His mother
has died since he was a child. He lived with his father. When he
was ten years old, his father remarried a widow from another
village, hoping that La Upe could be cared for well by his
stepmother. I Ruga, that's the name of La Upe's stepmother.
But what the father wanted instead was the opposite,
Everyday La Upe was tortured by I Ruga.

One day, La Upe was told by her stepmother to fish in the


river. Under the scorching sun, La Upe tried to get fish, but for
a whole day no fish caught in his hook. La Upe has begun to
despair, "I will definitely be angry and beaten again if I don't
get fish to take home" he said.

Finally La Upe decided to stop fishing because it was


already noon and her stomach was already hungry. When he
was about to lift his hook, a fish grabbed his bait. Looks like a
big fish. La Upe tried to pull the hook slowly and carefully. La
63

Upe felt happy, after the fish was lifted to the edge of the river.
When he was about to put it in the container, La Upe was
surprised. The fish suddenly speaks like a human.

Feeling sorry, La Upe finally released the fish into the


river. He returned home without taking a fish.

I Ruga was furious and took his wand to hit La Upe.


However, when he was about to be hit, La Upe remembered
the message was given by the fish. He immediately said the
magic words that were given to him.

I also clung to the door. I Ruga shouted for help to be


released from the door. La Upe refused and left her mother. La
Upe's father came and was about to open the door. He pushed
the door firmly. After being opened, La Upe's father was
64

surprised to see I Ruga sticking at the door and couldn't be


released. After hearing the wife's story, the father went to find
La Upe. After meeting, the father begged for I Laurang to
release his stepmother. They returned home, I Ruga was
released from the door after La Upe said the magic. I Ruga
apologized to her husband and La Upe then promised to be a
good mother for I Laurang.

La Upe grew to be a handsome young man. One day, he


saw a very beautiful King's daughter relaxing in the palace
courtyard. He was so enamored with the beauty possessed by
the princess. Feeling often noticed, the King's Princess turned
to La Upe. His heart beat fast when he saw La Upe. His
handsome face made him fall in love with him. Finally they
often met unnoticed by of the empress and the king. After they
expressed their feelings, they agreed to get married. La Upe's
parents came to the palace to propose to the princess, but how
disappointed it was when their proposal was rejected by the
king and empress because it was considered a lower caste.

La Upe was looking for ways to get married to the king's


daughter. After thinking hard, La Upe conveyed his strategy to
the king's daughter. They met not far from the palace. The
king's daughter understood the way that would be done by La
Upe; they both headed to the palace and entered the princess's
room quietly. With his magical spell, La Upe attached the king's
daughter to the door of the room.
65

The next day, all the inhabitants of the palace were in an


uproar, including the king and his queen. The king ordered all
the medical doctors to help the princess. Until late afternoon,
no one could release the princess from the door. The king
decided to do a contest. Participants in the contest came from
all corners of the area after hearing the news that anyone who
was able to release the king's daughter from the door of the
room would become a son-in-law.

No one can release the princess from the door of the room.
Now the remaining one participant is La Upe. He then walked
into the palace approaching the princess. La Upe then read the
magic mantra. Miraculously, the king's daughter escaped from
the door of the room. The entire audience was surprised to see
the incident. Everyone is amazed, including the king and the
empress. They are married.

La Upe and Princess Raja lived happily. La Upe's parents


were also invited to live together in the magnificent palace.
Not a long time ago, La Upe was appointed as king to replace
the princess's father.
66
67

Bagian 6

I Laurang Manusia Udang

KONON, di sebuah daerah si Sulawesi selatan, hiduplah


sepasang suami istri setengah baya dan belum memiliki anak.
Hidupnya sangatlah kesepian karena tak kunjung mendapat
keturunan. Ia ingin memiliki seorang anak seperti para orang
tua lainnya. Karena mereka sudah berputus asa, mereka pun
berdoa kepada Tuhan.

Permintaannya pun dikabulkan oleh Tuhan, istrinya hamil


dan melahirkan seorang anak yang berwujud dan kulitnya
menyerupai seekor udang. Oleh karena itu, anak yang diberi
nama I Laurang ditempatkan pada tempayan yang berisi air.

“Bang mengapa anak kita berwujud seperti udang?” tanya


sang istri. “Apa adik ingat jika kita pernah meminta memiliki
68

anak meski wujudnya seperti udang? Tuhan telah


mengabulkan keinginan kita itu” jawab sang suami.

Mereka pun merawat I Laurang dengan penuh rasa kasih


sayang. Setelah dewasa, badannya pun sudah semakin
membesar yang membuat
tempayan tempat ia
tinggal sudah tidak muat
lagi. Sejak saat itu, I
Laurang tidak lagi hidup
dalam air. Meskipun
keseharian-nya hanya di
dalam rumah, tetapi
Ibunya selalu
menceritakan kejadian
yang ada di luar sana. Tak terkecuali cerita ten-tang raja yang
memiliki tujuh orang putri yang cantik. I Laurang hanya bisa
membayangkan kecantikan ketujuh putri sang raja, ia
berharap dalam hati bisa menikahi salah satu dari putri sang
raja.
69

Keesokan harinya, I Laurang pun menemui ibunya untuk


menyampaikan keinginannya. “Oh, Ayah, Ibu.. ananda sudah
dewasa dan ingin menikah. Ananda ingin sekali menikahi anak
gadis sang Raja” ucapnya. Seketika ayahnya terkejut dan
berkata “Wah, mengapa engkau memiliki keinginan yang
begitu besar nak”. “Benar anakku. Apa mungkin sang raja mau
menerimamu sebagai menantunya?” tambah Ibunya.

Berangkatlah orangtua I Laurang ke istana dan


menyampaikan maksud kedatangannya kepada sang raja.
Mendengar penjelasan itu, Raja yang bijaksana itu tersenyum
sambil mangguk mangguk dan berkata, “Kalau begitu saya
akan menanyakan kepada semua putri-putriku. Siapa di
anatara mereka yang mau menerima pinangan I Laurang”.
Kemudian sang Raja memasuki ruang tengah dan memanggil
ke tujuh putrinya. Sang raja kemudian bertanya satu persatu
mulai dari yang paling sulung.

“Aku tidak ingin menikah dengan I Laurang karna masih


banyak laki-laki yang sepadan denganku Ayah”. Jawab si
sulung. Demikian pula adik-adiknya. Tetapi, ketika pertanyaan
disampaikan kepada si bungsu dan menjawab,
70

Akhirnya, orangtua I Laurang pulang dengan hati yang


gembira untuk menyampaikan pada anaknya tentang
pembicaraannya dengan Raja. Mengetahui bahwa pinangannya
diterima, I Laurang langsung keluar dari kulit kepompong
udangnya. Alangkah terkejut kedua orangtua nya ketika ia
melihat I Laurang berdiri dan melihat wajah anaknya yang
tampan dan gagah. Ditetapkanlah hari pesta pernikahannya
dan berita pernikahan tersebut tersebar di seluruh pelosok
kampung. I Laurang pun pergi memangkas rambutnya
ditemani oleh ibunya yang membuat orang-orang heran setiap
berpapasan. Orang-orang tidak mengenalnya dan bertanya,
“Siapa orang itu? “

Ketika pesta pernikahan berlangsung, sang putri bungsu


dan keenam kakaknya terkejut melihat ketampanan I Laurang.
Sungguh bertolak belakang dengan berita yang didengarnya
71

bahwa I Laurang itu buruk rupa seperti udang. Sang putri


bungsu bersyukur mendapatkan suami yang tampan
sedangkan ke enam kakaknya iri hati. Karena rasa iri, ke enam
kakaknya sepakat untuk mencelakai si bungsu.

“Kita celakakan saja si bungsu, lalu kita rebut suaminya”


ujar salah seorang putri. Pada suatu hari, I Laurang berkata
kepada istrinya “Ohh dinda, saya sesungguhnya ingin pergi
berdagang. Akan tetapi saya khawatir meninggalkanmu
karena semua saudaramu selalu ingin mencelakaimu”

Setelah I Laurang pergi, si putri bungsu diajak kakaknya


main ayunan di tepi laut. Si bungsu memang memiliki hati
yang mulia. Ia tak pernah curiga apalagi membenci
saudaranya. “nah, sekarang giliranmu putri” ucap kakaknya.
“Baiklah kak, tapi pelan-pelan ya. “kata si bungsu. Kakaknya
pun beramai ramai mendorong ayunan itu sekeras kerasnya
hingga si bungsu ketakutan. “Hentikan kak! kepalaku sudah
pening, perasaanku sudah tak enak,.. hentikanlah“ teriak
adiknya yang makin ketakutan. Tetapi, sang kakak yang sudah
dirasuki rasa iri dan benci, tidak memperdulikan permohonan
adiknya. Di ayunnya makin keras, tak lama kemudian terjatuh
lah si bungsu ke laut hingga tenggelam.
72

Terdengarlah kabar istri I Laurang meninggal karena


terjatuh ke dalam laut. Atas kekuasaan Tuhan, ketika si putri
bungsu tenggelam kedasar laut, ia mengingat pesan suaminya.
Maka diambillah buah pinang dan ditancapkan ke dasar laut
sedangkan telurnya dipecahkan, lama kelamaan pecahan itu
membesar. Masuklah putri bungsu kedalamnya untuk
berlindung. Beberapa bulan kemudian, buah pinang tersebut
tumbuh menjadi pohon yang besar dan tinggi sehingga
melebihi permukaan laut. Sang putri kemudian berubah
menjadi seekor ayam.

Pada suatu waktu, ayam itu terbang ke atas pohon pinang


tersebut dan bertengker di atasnya. Dan setiap ada perahu
yang lewat ayam itu terus berkokok, “kukkuruyuuk, dimana
abangku I Laurang? Perahunya bernama bunga putih”
demikianlah yang selalu dilakukan ayam itu, bila ada perahu
yang lewat ia berkokok menanyakan I Laurang dan perahunya.

Ketika dilihatnya ada perahu putih yang hendak melintas,


berkokoklah ayam itu menanyakan I Laurang dan perahunya.
Dari atas perahu itu, ada seseorang yang menjawab dengan
lantang “Sayalah I Laurang yang melayarkan perahu bunga
putih.”

Ayam itu langsung terbang sambil menangis. Terus


menerus menangis. I Laurang heran, dan memperhatikan
dengan saksama lalu berpikir sejenak, I Laurang pun mengelus
73

ngelus ayam itu sambil membaca mantra, beberapa saat


kemudian atas kuasa Tuhan, ayam itu berubah kembali
menjadi putri bungsu, kedua suami istri tersebut berpelukan
sambil menangis. Setelah itu, si putri bungsu menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya hingga ia menjelma menjadi
seekor ayam.

“Sudahlah dinda, mari kita ke istana. Tentu ayahanda,


ibunda serta ke enam kakakmu sudah menunggumu” Ujar I
Laurang kepada istrinya. “Tapi kakanda, bagaimana dengan ke
enam kakakku? Aku yakin mereka akan mencari cara untuk
menyingkirkan dinda” Kata si putri bungsu dengan perasaan
cemas. “Dinda tidak usah khawatir, kakanda mempunyai cara
agar kakak-kakak dinda berhenti mengganggu dinda lagi” Ujar
I Laurang menenangkan istrinya. “Dinda bersembunyi di
dalam petih itu, kemudian kakanda akan memberi dinda jarum
besar, jika ada yang memikul peti maka tusukkan pundaknya”
tambah I Laurang menjelaskan. “Baiklah kakanda” Jawab si
bungsu sambil mengangguk ngangguk.

Ketika kapal yang mereka tumpangi merapat ke


pelabuhan, seluruh keluarga istana datang menyambut
kedatangan I Laurang. Keenam kakak si putri bungsu merasa
sangat senang melihat I Laurang telah kembali. Dalam hati
mereka bertanya tanya siapa diantara mereka yang akan
dipilih oleh I Laurang untuk menjadi istrinya. Mereka pun
berusaha mencari perhatian I Laurang.
74

Mendengar I Laurang, maka berlomba lombalah mereka


ingin mengangkat peti itu. Giliran pertama jatuh pada putri
yang sulung. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat peti
tersebut ke atas pundaknya. Namun, baru beberapa langkah
berjalan, ia menghempaskan peti itu, karena tidak kuat
menahan rasa sakit akibat tusukan jarum di pundaknya. Putri
sulung pun gagal menjadi istri I Laurang.

Selanjutnya, giliran putri ke dua yang mengangkat peti itu.


Namun, baru bebarapa meter berjalan, ia menjatuhkan peti itu
karena tidak mampu menahan rasa sakit dipundaknya.
Demikian pula dengan putri ke tiga, keempat, kelima dan
keenam. Semua gagal memikul peti tersebut sampai ke istana.
Setelah itu, I Laurang memerintahkan beberapa pengawal
untuk mengikat peti itu dengan tali lalu mengangkatnya ramai-
ramai ke istana. Sesampainya di istana, I Laurang kemudian
menjelaskan apa sebenarnya isi dari peti tersebut.
75

Setelah peti terbuka alangkah terkejutnya keenam putri


Raja tersebut, karena ternyata isi peti tersebut adalah si putri
bungsu yang mereka kira telah meninggal dunia. Oleh karena
itu, mereka berlari berhamburan karena malu kepada adiknya
dan juga I Laurang.

Akhirnya, si putri bungsu pun diangkat menjadi Raja


menggantikan ayahnya sedangkan keenam kakaknya menjadi
pelayan. Putri sulung ditugaskan untuk membuka pintu, putri
ke dua dan ketiga bertugas untuk memasak. Putri keempat
dan kelima bertugas menumbuk padi dan lesun, dan putri
keenam bertugas mencuci.
76

I Laurang, A Human Shrimp

IT IS SAID THAT, in an area of South Sulawesi, lived as a


middle-aged husband and wife who did not have children.
Their life was very lonely because never got offspring. They
want to have children like other parents. Because they were
desperate, they prayed to God.

