You are on page 1of 281

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN

Penyusun:
Scholastica Fina Aryu Puspasari, Ns., M. Kep

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan, buku berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan ini dapat disusun dengan baik, tanpa halangan yang berarti. Seperti
yang tercermin dalam judul tersebut, buku ini disusun dengan maksud menambah wawasan dan
referensi keperawatan, terutama bagi klien dengan gangguan sistem pernapasan.
Buku ini disusun secara sistematis dan memperhatikan kebutuhan materi pembelajaran
mahasiswa keperawatan yang sesuai dengan kurikulum. Berbagai bahasan mengenai keperawatan
klien dengan gangguan sistem pernapasan kami sajikan dalam sembilan bab. Pada bab awal,
sebagai pengantar, disajikan penjelasan ringkas anatomi dan fisiologi sistem pernapasan,
sedangkan bab kedua membahas pengkajian sistem pernapasan, baik pengkajian umum maupun
pemeriksaan diagnostik. Selanjutnya secara berturut-turut, buku ini menyajikan konsep penyakit
dan konsep asuhan keperawatan berbagai penyakit dan gangguan sistem pernapasan yang lazim
terjadi di Indonesia.
Konsep asuhan keperawatan yang disusun pada setiap penyakit meliputi pengkajian,
penegakan diagnosis keperawatan dengan mengadaptasi dari North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA) dan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Sementara itu,
penyusunan rencana keperawatan berpedoman pada Nursing Outcomes Classification (NOC) dan
Nursing Interventions Classification (NIC). Pemahaman yang baik tentang anatomi, konsep
penyakit, dan konsep asuhan keperawatan akan mendukung mahasiswa dalam memberikan asuhan
keperawatan yang berkualitas.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung mendukung dan membantu penerbitan buku ini. Kami berharap
buku ini dapat digunakan sebagai media belajar, baik oleh mahasiswa keperawatan maupun tenaga
profesional kesehatan lainnya.
Penyusun sepenuhnya menyadari buku ini masih perlu dikaji dan dikembangkan dengan
beragam materi maupun aspek lainnya. Oleh karena itu, respons dan masukan untuk perbaikan ke
depannya sangat diharapkan. Akhirnya, selamat membaca dan semoga buku ini bermanfaat bagi
kita semua, Amin.
Yogyakarta, April 2018

2
DAFTAR ISI

BAB I ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN


A. Anatomi Sistem Pernapasan
B. Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB II PENGKAJIAN SISTEM PERNAPASAN


A. Pemeriksaan Umum
B. Pemeriksaan Diagnostik

BAB III PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN


A. Abses Paru
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
B. Pneumonia
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
C. Tuberkulosis
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB IV PENYAKIT PARU TIPE OBSTRUKTIF


A. Asma
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
B. Bronkitis Kronis
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
C. Bronkiektasis
1. Konsep Penyakit

3
2. Konsep Asuhan Keperawatan
D. Emfisema
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB V PENYAKIT PARU TIPE RESTRIKTIF


A. Atelektasis
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
B. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB VI PENYAKIT VASKULAR PULMONAL


A. Embolisme Pulmonal (Emboli Paru)
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
B. Hipertensi Arteri Pulmonal (Pulmonary Arterial Hypertension)
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
C. Kor Pulmonal
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB VII KANKER PARU


A. Konsep Penyakit
B. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB VIII TRAUMA DADA


A. Trauma Dada
1. Konsep Penyakit

4
2. Konsep Asuhan Keperawatan
B. Fraktur Rusuk
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
C. Flail-Chest
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
D. Pneumotoraks
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan
E. Kontusio Paru (Pulmonary Contusion)
1. Konsep Penyakit
2. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB IX EFUSI PLEURA


A. Konsep Penyakit
B. Konsep Asuhan Keperawatan

DAFTAR PUSTAKA
PROFIL PENYUSUN

5
BAB I
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN

Sistem pernapasan atau sistem respirasi merupakan sistem organ yang berperan penting dalam
pertukaran gas. Rangkaian organ dalam sistem pernapasan bertanggung jawab untuk mengambil
oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Sistem biologis yang berkaitan dengan pernapasan ini
membantu tubuh dalam pertukaran gas antara udara dan darah serta antara darah dan miliaran sel
tubuh.
Secara keseluruhan, sistem pernapasan terbagi menjadi saluran pernapasan dan organ
pernapasan. Saluran pernapasan dimulai dari hidung sampai dengan bronkiolus, sedangkan organ
utama sistem pernapasan adalah paru-paru. Sistem pernapasan terbagi menjadi sistem pernapasan
atas dan sistem pernapasan bawah yang dibatasi oleh laring. Organ yang termasuk dalam saluran
pernapasan bagian atas adalah hidung, faring, dan laring. Saluran pernapasa atas terdiri atas
hidung, faring, dan laring sedangkan sistem pernapasan bawah adalah trakea, bronkus, dan
bronkiolus.
Sel darah merah melalui hemoglobin akan mengikat oksigen dari paru-paru dan membawanya
ke bagian tubuh yang dibutuhkan. Selama prosesnya, sel darah merah mengumpulkan karbon
dioksida dan membawanya kembali ke paru-paru, di mana karbon dioksida meninggalkan tubuh
saat kita menghembuskan napas atau ekspirasi. Sebagian besar organ sistem pernapasan membantu
mendistribusikan udara, namun hanya alveoli, sejenis organ tubuh yang mirip dengan anggur kecil
dan saluran alveolarlah yang bertanggung jawab atas pertukaran gas aktual.
Selain pertukaran udara dan pertukaran gas, saringan sistem pernapasan juga menghangatkan
dan melembapkan udara yang dihirup tubuh. Organ sistem pernapasan juga berperan penting
dalam aktivitas berbicara dan indera penciuman. Selain itu, sistem pernapasan juga membantu
tubuh menjaga homeostasis atau membantu menjaga keseimbangan antarelemen di lingkungan
internal tubuh untuk mempertahankan fungsi tubuh.

6
A. ANATOMI SISTEM PERNAPASAN
Sistem pernapasan atau respirasi pada manusia terdiri dari jaringan dan organ tubuh yang
merupakan tolak ukur bagi kesehatan manusia. Sistem respirasi yang mengalami gangguan,
akan mengganggu sistem lain yang bekerja di dalam tubuh. Hal ini dapat menimbulkan
terganggunya keseimbangan internal tubuh. Terganggunya proses homeostasis dalam jangka
panjang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit.

1. Saluran Pernapasan Atas (Upper Respiratory Tract)

Gambar 1.1 Anatomi saluran pernapasan atas


(Sumber: http://droualb.faculty.mjc.edu)

a. Hidung
Hidung memiliki ujung saraf yang berada pada langit-langit hidung di area lempeng
kribriformis tulang etmoid dan konka superior. Fungsi ujung saraf ini adalah untuk
mendeteksi bau. Pada organ inilah, udara keluar dan masuk untuk pertama kali.
Ketika udara sudah masuk ke hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembapkan.
Hal ini dilakukan oleh sel epitel bersilia yang memiliki lapisan mukus hasil sekresi sel

7
goblet dan kelenjar mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam
rongga hidung dan ke superior saluran pernapasan bagian bawah menuju faring.
Hidung memiliki lapisan jaringan bernama septa yang diselimuti oleh silia. Silia
merupakan serat serupa rambut yang menyaring partikel-partikel asing yang ikut masuk
bersama udara ke dalam saluran pernapasan. Silia sebagai penyaring juga memastikan
bahwa paru-paru tidak akan tersumbat. Akan tetapi, silia bisa musnah oleh rokok.
Ketiadaan silia inilah yang menjadi masalah serius pertama bagi paru-paru perokok.
Rongga hidung juga memiliki saluran-saluran yang disebut nares anterior. Saluran-
saluran ini kemudian mengarah dan bermuara di dalam suatu bagian yang dikenal sebagai
vestibulum hidung. Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang kaya akan pembuluh darah
dan bersambung dengan lapisan faring dan selaput.
Di dalam suatu kasus, tertutupnya lubang-lubang bagian hidung, seperti sinus
paranasalis, duktus nasolacrimalis, tuba eustachius, dapat menimbulkan penumpukan
cairan. Selain itu, peradangan di dalam sinus paranasalis dan ruang telinga tengah
dimungkinkan terjadi. Kondisi ini dapat mengakibatkan sinusitis, otitis media, dan
keluarnya air mata karena duktus nasolacrimalis tersumbat atau buntu. Hidung yang buntu
perlu diobati dengan tetes hidung untuk mengurangi kemungkinan tertutupnya lubang-
lubang tersebut.
b. Faring
Faring atau tenggorok merupakan pipa berotot yang terletak di sepanjang dasar
tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan
krikoid. Saluran faring memiliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari dasar tengkorak
hingga vertebra servikalis ke-6. Faring berada di belakang hidung, mulut, dan laring serta
lebih lebar di bagian atasnya. Partikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar pada
bagian ini. Udara yang telah sampai ke faring telah diatur kelembapannya oleh hidung,
sehingga hampir tidak mengandung debu dan bersuhu mendekati suhu tubuh.
Faring terbagi menjadi tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Pertama, nasofaring merupakan bagian nasal faring yang terletak di belakang hidung dan
di atas palatum molle. Pada dinding lateral, terdapat dua saluran auditori. Tiap saluran
tersebut mengarah ke masing-masing bagian tengah telinga. Nasofaring merupakan bagian
dari faring yang hanya dapat dilalui udara.

8
Kedua, orofaring merupakan bagian oral faring yang terletak di belakang mulut,
memanjang dari bagian bawah palatum molle hingga bagian vertebra servikalis ketiga.
Dinding lateral bersatu dengan palatum molle untuk membentuk lipatan di tiap sisinya.
Orofaring merupakan bagian yang dapat dilalui udara dan makanan, tetapi tidak secara
bersamaan. Saat menelan, bagian nasal dan oral dipisahkan oleh palatum molle dan uvula.
Uvula (bentuknya mirip anggur kecil) merupakan prosesus kerucut kecil yang menjulur ke
bawah dari bagian tengah tepi bawah palatum molle.
Ketiga, laringofaring merupakan bagian organ dari faring yang memanjang dari atas
orofaring dan berlanjut hingga ke bawah esofagus, yakni dari vertebra servikalis ketiga
hingga keenam. Seperti halnya orofaring, laringofaring juga dapat dilewati oleh udara atau
makanan meskipun tidak secara bersamaan. Refleks menelan dalam hal ini merupakan
kontraksi antara dinding muskular orofaring dan laringofaring.

