You are on page 1of 13

MENGENAL DAN MEMAHAMI PELUANG TANTANGAN PERADILAN

AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI


SYARIAH [LITIGASI]

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Arbitrase Syariah

yang diampu oleh Bapak Faqih Ali Syariati, Lc, MSI

Disusun Oleh ;

Kelompok 1

Wahyu Eka Darman 21383021048

Zainol Fatah 21383021050

Shofwan Hamdani 21383021122

Kelas D

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

SEPTEMBER 2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa


Ta'ala, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah Arbitrase Syariah yang berjudul
“mengenal dan memahami peluang dan tantangan peradilan agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah [Litigasi]” sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan. Shalawat serta Salam kami haturkan untuk Nabi Besar junjungan
kita Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang telah membimbing kita
dari kegelapan menuju alam yang terang benderang saat ini.

Kemudian penulis ucapkan terima kasih kepada pihak Institut Agama


Islam Negeri Madura, Bapak dan Ibu Dosen atas bimbingan yang telah diberikan
khususnya kepada Bapak Faqih Ali Syariati, Lc, MSI sebagai dosen pengampu
mata kuliah ini. Tak lupa juga penulis haturkan terima kasih kepada kedua orang
tua dan saudara yang telah memberikan motivasi dan nasehat, dan juga kepada
teman-teman yang telah memberikan semangat serta masukan dalam penulisan
makalah ini.

Sebagai seorang manusia, penulis sadar bahwa dalam penyusunan


makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kekurangan dan
kesalahan oleh keterbatasan-keterbatasan penulis, untuk itu masukan berupa kritik
dan saran bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini.

Dan akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat mendatangkan manfaat


bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain.

Pamekasan, 07 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………...….ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN…………..…………………………………………….1

A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Makalah……………………………………..…………………..1
C. Tujuan Penulisan………………..…………………………………………1

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………2

A. Pengertian peradilan agama………………...……………………………..2


B. Perluasan objek kewenangan pengadilan agama………………………….2
C. Kesiapan pengadilan agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah………………………………..5
D. Penyelesaian sengketa secara litigasi……………………………………...6

BAB III PENUTUP………………………………………………………………9

A. Kesimpulan………………………………………………………………..9
B. Saran……………………………………………………………………….9

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sengketa ekonomi syariah sering kali terjadi di masyarakat. Oleh
karena itu, diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa
tersebut secara adil dan bijaksana. Peradilan agama menjadi salah satu
lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah secara adil dan
bijaksana. Namun, peradilan agama juga memiliki tantangan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai peluang dan tantangan peradilan agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

B. Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belekang masalah di atas, maka dapat di rumuskan
beberapa rumusan makalah sebagai berikut :
a. Perluasan objek kewenangan pengadilan agama
b. Kesiapan pengadilan agama dalammenyelesaikan sengketa ekonomi
syariah
c. Penyelesaian sengketa secara litigasi

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini
adalah :
a. Perluasan objek kewenangan pengadilan agama
b. Kesiapan pengadilan agama dalammenyelesaikan sengketa ekonomi
syariah
c. Penyelesaian sengketa secara litigasi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama


Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan. Peradilan
juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan di suatu lembaga.
Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti
menetapkan, memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut
istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang
mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapanketetapan (hukum) dari
Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang
diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-
perselisihan hukum.
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum
agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan agama
dan Pengadilan Tinggi Agama. Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama
dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian
sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, dan
telah lama ada dalam masyarakat Indonesia yakni sejak agama Islam datang
ke Indonesia.
Pengadilan Agama adalah tempat usaha untuk mencari keadilan dan
kebenaran yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis
hakim atau Mahkamah. Peradilan Agama disebut juga Mahkamah Syariah
yang berarti pengadilan atau mahkamah yang tugasnya menyelesaikan
perselisihan hukum agama atau hukum syaraq. Peradilan Agama hanya
khusus berlaku bagi orang yang beragama Islam saja. 1
B. Perluasan objek kewenangan pengadilan agama
Negara Indonesia merupakan negara hukum dan sejalan dengan hal itu,
maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
1 Ahsin Sakho Muhammad, Mushaf Maqamat, Institut Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, 2013, Juz 6, h. 115.

