You are on page 1of 11

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

PENANGGULANGAN DBD

PUSKESMAS DTP KARANGNUNGGAL

1. Pendahuluan
Dewasa ini, pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada
masalah dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial
ekonomi dan perubahan lingkungan strategis, baik secara nasional maupun
global. Penerapan desentralisasi di bidang kesehatan dan pencapaian sasaran
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan contoh masalah dan
tantangan yang perlu menjadi perhatian seluruh stakeholder bidang kesehatan,
khususnya para pengelola program, dalam menyusun kebijakan dan strategi
agar pelaksanaannya menjadi lebih efisien dan efektif. Program pencegahan
dan pengendalian penyakit menular telah mengalami peningkatan capaian
walaupun penyakit infeksi menular masih tetap menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang menonjol terutama TB, Malaria, HIV-AIDS, DBD dan Diare.
Angka kesakitan DBD masih tinggi, yaitu sebesar 65,57 per 100.000 penduduk
pada tahun 2010, sedangkan angka kematian dapat ditekan di bawah 1 persen,
yaitu 0,87 persen. Target pengendalian DBD tertuang dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis
(RENSTRA) Kementerian Kesehatan 2010-2014 dan KEPMENKES 1457
tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal yang menguatkan pentingnya
upaya pengendalian penyakit DBD di Indonesia hingga ketingkat
Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa. Melalui pelaksanaan program
pengendalian penyakit DBD diharapkan dapat berkontribusi menurunkan
angka kesakitan, dan kematian akibat penyakit menular di Indonesia.

2. Latar Belakang
Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan endemis di hampir seluruh Kota/Kabupaten di Indonesia. Sejak
ditemukan pertama kali pada tahun 1968 hingga saat ini jumlah kasus DBD
dilaporkan meningkat dan penyebarannya semakin meluas mencapai seluruh provinsi
di Indonesia (33 provinsi). Penyakit ini seringkali menimbulkan KLB di beberapa
daerah endemis tinggi DBD. sejak januari sampai dengan Maret tahun 2004 total
kasus DBD di seluruh prOpinsi diIndonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah
kematian sebanyak389 orang (CFR 1,53% ).Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI
Jakarta 11.534 orang. Sedangkan CFR tertinggi terdapat diPropinsi NTT (3,96 %).
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti 8lu atau tipus.
Hal inidisebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat
asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan
pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare.
Masalah bisa bertambah karena virus
tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus.
oleh karena itudiperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi
virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan
pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan
penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang
memadai.
Masih adanya kasus tiap tahun (daerah endemis) DBD diwilayah
Karangnunggal dan bertambahnya wilayah yang terjangkit karena banyak nya
transportasi, perumahan atau pemukiman penduduk baru, kurangnya kesadaran
prilaku masyarakat terhadap kebersihan lingkungan, dan banyak nya vektor di
seluruh wilayah.

3. Tujuan
a. Umum
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah
dan melindungi diri dari penularan DBD melalui perubahan perilaku
(PSN DBD) dan kebersihan lingkungan.
b. Khusus
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian DBD
2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang berisiko terhadap
penularan DBD
3. Melaksanakan penanganan penderita sesuai standar
4. Menurunkan angka kesakitan DBD
5. Menurunkan angka kematian akibat DBD

4. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan

a. Surveilans epidemiologi
Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans
kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor (Aedes sp),
surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor risiko penularan
penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban
serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change).
Surveilans kasus itu sendiri merupakan suatu proses pengamatan yang
terus menerus sistematik dan berkesinambungan dalam pengumpulan
data, analisa dan interpretasi data kesehatan dalam upaya menguraikan
dan memantau suatu peristiwa kesehatan agar dapat dilakukan
penanggulangan yang efektif dan efisien terhadap masalah kesehatan.
Data yang termasuk dalam surveilans kasus antara lain dokumen proses
surveilans kasus yaitu trend atau grafik kasus, CFR, jumlah desa
terjangkit; musim penularan; grafik maksimum minimum bulanan
kasus; petalokasi kelurahan/desa rawan DBD; daftar kecamatan,
kelurahan
endemis, sporadis, potensial dan bebas yang ditanggulangi; buku
catatan kasus per kecamatan; laporan kasus cepat melalui jalur lain
diluar lap KDRS; pengambilan kasus di RS oleh petugas ;
pemberitahuan kasus dari kab/kota lain serta lama waktu rata-rata
antara dirawat sampai dilaksanakan PE dan fogging kasus. Surveians
juga dapat digunakan untuk menentukan luasnya infeksi dan resiko
penulara penyakit sehingga tindakan pencegahan dan penanggulangan
dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Mekanisme pengumpulan
data dapat dipilih secara pasif dengan menerima lapran atau secara aktif
mengumpulkan data di lapangan serta sumber data. Pengmpulan data
terhadap perorangan perlu juga mempertimbangkan kerahasiaan data.
Surveilans kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di meliputi
kegiatan pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD dan
penderita DD,DBD,SSD; pengolahan dan penyajian data penderita
DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk pelaporan tersangka
DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan; laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD);
laporan bulanan kasus/kematian DBD dan program pemberantasan (K-
DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD (DPDBD),
penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus
DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan dan kecenderungan
DBD. Penyakit DBD yang termasuk penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah sehingga keberhasilan pencegahan dan
pemberantasan penyakit harus ditunjang oleh sistem survailans dan
sistem manajemen yang baik. Faktor-faktor manajemen meliputi faktor
manusia (pengetahuan, sikap, tindakan, tingkat pendidikan dan
pelatihan yang pernahdiikuti petugas), faktor imbalan (uang jasa),
faktor bahan (material) dan faktor metode. Laporan penderita DD,
DBD dan SSD selain untuk tindak lanjut penyelidikan epidemiologis
(PE) dan penanggulangan fokus (PSN DBD, larvasidasi, penyuluhan
tentang DBD/PSN DBD, dan fogging focus bila memenuhi kriteria)
untuk membatasi penyebaran penyakit, sekaligus sebagai pelaporan
penderita secara berjenjang ke propinsi dan pusat. Laporan tersangka
DBD dimaksudkan untuk tindakan kewaspadaan seperti pemantauan
perkembangan diagnosis di unit pelayanan kesehatan atau oleh dinas
kesehatan, pencarian informasi kemungkinan adanya kasus tambahan
(case active finding) di desa/kelurahan tersangka berdomisili dan
pemberian anjuran pemeriksaan di fasilitas kesehatan agar tidak terjadi
keterlambatan, peningkatan upaya penyuluhan DBD atau PSN DBD
dan upaya penggerakan masyarakat dalam PSN DBD di
RT/RW/desa/kelurahan tempat tersangka berdomisili terutama di
desa/kelurahan endemis, dan lain-lain.
b. Penemuan dan tatalaksana kasus
Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan yang cukup besar di Indonesia, karena walaupun jumlah
angka kematian sudah dapat ditekan, tetapi jumlah kasus secara
keseluruhan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Manifestasi
penyakit ini sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai
gejala yang paling berat yang dapat disertai dengan renjatan. Penderita
klinis tersangka DBD apabila diagnosa tidak segera ditegakkan secara
dini maka dapat menuju kearah lebih berat, mudah terjadi renjatan dan
akhirnya dapat berakibat fatal karena terjadinya DSS. Berkaitan dengan
hal tersebut diatas, maka diagnose `pasti DBD penting sekali artinya,
karena selain membantu penatalaksanaan dan pengelola
c. Pengendalian vektor
Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk
dewasa dan jentik nyamuk.
Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk
memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada
manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M
Plus :
1. Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan
barang bekas 2. Secara kimiawi dengan larvasidasi
3. Secara biologis dengan pemberian ikan
4. Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar,
kelambu, memasang kawat kasa dll)
Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara :
1. Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik
(Jumantik) dan dimonitor olah petugas Puskesmas.
2. Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum
musim penularan.
3. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan
dilaksanakan oleh petugas Puskesmas.
4. Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan
kepada pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL
DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas
Jentik (ABJ).
d. Peningkatan peran serta masyarakat
Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran
PKK dan organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah
melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi (kantor,
tempat0tempat umum dan tempat ibadah). Upaya pencegahan
penyakit ini telah dilakukan antara lain dengan pemutusan rantai
nyamuk penularnya dengan cara penaburan larvasida, fogging focus
serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). PSN merupakan cara pemberantasan yang
lebih aman, murah dan sederhana. Oleh sebab itu kebijakan
pemerintah dalam pengendalian vektor DBD lebih menitikberatkan
pada program ini, walaupun cara ini sangat tergantung pada
peranserta masyarakat Pada daerah-daerah dengan sumber air bersih
yang terbatas, masyarakat harus lebih berperan serta secara aktif
dalam kegiatan PSN, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyakit DBD. Adanya kegiatan 3M akan sangat membantu dalam
keberhasilan PSN-DBD. Tindakan 3M merupakan cara paling tepat
dalam pencegahan dan penanggulangan terjadinya Penyakit DBD.
Penyuluhan kesehatan, yang merupakan saluran penyampaian
informasi dari para pelaksana program di lapangan kepada warga
masyarakat, dapatberjalan dengan baik oleh apabila didukung oleh
saran dan prasaran yang memadai. Ketidakberhasilan program
pencegahan dan pemberantasan DBD dalam mencegah dan
menurunkan tingginya angka kejadian penyakit DBD berhubungan
erat dengan belum adanya peranserta warga