2. Saluran Pernapasan Bawah

Gambar 1.2 Saluran pernapasan bawah


(Sumber: Winslow, 2006)

9
a. Trakea
Trakea merupakan suatu pipa penghubung ke bronkus. Bentuk trakea seperti sebuah
pohon, sehingga terkadang disebut pohon trakeobronkial. Trakea, merupakan lanjutan dari
laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin kartilago. Cincin kartilago tersebut terdiri
dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti huruf C. Trakea dilapisi oleh selaput lendir
yang terdiri atas epitilium bersilia dan sel cangkir. Trakea terdiri dari tiga lapis, yaitu
lapisan luar, lapisan tengah, dan lapisan dalam. Lapisan luar terdiri dari jaringan elastik
dan fibrosa yang membungkus kartilago. Lapisan tengah terdiri dari kartilago dan pita otot
polos yang membungkus trakea dalam susunan helik. Terakhir, lapis dalam terdiri dari
epitelium kolumnar penyekresi mukus.
b. Percabangan Bronkus
Bronkus merupakan percabangan dari trakea. Ujung distal trakea ini dibagi menjadi
bronkus primer kanan dan kiri. Setiap bronkus primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk
membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin kecil. Bronkus
primer kanan dan kiri memiliki perbedaan anatomi di mana bronkus primer kiri memiliki
sudut yang lebih tajam dibandingkan dengan sudut kanan. Hal ini berimbas pada
tersangkutnya benda asing yang tidak sengaja terhirup pada bronkus kanan. Bronkus utama
kanan lebih pendek dan lebar serta hampir vertikal dengan trakea, sedangkan bronkus
utama kiri lebih panjang dan sempit. Arah bronkus utama kanan yang vertikal
menyebabkan mudahnya benda asing masuk ke dalam bronkus.
Cabang bronkus kanan dan kiri memiliki dua cabang, yaitu bronkus lobaris dan
segmentalis. Percabangan ini terus menjadi kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus
terminalis (saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli). Bronkiolus merupakan
bagian dari sistem pernapasan yang tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Bronkiolus
merupakan organ yang hanya tersusun oleh otot polos, sehingga ukurannya dapat berubah.
Di samping itu, terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu sebagai tempat
pertukaran gas.
Asinus (lobulus primer) terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus
alveolaris terminalis (akhir paru) yang menyerupai anggur dan dipisahkan oleh septum dari
alveolus di dekatnya. Di dalam setiap organ paru orang dewasa, rata-rata terdapat 300
sampai 500 juta alveolus. Struktur mendasar dari paru-paru adalah percabangan bronkial

10
yang secara berurutan terdiri dari bronkus, bronkiolus, bronkiolus terminalis, bronkiolus
respiratorik, duktus alveolar, dan alveoli. Bronkiolus merupakan cabang-cabang paling
kecil dari trakea. Bronkiolus yang paling kecil berakhir dalam kumpulan alveoli.
Setiap alveolus dikelilingi oleh dinding tipis yang memisahkan alveolus satu dengan
alveolus lainnya serta sebagai pemisah kapiler di dekatnya. Dinding pemisah alveolus dan
kapiler ini terdiri dari satu lapis epitel skuamosa. Di antara sel epitel tersebut, terdapat sel-
sel alveolar tipe II (AT-II) yang melakukan sekresi terhadap lapisan molekul lipid yang
menyerupai deterjen yang disebut surfaktan. Surfaktan merupakan campuran lemak dan
protein yang dihasilkan oleh paru-paru. Lapisan yang terdiri dari komponen kompleks
lipoprotein (surfaktan) ini dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terhadap
pengembangan pada waktu inspirasi, serta mencegah kolapsnya alveolus pada waktu
ekspirasi. Defisiensi surfaktan berpengaruh terhadap tumbuhnya penyakit paru, termasuk
sindrom gawat napas akut (Accute Respiratory Distress Syndrom (ARDS)).
c. Paru-paru
Organ vital respirasi yang terletak di rongga toraks ini kira-kira berbentuk setengah
kerucut dan memiliki sebuah puncak (apex), dasar (base), tiga perbatasan, dan dua
permukaan. Paru-paru terbagi menjadi beberapa lobus dan batas fisik antarlobus tersebut
disebut fisura. Secara klasik, paru kanan memiliki dua fisura, yaitu fisura oblik dan fisura
horizontal. Paru kanan juga memiliki tiga belahan paru (lobus), yaitu lobus superior, lobus
medial, dan lobus inferior. Sementara itu, paru kiri hanya memiliki fisura oblik yang
membagi paru menjadi dua belahan, yaitu lobus superior dan lobus inferior.
Lobus terbagi lagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan segmen. Tiap-
tiap segmen ini terbagi kembali menjadi belahan-belahan kecil yang disebut lobulus.
Lobulus memiliki percabangan yang disebut bronkiolus. Luas bronkiolus merupakan
faktor penentu seberapa banyak oksigen yang efektif diikat paru-paru. Pada akhir
bronkiolus, terdapat jutaan kantung kecil yang disebut alveoli. Alveoli dikelilingi oleh
pembuluh darah yang sangat kecil (blood vessel) atau kapiler.
Fungsi utama paru-paru adalah mengirimkan atau mentransfer oksigen dari udara ke
darah dan melepaskan karbon dioksida dari darah ke udara. Dalam proses pernapasan,
udara memasuki mulut atau hidung dan melewati trakea (tenggorokan), bronkus, serta
bronkiolus hingga sampai ke alveoli. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi di

11
alveoli. Alveoli menyerap oksigen dari udara dan menyebarkannya ke dalam darah untuk
kemudian diedarkan ke sekitar tubuh.
Sebagai limbah sel tubuh, karbon dioksida dikeluarkan setelah meninggalkan darah
dan menuju ke alveoli. Selain dalam proses respirasi, paru-paru juga berperan sebagai
benteng pertahanan tubuh terhadap zat berbahaya di udara, seperti asap, polusi, bakteri,
atau virus. Zat berbahaya ini melewati hidung dan terjebak di paru-paru. Paru-paru
menghasilkan cairan tebal, licin (lendir), yang bisa menjebak dan sebagian menghancurkan
bahan-bahan ini. Silia dalam hal ini bergerak cepat untuk mendorong lendir naik melalui
bronkus di mana ia dikeluarkan dengan batuk atau ditelan.
d. Pleura
Pleura adalah lapisan jaringan tipis yang menutupi paru-paru dan melapisi dinidng
bagian dalam rongga dada. Ada dua jenis lapisan pleura, yakni lapisan dalam dan lapisan
luar. Lapisan dalam (pleura visceral) membungkus di sekitar paru-paru dan menempel kuat
ke paru-paru sehingga tidak bisa terkelupas. Sementara itu, lapisan luar (pleura parietal)
melapisi bagian dalam dinding dada. Permukaan pleura terdiri dari sel-sel datar,
mesothelium, yang menutupi lapisan bawah dari jaringan elastis yang longgar. Ruang yang
sangat tipis di antara dua lapisan tersebut disebut rongga pleura. Pada pleura, ada pula
cairan pleura yang berfungsi melumasi rongga pleura sehingga dua lapisan jaringan pleura
dapat bergeser satu sama lain. ...

B. FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN


Fisiologi sistem pernapasan merupakan suatu proses kompleks atau mekanisme yang
berhubungan dengan fungsi sistem respirasi dalam upayanya menjaga kestabilan internal tubuh.
Organ yang sehat akan mampu mengikat oksigen dengan maksimal dan menjalankan fungsinya
dengan baik.
1. Ventilasi
Ventilasi atau bernapas (breathing) adalah suatu peristiwa pertukaran udara antara
lingkungan luar dan alveoli. Standarnya, udara atmosfer bertekanan 760 mmHg. Udara
yang akan bergerak masuk atau keluar dari paru-paru sangat tergantung pada tekanan
alveoli. Tubuh mengubah tekanan di alveoli dengan mengubah volume paru-paru. Seiring
meningkatnya tekanan, volume akan berkurang. Terdapat dua fase ventilasi; inspirasi dan

12
ekspirasi. Pasa setiap fase, tubuh mengubah dimensi paru-paru sehingga terjadi perubahan
tekanan di dalam paru yang akan mengatur aliran udara keluar dan masuk ke paru.
Inspirasi ditimbulkan oleh adanya kontraksi diafragma dan di dalam beberapa kasus,
otot interkostal-lah yang berkontraksi saat menerima impuls saraf. Dalam kondisi
pernapasan normal, saraf frenikus merangsang diafragma berkontraksi dan bergerak ke
bawah perut. Pergerakan diafragma ke bawah ini kemudian memperbesar rongga toraks.
Hal tersebut karena diafragma berkontraksi ke arah bawah dan otot toraks menarik dinding
dada ke luar, sehingga terjadi peningkatan volume toraks dan penurunan tekanan di dalam
toraks.
Penurunan tekanan di dalam rongga toraks di bawah tekanan atmosfer akan
menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam rongga toraks yang disebut sebagai inspirasi.
Demikian juga pada saat diafragma relaksasi, otot diafragma akan kembali naik yang
menyebabkan penurunan volume rongga toraks sehingga .... udara keluar (ekspirasi).
Pada ventilasi normal, ekspirasi biasanya merupakan proses pasif dan tidak
memerlukan otot untuk bekerja. Hal ini merupakan wujud dari otot yang rileks. Ketika
paru-paru diregangkan dan diperluas, reseptor peregangan di dalam alveoli mengirimkan
rangsang saraf inhibisi/penghambat ke medula oblongata. Pengiriman impuls ini
menyebabkan relaksasi otot intercosta dan diafragma. Paru-paru mempunyai daya
elistisitas yang tinggi. Dengan demikian, saat otot diafragma dan interkostalis rileks,
terdapat rekoil elastis yang menciptakan tekanan positif (tekanan di paru-paru menjadi
lebih besar daripada tekanan atmosfer) dan udara bergerak keluar dari paru-paru.
Sel-sel tubuh membutuhkan oksigen untuk memproduksi energi yang berasal dari hasil
pemecahan Adenosin Triphospat (ATP) menjadi Adenosin Diphospat (ADP). Adenosin
triposfat adalah nukleotida (unit struktural dasar asam nukleat–DNA atau RNA), terdapat
dalam jaringan otot dan merupakan molekul kecil yang berfungsi sebagai sumber energi
universal reaksi seluler. ATP mengangkut energi kimia dalam sel untuk metabolisme.
Sementara itu, karbon dioksida memproduksi suatu asam yang harus dibuang dari dalam
tubuh. Pertukaran gas dalam pernapasan atau ventilasi membutuhkan kerja sama antara
sistem kardiovaskular dan sistem respirasi. Corwin (2009) menyatakan bahwa sistem
kardiovaskular bertugas dalam perfusi paru, sedangkan sistem pernapasan melakukan dua
hal yang dapat dikatakan berbeda, yaitu ventilasi dan respirasi.

13
Gambar 1.4 Gerakan paru-paru ketika proses inspirasi dan ekspirasi berlangsung
(Sumber: Porth, 2011)

Setiap paru-paru tertutup dalam kantung yang disebut kantung pleura. Terdapat dua
struktur yang turut berkontribusi dalam pembentukan kantung ini. Pleura parietal
menempel pada dinding toraks sedangkan pleura viseral menempel pada paru-paru itu
sendiri. Di antara kedua membran ini terdapat lapisan tipis cairan intrapleural. Cairan
intrapleural mengelilingi paru-paru dan melumasi kedua permukaannya. Selain mengubah
tekanan, cairan ini juga memungkinkan paru-paru dan dinding toraks untuk bergerak
bersama selama pernapasan normal.

2. Volume Pernapasan
Total rata-rata kapasitas paru pria manusia dewasa adalah sekitar 6 liter udara. Rata-
rata laju pernapasan manusia adalah 30 hingga 60 napas per menit saat lahir, turun menjadi
12-20 napas per menit ketika dewasa. Pernapasan tidal adalah pernapasan normal. Volume
tidal adalah volume udara yang dihirup atau dihembuskan hanya dengan satu napas.
Volume paru dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagian dapat dikontrol dan lainnya tidak
dapat dikendalikan. Volume paru bervariasi sesuai dengan variasi orangnya. Hal tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1.1 Volume Paru


Volume lebih besar Volume lebih kecil

14
orang yang lebih tinggi orang yang lebih pendek
orang yang bermukim di tempat yang orang yang bermukim di tempat yang
lebih tinggi lebih rendah
tidak obesitas Obesitas

Hal-hal berikut ini berkaitan dengan volume paru-paru (lung volume):


a. Volume Tidal (Tidal Volume (TV))
Volume tidal adalah volume udara yang dihirup dan dihembuskan oleh seseorang
pada pernapasan normal. Volume tidal diperkirakan 9-12 ml/kg BB, tetapi terkadang
bisa lebih rendah pada klien dengan ARDS dan lebih tinggi pada klien dengan
emphysema (Davies, 2016)
b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume (IRV))
Volume cadangan inspirasi adalah volume udara di luar volume tidal yang dapat
dihirup seseorang ketika diminta untuk bernapas pada kapasitas maksimumnya.
Volume normal berkisar antara 2.000 hingga 3.000 ml.
c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume (ERV))
Volume ini merupakan volume udara di luar volume tidal yang dapat dikeluarkan
seseorang secara paksa setelah diminta untuk bernapas normal. Normalnya 1000
sampai 1.100 ml.
d. Volume Residual (Residual Volume(RV))
Volume residual adalah volume gas yang tersisa di paru-paru setelah seseorang
mengeluarkan napas ke kapasitas maksimumnya. Secara alami, volume residu tidak
dapat ditentukan secara langsung dengan menggunakan spirometer karena tidak
memungkinkan untuk mengukur volume udara yang tersisa setelah ekspirasi
maksimum (normalnya 1.200 ml).
e. Forced Expiratory Volume (FEV)1
Volume Forced Expiratory Volume (FEV) merupakan volume udara yang dapat
dihembuskan secara paksa dalam satu detik. Rasio FEV terhadap Forced Vital
Capacity (FVC), yang dikenal sebagai (FEV/FVC), digunakan untuk membedakan
penyakit paru obstruktif dan penyakit paru restriktif secara diagnostik. Pada paru yang
sehat, FEV/FVC berkisar 0,8 (80% dari total FVC yang dikeluarkan secara paksa pada

15
detik pertama). Akan tetapi, pada klien dengan penyakit paru obstruktif, rasio
FEV/FVC berkurang, artinya kurang dari total FVC yang dikeluarkan secara paksa
pada detik pertama dibandingkan pada paru-paru normal.