Their request was granted by God, his wife became


pregnant and gave birth to a child who was tangible and whose
skin resembled a shrimp. Therefore, the child named I Laurang
who was placed in a jar filled with water.

"Why is our child tangible like shrimp?" Asked his wife.


"Do you remember if you ever asked for a child even though it
looked like a shrimp? God has granted our wishes,” answered
the husband.

They also took care of I Laurang with compassion. After


growing up, his body has grown bigger which makes the
77

container where he lives no longer fit. Since then, I Laurang no


longer lived in water. Even though his daily life is only inside
the house, but his mother always tells of the events that were
out there. No exception the story of the king who had seven
beautiful daughters. I Laurang can only imagined the beauty of
the king's seven daughters, he hoped in his heart to be able to
marry one of the king's daughters.

The next day, I Laurang also met his mother to convey his
wishes. "Oh, father, mother ... I am an adult and want to get
married. I will marry with the King's daughter" he said.
Immediately his father was shocked and said "Wah, why do
you have such a big desire, my son". "That right my son. Is it
possible for the king to accept you as his son-in-law? " Added
his Mother.

Then, I Laurang's parents left to the palace and conveyed


the intention of his arrival to the king. Hearing that
explanation, the wise King smiled while nodding and said, " all
78

right, I will ask all my daughters. Who among those who want
to accept I Laurang's proposal ". Then the King entered the
living room and summoned his seven daughters. The king then
asked one by one starting from the eldest

"I don't want to be married to I Laurang because there are


still many men who are equal with me". Answer the eldest.
Likewise, her younger siblings. However, when the question
was submitted to the youngest and answers,

Finally, I Laurang parents felt happy and came home to


convey to their son about their conversation with the King.
Knowing that his proposal was received, I Laurang came
straight out of the shell of his cocoon. How shocked his parents
were when they saw I Laurang stood up and saw the face of his
handsome son. The wedding day was determined and the
wedding news spread throughout the village. I Laurang went
to trim his hair accompanied by his mother who made people
wonder every time they passed. People didn't know him and
ask, "who is that man?"
79

When the wedding took place, the youngest daughter and


the six siblings were surprised to see the good looks of I
Laurang. It was opposite with the news they heard that I
Laurang was ugly like a shrimp. The youngest daughter was
grateful to get a handsome husband while the six siblings are
jealous. Because of jealousy, their six sisters agreed to harm
the youngest.

"We just woe to the youngest, then we grab her husband"


said one of the daughter. One day, I Laurang said to his wife
"oh my wife, I really want to go to trade. But I'm afraid to leave
you because all of your sisters always want to harm you”

After I Laurang left, the youngest daughter was invited by


her sisters to play a swing on the edge of the sea. The youngest
didn’t have a noble heart. He never suspected or even hated
her sisters. "Well, it's your turn" said her sisters. "Alright Sis,
but slow down please" Said the youngest. He sisters were
80

crowded and pushed the swing as hard as he could until the


youngest was scared. "Stop it! my head was dizzy, my feelings
were not good, stop it " she shouted increasingly frightened.
But, her siblings who had been possessed by jealousy and
hatred, ignored her sister's request. Swinging harder, not long
after she fell to the sea until sank.

The news of I Laurang's wife died because she had fallen


into the sea was audible. At the mercy of God, when the
youngest daughter sank to the bottom of the sea, she
remembered her husband's message. Then the areca nuts
were taken and plugged into the sea floor while the eggs were
broken, over time the fragments grew. The youngest daughter
entered into it to take refuge. A few months later, the areca nut
grew into a large and tall tree that exceeds the sea level. The
princess then turned into a chicken.

At one time, the chicken flew over the areca tree and stood
on top of it. And every time a boat passes by, the chicken kept
crowing, "kukkuruyuuk, where is my husband, I Laurang? The
boat is called white flower "that was what the chicken always
does, if there was a boat pass it, the chicken crowed asking for
I Laurang and his boat.
81

When the chicken saw a white boat about to pass, it


crowed asking for I Laurang and his boat. From the boat,
someone answered loudly "I am I Laurang, who has a white
flower boat".

The chicken immediately flew while crying. Continually


crying. I Laurang was surprised, and watched carefully and
thought for a while, I Laurang stroked the chicken while
chanting a mantra, a few moments later, by the power of God,
the chicken turned back into the youngest daughter, they
hugged while crying. After that, the youngest daughter told of
all the incidents that she experienced until she became a
chicken.

"Never mind dear, let's go to the palace. Of course your


father, mother and your six siblings are waiting for you, "said I
Laurang to his wife. "But, what about my six sisters? I'm sure
they will find a way to get rid of me" said his wife with anxiety.
"Don't worry, I has a way to stop your siblings from interfering
with you again," said I Laurang to his wife. "now, you hide
inside the chest, then I will give you a big needle, if someone is
carrying the chest then stick her shoulder".added I Laurang
explained. "yes my husband" replied his wife while nodded.

When the boat they were riding in arrived at the port, the
entire family of the palace came to greet I Laurang. The six of
youngest sisters were happy to see I Laurang has returned.
82

Inwardly, they asked who among them would be chosen by I


Laurang to become his wife. They also tried to find I Laurang's
attention.

Hearing I Laurang, then they scramble want to lift the


chest. The first turn fell on the eldest daughter. With all her
might, she lifted the chest over her shoulder. However, a
number of new steps were running, she threw the coffin,
because she was not strong enough to withstand the pain of
the needle puncture on his shoulder. The eldest daughter
failed to become the wife of I Laurang.

Next, move to the second princess who lifts the chest.


However, just a few meters walk; she dropped the chest
because she was unable to withstand the pain on his shoulder.
Likewise with the third, fourth, fifth and sixth daughters. All
failed to carry the chest to the palace. After that, I Laurang
ordered several guards to tied the chest with a rope and then
lift it to the palace. Arriving at the palace, I Laurang then
explained what the contents of the chest actually were.
83

After the chest opened, the six daughters of the King was
surprised, it turned out that the contents of the chest were the
youngest daughter they thought had died. Therefore, they ran
scattered in shame at their sister and also I Laurang.

Finally, the youngest daughter was appointed as King to


replace of her father, while the six sisters became servants.
The eldest daughter was assigned to open the door, the second
and the third daughter were approved to cook. The fourth and
fifth daughters were in charge of pounding rice and
languishing, and the sixth daughter was in charge of washing.
84

Bagian 7

Sawerigading

DISEBUAH DAERAH di Luwu Purba, Sulawesi Selatan,


hiduplah seorang Raja yang bernama La Togeq atau lebih
dikenal dengan panggilan Batara Lattu yang mempunyai 2
orang istri. Kedua istrinya berasal dari dua dunia yang berbeda
yaitu golongan manusia biasa yang bernama We Opu Segngeng
yang mempunyai sepasang anak kembar emas yang laki – laki
bernama Sawerigading yang sangat tampan dan berwibawa.
Sedangkan yang perempuan bernama We Tenriabeng yang
tumbuh sangat cantik rupawan, sedangkan istri yang ke dua
berasal dari bangsa jin.

Batara Guru (Ayah raja Luwu) meramalkan bahwa suatu


hari nanti kedua anak kembar mereka akan saling jatuh cinta
dan menikah, padahal menurut adat sangat pantang menikah
dengan saudara kandung sendiri. Inilah alasan Raja Luwu
membesarkan kedua anaknya dengan cara terpisah. Mereka
berdua tidak saling mengenal yang mana We Tenriabeng
85

dibesarkan di atas loteng sejak kecil. Mereka pun tumbuh


menjadi pemuda yang gagah dan gadis yang cantik.

Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah


pengawal istana di utus ke negeri Taranati ternate untuk
mewakili kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para
pangeran. Sang ayah
sebenarnya bermaksud
mengirim Sawerigading
agar tidak bertemu
dengan saudaranya We
Tenriabeng yang akan
dilantik menjadi Bissu.
Tapi sepandai– pandainya tupai melompat suatu saat akan
jatuh, demikian halnya dengan mereka, Sawerigading
mengetahui bahwa dia mempunyai saudara kembar yang
cantik jelita. Berita yang membuatnya kaget itu ia dengar dari
salah seorang pangawalnya.

“Apakah benar saya mempunyai saudara kembar


perempuan?” tanya Sawerigading dengan penuh rasa kaget.
“Benar pangeran. Saudaramu itu bernama We Tenriabeng
yang sejak kecil disembunyikan dan dibesarkan di atas loteng
istana” jawab sang pengawal.

Rasa penasaran Sawerigading ingin melihat saudara


kembarnya akhirnya terwujud, ia langsung jatuh cinta ketika
86

melihat adik kembarnya yang cantik jelita, setelah sang Raja


mengetahui kalau rahasia yang selama ini disimpan
terbongkar, ia pun memanggil sang pangeran.

“Wahai pangeran! memilih pendamping hidup dan


berbahagia bersama memang tidaklah salah, tapi kamu harus
tahu bahwa menikah dengan saudara kandung adalah
larangan dalam adat istiadat kita dan jika hal itu dilanggar
maka bencana akan menimpa negeri kita. Jadi, akan jauh lebih
baik jika kamu tidak melanjutkan niatmu itu anakku” bujuk
sang Raja.

Awalnya, Sawerigading tidak menyurutkan niatnya untuk


menikahi adiknya, tapi akhirnya ia mengalah. We Tenriabeng
pun meminta Sawerigading untuk pergi ke Negeri Cina di
daerah Tanete Kabupaten Bone Sulawesi selatan.

“Pergilah wahai kakakku! Di sana engkau akan bertemu


dengan We Cudai yang merupakan saudara sepupu kita dan
wajahnya sangat lah mirip denganku” ujar We Tenriabeng.
“benar putraku! We Cinde sangat lah mirip dengan saudaramu
ini bagai pinang dibelah dua” tambah Raja Luwu Batara Lattu.

Sawerigading tidak langsung begitu saja percaya apa kata


sang adik dan juga Ayahnya, maka We Tenriabeng
memberikan sehelai rambut, cincin dan gelang yang kelak
akan dipakaikan kepada We Cundai.
87

Akhirnya Sawerigading menyanggupi hal tersebut, dari


saran Ayahandanya dia diperintahkan untuk memotong pohon
raksasa yang disebut kayu Welerennge yang ada dihutan
untuk di buat menjadi sebuah perahu yang akan dipergunakan
untuk berlayar.

Keesokan harinya, ia pun berangkat ke hulu sungai untuk


menebang pohon raksasa itu, tetapi pohon raksasa tersebut
tidak mau tumbang meskipun batang dan pangkalnya telah
berpisah, ia berusaha memotongnya berulang-ulang tapi
hasilnya tetap sama. Selama tiga hari berturu-turut ia
berusaha, ia pun mulai putus asa. Adiknya, We Tenriabeng pun
mengetahui rasa risau yang dialami oleh kakaknya itu dan
pada suatu malam ia ia pergi ke hulu. Ia mencoba untuk
menebang pohon itu dan sungguh ajaib, pohon itu langsung
roboh ke tanah dan membuat perahu layar. Keesokan harinya
saat Sawerigading kembali kehulu, ia sangat terkejut saat
melihat pohon yang berusaha ia robohkan telah berubah
menjadi sebuah perahu.
88

“Siapa yang telah melakukan semua ini?” gumannya dalam


hati. “Ah tidak ada gunanya saya memikirkan siapa yang telah
membantuku membuat perahu ini, saya harus segera pulang
untuk menyiapkan bekal yang akan saya bawa untuk berlayar
ke negeri Cina”. Ia pun buru-buru kembali ke istana untuk
bersiap-siap berlayar.

Selama perjalanan, mereka bisa melewati beberapa


rintangan. Badai besar selama berlayar bahkan serangan para
perampok sampai akhirnya mereka sampai ke Negeri Cina.
Sawerigading pun mendapat kabar bahwa We Cundai telah
bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga.
Namun ia tetap bertekad untuk menemui We Cundai dan
memutuskan untuk menyamar menjadi pedagang orang oro
(berkulit hitam). Sawerigading pun berangkat menuju istana.
Setibanya di sana, ia kemudian bertemu dengan We Cundai,
dan benar We Cundai dan We Tenriabeng bagaikan pinang
dibelah dua.

Sawerigading segera mengirim utusan untuk melamarnya.


Dan lamarannya pun di terima oleh keluarga istana kerajaan
Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan dilangsungkan, We
Cundai mengirim seorang pengawal istana untuk mengusut
siapa sebenarnya calon suaminya itu. Suatu hari, utusan itu
89

mendekati perahu layar Sawerigading yang tengah bersandar


di pelabuhan. Saat itu para pengawal Sawerigading yang
berbulu lebat sedang mandi. Utusan itupun ketakutan saat
melihat tampan mereka yang seperti orang jahat dan mengira
bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka.

Pengawal itu kembali ke istana untuk menyampaikan apa


yang ia lihat saat itu kepada We Cundai. We Cundai pun mulai
ragu dan ingin membatalkan lamaran itu. Sawerigading
kemudian mendengar kabar itu dan memutuskan untuk
membongkar penyamarannya. Sesampainya di istana, ia
segera menghadap sang raja dan menceritakan asal – usul dan
maksud kedatangannya ke Negeri Cina.

“Ampun, baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda


Sawerigading putra Raja Batara Lattu dari Sulawesi Selatan”
ucapnya. “Ananda datang menghadap dan membawa amanah
Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya baginda menerima
saya sebagai menantu baginda”, lanjut Sawerigading.

Sawerrigadingpun memperlihatkan sehelai rambut,


sebuah gelang dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada
Raja Cina seraya menceritakan semua kejadian yang
dialaminya hingga ia bisa sampai ke Negeri Cina. Raja Cina
90

terdiam sejenak, “Baiklah! Sekarang aku percaya kepadamu”


ucap sang raja.

Ayahanda mu dulu pernah mengirim kabar kepadaku


bahwa ia mempunyai anak kembar emas. Anaknya perempuan
yang wajahnya serupa dengan putriku. Untuk lebih
meyakinkan dirinya, raja Cina segera memanggil putrinya
untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cundai pun datang
dan duduk di samping Ayahandanya. Saat melihat pemuda
tampan yang duduk dihadapan ayahandanya, We Cundai
tampak gugup dan hatinya tiba – tiba berdetak kencang.
Rupanya ia jatuh hati pada pemuda itu yang tak lain adalah
Sawerigading.