e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB


Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah
terjadinya KLB dan apabila telah terjadi KLB dapat segera
ditanggulang dengan cepat dan tepat. Upaya dilapangan yaitu dengan
melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan
penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan
masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi. Demikian
pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik
penyediaan tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis
dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan
anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu. Hal ini
dikarenakan seluruh informan menjawab mereka melibatkan
masyarakat dalam penanggulangan DBD, juga melaksanakan kegiatan
fogging focus, adanya pengendalian sebelum musim penularan dan
penanggulangan kejadian luar biasa. Di Indonesia, pada saat musim
hujan populasi nyamuk meningkat meskipun saat musim kering
populasinya tetap banyak oleh karena masyarakat memiliki kebiasaan
menampung air di dalam bak air/drum terutama di daerah sulit
airsehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun. Kunci
pencegahan penyakit DBD adalah pengawasan yang ketat untuk
pelaporan dini hasil pemantauan kepadatan vektor sehingga
pengambilan tindakan tidak terlambat saat menerima laporan kasus
dari lokasi wabah. Keberadaan jumantik memiliki peran vital dalam
pemberantasan DBD karena bertugas memantau populasi nyamuk
penular DBD dan jentiknya. Pemeriksaan jentik berkala dilakukan
oleh jumantik yang bertugas melakukan kunjungan rumah setiap 3
bulan. Hasil yang didapat jumantik dilaporkan dalam bentuk Angka
Bebas
Jentik (ABJ) yaitu rasio antara jumlah rumah/bangunan yang tidak
ditemukan jentik dengan jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa
dikali 100%. ABJ merupakan indikator penyebaran Aedes aegypti.
ABJ yang ditargetkan secara nasional mencapai lebih dari 95%.11,13
ABJ sesungguhnya bukan jaminan akan adanya penurunan jumlah
kasus karena bisa saja daerah berpotensi sarang nyamuk yang
tersembunyi atau tidak terpantau seperti kaleng bekas di jalan, rumah
kosong, lubang bambu/pohon, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada
saat survei jentik memerlukan ketelitian dalam memeriksa tempat-
tempat perkembangbiakan nyamuk. Secara umum, peran petugas
kesehatan dinilai cukup berhasil dalam pencegahan DBD, namun
terdapat beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi. Pengalaman di
lapangan dalam melakukan evaluasi kinerja jumantik biasanya mereka
tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat
mengenai DBD dan pencegahannya. Motivasi kepada masyarakat
juga jarang diberikan padahal, ini penting sekali untuk selalu
diberikan dan diingatkan kepada masyarakat tentang pencegahan
DBD. Kalau program ini berjalan dengan baik maka masyarakat akan
memiliki pengetahuan yang cukup tentang DBD dan perilaku mereka

f. Penyuluhan
Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya
menyebarkan leaflet atau poster tetapi juga ke arah perubahan
perilaku dalam pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi
setempat. Penyuluhan kesehatan tersebut merupakan salah satu cara
yang digunakan untuk menambah pengetahuan dan kemampuan
seseorang melalui teknik belajar atau instruksi dengan tujuan
mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu,
kelompok maupun masyarakat. Tujuan penyuluhan kesehatan tentang
DBD adalah menginformasikan kepada masyarakat tentang penyakit
tersebut. Dengan demikian, masyarakat akan menggunakan
pengetahuan dari hasil penyuluhan tersebut untuk mengubah sikap
dan praktik agar mencapai kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan
tentang DBD meningkatkan pemahaman masyarakat tentang masalah
yang terjadi di masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam
pencegahan DBD.
g. Kemitraan/jejaring kerja
Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya
oleh sektor kesehatan saja, tetapi peran lintas program dan lintas
sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah terbentuk melalui
SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan
nama Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini
merupakan wadah koordinasi dan jejaring kemitraan dalam
pengendalian DBD.
h. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari
tingkat kelurahan/desa sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan
pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome
yang dicapai pada setiap tahun.

