You are on page 1of 12

MANAJEMEN LUKA TEKAN

(DECUBITUS)

DOSEN PENGAMPU :
ULFA HUSNUL FATA, M.Kep

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

DWI NGESTI CHRISTIANI 2112061


UMI WAQIAH 2212053
ONI PUJI LESTARI 2212054
AMILATUL AFIDAH 2212057
ALI RIDWAN 2212059
EKO PRAYITNO 2212061
DEDI HADI SANCOKO 2212064
CATURHERMIN TITIK W 2212074
HIDAYATUL MUFIDAH 2212084
ARNI NAZIRAH 2212085
KRISTINA SUSMINARTI 2212086

STIKES PATRIA HUSADA BLITAR


PRODI SARJANA KEPERAWATAN ALIH JENJANG
2022-2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


European Pressure Ulcer Advisory Panel (2009) mengungkapkan bahwa klien yang
mengalami penurunan mobilitas dalam jangka waktu lama memiliki risiko tinggi mengalami
luka dekubitus (Potter & Perry, 2013). Dekubitus merupakan kerusakan terlokalisir pada bagian
kulit dan atau jaringan di bawahnya yang diakibatkan karena tekanan yang biasanya terjadinya
pada daerah tulang yang menonjol (National Pressure Ulcer Advisory Panel, 2014). Luka tekan
menjadi masalah kesehatan dunia ang besar dan serius, yang secara signifikan meningkatkan
angka kesakitan dan kematian. Hampir 700.000 pasien mengalami luka tekan setiap tahun dan
lebih 2,5 juta orang di AS mengalami luka tekan setiap tahun. Luka tekan memiliki dampak yang
luar biasa pada pasien berupa nyeri, sakit jaringan, septikemia, hilangnya produktivitas,
perubahan harga diri, citra diri, cacat fungsional, perubahan kualitas hidup dan beban finansial
yang menuntut sumber daya dari sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia (Berihu et al,
2020).
NPUAP (2012) mendapati bahwa lebih dari 2,5 juta penduduk Amerika Serikat
mengalami luka dekubitus setiap tahunnya. Tingginya angka tersebut hingga mengakibatkan
60.000 orang meninggal diakibatkan dari luka dekubitus. Di Indonesia sendiri, menurut hasil
penelitian Yusuf dalam Maryunani (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 33,3% masyarakat di
Indonesia mengalami dekubitus. Angka ini terbilang sangat tinggi jika dibandingkan dengan
angka dekubitus di ASEAN yang hanya berkisar 2,1-31,3%. Prevalensi ulkus dekubitus sekitar
17-28% dan sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien berusia diatas 70 tahun (Sugama et al
dalam Maryunani, 2013).
Pada pasien yang banyak menghabiskan waktunya dengan berbaring sangat beresiko
tinggi mengalami dekubitus. Hal ini terjadi karena faktor terbesar yang mendorong terjadinya
dekubitus yaitu gesekan dan perlukaan. Keadaan tersebut menimbulkan terjadinya oklusi pada
pembuluh darah kecil yang mengakibatkan terjadinya iskemia. Iskemia menyebabkan terjadinya
inflamasi dan anoksia jaringan. Anoksia jaringan ini menyebabkan terjadinya sel mati, nekrosis
dan ulkus. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan terjadinya dekubitus jika salah satu bagian
tubuh berada pada suatu gradien (titik perbedaan antara dua tekanan). Pada seseorang yang
mengalami ulkus dekubitus dapat menimbulkan kerusakan jaringan kulit hingga
ketidaknyamanan sehingga menjadi stressor hingga dapat menyebabkan meninggal dunia
(Nursalam, 2014 dalam Bagaswara, 2019).
Pengaturan posisi digunakan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit. Posisi
pasien mobilisasi diubah sesuai dengan tingkat aktivitasnya, kemampuan persepsi dan
rutinitasnya sehari-hari, kenyamanan, kontrol postur tubuh, dan manajemen tekanan. Pencegahan
ulkus diantaranya dengan merubah posisi dengan tirah baring, melindungi bagian tubuh yang
tulangnya menonjol dengan bahan yang lembut, menjaga kebersihan dan kekeringan kulit,
melakukan gerakan ROM, menyediakan penyangga yang nyaman dan ventilasi yang baik, dan
tidak membatasi gerakan (Utoyo, 2014 dalam Rofik, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah manajemen luka pada luka dekubitus ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui manajemen pada luka dekubitus dalam upaya pencegahan
dekubitus.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dekubitus
2. Mengetahui klasifikasi dekubitus
3. Mengetahui tempat (lokasi) dekubitus
4. Mengetahui faktor resiko dekubitus
5. Mengetahui patofisiologi luka dekubitus
6. Mengetahui pengkajian resiko terjadinya decubitus
7. Mengetahui pencegahan dekubitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI DEKUBITUS
Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang
disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan
atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014). Sedangkan menurut Perry et
al, (2012) dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan dibawahnya, biasanya
disebabkan oleh adanya penonjolan tulang, sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi
tekanan dengan gaya geser dan atau gesekan.
Luka tekan atau ulkus dekubitus adalah suatu kasus yang kerap kali dijumpai pada
pasien yang mengalami gangguan mobilisasi fisik. Penurunan aktivitas dan mobilitas
menyebabkan penekanan pada wilayah tubuh tertentu, terutama pada area penonjolan
tulang dalam rentang waktu yang lama sehingga menyebabkan luka tekan pada pasien
(Rehatta, Redkeji, & Musba, 2019).