2
menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha sesuai tuntutan reformasi di
bidang hukum yaitu memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dirubah lagi secara komprehensif sesuai
dengan tuntutan perkembangan hukum masyarakat dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah
satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Adanya pemberian dasar hukum kepada pengadilan agama dalam
menyelesaikan perkara tertentu merupakan maksud dari adanya penegasan
kewenangan Peradilan Agama tersebut.3
Menurut Pasal 49, 50, 51, 52 dan 52A, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, maka tugas-tugas dan wewenang pengadilan
agama adalah sebagai berikut :
Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan;

2 Siallagan, H. (2016). Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia. Sosiohumaniora, 18(2), 122-128.
3 Subiyanto, A. E. (2012). Mendesain Kewenangan kekuasaan kehakiman setelah Perubahan UUD 1945.
Jurnal Konstitusi, 9(4), 661-680.

3
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shodaqoh; dan
i. Ekonomi syariah.

Pasal 50
1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam,
objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 51
1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara.
2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili
ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar
pengadilan agama didaerah hukumnya.
Pasal 52
a) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta.
b) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 49 dan Pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan
kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

4
Pasal 52A
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal penentuan
awal bulan pada tahun Hijriyah.
Penyelesaian sengketa di pengadilan agama tidak hanya dibatasi di
bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah
lainnya. Dan yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama
Islam” di sini adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. 4
C. Kesiapan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah
Peradilan Agama yang merupakan salah satu wadah penyeleseaian
secara litigasi diakui eksistensinya berdasarkan UndangUndang Nomor 4
tahun 2004. Sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman,
Pengadilan Agama memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan
penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkaraperkara tertentu. Yang dimaksud dengan pencari
keadilan disini termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri
dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama.
Berdasarkan Pasal 3A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, di
lingkungan Pengadilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan
yang diatur dengan undang-undang. Artinya bahwa pada pengadilan agama
dapat didirikan pengadilan khusus yakni pengadilan niaga berdasarkan
undang-undang, seperti halnya pengadilan niaga pada pengadilan negeri yang
berada di lingkungan peradilan umum, yang hakimhakim dan paniteranya
memiliki keahlian khusus di bidang ekonomi syariah. 5
Berkaitan dengan faktor petugas yang menegakkannya, seorang hakim,
termasuk hakim di pengadilan agama, dituntut bekerja secara profesional

4Komariah, U. (2014). Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama. Jurnal Hukum dan Peradilan,
3(2), 117-126.
5Sinaga, 2006, ”Arbitrase dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi Syariah”, makalah pada Seminar Nasional
Reformasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional, Semarang, 6-8 Juni 2006, hlm. 11.

5
sesuai lingkup pekerjaannya. Oleh karena itu seorang hakim pengadilan
agama di samping harus memenuhi syarat-syarat umum sebagaimana
lazimnya, juga dipersyaratkan berlatarbelakang sarjana syariah dan/atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Hal ini dikarenakan tugas-
tugas yang harus dihadapi adalah perkara-perkara yang ada sangkut pautnya
dengan hukum Islam, termasuk hukum ekonomi Islam (ekonomi syariah).
Dengan demikian, seorang hakim dituntut untuk mengetahui dan memahami
segala hal/perkara yang menjadi kompetensinya, sesuai dengan adagium “ius
curia novit” yang artinya hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga
hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya
tidak atau kurang jelas. Dengan persyaratan khusus seperti ini, diharapkan
seorang hakim pengadilan agama cakap dalam menjalankan tugas, sehingga
apabila terjadi hal yang sebaliknya, misalnya seorang hakim pengadilan
agama banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya,
yang bersangkutan dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya. 6
D. Penyelesaian sengketa secara litigasi
Proses penyelesaian sengketa oleh para pihak yang bersengketa dapat
dilakukan melalui jalur litigasi atau lembaga peradilan negara. Hal ini berarti
sengketa tersebut akan diperiksa oleh hakim pengadilan dalam suatu
rangkaian persidangan. Penyelenggaraan peradilan dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan militer, peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 7
Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas
pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
sengketa yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia.

