You are on page 1of 13

MAKALAH

EUTHANASIA MENURUT PERSPEKTIF


HUKUM AGAMA DAN MENURUT UNDANG
UNDANG
Dosen Pengampu : Ns. Ucik Ernawati, S.Kep., M.Kes

Disusun Oleh :
Nama : Ahmad Agumg Subiantoro (202101001)
Herlambang Dika Candra U (202101004)
Rizal Saputra Alam N K (202101008)
Denny Eko Nurkholish (202101011)
Prodi : S1 Ilmu Keperawatan

STIKES BUANA HUSADA PONOROGO


Jl. Gabah Sinawur 9A Cokromenggalan Ponorogo
Telp./Fax. (0352) 483659
Tahun Pelajaran 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini. Semoga shalawat serta salam selalu dilimpahkan kepada junjungan
Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya, serta pengikutnya
hingga akhir zaman. Amin.
Alhamdulillah penulis telah berhasil menyelesaikan makalah Keperawatan
menjelang ajal dan paliatif tentang “EUTHANASIA MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM AGAMA DAN MENURUT UNDANG UNDANG”. Makalah ini disusun
agar dapat menambah informasi kepada para pembaca tentang EUTHANASIA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM AGAMA DAN MENURUT UNDANG
UNDANG.
Semoga makalah ini memberi wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan, namun penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi yang membutuhkan dan mendapat ridho Allah. Amin.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar belakang........................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan Makalah.....................................................................................2
BAB II KONSEP DASAR EUTHANASIA.....................................................................3
A. Definisi...................................................................................................................3
B. Menurut Hukum Agama.........................................................................................3
C. Menurut Undang-Undang.......................................................................................9
BAB IV PENUTUP........................................................................................................12
A. Kesimpulan...........................................................................................................12
B. Saran.....................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Latar belakang euthanasia adalah kompleks dan melibatkan sejarah
panjang serta perkembangan budaya, etika, hukum, dan perkembangan medis.
Berikut adalah beberapa poin utama dalam latar belakang euthanasia:
Sejarah Kuno: Praktik yang mirip dengan euthanasia telah ada dalam
berbagai bentuk sepanjang sejarah manusia. Misalnya, dalam beberapa budaya
kuno, individu yang mengalami penderitaan yang tak tertahankan atau cacat
berat mungkin dibunuh atau dibiarkan mati agar mengakhiri penderitaan mereka.
Dalam beberapa kasus, ini dianggap sebagai bentuk belas kasihan.
Perkembangan Medis: Kemajuan dalam ilmu kedokteran dan teknologi
medis telah membawa perkembangan dalam pemahaman dan kemampuan untuk
merawat dan memperpanjang kehidupan. Namun, ini juga telah menimbulkan
pertanyaan etis tentang sejauh mana seseorang harus diizinkan untuk menderita
dan sejauh mana intervensi medis harus digunakan.
Kehadiran Organisasi Hak Kematian: Beberapa organisasi hak kematian
telah mendorong perubahan dalam hukum dan pandangan masyarakat tentang
euthanasia. Mereka berpendapat bahwa individu harus memiliki hak untuk
mengakhiri hidup mereka sendiri jika mereka mengalami penderitaan yang tak
tertahankan atau memiliki kondisi medis yang tidak dapat disembuhkan.
Perspektif Agama: Sebagai yang telah dijelaskan sebelumnya, agama
memiliki pandangan yang berbeda tentang euthanasia. Beberapa agama
mengajarkan bahwa kehidupan adalah suci dan hanya Allah yang memiliki
kuasa atasnya, sementara yang lain mengakui belas kasihan terhadap penderitaan
dan memberikan pandangan yang lebih fleksibel.