B. KLASIFIKASI DEKUBITUS
National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014 membagi derajat dekubitus
menjadi enam dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Derajat I : Nonblanchable Erythema
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda
akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan
tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin
atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan
kelihatan sebagai kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka
akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk
menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema)
dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari
diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.

2) Derajat II : Partial Thickness Skin Loss


Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya.
Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi,
melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Derajat I dan II masih bersifat
refersibel.
3) Derajat III : Full Thickness Skin Loss
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari
jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat seperti
lubang yang dalam. Disebut sebagai “typical decubitus” yang ditunjukkan dengan
adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk
tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan
tunneling.
4) Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss
Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot.
Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar
luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman derajat
IV dekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput
dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV
dapat meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia,
tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon
yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.
5) Unstageable : Depth Unknown
Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi oleh
slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu, hijau, dan atau jaringan mati (eschar)
yang berwarna coklat atau hitam didasar luka. slough dan atau eschar dihilangkan
sampai cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka, kedalaman luka yang benar,
dan oleh karena itu derajat ini tidak dapat ditentukan.
6) Suspected Deep Tissue Injury : Depth Unknown
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka secara
terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang berisi darah
karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya
geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit,
tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan
yang ada di dekatnya. Cidera pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi
pada individu dengan warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis
diatas dasar luka (wound bed) yang berkulit gelap.
Luka mungkin terus berkembang tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat
dekubitus diatas, dekubitus berkembang dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam
(top-down), namun menurut hasil penelitian saat ini, dekubitus juga dapat
berkembang dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya
adanya 15 kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injury jaringan
bagian dalam (Deep Tissue Injury).

C. TEMPAT (LOKASI) KEJADIAN DEKUBITUS


Menurut Stephen & Haynes (2006), mengilustrasikan area-area yang beresiko
untuk terjadinya dekubitus. Dekubitus terjadi dimana tonjolan tulang kontak dengan
permukaan. Adapun lokasi yang paling sering adalah sakrum, tumit, dan panggul.
Penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) 33,3% pasien mengalami dekubitus
dengan lokasi kejadian adalah pada bagian sakrum 73,3%, dan tumit 13,2%, 20 pasien
yang mengalami dekubitus derajat I, dan 18 pasien mengalami derajat II, sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Fernandes & Caliri, (2008) pasien yang mengalami
dekubitus sebanyak 62, 5% (40) dengan kriteria 57,1% (30) mengalami derajat I, dan
42,9% mengalami derajat II, lokasi kejadian dekubitus dalam 16 penelitian ini adalah
pada tumit 35,7%, sakrum 22,9%, dan skapula 12,9%.