Gambar 1.5 Volume udara yang dihirup dan dihembuskan seseorang yang
diukur dengan spirometer
(Sumber: Pathway Medicine, http://www.pathwaymedicine.org/lung-volumes)

Selain volume paru, terdapat kapasitas paru dengan penghitungan yang terangkum
dalam penjelasan berikut ini:
a. Kapasitas Vital
Kapasitas vital (vital capacity) adalah volume udara yang bisa dihirup dan dikeluarkan
seseorang pada kapasitas maksimalnya.
Derivasi: Kapasitas Vital= Volume Cadangan Inspirasi + Volume Tidal + Volume
Cadangan Ekspirasi). Jika dirangkum, maka akan muncul rumus:
VC = TV + IRV + ERV

b. Forced Vital Capacity (FVC)

16
Forced Vital Capacity (FVC) adalah jumlah udara yang secara paksa bisa
dihembuskan setelah mendapat inspirasi maksimal. Untuk mengetahui lamanya waktu
yang dibutuhkan seseorang dalam FVC adalah alat diagnostik yang berguna dan
diterapkan bersamaan dengan Forced Expiratory Volume (FEV) untuk membedakan
penyakit paru restriktif dari penyakit paru obstruktif.
c. Kapasitas Residual Fungsional (Functional Residual Capacity (FRC))
Functional Residual Capacity (FRC) merupakan volume udara yang tersisa di paru-
paru saat seseorang menghembuskan napas normal.
d. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity (TLC))
Kapasitas paru total sesuai dengan volume udara yang dapat dikandung paru-paru.
TCL tidak dapat diukur secara langsung dengan menggunakan spirometer karena
mengandung udara yang tersisa di paru setelah ekspirasi maksimal, yaitu Volume
Residual).
Derivasi: Jumlah Kapasitas Paru= Kapasitas Vital+Volume Residual. Jika dirangkum,
maka akan muncul rumus:
TLC = VC + RV

3. Pertukaran Gas Paru


Dengan pertukaran gas, paru-paru membentuk satu bagian penting jalur transportasi
oksigen dan karbon dioksida. Sisanya, pertukaran gas ini melibatkan keseluruhan sistem
kardiovaskular (jantung, pembuluh darah, dan darah) serta jaringan tubuh.
Oksigen dan karbon dioksida berdifusi atau menyebar melalui membran pernapasan
yang tersusun dari sel-sel yang membentuk dinding alveolar dan sel-sel yang membentuk
dinding kapiler. Udara alveolar mengandung konsentrasi oksigen yang lebih banyak
daripada udara pada darah kapiler. Hal ini dikarenakan molekul cenderung bergerak dari
area dengan konsentrasi yang tinggi ke area berkonsentrasi rendah, seperti oksigen yang
menyebar dari udara alveolar ke dalam darah dan karbon dioksida yang menyebar dari
darah ke udara alveolar.
Ketika darah dari perifer memasuki jaringan kapiler alveolus, kadar oksigen sedikit
dan kadar karbon dioksida melimpah. Di sisi lain, ketika darah meninggalkan kapiler
alveolus, oksigen melimpah dan karbon dioksida menjadi sedikit. Darah yang mengandung

17
oksigen atau telah teroksigenasi tersebut kembali ke jantung dan dipompa ke seluruh tubuh
untuk memasok oksigen ke sel jaringan. Darah dalam pembuluh kapiler memasok
konsentrasi oksigen yang melimpah ke jaringan sekaligus mengambil kembali karbon
dioksida hasil metabolisme di jaringan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa oksigen
menyebar dari darah ke sel jaringan dan karbon dioksida menyebar dari sel jaringan ke
darah.
a. Pengangkutan Oksigen
Di dalam paru-paru, oksigen berdifusi dari udara di dalam alveoli menuju ke darah di
sekitar pembuluh kapiler. Banyak oksigen yang masuk ke sel darah merah dan
berkombinasi dengan senyawa mengandung besi dari hemoglobin (Hb) untuk membentuk
oksihemoglobin. Sekitar 97% oksigen diangkut sebagai oksihemoglobin dan sisanya larut
dalam plasma. Di dalam jaringan tubuh, oksihemoglobin ini melepaskan oksigen.
Pelepasan ini diikuti dengan penyebarannya dari darah kapiler ke sel jaringan. Pada
kenyataannya, hanya 25% oksigen yang dilepaskan, sehingga oksihemoglobin bisa
menjangkau darah yang terdeoksigenasi atau yang tidak mampu melepaskan oksigen.

Gambar 1.6 Skema pengangkutan dan pelepasan oksigen


(Sumber: Gunstream, 2013)

Salah satu hal yang menjadi alasan mengapa oksihemoglobin merupakan pembawa
oksigen yang efektif adalah ikatan kimia antara oksigen dan hemoglobin yang relatif tidak
stabil (Gunstream, 2013). Ketika konsentrasi oksigen di sekitarnya tinggi, seperti di paru-
paru, hemoglobin dengan mudahnya dapat berikatan dengan oksigen (daya afinitas). Akan
tetapi, ketika konsentrasi oksigen di sekitarnya rendah, seperti di jaringan tubuh,
hemoglobin melepaskan oksigen.

b. Pengangkutan Karbon Dioksida

18
Pengangkutan karbon dioksida cenderung lebih kompleks. Pengangkutan tersebut
menempuh tiga jalur, antara lain:
1) Sekitar 7% karbon dioksida larut dalam plasma.
2) Sekitar 23% memasuki sel darah merah dan berkombinasi dengan hemoglobin
untuk membentuk karbaminohemoglobin (carbaminohemoglobin). Karbon
dioksida berkombinasi dengan protein hemoglobin, sehingga karbon dioksida dan
oksigen memiliki kombinasi hemoglobin yang berbeda. Meskipun demikian,
hemoglobin dapat mengangkut oksigen dan karbon dioksida secara bersamaan.
3) Sisanya, 70%, masuk ke dalam sel darah merah, tetapi dengan cepat berkombinasi
dengan air untuk membentuk asam karbonat (carbonic acid). Reaksi ini dikatalisis
atau dipercepat oleh enzim karbonat anhidrase (carbonic anhydrase). Asam
karbonat dengan cepat terpecah ke dalam bentuk ion hidrogen dan ion bikarbonat.
Karbon dioksida pada kasus ini menjadi bagian dari molekul bikarbonat.

Gambar 1.7 Pengangkutan dan pelepasan karbon dioksida


(Sumber: Gunstream, 2013)

4. Pengaturan Pernapasan

19
Ritme siklus pernapasan normal terjadi tanpa disadari (involuntary breathing). Pusat
dari pengendalian pernapasan secara involunter ini ada pada batang otak. Pada batang otak,
terdapat dua kelompok neuron dalam medula oblongata dan satu kelompok dalam pons
otak yang bertugas mengatur pernapasan. Kendali pernapasan ini dilakukan oleh area
motorik korteks serebral.
a. Pusat Pernapasan
Dua kelompok bilateral neuron menyusun pusat pernapasan di medula, yaitu
kelompok ventral (ventral respiratory group (VRG)) dan kelompok dorsal (dorsal
respiratory group (DRG)). Kelompok ventral bertanggung jawab terhadap irama siklus
pernapasan normal. Kelompok ventral mengirim impuls atau rangsangan-rangsangan
neural ke diafragma di mana otot interkostalis eksternal menyebabkan impuls tersebut
saling kontak untuk menghasilkan inspirasi. Inspirasi ini terus berlanjut selama VRG terus
mengirimkan impuls neural. Akan tetapi, ketika impuls tersebut berhenti, otot-otot inspirasi
menjadi relaks dan terjadilah ekspirasi. Ketika dalam keadaan bernapas tenang (quiet
breathing), inspirasi berlangsung sekitar dua detik, sedangkan ekspirasi berlangsung
sekitar tiga detik (rasio inspirasi:ekspirasi=2:3).
Pernapasan dapat menjadi lebih dalam atau lebih dangkal dan lebih cepat atau lebih
lambat didasarkan pada kebutuhan perubahan tubuh. VRG menerima input atau masukan
dari sumber lain yang menghasilkan suatu perubahan dalam siklus pernapasan. Kelompok
dorsal (DRG) berperan sebagai pusat penerima dan penggabungan input dari sumber
sensori. DRG mengirim impuls ke VRG untuk mengubah pola pernapasan sesuai input
sensori yang diterima.
Pusat pernapasan ketiga, kelompok pontine respiratory group (PRG), berlokasi di
pons. PRG menerima input dari pusat otak yang lebih tinggi dan mengirimkan impuls yang
dapat memodifikasi pola pernapasan ke DRG dan VRG. Jadi, PRG dapat mempercepat
maupun memperlambat transisi atau peralihan dari inspirasi ke ekspirasi. Hal inilah yang
dapat mengubah kecepatan dan kedalaman pernapasan. PRG juga turut berperan dalam
mengadaptasi pernapasan dengan kegiatan berbicara, menyanyi, olahraga, tidur, dan
respons emosional.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pernapasan

20
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi medula dan pons dalam kaitannya
dengan kecepatan dan kedalaman pernapasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pernapasan terangkum dalam penjelasan berikut.

1) Senyawa Kimia
Faktor kimia paling penting yang berpengaruh terhadap pernapasan adalah
konsentrasi karbon dioksida, ion hidrogen, dan oksigen di dalam darah. Reseptor yang
sensitif terhadap faktor-faktor ini disebut kemoreseptor. Kemoreseptor ini berlokasi di
medula oblongata, di badan karotid (carotid bodies), dan badan aortik (aortic bodies).
Badan karotid berada di arteri karotid internal dan eksternal, sedangkan badan aortik
terletak pada lengkung aorta yang berada antara ascending aorta dan descending aorta
yang biasanya disebut aortic arch atau arcus aorta.
Ion hidrogen terlibat dalam kendali pernapasan karena mekanisme pengangkutan
karbon dioksida di dalam darah melepaskan ion hidrogen sebagai hasil tambahan.
Dengan demikian, peningkatan karbon dioksida di dalam darah juga berarti
peningkatan konsentrasi ion hidrogen. Jika konsentrasi karbon dioksida dan ion
hidrogen meningkat, VRG dan DRG terstimulasi untuk meningkatkan kecepatan dan
kedalaman pernapasan. Hal itu juga berarti meningkatnya pemindahan dan
pengembalian karbon dioksida dan ion hidrogen ke tingkat normal. Jika konsentrasi
karbon dioksida dan ion hidrogen secara abnormal rendah, pernapasan akan menjadi
pelan dan dangkal sampai kedua konsentrasi tersebut meningkat ke ukuran normalnya.
Kemoreseptor tidak sensitif terhadap penurunan konsentrasi oksigen di dalam
darah. Kemoreseptor yang mendeteksi oksigen berada di tubuh karotid dan tubuh
aortik. Biasanya, penurunan konsentrasi oksigen bukanlah stimulus kuat yang bisa
meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan, kecuali jika konsentrasi tersebut
menjadi sangat rendah. Efek utama penurunan konsentrasi oksigen ini adalah untuk
meningkatkan sensitivitas kemoreseptor di medula untuk penurunan konsentrasi
karbon dioksida.
2) Refleks Inflasi
Reseptor peregangan pleura viseral sensitif terhadap tingkat peregangan paru-
paru. Selama inspirasi, impuls dari reseptor peregangan dikirim ke DRG melalui saraf

21
vagus di mana impuls tersebut menghambat rangkaian impuls yang mengakibatkan
inspirasi. Hal ini mendorong ekspirasi dan mencegah terjadinya inspirasi dalam yang
berlebihan yang mungkin membahayakan paru-paru.