Hukum Euthanasia: Hukum terkait euthanasia berbeda di berbagai


negara dan wilayah. Beberapa negara telah melegalkan euthanasia, baik dalam
bentuk aktif (dengan memberikan obat yang mengakhiri hidup) maupun pasif

1
(dengan menarik dukungan hidup atau tidak memberikan perawatan medis yang
mungkin memperpanjang hidup). Negara-negara lain melarang euthanasia
sepenuhnya.
Debat Etis: Euthanasia telah menjadi subjek debat etis yang
berkelanjutan. Perdebatan ini mencakup pertanyaan tentang hak individu atas
keputusan tentang akhir hidup mereka, perlindungan terhadap orang-orang yang
rentan terhadap penyalahgunaan euthanasia, dan peran medis dan etika dalam
proses ini.
Latar belakang euthanasia mencerminkan konflik antara hak individu
untuk mengendalikan akhir hidup mereka dan nilai-nilai etika, agama, dan moral
yang mempengaruhi pandangan masyarakat dan hukum terkait dengan masalah
ini. Debat ini terus berlanjut di seluruh dunia, dan setiap negara mengatasi isu ini
dengan cara yang berbeda sesuai dengan nilai-nilai dan pandangan budaya dan
agama mereka..

B. Tujuan Penulisan Makalah


1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengerti dan menjelaskan Euthanasia Menurut
Perspektif Hukum Agama Dan Menurut Undang Undang

2
BAB II
A. Epidimiologi
Di Indonesia kasus Euthanasia masih sulit untuk dilakukan atau
dibolehkan, berbeda dengan luar negeri, misalnya Negara Belgia, Negara ini
melegalkan Euthanasia, sehingga permohonan euthanasia cukup meningkat.3
Termasuk di negeri Belanda Euthanasia juga diperbolehkan atau diijinkan.4 Kita
sadar bahwa hidup merupakan pemberian dari Tuhan, oleh sebab itu kita wajib
dan seharusnya tetap memelihara dan menjaganya dengan baik. Di samping
hidup kita sendiri, kita juga harus menghargai hidup orang lain yang merupakan
pemberian Tuhan, maka kitapun harus memelihara, menjaga dan membelanya.
Mengingat hal tersebut, makasegala bentuk perenggutan hidup manusia kecuali
membela diri atau orang lain atau merenggut nyawa orang lain tanpa sebab
adalah dosa, termasuk dalam hal ini perenggutan nyawa orang atas permintaan
sendiri atau orang lain dengan tujuan untuk menghilangkan penderitaan akibat
penyakitnya (euthanasia)
Menurut ilmu pengetahuan cara terjadinya kematian dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu, yang pertama kematian yang terjadi karena suatu proses
alamiah (orthothanasia), yang kedua kematian yang terjadi secara wajar
(dysthanasia) dan yang ketiga kematian yang terjadi dengan pertolongan atau
tidak dengan pertolongan dokter (euthanasia). (Djoko Prakoso, Djaman Andhi
Nirwanto, 1984: 10). Jenis yang ketiga inilah yang menimbulkan kontroversi
kaitannya dengan “hak untuk mati” (the right to die) dari seorang pasien. Ada
sementara pihak yang mengatakan bahwa euthanasia merupakan hak dari
seorang pasien, artinya seseorang itu mempunyai hak untuk mati atau hak untuk
mengakhiri hidupnya sendiri. Bahwa setiap manusia mempunyai hak atas diri
pribadinya, yang mencakup badannya dan kehidupannya. Bila seorang sudah
tidak dapat menahan penderitaannya, meliputi psikhis dan fisik ditambah lagi
dengan tanpa ada harapan untuk hidup lagi, maka ia mempunyai hak untuk
menghentikan kehidupannya. Termasuk dalam hal ini apakah euthanasia juga
merupakan hak asasi seseorang. 6 Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia tidak diatur mengenai hak mati (euthanasia). Di lain

