You are on page 1of 10

LAPORAN PENDAHULUAN

RHEUMATOID ARHTRITIS

Untuk memenuhi salah satu mata kuliah KMB II

Di susun oleh :
Febri Tri Anggraeni
Resa Aulia Daryanti

SI Keperawatan Transfer RSKC


STIKes Budi Luhur Cimahi
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
RHEUMATOID ARHTRITIS

1. Konsep Dasar
A. Definisi
Rheumatoid Arhtritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik dan progresif
yang mempengaruhi struktur intra artikular dan ekstra artikular yang menyebabkan
rasa sakit, kecacatan hingga kematian. Peradangan pada persendian dapat
menyebabkan kerusakan sendi berupa erosi dan kerusakan fungsional pada sebagian
besar pasien. Permulaan penyakit tidak sama pada semua pasien dan bervariasi dalam
hal tipe, jumlah, dan pola keterlibatan sendi. Jalannya penyakit mungkin juga berbeda
sesuai dengan ada atau tidaknya beberapa variabel termasuk latar belakang genetik,
autoantibodi dalam serum dan tingkat keparahan proses inflamasi (Behzad, 2011).
Rheumatoid Arhtritis dapat menyebabkan rasa sakit dan kaku pada sendi,
secara patologis penyakit ini ditandai dengan peradangan pada sendi. Tanpa
perawatan yang tepat, hal itu akan menyebabkan deformitas sendi yang
mengakibatkan hilangnya fungsi secara signifikan. Penyakit ekstra artikular juga bisa
terjadi, yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan
penyakit ini. Pasien dari semua kelompok usia dapat memperoleh penyakit ini, namun
penyakit ini tersering terjadi pada lansia (Bhattacharya, 2010)

B. Etiologi
Etiologi Rhematoid Arthritis belum diketahui secara pasti. Namun,
kejadiannya dihubungkan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009)
1) Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1, faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
2) Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit
Rheumatoid Arhtritis (Suarjana, 2009).
3) Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya
reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis
(Suarjana, 2009).
4) Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

C. Patofisiologi
Peradangan. pembengkakan, dan kerusakan sendi yang menjadi ciri
Rhematoid Arthritis adalah hasil dari proses autoimun dan 12 inflamasi kompleks.
Pada individu yang rentan, interaksi lingkungan dan gen menghasilkan hilangnya
toleransi protein yang mengandung residu citrulline. Protein-protein ini dihasilkan
melalui modifikasi post translational dari residu arginin ke residu citrulline oleh
enzim peptidylarginine deiminase. Pasien dengan epitop bersama menghasilkan
peptida citrullinated yang tidak lagi dikenal sebagai diri sendiri oleh sistem kekebalan
tubuh, yang akibatnya mengembangkan anti-citrullinated protein antibodies (ACPA)
terhadap mereka. Synovitis pada Rheumatoid Arhtritis terjadi sebagai konsekuensi
dari infiltrasi leukosit ke dalam synovium. Akumulasi leukosit di sinovium tidak
diakibatkan oleh proliferasi seluler lokal, melainkan dari migrasi leukosit dari tempat
pembentukan yang jauh sebagai respons terhadap ekspresi molekul adhesi dan
kemokin oleh sel endotel yang teraktivasi dari microvessels sinovial. Bagian dalam
sinovium yang meradang mengalami Hipoksia, yang mungkin sebagai hasil dari
proliferasi sel sinovial dan pengurangan aliran kapiler sinovial sebagai konsekuensi
peningkatan volume cairan di sinovium.
Pentingnya jalur imun adaptif pada Rheumatoid Arhtritis terutama dengan
adanya sel dendritik, yaitu antigen presenting cell yang mengekspresikan berbagai
sitokin, molekul kelas II HLA, dan molekul klimaks di dekat kelompok-kelompok sel
T di Sinovium. Sel dendritik nantinya akan mengenali antigen dan membawa ke sel T
yang hadir di sinovium dan juga berfungsi sebagai salah satu 13 komponen proses
aktivasi sel T. Aktivasi sel T sendiri memerlukan 2 sinyal. Sinyal pertama adalah
presentasi antigen ke reseptor sel-T. Sinyal kedua, sinyal costimulatory, yang
memerlukan interaksi protein permukaan sel CD80 / 86 pada sel antigen-presenting
(dendritik) dengan protein CD28 pada sel T. Blokade sinyal costimulatory melalui
penghambatan kompetitif CD80 / 86 mengganggu aktivasi sel T. Efektivitas blokade
CD80 / 86 sebagai pengobatan untuk RA memvalidasi konsep bahwa sel T berperan
aktif dalam patofisiologi Rheumatoid Arhtritis .
Ketika aktivasi sel T tidak terjadi, sel T helper (Th) akan berdiferensiasi
menjadi 3 subpopulasi utama (Th1, Th2, dan Th17) dengan profil dan fungsi produksi
sitokin yang berbeda. Meskipun Rheumatoid Arhtritis telah lama dianggap sebagai
penyakit yang dimediasi Oleh sel Th1, baru-baru ini banyak penelitian yang terfokus
pada subpopulasi Th17. Sel dendritik dan makrofag keduanya akan mensekresikan
faktor pertumbuhan β, interleukin (IL) -1β, IL-6, IL-21, dan IL-23, sitokin yang
mendukung diferensiasi Th17 juga akan menekan produksi sel T regulator, sehingga
menggeser keseimbangan homeostatik dalam Sinovium menuju peradangan
(Gibofsky, 2014)

