You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lahirnya kebijakan fiskal dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor. Fiskal adalah salah satu bagian atau instrumen ekonomi publik.
Kebijakan fiskal secara tradisional bisa disebut juga keuangan publik,
merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan
dan pembayaran dari sumber-sumber untuk memenuhi fungsi-fungsi
pemerintah. Penghasilan dan pembiayaan otoritas publik dan administrasi
keuangan.
Di dalam sejarah Islam, keuangan publik berkembang bersamaan
dengan pengembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara Islam
oleh Rasulullah SAW, kemudian diteruskan oleh para sahabat (Khulafaur
Rassyidin). Kendatipun, sebelumnya telah digariskan dalam AL-Qur’an, dalam
hal santunan kepada orang miskin.
Tujuan dari kebijakan fiskal dalam Islam adalah untuk menciptakan
stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan
pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan Islam
yaitu Islam menetapkan pada tempat yang tinggi akan terwujudnya persamaan
dan demokrasi.

B. RUMUSAN MASALAH
Membahas mengenai, bagaimana Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam ?

C. TUJUAN
Agar kita dapat mengetahui lebih mendalam tentang kebijakan fiskal
dalam ekonomi islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan Fiskal adalah langkah yang digunakan oleh pemerintah terkait
dengan kebijakan sistem pajak dan pembelanjaan negara serta moneter dan
perdagangan sehingga kebijakan fiskal ini mempengaruhi Anggaran
Pendapatan dan Belanja suatu Negara (APBN). Sementara tujuan utama dalam
kebijakan fiskal adalah tercapainya kesejahteraan dengan mengalokasikan
sumber daya secara efisien, menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan
distribusi, tujuan ini menjunjung nilai benefit utama individual tanpa melihat
aspek lain.
Kebijakan fiskal dan keuangan mendapat perhatian serius dalam tata
perekonomian Islam sejak awal. Dalam negara islam, kebijaksanaan fiskal
merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan
Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga
keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan.1

B. POSISI KEBIJAKAN FISKAL


Bila dikatakan, kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem
ekonomi islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang
Riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang
pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan
moneter. Larangan Bunga yang diberlakukan pada tahun Hijriah keempat telah
mengakibatkan sistem Ekonomi Islam yang dilakukan oleh Nabi terutama
bersandar pada kebijakan fiskalnya saja.
Pada masa kenabian dan kekhalifaan setelahnya, kaum muslimin cukup
berpengalaman dalam menerapkan beberapa instrumen sebagai kebijakan
fiskal yang diselenggarakan pada lembaga baitulmal (national treasury).2 Dari

1
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 203.
2
Rika Ramlawati, “Pengantar Ekonomi Makro Islam”, diakses dari
https://rikaramlawati195.wordpress.com/2015/03/31/pengantar-ekonomi-makro-islam-kebijakan-
fiskal-islam/, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 11.00.

2
berbagai macam instrumen, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak
khusus muslim), tanah kharaj, dan ushur (cukai) atas barang impor dari negara
yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslimin, sehingga tidak
memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Pada saat
perekonomian sedang krisis yang membawa dampak terhadap keuangan negara
karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak merosot seiring dengan
merosotnya aktivitas ekonomi maka kewajiban-kewajiban tersebut beralih
kepada kaum muslimin. Semisal krisis ekonomi yang menyebabkan warga
negara jatuh miskin otomatis mereka tidak dikenai beban pajak baik jisyah
maupun pajak atas orang islam, sebaliknya mereka akan disantuni negara
dengan biaya yang diambil dari orang-orang muslim yang kaya.
Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah
dalam rangka mengurusi dan melayani umat, kemudian dilihat dari bagaimana
islam memecahkan problematika ekonomi,3 maka berdasarkan kajian fakta
permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat
permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa di
tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan
ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi
yang adil. Allah SWT mengingatkan kita tentang betapa sangat urgennya
masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya, yang artinya sebagai berikut:
Apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada Rasul Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Makah adalah untuk
Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu.4 Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS.
Al- Hasyr: 7).
3
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 205.
4
Rika Ramlawati, “Pengantar Ekonomi Makro Islam”, diakses dari
https://rikaramlawati195.wordpress.com/2015/03/31/pengantar-ekonomi-makro-islam-kebijakan-
fiskal-islam/, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 11.00.

3
Sejarah Islam mencatat bagaimana perkembangan peran kebijakan fiskal
dalam sistem ekonomi Islam mulai dari zaman awal Islam sampai kepada
puncak kejayaan Islam pada zaman pertengahan. Setelah zaman pertengahan,
seiring dengan kemunduran- kemunduran dalam pemerintahan Islam yang ada
pada waktu itu, maka kebijakan fiskal Islam tersebut sedikit demi sedikit mulai
ditinggal dan digantikan dengan kebijakan fiskal lainnya dari sistem ekonomi
yang sekarang kita kenal dengan nama sistem ekonomi konvensional.

C. KOMPONEN KEBIJAKAN FISKAL ISLAM


Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infaq, shadaqah, wakaf
(ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian
pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam
guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam
syariah Islam. Sementara infaq, shadaqah, wakaf merupakan pengeluaran
‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA
merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur
tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat
sukarela seperti shadaqah, infaq dan wakaf. Pembagian dalam kegiatan ‘wajib’
dan ‘sukarela’ ini khas di dalam sistem ekonomi Islam, yang membedakannya
dari sistem ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi pasar tidak ada ‘sektor
sukarela’.5
Tujuan utama dari kegiatan zakat berdasarkan sudut pandang sistem
ekonomi pasar adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata.
Selain untuk tujuan distribusi,6 maka analisa kebijakan fiskal dalam sistem
ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap
kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak kegiatan zakat di dalam
suatu perekonomian dewasa ini belum banyak berkembang. Karena unsur zakat
dalam sistem ekonomi konvensional bukan merupakan suatu variabel utama
5
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 97.
6
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 97.