3) Pusat Otak yang Lebih Tinggi


Impuls dari pusat otak yang lebih tinggi bisa mengubah irama siklus pernapasan.
Impuls ini secara sadar (volunter) dihasilkan di otak besar, seperti saat seseorang
memilih untuk mengubah pola pernapasan menjadi tenang, misalnya saat latihan
relaksasi. Namun, kontrol volunter ini terbatas. Misalnya, seseorang yang sedang
menahan napas tidak akan tahan dalam waktu yang lama (Gunstream, 2013). Pada
kondisi itu, begitu tingkat karbon dioksida di dalam darah meningkat ke poin kritis,
pola pernapasan kembali terjadi secara involunter.
Impuls involunter tersebut mungkin dibentuk oleh pusat otak yang lebih tinggi
selama terjadinya pengalaman emosional, seperti kecemasan, ketakutan, dan
kegembiraan. Pengalaman emosional tersebut mengaktifkan sistem saraf otonom
(autonomic nervous system). Pada saat seperti itu, tingkat pernapasan meningkat.
Demikian pula, pengalaman emosional yang tiba-tiba, rasa sakit yang hebat, atau
stimulus dingin yang mendadak bisa mengakibatkan apnea (henti napas).
4) Temperatur Tubuh
Peningkatan temperatur tubuh, seperti ketika seseorang melakukan olahraga berat
atau demam, dapat meningkatkan pernapasan. Sebaliknya, penurunan temperatur
tubuh menurunkan tingkat pernapasan.
Corwin (2009) menyatakan bahwa dalam sistem pernapasan terdapat dua fungsi
yang berbeda, yaitu ventilasi dan respirasi. Ventilasi merupakan pergerakan udara dari
atmosfer untuk kemudian masuk dan keluar paru-paru, sedangkan respirasi cenderung
kepada penyebaran atau perpindahan gas-gas antara alveolus dan kapiler yang
berperan melakukan difusi. Perpindahan gas atau cairan dalam ventilasi merupakan
perpindahan dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Perpindahan ini dikenal dengan
istilah bulk flow. Berikut ini merupakan persamaan variabel-variabel yang menentukan
ventilasi:

𝑷
𝑭=
𝑹
22
Keterangan:
F: bulk flow udara; P: perbedaan tekanan atmosfer dan alveolus; R: resistansi akibat
saluran napas

a) Tekanan
Rongga toraks yang mengembang pada saat inspirasi mengakibatkan tekanan
di dalam alveolus lebih rendah daripada tekanan atmosfer. Pada saat itulah
udara dari atmosfer masuk ke dalam paru. Udara baru mengalir keluar ketika
tekanan di dalam alveolus yang berisi oksigen tersebut lebih tinggi daripada
tekanan atmosfer. Hal ini terjadi setelah toraks relaksasi pada akhir inspirasi.
b) Resistensi Bronkus
Persarafan otot polos bronkus mempengaruhi resistensi bronkus. Resistensi
yang bisa meningkat ketika otot polos bronkus berkonstriksi ini mengakibatkan
penurunan aliran udara ke dalam paru. Dengan demikian, ketika saluran udara
mengalami penyempitan atau konstriksi, resistansi terhadap aliran udara
semakin meningkat. Sistem saraf otonom yang berpengaruh terhadap resistensi
bronkus ini adalah sistem simpatik dan parasimpatis.
c) Persarafan Bronkus
Peningkatan resistensi dan pengurangan aliran udara merupakan akibat dari
menyempitnya jalan napas karena rangsangan parasimpatis yang disalurkan ke
otot polos bronkus melalui saraf vagus. Di sisi lain, relaksasi atau dilatasi
bronkus dapat menurunkan resistensi dan meningkatkan aliran udara.
Di sisi lain, Corwin (2001) menyatakan kecepatan difusi gas dalam respirasi
ditampilkan dalam persamaan berikut:
(𝑋𝑎 − 𝑋𝑐) × 𝑆𝐴 × 𝑇
𝐷=
𝑑 × 𝑘
Keterangan:
D : kecepatan difusi
Xa : konsentrasi gas dalam alveolus
Xc : konsentrasi gas dalam kapiler

23
SA: luas daerah yang ada untuk difusi
T : suhu larutan
d : jarak yang harus di tempuh difusi
k : konstanta fisika yang memperhitungkan karakteristik nonvariabel gas, seperti
berat molekul dan koefisien kelarutan spesifiknya.

BAB II
PENGKAJIAN SISTEM PERNAPASAN

A. PENGKAJIAN UMUM
Pemeriksaan fisik adalah proses evaluasi temuan anatomis yang objektif melalui inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Informasi yang diperoleh harus dipadukan dengan riwayat
kesehatan dan patofisiologi klien. Pemeriksaan fisik yang benar harus menghasilkan 20% data
yang diperlukan untuk diagnosis dan manajemen klien.
Perawat diharapkan melakukan pemeriksaan terhadap status pernapasan klien dengan cara
wawancara dan pemeriksaan fisik. Hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik ini
adalah sebisa mungkin perawat mendapatkan dan mengumpulkan data-data yang maksimal
tanpa harus memperburuk gangguan pernapasan klien. Tindakan yang dilakukan selanjutnya
selepas pengkajian awal tersebut adalah dengan memilih komponen pemeriksaan yang sesuai
dengan tingkat keparahan distres pernapasan klien.
Frekuensi pemeriksaan yang dilakukan tergantung pada faktor-faktor seperti usia, jenis
kelamin, dan adanya faktor risiko penyakit pada klien. Pemeriksaan fisik yang komprehensif
memberi kesempatan bagi perawat untuk mendapatkan informasi dasar tentang klien untuk
manajemen kesehatan secara holistik.
1. Riwayat Kesehatan
Data awal yang perlu dikumpulkan adalah data biografi klien. Data tersebut mencakup usia,
jenis kelamin, pekerjaan (gambaran lingkungan tempat kerja), dan tempat tinggal. Lingkungan
tempat tinggal berkaitan dengan kondisi tempat tinggal klien. Selain itu, berkaitan dengan
lingkungan tempat tinggal, kumpulkan informasi mengenai apakah si klien tinggal sendiri atau
bersama dengan orang lain. Informasi ini bisa berguna bagi perencanaan pulang. Data
selanjutnya yang dikumpulkan berkenaan dengan riwayat kesehatan klien adalah data yang ada

24
saat ini maupun data yang sudah lalu. Setelah pencatatan data biografi selesai, pemeriksaan
riwayat medis atau kesehatan dapat dimulai dengan berfokus pada keluhan utama klien.
Berkaitan dengan riwayat kesehatan lampau, perawat bisa menanyakan kepada klien
mengenai masalah kesehatan sebelumnya. Perawat dapat menanyakan kepada klien apakah
mereka pernah mendapatkan perawatan medis. Jika klien pernah dirawat sebelumnya, tanyakan
keluhan utama saat itu. Perawat juga bisa menanyakan kepada klien perihal keberlanjutan
perawatan yang dijalani klien. Tanyakan juga kepada klien seputar kemungkinan pernah
menjalani prosedur pemeriksaan X-Ray, CT Scan, MRI atau pemeriksaan penunjang khusus
lainnya. Klien hendaknya ditanya apakah ia pernah dirawat di rumah sakit dan alasan mengapa
ia dirawat.
Berkenaan dengan riwayat bedah sebelumnya, perawat dapat bertanya kepada klien
mengenai beberapa hal, seperti riwayat bedah yang pernah dilakukan serta kapan waktunya,
komplikasi yang terjadi, informasi seputar operasi yang pernah dilakukan, dan dorong klien
untuk dapat menjawab sespesifik mungkin.
Berkaitan dengan riwayat kesehatan (medical history) klien, terdapat manifestasi klinis,
dan riwayat medis lainnya.
a. Manifestasi Klinis
1) Pertimbangan Umum
Beberapa klien dirujuk untuk evaluasi paru lebih lanjut. Mereka dirujuk karena adanya
abnormalitas radiografi dada atau penilaian terhadap adanya kondisi nonpulmoner. Klien
biasanya menunjukkan satu dari empat gejala pernapasan utama, yaitu dispnea, batuk
dengan atau tanpa hemoptisis, nyeri dada, atau mengi (wheezing).
2) Dispnea
Dispnea (dyspnea) atau sesak napas (shortness of breath) merupakan suatu kondisi
sulit bernapas. Kadang klien mendeskripsikan dispnea sebagai sesak dada (chest
tightness). Pada kondisi ini, perawat harus dapat menentukan mana gejala dispnea dan
mana nyeri dada (chest pain). Ketidakseimbangan antara kebutuhan ventilasi dengan
kemampuan klien melakukan ventilasi akan mengakibatkan meningkatnya pernapasan,
ketidakmampuan melakukan pernapasan normal, atau kombinasi keduanya. Dispnea juga
dipengaruhi oleh interaksi kompleks atau faktor psikologis dan sinyal aferen dari reseptor
kimia dan mekanis.

25
Komponen kerja bernapas, termasuk total permintaan ventilasi, bekerja untuk
mengatasi hambatan jalan napas, dan bekerja mengatasi kekakuan sistem pernapasan,
termasuk paru-paru dan rongga toraks. Kapasitas ventilasi tergantung pada mekanisme
sistem pernapasan serta kinerja neuromuskuler. Sebagian besar penyakit penyebab
dispnea melalui beberapa mekanisme, seperti klien asma yang mengalami peningkatan
kebutuhan ventilasi akibat ventilasi ruang rugi (dead space ventilation), meningkatnya
kerja pernapasan akibat resistensi jalan napas abnormal, dan kecemasan.
Diagnosis terhadap penyebab dispnea pada klien tergantung pada identifikasi pola-
pola gejala, faktor pencetus/presipitasi, dan gejala-gejala yang terkait. Terdapat tipe
khusus dispnea yang membutuhkan diagnosis tertentu, seperti paroxysmal nocturnal
dyspnea (PND) di mana klien merasa sesak napas pada saat tidur malam hari dan gejala
akan berkurang dengan pemberian posisi duduk selama beberapa menit.
Tipe kedua adalah orthopnea, yaitu ketidaknyamanan bernapas yang terjadi saat
klien berada pada posisi telentang dan akan berkurang saat klien dalam posisi duduk.
Kedua tipe dispnea ini berkaitan erat dengan etiologi penyakit jantung. Meski demikian,
kedua dispnea tersebut kadang terdapat pada klien dengan penyakit paru obstruktif, asma,
refluks gastrointestinal, peningkatan sekresi mukus pada bronkus, atau aspirasi.
Dispnea akut paling sering terjadi karena pneumonia bakteri atau virus, asma,
emboli paru, pneumotoraks, edema paru, aspirasi, mukus yang menyumbat jalan napas.
Dispnea progresif yang kronis sering kali diakibatkan oleh COPD (chronic obstructive
pulmonary disease). Asma berat refrakter terhadap bronkodilator, penyakit paru
interstisial, atau penyakit vaskular paru. Variasi musiman atau perburukan gejala asma
dapat terjadi setelah berolahraga, terpapar udara kering yang dingin, hewan peliharaan,
atau iritan yang mengindikasikan penyakit saluran pernapasan reaktif. Data lain yang
dapat mendukung diagnosis terhadap dispnea adalah riwayat atopik atau gejala alergi.
Tindakan mengevaluasi dispnea mencakup penilaian tingkat keparahan. Dispnea
dinilai berdasarkan jumlah usaha atau pekerjaan yang menyebabkan sesak napas. Akan
tetapi, pendekatan ini memiliki keterbatasan. Faktor psikologi merupakan salah satu faktor
yang menjadi kendala dalam melakukan standardisasi ukuran dispnea di antara individu
yang berbeda. Tingkat keparahan dispnea juga bisa dipengaruhi oleh faktor
neurofisiologikal yang berpengaruh terhadap hipoksemia. Klien dengan dispnea

