You are on page 1of 10

Makalah Falsafah Hukum Islam

Ijma’
Hudan Lil Muttaqien
Falsafah Agama Universitas Paramadina

Makalah ini diajukan untuk memenuhi nilai UTS


Pendahuluan

Latar Belakang

Dari sekian banyak tema yang dibahas dalam pembelajaran hukum islam,
pembahasan tentang Ijma’ selalu relevan untuk dipahami dan dikaji ulang. Melihat statusnya
sebagai salah satu dari empat sumber hukum islam, Ijma’ menjadi objek vital dalam
pembelajaran dasar hukum islam. Dalam hubungannya dengan sumber hukum islam yang
lain, Ijma’ memantapkan posisinya sebagai sumber hukum islam ketiga setelah al-Qur’an dan
Sunnah Nabi, dan sebelum Qiyas. Hubungan timbal-balik antara Ijma’ dengan sumber hukum
islam yang lain pun menarik untuk dikaji ulang.

Dengan menggunakan kajian pustaka, tema Ijma’ ini bisa dipelajari secara lebih luas
untuk pemahaman pembelajaran hukum islam yang lebih dalam. Ada beberapa teks
pembahasan Ijma’ yang terpisah yang jika dihimpun dan dikaji seksama, maka akan
memunculkan pandangan yang lebih luas terkait pembahasan ini. Pandangan yang luas
tetntang Ijma’ ini bisa membantu kita melihat Ijma’ secara lebih objektif.

Makalah ini dibuat dengan tujuan mengkaji ulang dan menyusun kembali pemahaman
etntang Ijma’. Disamping menggugurkan kewajiban dalam memenuhi tugas yang diberikan
dosen, makalah ini dibuat dengan semangat seorang pembelajar dalam membagikan ilmu
yang didapatnya. Sehingga nantinya makalah tidak hanya berakhir menjadi nilai IPK tetapi
juga menghasilkan kebermanfaatan bagi siapapun yang membaca dan mengambil ilmunya.

Rumusan Masalah

1. Apa itu Ijma’?


2. Apa hubungan Ijma’ dengan sumber hukum islam yang lain?

Tujuan

1. Mengetahui apa itu Ijma’?


2. Mengetahui hubungan Ijma’ dengan dumber hukum islam yang lain
Pembahasan

Pengertian Ijma’

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yag memiliki tingkat kekuatan argumentatif setara
dengan dalil nash (Qur’an & Sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah Qur’an dan
Sunnah yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.1 Ijma’ secara
bahasa berarti-sepakat,-setuju,-dan-sependapat.2 Secara istilah Ijma’ dapat diartikan
kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah Saw atas suatu hukum syara’. 3

Beberapa pakar memberikan pendapatnya mengenai definisi Ijma’: menurut Abdul


Wahhab Khallaf, Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu
masa atas kewafatan Rasulullah SAW atas hukum syar’i mengenaiu suatu kejadian/kasus.4
Ibnu Taimiyah berpendapat, Ijma’ adalah berkumpul-segala-ulama-atas-suatu hukum. Apabila
telah tsabit Ijma’ ummat (mujtahidin) atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi seorangpun
untuk keluar dari Ijma’ itu, karena ummat itu (mujtahidin) tidaklah bersepakat dalam
kesesatan.5 Imam Al-Ghazali pun berpendapat tentang definisi Ijma’. Menurutnya, Ijma’
adalah “kesepakatan umat Muhammad secara atas suatu urusan agama.

Dari pendapat-pendapat diatas mengenai definisi Ijma’, dapat disimpulkan bahwa


pendapat-pendapat tersebut intinya adalah:

1. Ijma’ terjadi ketika ada kesepakatan di antara para mujtahid.


2. Adanya suatu kasus atau peristiwa menyangkut permasalahan syar’i yang
ketentuannya tidak dijelaskan dalam dalil nash yang qoth’i
3. Terjadi pada masa tertentu

Maka itu, Ijma’ dianggap tidak sah, jikalau:

1. Ada ketidaksetujuan
2. Hanya ada seorang mujtahid
3. Tidak ada kebulatan suara yang nyata
4. Sudah jelas permasalahannya di dalam dalil nash. 6

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa yang berhak mendapat gelar mujtahid
dan bisa menetapkan Ijma’ itu? Apakah setiap orang muslim serta merta bisa menjadi
mujtahid?