4
dalam struktur teori yang ada. Dalam struktur ekonomi konvensional, unsur
utama dari kebijakan fiskal adalah unsur-unsur yang berasal dari berbagai jenis
pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsur-unsur yang berkaitan
dengan variabel pengeluaran Pemerintah.7 Tidak ada unsur zakat di dalam data
Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN), karena memang
kegiatan zakat belum termasuk dalam catatan statistik resmi Pemerintah.
Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin
mensucikan hartanya.
Dengan demikian diperlukan berbagai macam penelitian yang berkaitan
dengan dampak alokasi, distribusi serta stabilisasi kegiatan zakat sebagai salah
satu unsur kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam. Zakat sendiri
bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan duniawi, seperti
distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi juga mempunyai
implikasi untuk kehidupan di akhirat. Hal inilah yang membedakan kebijakan
fiskal dalam Islam dengan kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar.
Dalam Qur’an diperkirakan terdapat 30 ayat yang berkaitan dengan
perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering muncul
berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat.8 Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam. Bukankah salah satu arti dari
kata zakat adalah ‘berkembang’? Kalau pada saat ini dampaknya terhadap
kegiatan ekonomi masih kecil, maka ini tentunya disebabkan karena beberapa
hal. Pengeluaran zakat adalah pengeluaran minimal untuk membuat distribusi
pendapatan menjadi lebih merata (necessary condition but not sufficient) tetapi
belum optimal. Oleh karena itu diperlukan pengeluaran-pengeluaran lain yang
melengkapi pengeluaran zakat tersebut seperti shadaqah, wakaf dan lain-lain
sehingga dampaknya terhadap distribusi pendapatan menjadi optimal.
Selain itu mengapa dampak ekonomi zakat masih kecil, karena zakat
selama ini belum dikelola secara baik dan profesional di samping masih

7
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 97.
8
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 98.

5
rendahnya kesadaran masyarakat untuk berzakat secara benar. Oleh karena itu
diperlukan sosialisasi kegiatan lembaga zakat ini di masyarakat. Alhamdulillah
sekarang sudah mulai muncul usaha-usaha untuk mengelola kegiatan zakat
dengan baik.9
Sebagai salah satu kebijakan fiskal Islam, ZISWA merupakan salah satu
sendi utama dari sistem ekonomi Islam yang kalau mampu dilaksanakan
dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa. Diharapkan
sistem ekonomi Islam ini mampu menjadi alternatif bagi sistem pasar yang
ternyata menunjukkan berbagai masalah di dalam pelaksanaannya. Jelas ini
memerlukan kerja keras dari berbgai unsur keahlian untuk mewujudkannya apa
yang dinamakan Sistem Ekonomi Islam.
Menurut Mustafa Edwin Nasution et al. (2006) menyatakan bahwa dalam
hal pengelolaan keuangan publik, dunia Islam saat ini kehilangan minimal dua
hal yaitu menghilangnya spirit religiositas dan kehilangan meknisme teknik
yang bermanfaat. Pertama, menghilangnya spirit keagamaan dalam pemenuhan
dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme
yang melanda dunia Islam, hal ini menyebabkan dunia islam kehilangan daya
dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak digunakannya berbagai
mekanisme yang berbau Islam, justru dunia Islam kehilangan metode
menyejahterakan rakyatnya.10
Sebagai gambaran, Zakat saat ini pelaksanaan masih setengah hati oleh
pemerintah, menyebabkan ummat Islam kehilangan kemampuan dan kekuatan
menjalankan program welfare. Berbagai program kemiskinan dan bencana
sosial seperti dibidang kesehatan, pangan, balita jauh dari standar yang
memuaskan. Zakat merupakan pilar utama dalam sistem keuangan Islam
sekaligus sebagai instrument utama dalam kebijakan fiskal Islam. Sementara

9
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 98.
10
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 98.

6
sumber lain tetap dibolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Syariah dan
melalui kajian figh yang berdasarkan dengan Al Quran dan Al Hadist.11
Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan
duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi
mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat hal ini yang membedakan
kebijakan fiskal dalam islam dengan kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi
pasar/kapitalis. Berdasarkan QS. At-Taubah: 103. Yang artinya sebagai
berikut:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.12
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda, zakat itu menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
(QS. At-Taubah: 103).
Menghilangnya religioilitas dari panggung ketatanegaraan dengan serta-
merta mengadopsi sekularisme dan materialisme yang tidak dipahami
mendorong moralitas yang bobrok. Korupsi yang berupa perlawanan terhadap
aturan legal (mark up, penyelewengan, pembobolan, komisi, dan sebagainya)
sangat mencoreng dan memalukan dunia Islam. Korupsi yang legal
menyangkut angka yang lebih besar lagi yaitu tidak dipahaminya visi dan misi
pemerintahan dengan baik. Akibatnya 70 persen dan Negara secara
legal/sistematis tidak ditujukan kepada pelayanan dan kesejahteraan Rakyat.
Dana-dana ini diizinkan secara legal untuk digunakan secara elitis dan bisa
kepada kekuasaan.13

11
Rika Ramlawati, “Pengantar Ekonomi Makro Islam”, diakses dari
https://rikaramlawati195.wordpress.com/2015/03/31/pengantar-ekonomi-makro-islam-kebijakan-
fiskal-islam/, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 11.00.
12
Rika Ramlawati, “Pengantar Ekonomi Makro Islam”, diakses dari
https://rikaramlawati195.wordpress.com/2015/03/31/pengantar-ekonomi-makro-islam-kebijakan-
fiskal-islam/, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 11.00.
13
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 207.