26
disarankan mengurangi aktivitas pekerjaannya dan juga pandangan mereka terhadap
dispnea.
Derajat sesak napas pada klien PPOK dapat diukur dengan tiga pengukuran
(Djojodibroto, 2014):

a) Medical Research Council (MRC) Dispnea Scale


MRC membagi skala dispnea berdasarkan aktivitas fisik yang masih bisa
ditoleransi. Skala sesak napas menurut MRC terbagi menjadi lima
tingkat/gradasi seperti yang dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Skala Dispnea Menurut MRC


Skala Dispnea Menurut MRC
Gradasi 1 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat.
Gradasi 2 Sesak napas timbul jika berjalan cepat pada lantai yang datar
atau berjalan di tempat yang sedikit landai.
Gradasi 3 Jika berjalan bersama teman yang seusia di jalan yang datar,
selalu lebih lambat; atau jika berjalan sendirian di jalan yang
datar, sering beristirahat untuk mengambil napas.
Gradasi 4 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan sejauh 30
meter (100 yard) pada jalan yang datar, atau setelah berjalan
beberapa menit.
Gradasi 5 Timbul sesak napas berat saat mengenakan atau melepas baju.
Sumber: Djojodibroto (2014)
b) Baseline Dispnea Index (BDI)
BDI melihat beratnya derajat dispnea berdasarkan kegagalan fungsi (fuctional
impairment). BDI membagi derajat dispnea menjadi empat tingkat/gradasi
seperti yang dijelaskan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Skala Dispnea Menurut BDI


Skala Dispnea Menurut BDI

27
Gradasi 4 Tidak ada halangan (no impairment). Individu mampu
melakukan aktivitas sehari-hari dan bekerja tanpa timbul
keluhan sesak napas.
Gradasi 3 Halangan ringan (slight impairment). Terdapat sedikit
pengurangan aktivitas kerja yang biasa dilakukan sehari-hari
karena berkurangnya kemampuan, namun belum jelas
apakah pengurangan kemampuan karena sesak napas.
Gradasi 2 Halangan sedang (moderate impairment). Individu tidak
mampu melakukan suatu jenis aktivitas yang biasa dilakukan
karena sesak napas.
Gradasi 1 Halangan berat (severe impairment). Individu tidak mampu
lagi bekerja atau individu menghentikan semua aktivitas
yang biasa dilakukannya karena sesak napas.
Sumber: Djojodibroto (2014)
c) Transition Dispnea Index (TDI)
TDI menilai derajat dispnea berdasarkan perubahan dalam gangguan fungsi.
TDI digunakan untuk melihat besarnya perubahan yang diukur dari nilai
baseline. TDI membagi derajat dispnea seperti yang dijelaskan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Skala Dispnea Menurut TDI


Skala Dispnea Menurut TDI
Gradasi -3 Kemunduran berat (major deterioration).
Penderita yang biasanya bekerja menjadi tidak bekerja dan
kehilangan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-
hari karena sesak napas.
Gradasi -2 Kemunduran sedang (moderate deterioration).
Penderita yang biasanya bekerja menjadi tidak bekerja dan
kehilangan kemampuan untuk melakukan beberapa jenis
kegiatan sehari-hari karena sesak napas.
Gradasi -1 Kemunduran ringan (minor deterioration).

28
Penderita yang biasanya bekerja terpaksa pindah kerja yang
lebih ringan dan/atau mengurangi jumlah aktivitas ataupun
lama kerja karena sesak napas.
Gradasi 0 Tidak ada perubahan (no change).
Individu tidak mengalami perubahan status fungsi.
Gradasi +1 Ada sedikit perbaikan (minor improvement)
Individu mampu bekerja kembali dengan cara mengurangi
kecepatan, atau dapat memulai beberapa aktivitas yang biasa
dengan sedikit lebih giat daripada sebelumnya karena ada
penurunan keluhan sesak napas.
Gradasi +2 Ada perbaikan sedang (moderate improvement)
Individu mampu bekerja kembali dengan cara mengurangi
kecepatan mendekati biasanya, atau dapat kembali kepada
aktivitas yang sedang dengan hanya mengalami hambatan
sedang.
Gradasi +3 Ada perbaikan besar (major improvement)
Individu mampu bekerja kembali pada keceatan semula dan
dapat kembali bekerja seperti biasnya hanya dengan
mengalami sedikit hambatan ringan karena penurunan
keluhan sesak napas.
Sumber: Djojodibroto (2014)

3) Batuk
Batuk merupakan salah satu manifestasi yang dapat melindungi jalan napas dan
paru-paru. Batuk memberikan perlindungan dengan cara membersihkan jalan napas
bronkial dari materi asing dan sekresi yang terakumulasi. Reseptor batuk berada di seluruh
saluran pernapasan dan di situs ekstrapulmoner. Aktivasi refleks batuk terjadi melalui
stimulasi reseptor oleh peradangan, rangsangan mekanik, rangsangan kimia, dan
rangsangan panas.
Karakteristik paling penting yang harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi batuk
adalah tingkat keparahan atau kronisitas. Penyebab paling umum dari batuk akut adalah

29
infeksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan bagian atas yang diikuti oleh adanya
pneumonia, aspirasi, edema paru kardiogenik, dan emboli paru (biasanya jarang terjadi).
Klien dengan infeksi virus pada saluran pernapasan bagian atas jarang membutuhkan
bantuan medis karena gejalanya dapat dengan mudah dihilangkan. Penyebab batuk akut
dapat dengan mudah terlihat pada sebagian besar klien lain karena adanya tanda dan gejala
dari infeksi.
Batuk kronis merupakan batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu. Penyebab
paling umum batuk kronis adalah bronkitis kronis terkait tembakau yang diikuti oleh post-
nasal drip, asma, dan refluks gastroesofageal. Lebih dari 90% klien dengan batuk kronis
memiliki etiologi-etiologi tersebut. Petunjuk dalam mendiagnosis batuk kronis adalah
terjadinya batuk setelah berhentinya merokok; nasal discharge, kepekaan terhadap
tekanan atau sentuhan pada sinus (sinus tenderness), dan sekresi di faring posterior;
ekspirasi mengi pada auskultasi paru; serta regurgitasi dan sensasi terbakar pada dada
(heartburn).
Batuk pada perokok merupakan indikasi pertama terhadap munculnya masalah
serius lainnya, seperti bronkitis kronis, emfisema, atau karsinoma bronkogenik. Petunjuk
yang mengarah pada kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah memburuknya batuk
parah yang terus-menerus, peningkatan produksi sputum, hemoptisis, atau gejala
konstitusional: penurunan berat badan dan kelelahan.
Terkadang, batuk juga disertai dengan hemoptisis atau batuk darah. Hemoptisis
dikategorikan berdasarkan pada jumlah darah yang dibatukkan atau diekspektorasi.
Hemoptisis yang sedikit (scant hemoptysis) ditandai dengan adanya bercak darah pada
sputum. Ekpektorasi kurang dari 600 ml darah. Di sisi lain, terdapat hemoptisis masif yang
membatukkan lebih dari 600 ml darah dalam periode 24 jam.
Evaluasi awal dapat dilakukan dengan cara memeriksa hidung dan orofaring dengan
hati-hati untuk menyingkirkan pseudohemoptisis. Perbedaan diagnosis hemoptisis
tergantung pada sejumlah faktor, seperti jumlah dan durasi perdarahan, usia dan riwayat
merokok klien, temuan radiografi, dan gejala-gejala yang mengikuti: turunnya berat
badan, nyeri dada, dan demam.
Berkaitan dengan batuk, perawat diusahakan mendapatkan informasi seputar obat-
obatan atau tindakan apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi batuk tersebut.

30
Tindak kewaspadaan juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi.
Berikan pemahaman kepada klien agar senantiasa menjaga sanitasi, seperti mencuci
tangan, membuang tisu basah pada tempatnya, dan menyelesaikan pengobatan antibiotik
(jika diresepkan).
4) Produksi Sputum
Sputum bukan liur atau ludah, melainkan lendir atau mukus yang dikeluarkan dari
paru-paru melalui batuk untuk membersihkan tenggorok. Normalnya, dalam mekanisme
pembersihan normal, percabangan trakheobronkhial menghasilkan sekitar 3 ons mukus
setiap harinya. Sputum yang tidak normal adalah sputum yang disertai dengan batuk.
Dalam mengevaluasi produksi sputum yang tidak normal ini, tanyakan kepada klien
tentang warna, bau, kualitas, kuantitas sputum yang diproduksi. Kumpulkan juga
informasi seputar faktor yang meningkatkan produksi sputum, seperti apakah sputum
tersebut hanya terbentuk ketika si klien berada pada posisi tertentu. Warna sputum
mengindikasikan gangguan sistem pernapasan sebegai berikut:
a) Kuning/hijau: adanya infeksi.
b) Merah/merah muda: menandakan adanya darah pada saluran pernapasan,
misalnya akibat kanker paru.
c) Putih: dapat terajdi karena alergi atau asma.
d) Abu-abu: akibat menghirup benda asing atau perokok.
e) Coklat: menunjukkan sputum pada klien penyakit paru kronis.

5) Hemoptisis
Hemoptisis adalah batuk darah atau batuk sputum bercampur darah. Sumber
perdarahan dapat berasal dari jalan napas atas atau bawah, atau berasal dari parenkim paru.
Penyebab pulmonal dari hemoptisis mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis,
tuberkulosis pulmonal, fibrosis kistik, granuloma nekrotikan jalan napas atas, embolisme
pulmonal, pneumonia, kanker paru, dan abses paru.
Abnormalitas kardiovaskular, antikoagulan, dan obat-obat imunosupresif yang
menyebabkan perdarahan parenkim (jaringan paru) juga dapat menyebabkan hemoptisis.
Klien biasanya mengganggap hemoptisis sebagai indikator penyakit serius dan sering akan
tampak gelisah atau takut. Lakukan pengkajian tentang awitan, durasi, jumlah, dan warna