“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” Tanya


We Cundai tertunduk malu – malu. “Wahai putriku, ketahuilah!
Sesungguhnya orang yang melamarmu beberapa hari yang lalu
ternyata sepupumu sendiri. Namanya Sawerigading” ucap
sang raja. “Ayahanda bersaudara dengan ayahnya, tapi untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang
rambut ini dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan
cincin tersebut” lanjutnya.

We Cundai pun melakukan apa yang diperintahkan oleh


sang ayahanda. Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok
dikenakan oleh We Cundai. Begitupula dengan rambutnya
sama panjang dengan rambut We Tenriabeng.
91

“Bagaimana, putriku! Apakah kamu bersedia menerima


kembali lamaran Sawerigading?” Tanya raja Cina, “Baik
Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah
dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena
sebelumnya mengira Sawerigading bukan dari keluarga baik –
baik” jawab We Cundai malu – malu. Betapa bahagianya
perasaan Raja Cina mendengar jawaban dari putrinya itu.

Dengan perasaan gembira ia segera kembali ke kapalnya


untuk menyampaikan kabar bahagia itu kepada para
pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk mengangkat
semua barang bawaan yang ada diperahu ke istana untuk
pesta pernikahannya.

Tiga hari kemudian, pesta pernikahan dilangsungkan


dengan meriah. Semua rakyat negeri Cina turut berbahagia
menyaksikan pesta pernikahan tersebut. Setahun kemudian,
Sawerigading dan We Cundai dikaruniai seorang anak dan di
beri nama La Galigo. Namun bagi We Cundai, kebahagiaan
tersebut belum lengkap jika ia belum bertemu dengan
mertuanya. Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi
Selatan untuk mengunjungi mertuanya. Mulanya Sawerigading
menolak ajakan istrinya, karena ia sudah berjanji tidak igin
kembali kekampung halamannya karena kecewa kepada kedua
orang tuanya yang telah menolak keinginannya menikahi
saudaranya sendiri. Namun karena istrinya terus mendesak,
akhirnya ia pun menyetujui.
92

Keesokan harinya mereka berangkat dan dikawal oleh


beberapa pengawal kerajaan menuju Negeri Luwu, tetapi ia
tidak membawa serta sang anak karena msih kecil. Dalam
perjalanan, rombongan Sawerigading kembali menemui
banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir
tenggelam di tengah lautan karena di hantam badai dan
gelombang besar.

Setelah bertahun–tahun lamanya Sawerigading bersama


istrinya tinggal di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa
ditanah Jawa berkembang ajaran Islam. Sawerigading segera
memerintahkan pasukannya untuk memerangi mereka,
namun yang terjadi bukannya mereka memerangi, justru
pasukan Sawerigading berbalik memeluk agama islam dan
beberapa diantara mereka memutuskan untuk menetap di
tanah Jawa, sementara pasukannya yang lain kembali ke
negeri Luwu untuk melaporkan kabar tersebut. Mendengar hal
tersebut Sawerigading menjadi kesal dan meninggalkan tanah
Jawa bersama istri dan sisa pasukannya kembali ke negeri
Cina, ia berjanji tidak akan lagi kembali ke negeri Luwu.

Dalam perjalanan pulang ke negeri Cina, kapal yang


mereka tumpangi tenggelam di tengah laut. Konon, mereka
menjadi penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
93
94

Sawerigading

IN AN AREA in Luwu purba, South Sulawesi, there lived a King


named La Togeq, he was known as Batara Lattu, who had two
wives. His two wives were from two different worlds, the
ordinary human named We Datu Sengeng who has a pair of
golden twins - a man named Sawerigading who was very
handsome and authoritative, while the woman named We
Tenriabeng who grew up very beautiful, and his second wife
came from the genie.

Batara Guru (father of King Luwu) predicted that someday


his two twins would fall in love, whereas according to custom
it was not permissible to marry one's own siblings. This is the
reason why King Luwu raised his two children separately. The
two of them did not know each other where We Tenriabeng
grew up on the attic since childhood. They also grew up to be
handsome young man and beautiful girl.

One day, Sawerigading and a number of palace guards


were sent to the land of Taranati ternate to represent the
95

kingdom of Luwu in a meeting of princes. The father actually


intended to send Sawerigading so he would not meet his sister
We Tenriabeng who would be appointed as Bissu. But as smart
as the squirrel jumps will someday fall, as they do,
Sawerigading knew that he has beautiful twin sister. The news
that made him shock, he heard from one of his guard.

"Do I really have a twin sister?" Asked Sawerigading


"that’s right prince. Your sister named We Tenriabeng who has
been hidden and raised on the palace attic from childhood
"said the guard.

Curiosity of sawerigading wanted to see his twin brother


finally materialized, he immediately fell in love when he saw
his beautiful twin sister, after the King found out that the
secret that had been kept uncovered, he also called the prince.

"O prince! choosing a companion for life and happiness


together is indeed not wrong, but you must know that
marrying siblings is a prohibition in our customs and if it is
violated then a disaster will befall our country. So, it would be
much better if you did not continue your intention my
son"persuaded the King.

Initially, Sawerigading did not obey his intention to marry


his sister, but he finally relented. We Tenriabeng also asked
Sawerigading to go to China in Tanete area of Bone, South
Sulawesi.
96

“My brother! There you will meet We Cudai who is our


cousin and his face is very similar with me” We Tenriabeng
said. "That's right, my son! We Cinde are very similar to your
sister, like an areca nut cut in two" added Raja Luwu Batara
Lattu.

Sawerigading did not immediately believe what the


younger brother said and also his father, so We Tenriabeng
gave a strand of hair, rings and bracelets that would later be
wore on We Cundai.

Finally Sawerigading agreed, from his father's advice he


was ordered to cut a giant tree called Welerennge wood which
was in the forest to be made a boat to be used for sailing.

The next day, he left for the river to cut down the giant
tree, but the giant tree did not want to collapse even though
the stem and base had separated, he tried to cut it repeatedly
but the results remained the same. During the three days of
fighting he tried, he began to despair. His younger sister, We
Tenriabeng, also knew of the anxiety that her brother had
97

experienced and one night he went upriver. He tried to cut


down the tree and it was amazing, the tree collapsed to the
ground and she made a sailboat with her magic. The next day
when sawerigading returned, he was very surprised when he
saw the tree that he was trying to collapse had turned into a
boat.

"Who has done all this? ……. Ah there's no point in


thinking about who helped me make this boat, I had to go
home immediately to prepare the provisions that I would take
to sail to China" He also rushed back to the palace to get ready
to sail.

During the trip, they pass several obstacles. A big storm


during sailing even attacks by robbers until they finally arrived
in China. Sawerigading got news that We Cundai was engaged
to a young man named Settiyabonga. But he remained
determined to meet We Cundai and decided to disguise
himself as an oro (black man) trader. Sawerigading left for the
palace. When he arrived there, he then met with We Cundai,
and that’s right We Cundai and We Tenriabeng were like betel
nut split in two.
98

Sawerigading immediately sent an envoy to propose to


her. And the proposal was received by the family of the Cina
palace. However, before the wedding was held, We Cundai sent
a palace guard to investigate who was actually her future
husband. One day, the envoy approached the Sawerigading
sailboat which was leaning on the port. At that time,
Sawerigading's heavy-haired guards were bathing. The envoy
was frightened when he saw the guards of those who were like
bad people and thought that Sawerigading look was similar to
them.

The guard returned to the palace to deliver what he saw at


the time to We Cundai. We Cundai began to hesitate and
wanted to cancel the proposal. Sawerigading then heard the
news and decided to dismantle the disguise. Arriving at the
palace, he immediately faced the king and told of the origin
and purpose of his arrival in Cina.

"Forgive, king! I am Sawerigading, the son of King Batara


Lattu from South Sulawesi, "he said. “I come to face and carry
my father's mandate, hoping that you might accept me as your
son-in-law," continued Sawerigading.
99

Sawerrigading also showed a hair, a bracelet and a ring


from We Tenriabeng to the King of Cina while telling all the
events he had experienced so that he could reach Cina. The
Cina of king paused for a moment, "OK! Now I believe in you,
"said the king.

Your father once sent word to me that he had golden


twins. His daughter is a woman whose face is similar to my
daughter. To further convince himself, the king of Cina
immediately called his daughter to face. Soon, We Cundai came
and sat beside her father. When he saw the handsome young
man sitting in front of her father, We Cundai looked nervous
and his heart suddenly beat fast. Apparently he fell in love with
the young man who was Sawerigading.

"What is happening my Father?" Asked We Cundai, bowed


shyly. "O my daughter! Actually the person who proposed to
you a few days ago turned out to be your own cousin. The
name is Sawerigading, "said the king “His father is my brother,
but to convince this truth, try to match the length of this hair to
the length of your hair and wear the bracelet and ring, "he
continued.

We Cundai did what the father ordered. The bracelets and


rings are all matched worn by We Cundai. Likewise with his
hair as long as We Tenriabeng's hair.
100

“How about it, my daughter! Are you willing to accept


Sawerigading's proposal? "Asked the king of Cina. “All right
dad! If you approves, I am willing to marry with Sawerigading.
I apologize for thinking that Sawerigading is not from a good
family” said We Cundai shyly. How happy the feeling of the
King of Cina to hear the answer from his daughter.

Happily, he immediately returned to his ship to deliver the


happy news to his guards and ordered them to pick up all the
luggages in the boat to the palace for his wedding. Three days
later, the wedding party was held lively. All the people of Cina
were happy to witness the wedding. A year later, Sawerigading
and We Cundai were blessed with a child and named La Galigo.
But for We Cundai, the happiness is not complete if he hasn't
met his in-laws. One day, he also invited her husband to South
Sulawesi to visit her father-in-law. At first Sawerigading
rejected his wife's invitation, because he had promised not to
go back to his homeland because he was disappointed with his
parents who had refused to marry his own sister. But because
his wife kept pressing, he finally agreed.

The next day they departed and were escorted by several


royal guards to Luwu Country, but he did not bring along their
child because he was still baby. On the way, the Sawerigading
troupe again encountered many obstacles. The boat they were
riding in almost sank in the middle of the ocean because it was
hit by a storm and big waves.
101

After many years Sawerigading and his wife lived in Luwu


country, they heard news that the land of Java was developing
Islamic teachings. Sawerigading immediately ordered his
troops to fight them, but what happened instead of them
fighting, instead Sawerigading forces turned to convert to
Islam and some of them decided to settle in the land of Java,
while other troops returned to Luwu to report the news.
Sawerigading was annoyed and left the land of Java with his
wife and the rest of his troops returning to Cina, he promised
not to return to Luwu.

On the way back to Cina, the boat they were riding sank in
the middle of the sea. It is said that they became ruler of buriq
liu or peretiwi (underwater world).
102

Bagian 8

Lamaddukelleng

ALKISAH, sebuah kisah di Sulawesi Selatan tepatnya di daerah


Kabupaten Gowa, hiduplah seorang raja yang masih muda, arif
dan perhatian kepada rakyatnya. Seringkali ia memantau
langsung keadaan rakyatnya dengan menyamar sebagai rakyat
biasa. Suatu malam, sang raja berjalan-jalan ke sebuah
perkampungan yang ada disekitar sungai Jene’berang. Ketika
ia berjalan, tak sengaja ia mendengar percakapan dua gadis
kakak beradik yang cantik jelita.

“Kak, orang seperti apa yang ingin engkau jadikan suami


suatu hari nanti?” tanya sang adik. “Aku ingin bersuamikan
seorang tukang masak istana” jawab sang kakak. “Kenapa
kak?” sang adik kembali bertanya. “Kalau bersuamikan tukang
masak raja, maka kita tak akan kelaparan lagi” jawab sang
kakak. “Kalau kamu? Siapa yang engkau inginkan menjadi
suamimu?” sang kakak balik bertanya. “Kalau aku ingin
menjadi istri raja” jawab sang adik. “Aah, tinggi sekali
103

keinginanmu, dik!” seru sang kakak. “Aku ingin jadi penguasa


di negeri ini” balas sang adik.

Keduanya pun tertawa mendengar ocehan masing-masing.


Sementara sang raja yang mendengar percakapan mereka pun
tersenyum. “Baiklah, Aku akan mewujudkan keinginan kalian”
kata sang raja dalam hati kemudian meninggalkan tempat itu.
Esok hari, sang raja mengutus pengawal istana untuk
memanggil kedua gadis itu untuk menghadap.

“Kalian berdua ikutlah kami ke istana untuk menghadap


Raja” seru sang pengawal. “Maaf Tuan! Mengapa kami disuruh
menghadap sang Raja? Apa kesalahan kami, Tuan” tanya sang
kakak dengan wajah pucat. “maaf tapi kami hanya
menjalankan tugas” jawab sang pengawal.

Dengan perasaan cemas, kedua gadis itu mengikuti para


pengawal istana sampai akhirnya mereka tiba di istana.
keduanya langsung memberi hormat sambil berlutut di depan
sang Raja.

“Ampun Baginda! Ada apa gerangan baginda memanggil


kami?” ucap sang kakak sambil menunduk. “Aku mendengar
percakapan kalian semalam. Benarkan yang kalian katakan
itu?” Sang raja balik bertanya. Kedua gadis itu semakin
ketakutan dan kemudian saling melirik. “Kalian tidak perlu
takut. Jawablah dengan jujur!” kata sang raja.
104

Akhirnya kedua gadis itu mengatakan yang sebenarnya


tentang percakapan mereka semalam. “Baiklah, aku kabulkan
keinginan kalian. Saya bersedia menikah denganmu” kata sang
Raja sambil menunjuk sang adik. Mendengar pernyataan sang
raja, kedua gadis itu berubah menjadi gembira dan bahagia.