7
D. KEBIJAKAN PENDAPATAN EKONOMI ISLAM
Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui
zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj, shadaqah, dan lain-lain. Jika diklarifikasi
maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti : zakat, jizyah, kharaj,
ushr, infak dan shadaqah. Seperti pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat
temporer seperti : ghanimah, fa’i dan harta yang tidak ada pewarisnya.
Secara umum ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan
pendapatan tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur
yang harus dilakukan pemerintah islam modern dalam kebijakan pendapatan
fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat adanya kebijakan
pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).
1. Kaidah syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Zakat
Ajaran islam dengn rinci telah menentukan, syarat, kategori harta
yang harus dikelurkan zakatnya, lengkap dengan besaran (tarifnya). Maka
dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk
mengubah tarif yang telah ditentukan. Adapun mengenai kebijakan
pemungutannya Nabi dan Para Sahabat telah memberi contoh mengenai
fleksibilitas, Nabi pernah menagguhkan zakat pamannya Abbas karena
krisis yang dihadapinya. Selain fleksibilitas diatas kaidah lainnya
fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau
nilai.14
2. Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan
yang Berasal dari Aset Pemerintah
Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat
dibagi dalam 2 katagori: (a) pendapatan dari aset pemerintah yang umum,
yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah
sendiri atau masyarakat. (b) pendapatan dari aset yang masyarakat ikut
memanfaatkannya adalah berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan
bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam dan yang
14
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00.

8
semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah modern adalah sarana-
sarana umum yang sangat dibutuhkan masyarakat.15
3. Kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak
prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya
pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secara paksa
(undang-undang dalam konteks ekonomi modern). Sesulit
apapun kehidupan Rasulullah SAW. Di madinah beliau tidak pernah
menentukan kebijakan pungutan pajak. Seandainya pungutan pajak tersebut
di perbolehkan dalam islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah
a’dalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang
mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul-betul sangat diperlukan
dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.16

E. KEBIJAKAN BELANJA EKONOMI ISLAM


Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang
didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadist dalam memandu kebijakan belanja
pemerintah. Diantara kaidah (Chapra: 1995, 288-289) tersebut adalah:
1. Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah
maslahah.
2. Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan
ketimbang melakukan pembenahan.
3. Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat
dalam skala umum.
4. Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat
dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala
umum.

15
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00
16
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00

9
5. Kaidah Al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
mendapaatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin
untung harus siap menanggung kerugian).
6. Kaidah Ma la yatimmu al waajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah
yang menyatakan bahwa suatu hal yang wajib di tegakkan dan tanpa
ditunjang oleh factor penunjang lainnya tidak dapat di bangun, maka
menegakkan factor penunjang tersebut wajib hukumnya.17
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas
dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam islam, sehingga tujuan-tujuan
dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan
dalam pemerintahan islam:18
a. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
c. Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan
efektif.
d. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan
intervensi pasar
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam system ekonomi Islam dapat
dibagi menjadi tiga bagian:
1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber
dananya tersedia.
3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh
masyarakat berikut system pendanaannya.
Adapun kaidah syariyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan
operasiaonal pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang

17
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00
18
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00

10
telah disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan
pada:19
1. Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak
boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok
masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam rutin yaitu mendapatkan sebanyak
mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini
membawa suatu pemerintahan yang jauh dari sifat mubazir dan kikir di
samping alokasinya pada sector-sektor yang tidak bertentangan dengan
syariah.
3. Tidak berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup
berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti kasus “al-Hima” yaitu
tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukan bagi
kepentingan umum.
4. Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara
hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
5. Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang
wajib,sunah, mubah atau dharruroh, hajjiyat dan kamaliayah.20
Pos penerimaan baitulmal dari porsi fai dan kharaj harus dikeluarkan
Negara untuk pos pengeluaran dari al-Khalifah (rumah tangga khalifah),
mashalihad-daulah (kepentingan Negara), santunan jihad , ath-Thawaari
(urusan darurat /bencana alam), dan al-muwazanah al-ammah (anggaran
belanja Negara), al-muhasabah al-Ammah (pengendali umum), al-muraqabah
(badan penguasa). Kemudian pos penerimaan dari sektor publik harus
dikeluarkan untuk jihad, penyimpanan pemilikan umum dan urusan

19
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00
20
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00

11
darurat/bencana alam. Sedangkan pos penerimaan dari bagiaan shadaqah harus
dikeluarkan hanya untuk penyimpanan dana zakat dan jihad.21
Kebijakan fiskal dalam Islam tidak lepas dari kendali politik ekonomi (as-
siyasatu al-iqtishadi) yang bertujuan, sebagaimana yang dikemukan
Abdurrahman Al-Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan -kebutuhan
primer (al-hajat al-asasiyah/basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan
membantu tiap-tiap individu diantara mereka dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuannya.
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer kategori pertama adalah
jaminan akan sandang, pangan, papan dan merupakan jaminan secara langsung
terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan, tetapi tidak mencukupi
untuk memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan pokok terhadap diri dan
keluarga.
Jaminan juga diberikan terhadap setiap individu yang tidak memiliki
kemampuan untuk memberikan nafkah kebutuhan pokok terhadap diri dan
keluarganya.Kebijakan ini termasuk kebijakan transfer payment karena Negara
memberikan secara cuma-cuma harta berupa uang atau barang kepada
seseorang. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer kategori kedua
meliputi keamanan, pendidikan, dan kesehatan.22

F. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN FISKAL DALAM ISLAM


Lahirnya kebijakan fiskal di dalam dunia Islam dipengaruhi oleh banyak
faktor. Salah satu faktor yang paling dominan adalah karena fiskal merupakan
bagian dari instrumen ekonomi publik. Untuk itu faktor-faktor seperti sosial,
budaya dan politik inklud di dalamnya. Tantangan Rasulullah sangat besar
dimana beliau dihadapkan pada kehidupan yang tidak menentu baik dari
kelompok internal maupun kelompok eksternal. Kelompok internal yang harus
21
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00
22
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00

12
diselesaikan oleh Rasulullah yaitu bagaimana menyatukan antara kaum Anshor
dan kaum Muhajirin pasca hijrah dari mekah ke Madinaha (Yastrib).
Sementara tantangan dari kelompok eksternal yaitu bagaiman Rasul mampu
mengimbangi rongrongan dan serbuan dari kaum kafir Kuraisy.23
Di sisi lain Rasulullah harus melakukan pembenahan di sektor ekonomi.
Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut dimana kondisi alam yang tidak
mendukung ditambah kondisi ekonomi masyarakat yang masih lemah maka
salah satu sumber daya alam yang bisa diandalkan adalah pertanian. Sektor
pertanian yang menjadi satu-satunya harapan tersebut terkelola dengan cara-
cara tradisional sehingga terkesan apa adanya.
Banyaknya problematika yang dihadapi oleh beliau tentunya diperlukan
kejeniusan, ketegaran dan kesabaran sehingga kebijakan yang dibuatnya
bersifat menguntungkan semua pihak. Di dalam sejarah Islam keuangan publik
berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat Muslim dan
pembentukan negara berkeadilan yang diilhami oleh semangat ajaran Islam. Itu
semua dilakukan oleh Rasulullah Saw pasca hijrah, kemudian diteruskan oleh
Khulafaul Rasyidun.
A. Masa Pemerintahan Rasulullah s.a.w
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tantangan yang dihadapi
oleh Rasulullah Saw sangat berat. Sebagai seorang perintis sebuah
keberadaan negara Islam tentunya dimulai dari serba nol. 24 Mulai dari
tatanan politik, kondisi ekonomi, sosial maupun budaya semuanya ditata
dari awal. Dari kondisi nol tersebut membutuhkan jiwa seorang pejuang dan
jiwa seorang yang ikhlas dalam menata sebuah rumah tangga pemerintahan,
menyatukan kelompok-kelpompok masyarakat yang sebelumnya terkenal
dengan perpecahan yang mana masing-masing kelompok menonjolkan
karakter dan budayanya. Di sisi lain Rasulullah s.a.w. harus mengendalikan
depresi yang dialami oleh kaum muslimin melaui strategi dakwahnya agar

23
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 89.
24
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 90.

13
ummat muslim mempunyai keteguhan hati (beriman) dalam berjuang,
mentata perekonomian yang carut marut dengan menyuruh kaum muslimin
bekerja tanpa pamrih dan lain sebagainya.25
Upaya Rasulullah s.a.w dalam mencegah terjadinya perpecahan di
kalangan kaum muslimin maka beliau mempersatukan kaum Anhsor
(sebagai tuan rumah) dengan kaum Muhajirin (sebagai kelompok
pendatang). Rasulullah menganjurkan agar kaum Anshor yang memiliki
kekayaan dapat membantu saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Maka
hasil dari upaya tersebut terjadilah akulturasi budaya antara kaum Anshor
dengan kaum Muhajirin sehingga kekuatan kaum Muslim bertambah.
Untuk mengantisipasi kondisi keamanan yang selalu mengancam maka
Rasulullah s.w.a. mengeluarkan kebijakan bahwa daerah Madinah dipimpim
oleh beliau sendiri dengan sebuah sistem pemerintahan ala-Rasul. Dari
kepemimpinan beliau maka lahirlah berbagai macam kreativitas kebijakan
yang dapat menguntungkan bagi kaum muslim. Kebijakan utama beliau
adalah membangun masjid sebagai pusat aktivitas kaum muslimin. Istilah
yang populernya penulis sebut dengan istilah Madinah Muslims Center
(MMC). Menurut Sabzwari (Sabwari, 2003: 173-174), terdapat tujuh
kebijakan yang dihasilkan oleh Rasulullah sebagai kepala negara,
diantaranya ialah26 (i) Membangun masjid utama sebagai tempat untuk
mengadakan forum bagi para pengikutnya. (ii) Merehabilitasi Muhajirin
Mekkah di Madinah. (iii) Meciptakan kedamaian dalam negara. (iv)
Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya. (v) Membuat
konstitusi negara. (vi) Menyusun sistem pertahanan Madinah. Dan (vii)
Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara.
Namun yang paling utama dibangun oleh Rasulullah s.a.w. adalah
masjid karena dengan adanya masjid menandakan perjungan beliau tidak
hanya berada pada tataran duniawi saja akan tetapi berdimensi akhirat. Jika

25
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 90.
26
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 90.