5. Cara melaksanakan kegiatan.

a. Pemberdayaan masyarakat Meningkatkan peran aktif masyarakat


dalam pencegahan dan pengendalian penyakit DBD merupakan salah
satu kunci keberhasilan upaya pengendalian DBD. Untuk mendorong
meningkatnya peran aktif masyarakat, maka KIE, pemasaran sosial,
advokasi dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya
dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai
media massa maupun secara berkelompok atau individual dengan
memperhatikan aspek sosial budaya yang lokal spesifik.
b. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD Upaya
pengendalian DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sector kesehatan
saja, peran sektor terkait pengendalian penyakit DBD sangat
menentukan. Oleh sebab itu maka identifikasi stake-holders baik
sebagai mitra maupun pelaku potensial merupakan langkah awal
dalam menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan.
Jejaring kemitraan diselenggarakan melalui pertemuan berkala guna
memadukan berbagai sumber daya yang tersedia dimasing-masing
mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap
pelaksanaan, pemantauan dan penilaian melalui wadah Kelompok
Kerja Operasional (POKJANAL DBD) di berbagai tingkatan
administrasi.
c. Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program SDM yang terampil
dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu
unsur penting dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan program
pengendalian DBD.
d. Desentralisasi Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelolaan
kegiatan pengendalian DBD kepada pemerintah kabupaten/kota,
melalui SPM bidang kesehatan.
e. Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan Meningkatkan
mutu lingkungan hidup yang dapat mengurangi risiko penularan DBD
kepada manusia, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat
infeksi Dengue/DBD.
6. Sasaran

a. Individu, keluarga dan masyarakat di tujuh tatanan dalam PSN yaitu


tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat-
tempat umum, tempat penjual makanan, fasilitas olah raga dan
fasilitas kesehatan yang secara keseluruhan di daerah terjangkit DBD
mampu mengatasi masalah termasuk melindungi diri dari penularan
DBD di dalam wadah organisasi kemasyarakatan yang ada dan
mengakar di masyarakat.
b. Lintas program dan lintas sektor terkait termasuk swasta/dunia usaha,
LSM dan organisasi kemasyarakatan mempunyai komitmen dalam
penanggulangan penyakit DBD.
c. Penanggungjawab program mampu membuat dan menetapkan
kebijakan operasional dan menyusun prioritas dalam pengendalian
DBD.
d. SDM bidang kesehatan Kabupaten/Kota, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan

7. Jadwal pelaksanaan kegiatan

NAMA BULAN
NO TEMPAT
KEGIATAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Penemuan dan Puskesmas
1 tatalaksana kasus

Pengendalian vektor Insedentil


2

Peningkatan peran Puskesmas


3 serta masyarakat

Penyuluhan Puskesmas
dan
4
Tempat
Kunjungan
Sistem Tempat
kewaspadaan dini Kunjungan
5 (SKD) (insidentil)
dan penanggulangan
KLB
Kemitraan/jejaring Wilayah
6 kerja puskesmas

Monitoring dan Dinkes


7 evaluasi kabupaten
8. Evaluasi pelaksanaan kegiatan dan pelaporan

Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dilaksanakan setiap bulan sekali


saat lokmin bulanan dan laporan dikirim ke Dinkes kabupaten. Pelaporan
menggunakan format laporan yang telah disediakan, meliputi ;
a. Pelaporan Rutin
1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau
penderita DBD wajib segera melaporkannya ke dinas kesehatan
kabupaten /kota setempat selambat – lambatnya dalam 24 jam dengan
tembusan ke Puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan
tersangka DBD merupakan laporan yang dipergunakan untuk
tindakan kewaspadaan dan tindak lanjut penanggulangannya juga
merupakan laporan yang dipergunakan sebagai laporan kasus yang
diteruskan secara berjenjang dari puskesmas sampai pusat. Formulir
yang digunakan adalah formulir kewaspadaan dini RS (KD/RS-DBD),
dan formulir rekapitulasi penderita DBDper bulan (DP-DBD/RS).
2. Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
a. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD
dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan
b. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan
DBD yang dilaporkan perbulan
c. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan d.
Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB
e. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KL
b. Pelaporan dalam situasi kejadian luar biasa
1. Pelaporan oleh unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
a. Menggunakan formulir W1
b. Pelaporan dengan formulir DP-DBD ditingkatkan frekuensinya
menjadi mingguan atau harian
c. Pelaporan dengan formulir KD/RS-DBD tetap dilaksanakan
2. Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
a. Menggunakan formulir W1
b. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD
dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan
c. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB
9. Pencatatan, pelaporan dan evaluasi kegiatan

a. Pencatatan kegiatan dilaksanakan oleh programmer/pelaksana kegiatan


dengan menggunakan komputer metode entri dan olah data.
b. Pelaporan dilakukan setiap bulan melalui lokmin Puskesmas, dan
dikirimkan kepada Dinas Kesehatan secara berjenjang dengan
menggunakan format yang terstandar setiap bulan.
c. Evaluasi kegiatan meliputi evaluasi proses yakni cakupan per-bulan dan
evaluasi hasil dilakukan pada akhir tahun sebagai bentuk kinerja
program.

Karangnunggal, Januari 2017


Kepala UPT Puskesmas Karangnunggal Pengelola Program

H.SYARHAN`,dr.MM ANDRI AHMAD RIADI


NIP. 19691201 200212 1 004 NIP. 19790628 201410 1 001
KERANGKA ACUAN PROGRAM PENYAKIT DBD

Nomor :

Revisi Ke :

Berlaku Tgl:

UPT PUSKESMAS DTP KARANGNUNGGAL

You might also like