Pesta perkawinan mereka pun diselenggarakan. Sang


kakak menikah dengan seorang tukang masak istana,
sedangkan sang adik menikah dengan Raja. Namun, ada
perasaan menyesal dan iri di hati sang kakak karena sang adik
menikah dengan sang Raja.

Setahun kemudian, sang adik melahirkan seorang bayi


laki-laki. Namun, sebelum sang adik sempat melihat bayinya,
sang kakak yang membantu persalinannya menukar bayi itu
dengan seekor kucing dan membuangnya ke Sungai
Jeneberang. Kemudian ia pun memerintahkan pengawal untuk
memberitahukan berita tersebut ke seluruh istana dan rakyat
negeri bahwa istri raja melahirkan seorang kucing. Berita
tersebut membuat raja malu dan murka kepada istrinya.
105

Dengan tubuh yang masih lemah sehabis melahirkan, ia


pun di bawa ke penjara bawah tanah. Sementara itu, bayi yang
dibuang itu ke sungai jeneberang hanyut menuju ke hilir
sungai. Ditempat itu, ditemukanlah sang bayi oleh seorang
kakek yang sedang memancing ikan.

“Bungkusan apakah itu?” ucap kakek itu sambil berusaha


meraih bungkusan itu ke tepi sungai dengan sebatang bambu.
Alangkah terkejutnya sang kakek ketika melihat seorang bayi
mungil di dalamnya. “Wah bayi siapakah ini? sungguh tega
orang tuanya telah membuangnya” guman kakek itu.

Kakek itupun segera membawa bayi itu pulang ke


rumahnya. Alangkah bahagianya sang istri ketika ia melihat
sang suami membawa seorang bayi mungil itu, karena sudah
sepuluh tahun mereka menikah, tapi belum dikaruniai anak.
Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan
penuh kasih sayang yang dikemudian diberi nama
Lamaddukelleng. Ketika anak itu beranjak remaja, mereka
membekali anak tersebut dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan berburu dan bela diri. Suatu hari, sang kakek
106

pun memberitahukan kepada Lamaddukelleng bahwa


sesungguhnya dia bukanlah anak kandungnya.

“Ketahuilah nak! Sebenarnya kami ini bukanlah orang tua


kandungmu. Kami menemukanmu hanyut di sungai
Jene’berang” cerita sang kakek. “Jika benar kalian bukan orang
tuaku, siapakah orang tuaku sesungguhnya” tanya
Lamaddukelleng penasaran. “Maaf nak! Kami pun tidak tahu.
Tapi jika kamu ingin mengetahui siapa orang tuamu maka
susurilah sungai jeneberang hingga ke atas gunung, niscaya
kamu akan menemukan petunjuk” pesan sang kakek.

Keesokan harinya, Lamaddukeleng pun bersiap-siap


untuk berangkat mencari orang tuanya. Sebelum berangkat, si
kakek memberinya dua buah benda pusaka.

“Anakku, bawalah keris dan permata pusaka ini, siapa


tahu suatu saat kamu akan membutuhkannya” kata sang kakek
sambil menyerahkan kedua pusaka itu. “Terima kasih atas
semua kebaikan kalian. Kalian telah merawat dan
membesarkanku. Kelak, aku pasti akan kembali menemui
kalian” ucap Lamaddukeleng.

Setelah berpamitan, Lamaddukeleng berangkat menuju


hulu sungai jeneberang. Beberapa hari kemudian, di suatu
malam, ia berhenti disuatu tempat untuk beristirahat karena
kelelahan. Ia merebahkan tubuhnya dan tertidur dengan lelap.
107

Lamaddukelleng kemudian bermimpi didatangi oleh orang tua


yang mengaku sebagai leluhurnya.

“Hai cucuku! Naiklah ke gunung itu, disana kamu akan


menemukan telaga yang berada di lereng gunung. Mandilah di
telaga itu, dan celupkan keris dan permata pemberian orang
tua angkatmu ke dalam air telaga agar kamu bisa mengobati
segala macam penyakit” pesan orang tua itu.

Keesokan harinya, Lamaddukelleng pun menuju lereng


gunung, ia menemukan sebuah telaga yang airnya sangat
jernih. Ketika ia masuk ke dalam air itu, tiba-tiba seekor naga
besar muncul ke permukaan telaga. Ia pun kaget dan dengan
pelan mundur beberapa langkah, ia kemudian teringat dengan
pusaka pemberian orang tua asuhnya. Lamaddukelleng
mencabut keris yang terselip dipinggangnya yang membuat
naga itu terdiam karena getaran dari keris itu.
Lamaddukelleng kemudian menyerang sang naga dengan
menusukkan keris itu secara berulang-ulang ke tubuh naga
sampai tak berdaya lagi.

Setelah naga itu menghilang, Lamaddukelleng pun mandi


dan mencelupkan keris dan permatanya ke dalam telaga.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke aarah gunung. Di
tengah perjalanannya, ia menemukan sebuah perkampungan
yang begitu subur, indah dan sejuk. Ketika itu, ia melihat
sekelompok orang sedang menyerbu dan merampas harta
108

benda para warga. Mereka melakukan perlawanan, tapi tak


mampu mengalahkan para perampok itu. Lamaddukelleng pun
berlari ke tengah-tengah perkelahian itu. Dengan kemampuan
bela diri yang dimilikinya, ia menghajar para perampok itu
dengan serangan bertubi-tubi yang membuat para perampok
itu terbanting ke sana kemari.

Lamaddukelleng segera menyuruh para warga untuk


membawa korban yang terluka ke tempat yang aman. Ia
kemudian mengobati para warga dengan keris dan permata
pusakanya. Melihat kesaktian Lamaddukelleng, warga
kampung pun memintanya agar bersedia mengobati warga
lain yang terkena penyakit.

Mendengar hal tersebut, Lamaddukelleng pun


mengiyakan. Ia pun mengobati para warga yang terkena
penyakit dengan keris dan permata pusakanya. Setelah ia
berhasil menyembuhkan para warga, ia mulai dikenal
memiliki keahlian bela diri dan pengobatan hingga ke penjuru
negeri. Berita itupun sampai ke telinga sang raja yang ada di
wilayah pegunungan. Raja itu tidak lain adalah ayah kandung
dari Lamaddukelleng. Setelah ia mengetahui istrinya
109

melahirkan seekor kucing, ia terserang penyakit lumpuh yang


tak kunjung sembuh. Berbagai orang pintar telah didatangkan,
tapi tak mampu menyembuhkannya. Sang raja pun
memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengundang
pemuda itu. sesampainya di istana, sang raja menatap
Lamaddukelleng, dalam hatinya ia merasa ada ikatan diantara
mereka berdua. Lamaddukelleng pun mengobati sang raja.

“Maaf tuan! Bolehkah saya meminta segelas air minum?”


minta Lamaddukelleng kepada pelayan istana.

Setelah pelayan itu membawakan segelas air minum,


Lamaddukelleng mencelupkan ujung keris dan permata itu ke
dalam air dan meminta pelayan agar segera meminumkan air
itu kepada raja. Ajaibnya, sesaat kemudian sang raja sedikit
demi sedikit mampu menggerakkan tubuhnya yang semula
lumpuh. Alangkah bahagianya sang raja melihat perubahan
tubuhnya yang kembali sehat seperti dahulu.

“Terima kasih nak! Kamu telah menyembuhkanku. Kalau


boleh tahu, dari mana asalmu dan siapa orang tumu? Tanya
sang raja. Mendengar pertanyaan itu, Lamaddukelleng hanya
terdiam sejenak.

“Maaf baginda! Hamba juga tidak tahu dari mana asal


usulku. Tapi, menurut kakek dan nenek yang telah merawatku,
hamba ditemukan di sungai Jene’berang saat hamba masih
kecil. Dan mereka memintaku untuk menyusuri sungai
110

Jene’berang hingga ke atas gunung agar dapat menemukan


orang tua hamba” cerita Lamaddukelleng.

“Saya turut sedih atas


keadaanmu nak! Semoga
sutu saat nanti kamu bisa
menemukan kedua orang
tuamu” ucap sang raja.
“Terima kasih baginda”
ucap Lamaddukelleng.
“Pelayan! Tolong layani
pemuda itu dengan baik” perintah sang raja.

Di suatu malam, sang raja sedang termenung diserambi


istana membayangkan kisah puluhan tahun lalu ketika istrinya
dikabarkan melahirkan seekor kucing. Tiba-tiba ia merasa ada
sesuatu yang aneh dari kejadian itu. “Benarkah istriku
melahirkan seekor kucing? Ah, tidak mungkin seorang
manusia melahirkan seekor kucing. Bahkan saat itu tak
seorang pun yang menyaksikannya selain kakak sang istri
yang membantunya melahirkan” pikirnya.

Sang raja pun segera memanggil kakak sang istri dan


suaminya untuk menghadap. Sang kakak dan suaminya pun
terkejut ketika ia mendapat panggilan itu, dan mereka pun
mulai ketakutan.
111

“Kakanda mengapa sang raja memanggil kita berdua.


Apakah beliau telah mengetahui semua perbuatan kita
beberapa tahun yang lalu?” ucapnya kepada sang suami.
“Entahlah istriku” kata suaminya dengan cemas.

Sesampainya di depan raja, sepasang suami istri itu pun


langsung memberi hormat kepada raja. “Saya ingin bertanya
kepada engkau. Benarkah istriku melahirkan seekor kucing?
Karena seingatku engkaulah yang membantu kelahiran istriku
saat itu” ucap sang raja kepadanya.

“Be.. benar baginda” jawabnya dengan gugup. “Kalau


begitu benar kah itu? jawablah dengan jujur” ujar raja
mendesak. “Ampuni hamba baginda. Hamba dan suami hamba
telah bersalah. Kami telah menukar putra baginda dengan
seekor kucing. Ampuni hamba baginda, tolong jangan hukum
kami” ujar sang kakak memohon.

Mendengar jawaban itu, sang raja sangat kaget. Ia tidak


menyangka sang kakak telah tega melakukan hal tersebut. Ia
merasa sangat kecewa dan sedih karena telah menghukum
sang istri selama bertahun-tahun. Dengan sangat marah, ia
pun berkata “lalu kemana putraku sekarang”
112

Mendegar jawaban itu, ia terlihat menahan


kemarahannya. Ia langsung teringat kepada pemuda yang
telah mengobatinya bahwa pemuda itu hanyut di sungai
Jene’berang saat ia dilahirkan. “Apakah dia putraku? “ucap
sang raja dalam hari.

Sang raja pun memerintahkan pengawal istana untuk


membebaskan istrinya dan memanggil Lamaddukelleng untuk
menghadap. Setelah berkumpul, sang raja pun menceritakan
kejadian yang sebenarnya kepada istri dan putranya itu. Sang
raja pun langsung memeluk Lamaddukelleng yang kemudian
dibalas olehnya dengan pelukan yang erat. Sang istri hanya
terdiam memandangi suami dan anaknya yang sedang
berpelukan dengan rasa haru. Tak lama kemudian, sang raja
pun segera merangkul sang istri.

“Maafkan aku dinda! kanda telah membuatmu menderita


selama bertahun-tahun lamanya” ucap sang raja sambil
memeluk istrinya erat. “Sudahlah kanda! Yang penting kita
sudah berkumpul kembali bahkan dengan anak kita yang
sudah lama menghilang tahun-tahun lamanya. Mari kita
memulai hidup baru yang lebih baik” ujar sang istri.

Kemudian sang raja pun memberikan hukuman kepada


kakak sang istri dan suaminya. “Kalianlah yang membuat kami
terpisah dan menderita, maka kalian harus mendapatkan
hukuman karena perbuatan kalian itu” ujar sang raja.
113

Kemudian mereka berdua di bawah ke penjara bawah tanah


oleh beberapa pengawal istana. seminggu kemudian,
Lamaddukelleng pun di angkat menjadi raja menggantikan
sang ayah yang sudah tua. Lamaddukelleng pun menjadi raja
yang adil dan bijaksana di negerinya.
114

Lamaddukelleng

ONCE, a story in South Sulawesi, precisely in the district of


Gowa, there lived a king who was young, wise and attentive to
his people. Often he directly monitors the condition of his
people by disguising himself as ordinary people. One night,
the king took a walk to a village around the Jene'berang river.
When he walked, he accidentally heard the conversation of
two beautiful sisters.

"Sis, what kind of person do you want to make your


husband someday?" asked the younger sister. "I want to be
married to a palace chef" answered his sister. "Why?" The
younger sister asked again. "If you marry with the king's chef,
then you won't starve again," the older sister replied. "How
about you? Who do you want to be your husband? "The older
brother asked. "If I want to be the king's wife," answered the
younger brother. "Wow, your desire is high, sis!" cried his
sister. "I want to be a ruler in this country" replied the younger
sister.
115

Both of them laughed at each other's chatter. While the


king who heard their conversation smiled. "OK. I will realize
your desires, "said the king in his heart and then left the place.
Tomorrow, the king sent a palace guard to summon the both of
girls.

"You join us to the palace to face the King," said the guard.
"Sorry! Why were we told to go to the King? What is our fault,
sir" the older brother asked with a pale face. "Sorry, but we
only carry out the task," replied the guard.

With anxiety, the both of girls followed the palace guards


until they finally arrived at the palace. They immediately
saluted while kneeling in front of the King.

"Pardon me sir! What's the matter, sir, why do you call us?
"said the older brother while looking down. "I heard your
conversation last night. Is that right, what you say? "The king
asked. The both of the girls were getting scared and then
glanced at each other. "You don't need to be afraid. Answer
honestly, "said the king.

Finally the both of girls told the truth about their


conversation last night. "OK, I grant your wishes. I am willing
to marry you, "said the King while pointing to the younger
brother. Hearing the king's statement, the two girls turned
happy and happy.
116

Their wedding party was held. The older sister married


with a palace chef, while the younger sister married with the
King. However, there was a feeling of regret and jealousy in
her older sister's heart because the younger sister married
with the King.

A year later, the younger sister gave birth to a baby boy.