14
ini ditafsirkan dengan akal (tafsir bil ra’yi) maka sesungguhnya terdapat
sesuatu ajaran yang cukup dalam dimana Rasulullah s.a.w. meletakkan dasar
ideologi perjuangan yang selalu bergandengan antara kepentingan dunia
dengan kepentingan akhirat. Sebagai mediasinya adalah dibangunlah
masjid.27
Bersamaan dengan perjuangan agar semua komponen perjuangan
seperti politik, sosial dan budaya mempunyai ideologi dalam gerakannya,
maka disisi lain Rasulullah s.a.w berjuang mereformasi ekonomi yang
sebelumnya tanpa ideologi berubah berideologi dengan beberapa
argumentasi beliau sebagai berikut: (i) Kekuasaan tertinggi adalah milik
Allah dan Allah adalah pemilik yang absolud atas semua yang ada. (ii)
Manusia merupakan pemimpin (khalifah) Allah di muka bumi yang wajib
memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam tanpa harus merusaknya
(iii) Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak boleh ditumpuk terus menerus
atau ditimbun. Argumentasi ini sejalan dengan teori pendapatan yaitu
semakin tinggi produktivitas maka tingkat pendapatan atau kekayaan sebuah
negara semakin meningkat. Untuk itu tidak dibenarkan menimbun harta
karena disamping perekonomian akan mandeg disisi lain akan mendzholimi
saudaranya yang lain (iv) Kekayaan harus berputar. (v) Eksploitasi ekonomi
dalam segala bentuknya harus dihilangkan. (vi) Menghilangkan jurang
peredaan antara individu, dalam perekonomian dapat menghapuskan konflik
antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah
kematiannya kepada para ahli warisannya. Inilah ideologi pertama yang
dipaparkan oleh Raulullah yang diilhami oleh wahyu.28
Perjuangan dalam tataran ideologi sudah dibenahi, maka rasulullah
s.a.w. melangkah pada tahap berikutnya yaitu dengan mereformasi bidang
ekonomi dengan berbagai macam kebijakan beliau. Seperti diulas panjang
di atas bahwa kondisi ekonomi dalam keadaan nol. Kas negara kosong,

27
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 91..
28
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 91.

15
kondisi geografis tidak menguntungkan dan aktivitas ekonomi berlajan
secara tradisional. Melihat kondisi yang tidak menentu seperti ini maka
Rasulullah s.a.w. melakukan upaya-upaya yang terkenal dengan Kebijakan
Fiskal beliau sebagai pemimpin di Madinah yaitu dengan meletakkan dasar-
dasar ekonomi. Diantara kebijakan tersebut adalah:29
1. Memfungsikan Baitul Maal
Baitul maal sengaja dibentuk oleh Rasulullah s.a.w sebagai tempat
pengumpulan dana atau pusat pengumpulan kekayaan negara Islam yang
digunakan untuk pengeluaran tertentu. Karena pada awal pemerintahan
Islam sumber utama pendapatannya adalah Khums, zakat, kharaj, dan
jizya.
Pendirian Baitul Maal ini masih banyak sumber yang berbeda
pendapat, ada yang mengatakan didirikan oleh Rasulullah s.a.w. dan ada
sumber yang mengatakan bahwa secara resmi baitul maal didirikan oleh
Sayidina Umar ibn Khaththab r.a. Di dalam buku Kebijakan Ekonomi
Umar Bin Khaththab dikatakan bahwa salah satu keberhasilan beliau
adalah mampu mendirikan Baitul Maal. 30 Namun disisi lain penulis dapat
menemukan benang merahnya bahwa secara implisit fungsi akan Baitul
Maal sudah dibentuk oleh Rasulullah s.a.w terbukti dengan membangun
masjid bersama kekayaan fungsi di dalamnya (Muslims Centre). Akan
tetapi secara eksplisit pendirian Baitul Maal dilakukan oleh Khalifah Umar
ibn Khaththab r.a. Kesimpulannya, tidak ada perbedaan yang mendasar
dari semua pendapat, hanya saja dikompromikan kapan fungsi secara
implisit dari Baitul Maal dan kapan pendirian secara ekspilisit.
Untuk itu fungsi dari Baitul Maal disini adalah sebagai mediasi
kebiajakan fiskal Rasulullah s.a.w. dari pendapat negara Islam hingga
penyalurannya. Tidak sampai lama harta yang mengendap di dalam Baitul
Maal, ketika mendapatkannya maka langsung disalurkan kepada yang

29
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 92.
30
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 92.

16
berhak menerimanya yaitu kepada Rasul dan kerabatnya, prajurit, petugas
Baitul Maal dan fakir miskin.31
2. Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
Salah satu kebijakan Rasulullah s.a.w dalam pengaturan
perekonomian yaitu peningkatan pendaptan dan kesempatan kerja dengan
mempekerjakan kaum Muhajirin dan Anshor (Majid, 2003:223).
Upaya tersebut tentu saja menimbulkan mekanisme distrubusi
pendapatan dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaan agregat
terhadap output yang akan diproduksi. Disi lain Rasullah membagikan
tanah sebagai modal kerja. Kebijakan ini dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
karena kaum Muhajirin dan Anshor keahliannnya bertani dan hanya
pertanian satu-satunya pekerjaan yang menghasilkan. Kebijakan beliau
sesuai dengan teori basis, yaitu bahwa jika suatu negara atau daerah ingin
ekonominya maju maka jangan melupakan potensi basis yang ada di
negara atau daerah tersebut.
3. Kebijakan Pajak
Kebijakan pajak ini adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
muslim berdasarkan atas jenis dan jumlahnya (pajak proposional).
Misalnya jika terkait dengan pajak tanah, maka tergantung dari
produktivitas dari tanah tersebut atau juga bisa didasarkan atas zonanya.32
4. Kebijakan Fiskal Berimbang
Untuk kasus ini pada masa pemerintahan Rasulullah s.a.w dengan
metode hanya mengalami sekali defisit neraca Anggaran Belanja yaitu
setelah terjadinya “Fathul Makkah”, namun kemudian kembali membaik
(surplus) setelah perang Hunain.
5. Kebijakan Fiskal Khusus
Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair (sukarela) dengan
cara meminta bantuan Muslim kaya. Jalan yang ditempuh yaitu dengan

31
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 92.
32
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 93.