D. Faktor Resiko
Menurut CDC (2011), ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko maupun
menurunkan resiko kejadian Rhematoid Arthritis yaitu; 14
1) Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian Rheumatoid Arhtritis dan tidak
dapat dimodifikasi
a. Umur
Risiko terkena Rhematoid Arthritis meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Rhematoid Arthritis dapat terjadi pada usia berapapun, namun lebih
sering dijumpai pada usia antara 40 dan 60 tahun. Timbulnya Rhematoid
Arthritis , baik perempuan dan laki-laki, paling banyak terjadi pada usia 60
tahun.
b. Jenis Kelamin
Rhematoid Arthritis lebih sering terjadi pada wanita, yang mana 60% dari
semua orang dengan arthritis adalah perempuan. Insidensi Rheumatoid
Arhtritis biasanya dua sampai tiga kali lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Populasi diperkirakan 4 % pada wanita dan 3 % di
antara laki-laki. Perempuan dengan hormon estrogennya lebih berpeluang
terserang RA dibandingkan dengan pria. Hormon estrogen sangat penting
untuk menjaga kepadatan tulang. Kekurangan hormon ekstrogen
mengakibatkan lebih banyak penghancuran tulang daripada pembentukan
tulang. Keadaan ini mempercepat dan memperberat penyakit RA.
c. Genetik
Terdapat bukti lama bahwa HLA tertentu pada genotipe kelas II yang
dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian 15 Rheumatoid Arhtritis .
Terjadi hubungan yang erat antara HLA-DW4 dengan Rheumatoid Arhtritis
seropositif. Hubungan ini menunjukkan bahwa penderita memiliki resiko 4
kali lebih mudah terserang penyakit ini.
d. Hormon sex
Perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi
esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga
estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

E. Manisfestasi Klinis
Manifestasi Rheumatoid Arhtritis dapat ditemukan pada semua sendi dan
tendon, tetapi paling sering dijumpai pada sendi tangan. Rheumatoid Arhtritis juga
dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, tendon,
dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang
disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010). Ketika penyakit ini aktif bisa muncul gejala
seperti kelelahan dan kekakuan sendi yang biasanya paling sering terjadi di pagi hari.
Manifestasi Rheumatoid Arhtritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan
stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan
gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk Rheumatoid Arhtritis
(Smeltzer & Bare, 2002).
Secara umum menurut Suarjana (2009) manifestasi klinis RA terbagi menjadi 3
kategori yaitu;
1) Awitan (onset)
Kurang lebih 2/3 penderita RA, memiliki awitan terjadi secara perlahan,
artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari
perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal
yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu.
Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis
poliartikular, sehingga diagnosis RA lebih mudah ditegakkan. Pada 18 8-15%
penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi).
Artritis seringkali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung
selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala
konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam ringan
2) Manifestasi articular
Penderita Rheumatoid Arhtritis pada umumnya mengalami keluhan nyeri dan
kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala
awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal
penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan teraba
hangat mungkin tidak dijumpai pada Rheumatoid Arhtritis yang kronik.
3) Manifestasi ekstraartikular
Manifestasi ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang
mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid
merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak
memerlukan intervensi 20 khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan
ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa
Olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan
faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan
dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma. Manifestasi paru juga
bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat
otopsi.