However, before the younger brother could see her baby, the
older sister who helped her birth exchanged the baby with a
cat and threw it into the Jeneberang River. Then she ordered
the guards to tell the news to the entire palace and the people
of the country that the wife of the king gave birth to a cat. The
news made the king embarrassed and angry with his wife.

With a weak body after giving birth, she was taken to an


underground prison. Meanwhile, the dumped baby goes to the
river Jeneberang drifting towards the downstream of the river.
In that place, the baby was discovered by a grandfather who
was fishing.
117

"What package is that?" said the grandfather while trying


to reach the package to the river bank with a bamboo. What a
surprise he is, when he saw a tiny baby inside. "Whose baby is
this?" really hearted his parents had thrown it away "said the
grandfather.

The grandfather immediately took the baby to his home.


How happy his wife was when she saw her husband bring a
tiny baby, because they had been married for ten years, but
had not been blessed with children. They also took care of and
raised the baby with love which was later given the name
Lamaddukelleng. When the child got older, they equip the
child with hunting and martial arts and skills. One day, the
grandfather also told Lamaddukelleng that he really was not
his biological child.

“My son! Actually we are not your biological parents. We


found you drifting on the Jene'berang River, "said the
grandfather. "If you are not my parents, who are my parents"
Lamaddukelleng asked curiously. "Sorry! We don't know
either. But if you want to know who your parents are, trace the
river to the top of the mountain, surely you will find a clue
“said the grandfather.

The next day, Lamaddukeleng was getting ready to go


looking for his parents. Before leaving, the grandfather gave
him two heirlooms.
118

“My son, bring this creese and heirloom gem. Maybe,


someday you will need it, "said the grandfather, handing over
the two heirlooms. "Thank you for all your kindness. You have
treated and raised me. Later, I will definitely meet you again,
"said Lamaddukeleng.

After saying goodbye, Lamaddukeleng left for the upper


reaches of the Jeneberang River. A few days later, one night, he
stopped somewhere to rest because of exhaustion. He lied
down and fell asleep soundly. Lamaddukelleng later dreamed
of being visited by parents who claimed to be his ancestors.

“O my grandson! Go up to the mountain, there you will


find a lake that is on the slope of the mountain. Take a bath at
the lake, and dip the creese and gems that were given by your
foster parents into the lake water so you can treat all kinds of
diseases" the old man ordered.

The next day, Lamaddukelleng headed for the


mountainside, he found a lake with very clear water. When he
entered the water, suddenly a large dragon appeared on the
surface of the lake. He was shocked and slowly retreated a few
steps; he then remembered the inheritance of giving his foster
parents. Lamaddukelleng pulled out the creese tucked into his
waist which made the dragon silent because of the vibration of
the creese. Lamaddukelleng then attacked the dragon by
119

thrusting the dagger repeatedly into the dragon's body until it


was helpless again.

After the dragon disappeared, Lamaddukelleng took a


bath and dipped the creese and the gem into the lake. After
that, he continued his journey to the mountain. In the midst of
his journey, he found a village that was so fertile, beautiful and
cool. At that time, he saw a group of people raiding and seizing
property of the residents. They resisted, but were unable to
defeat the robbers. Lamaddukelleng ran into the middle of the
fight. With his self-defense abilities, he beat the robbers with a
barrage of attacks that made the robbers slam to and fro.

Lamaddukelleng immediately told the residents to bring


the injured victims to a safe place. He then treated the villagers
with creese and his precious gem. Seeing the power of
Lamaddukelleng, villagers also asked him to be willing to treat
other villagers who were affected by the disease.

Lamaddukelleng then agreed. He also treated the villagers


who were affected by the disease with creese and his precious
gem. After he successfully healed the villagers, he began to be
known to have martial arts and medical skills throughout the
country. The news reached the king's ears in the mountains.
120

The king was none other than the biological father of


Lamaddukelleng. After he found out that his wife gave birth to
a cat, He suffered from a paralysis that never healed. Many
physicians have been brought in, but can't cure him. The king
ordered some of his guards to invite the young man. When he
arrived at the palace, the king looked at Lamaddukelleng, in his
heart he felt there was a bond between the two of them.
Lamaddukelleng also treated the king.

After the servant brought a glass of drinking water,


Lamaddukelleng dipped the tip of the creese and the gem into
the water and asked the waiter to drink the water immediately
to the king. Miraculously, a moment later the king gradually
moved his body which was originally paralyzed. How happy
the king saw his body changes back to health as before.

"Thank you! You have healed me. If I may know where are
you from and who are your parents? asked the king. Hearing
that question, Lamaddukelleng only paused for a moment.

"Sorry sir! I also do not know where I came from. But,


according to the grandparents who took care of me, I was
found on the Jene'berang River when I was a child. And they
121

asked me to go along the Jene'berang River to the top of the


mountain in order to find my parents, "Lamaddukelleng said.

"I'm sorry for your situation! Hopefully you will find your
parents later, "said the king. "Thank you, sir" said
Lamaddukelleng. "maid! Please serve the young man well
"commanded the king.

One night, the king was pensive in the foyer of the palace
imagining the story of decades ago when his wife reportedly
gave birth to a cat. Suddenly he felt something strange was
happening. "Is it true that my wife gave birth to a cat? Ah, it's
impossible for a human to give birth to a cat. Even at that time
no one witnessed it other than his wife's sister who helped her
give birth, "he thought.

The king immediately called his wife's sister and her


husband to face. They were surprised when he got the call, and
they began to get scared.

"Why does the king call us both. Does he have known all of
our actions a few years ago?" she said to her husband. "I don't
know my wife" said her husband anxiously.

Arriving in front of the king, a pair of husband and wife


immediately saluted the king. "I want to ask you. Is it true that
my wife gave birth to a cat? Because as I recall you were the
one who helped my wife's birth at the time" said the king to
him.
122

"That’s ... right sir" she replied nervously. "Is that right
then? answer honestly, "said the king urgently. "Forgive me sir.
I and my husband have been guilty. We have exchanged the
king's son with a cat. Forgive me, please do not law us” she
said begging.

Hearing that answer, the king was very shocked. He did


not expect that she can do that. He felt very disappointed and
sad because he had punished his wife for years. Angrily, he
also said "then where is my son now".

Hearing the answer, he seemed to hold back his anger. He


immediately remembered the young man who had treated him
that he was washed away on the Jene'berang river when he
was born. "Is he my son?" said the king in a day.

The king ordered the palace guards to free his wife and
call Lamaddukelleng to face him. After gathering, the king told
the true incident to his wife and son. The king immediately
hugged Lamaddukelleng, who was replied by him with a tight
hug. The wife just fell silent while staring at her husband and
her child who were embracing with emotion. Soon, the king
immediately embraced his wife.

“Forgive me my wife! I have made you suffer for years"


said the king while hugging his wife tightly. "Never mind my
123

husband! The important thing is that we have regrouped even


with our children who have long since disappeared. Let's start
a new better life, "said his wife.

Then the king also gave punishment to his wife's sister


and her husband. "You had made us separate and suffer, then
you must get punishment for your actions" said the king. Then
the two of them were taken to the underground prison by
several palace guards. A week later, Lamaddukelleng was
adopted as king to replace his old father. Lamaddukelleng also
became a fair and wise king in his country.
124

Bagian 9

Pung Darek-Darek na
Pung Kura-Kura

PADA ZAMAN DAHULU KALA ada dua ekor binatang


bersahabat kental yaitu monyet dan kura-kura. Mereka adalah
sahabat yang akrab. Tak pernah terpisahkan oleh jarak dan
waktu. Setiap pagi mereka selalu jalan bersama, makan
bersama, semua selalu sama. Pada suatu ketika kedua
binatang itu duduk di tepi sungai yang kebetulan sedang banjir
besar. Sementara mereka berbincang-bincang, ada batang
pohon pisang yang hanyut terbawa banjir. Batang pisang itu
belum pernah berbuah dan kelihatannya masih muda. Monyet
pun segera turun ke sungai dan mendorong batang pisang
menuju tepi sungai.

Sesampai di tepi sungai kedua binatang tersebut sepakat


untuk memotong pohon pisang tersebut menjadi dua bagian.
“Kamu mau yang mana? Bagian atas atau bawah? “ujar
Monyet. “Terserah kamu saja. Kamu yang bersusah payah
125

membawanya kemari. Kamu saja yang pilih duluan” ujar Si


Kura-kura.

Si Monyet mengingi-
kan bagian di atas karena
dilihat sudah banyak
daun-nya pikir si Monyet
tentu lekas berbuah.
Kemudian si Kura-kura
mengambil bagian bawah. Setelah itu pulanglah mereka ke
tempatnya masing-masing menanam batang pisangnya. Si
kura-kura merawat pohon pisangnya setiap hari sehingga
tumbuh subur.

Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali, dan


tali persahabatannya tetap terjalin seperti biasa. Ketika itu
bertayalah Kura-kura kepada sahabatnya. “Bagaimana
keadaan pisang yang kamu tanam tempo hari sahabat?” Tanya
Si kura – kura. “Pisang yang saya tanam itu, tidak mau keluar
pucuknya. Bahkan daun-daunnya tambah kering. Lalu
bagaimana pisang yang kamu tanam bagaimana?” Tanya Si
Monyet. Si Kura-kura pun menceritakan keadaan pisangnya
bahwa pisang yang ia tanam tumbuh subur dan tidak lama lagi
pisang itu akan berbuah.

Mendengar cerita Si Kura-kura, timbullah perasaan tidak


senang, cemburu terhadap Si Kura-kura sahabatnya itu.
126

Setelah mereka selesai berbicang-bincang tentang keadaan


pisangnya, mereka kembali ke tempat masing-masing.
Berselang tiga minggu kemudian bertemulah mereka kembali.
Kura-kura menyampaikan kepada si Monyet bahwa pohon
pisang yang tempo hari diperbincangkan sudah siap panen.
Sementara milik Monyet mati karena layu.

Karena Kura-kura tidak dapat memanjat, ia meminta


bantuan kepada sahabatnya Si Monyet untuk memetik pisang
itu. “Monyet sahabatku, pohon pisangku sudah berbuah dan
tumbuh tinggi, namun aku tidak dapat memanjatnya. Maukah
kamu menolongku untuk memetik pisang-pisang itu? Aku
akan memberikan sebagian pisangku kepadamu” pinta Si
Kura-kura.

Tawaran dari Kura-kura diterima dengan senang hati oleh


si Monyet. Tanpa berpikir panjang ia langsung memanjat
pohon pisang milik si Kura-kura. Sementara si Kura-kura
menunggu di bawah pohon pisang. Bau harum buah pisang
matang semakin menggoda selera monyet dan dia langsung
melahapnya.

Karena kelamaan menunggu, si Monyet berteriak “Monyet,


mana pisang bagianku?” teriak kura-kura. Tapi Si Monyet
pura-pura tidak mendengar. Tetap saja ia melahap pisangnya
sambil melemparkan kulit pisang kearah Kura – kura.
127

Si kura-kura mulai menangis. Hatinya sedih bercampur


marah. Dia tidak pernah memikirkan bahwa dia akan
diperbodoh temannya sendiri yang selama ini dikenalnya baik,
yaitu Si Monyet. Karena semakin kesal lalu mengoyang-
goyangkan pohon pisang itu sampe puas.

Tiba–tiba………Bruuuukkkk! Pohon pisang itu tumbang.


Monyet itu jatuh dan tertimpa pohon. Dia mengerang
kesakitan, tulangnya patah dan tubuhnya berlumuran darah.

Tetapi, Si Kura-kura hanya berlalu begitu saja tanpa


menghiraukan teriakan Monyet. Sang Monyet merengek
kesakitan dan menyesal telah kehilangan sahabat baiknya.
Akhirnya Sang Monyet mati akibat luka yang cukup parah.
128
129

Monkey and the Turtle

IN ANCIENT TIMES, there were two thick friendly animals,


monkeys and turtles. They were close friends. Never separated
by distance and time. Every morning they always walk
together, eat together, all are always the same. At one time, the
two animals sat on the banks of the river which happened to
be in a great flood. While they were chatting, there was a trunk
of a banana tree which was washed away by the flood. The
banana stem has never been fruitful and looks young. The
monkey immediately descended into the river and pushed the
banana stem towards the river bank.

Arriving at the riverbank, the two animals agreed to cut


the banana tree into two parts. "Which part do you want? The
top or bottom? " Said the Monkey. "Whatever you say. You who
took the trouble to bring it here. You just choose first, "said the
Turtle.

The Monkey wants the part above because the monkey


thought that it has seen a lot of leaves and bear fruit quickly.
130

Then the Tortoise took the bottom. After that, they returned to
their respective places to plant the stem of their banana. The
turtle takes care of its banana trees every day so it thrives.

About two months later they met again, but the cord of
friendship remained as usual. When it comes the turtles asked
to its best friend. "How do you plant bananas the other day,
friend?" Asked the turtle. "Tthe banana that I planted, did not
want to shoot it out. Even the leaves are dry. How about your
bananas? "Asked the Monkey. The Turtles also told the growth
of the banana that was planted be thrives and soon the banana
will bear fruit.

Hearing the turtle's story, unhappiness feeling arose,


jealous of its best friend, Tortoise. After they finished talking
about the circumstances of their harvest, they returned to
their respective places. Intermittent three weeks later they
meet again and the tortoise told to the monkey that the banana
tree that was discussed the day before was ready for harvest.
While belonging to the Monkey died from withering.

Because Turtles cannot climb, it asked its friend the


Monkey for helping to pick the banana. "My best friend, my
banana tree has already grown and grown tall but I can't climb
it. Will you help me pick the bananas? I will give you some
"asked the Turtle.
131

The offer from Turtles was welcomed by the Monkey.


Without thinking, it immediately climbed the banana tree
belonging to the Tortoise. While the Tortoise waited under the
banana tree. The fragrant smell of ripe bananas is increasingly
tempting monkeys and it devoured it immediately.