31
(misalnya merah terang atau berbusa). Kenali perbedaan antara hemoptisis dengan
hematemesis (muntah darah).
6) Mengi (wheezing)
Bunyi mengi dihasilkan ketika udara mengalir melalui jalan napas yang sebagian
tersumbat atau menyempit pada saat inspirasi atau ekspirasi. Mengi dapat terdengar hanya
dengan menggunakan stetoskop. Klien mungkin tidak mengeluh tentang mengi, tetapi
sebaliknya dapat mengeluh tentang dada yang sesak atau tidak nyaman pada dada. Minta
klien mengidentifikasi kapan mengi terjadi dan apakah hilang dengan sendirinya atau
dengan menggunakan obat-obatan, seperti bronkodilator. Tidak semua mengi mengacu
pada asma. Mengi dapat disebabkan oleh edema mukosa, sekresi dalam jalan napas, kolaps
jalan napas akibat kehilangan elastisitas jaringan, dan benda asing atau tumor yang
sebagian menyumbat aliran udara.
7) Nyeri Dada
Nyeri dada mungkin berkaitan dengan masalah pulmonal dan jantung,
membedakannya satu sama lain memberikan makna klinis yang berarti. Lakukan analisis
gejala yang lengkap pada nyeri dada. Nyeri dada akibat angina (penurunan aliran darah)
merupakan masalah yang mengancam jiwa. Nyeri dada yang bersumber dari pulmonal
dapat berasal dari dinding dada, pleura parietalis, pleura viseralis, atau parenkim paru.
Informasi tentang lokasi, durasi, dan intensitas nyeri dada yang dikumpulkan akan
memberikan petunjuk dini tentang penyebab. Batuk dan pleuritis dapat menyebabkan
nyeri dada. Nyeri dada pleuritik umumnya nyeri yang terasa tajam menusuk dengan awitan
mendadak tetapi dapat juga bertahap. Nyeri dada jenis ini terjadi pada tempat inflamasi
dan biasanya terlokalisasi dengan baik. Nyeri meningkat dengan gerakan dinding dada,
seperti saat batuk atau bersin dan napas dalam. Klien yang mengalami nyeri pleuritik akan
mempunyai pola pernapasan cepat dan dangkal dan takut melakukan gerakan. Tindakan
menekan pada bagian yang nyeri biasanya dapat mengurangi nyeri. Nyeri retrosternal (di
belakang sternum) biasanya terasa terbakar, konstan, dan sakit. Nyeri juga dapat berasal
dari bagian tulang dan kartilago toraks.
Karakteristik angina dengan nyeri dada lainnya berbeda. Nyeri dada jantung
biasanya digambarkan sebagai nyeri yang sangat sakit, hebat, sensasi seperti diremas-
remas, dengan rasa tertekan atau sesak pada area substernal. Angina dapat juga menjalar

32
ke dalam leher dan lengan. Tanyakan klien apa yang menyebabkan nyerinya (aktivitas,
batuk, gerakan) dan apa yang meredakan nyerinya (nitrogliserin, membebat dinding dada).
b. Analisis Gejala
Untuk mendapatkan riwayat sistem pernapasan yang baik, penting sekali mengkaji
karakteristik setiap manifestasi klinis yang tampak. Pengkajian ini akan memberikan
analisis gejala yang komprehensif. Jika klien menggambarkan gejala pernapasan tertentu,
kaji setting, waktu, persepsi klien, kualitas dan kuantitas sputum, lokasinya, faktor-faktor
yang memperburuk dan yang meredakan, serta manifestasi yang berkaitan.
1) Setting
Dalam setting seperti apa gejala yang paling sering terjadi? Setting mengacu
pada waktu dan tempat atau situasi tertentu—setting fisik dan lingkungan
psikososial—saat klien mengalami keluhan. Misalnya batuk pada pagi hari setelah
klien merokok atau karyawan yang mengeluh distres pernapasan di tempat kerja.
2) Waktu
Waktu menunjukkan baik awitan (gejala terjadi bertahap atau mendadak) dan
periode (berhari-hari, minggu, atau bulan). Tanyakan pada klien apakah terdapat saat
spesifik di mana masalah paling sering terjadi, misalnya batuk pada pagi hari atau
sesak napas yang terjadi saat berbaring telentang pada malam hari.
3) Persepsi klien
Persepsi klien dicatat sesuai dengan kata-kata klien. Perhatikan keluhan khas
yang diraskan klien Gunakan kutipan langsung untuk mendokumentasikan keluhan
klien, misalnya klien melaporkan “nyeri tajam” pada dada posterior kiri ketika napas
dalam.
4) Kualitas dan kuantitas masalah harus diuraikan dalam bahasa yang umum
Minta klien untuk melaporkan besar, ukuran, jumlah, dan keluasan keluhan
utama. Terutama masalah yang berkaitan dengan pembentukan sputum, minta klien
memperkirakan jumlah sputum yang dikeluarkan sehari-secangkir, satu sendok teh,
satu sendok makan. Hindari istilah seperti “sedikit” atau “banyak” karena istilah ini
mempunyai arti kurang spesifik. Gunakan skala nyeri 1 sampai 10 untuk
menggambarkan nyeri dengan 1 tak ada nyeri dan 10 nyeri terasa paling hebat. Saat

33
mengkaji batuk gunakan istilah sesak, kering, basah, atau berlendir. Minta klien
untuk menggambarkan ciri keluhan utama dengan kata-katanya sendiri.
5) Lokasi
Lokasi yang menjadi keluhan harus dicatat. Lokasi ini terutama penting ketika
klien mengeluh tentang nyeri, karena lokasi membedakan apakah nyeri yang diderita
klien berasal dari kelainan jantung atau pernapasan.
6) Faktor yang memperburuk dan meredakan
Tanyakan pada klien hal-hal apa yang dapat menimbulkan atau menghilangkan
gejala yang dialaminya. Adakah keterkaitan aktivitas tertentu dengan gejala yang
dialami. Apakah gejala timbul setelah klien menggunakan obat-obat tertentu.
7) Manifestasi yang berkaitan
Adakah manifestasi lain yang terjadi dalam hubungannya dengan keluhan
utama. Misalnya, menggigil, demam, berkeringat malam hari, anoreksia, penurunan
berat badan, keletihan yang berlebihan, ansietas dan suara serak. Anda dapat
mengenali bahwa menggigil dan demam umumnya menyertai kelainan paru akibat
infeksi, sementara anoreksia dan penurunan berat badan dapat terjadi pada klien
dengan kelainan yang mengarah pada dispnea.

2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu


Riwayat kesehatan masa lalu memberikan informasi tentang riwayat kesehatan klien dan
anggota keluarganya. Kaji klien terhadap kondisi kronis manifestasi pernapasan, misalnya
batuk, dispnea, pembentukan sputum, atau mengi, karena kondisi ini memberikan petunjuk
tentang penyebab masalah baru. Selain mengumpulkan data tentang penyakit pada masa kanak-
kanak dan status imunisasi, tanyakan klien tentang kejadian TBC, bronkitis, influenza, asma,
pneumonia, dan frekuensi infeksi saluran napas bawah setelah terjadinya infeksi saluran napas
atas. Tetapkan keberadaan masalah kongenital, seperti fibrosis kistik atau riwayat kelahiran
bayi prematur. Masalah ini berkaitan dengan komplikasi pernapasan, seperti penyakit pulmonal
obstruktif atau restriktif.
Tanyakan klien tentang perawatan di rumah sakit atau pengobatan masalah pernapasan
sebelumnya. Dapatkan pula informasi tentang kapan penyakit terjadi atau waktu perawatan,
tindakan medis (termasuk pembedahan, penggunaan ventilator, dan pengobatan inhalasi atau

34
terapi oksigen), dan status masalah saat ini. Tanyakan apakah klien telah menjalani pemeriksaan
rontgen dan kapan, dan apakah pemeriksaan diagnostik pulmonal dilakukan. Informasi ini
penting untuk membantu dalam mengevaluasi masalah saat ini. Dapatkan keterangan tentang
cedera mulut, hidung, tenggorok, atau dada sebelumnya (seperti trauma tumpul, fraktur iga,
atau pneumotoraks), juga informasi rinci tentang penggunaan obat-obat bebas atau yang
diresepkan.
Tanyakan klien adakah riwayat keluarga tentang penyakit pernapasan. Misalnya asma,
fibrosis kistik, emfisema atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru, infeksi
pernapasan, tuberkulosis, atau alergi. Sebutkan usia dan penyebab kematian anggota keluarga,
termasuk ayah, ibu, adik, kakak, anak-anak, nenek-kakek, bibi, dan paman. Tanyakan apakah
ada anggota keluarga yang perokok. Perokok pasif sering kali mengalami gejala pernapasan
lebih buruk.

3. Riwayat Psikososial
Dapatkan informasi tentang aspek-aspek psikososial klien yang mencakup lingkungan,
pekerjaan, letak geografi, kebiasaan, pola olahraga, dan nutrisi. Identifikasi semua agens
lingkungan yang mungkin memengaruhi kondisi klien, lingkungan kerja, dan hobi.
Tanyakan tentang kehidupan sehari-hari klien, seperti jumlah anggota keluarga yang tinggal
serumah. Kondisi kehidupan dengan crowding index yang tinggi meningkatkan risiko penyakit
pernapasan seperti tuberkulosis. Kaji bahaya lingkungan seperti sirkulasi udara yang buruk.
Kumpulkan riwayat merokok, berapa banyak sehari, dan sudah berapa lama. Merokok
menunjukkan hubungan adanya penurunan fungsi siliaris paru-paru, meningkatkan
pembentukan lendir, dan terjadinya kanker paru. Tanyakan riwayat penggunaan alkohol.
Gerakan siliaris paru diperlambat oleh alkohol, yang mengurangi klirens lendir dari paru-paru.
Penggunaan alkohol berlebih menekan refleks batuk sehingga berisiko mengalami aspirasi.
Tanyakan apakah ada penurunan toleransi terhadap aktivitas. Minta klien untuk
menggambarkan aktivitas khusus seperti berjalan, pekerjaan rumah yang ringan, atau
berbelanja kebutuhan rumah tangga yang dapat ditoleransi dan kaji pula aktivitas sehari-hari
yang mengakibatkan sesak napas.
Mempertahankan diet yang bergizi penting untuk klien dengan penyakit pernapasan kronis.
Penyakit pernapasan kronis mengakibatkan penurunan kapasitas paru dan beban kerja lebih

35
tinggi bagi paru dan sistem kardiovaskular. Penambahan beban kerja meningkatkan kebutuhan
kalori dan dapat menurunkan berat badan. Klien menjadi anorektik sekunder akibat efek
medikasi dan keletihan. Kaji masukan gizi selama 24 jam terakhir, minta klien mengingat pola
masukan makanan seminggu terakhir.

4. Pengkajian Fisik
a. Inspeksi
1) Kaji bentuk toraks, apakah normal atau ada kelainan, seperti:
a) Bentuk dada barel (tong), yaitu rongga toraks anterior menggembung ke depan dan
rongga toraks posterior menggembung ke belakang.
b) Bentuk dada pigeon (burung), yaitu rongga toraks anterior menggembung ke depan
sehingga sternum terkesan meonjol.
c) Bentuk dada funner (cekung), yaitu rongga toraks anterior cekung ke arah posterior
sehingga terkesan seperti bagian tengah sepatu.
2) Status pernapasan
a. Frekuensi pernapasan
Menghitung frekuensi pernapasan, normalnya adalah 12-20 kali/menit. Pernapasan
di atas 20kali/menit disebut sebagai takipnea dan kurang dari 12 kali/menit disebut
sebagai bradipnea.
b. Pola pernapasan
Melihat pola dan irama pernapasan apakah teratur (apnea) atau ada perubahan pola
pernapasan seperti :
1) Sighing (mendesah) merupakan pernapasan involunter (tidak disadari) yang
menhasilkan volume tidal 1,5–2 kali lebih besar dibandingkan pola pernapasan
normal. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada klien dengan kecemasan.
2) Cheyne-Stokes merupakan pola pernapasan crescendo-decrescendo berupa
pola pernapasan yang dangkal namun semakin lama semakin dalam dan
disertai dengan periode apnea (henti napas). Pola pernapasan ini terjadi pada
klien dengan gagal jantung dan karena adanya gangguan pada pusat kontrol
pernapasan.