F. Penatalaksanaan
Rheumatoid Arhtritis (RA) saat ini belum ada obatnya, kecuali yang
dibebabkan oleh infeksi. Obat yang tersedia hanya mengatasi gejala penyakitnya.
Tujuan pengobatan yang dilakukan adalah untuk mengurangi nyeri, mengurangi
terjadinya proses inflamasi pada sendi, memelihara, dan memperbaiki fungsi sendi
dan mencegah kerusakan tulang (Brunner&Suddarth, 2002). Mengingat keluhan
utama penderita Rheumatoid Arhtritis adalah timbulnya rasa nyeri, inflamasi,
kekakuan, maka strategi penetalaksanaanya nyeri mencangkup pendekatan
farmakologi dan non farmakologi (Williams&Wilkins, 1997).
1) Penatalaksanaan Farmakologi
Mengkombinasikan beberapa tipe pengobatan dengan menghilangkan nyeri. Obat
anti infalamasi yang dipilih sebagai pilihan pertama adalah aspirin dan NSAIDs
dan pilihan ke dua adalah kombinasi terapi terutama Kortikosteroid
(Bruke&Laramie, 2000).
2) Penatalaksanaan Non Farmakologi
Tindakan non farmakologi mencangkup intervensi perilaku kognitif dan penggunaan
agen-agen fisik. Tujuannya adalah mengubah persepsi penderita tentang penyakit,
mengubah perilaku, dan memberikan rasa pengendalian yang lebih besar (Perry&Potter,
2006). Terapi modalitas maupun terapi komplementer yang digunakan pada kasus
Rheumatoid Arhtritis pada lansia mencangkup :
a. Terapi Modalitas
Diit makanan merupakan alternatif pengobatan non farmakologi untuk
penderita Rheumatoid Arhtritis (Burke&Laramie, 2000). Pengaturan diit
seimbang pada penderita akan menurunkan kadar asam urat dalam darah.
Bertambahnya berat badan dapat menambah tekanan pada sendi panggul,
lutut, dan sendi-sendi pada kaki (Price&Wilson, 1995).
b. Kompres panas dan dingin serta massase. Penelitian membuktikan bahwa
kompres panas dan digin sama efektifnya dalam mengurangi nyeri
(Brunner&Suddarth, 2002).
c. Olah raga dan istirahat. Penderita Rheumatoid Arhtritis harus
menyeimbangkan kehidupannya dengan istirahat dan beraktivitas guna
memperbaiki kondisi penyakit yang dideritanya (Brunner&Suddarth, 2002).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, darah bisa terjadi anemia,
leukositosis, Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita.
2. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukan pembengkakan pada jaringan lunak
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal)
berkembang menjai formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio
perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
3. Scan radionuklida : mengidentifikasi peradangan sinovium
4. Artoskopi langsung : visualisasi dari area yang menunjukan irregularitas/
degenerasi tulang pada sendi
5. Biopsi membran sinovial : menunjukan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
H. Kompilikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi non sterois
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit yang menjadi faktor penyebab
morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis rheumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik
akibat vaskulitas.

2. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, ppenanggung jawab, data dasar,
pengkajian.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit rematik adalah
klien mengeluh nyeri
3) Riwayat penyakit sekarang
Meliputi berupa uraian pada mengenal penyakit yang diderita oleh klien dari
mulai timbulnya keluhan yang dirasakan.
4) Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan
5) Riwayat penyakit sebelumnya
Tanyakannpada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya.
6) Pemeriksaan fisik
- Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral). Amati
warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan
- Lakukan pengukuran passive range of motion pada sendi-sendi synovial : catat
ada sevisiasi (keterbatasan gerak sendi), krepitasi, nyeri saat sendi digerakan
- Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral : catat bila ada
atrofi, tonus yang berkurang, ukur kekuatan oto
- Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya
- Kaji aktivitas kegiatan sehari-hari
7) Riwayat psiko sosial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi
apalagi pada pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karena pasien
merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan
sehari-hari menjadi berubah.
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan organ-
organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal), tahapan misalnya
eksaerbasi akut atau remisis dan keberadaan bersama bentuk-bentuk lainnya.
Pengkajian pola gordon.
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
b. Pola nutrisi metabolik
c. Pola eliminasi
d. Pola aktivitas dan latihan
e. Pola istirahat tidur
f. Pola persepsi kognitif
g. Pola persepsi konsep diri
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
i. Pola reproduksi seksualitas
j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap sesama
k. Pola sistem kepercayaan