Because of the long wait, the Monkey shouted "Monkey,


where is my banana?” the turtle shouted . But the Monkey
pretended not to hear. Still, it devoured the banana while
throwing a banana peel at Tortoise.

The turtle starts crying. Its heart was sad mixed with
anger. It never thought that it would be fooled by its own
friend whom it had known well, the Monkey. Because it was
getting annoyed and then shake the banana trees until they
were satisfied.

Suddenly ……… Bruuuukkkk! The banana tree fell. The


monkey fell on the tree. It groaned in pain, its bones were
broken and the body was covered in blood.

But, the Tortoise just passed by without regard to the cry


of the Monkey. The Monkey whined in pain and regretted
losing its best friend. Finally the Monkey died due to a severe
injury.
132
133

Bagian 10

Sepakbola Binatang

KONON, terdapat sebuah padang rumput yang sangat luas di


sebuah daerah si Sulawesi selatan. Padang rumput itu
dijadikan tempat untuk mencari makan oleh beberapa hewan
seperti sapi, kerbau, gajah, keledai, dan kijang.

Disuatu ketika, segerombolan sapi dan kerbau datang ke


tempat itu bersamaan dan terlihat saling berebut bagian
padang rumput yang masih hijau dan subur.

“Hei sapi, kalian pindah dari tempat ini, rumput ini bagian
kami” seru seekor kerbau. “Kami tidak mau. Kita datang ke
tempat ini bersamaan jadi kami juga berhak makan disini”
jawab seekor sapi. Akhirnya mereka saling mendorong dan
terjadilah perkelahian karena tidak ada yang mau mengalah.
Para binatang yang datang mencari makan di padang rumput
itu bersorai memberi semnagat yang membuat perkelahian
semakin sengit antara si sapi dan si kerbau. Mereka saling
menyundul dengan tanduk dan mendorong dengan sekuat
tenaga yang membuat segerombolan sapi itu sesekali
134

mengeluarkan bunyi lenguh yang keras.


“Moooohhhhh……….!!!”

Perkelahian pun
berlangsung hingga siang
hari dan perkelahian masih
imbang, belum ada yang
kalah dan menang. Tiba-tiba
seekor singa, sang raja
Hutan muncul dari balik
semak belukar dipinggir padang rumput. Ia pun mengaung
“Auuuuuuuuuuuuunnggg…………….!!!. Hei hentikan perkelahian
itu” seru sang singa dengan marah.

Mendengar seruan itu, gerombolan sapi dan kerbau tiba-


tiba diam. Mereka menghentikan perkelahian itu. Binatang lain
yang tadinya bersorak sorai pun turut diam. Kepala mereka
menunduk dan tidak ada yang berani bergerak sedikit pun.

“Berkelahi lagi, berkelahi lagi. Kemarin rusa dan kambing


berkelahi karena rumput, dua hari yang lalu keledai dan kuda
juga berkelahi karena rumput, sekarang sapi dan kerbau juga
berkelahi gara-gara rumput. Setiap hari terjadi perkelahian
ditempat ini” ujar sang singa.

Sang raja hutan pun menghimbau semua binatang untuk


berkumpul di padang rumput untuk membicarakan pertikaian
yang sering terjadi itu.
135

“Dengarlah kalian semua. Saya ingin mengusulkan


bagaimana jika kita mengadakan pertandingan sepak bola
untuk menjalin persahabatan di antara penghuni hutan ini
gara tidak terjadi lagi perkelahian” usul sang raja hutan.
“Setuju!” teriak seluruh binatang yang hadir di tempat itu.

Usulan itu disambut gembira oleh semua binatang karena


dapat membina keakraban dan menjadi hiburan bagi mereka
baik sebagai peserta maupun penonton. Mereka pun
mendaftarkan timnya untuk mengikuti pertandingan itu.
Pendaftar pertama adalah tim kerbau yang diikuti oleh sapi,
gajah, keledai, kuda, kambing, domba dan seterusnya.
Sedangkan sang singa berperan sebagai wasit yang tentu saja
sangat disegani oleh binatang lainnya.

Keesokan harinya, pertandingan sepak bola antar


binatang pun dimulai. Di pertandingan hari pertama, tim
kambing berhadapan dengan tim domba. Masing-masing tim
terlihat bersiap-siap dan menempati posisi masing-masing.
Sementara binatang yang lain mengambil tempat di pinggir
lapangan untuk menonton. Mereka sudah tidak sabar ingin
menyaksikan pertandingan dan mengetahui pemenang yang
akan keluar di ronde pertama itu.
136

Setelah bersiap, sang wasit pun meniup peluitnya sebagai


tanda pertandingan di mulai. Pertandingan itu berlangsung
sangat seru yang sesekali muncul kelucuan yang mengundang
tawa para penonton. Di akhir pertandingan, tim kambing
menang 2-1 atas tim domba. Pertandingan pun dilanjutkan
keesokan harinya.

Setelah pertandingan berlangsung selama beberapa hari,


akhirnya tim kuda, gajah, kerbau dan sapi berhasil masuk ke
babak semifinal. Pada semifinal pertama, tim kuda berhadapan
dengan tim sapi. Sayangnya, tim kuda tampak kurang
bersemangat karena sehari sebelumnya raja mereka
meninggal dunia karena usia. Akhirnya pertandingan itu,
dimenangkan oleh tim sapi dan berhasil masuk ke babak final.

Keesokan harinya, tim gajah berhadapan dengan tim


kerbau. Ketika pertandingan akan dimulai, turun hujan deras
yang membuat padang rumput tergenang air. Kondisi tersebut
membuat tim gajah menolak untuk bertanding, akan tetapi tim
kerbau tidak ingin pertandingan itu ditunda di hari itu.
Perbedaan pendapat pun tidak terelakkan dan terjadilah
perkelahian yang membuat sang wasit turun tangan.

“Pertandingan semifinal kedua ini harus tetap


dilaksanakan walaupun padang rumput ini digenangi air. Para
penonton sudah berdatangan untuk menyaksikan
137

pertandingan kalian jadi jaga kecewakan mereka” tegas sang


singa.

Dan oleh karena keputusan wasit tidak boleh diganggu


gugat, maka pertandingan pun berlanjut. Dipertandingan itu,
tim kerbau memberikan serangan yang bertubi-tubi ke tim
lawannya. Karena kondisi lapangan yang licin, tim gajah
beberapa kali terjatuh yang membuat penonton tertawa.
Berbeda dengan tim kerbau yang sudah terbiasa dengan becek
dan banjir sehingga mereka bebas berlari kesana kemari
menggiring bola. Hasil pertandingan dimenangkan oleh tim
kerbau 3-0 atas tim gajah. Dan bisa dipastikan bahwa tim
kerbau akan bertemu dengan lawannya tim sapi yang sudah
masuk babak final terlebih dahulu. Kemudian wasit
memberikan mengumunkan

“Para penonton sekalian, jadwal pertandingan babak final


akan digelar dua hari kemudian. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan waktu kepada pemain untuk beristirahat agar
bisa tampil lebih baik nantinya” ujar sang singa. Kemudian
para penonton dan pemain membubarkan diri.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, para penonton telah


memadati pinggir lapangan yang ingin menyaksikan
pertandingan babak final itu. Hari itu cuaca begitu panas, yang
membuat kedua tim membuka baju. Mereka pun bertanding
tanpa pakaian yang diiringi oleh sorak sorai para penonton.
138

Wasit pun meniup peluitnya sebagai tanda pertandingan akan


dimulai. Pertandingan berlangsung seru. Kedua tim
memperlihatkan ketangkasan dan tehnik mereka dalam
menggiring bola. Sudah beberapa menit berlalu, tapi
pertandingan masih imbang, belum ada yang mencetak gol ke
gawang lawan.

Tiba-tiba cuaca menjadi mendung. Tak lama kemudian


hujan lebat turun yang disertai angin kencang. Butiran air
hujan yang deras membuat badan terasa sakit jika tertimpa.
Para penonton mulai panik dan berlarian mencari tempat
untuk berteduh. Kedua tim pun membubarkan diri dan berlari
ke tempat penyimpanan pakaian mereka. Saat itu tim kerbau
berlari ketempat penyimpanan pakaian tim sapi dan
memakainya, sedangkan tim sapi yang datang terlambat
terpaksa memakai pakaian tim kerbau lalu berpencar mencari
tempat berteduh.

Sejak kejadian itu, pakaian (kulit) sapi terlihat lebih


longgar karena memakai pakaian kerbau. Sedangkan pakaian
kerbau tampak kesempitan karena memakai pakaian sapi.
Itulah sebabnya, dipunggung sapi terdapat bagian yang
berongga dan bagian leher bawahnya bergelambir.
139
140

Animal Football

SUPPOSEDLY, there is vast grassland in an area of South


Sulawesi. The grassland was used as a place to look for food by
several animals such as cattle, buffaloes, elephants, donkeys,
and deer.

One day, a flock of cows and buffaloes came to the same


place and were seen fighting over parts of the green and fertile
grasslands.

"Hey cows, you move from this place, this grass is our
area" exclaimed a buffalo. "We don't want to. We come to this
place together, so we also have the right to eat here" answered
a cow. Finally they pushed each other and there was a fight
because no one wanted to budge. The animals that came
looking for food in the meadow were stained giving the spirit
that makes fights increasingly fierce between the cows and the
buffaloes. They headed each other with horns and pushed with
all their might which makes a bunch of cows occasionally give
out loud noises. "Moooohhhh .......... !!!"
141

The fight lasted until noon and the fight was still a draw,
no one had lost and won. Suddenly a lion, the King of the
Forest, emerged from behind a thicket of shrubs beside the
meadow. He also roared "Auuuuuuuuuuuunnggg ……………. !!!
hey stop fighting, "the lion exclaimed angrily.

Hearing that call, the hordes of cows and buffaloes


suddenly shut up. They stopped the fight. Other animals that
had cheered were also silent. Their heads bowed and no one
dared to move in the slightest.

"Fight again, fight again. Yesterday deer and goats fought


because of grass, two days ago donkeys and horses also fought
because of grass, now cows and buffaloes also fought because
of grass. Every day there are fights in this place, "said the lion.

The king of the forest also urged all animals to gather in


the grasslands to discuss the frequent conflicts. "Hear me guys.
I want to propose if we held a soccer match to establish
friendship among these forest dwellers because there were no
more fights "suggested the king of the forest. "Agree!" Shouted
all the animals present at the place.

The proposal was welcomed by all animals because it


could foster intimacy and become entertainment for them both
as participants and spectators. They also registered their team
to join the match. The first registrant was a buffalo team
followed by cows, elephants, donkeys, horses, goats, sheep and
142

so on. While the lion acts as a referee, which of course is highly


respected by other animals.

The next day, a football match between animals began. On


the first day of the match, the goat team faced the sheep team.
Each team was seen getting ready and occupying their
respective positions. While other animals take place on the
sidelines to watch. They could't wait to watch the match and
found out the winner who will come out in the first round.

After getting ready, the referee blew his whistle as a sign


of the match starting. The match was very exciting, with
humor which occasionally invited laughter from the audience.
At the end of the match, the goat team won 2-1 over the sheep
team. The match continued the next day.

After the match lasted for several days, finally the horse,
elephant, buffalo and cow team made it into the semifinals. In
the first semifinal, the horse team faced off with the cow team.
Unfortunately, the horse team seemed to lack enthusiasm
because the day before their king had died of age. Finally the
match was won by a cow team and made it into the final
round.

The next day, the elephant team faced the buffalo team.
When the match will begin, heavy rain made the grassland
143

inundated. This condition made the elephant team refuse to


compete, but the buffalo team did not want the match to be
postponed on that day. Differences of opinion were inevitable
and there was a fight that made the referee intervenes.

"This second semi-final match must be carried out even


though this grassland is flooded. The audience has come to
watch your match so keep them disappointed, "said the lion.

And because the referee's decision must not be contested


then the match continues. In that match, the buffalo team gave
a barrage of attacks to the opposing team. Because of the
slippery field conditions, the elephant team fell several times
which made the audience laugh. Unlike the buffalo team that
were used to being muddy and flooded, so they were free to
run to and fro dribbling. The results of the match were won by
the buffalo team 3-0 over the elephant team. And it can be
ascertained that the buffalo team will meet with their
opponent's cow team that has entered the final round first.
Then the referee gives announced,

"All spectators, the final schedule will be held two days


later. This is intended to give players time to rest so they can
perform better later, "said the lion. Then the audience and
players disbanded.

The long-awaited day arrived, the audience had packed


the edge of the field who wanted to watch the final round
144

match. That day the weather was hot, which made the two
teams undress. They also competed without clothes
accompanied by cheers from the audience. The referee blew
his whistle as a sign the match will be began. The match was
exciting. Both teams showed their dexterity and technique in
dribbling. It's been a few minutes, but the match is still a draw,
no one has scored a goal against the opponent.

Suddenly the weather became cloudy. Shortly thereafter


heavy rain fell accompanied by strong winds. Heavy raindrops
make the body ache if it is crushed. The audience began to
panic and ran for a place to shelter. The two teams dispersed
and ran to their clothing store. At that time the buffalo team
ran to where the cow team's clothes were stored and used
them, while the cow team who arrived late were forced to
wear the buffalo team's clothes and scattered to find shelter.

Since that incident, cow's clothing (leather) looks looser


because it wears buffalo clothing. While buffalo clothes look
cramped because they wear cows’ clothing. That is why, on the
back of a cow there are hollow parts and the lower neck part is
sagged.
145
146

Bagian 11

La Tongko-Tongko

PADA ZAMAN DAHULU, hiduplah seorang janda yang memiliki


anak laki-laki yang sangat bodoh dan di beri nama La Tongko-
tongko. Suatu ketika, La Tongko-tongko ingin mempunyai
seorang istri karena merasa sudah dewasa. Keinginannya itu
pun disampaikan kepada ibunya.

Setelah mendapat restu dari ibunya, ia segera berangkat


mencari seorang wanita yang mau menikah dengannya.
Ditengah jalan, ia bertemu dengan seorang pejinjing bila.
Tanpa basa-basi La Tongko-tongko berkata, ”pejinjing bila,
saya akan memperistri engkau!”.