D. FAKTOR RESIKO DEKUBITUS


Menurut (Nursalam, 2014), faktor resiko terjdinya dekubitus antara lain:
a. Mobilitas dan aktifitas.
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah posisi tubuh, sedangkan aktivitas sendiri
adalah kemampua untuk berpindah. Pasien yang terus-menerus ditempat tidur tanpa
berpindah atau mengubah posisi berisiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilisasi
adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian dekubitus.
b. Penurunan persepsi sensoris persepsi.
Pasien dengan penurunan persepsi sensoris akan mengalami penurunan kemampuan
untuk merasakan sensasi nyeri akibat tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini
terjadi dalam waktu lama, pasien akan mudah terkena dekubitus.
c. Kelembaban
Kelembaban yang disebabkan karena inkontenensia dapat mengakibatkan terjadinya
maserasi pada kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah erosi. Selain itu
kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah tergesek (friction) dan perobekan jaringan
(shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan dekubitus karena adanya
bakteri dan enzim
pada feses dapat merusak perkembangan kulit.
d. Tenaga yang merusak (shear)
Merupakan kukuatan mekanis yang merenggangkan dan merobek jaringan, pembuluh
darah, serta struktur jaringan yang lebih dalam berdekatan dengan tulang yang menonjol.
e. Pergesekan (friction)
Terjadi kedua pembuluh darah bergerak berlawanan, pergesekan dapat mengakibatkan
abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjdi saat pergantian
sprei penderita yang tidak hati-hati.
f. Nutrisi
Kehilangan berat badan dan malnutrisi umunya diidentifisikan sebagai faktor faktor
terjadinaya dekubitus. Stadium tiga dan empat dari dekubitus pada orang tua
berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin dan asupan
makanan yang tidak mencukupi.
g. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya dekubitus karena
kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan.
h. Tekanan arteriolar rendah
Tekanan arteriolar yang rendah mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan sehingga
mengakibatkan jaringan menjadi iskemia.
i. Stres emosional
Stres emosional kronik, misalnya pasien psikiatrik juga merupakan faktor risiko untuk
terjadinya perkembangan dekubitus.
j. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok akan menurunkan aliran darah dan akan memiliki efek
terhadap endotelium pembuluh darah.
k. Temperatur kulit
Peningkatan temperatur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi resiko terjadinya
decubitus

E. PATOFISIOLOGI DEKUBITUS
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau
salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara 2 tekanan)
jaringan yang lebih dalam dekat tulang terutama jaringan otot dengan suplai darah yang
baik akan bergeser ke daerah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah
sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh frikti yang semakin
meningkat dengan terdapatnya kelembaban ini menyebabkan peregangan dan anggulasi
pembuluh darah daerah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam ini
akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit (Yulitia,
2020).

F. PENGKAJIAN RESIKO TERJADINYA DEKUBITUS


Ada 5 (lima) instrumen yang digunakan dalam mengkaji resiko terjadinya dekubitus
(Kozier, 2010). Sedangkan menurut Jaul (2010), instrumen yang paling banyak digunakan
serta direkomendasikan dalam mengkaji resiko terjadinya dekubitus antara lain : Skala
Norton, Braden, dan Skala Waterlow.
1) Skala Norton
Skala Norton pertama kali ditemukan pada tahun 1962, dan skala ini menilai lima
faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : kondisi fisik, kondisi
mental, aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara 5 sampai
20. Nilai 16 di anggap sebagai nilai yang beresiko (Norton, 1989), sedangkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Carville, (2007), apabila mencapai skor 14 sudah
dinyatakan diambang resiko dekubitus dan bila skor ≤ 12, dinyatakan beresiko tinggi
terjadinya dekubitus.
2) Skala Braden
Pada Skala Braden terdiri dari 6 sub skala faktor resiko terhadap kejadian
dekubitus diantaranya adalah : persepsi sensori, kelembaban, aktivitas, mobilitas,
nutrisi, pergeseran dan gesekan. Nilai total berada pada rentang 6 sampai 23, nilai
rendah 26 menunjukkan resiko tinggi terhadap kejadian dekubitus (Braden dan
Bergstrom, 1989). Apabila skor yang didapat mencapai ≤ 16, maka dianggap resiko
tinggi mengalami dekubitus (Jaul, 2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian
tentang validitas instrumen pengkajian resiko dekubitus antara lain untuk skala
Braden di ruang ICU mempunyai sensitivitas 83% dan spesifitas 90% dan di nursing
home mempunyai sensitivitas 46% dan spesifitas 88%, sedangkan diunit orthopedic
mempunyai sensitivitas 64% dan spesifitas 87%, dan diunit Cardiotorasic
mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 91% (Bell J, 2005).
3) Skala Waterlow
Hasil revisi pada tahun 2005, pada skala Waterlow terdapat sembilan kategori
klinis yang meliputi : tinggi badan dan peningkatan berat badan, tipe kulit dan area
resiko yang tampak, jenis kelamin dan usia, skrining malnutrisi, mobilitas, malnutrisi
jaringan, defisit neurologis, riwayat pembedahan atau trauma, serta riwayat
pengobatan (AWMA,2012). Semakin tinggi skor, semakin tinggi resiko terjadinya
dekubitus. Skor ≥ 20 diprediksi memiliki resiko sangat tinggi terjadinya dekubitus
(Carville, 2007).