B. Diagnosa Keperawatan
Nyeri Akut ( SDKI D.0077)
Gangguan mobilitas fisik (SDKI D.0054)
Gangguan Citra Tubuh (SDKI D.0083)

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1. Nyeri Akut (SLKI L.08066) Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1.observasi
dengan agen keperawatan selama -lokasi, karakteristik, durasi,
cedera fisik 3x24jam diharapkan skala frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
nyeri klien menurun -identifikasi skala nyeri
dengan kriteria hasil : -identifikasi respon nyeri non verbal
-klien mampu melaporkan -identifikasi faktor yang
nyeri menurun memperberat dan memperingan
-sikap meringis menurun nyeri
-kesulitan tidur menurun -identifikasi pengetahuan dan
-frekuensi nasi membaik keyakinan tentang nyeri
-pola nafas membaik -identifikasi pengruh budaya
-tekanan darah membaik terhadap respon nyeri
-monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
2. Terapeutik
-berikan teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi rasa nyeri
-kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
-fasilitasi istirahat dan tidur
-pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
-jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
-jelaskan strategi meredakan nyeri
-anjurkan memonitor nyeri secara
maniri
Ajarkan teknik relaksasi
4.Kolaborasi
-kolaborasi pemberian analgetik
2. (SDKI D.0083) (SLKI L.09067) Promosi Citra Tubuh (I.09305)
Gangguan citra setelah dilakukan tindakan 1.observasi
tubuh kekeperawatan selama -identifikasi harapan citra tubuh
berhubungan 3x24jam maka diharapkan berdasarkan tahap perkembangan
dengan transisi persepsi citra tubuh -identifikasi budaya, agama, jenis
perkembangan meningkat dengan kriteria kelamin, dan umur terkait citra
hasil : tubuh
-melihat bagian tubuh -identifikasi perubahan citra tubuh
meningkat yang mengakibatkan isolasi sosial
-menyentug bagian tubuh -monitor frekuensi pernyataan kritik
meningkat terhadap diri sendiri
-verbalisasi perasaan 2.Terapetik
negativ tentang perubahan -diskusiakan perubahan tubuh dan
tubuh menurun fungsinya
-verbalisasi kekhawatiran -diskusikan perbedaan penampilan
pada penolakan/reaksi fisik terhadap harga diri
orang lain menurun -diskusikan cara mengembangkan
-verbalisasi perubahan harapan citra tubuh secara realitis
gaya hidup menurun -diskusikan persepsi pasien dan
Hubungan sosial membaik keluarga tentang perubahan ctra
tubuh
3.Edukasi.
-jelaskan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh
-anjurkan mengungkapkan
gambaran diri terhadap citra tubuh
-anjurkan mengikuti kelompok
pendukung
-latih fungsi tubuh yang dimiliki
3. (SDKI D.0054) (SLKI L-05042) Dukungan Ambulasi (I.06171)
Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1.Observasi
mobilitas fisik keperawatan selama -identifikasi adanya nyeri atau
berhubungan 3x4jam maka diharapkan keluhan fisik
dengan mobilitas fisik meningkat -identifikasi toleransi fisik
kekakuan sendi dengan kriteria hasil: melakukan ambulasi
-pergerakan ekstremitas -monitor frekuensi jantung dan
meningkat tekanan darah sebelum memulai
-kekuatan otot meningkat ambulasi
-rentang gerak (ROM) -monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan ambulasi
-nyeri menurun 2.Terapetik
-kecemasan menurun -fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
-kaku sendi menurun alat bantu
-fasilitasi melakukan mobilitas fisik
-libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
ambulasi
3.Edukasi
-jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
-anjurkan melakukan ambulasi dini
-anjurkan ambulasi sederhana yang
harus dilakukan

D. Implementasi Keperawatan
Beberapa prosedur tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat
sebelumnya.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan dengan cara menilai kemampuan dalam merespon tindakan yang
telah diberikan oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harris Ed Jr., 1993, Etiology and pathogenesis of Reumatoid Arthritis Dalam:


Textbook of Rheumatology, Philadhelpia: Saunders Co

2. Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L. 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7.
Jakarta: EGC

3. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC. 2002.

4. Nasution., 1996. Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.

You might also like