Persoalan ini tentu memiliki pendapat yang variatif tergantung dari perspektif mana
dan siapa kita menjawabnya. Mazhab Syi’ah berpendapat bahwa para imam dan para ulama
dari kalangan mereka yang yang berhak untuk menetapkan Ijma’. Mazhab Maliki
berpendapat bahwa kesepakatan sudah dapat dikatakan Ijma’, walaupun sebatas kesepakatan
penduduk Madinah. Sementara itu mayoritas/jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma’ yang

1
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) hal. 307
2
Abdul Aziz, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Bineka Cipta, 1995) hal. 28
3
Wahbah Az Zuhaili, Ushul Fiqih Islami, (Beirut: Dar El Fikri, 1986) hal. 490
4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Press, 1994) hal. 64
5
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) hal. 203
6
Zakaria Syafe’i, 1997, Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-Qalam, hal. 29
dapat dijadikan argumentasi adalah Ijma’ ulama jumhur. 7 Hemat penulis, mujtahid begitu saja
bisa dimiliki orang muslim secara acak. Ada kompetensi tertentu yang menyebabkan seorang
muslim berhak menetapkan Ijma’ dan menyandang status mujtahid. Muhammad Abu Zahrah
mengemukakan dalam kitabnya bahwa syarat-syarat mujtahid antara lain:

1. Menguasai ilmu bahasa Arab.


2. Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan pengetahuan tentang nasikh mansukh
3. Memiliki pengetahuan tentang As Sunnah
4. Mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati dan yang masih diperselisihkan
5. Mengetahui tentang Qiyas
6. Mengetahui bahwa tujuan ditetapkannya hukum adalah untuk kemaslahatan
7. Paham ilmu mantiq
8. Niat dan itikadnya semata-mata karena Allah dan menegakkan agama yang benar 8

Mengenai kriteria mujtahid, Imam Syafi’i mengatakan dalam kitab Jima’ul Ilmi
sebagai berikut: “Ulama yang Ijma’nya dapat dijadikan hujjah adalah orang-orang yang
diakui oleh penduduk suatu negara sebagai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima
oleh penduduk tersebut dengan senang hati”. 9

Kemudian di bagian yang lain, Abu Zahrah mengatakan bahwa pendapat seorang
mujtahid di suatu tempat tidak menutup kemungkinan timbulnya kritik dan penolakan dari
sebagian penduduk di tempat tersebut. setiap pendapat ulama pasti memiliki cacat yang
menjadi bahan kritik bagi ulama lain senegaranya. 10

Terlepas dari kepemilikan status mujtahid selaku orang yang yang berhak menetapkan
Ijma’, suatu hukum dapat ditetapkan berdasarkan Ijma’, dan kehujjahannya dapat dipandang
sah, manakala Ijma’ itu telah memenuhi rukun-rukunnya. Dan rukun-rukun Ijma’ itu ialah
sebagai berikut:

Pertama, pada saat terjadinya suatu kasus/peristiwa (yang membutuhkan ketetapan


hukum), mujtahid yang menetapkan hukum jumlahnya lebih dari seorang. Seluruh pendapat
yang ada setuju pada ketetapan yang dibuat. Artinya jika hanya seorang mujtahid saja yang
mengambil keputusan, maka hal itu tidak bisa disebut Ijma’.

Kedua, kesepakatan ulama atas suatu hukum tersebut dapat direalisasikan. Terjadinya
kesepakatan sebagian besar ulama tidaklah berarti Ijma’ itu terjadi.

Ketiga, adanya kesepakatan semua mujtahid umat islam atas suatu hukum syar’i
tentang suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka,
kebangsaannya atau kelompoknya. Maka jika ada kesepakatan ulama Mekah saja atau
Madinah saja, atau Irak saja, maka tidaklah dikatakan Ijma’ menurut syara’.

