You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup karena memiliki fungsi yang
sangat penting antara lain sebagai pembawa oksigen, mekanisme pertahanan tubuh
terhadap infeksi dan mekanisme hemostasis dimana dapat menghentikan perdarahan secara
spontan. Namun pada beberapa keadaan darah tidak dapat menjalankan fingsinya secara
maksimal disebabkan oleh beberapa gangguan salah satunya yaitu pada keadaan Anemia.
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan
kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia berupa penurunan kuantitas
atau kualitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi, yang dapat disebabkan oleh gangguan
pembentukan sel darah merah, peningkatan kehilangan sel darah merah melalui perdarahan
kronik atau mendadak, atau lisis (destruksi) sel darah merah yang berlebihan (Elizabeth
Corwin,2002).
Salah satu jenis anamia yang diakibatkan oleh gangguan/ kegagalan produksi sel
darah merah adalah anemia Aplastik, sedangkan Menurut bentuk eritrositnya anemia
aplastik merupakan anemia normokromik normositer.
Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya
ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya
bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak
ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bis
adisebabkan oleh zat kimia beracun, virus tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan.
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6
kasus/ 1 juta penduduk/ tahun. Manifestasi anemia aplastik juga sangat beragam dimulai
dari kasus yang bersifat ringan hingga berat, dan juga sampai menimbulkan kematian. Oleh
sebab itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai anemia aplastik berupa etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, gambaran laboratorium dan diagnosis lain terkait anemia aplastik.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 1


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa definisi anemia dan jenis-jenis anemia ?

2. Apa definisi Anemia Aplastik dan klasifikasinya?

3. Bagaimana Epidemiologi, Etiologi, dan Patofisiologi Anemia aplastik?

4. Bagaimana Diagnosis dan Gambaran Laboratorik Anemia palstik?

5. Bagaimana Gejala klinik dan terapi Anemia aplastic?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu untuk :

1. Mengetahui definisi anemia secara umum dan Jenisnya

2. Mengetahui definisi Anemia aplastik dan klasifikasinya

3. Mengetahui bagaimana Epidemiologi, Etiologi, Patofisiologi, gambaran laboratorium


dan terapi anemia aplastic.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 2


Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Dan Klasifikasi Anemia

Definisi anemia
Anemia adalah Keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. (I Made
Bakta, 2007)
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas
hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah. (Price,
2006)
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen
darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel
darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada
banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999)
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit,
melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh
dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.
Anemia , dalam bahasa yunani tanpa darah adalah penyakit kurang darah yang
ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal.

Kriteria anemia
Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan batas hemoglobin
atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi anemia. Batas ini disebut sebagai cut off
point (titik Pemilah), yang sangat dipengaruhi oleh: umur, jenis kelamin, ketinggian tempat
tinggal dari permukaan laut, dan lain-lain
Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968. Dinyatakan
anemia bila:
 Laki-laki dewasa: hemoglobin < 13 g/dl
 Perempuan dewasa tak hamil: hemoglobin < 12 g/dl
 Perempuan hamil: hemoglobin < 11 g/dl

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 4


 Anak umur 6 -14 tahun: hemoglobin < 12 g/dl
 Anak umur 6 bulan - 6 tahun: hemoglobin < 11 g/dl

Kriteria Klinik anemia


Alasan praktis kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) untuk
Indonesia pada umumnya adalah:
1. Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30%
3. Eritrosit < 2,8 juta/mm
Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan work up anemia jika
kita memakai kriteria WHO.

Klasifikasi Anemia
Anemia dapat di klasisifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut
manakita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut.
Kalsifikasi yang paling sering dipakai adalah:

A. Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis: (Bakta, 2009)


1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
 Anemia defisiensi besi
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
 Anemia akibat penyakit kronik
 Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
 Anemia aplastik
 Anemia mieloptisik
 Anemia pada keganasan hematologi
 Anemia diseritropoietik
 Anemia pada sindrom mielodisplastik

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 5


2. Anemia akibat perdarahan
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Anemia karena hemolitik/ peningkatan dekstruksi Eritrosit
a. Anemia hemolitik intrakorpuskular
 Gangguan membran eritrosit (membranopati)
 Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat def G6PD
 Gangguan hemoglobin :Thalasemia, Hemoglobinopati struktural
b. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
 Anemia hemolitik autoimun
 Anemia hemolitik mikroangiopatik

B. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta, 2009)


A. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
C. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom mielodisplastik

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 6


2.2 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu keadaan berkurangnya sel-sel darah pada darah tepi
(pansitopenia), sehubungan dengan terhentinya pembentukan/ tidak terbentuknya sel
hematopoetik di dalam sum-sum tulang (aplasia).
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum
tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia
pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk
aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat
hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik.
Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat anemia,
granulositopenia, dan trombositopenia.
Anemia Aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di Negara maju:
3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastic di timur jauh mempunyai
pola yang berbeda dengan di negara barat.
 Di Negara timur (Asia Tenggara dan Cina) Insidennya 2-3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan di Negara barat
 Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita
 Faktor lingkungan, seperti infeksi virus, antara lain virus hepatitis diduga memegang
peranan penting.