6Harahab, Y. (2008). Kesiapan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Masalah Ekonomi Syariah. Forum
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada , 20 (1).
7Achmadi Ali, menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Cet. I; Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), h. 320-321.

6
Kelebihan penyelesaian sengketa secara litigasi adalah putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, bersifat final,
menciptakan kepastian hukum dengan posisi para pihak menang atau kalah
(win and lose position), dan dapat dipaksakan pelaksanaan putusannya apabila
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan (eksekusi).
Oleh Sudikno Mertokusumo dikatakan bahwa putusan pengadilan mempunyai
tiga macam kekuatan yang merupakan keistimewaan penyelesaian sengketa
secara litigasi, yakni putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat,
kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk
dilaksanakan.8
- Kekuatan mengikat
Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat, artinya putusan
hakim itu mengikat para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam
perkara itu. Para pihak harus tunduk dan menghormati putusan hakim
tersebut. Putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tidak dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi kecuali
dengan upaya hukum yang luar biasa (peninjauan kembali/request civil).
- Kekuatan pembuktian
Putusan hakim mempunyai kekuatan pembuktian, artinya dengan
putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang
terkandung dalam putusan itu. Dituangkannya putusan hakim dalam
bentuk tertulis yang merupakan akta otentik tidak lain bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang mungkin
diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali atau
upaya hukum lainnya, dan untuk pelaksanaan putusan.
- Kekuatan eksekutorial
Putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya bahwa
suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau
perkara dan menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi
pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari

8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 177-182.

7
suatu putusan hakim belum cukup dan tidak akan berarti apabila putusan
itu tidk dapat direalisasikan atau dilaksanakan.
Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak dan hukumnya
untuk kemudian direalisasikan, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam
putusan hakim itu secara paksa oleh alat-alat negara.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Peradilan agama memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah. Peradilan agama memiliki peluang dan tantangan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Oleh karena itu, peradilan agama
perlu terus melakukan perbaikan untuk meningkatkan kualitas dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan memberikan keadilan bagi
seluruh masyarakat.
B. Saran
Semoga setelah mempelajari dan memahami makalah ini dapat
memahami tentang peluang tantangan peradilan agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah, kami mengakui dalam makalah ini banyak
kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang kami butuhkan dari teman-
teman maupun dosen pengampu mata kuliah Arbitrase Syariah.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ahsin Sakho Muhammad, Mushaf Maqamat, Institut Ilmu Al-Qur’an, Jakarta,


2013, Juz 6,

Siallagan, H. (2016). Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia.


Sosiohumaniora, 18(2), 122-128.

Subiyanto, A. E. (2012). Mendesain Kewenangan kekuasaan kehakiman setelah


Perubahan UUD 1945. Jurnal Konstitusi, 9(4), 661-680.

Komariah, U. (2014). Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama. Jurnal


Hukum dan Peradilan, 3(2), 117-126.

Sinaga, 2006, ”Arbitrase dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi Syariah”,


makalah pada Seminar Nasional Reformasi Sistem Ekonomi Syariah dan
Legislasi Nasional, Semarang, 6-8 Juni 2006

Harahab, Y. (2008). Kesiapan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Masalah


Ekonomi Syariah. Forum Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada , 20 (1).

Achmadi Ali, menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
(Cet. I; Jakarta: Chandra Pratama, 1996), h. 320-321.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Cet. I; Yogyakarta:


Liberty, 1993), h. 177-182.

10

You might also like