Keempat, adanya kesepakatan mereka (mujtahid) itu dengan menampilkan pendapat


masing-masing secara transparan dan jelas mengenai suatu kejadian, baik dalam bentuk
ucapan misalnya dengan memberi fatwa, atau dalam bentuk perbuatan.11

7
Az Zuhaili, Op. Cit., hal. 539
8
Zahrah, Op. Cit.
9
Ibid, hal. 310
10
Ibid, hal. 311
11
Az Zuhaili, Op. Cit., hal. 537
Dalil yang sering dipakai sebagai pembelaan tentang bukti kehujjahan Ijma’ adalah:
Pertama, dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 yang di ayat tersebut Allah memerintahkan
untuk menaati Ulil Amri. Ulil Amri duniawi adalah para raja, pemimpin, dan penguasa. Ulil
Amri agamawi adalah para mujtahid atau ahli fatwa agama. Ibnu Abbas menafsiri Ulil Amri
dengan ulama.12 Artinya ayat tersebut menjelaskan wajibnya mematuhi hukum yang
disepakati oleh seluruh ulama mujtahid dan Ijma’ memiliki kekuatan hukum. Redaksi ayatnya
adalah sebagai berikut:

‫يا أيها الذين آمنوا أطيعوا هللا و أطيعوا الرسول و اول األمر منكم فإن‬
‫تنازعتم شي ء فردوه إلى هللا والرسول ان كنتم تؤمنون باهلل واليوم اآلخر‬
)٥٩( ‫ذالك خير و أحسن تأويال‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul serta Ulil Amri
diantara kamu. Maka jika kalian berselilisih atas sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih
utama dan baik akibatnya”. (Q.S An-Nisa: 59)13

Dalil kedua yang seringkali dijadikan sebagai bukti kehujjahan Ijma’ yaitu hadis nabi
yang berikut:

‫ال تجتمع أمتي على الخطاء‬


Artinya: “Ummatku tidak akan bersepakat atas kesesatan”. (HR. Ibnu Majah)

‫ما رأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬


Artinya: “Sesuatu yang baik menurut kaum muslim, maka ia baik di sisi Allah” (HR.
Ahmad)14

Dalil-dalil di atas itulah yang sering dijadikan pembelaan terhadap bukti kehujjahan
Ijma’. Meskipun begitu, secara realitas sekarang terjadinya Ijma’ memunculkan banyak
penolakan dikarenakan definisi dan rukun dari Ijma’ itu sendiri yang dirasa terlalu sulit untuk
dipenuhi dan direalisasikan. Pembahasan tentang hal itu penulis sajikan di bab setelah ini.

12
Ibid
13
Al-Qur’an
14
Az Zuhaili, Op. Cit., hal. 542-543
Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam

Menurut Zakaria Syafe’i dalam jurnalnya, jika rukun-rukun Ijma’ sebagaimana yang
sudah disebutkan diatas terealisir, maka hukum yang disepakati itu menjadi hukum syara’
yang harus diikuti dan tidak boleh ditentang. Ia adalah hujjah atau dalil dalam pembinaan
hukum islam. bagi mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan keputusan tersebut sebagai
objek ijtihadnya, karena hukum yang telah ditetapkan mengenai suatu kasus dengan Ijma’
adalah hukum syara’ secara pasti, tidak ada jalan untuk menentangnya atau menghapusnya. 15

Namun demikian, merealisasikan rukun-rukun Ijma’ sebagaimana yang sudah


diuraikan diatas nampaknya sulit sekali. Jika Ijma’ didefinisikan dengan “kesepakatan para
mujtahid dalam setiap masa terhadap hukum syara”, maka Ijma’ tidak akan terjadi
dikarenakan para mujtahid berdomisili di berbagai negara yang berbeda yang tidak mungkin
semua dipertemukan dalam satu tempat. 16

Imam Syafi’i cenderung menolak kemungkinan terjadinya Ijma’ dengan alasan-alasan


sebagai berikut:

1. Para fuqaha berdomisili di tempat yang berjauhan, sehingga tidak mungkin mereka
dipertemukan.
2. Pasti terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha yang tersebar di berbagai
tempat yang berjauhan.
3. Tidak ada kesepakatan para ulama tentang orang-orang yang diterima Ijma’nya.
4. Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang kriteria orang yang berhak untuk
berpendapat dalam masalah fiqih.