3
pihak ada yang berpendapat bahwa mati merupakan hak Tuhan bukan hak
manusia, maka hak untuk mati bertentangan dengan agama, sebab kehidupan itu
berasal dari Tuhan. Mengingat hal tersebut, maka kapan seseorang itu akan mati
semuanya tergantung pada kehendak Tuhan.
B. Definisi
Mitos dalam bahasa Indonesia Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu
euthanatos (eu=baik, thanatos=mati). Euthanasia adalah bantuan yang diberikan
kepada seseorang untuk mati dengan tenang atas permintaannya sendiri.
Pengertian ini kemudian diperluas dan euthanasia diartikan sebagai “mengakhiri
hidup manusia secara tanpa sakit dengan tujuan menghentikan penderitaan fisik
yang berat dan sebagai cara menangani korban-korban yang mengalami sakit
yang tidak mungkin disembuhkan lagi”. Artinya tindakan euthanasia bersifat
kesengajaan, baik dengan tindakan aktif ataupun pasif, mengakhiri kehidupan
oleh orang lain atas permintaan yang bersangkutan. Adanya bantuan dengan
orang lain inilah yang membedakan euthanasia dengan bunuh diri. Dalam bunuh
diri seseorang tidak menggunakan orang lain untuk memperoleh kematiannya.
Ditinjau dari sudut perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya, euthanasia
terdiri atas: (1) Euthanasia Pasif (Euthanasia Indirect), adalah euthanasia yang
dilakukan dengan membiarkan seseorang untuk meninggal dengan cara
menghentikan atau tidak memberikan perawatan yang dapat memperpanjang
hidupnya, (2) Euthanasia aktif (Mercy Killing), adalah euthanasia yang
dilakukan dengan melakukan suatu tindakan secara sengaja dimana telah
disadari bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kematian seseorang.
Ditinjau dari sudut korban, maka euthanasia dibedakan dalam 3 bentuk,
yaitu: (1) Euthanasia sukarela (Voluntary Euthanasia), merupakan kematian
yang diminta seseorang secara sukarela. Permintaan tersebut biasanya timbul
karena korban menderita penyakit yang menimbulkan nyeri tak tertahankan dan
penyakit itu sendiri tidak dapat disembuhkan. Mereka tidak dapat bunuh diri
sehingga meminta kepada seseorang untuk mengakhiri hidupnya, (2) Euthanasia
diandaikan (Non Voluntary Euthanasia), merupakan kematian yang tidak
diminta secara tegas oleh korban. Dalam hal ini, korban dianggap atau

4
diandaikan akan memilih atau meminta mati jika ia dapat menyatakan
keinginannya, (3) Euthanasia dipaksakan (Involuntary Euthanasia), merupakan
pembunuhan yang dilakukan terhadap pasien yang dalam kondisi sadar untuk
menentukan kemauannya, tetapi pembunuhan tersebut dilakukan tanpa
persetujuannya.

C. MENURUT HUKUM AGAMA


Muncul kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia tidak saja
santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi telah merambah kepada
para ulama Islam. Meskipun di dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau
ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah (dosa)
atau bukan. Namun dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar
inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien, merupakan
pembunuhan dan pelaku dimungkinkan untuk dihukum sesuai dengan hukum
jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena
perbuatan itu telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam
qishash (pemberian hukuman), antara lain: Pembunuh adalah orang yang
baligh ,sehat, dan berakal; ada kesengajaan membunuh; Ikhtiyar (bebas dari
paksaan); pembunuh bukan anggota keluarga korban; dan jarimah dilakukan
secara langsung.
Kehidupan dan kematian hanyalah Allah yang berhak menentukan.
Penderitaan yang dialami manusia apapun bentuknya, tidak dibenarkan
seorangpun merenggut kehidupan orang yang menderita tersebut khususnya
melalui praktek euthanasia. Islam menganjurkan untuk selalu bersabar dan
berprasangka baik serta mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi
ujian kehidupan termasuk penyakit. Nabi SAW bersabda “Jika seseorang
dicintai Allah maka ia akan dihadapkan kepada cobaan yang beragam”. Jika
manusia berputus asa dalam menghadapi penderitaan, maka Allah menjanjikan
jalan keluarnya dalam QS Az Zumar ayat 53 : “Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari

5
ramat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Konsep euthanasia yang dirumuskan para ahli, sebenarnya ditemukan
pula larangannya dalam Al-Quran dan Hadits. Misalnya dalam Al-Qur’an pada
QS. Al- An’am ayat 151: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang
benar”. Membunuh disini dapat diartikan membunuh dengan cara apapun
termasuk membunuh dengan bantuan orang lain seperti konsep euthanasia aktif.
Pembunuhan yang dikecualikan dalam ayat tersebut adalah pembunuhan yang
dibenarkan seperti membunuh saat berperang dalam melawan kaum kafir.
Penderitapun tidak berhak mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena
berputus asa terhadap penyakit yang dideritanya. Sebagaimana dalam firman
Allah SWT dalam QS. An- Nisa ayat 29 yang berbunyi: ”Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” Jadi
hukum Islam dalam menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu
konsep bahwa untuk menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia
aktif, umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang
memandang segala musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang
datang dari Allah SWT.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa penderita yang berpenyakit
menular dan membahayakan orang lain jika dibiarkan hidup, hendaknya
dilakukan alternatif tindakan lain selain euthanasia. Salah satunya adalah dengan
mengisolasi penderita tersebut agar tidak berinteraksi dengan orang lain selama
pengobatannya. Jika memang dokter menyatakan pasien tidak dapat
disembuhkan dengan cara apapun, hendaknya diserahkan kembali kepada
keluarganya bukan dengan mengakhiri hidupnya. Soal sakit, menderita dan tidak
kunjung sembuh adalah qudratullah. Mempercepat kematian tidak dibenarkan
karena tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh

D. MENURUT UNDANG-UNDANG

6
Sebenarnya secara global euthanasia dilarang di semua Negara di dunia.
Kontroversi masalah euthanasia sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja,
melainkan juga di negaranegara lain. Oleh sebab itu sampai kini masih banyak
negara yang belum melegalkan tindakan euthanasia. Di negara barat yang
melegalkan tindakan euthanasia negeri Belanda, ini saja masih belum
sepenuhnya.13 Dan Negara Belgia juga sudah melegalkan.14 Namun untuk
mengajukan permohonan euthanasia pasien perlu melihat dulu rekam jejak
penyakit yang diderita atau yang dialami terlebih dahulu, baru apabila harapan
hidup kecil, maka akan mengajukan untuk dilakukan euthanasia.15 Untuk
Negara Indonesia pengaturan euthanasia juga tidak jelas. Padahal dengan adanya
perkembangan teknologi kedokteran dimungkinkan muncul masalah ini. Dalam
KUHP tidak secara tegas mengatur masalah euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif. Bila diteliti lebih jauh euthanasia termasuk ke dalam
perlindungan pada nyawa atau kejahatan terhadap nyawa. Pasal 344 KUHP
menyatakan bahwa barang siapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan
sungguh-sungguh orang itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya dua belas tahun. Dalam penjelasan dari pasal itu dinyatakan bahwa
yang diancam hukuman adalah orang yang membunuh orang lain atas
permintaan yang sungguh-sungguh dari si korban. Bila si pelaku tidak dapat
membuktikan bahwa pembunuhan itu atas permintaan si korban yang sungguh-
sungguh, maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).
Unsur yang penting dari Pasal 344 KUHP adalah “atas permintaan sendiri yang
dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Adanya unsur semacam ini, akan
menemui kesulitan dalam pembuktiannya, bila tindakan euthanasia dilakukan.
Sebab orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati telah meninggal dunia.
Termasuk dalam hal ini bila yang bersangkutan tidak mampu untuk diajak
berkomunikasi. Bagaimana bila pernyataan permintaan untuk mati tersebut
dilakukan oleh keluarga ?. Hal ini tidak dapat diterapkan terhadap Pasal 344
KUHP, karena unsurnya menghendaki untuk dinyatakan sendiri, bukan orang
lain atau bukan keluarga. Dari keadaankeadaan yang demikian, maka pengenaan
Pasal 344 KUHP terhadap tindakan euthanasia sulit untuk dilakukan.

7
Mengingat keadaan yang demikian, maka perlu adanya perubahan atau
pembaharuan terhadap Pasal 344 KUHP ini. Dalam Draf Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Konsep Tahun 2022) ketentuan Pasal 344 KUHP mengalami
perubahan, yang tercantum dalam Pasal 461 Draf terakhir yang telah mendapat
pengesahan dari DPR dan Pemerintah pada tanggal 6 Desember 2022, namun
sampai hari ini belum ada Undang-Undang yang mengaturnya. Dalam Pasal 461
dinyatakan bahwa “setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”. Dalam
penjelasan dari pasal tersebut dinyatkan bahwa Ketentuan ini mengatur Tindak
Pidana yang dikenal dengan euthanasia aktif. Meskipun euthanasia aktif
dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal
ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai
bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk mencegah
kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya, oleh pelaku Tindak Pidana
justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul
permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana di
sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap
penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi
orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pelaku
tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam Tindak Pidana.
Hingga kini Draf KUHP terakhir sudah disetujui namun belum
diberlakukan, karena Undang-undangnya belum ada. Dengan melihat kondisi
yang demikian, maka bagaimana seandainya euthanasia pasif terjadi di
Indonesia karena kemajuan di bidang kedokteran. Hukum positif kita tidak dapat
mengatasi hal ini, artinya selama kita masih menggunakan KUHP lama (WVS),
maka melakukan euthanasia baik yang aktif maupun yang pasif tetap tidak
diperbolehkan. Namun untuk Draf KUHP yang terakhir yang dilarang adalah
melakukan euthanasia yang bersifat aktif, untuk euthanasia yang bersifat pasif
tidak diatur, karena merupakan perbuatan yang tidak termasuk tindak pidana.