17
memberikan pijaman kepada orang-orang tertentu yang baru masuk Islam
serta menerapkan kebijakan insentif.33

B. Masa Pemerintahan Abu Bakar


Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapat kepercayaan pertama dari kalangan
muslim untuk menggantikan posisi Rasulullah saw setelah beliau wafat.
Konon ada beberapa kreteria yang melekat pada diri Abu Bakar sehingga
kaum muslimin mempercayai puncak kepemimpinan Islam diantaranya
adalah terdapat ketaatan dan keimanan beliau yang luar biasa, faktor
kesenioran diantara yang lain sehingga wibawa menjadi penentu. Juga
faktor kesetiaan dalam mengikuti dan mendapingi Rasulullah dalam
berdakwah menyadarkan kaum muslim bahwa beliau memang pantas
menjadi pengganti raululllah saw. Pemilihan tersebut berlangsung secara
alami tanpa ada interpensi dari Rasulullah saw.34
Selama kurang lebih 27 bulan masa kepemimpinan beliau ada
beberapa problematikan sosial dalam negara Islam yang menjadi tantangan
berat beliau. Beliau dihadapkan pada pembangkang-pembangkang seperti
kaum yang murtad, cukai dan kelompok yang tidak mau membayar zakat
kepada negara. Akhirnya Abu Bakar mampu mengatasinya dengan sebuah
kebijakan disertai dengan pasukan lini terdepan untuk melakukan
pemungutan zakat.
Abu Bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitiannya dalam
mengelola dan menghitung zakat. Tebukti dengan ketelitian dan kehatia-
hatiannya beliau mengangkat seorang amil zakat yaitu Anas.
Pada awal kepemimpinannya beliau mengalami kesulitan di dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga dengan penuh
keterbukaan dan keterusterangan beliau mengatakan kepada ummatnya
bahwa perdagangan beliau tidak mencukupi untuk memenuhi kebtuhan

33
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 93.
34
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 93.

18
keluarganya. Tentunya dengan adanya beban sebagai kepala negara akan
mengurangi aktivitas dagangnya karena sibuk mengurus negara.35
Kesulitan beliau diketahui oleh khalayak ramai terutama oleh Siti
Aisyah dan dengan kesepakatan bersama selama kepemimpinan beliau
baitul maal mengeluarkan kebutuhan khalifah Abu Bakar yaitu sebesar dua
setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dengan tambahan
makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa
waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan
2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan yang lain mencapai 6.000
dirham pertahun.
Namun yang menarik dari kepemimpinan beliau adalah ketika beliau
mendekati wafatnya, yaitu kebijakan internal dengan mengembalikan
kekayaan kepada negara karena melihat kondisi negara yang belum pulih
dari krisis ekonomi. Beliau lebih mementingkan kondisi rakyatnya dari pada
kepentingan inividu dan keluarganya. Gaji yang selama ini diambil dari
baitul maal yang ketika dikalkulasi berjumlah 8.000 dirham, mengganti
dengan menjual sebagain besar tanah yang dimikinya dan seluruh
penjualannya diberikan untuk pendanaan negara. Sikap tegas seperti ini
belum kita temukan di negara kita tercinta ini. Bahkan yang terjadi
sebaliknya, yaitu dipenghujung jabatannya justru mengeluarkan kebijakan
yang dapat menguntungakan dirinya. Enggan mempublikasi kekayaan
pribadi ketika KPK memeriksanya.36
Berkaitan dengan kebijakan fiskal masa kekhalifahan Abu Bakar yaitu
melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh Rasulullah
saw. Hanya ada beberapa kebijakan fiskal beliau yang cukup dominan
dibandingkan yang lain yaitu pemberlakuan kembali kewajiaban zakat
setelah banyak yang membangkangnya. Kebijakan berikutnya adalah

35
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 94.
36
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 94.

19
selektif dan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat sehingga tidak
ditemukan penyimpangan di dalam pengelolaannya.
C. Masa Pemerintahan ‘Umar Ibn Khaththab ra
Ketika dilantik menjadi khalifah, Umar bin Khaththab mengumumkan
kepada rakyat tentang pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata
“Barang siapa ingin bertanya tentang Al-Qur’an, maka datanglah kepada
Ubay bin Ka’ab. Barang siapa ingin bertanya tentang ilmu fara’idh (ilmu
waris), maka datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Barang siapa bertanya
tentang harta, maka datanglah kepadaku, karena Allah SWT telah
menjadikanku sebagai penjaga harta dan pembagi (distributor).37
Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab
adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan
pemerintahan. Khalifah adalah penanggung jawab rakyat, sedangkan rakyat
adalah sumber. pemasukan kekayaan negara yang manfaatnya kembali
kepada mereka dalam bentuk jasa dan fasilitas umum yang diberikan
negara.
Apa yang telah diterapkan oleh Umar Ibn Khaththab pada masa
dahulu adalah serupa dengan apa yang diterapkan oleh pemerintahan
Amerika sekarang, dimana pemimpin negara langsung memeriksa kantor
strategi pertahanan negara. Juga kepala negara mengikuti proses
restrukturisasi stabilitas umum dan program ekonomi negara. Ia diberi
kesempatan untuk memberi perhatian dan pengawasan atas sirkulasi
ekonomi.38
Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalifah, beliau
mengumumkan kebijakan ekonominya yang berkaitan dengan fiskal yang
akan dijalankannya. Dari pidato yang beliau sampaikan di hadapan khalayak
ramai sebagai dasar-dasar beliau dalam menjalankan kepemimpinannya
yang terkenal dengan sebutan 3 dasar sebagai berikut: (i) Negara Islam

37
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 94.
38
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 95.