2.3 Etiologi Anemia aplastik


Penyebab anemia aplastic sebagian besar (50-70%) tidak diketahui atau bersifat
idiopatik. Masih belum terdapat bukti yang sangat jelas mengapa seseorang dapat diduga
secara potensial menderita keracunan sumsum tulang berat dan sering terdapat kasus cedera
sumsum tulang yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, penyebab pasti seseorang
menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan dengan pasti. Namun terdapat
beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor yang menimbulkan anemia aplastik.
Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu :
Anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia); familial (inherited); idiopathic (tidak
diketahui).
Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer (kongenital, idiopatik) dan
sekunder (radiasi, obat, penyebab lain).

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 7


2.4 Klasifikasi Anemia Aplastik

Berdasarkan Etiologinya, anemia aplastic dapat dbedakan menjadi:


A. Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia) dikarenakan:
1. Bahan Kimia
 Benzene merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia aplastik.
Meskipun diketahui sebagai penyebab dan sering digunakan dalam bahan kimia
pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak. Selain
penyebab keracunan sumsum tulang, benzene juga menyebabkan abnormalitas
hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum, metaplasia
mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzene dapat meracuni tubuh dengan
cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzene juga
dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil.
Terdapat juga hubungan antara pengguanaan insektisida menggunakan benzene
dengan anemia aplastik.
 Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah banyaknya kasus anemia
aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus dalam literatur.
 DDT(chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering digunakan dalam
insektisida.
 Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang digunakan pada perang dunia pertama
dan kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik fatal.
Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui kulit. Kasus serupa juga
diamati pada pekerja pabrik mesia di Great Britain dari tahun 1940 sampai 1946.
2. Obat-obatan
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu
mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia aplastik.
Hubungan yang jelas antara penggunaan obat tertentu dengan masalah kegagalan
sumsum tulang masih dijumpai dalam kasus yang jarang. Hal ini disebabkan oleh dari
beberapa interpretasi laporan kasus dirancukan dengan kombinasi dalam pemakaian
obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi fungsi sumsum tulang apabila
menggunakan obat dalam dosis tinggi serta tingkat keracunan tidak mempengaruhi
organ lain. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab anemia aplastik yaitu obat
dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat dose independent (kloramfenikol,
fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid).

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 8


3. Radiasi
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi lokal
dikaitkan dengan meningkat lambat dalam perkembangan anemia aplastik dan akut
leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena akan
menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia aplastik
kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi dengan perkembangan aplasia
sumsum tulang dan sindrom pencernaan. Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat
dirusak oleh: (a) secara langsung oleh jumlah besar energi sinar yang dapat
memutuskan ikatan kovalen; atau (b) secara tidak langsung melalui interaksi dengan
serangan tingkat tinggi dan molekul kecil reaktif yang dihasilkan dari ionisasi atau
radikal bebas yang terjadi pada larutan. Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif
sangat sensitif dengan hampir segala bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang
kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energy tingkat tinggi sinar , yang dimana dapat
menembus rongga perut. Kedua, dengan menyerap partikel dan (tingkat energi
yang rendah membakar tetapi tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang
mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat menimbulkan anemia aplastic.
4. Virus
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum tulang
manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti parvovirus, herpesvirus,
flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastic.
5. Penyebab lain
Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia aplastik berat,
namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan bahwa anemia aplastik terjadi
tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Terkadang anemia aplastik
juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik lupus erythematosus. Selain itu
terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan berkaitan dengan anemia
aplastik, namun kedua hubungan ini masih belum jelas.

B. Anemia Aplastik Familia (Inherited Aplastic Anemia)


Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik antara lain
pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan gangguan
herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 9


2.5 Patofisiologi Anemia Aplastik
Ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik:
A. Kerusakan pada sel induk pluripoten
Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi induk pluripoten yang mengalami
gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel darah yang baru. Umumnya
hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya
yang menurun. Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang
disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi sumsum tulang.
B. Kerusakan pada microenvironment
Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral penghambat pertumbuhan
sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang untuk berkembang.
Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan sekitar sel induk
pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan sel tersebut menjadi sel-sel
darah. Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan pertumbuhan sel.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan
sel-sel sumsum tulang.
Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia aplastik adalah
gangguan pada sel induk pluri poten Pansitopenia dalam anemia aplastik
menggambarkan kegagalan proses hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan
drastis jumlah sel primitif hematopoetik.
Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang. Mekanisme pertama
adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzene, obat, atau
radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak bergerak. Mekanisme
kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun sebagai
penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum
tulang setelah graft versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis.
Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat yang
berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci
melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai
faktor penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi
hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon dan tumor nekrosis factor .
Efek dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 10


menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat
memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel
batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari
pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel induk
hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan hematopoetik
dengan jumlah normal atau meningkat.