36
3) Agonal merupakan pola pernapasan dengan karakteristik lambat dan dangkal
secara ireguler yang terjadi akibat penurunan oksigen serebral.
4) Apnea merupakan berhentinya pernapasan. Pola pernapasan ini mengancam
nyawa jika klien tidak segera diberikan resusitasi.
5) Kussmaul merupakan pola pernapasan cepat dan dalam. Pola pernapasan ini
ditemui pada klien dengan diabetik ketoasidosis stadium lanjut.
6) Biot merupakan pernapasan cepat dan dalam yang diselingi dengan periode
apnea. Pola pernapasan ini terjadi pada klien yang mengalami kerusakan pada
pons akibat strok, trauma, atau herniasi serebral.
7) Apneustik merupakan peningkatan periode inspirasi dengan pemendekan fase
ekspirasi.

b. Palpasi Dada
Palpasi dada dilakukan dengan meletakkan tangan mendatar di atas dada klien untuk
melihat getaran paru. Perawat melakukan prosedur ini dengan meminta klien mengatakan
“tujuh puluh tujuh” dalam bahasa Indonesia, atau “ninety nine” dalam bahasa Inggris. Dua
kalimat ini dipilih sebab menghasilkan bunyi getaran yang paling terasa. Secara normal, bila
klien mengikuti instruksi itu, vibrasi terasa pada luar dada di tangan pemeriksa.
Pada klien normal fremitus taktil terasa simetris pada paru kanan dan kiri. Jika terdapat
ketidaksimetrisan antara paru kanan dan kiri maka dicurigai terjadi sesuatu pada lapang paru.
Sebagai contoh, bila terjadi efusi pleural, penebalan pleural atau pneumotoraks, vibrasi akan
menurun atau hilang. Bila klien mengalami atelektasis karena sumbatan jalan napas, vibrasi
juga tak dapat dirasakan. Fremitus taktil agak meningkat pada kondisi konsolidasi, tetapi
deteksi terhadap ini sulit. Hanya dengan palpasi pada dada klien dengan napas perlahan,
seseorang dapat merasakan ronki yang dapat diraba yang berhubungan dengan gerakan mukus
pada jalan napas besar.
Soemantri (2008) mendeskripsikan pemeriksaan fisik ke dalam dua bagian, yaitu palpasi
dada toraks posterior dan palpasi toraks anterior. Berikut ini merupakan penjabaran dari kedua
pemeriksaan tersebut:
1) Palpasi dada toraks posterior
Berikut ini merupakan beberapa prosedur yang dapat dilakukan:

37
a) Palpasi secara dangkal pada bagian otot tepat di bawah kulit
Palpasi bagian dada secara teratur dengan menggunakan telapak tangan. Hal yang
perlu diingat adalah daerah yang dikaji meliputi daerah superior skapula sampai dengan
tulang rusuk kedua belas dan dilanjutkan sejauh mungkin pada garis midaksila pada
kedua sisi.
b) Palpasi dan hitung intercosta (sela di antara costa)
i. Mintalah klien untuk melakukan fleksi leher (menunduk) sampai processus
spinalis cervical ke-7 terlihat.
ii. Jika pemeriksa memindahkan tangan sedikit ke kiri dan ke kanan dari
processus, pemeriksa akan merasakan tulang rusuk pertama.
iii. Hitunglah tulang rusuk dan sela interkostalis dan tetap dekat pada garis
vertebrae.
c) Palpasi tiap-tiap processus spinalis dengan gerakan ke arah bawah
Amati apakah jari tangan pemeriksa saat bergerak turun membentuk garis lurus.
Jika tidak lurus, maka dapat menunjukkan adanya skoliosis.
d) Palpasi toraks posterior untuk mengukur ekspansi pernapasan
i. Letakkanlah tangan sejajar dengan tulang rusuk ke-8 hingga ke-10. Letakkan
kedua ibu jari dekat dengan garis vertebrae dan tekan kulit secara lembut di
antara kedua ibu jari. Pastikan bahwa telapak tangan bersentuhan dengan
punggung klien.
ii. Perawat meminta klien untuk menarik napas dalam. Pemeriksa seharusnya
merasakan tekanan yang sama di kedua tangan dan tangan pemeriksa bergerak
menjauhi garis vertebrae.
e) Palpasi menilai fremitus taktil
Fremitus merupakan vibrasi yang dirasakan di luar dinding dada saat klien bicara.
Vibrasi paling besar berada di daerah saluran napas berdiameter besar (trakea) dan
hampir tidak ada pada alveoli paru-paru.
i. Gunakan daerah sendi metacarpophalangeal atau permukaan luar dari tangan
pada saat memeriksa.
ii. Mintalah klien untuk mengulangi kata “ninety-nine” atau “tujuh puluh tujuh”.

38
2) Palpasi toraks anterior
Berikut ini merupakan prosedur palpasi toraks anterior yang dapat dilakukan perawat:
a) Atur posisi klien pada posisi supine atau juga bisa posisi duduk saat dilakukan palpasi
toraks anterior.
b) Tentukan lokasi palpasi daerah toraks anterior dengan cara:
i. Menentukan lokasi lekuk suprasternal dengan jari tangan. Palpasi turun ke
bawah dan identifikasi batas-batas bawah manubrium pada ‘Angle of Louis’.
ii. Palpasi secara lateral dan temukan tulang rusuk kedua pada ICS kedua. Hitung
tulang rusuk dekat dengan batas sternum.
iii. Palpasi jaringan otot dan jaringan tepat di bawah kulit.
c) Palpasi toraks anterior untuk mengukur ekspansi pernapasan
i. Letakkan tangan pada dinding arterior dada tepat di bawah batas costa dengan
ibu jari sedikit terpisah pada garis midsternum.
ii. Tekan kulit di antara ibu jari, seperti pada waktu melakukan palpasi dinding
posterior. Kedua ibu jari harus melebar dengan tekanan yang sama.
iii. Minta klien untuk menarik napas dalam. Amati atau observasi pergerakan ibu
jari dan tekanan yang dikeluarkan terhadap tangan pemeriksa.
d) Selanjutnya lakukan palpasi untuk mengetahui fremitus taktil pada dinding anterior
dada.

c. Perkusi Dada
Pada perkusi dada klien, kita harus menggunakan jari yang ditekan mendatar di atas dada;
ujung jari tengah tangan yang tidak dominan ini diketukkan di atas tulang tengah jari tangan
dominan. Normalnya dada mempunyai bunyi resonan atau gaung perkusi. Pada penyakit di
mana ada peningkatan udara pada dada atau, paru-paru seperti pada pneumotoraks dan
emfisema dapat terjadi hiperesonan (bahkan lebih seperti bunyi drum). Perkusi hiperesonan
kadang-kadang sulit dideteksi. Pada hasil perkusi pekak, seperti terdengar bila perkusi di atas
bagian tubuh yang padat. Perkusi pekak terdengar bila paru di bawah tangan pemeriksa
mengalami atelektasis, pneumonia, efusi pleural, penebalan pleural atau lesi massa. Perkusi
pekak juga terdengar pada perkusi di atas jantung.

39
Soemantri (2008) mendeskripsikan pemeriksaan fisik melalui perkusi ke dalam dua bagian,
yaitu perkusi toraks posterior dan perkusi toraks anterior. Berikut ini merupakan penjabaran
dari kedua pemeriksaan tersebut.
1) Perkusi toraks posterior
Prosedur yang dapat dilakukan adalah:
a) Visualisasikan garis horizontal, garis vertikal, tingkat diafragma, dan fisura paru-paru
untuk identifikasi lobus paru-paru sebelum melakukan perkusi.
b) Mengatur posisi klien dengan membantu klien untuk membungkuk ke depan dan
melebarkan bahu.
c) Pada perkusi daerah paru-paru, mulailah perkusi pada daerah ujung atas (apeks) paru-
paru kiri dan bergerak ke apeks paru-paru kanan. Gerakan ke dalam setiap sela
interkostalis dengan cara sistematik. Perkusi sampai ke tulang rusuk yang paling bawah
dan lakukan sampai ke garis midaksila kiri dan kanan.
d) Pada perkusi untuk menentukan pergerakan atau ekskursi diafragma, dilakukan cara-
cara berikut ini:
i. Mulailah dengan melakukan perkusi pada sela interkostalis ke tujuh, ke arah
bawah sepanjang garis skapula sampai batas diafragma. Resonan akan berubah
menjadi dullness.
ii. Berilah tanda pada kulit.
iii. Minta klien untuk menarik napas dalam dan menahannya.
iv. Perkusi kembali ke arah bawah dari kulit yang bertanda sampai terdengar lagi
suara dullness.
v. Beri tanda pada kulit yang kedua kalinya.
vi. Anjurkan klien untuk menarik napas secara normal beberapa kali.
vii. Mintalah klien untuk bernapas normal dan keluarkan napas sebanyak-
banyaknya dan kemudian tahan napas.
viii. Perkusi ke arah atas sampai pemeriksa mendengar suara resonan, beri tanda,
lalu anjurkan klien untuk bernapas secara normal. Pemeriksa akan mendapatkan
tiga tanda pada kulit sepanjang garis skapula. Jarak antara tanda kedua dan
ketiga dapat berkisar antara 3-4 cm pada orang dewasa sehat.
ix. Ulangi prosedur tersebut pada sisi yang lain.

40
x. Posisi duduk klien dikembalikan ke posisi yang nyaman.

2) Perkusi toraks anterior


Berikut ini merupakan prosedur perkusi toraks anterior yang dapat dilakukan perawat:
a) Sebelum melakukan perkusi dinding toraks anterior, visualisasikan garis vertikal dan
horizontal. Identifikasi lokasi diafragma dan lobus paru-paru.
b) Untuk perkusi daerah paru-paru, mulailah perkusi pada daerah apeks dan lanjutkan
sampai setinggi diafragma. Setelah itu, lanjutkan perkusi ke garis midaksila pada
masing-masing sisi. Hindari perkusi di atas sternum, klavikula, tulang rusuk, dan
jantung. Pastikan bahwa jari-jari tangan yang tidak dominan berada pada celah
interkostalis sejajar dengan tulang rusuk. Jika klien wanita berpayudara besar, mintalah
klien untuk menyampingkan jaringan payudaranya selama prosedur ini. Perkusi di atas
jaringan payudara pada wanita akan menghasilkan suara dull.

d. Auskultasi Dada
Secara umum, auskultasi menggunakan diafragma stetoskop dan menekannya di atas
dinding dada. Penting untuk mendengarkan intensitas atau kenyaringan bunyi napas dan
menyadari bahwa secara normal ada peningkatan suara napas saat klien menarik napas dalam.
penurunan aliran udara melalui jalan napas atau peningkatan penyekat antara stetoskop dengan
paru dapat menyebabkan penurunan intensitas bunyi napas. Secara umum, terdapat tiga tipe
bunyi yang terdengar pada dada normal:
1) Bunyi napas vesikuler yang terdengar pada perifer paru normal;
2) Bunyi napas bronkial yang terdengar di atas trakea;
3) Bunyi napas bronkovesikuler yang terdengar pada kiri dan kanan sternum.

Bunyi napas bronkial adalah bunyi nada tinggi yang terdengar dekat telinga, keras, dan
termasuk penghentian antara inspirasi dan ekspirasi. Bunyi napas vesikuler lebih rendah,
mempunyai kualitas desir, dan tidak ada jead antara inspirasi dan ekspirasi. Bunyi napas
bronkovesikuler terdengar lebih lembut dibandingan dengan bronkial dengan panjang inspirasi
sama dengan ekspirasi. Pada bunyi napas vesikular terdengar halus dengan nada rendah.

41
Soemantri (2008) menyatakan bahwa auskultasi dapat meliputi auskultasi toraks posterior
dan auskultasi toraks anterior. Berikut ini merupakan penjabaran kedua pemeriksaan tersebut:
1) Auskultasi toraks posterior
Prosedur yang dapat dilakukan perawat antara lain:
a) Visualisasi bagian yang akan diauskultasi pada daerah toraks
Sebelum auskultasi ini dilakukan, visualisasikan daerah tersebut seperti sebelum
perkusi.
b) Auskultasi trakea
Auskultasi trakea ini dilakukan dengan menggunakan tekanan yang tegas, letakkan
diafragma stetoskop sejalan dengan ritme napas klien secara perlahan dengan mulut
terbuka. Mulailah auskultasi pada garis vertebrae cervicalis lalu turun ke bawah sampai
vertebrae torakalis. Pada area tersebut, pemeriksa melakukan auskultasi trakea dan
suara yang terdengar adalah bronkial.
c) Auskultasi bronkus
Perawat memindahkan stetoskop ke kiri dan kanan garis vertebrae setinggi T3-T5.
Area tersebut berada tepat pada bronkus kiri dan kanan. Pemeriksa akan mendengar
suara bronkovesikuler.
d) Auskultasi paru-paru
Auskultasi dapat dilakukan dengan pola yang sama seperti yang digunakan pada
perkusi paru-paru. Mulailah auskultasi pada bagian apeks paru-paru kiri dan lanjutkan
seperti pola perkusi. Pemeriksa akan mendengar suara vesikuler. Perawat juga
sebaiknya mendengarkan suara-suara tambahan yang mendahului pada siklus inspirasi
dan ekspirasi. Jika terdengar suara napas tambahan, catat lokasi, kualitas, durasi, dan
waktu kejadiannya selama siklus pernapasan.
2) Auskultasi toraks anterior
Beberapa prosedur yang dapat dilakukan perawat dalam kaitannya dengan auskultasi
toraks anterior adalah:
a) Visualisasikan petunjuk toraks anterior
b) Auskultasi di atas trakea
Suara akan terdengar di sebelah atas dari jugular (suprasternal). Suara yang terdengar
adalah bronkial.