20
mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil dari
kharaj atau harta fa’i yang diberikan Allah kecuali dengan mekanisme yang
benar. (ii) Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada
pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya; dan negara menambahkan
subsidi serta menutup hutang. (iii) Negara tidak menerima harta kekayaan
dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum
kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia
tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan maka dia memakai
dengan jalan yang benar.39
Adapun kebijakan Umar mengenai Subsidi Negara sebagai berikut:
Negara harus memperhatikan apa yang dibelanjakan. Untuk merealisasikan
hal tersebut, maka hendaknya memperhatikan beberapa kaidah berikut ini:
(i) Seharusnya tujuan dari pembelanjaan umum sudah direncanakan.
Kekayaan umum tidak digunakan untuk kebathilan seperti penjajahan,
memunculkan fitnah, melontarkan ide yang bertentangan dengan kebenaran,
atau menanamkan modal dalam tindakan haram. (ii) Negara juga harus
melaksanakan dengan baik apa yang telah ditetapkan oleh Allah. 40 Zakat
diberikan kepada mereka yang berhak sebagaimana yang diterangkan oleh
Allah SWT di dalam al-Qur’an (iii) Pembagian harta hasil rampasan perang
yang berjumlah 1/5 diberikan susuai dengan yang telah ditetapkan Allah
SWT di dalam al-Qur’an (iv) Seharusnya penggunaan harta umum sesuai
dengan kadar yang diperlukan dan telah direncanakan, tanpa pemborosan
dan tidak terlalu mengirit, karena pemborosan hanya menyia-nyiakan harta
negara. Sementara kalau terlalu ditahan-tahan pengeluarannya, maka akan
membuat proyek negara macet. Apabila dana pelayanan umum terlalu diirit,
maka fasilitas umum akan memburuk. Semua itu mengikuti petunjuk Allah
SWT. (v) Seharusnya manfaat penggunaan kekayaan negara dkembalikan
kepada rakyat, dan bukan kepada pribadi penguasa atau pejabat. Tidak pula

39
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 95.
40
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 95.

21
dikhususkan untuk golongan atau kepentingan pribadi dengan
mengesampingkan golongan lainnya.
Pembelanjaan negara juga harus memberi manfaat kepada Ahlul kitab,
selama mereka masih membayar kewajiban harta yang ditetapkan oleh
negara Islam sesuai perintah Allah SWT
D. Masa Pemerintahan ‘Utsman Ibn ‘Affan ra
Enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazani,
Kerman dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan
khalifah sebelumnya yaitu Umar diikuti. Tidak lama setelah negara-negara
ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka
mengembangkan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun,
pepohonan ditanam serta kemanan perdagangan diberikan dengan cara
pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Pada masa Usman tidak ada perubahan yang signifikan pada kondisi
ekonomi secara keseluruhan. Kebanyakan kebijakan ekonomi mengikuti
khalifah sebelumnya yang kebanyakan pakar mengatakan bahwa khalifah
sebelumnya (Umar) adalah sang reformis dalam bidang ekonomi.41
E. Masa Pemerintahan ‘Ali Ibn Thalib r.a
‘Ali berkuasa selama lima tahun. Sejak awal kepemimpinannya,
beliau selalu mendapatkan rongrongan dari kelompok umat Islam sendiri
yaitu kaum khawarij serta peperangan berkepanjangan dengan kelompok
Mu’awiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang
independen di daerah Syiria dan Mesir.42
Ketegasan dan kebersihan ‘Ali dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme nampak dengan menolak saudaranya yang meminta bantuan
kepada ‘Ali sebagai kepala negara. Suatu hari saudaranya, Aqil datang
kepadanya meminta bantuan uang, akan tetapi ‘Ali menolok karena hal itu
sama dengan mencuri uang milik masyarakat. Kemudian Aqil pergi

41
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 96.
42
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 96.

22
menemui Mu’awiyah mengajukan permohonan yang sama dan dia diberi
uang dalam jumlah yang besar.43
Untuk itu awal-awal kepemimpinan beliau adalah dengan sebuah
kebijakan membersihkan kalangan pejabat yang korup yang dilakukan
sebelumnya. Maka tidak sedikit pejabat sebelumnya yang dijebloskan ke
dalam penjara. Salah satu yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara adalah
Gubernur Ray dengan tuduhan penggelapan uang.
Mengenai kebijakan fiskalnya, ‘Ali tetap mengacu pada khalifah
sebelumnya. Bahkan kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Umar banyak
diteruskan oleh ‘Ali, bukan Ustman.
Pernah pada suatu saat ‘Ali bertentangan pendapat dengan hasil rapat
yang dilakukan oleh Umar yaitu mengenai keuangan Baitul Maal. Pada
waktu itu ‘Ali tidak hadir pada pertemuan Majelis Syuro di Jabiya (masuk
wilayah Madinah) yang diadakan oleh Umar untuk menyepakati peraturan-
peraturan yang sangat penting yang berkaitan dengan daerah taklukan.
Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh
pendapatan Baitul Maal, tetapi menyimpan sebagian untuk cadangan.
Ternyata semua kesepakatan itu berlawanan dengan pendapat ‘Ali. Oleh
karena itu ketika menjabat sebagai khalifah beliau mendistribusikan seluruh
pendapatan dan propinsi yang ada di Baitul Maal di Madinah, Busra dan
Kufa.44

G. FORMULASI KEBIJAKAN FISKAL ERA MODERN


Kebijaksanaan fiskal tidak hanya menaruh perhatian pada pendapatan
dan pembelanjaan Negara, tetapi juga pada pilihan berbagai instrument
kebijakan perpajakan dan pola pembelanjaan Negara. Cara yang berbeda dalam
menaikan dan pembelanjaan anggaran memiliki dampak ekonomi yang
berbeda.