2.6 Gejala Dan Tanda Klinik


Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama yaitu, anemia,
trombositopenia, dan leukopenia. Ketiga gejala ini disertai dengan gejala-gejala lain yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah
 Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa dll.
 Leukopenia ataupun granulositopenia, misalnya: infeksi.
Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat ditemukan pada penderita
anemia aplastic ini meski sangat jarang terjadi.
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau perlahan-lahan, tersembunyi
dan berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga
menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas
badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan
dari neutropenia. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik
merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada
gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat
atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam
jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet kurang
dari 10.000/l (10 109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk
pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau
trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia
aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif seperti
leukemia atau limpoma.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 11


2.7 Kelainan Laboratorium
A. Penemuan pada Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi.
Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis(Widjanarko, 2007).
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat
pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit
kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang
dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.(Solander, 2006)
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit
bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic
anemia).
Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang
berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik
trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan
berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia
aplastik dapat ditegakkan.(Aghe,2009)
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang
dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin
F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastic
konstitusional.Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis,
termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid.
Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi (Solander,2006).

Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam.


Tampak anemia normokromik normositer, Anemia diasosiasikan dengan indeks
retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau
bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 12


tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari
klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah
(leukopenia), hitung jenis menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil.
Platelet juga mengalami pengurangan (trombositopenia), tetapi fungsinya masih
normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi
serum normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal, HbF
meningkat.

B. Penemuan pada Sumsum Tulang


Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah
yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma,
makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan
selsel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada
kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler
atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah(Solander,2006).
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran
hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis
(misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area
fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi
dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis (Aghe,2009).
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan
ruang lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan
sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan
sel lain dari pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat sudah didefinisikan
oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai sumsum tulang kurang dari 25
persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen sel
hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang dari 500/l (0.5
109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/l (20 109/liter), dan anemia
dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan in vitro
menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony Forming
Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst Forming Unit-

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 13


Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda pengurangan
dalam sel primitif.

Gambar 1. Gambar 2.
Spesimen sumsum tulang dengan biopsy dari Spesimen sumsum tulang dengan biopsi
pasien normal dari pasien anemia aplastik

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 14


C. Penemuan Radiologi
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk
membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik morpologi dan
mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia aplastik.
D. Penemuan pada Plasma dan Urin
Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang
meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating. Serum
besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan
dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.

2.8 Diagnosis Laboratorium


Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik adalah
pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi
atau supresi pada sumsum tulang. Anemia aplastik dapat digolongkan menjadi ringan,
sedang, dan berat berdasarkan tingkat keparahan pansitopenia.
Menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG)
kriteria diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai:
1. satu dari tiga uji sebagai berikut :
a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dl atau hematokrit kurang dari 30%;
b. Trombosit kurang dari 50 x 109/L;
c. Leukosit kurang dari 3.5 x 109/L, atau neutrofil kurang dari 1.5 x 109/L.
2. Retikulosit < 30 x 109/L (<1%),
3. Gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) :
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik
atau selularitas normal oleh hyperplasia eritroid lokal dengan deplesi segi
granulosit dan megakarosit; dan
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
4. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia


aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan
diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al. Tergolong

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 15


anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut : paling
sedikit dua dari tiga :
a. Granulosit < 0.5 x109/L;
b. Trombosit < 20 x 109/L ;
c. Corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum tulang < 25% atau selularitas <50%
dengan <30% sel-sel hematopoetik.
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil < 0.2 x 10 9/L. Anemia aplastic
yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve
aplastic anemia).
Diagnosis Banding
Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan penyakit.
Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar sering dapat
mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan hal yang lebih susah
dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat diperlukan. Penyebab dari
pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang meliputi Fanconi’s
anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN), myelodysplastic syndrome (MDS),
myelofibrosis, aleukemic leukemia, agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut ini
merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai penyakit-penyakit tersebut.
Fanconi’s anemia. Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana
merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan sekitar 10% dari pasien dan terlihat
pada masa anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi pada kulit,
mikrosefali, hipoplasia pada ibu jari atau jari lainnya, abnormalitas pada saluran urogenital,
dan cacat mental. Fanconi’s anemia dipertegas dengan cara analisis sitogenetik pada
limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan patahnya kromosom setelah dibiakkan
menggunakan zat kimia yang meningkatkan penekanan kromosom (seperti diepoxybutane
atau mitomycin C).
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. PNH adalah sebuah kerusakan yang
didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang disebabkan oleh hemolysis
intravaskular dan dimanifestasikan dengan hemoglobinuria yang bersifat sementara dan
life-threatening venous thromboses. Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan
eritrosis yang menghambat lisis reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap hemolisis.
Kira-kira 10% sampai 30% pada pasien anemia aplastik mengalami PNH pada rangkaian
klinis nantinya. Ini menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 16