8
BAB IV
PENUTUP

Tinjauan akan hukum Islam mengenai euthanasia, terutama yaitu


euthanasia aktif adalah diharamkan. Karena euthanasia aktif ini dikategorikan
sebagai perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam oleh Allah SWT
dengan hukuman neraka selama-lamanya. Karena yang berhak mengakhiri.
Untuk dapat menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya
euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Pertama,
Bilamana pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang
lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya yang amat terbatas,
ataupun karena rumah sakit yang mana lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat
dilakukan dua cara yakni: 1. menghentikan perawatan atau pengobatan,dalam
artian membawa pasien pulang ke rumah; 2. membiarkan pasien dalam
perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki
kematiannya. Oleh karena itu, umat Islam diharapkan untuk tetap berpegang
teguh kepada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk
menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal itu
hendaknya dihadapi dengan penuh kesadaran dan tawakkal. Justru keadaan yang
kritis itu merupakan masa penentuan kokoh atau goyahnya iman seseorang.
Konsekuensi dari akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Euthanasia merupakan salah satu masalah etika ramai didiskusikan.


Diajukan segala macam argumen pro dan kontra. Argumen-argumen yang
menolak antara lain berasal dari agama. Islam jelas melarang umatnya untuk
mengakhiri hidupnya apapun kondisinya. Umat Islam diharapkan selalu bersabar
atas segala ujian (penyakit) yang dihadapi karena sesungguhnya Allah SWT
sedang memperhatikan dan menyayangi umatnya melalui cobaan tersebut.
Keberatan terhadap euthanasia juga dikemukakan profesi medis. Hakikat profesi
kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Eutanasia juga
merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter. Dalam
situasi ini dijumpai konflik antara dokter dan pasien yang tidak dapat dipecahkan
oleh kaidah-kaidah etika. Dalam hal seperti ini maka kaidah-kaidah hukum dapat
dapat diberlakukan. Walaupun hukum di Indonesia belum mengatur secara
eksplisit tentang euthanasia, namun secara implisit dimunculkan dalam KUHP
yang menyatakan bahwa tindakan mengakhiri kehidupan seseorang dengan cara
apapun termasuk dalam kategori pembunuhan yang dapat diancam hukuman
penjara. Dari paparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa euthanasia tidak
dapat diterima secara moral, agama, medis dan hukum yang berlaku di
Indonesia.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Fransisca Cahyono.Kombinatorial dalam hukum pewarisan Mendel


Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia
Makalah Probabilitas dan Statistik Tahun 2010
2. Darmano Autosomal Dominan dan Resesif. diakses dari
http://penyakitosteoarthritis.yolasite.com/resources/Autosomal
3. Halwan, Amamy, Heriditary Disorder Bulletin of the World Health
Organization, 1994, 72 (1): 145-154
4. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Osteoartritis, In: Sudowo, AW.
Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp:
247-252
5. McFaden, ER. (2005), Osteoartritis, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo,
DL. Draunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal
of Medicine, 16th ed, Vol 2, McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
6. Anonymous, Mendels Laws Of Inheritance 2009 Volume IV Gemetocs
7. Ahmad H asdie Osteoartritis Unit Pelayanan Ilmu Penyakit Dalam FK
Gadjah Mada/ RSUP Sardjito , Yogjakarta Jilid XXII 1990
8. Indrie Prihastut (2018) Euthanasia dalam Pandangan Etika secara Agama
Islam, Medis dan Aspek Yuridis di Indonesia, Lembaga Penjaminan
Mutu Pendidikan Provinsi Banten, Indonesia

10

You might also like