43
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 96.
44
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan
Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic Studies, Volume 4 (Maret, 2014), h. 97.

23
Pandangan bahwa fungsi dan tanggung jawab sebuah Negara islam
memiliki fleksibelitas yang luas didasarkan pada premis bahwa islam bertujuan
untuk kesejahteraan umum masyarakat, sehingga sebuah Negara islami dapat
mendefinisikan apa pun fungsinya dalam mencapai sasaran tersebut. Menurut
Siddiqi (1983), mengklasifikasikan fungsi Negara islam dalam 3 kategori:45
1. Fungsi yang diamanahkan syariah secara permanen, meliputi:
a. Pertahanan.
b. Hukum dan ketertiban.
c. Keadilan.
d. Pemenuhan kebutuhan.
e. Dakwah.
f. Amar maruf nahi munkar.
g. Administrasi sipil.
h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial (furud kifayah) jika sektor
swasta gagal memenuhinya.
2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi social dan
ekonomi pada waktu tertentu, meliputi 6 fungsi:46
a. Perlindungan lingkungan,
b. Penyediaan sarana kepentingan umum.
c. Penelitian umum.
d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi,
e. Penyediaan subsidi pada kegiatan swasta tertentu, dan
f. Pembelanjaan yang diperlukan untuk stabilisasi kebijakan.
3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses
musyawarah (syuraa), meliputi semua kegiatan yang dipercayakan
masyarakat kepada sebuah proses syuraa. Inilah yang menurut siddiqi

45
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00
46
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00

24
terbuka dan berbeda pada setiap Negara tergantung pada keadaan masing-
masing.
Pandangan berbeda tentang fungsi dan tanggung jawab Negara banyak
disampingkan pemikiran lain. Kahf (1983) menyatakan Negara tidak bebas
menentukan prioritas politik dan ekonomi, ataupun memaksakan pola
pembelanjaan Negara, politik dan ekonomi yang membatasi kebebasan dan
hak inividu yang diberikan Tuhan.47
Lebih lanjut khaf, menyatakan sasaran utama Negara Islami
melindungi agama dan supremasi kalimattullah. Negara harus membantu
kaum muslimin melaksanakan kewajiban agamanya. Selanjutnya Negara
Islam harus bertanggung jawab menyampaikan kalimatullah ke kalangan
nonmuslim melalui dakwah.48

BAB III
47
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00
48
HIMEP FE UNIMAL, “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”, diakses dari
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE UNIMAL
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm, pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 13.00

25
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Kebijakan Fiskal adalah langkah yang digunakan oleh pemerintah terkait


dengan kebijakan sistem pajak dan pembelanjaan negara serta moneter dan
perdagangan sehingga kebijakan fiskal ini mempengaruhi Anggaran
Pendapatan dan Belanja suatu Negara (APBN). Sementara tujuan utama dalam
kebijakan fiskal adalah tercapainya kesejahteraan dengan mengalokasikan
sumber daya secara efisien, menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan
distribusi, tujuan ini menjunjung nilai benefit utama individual tanpa melihat
aspek lain.
Analisa kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk
melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya
ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
Sejarah Islam mencatat bagaimana perkembangan peran kebijakan fiskal
dalam sistem ekonomi Islam mulai dari zaman awal Islam sampai kepada
puncak kejayaan Islam pada zaman pertengahan. Setelah zaman pertengahan,
seiring dengan kemunduran- kemunduran dalam pemerintahan Islam yang ada
pada waktu itu, maka kebijakan fiskal Islam tersebut sedikit demi sedikit mulai
ditinggal dan digantikan dengan kebijakan fiskal lainnya dari sistem ekonomi
yang sekarang kita kenal dengan nama sistem ekonomi konvensional.

B. SARAN

Dengan adanya pembahasan tentang kebijakan fiskal dalam ekonomi


islam ini, saya berharap kepada semuanya agar dapat memahami tentang
materi yang telah kami paparkan. Selain itu, saya juga berharap agar
pembahasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita semua. Dan
jika terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini saya minta maaf, dan
semoga dalam pembuatan makalah selanjutnya saya dapat membuat makalah
yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

26
Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2006
Ramlawati, Rika. “Pengantar Ekonomi Makro Islam”.
https://rikaramlawati195.wordpress.com/2015/03/31/pengantar-ekonomi-
makro- islam-kebijakan-fiskal-islam/.
Rasiam. “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan
Ketidakadilan Distribusi)”, Jurnal Khatulistiwa - Journal Of Islamic
Studies, Volume 4 Maret, 2014)
HIMEP FE UNIMAL. “Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam”.
file:///C:/Users/user/Documents/studi islam/ilmu ekonomi islam/HIMEP FE
UNIMAL KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM.htm

DAFTAR PERTANYAAN

27
1. Ahmad Khalid : Mengapa kedudukan kebijakan Fiskal lebih penting dari
kebijakan Moneter ?
2. Mashayyu Asri : Berikan perbandingan antara kebijakan Umar, Utsaman
dan Ali ?
3. Selvya Veronica: Jelaskan apakah ada perubahan kebijakan fiskal dari
zaman dahulu hingga sekarang ?
4. Aidila Afriza : Jelaskan apa yang dimaksud dengan Amar maruf nahi
munkar?
5. Anggi Marlindo : Penyebab menghilangnya religiolitas dari panggung
ketatanegaraan ?

28

You might also like