PHN dapat mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan
menunjukkan pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan cara aliran
sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan seperti tes hemolysis
sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.
Myelodiysplastic Sindrome. MDSs adalah sebuah kumpulan dari kerusakan sel
batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi dan maturasi abnormal sumsum
tulang, dimana dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dengan peripheral sitopenias,
disfungsional elemen darah, dan memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang pada
MDS memiliki tipe hiperselular atau normoselular, walaupun hiposelular biasanya juga
ditemukan. Sangat penting membedakan hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena
diagnosis yang ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.
Idiopathic Myelofibrosis. Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis adalah
hematopoesis ekstramedulari menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien.
Biopsi spesimen sumsum tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis
kolagen, dengan megakariosit yang mencolok.
Aleukemic Leukemia. Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi yang jarang
yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah tepi pasien leukemia, terjadi kurang
dari 10% dari seluruh pasien leukemi dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau
pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan produksi
eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan
normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.
Agranulocytosis. Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang mempengaruhi
produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit.

2.9 Penanganan AnemiaAplastik


Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan
segera. Obatobatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu
perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien dengan
anemia aplastic mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik,
seperti globulin antithymocyte (ATG).

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 17


Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu
terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi
ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas
pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang.
Berikut ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.
A. Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat
dikoreksi.

B. Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.
Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene
mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat.
Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang dapat
mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penicillin
semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin
generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil dengan tes sensitifitas
antibiotika. Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun maka pikirkan pada infeksi jamur.
Disarankan untuk memberikan ampotericin-B atau flukonasol parenteral,
Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika
adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.
Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau (PRC)
jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat
simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal, karena akan
menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk
transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.
Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat trombosit
jika terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm 3. Pemberian
trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi
anti-trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 18


C. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum
tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12
minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati.
Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah belum
jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada
respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF) atau
Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat diberikan untuk
meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah
D. Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.
Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu Terapi
imunosupresif dan Transplantasi sumsum tulang.
Terapi imunosupresif. Terapi ini merupakan lini pertama dalam pilihan terapi
definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan donor yang cocok.
Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte globulin (ALG)
atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologi. ALG mungkin
juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic growth factor sekitar 40%-
70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun sebagian respon bersifat tidak
komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan
utama untuk penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi
imunosupresif lain : pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A
dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan
konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid
dosis tinggi.
Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi
definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang kompatibel
sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik berat.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 19


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40
tahun, diberikan siklosforin-A untuk mengatasi graft versus host disease (GvHD),
transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60%-70%
kasus, dengan kesembuhan komplit. Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok
dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih
muda dari 40 tahun yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya.

BAB III
KESIMPULAN

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya
ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk
kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada
hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak.
Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tidak spesifik dan berbahaya, yang disertai
dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa
lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa
kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia.
Penemuan laboratorium juga dapat mempertegas diagnosis anemia aplastik antara lain
penemuan pada darah (hapusan darah tepi dan darah lengkap), sumsum tulang, radiologi urin
dan plasma darah.
Tedapat beberapa terapi untuk mengatasi anemia aplastik. Secara garis besarnya terapi
untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu: terapi kausal; terapi suportif; terapi untuk
memperbaiki fungsi sumsum tulang; serta terapi definitif.

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 20


DAFTAR PUSTAKA

1. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps TJ.
Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.

2. Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik Ringkas.
Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.

3. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment. [serial


online]1999;70:46-52. Avaiable from:
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi/reprint/103/11/46. Accessed Oktober, 2017

4. Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In: Handin RI,
Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of Hematology. 2nd ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.

5. Bakhshi S. Aplastic Anemia. Avaiable from :


http://emedicine.medscape.com/article/198759. Accessed Oktober, 2017.

6. Widjanarko A. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.

7. Aghe NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes.
In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed.
New York: McGraw Hill, 2009:617-25.

8. Salonder H. Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia


Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/

Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 21

You might also like