Meskipun Imam Syafi’i cenderung menolak kemungkinan terjadinya Ijma’, dalam


kitab Ar-Risalah dia menetapkan bahwa Ijma’ dapat terjadi dalam masalah-masalah yang
diperdebatkan. 17

Namun demikian jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma’ bisa terjadi menurut adat
(kebiasaan). Mereka berkata: Sesungguhnya pendapat yang dinyatakan penentang terjadinya
Ijma’ merupakan hal yang nyata. Sekalipun dikemukakan dalil atas kemungkinan terjadinya.
Contoh Ijma’ menurut mereka adalah diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah, leharaman
lemak babi, bagian warisan seperenam perempuan, tertutupnya cucu laki-laki dari pewarisan
karena adanya anak laki-laki, dan lain sebagainya dari hukum-hukum juz’iyah dan kulliyah.18

Abdul Wahhab Khalaf menyatakan pendapatnya bahwa Ijma’ tidak akan terwujud
secara adat tanpa adanya campur tangan dari pemerintah islam. artinya setiap pemerintah
islam bisa menentukan syarat-syarat seorang mujtahid. 19 Dan hukum yang telah disepakati
menjad hukum syara’ yang harus diikuti oleh umat islam seluruhnya. Adapun Ijma’ secara
realitas sekarang tidak akan terjadi, yang ada hanyalah kespakatan para ilmuwan atau hukum
yang dihasilkan dari musyawarah.

15
Syafe’i, Op. Cit., hal. 31
16
Syafe’i, Op. Cit., hal. 32
17
Zahrah, Op. Cit., hal. 311-312
18
Khalaf, Op. Cit., hal. 72
19
Ibid
Maka itu pada hakikatnya benarlah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada Ijma’
yang disepakati oleh semua ulama. Ulama kontemporer (Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf,
Khudar Beik) berpendapat Ijma’ yang mungkin terjadi adalah pada masa sahabat. Adapun
Ijma’ yang terjadi di masa sesudahnya tidak mungkin terjadi karena luas nya wilayah islam
dan tidak memungkinkan untuk mengumpulkan semua mujtahid dalam satu tempat.

Adapun Ijma’ ditinjau dari bentuk kesepakatannya ada dua macam, yaitu:

1. Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan mujtahid pada suatu masa mengenai hukum atas suatu
kasus yang para mujtahid tersebut dengan jelas menyatakan pendapatnya baik dengan
fatwa atau menampilkan dalam laku tingkahnya. 20 Ijma’ ini termasuk kategori haqiqi,
Ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut ulama jumhur.21
2. Ijma’ Sukuti, yaitu kesepakatan mujtahid pada suatu masa mengenai hukum syara’
atas suatu kasus yang mana sebagian dari para mujtahid tersebut menyatakan
pendapatnya dengan jelas baik melalui fatwa atau praktik secara langsung. Sedangkan
sebagian mujtahid yang lain dalam kurun zaman yang sama tidak menunjukan
persetujuannya pada hukum tersebut, namun tidak pula menentangnya. 22

Selain dilihat dari bentuk kesepakatannya, ada pula pengklasifikasian Ijma’ menurut
jumlah mujtahid yang membuat kesepakatan. Macam-mamnya adalah sebagai berikut:

1. Ijma’ Sahabat.
2. Ijma’ Khalifah yang Empat.
3. Ijma’ Abu Bakar dan Umar.
4. Ijma’ Ulama Madinah.
5. Ijma’ Ulama Kufah dan Bashrah.
6. Ijma’ Itrah (ahlu bait/golongan Syi’ah) 23

20
Abdul Hayat, 2011, Kehujjahan Ijma sebagai Dasar Hukum Fiqh Islam, STAI Darussalam, Martapura, hal. 28
21
Syafe’i, Op. Cit., hal. 34
22
Hayat, Op. Cit.
23
A. Hanafi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Wijaya, 1986), hal. 125-126
Ijma’ dan Hubungannya Dengan Sumber Hukum Islam Yang Lain

Sebagaimana yang sudah kita ketahui, Ijma’ adalah salah satu dari sumber-sumber
hukum Islam. Ia adalah metode penetapan hukum yang melibatkan banyak ulama untuk
memastikan validitas, akurasi, dan kekuatan dari suatu hukum. Teori Ijma’ bertitik tolak dari
kristalisasi ajaran Islam tentang permusyawaratan dan persatuan umat serta mengakui
infalibilitas konsensus ulama.