Mendengar kata La Tongko-tongko, pejinjing bila


melamparkan bila karena marah. La Tongko-tongko kemudian
berlari dan mengadu kepada ibunya.
147

“Ibu, tadi saya bertemu dengan perempuan pejinjing bila.


Tetapi, ketika saya mengatakan akan mem-peristrinya, si
pejinjing bila marah dan melemparkan bila-nya ke arahku.”
Kata La Tongko-tongko. “Memang setiap orang akan marah
jika engkau langsung berkata seperti itu” kata ibunya.
“Pergilah dan cari perempuan lagi!” Tambah Ibunya.

La Tongko-tongko kemudiaan pergi mencari seorang


wanita yang bersedia menikah dengannya untuk kedua
kalinya. Dan, sama seperti pertemuannya dengan pejinjing
bila, di tengah jalan ia bertemu dengan pejinjing belanga.
Ketika bertemu dengan si pejinjing belanga. Tanpa basa-basi
La Tongko-tongko langsung berkata. “Pejunjung belanga, saya
akan memperistri engkau!”

Sama halnya dengan pejinjing bila, pejinjing belanga


langsung melempar belanga ke arah La Tongko-tongko. La
Tongko-Tongko pun lalu lari dan mengadu lagi kepada ibunya.
“Ibu, tadi saya bertemu dengan pejunjung belanga. Tetapi,
ketika saya mengatakan akan memperistrinya, si pejinjing
belanga itu marah dan melemparkan belanganya ke arahku.”

Ibunya diam sejenak kemudian menyuruhnya kembali


mencari perempuan yang bersedia dikawininya. La Tongko-
tongko kemudian berangkat kearah barat menuju hutan.
Setelah sampai di hutan, ia melihat mayat perempuan
tergeletak dibawah pohon besar.
148

Karena kebodohan La Tongko-


tongko, ia kemudian mendekati
mayat itu dan bertanya. “Hei
perempuan, saya akan
memperistrikan engkau!”

Setelah menunggu beberapa


saat mayat tersebut tidak juga
menyahut, maka La Tongko-
tongko berkata lagi. “Hei perempuan, saya akan
memperistrikan engkau!”. Karena tetap tidak mendapat
jawaban, La Tongko-tongko berkata lagi.

La Tongko-tongko segera mengangkat dan membawa


mayat tersebut pulang. Sampai di depan rumahnya, ia segera
berteriak memanggil ibunya yang saat itu sedang menumbuk
padi di belakang rumah.

Ibu La Tongko-tongko merasa kurang yakin kalau anaknya


mendapatkan istri, ia pun tetap menumbuk padi tanpa
149

menyambut dan menemuinya. “Ya baguslah. Sekarang bawa


istrimu ke kamar. Biarkan dia istirahat!” kata ibunya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibu La Tongko-tongko


bangun dan segera memasak. Setelah masakan siap, ia menuju
kamar anaknya.

“La Tongko-tongko, mari kita makan. Ibu sudah


menyiapkan makanan untukmu.” Kata ibunya. “Kenapa hanya
aku, ibu? Apakah menantumu tidak diberi makan ?” kata La
Tongko-tongko. “Ya, ajaklah istrimu untuk makan,” kata
ibunya.

Saking bodohnya, ia pun memanggil istrinya berkali-kali


namun tetap tidak ada jawaban. Karena yang dipanggil adalah
mayat perempuan. Ibu La Tongko-tongko kemudian ke kamar
dan bermaksud memanggil menantunya. Setelah masuk
kekamar, ibu La Tongko-tongko sangat kaget. Ternyata yang
dibawa pulang oleh La Tongko-tongko adalah mayat dan
sudah mulai mengeluarkan bau busuk.

“Kenapa orang mati kau bawa ke rumah, bawa keluar dan


kubur.” Kata ibunya sambil berteriak. “Kenapa ibu berkata
kalau dia sudah mati?” tanya La Tongko-tongko. “Itu karena
dia sudah berbau busuk.” Jawab ibunya . “Jadi, kalau orang
sudah berbau busuk, itu tanda kalau dia sudah mati?” Tanya La
Tongko-tongko. “Ya. Cepat kau bawa dia dan kubur agak jauh
dari rumah!” ibunya segera menjawab.
150

Dengan berat hati La Tongko-tongko membawa istrinya


untuk dikubur di tempat yang agak jauh dari rumahnya.
Setelah mengubur istrinya, La Tongko-tongko langsung makan
bersama ibunya di dapur.Ketika sedang makan sambil
berjongkok tiba-tiba ibunya kentut. La Tongko-tongko
mencium bau tidak sedap.

Tanpa berkata apa-apa lagi, La Tongko-tongko langsung


mengangkat dan membawa ibunya untuk segera di kubur.
Namun, di tengah jalan ibunya berhasil lolos dan melarikan
diri kedalam hutan. La Tongko-tongko tidak mengejarnya
karena ia mengingat kalau nasinya belum dihabiskan. Ia
kemudian pulang ke rumah dan melanjutkan makan. Karena
dari kemarin belum buang air, perut La Tongko-tongko tiba-
tiba sakit dan kentut.

Ia pun mencari tempat yang bagus untuk mengubur


dirinya sendiri, dia memilih mengubur dirinya di bawah pohon
mangga yang rindang dan berbuah lebat. Kemudian ia
151

membuat lubang sedalam lehernya. Seteleh selesai menggali,


La Tongko-tongko masuk kedalam lubang hingga tinggal
kepalanya yang ada di permukaan tanah.

Malam pertama di kuburannya, ada seorang pencuri yang


hendak mencuri mangga. Pencuri itu langsung memanjat
kemudian memetik mangga dan memasukkkanya ke dalam
karung. Tapi karena terburu-buru, mangga yang dipetik
terjatuh dan mengenai kepala La Tongko-tongko.
“Beruntunglah kau mangga. Seandainya saya belum mati, pasti
saya makan,” kata La Tongko-tongko.

Pencuri yang mendengar ada suara pun kaget, ia melihat


kiri dan kanan tapi tidak melihat siapapun. Kemudian ia
melihat kebawah dan samar-samar ada melihat kepala La
Tongko-tongko menyembul dari permukaan tanah.

“Siapakah engkau?” Tanya pencuri. “saya La Tongko-


tongko. Saya sudah mati,” jawab La Tongko-tongko. “Engkau
belum mati,” kata si pencuri. “Benar, saya sudah mati. Tadi
siang saya kentut dan berbau busuk seperti orang mati. Lalu
saya menguburkan diri di sini.” sambung La Tongko-tongko.

“Dasar bodoh. Tidak salah kalau kau dinamakan La


Tongko-tongko karena kamu orang yang sangat bodoh.”
pencuri berkata lagi. “Sudahlah, pergilah dari sini. Orang yang
masih hidup tidak boleh berbicara dengan orang mati,” kata La
Tongko-tongko.
152

“Tidak, engkau belum mati. Orang mati tidak dapat


berbicara. Lebih baik engkau ikut dengan aku,” kata pencuri
itu sambil menarik kepala La Tongko-tongko.

Setelah La Tongko-tongko berhasil dikeluarkan, pencuri


tersebut segera meninggalkan barang curiannya karena
berpikir dengan bantuan dan kebodohan La Tongko-tongko ia
akan mendapatkan hasil curian yang lebih banyak.

Setelah sampai di perbatasan kampung, mereka melihat


sebuah kandang kerbau yang terletak di dekat rumah. “Eh La
Tongko-tongko, bukalah kandang kerbau itu.” kata si pencuri.

La Tongko-tongko kemudian ke kandang dan


mengeluarkan seekor anak kerbau dan di serahkan pada si
pencuri yang berada agak jauh dari kandang. Kemudian ia
masuk lagi ke kandang untuk mengambil induknya. Setelah ia
mengeluarkan induknya yang hitam dan besar La Tongko-
tongko sangat gembira, ia kemudian berteriak.

“Bagian saya yang hitam, bagian saya yang hitam!” kata La


Tongko-tongko sambil berteriak. “Jangan berteriak. Nanti yang
punya rumah bangun!” teriak si pencuri. “Apa? Bagian saya
tetap yang hitam ini,” kata La Tongko-tongko.

Mendengar teriakan La Tongko-tongko, bangunlah si


pemilik kerbau. Ia segera keluar dari rumahnya. “Pencuri! Ada
pencuri!” kata pemilik rumah.
153

Pencuri yang melihat pemilik rumah keluar langsung


kabur dan meninggalkan La Tongko-tongko dan anak kerbau
yang masih dipegang talinya. Pemilik rumah langsung
menangkap La Tongko-tongko.

“Mengapa engkau membawa kerbauku?” tanya pemilik


rumah. “Kami mau mencuri kerbau,” jawab La Tongko-tongko.
Pemilik rumah yang mendengar penjelasan La Tongko-tongko,
pemilik rumah sadar jika ia berhadapan dengan orang bodoh.

“Kau betul-betul bodoh tetapi menguntungkan.


Seandainya engkau tidak berteriak, habislah kerbau kami.”
kata pemilik rumah. “ Ya sudah. Karena kau sangat bodoh, saya
akan melepaskanmu. Sudah pergi sana!” kata pemilik rumah
karena kasihan.

Beberapa hari kemudian, pencuri bertemu lagi dengan La


Tongko-tongko. “Kenapa engkau berteriak sampai yang punya
rumah bangun?” kata pencuri. “Saya ingin kerbau yang hitam
itu,” jawan La Tongko-tongko.

“Dasar orang bodoh! Begini saja, nanti malam kita mencuri


lagi di kampung sebelah. Nanti tengah malam aku tunggu di
sini ,” kata si pencuri. “Ya baiklah. Nanti malam aku datang.”
kata La Tongko-tongko.

Menjelang tengah malam, mereka berkumpul di tempat


bertemu tadi sore. Mereka berjalan menuju kampung yang
bersebelahan dengan kampung La Tongko-tongko. Di
154

kampung tersebut ada rumah yang letaknya terpencil dan jauh


dari rumah lain. Rumah itu dihuni oleh dua perempuan dan
seorang laki-laki tua. Namun sore tadi laki-laki tua tersebut
meninggal dan dua perempuan tersebut malas mengubur
mayatnya.

“Masukkan saja mayat itu ke dalam karung dan isi dengan


pecahan kaca. Jika ada pencuri lewat pasti akan megambilnya”
Kata perempuan yang lebih tua. “Naiklah ke beranda Tongko,
di situ aku lihat ada karung. engkau goncang-goncangkanlah,
kalau berbunyi bawalah karung itu kesini.” Kata pencuri.

Tanpa berpikir panjang, La Tongko-tongko naik ke


beranda dan menggoncang-goncangkan karung tersebut.
karena yang di dalam karung berisi pecahan kaca, ketika
digoncangkan, karung berbunyi berisik seperti uang ringgit. La
Tongko-tongko kemudian menyerahkan karung tersebut.
Karena pencuri tidak berniat membagi harta dengan La
Tongko-tongko, ia kemudian menyuruhnya kembali ke
beranda rumah untuk mengawasi penghuni rumah. Dari dalam
rumah, La Tongko-tongko mendengar pembicaraan dari
pemilik rumah.

“Orang mati yang kita masukkan ke dalam karung itu


sudah diambil pencuri.” bisik perempuan tersebut. “Hei, buang
karung itu, isinya bukan uang ringgit tapi orang mati” La
Tongko-tongko sambil berteriak.
155

Mendengar teriakan La Tongko-tongko, pencuri berlari


semakin kencang. Ia mengira La Tongko-tongko mengatakan,
“Cepat, cepat, kita sudah mati, kita sudah mati!”. Melihat si
pencuri bertambah kencang larinya, La Tongko-tongko pun
mempercepat larinya.

Merekapun saling berkejaran sampai akhirnya semua


merasa letih. Pencuri lalu duduk di pinggir jalan sambil
menunggu kedatangan La Tongko-tongko.

“Mengapa engkau selalu lari?” kata La Tongko-tongko.


“Engkau yang mengatakan, cepatlah lari, kita sudah mati,
makanya saya selalu lari. Mana orang-orang yang
mengejarmu?” kata pencuri. “Tidak ada orang yang mengejar
saya. Saya hanya berkata, buang karung itu. Isinya bukan uang
tapi orang mati,” kata La Tongko-tongko.

Pencuri yang tidak percaya dengan kata-kata La Tongko-


tongko kemudian membuka karung, dan benar adanya. Yang
didalam karung bukan uang tapi mayat laki-laki tua yang
dicampur dengan pecahan kaca. Karena kecewa, karung
tersebut dibuang begitu saja di pinggir jalan. “Sudahlah. Lebih
baik kita berpisah saja. Aku selalu saja sial jika pergi
bersamamu.” Kata pencuri.
156

Akhirnya kedua orang itu pun berpisah. Si pencuri pergi


ke arah Barat, sementara La Tongko-tongko ke arah Selatan
dan pulang ke rumahnya. sejak saat itu, mereka tidak bertemu
lagi.
157

La Tongko-Tongko

IN ANCIENT TIMES, lived a widow who had a son who was


very stupid and named La Tongko-tongko. One time, La
Tongko-tongko wanted to have a wife because he felt he had
mature. His wish was conveyed to his mother.

After getting the blessing from his mother, he immediately


left to find a woman who wanted to marry with him. In the
middle of the road, he met a blade seller. Without further ado,
La Tongko-tongko said, "hei I will marry with you!"

Heard what was La Tongko-tongko said make her be


angry. La Tongko-tongko then ran and complained to his
mother.

“Mom, I met a blade seller. But when I say I will marry


with her, she is angry and throws it at me. "La Tongko-tongko
158

said. "Indeed, everyone will be angry if you immediately say


that," said his mother. "Go and find another woman!" His
mother added.

La Tongko-tongko then went looking for a woman who


was willing to marry him a second time. And just like meeting
blade seller, in the middle of the road, he met a pot seller.
When meeting the potter's monk. Without further ado, La
Tongko-tongko immediately said. "hei, I will marry you!"