G. PENCEGAHAN DEKUBITUS
Pencegahan dan intervensi awal pasien dengan dekubitus menurut Nursalam
(2014) yaitu :
1. Kaji resiko individu terhadap kejadian dekubitus
2. Kaji faktor resiko pada saat pasien memasuki RS dan diulangi dengan pola teratur
atau ketika ada perubahan yang signifikan pada pasien seperti pada pembengkakan
atau penurunan status kesehatan
3. Identifikasi kelompok kelompok beresiko tinggi kejadian dekubitus
4. Kaji keadaan kulit secara teratur setidaknya sehari sekali
5. Kaji status mobilitas
6. Minimalkan terjadinya tekanan
7. Kaji dan minimalkan pergeseran (friction ) dan tenaga yang merobek (shear)
8. Kaji inkotinensia
9. Kaji status nutrisi
10. Kaji faktor yang menunda status penyembuhan
11. Evaluasi penyembuhan luka
DAFTAR PUSTAKA

Sari, Yulitia. (2020). Studi Literatur Review Asuhan Keperawatan Pada Klien Ulkus Dekubitus
Dengan Masalah Integritas Kulit Dengan Penerapan Therapy Perawatan Luka Di Rsud Pandan
Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2020. Prodi Diii Keperawatan Tapanuli Tengah Poltekkes
Kemenkes Medan.

Rehatta, N. M., Redkeji, I. S., & Musba, A. M. T. (2019). Anestesiologi dan Terapi Intensif
(edisi pert). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

National Pressure Ulcer Advisory Panel, European Pressure Ulcer Advisory Panel & Pan
Pacific Pressure Injury Alliance. (2014). Prevention and treatment of pressure ulcers: quick
reference guide. Emily Haesler (Ed.). Osborne Park, Western Australia: Cambridge Media.

Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional.


Jakarta: Salemba Medika

Potter & Perry(2012). Buku ajar fundamental keperawatan Konsep, proses dan praktik. Jakarta:
EGC.

Braden, B. J., & Bergstrom, N. (1989). Clinical utility of the Braden Scale for predicting
pressure sore risk. Advances in Skin & Wound Care, 2(3), 44-51.

Carville, K. (2007). Wound Care Manual Fifth Edition. Western Australia : Silver Chain
Foundation.

Bell, J. (2005). Are Pressure Ulcer Grading And Risk Assessment Tools Useful?. Wounds UK,
1(2), 62.

Ayello, E. A. (2007). Predicting pressure ulcer risk. Try this: best practices in nursing care to
older adults. AJN, 107(11), 45-47.

Bhoki, M.W. & Mardiyono. (2014). Skala Braden dan Norton Dalam Memprediksi Risiko
Dekubitus di Ruang ICU. JRK ISSN: 2252-5068, Vol. 3, No. 2, Mei 2014.

Braden, B. J., & Bergstrom, N. (1989). Clinical utility of the Braden Scale for predicting
pressure sore risk. Advances in Skin & Wound Care, 2(3), 44-51.

Jaul, E. (2010). Assessment And Management Of Pressure Ulcers In The Elderly. Drugs &
Aging, 27(4), 311-325.

Kozier, B., ERB, G., Berman,A., & Snyder, S.J. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan,
Konsep, Proses & Praktik. Edisi 7, Volume 2. Penerjemah Wahyuningsih, E., Yulianti, D.,
Yuningsih, Y., Lusyana, A. Jakarta. EGC.
Stephen & Haynes. (2006). NICE Pressure Ulcer Guideline, Summary andImplication for
Practice, Journal Journal of Wound Care. Retrieved From: Http://www.ebscohost.com/ uph.edu
onDeC 24, 2016.

You might also like