Sebagai salah satu dari sumber hukum Islam, Ijma’ memantapkan posisinya sebagai
sumber ketiga setelah Qur’an dan Sunnah, dan sebelum Qiyas. Membicarakan Ijma’ sebagai
sumber hukum Islam mau tak mau pasti membicarakan sumber hukum Islam yang lain.
Namun Fazlur Rahman dalam bukunya Islam pun mengakui kebingungannya akan hubungan
timbal-balik antara keempat prinsip atau sumber hukum tersebut. Mengatasi hal tersebut,
beliau menggunakan skema analisis four causes (empat sebab) dari Aristoteles sebagai
analogi untuk dapat menjelaskan hubungan antara keempat sumber hukum Islam.

Menurut analogi ini, Qur’an dan Sunnah adalah prinsip-prinsip materil atau sumber-
sumber yang menjadi komposisi dasar terbentuknya suatu hukum. Kegiatan penalararn
analogis atau Qiyas, adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip pertama atau efficient cause.
Artinya dengan Qiyas sebagai instrumen hukum atas suatu persoalan yang tidak jelas
ketetapannya bisa dibentuk dengan ‘illat (alasan) dari sumber/dalil yang jelas. Dan Ijma’
adalah prinsip formal. 24 Artinya Ijma’ bisa dikatakan sebagai desain atau bentuk atau pola
atau struktur yang menentukan hukum tersebut. Untuk melengkapi gambaran skema
Aristoteles ini, maka tujuan dari struktur tersebut adalah untuk memungkinkan manusia dapat
hidup di bawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendak-Nya. 25

24
Fazlur Rahman, Islam, (Karachi: 1966) hal. 68
25
Ibid
Kesimpulan

Ijma’ secara bahasa bisa berarti konsensus, persetujuan, kebulatan suara. Secara istilah
Ijma’ dapat diartikan kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah Saw atas suatu hukum syara’.

Ijma memiliki rukun dan masih mungkin untuk dilakukan jika terdapat beberapa
faktor pendukung. Namun demikian umumnya sulit untuk diwujudkan, kecuali ijma' sahabat
yang para fuqoha tidak meragukannya lagi. Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma’ bisa
terjadi menurut adat (kebiasaan).

Rukun-rukun Ijma’ adalah:

1. Pada saat terjadinya suatu kasus/peristiwa (yang membutuhkan ketetapan hukum),


mujtahid yang menetapkan hukum jumlahnya lebih dari seorang.
2. Kesepakatan ulama atas suatu hukum tersebut dapat direalisasikan.
3. Adanya kesepakatan semua mujtahid umat islam atas suatu hukum syar’i tentang
suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka,
kebangsaannya atau kelompoknya.
4. Adanya kesepakatan mereka (mujtahid) itu dengan menampilkan pendapat masing-
masing secara transparan dan jelas mengenai suatu kejadian, baik dalam bentuk
ucapan misalnya dengan memberi fatwa, atau dalam bentuk perbuatan.

Dari uraian tentang Ijma' di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sebagian
besar ulama sepakat, Ijma' merupakan salah satu dari empat sumber hukum Islam dan sumber
hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur'an dan Sunnah.
Daftar Pustaka

1. Zahroh, Abu Muhammad. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.


2. Aziz, Abdul. 1995. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Bineka Cipta.
3. Az Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Fiqih Islami. Beirut: Dar El Fikri.
4. Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Press
5. Ash Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
6. Syafe’i, Zakaria. 2018. Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam. Al Qalam.
7. Hayat, Abdul. 2011. Kehujjahan Ijma sebagai Dasar Hukum Fiqh Islam. Martapura:
STAI Darussalam
8. Rahman, Fazlur. 1966. Islam. Karachi.

You might also like