The same with the blade seller, the pot seller throw the
pot towards La Tongko-tongko. La Tongko-Tongko then ran
and complained to his mother again. "Mom, I met a pot seller.
However, when I said I was going to marry her, she was angry
and threw her pot at me. "

His mother silented then told him to go back to find the


woman who will marry with him. La Tongko-tongko then
headed west towards the forest. After arriving in the forest, he
saw the bodies of women lying beneath a large tree.

Because of the stupidity of La Tongko-tongko, he then


approached the corpse and asked. "Hey girls, I will marry you!"

After waiting for a while the corpse did not answer, then
La Tongkonosko said again. "Hey girls, I will marry you!"
Because he still didn't get an answer, La Tongko-tongko said
again.
159

La Tongko-tongko immediately picked up and brought the


corpse home. Arriving in front of his house, he immediately
shouted for his mother who was pounding rice behind the
house.

His mother felt unsure if her child got a wife, he continued


to pound rice without welcoming and meeting him. "Yes, that's
good. Now bring your wife to the room. Let him rest!" said his
mother.

The next day, very early in the morning La Tongko-tongko


got up and immediately cooked. After the dish was ready, he
headed to his child's room.

"La Tongko-tongko, let's eat. I have prepared food for you,


"said his mother. "Why only me, mom? Is your daughter in law
not being eaten? "La Tongko-tongko said. "Yes, take your wife
to eat," his mother said.

So stupid, he called his wife many times but still no


answer. Because the one called was the corpse of a woman. His
mother then went to the room and intended to call her
daughter-in-law. After entering the room, La Tongko-tongko's
160

mother was very shocked. It turned out that the one brought
home by La Tongko-tongko was a corpse and had begun to
emit a foul odor.

"Why do you bring the dead to the house, take it out and
bury it," shouted his mother. "Why did you say she was dead?"
Asked La Tongko-tongko. "That's because he smells bad." His
mother answered. "So, if someone has foul smell, is it a sign
that he is dead?" Asked La Tongko-tongko. "Yes. Hurry up and
bring it and bury a little away from home! "His mother
immediately answered.

With a heavy heart La Tongko-tongko took his wife to be


buried somewhere far away from his house. After burying his
wife, La Tongko-tongko immediately ate with his mother in the
kitchen.While eating while squatting suddenly his mother
farted. La Tongko-tongko smells unpleasant.

Without saying anything else, La Tongko-tongko


immediately picked up and brought his mother to be buried
immediately. However, in the middle of the road his mother
managed to escape into the forest. La Tongko-tongko didn't
chase him because he remembered that the rice had not been
161

spent. He then went home and continued eating. Because from


yesterday, I didn't go to the bathroom, La Tongko-tongko's
stomach suddenly got sick and farted.

He also looked for a good place to bury himself, he chose


to bury himself under a shady mango tree and bear fruit. Then
he made a hole as deep as his neck. After finishing digging, La
Tongko-tongko entered the hole until his head remained on
the ground.

The first night in his grave, there was a thief who wanted
to steal mango. The thief immediately climbed then picked the
mango and put it in the sack. But because of the rush, the
plucked mango fell and hit onto La Tongko-tongko's head.
"You are lucky, mango. If I hadn't died, I would have eaten, "La
Tongko-tongko said.

The thief who heard a voice was shocked, he looked left


and right but didn't see anyone. Then he looked down and
faintly saw La Tongko-tongko's head poking from the ground.

"Who are you?" Asked the thief. "I'm La Tongko-tongko. I


have dead, "replied La Tongko-tongko. "You haven't died yet,"
said the thief. "Right, I had dead. I was farting this afternoon
and smelled like a dead person. Then I buried myself here,
"continued La Tongko-tongko.
162

“You are stupid. It's not wrong if you are called La Tongko-
tongko because you are a very stupid person. "The thief said
again.

“Never mind, leave here. People who are still alive should
not talk to dead people, "La Tongko-tongko said. "No, you
haven't died. The dead cannot speak. You better come with me,
"said the thief while pulling the head of La Tongko-tongko.

After La Tongko-tongko was successfully removed, the


thief immediately left his stolen goods because he thought
with the help and ignorance of La Tongko-tongko he would get
more stolen.

After arriving at the village border, they saw a buffalo cage


near the house. "Eh La Tongko-tongko, open the buffalo cage,"
said the thief.

La Tongko-tongko then went to the cage and took out a


buffalo child and was handed over to the thief who was a little
away from the cage. Then he went back to the cage to get its
mother. After he took out its big black mother, La Tongko-
tongko was very happy, he then shouted.

"The black one is mine, the black one is mine!" La Tongko-


tongko shouted. "Don't shout. The owner will wake up! "
shouted the thief. "What? the black one is still mine, "La
Tongko-tongko said.
163

Hearing La Tongko-tongko's shouted, the owner woke up.


He immediately left his house.

"Thief! There are thieves!" said the owner of the house.


The thief who saw the owner of the house came out
immediately and he left La Tongko-tongko. The homeowner
immediately arrested La Tongko-tongko.

"Why do you take my buffalo?" The owner asked. "We


want to steal buffaloes," La Tongko-tongko replied. The
homeowner who heard La Tongko-tongko's explanation, the
homeowner realized that he is dealing with a fool.

"You're really stupid but profitable. If you don't shout, our


buffalo definitely has been taken " said the owner of the house.
"Alright. Because you are so stupid, I will let you go. Be gone!"
said the owner of the house because of pity.

A few days later, the thief met again with La Tongko-


tongko. "Why did you shout until the homeowner wake up?"
said the thief. "I want the black buffalo," said La Tongko-
tongko.

"You are fool! Tell me, tonight we will steal again in the
next village. I'll wait here in the middle of the night, "said the
thief. "Yes alright. Tonight I will come, "La Tongko-tongko said.

Towards midnight, they gathered at the meeting place


before. They walked to the village next to the village of La
Tongko-tongko. In the village there is a house that was located
164

remote and far from other homes. The house was occupied by
two women and an old man. But this afternoon the old man
died and the two women were lazy to bury his body.

"Just put the body into a sack and fill it with broken glass.
If there is a thief passing, he will take it, "said the older woman.
"Go to the veranda Tongko, I see a sack there. You shake it; if it
sounds bring the sack here" said the thief.

Without thinking, La Tongko-tongko climbed onto the


porch and shook the sack. When it was shaken, the sack
sounds noisy like a ringgit. La Tongko-tongko then handed
over the sack. Because the thief did not intend to share the
property with La Tongko-tongko, he then told him to return to
the veranda of the house to keep the occupants of the house.
From inside the house, La Tongko-tongko hears the
conversation from the homeowner.

"The dead person we put in the sack has been taken by the
thief," the woman whispered. "Hey, throw the sack, it is not
ringgit but the dead" La Tongko-tongko shouted.

Hearing La Tongko-tongko's shouted, the thief ran even


louder. He thought La Tongko-tongko said, "hurry up, run, we
have dead, we have dead!" Seeing the thief getting faster and
faster, La Tongko-tongko accelerated his run.
165

They chased each other until finally everyone felt tired.


The thief then sat on the side of the road while waiting for the
arrival of La Tongko-tongko.

“Why do you always run away?" La Tongko-tongko said.


"You say, hurry and run, we have dead, so I always run. "Which
people are chasing you?" Said the thief. "No one is chasing me.
I just said, throw the sack away. The contents are not money
but people die, "La Tongko-tongko said.

Thieves who don't believe in La Tongko-tongko's words


then open the sack, and it's true. The one inside the sack is not
money but the corpse of an old man mixed with broken glass.
Disappointed, the sack was thrown away at the side of the
road. "ok. We better separate ourselves. I always feel bad if I go
with you, "said the thief.

Finally the two men parted ways. The thief went west,
while La Tongko-tongko headed south and returned to his
house. Since then, they have not met again.
166
167

Bagian 12

Penakluk Rajawali

PADA ZAMAN DAHULU, ada seorang raja di Sulawesi Selatan


yang memiliki tujuh orang putri. Konon katanya jika memiliki
tujuh orang anak salah satunya harus dipersembahkan kepada
seorang rajawali raksasa agar istana terhindar dari mala
petaka. Mendengar hal tersebut, membuat sang raja sedih dan
memutuskan untuk membuka sayembara.

“Siapa saja yang berhasil menaklukkan rajawali, jika ia


laki-laki maka iya akan dinikahkan dengan salah satu putrinya.
Apabila ia perempuan, maka ia akan di angkat menjadi
anggota keluarga”.

Oleh karena itu, banyak warga yang berbondong-bondong


menyelamatkan putri kerajaan. Namun, tidak ada satu pun
yang mampu mengalahkan rajawali. Saat rajawali raksasa
mendekat dan memangsa sang putri tiba-tiba datang seorang
pemuda yang menyelamatkan dengan seutas tali dan badik. Ia
pun berhasil menikam dan membunuh rajawali. Sang putri
168

pun akhirnya selamat dan bisa kembali ke kerajaan dengan


perasaan lega dan tenang.

Sayangnya, pemuda itu


langsung pergi dan tidak
kunjung datang untuk
meminta upahnya. Oleh
karenanya raja pun
kemudian membuka
kembali sayembara untuk
menemukan penakluk
rajawali tersebut. Banyak sekali warga yang mengaku-ngaku
telah menyelamatkan sang putri. Untungnya sang putri
mengenali wajah laki-laki yang telah menyelamatkannya.

“Ayah itulah pemuda yang telah mengalahkan rajawali


raksasa, seru sang putri sambil menunjuk ke arah pemuda
yang berada di tengah arena lomba.”

Sang raja pun tersentak kaget, seakan-akan tidak percaya


apa yang sedang disaksikannya ternyata selain sakti pemuda
tersebut juga sangat mahir bermain sepak raga, sehingga
membuat sang raja sangat kagum kepada pemuda itu. Setelah
pemuda itu keluar dari arena lomba, sang raja pun memanggil
pemuda trersebut.
169

Raja pun bertanya, “mengapa kamu tidak datang ke


kerajaan untuk menagih janji atas keberhasilanmu
menyelamatkan anakku?” laki-laki itupun menjawab.

Sang putri lalu mengatakan kepada sang raja bahwa ia


telah menyukai laki-laki tersebut sejak awal bertemu. Pada
akhirnya, mereka pun hidup bersama dan bahagia selamanya.
170

Conqueror of Eagle

IN ANCIENT TIMES, there was a king in South Sulawesi who


had seven daughters. It is said that if you have seven children,
one of them must be offered to a giant eagle so that the palace
is protected from disaster. It made the king sad and decided to
open the contest.

“Whoever succeeds in conquering Eagle, if he is a male, he


will marry one of his daughters. If he is a woman, then he will
be adopted as a family member.

Therefore, many residents flocked to save the royal


princess. However, no one could defeat the eagle. When the
giant eagle approached and preyed on the princess suddenly a
young man came who saved with a rope and badik. He also
managed to stab and kill eagle. The princess finally survived
and was able to return to the kingdom with relief and calm.

Unfortunately, the young man immediately left and did not


come to ask for his salary. Therefore the king then re-opened
171

the contest to find the conqueror of the eagle. There were


many people who claim to have rescued the princess. Luckily
the princess recognized the face of the man who had saved her.

“Oo dad, that’s the young man who defeated the giant
eagle” exclaimed the princess while pointing to the young man
in the middle of the race arena.

The king was startled in surprise, as if he did not believe


what he was witnessing, it turned out that besides the magic
the young man was also very adept at playing soccer that made
the king very impressed with the young man. After the young
man left the arena, the king called the young man.

"Why did you not come to the kingdom to collect promises


for your success in saving my daughter?" said the king.

The princess then told the king that she had liked the man
from the first they met. In the end, they lived together and
happy forever.
172
173

Referensi

Buchori, S., & Fakhri, N. (2018). Nilai-Nilai Kedamaian dalam


Perspektif Suku Bugis dan Makassar. JOMSIGN: Journal
of Multicultural Studies in Guidance and Counseling, 2(1),
1-13. Retrieved from:
http://ejournal.upi.edu/index.php/JOMSIGN/article/view/1
0828
http://adindadindaa.blogspot.com/2012/01/cerita-rakyat-suku-
makassar.html diakses pada tanggal 20 April 2019.
http://agussiswoyo.com/cerita-rakyat/legenda-daeng-sinaroja-
jaka-cinde-dan-dewi-ratna-sari-dari-makassar/ diakses pada
tanggal 16 april 2019
http://agussiswoyo.com/sejarah-nusantara/cerita-rakyat-
sulawesi-selatan-dongeng-putri-tandampalik-dari-kerajaan-
luwu/ diakses pada tanggal 16 april 2019
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/118-
Lamadukelleng- diakses pada tanggal 20 April 2019.
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/147-sawerigading#
diakses pada tanggal 20 April 2019.
174

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/158-la-upediakses
pada tanggal 16 april 2019
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/1-sepak-bola-
binatang diakses pada tanggal 20 April 2019.
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/68-I-Laurang,
diakses tanggal 01 Juli 2019
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/90-Ambo-Upe-
Dan-Burung-Beo- diakses pada tanggal 16 april 2019
https://histori.id/kisah-la-tongko-tongko/ diakses pada tanggal
20 April 2019.
https://histori.id/kisah-nenek-pakande/ diakses pada tanggal 20
April 2019.
https://histori.id/kisah-penakluk-rajawali-dari-sulawesi-selatan/
diakses pada tanggal 20 April 2019.
Jemmain. (2001) Cerita Rakyat Bugis. Jakarta: Pusat Bahasa,
Depdiknas.
Maryanto, S. (2008). Cerita Rakyat Pelengkap IPS untuk SD.
Jakarta: Balai Pustaka.
Muthalib, H. A., & Yusran, M. (2003). Cerita Rakyat Daerah
Sulwesi Selatan 2. Jakarta: Grasindo.
Rahimsyah, M. B. (2007). Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Lengkap dari 33 Provinsi. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

You might also like