42
c) Auskultasi di atas bronkus kiri dan kanan
Daerah tersebut merupakan batas sternum sebelah kiri dan kanan serta ICS dua dan
tiga. Suara yang terdengar adalah bronkovesikuler.
d) Auskultasi paru-paru
Dengarkan suara vesikuler yang biasanya terdengar pada daerah parenkim paru-paru.
Dengarkan juga bunyi napas tambahan. Suara ini mendahului inspirasi dan ekspirasi
dari siklus pernapasan. Bila pemeriksa mendengar suara napas tambahan, segera catat
lokasi, kualitas, dan waktu terjadinya selama siklus pernapasan.
3) Auskultasi Dada
Suara napas tambahan yang sering terdengar pada auskultasi paru antara lain
(Djojodibroto, 2014):
a) Stridor
Merupakan suara yang etrdengar kontinyu, bernada tinggi dan terjadi saat inspirasi
maupun ekspirasi. Bunyi ini dapat ditemukan pada laring atau trachea karena adanya
penyempitan pada saluran pernapasan tersebut. Saat ini, stridor menunjukkan edema laring,
kelumpuhan pita suara, tumor laring atau stenosis laring yang dapat disebabkan karena
tracheostomi.
b) Ronchi
Merupakan suara napas tambahan yang bersifat kontinyu, bernada rendah yang
terdengar pada saluran pernapasan besar seperti trachea bagian bawah dan bronchus utama
yang dapat terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi.
c) Wheezing
Merupakan suara bernada tinggi dan bersifat musikal karena adanya penyempitan
saluran pernapasan kecil pada bronkiolus berupa sekresi berlebihan, konstriksi otot polos,
edema mukosa, atau benda asing.
d) Rales
Merupakan bunyi yang diskontinyu (terputus-putus) yang ditimbulkan karena cairan
di dalam saluran napas dan kolaps saluran udara bagian distal dan alveoli. Terdapat tiga
jenis yaitu halus, sedang, dan kasar
e) Pleural friction rub

43
Merupakan bunyi gesekan antara permukaan pleura parietalis dan visceralis yang
terjadi karena kedua permukaan pleura yang kasar, biasanya karena eksudat fibrin. Bunyi
ini terdengar saat bernapas dalam.

B. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Radiologi
Dada (toraks) merupakan bagian ideal untuk pemeriksaan radiologi. Klien pada umumnya
sudah terbiasa dengan pemeriksaan radiologi rutin. Namun belakangan ini, terdapat suatu
peningkatan kesadaran tentang pemajanan berlebihan terhadap radiasi. Klien hendaknya
diberikan penjelasan lengkap mengenai tipe pemeriksaan yang akan dilakukan dan manfaatnya
dalam hubungannya dengan risiko akibat pemajanan terhadap radiasi.
Pemeriksaan radiologi memberikan informasi mengenai:
a. Bentuk rongga toraks, termasuk tulang rusuk, pleura, dan kontur diafragma dan jalan
napas atas.
b. Ukuran, kontur, dan posisi mediastinum dan hilus paru, termasuk jantung, aorta, nodus
limfe, dan percabangan bronkial.
c. Tekstur dan tingkat penyebaran udara dari parenkim paru.
d. Ukuran, bentuk, jumlah, dan lokasi lesi pulmonal, termasuk kavitasi, area fibrosis, dan
daerah konsolidasi.

2. Pemeriksaan dan Pengumpulan Sputum


Pemeriksaan sputum bersifat mikroskopis dan penting untuk diagnosis etiologi berbagai
penyakit pernapasan. Pemeriksaan mikroskopis dapat menjelaskan organisme penyebab
penyakit pada berbagai pneumonia bakterialis, tuberkulosis, serta berbagai infeksi jamur.
Pemeriksaan etiologi eksfoliasi pada sputum dapat membantu diagnosis karsinoma paru-paru.
Waktu terbaik pengumpulan sputum adalah setelah bangun tidur. Hal ini karena sekresi
abnormal bronkus cenderung berkumpul pada waktu tidur.
Pemeriksaan sputum biasanya diperlukan jika diduga terdapat penyakit paru. Membran
mukosa saluran pernapasan merespons inflamasi dengan meningkatkan keluaran sekresi yang

44
sering mengandung organisme penyebab. Perhatikan dan catat volume, konsistensi, warna
serta bau sputum.
Pada pengumpulan sputum, sebaiknya informasikan kepada klien tentang pemeriksaan ini,
sehingga akan dapat dikumpulkan sputum yang benar-benar sesuai untuk pemeriksaan ini.
Instruksikan klien untuk mengumpulkan hanya sputum yang berasal dari dalam paru-paru.
(sering kali jika klien tidak dijelaskan demikian, klien akan mengumpulkan saliva dan bukan
sputum). Sputum yang timbul pagi hari biasanya adalah sputum yang paling banyak
mengandung organisme patogen. Biasanya, dibutuhkan sekitar 4 ml sputum untuk suatu
pemeriksaan laboratorium. Implikasi keperawatan untuk pengumpulan sputum termasuk:
a. Klien yang kesulitan dalam pengeluaran sputum atau mereka yang sangat banyak
memproduksi sputum dapat mengalami dehidrasi, perbanyak asupan cairan klien.
b. Kumpulkan sputum sebelum makan dan hindari kemungkinan muntah karena batuk.
c. Instruksikan klien untuk berkumur dengan air sebelum mengumpulkan spesimen
untuk mengurangi kontaminasi sputum.
d. Instruksikan klien untuk segera memberikan sputum tersebut ke petugas kesehatan,
sehingga spesimen tersebut dapat dikirim ke laboratorium secepatnya.

Jenis gangguan-gangguan yang dalam pemeriksaannya menggunakan pemeriksaan


sputum, antara lain pneumonia, TB paru, abses paru, dan asma.

3. Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan teknik yang memungkinkan visualisasi langsung trakea dan
cabang-cabang utamanya. Cara ini paling sering digunakan untuk memastikan diagnostik,
tetapi dapat juga dilakukan untuk membuang benda asing. Setelah bronkoskopi, klien tidak
boleh makan atau minum-minuman selama 2-3 jam sampai timbul refleks muntah. Jika tidak,
klien mungkin akan mengalami aspirasi ke dalam trakeobronkial.
Pemeriksaan bronkoskopi dilakukan dengan cara memasukkan bronkoskop ke dalam
trakea dan bronkial. Dengan menggunakan bronkoskop yang kaku atau lentur; laring, trakea,
dan bronkial dapat diamati. Pemeriksaan diagnostik bronkoskopi; termasuk pengamatan
cabang trakeobronkial, terhadap abnormalitas, biopsi jaringan, dan aspirasi sputum untuk

45
bahan pemeriksaan. Bronkoskopi digunakan untuk membantu dalam mendiagnosis kanker
paru.
Bronkoskopi mungkin dilakukan untuk tujuan diagnostik atau tujuan terapeutik.
Pemeriksaan bronkoskopi untuk tujuan diagnostik mencakup pemeriksaan jaringan, evaluasi
lanjut tumor untuk memungkinkan bedah resesi, pengumpulan spesimen jaringan untuk
keperluan diagnosis dan evaluasi tempat perdarahan. Sementara itu, bronkoskopi terapeutik
dilakukan untuk tujuan mengangkat benda asing, mengangkat sekresi yang kental dan banyak,
pengobatan atelektasis pascaoperasi, serta menghancurkan dan mengangkat lesi.
a. Perawatan Praprosedur
Jelaskan prosedur pada klien dan keluarga dan dapatkan izin tindakan dari klien.
Instruksikan klien untuk tidak makan dan minum 6 jam sebelum pemeriksaan. Informasikan
pada klien bahwa tenggoroknya mungkin akan sakit setelah bronkoskopi, dan mungkin terjadi
kesulitan menelan pada awal setelah pemeriksaan. Klien diberikan anestesi lokal dan sedasi
intravena untuk menekan refleks batuk dan menghilangkan ansietas. Pemeriksaan
membutuhkan waktu 30 sampai 45 menit. Selama prosedur, klien berbaring terlentang dengan
kepala hiperekstensi. Perawat memantau tanda vital, berbicara pada klien atau
menenangkannya, dan membantu dokter sesuai kebutuhan.
b. Perawatan Pascaprosedur
Setelah prosedur, tanda vital dipantau per protokol institusi. Amati tanda distres
pernapasan, termasuk dispnea, perubahan frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori
pernapasan, dan perubahan bunyi napas pada klien. Tidak ada pemberian apapun melalui mulut
sampai refleks batuk dan menelan kembali pulih, biasanya sekitar 1 sampai 2 jam setelah
prosedur. Bila klien sudah dapat menelan, berikan sehirup air. Bunyi napas dipantau selama
24 jam. Adanya bunyi napas tambahan atau asimetris harus dilaporkan pada dokter. Dapat
terjadi pneumotoraks setelah bronkoskopi. Tujuan bronkoskopi diagnostik adalah:
1) Untuk memeriksa jaringan atau mengumpulkan sekresi.
2) Untuk menentukan lokasi dan keluasan proses patologi dan untuk mendapatkan
contoh jaringan guna menegakkan diagnosis.
3) Menentukan apakah suatu tumor dapat direkresi atau tidak melalui tindakan bedah.
4) Untuk mendiagnosis tempat pendarahan.

46
4. Analisis Gas Darah
Pengukuran pH darah, tekanan oksigen, dan karbon dioksida harus dilakukan saat
menangani klien dengan masalah pernapasan serta dalam menyesuaikan terapi oksigen yang
diperlukan. Tekanan darah arteri menunjukkan derajat oksigenasi darah, sedangkan tekanan
karbon dioksida arteri menunjukkan keadekuatan alveolar.
Pemeriksaan gas darah arteri membantu mengkaji tingkat di mana paru-paru mampu
memberikan oksigen yang adekuat dan membuang karbon dioksida serta tingkat di mana ginjal
mampu menyerap kembali atau mengekskresi ion-ion bikarbonat untuk mempertahankan pH
darah normal. Analisis gas darah serial juga merupakan indicator sensitive apakah paru
mengalami kerusakan setelah terjadi trauma dada.

Tabel 2.4. Gas darah arteri


Tes Rentang normal Interpretasi
dewasa
PaO2 80-100 mmHg < 80 mmHg menunjukkan hipoksemia ringan
(sesuai usia) < 60 mmHg menunjukkan hipoksemia sedang
> 40 mmHg menunjukkan hipoksemia berat

Pada lansia dengan kondisi tertentu, kadar PaO2 kurang


dari 80 masih dikatakan normal karena terdapat
beberapa kehilangan fungsi ventilasi pada usia lanjut.

PaCO2 mengukur tekanan karbon dioksida yang


dilarutkan dalam darah dan seberapa baik karbon
dioksida mampu keluar dari tubuh.
Bila < 35 mmHg, maka dianggap ada hipokapnia
PaCO2 35-45 mmHg (alkalosis respiratori)
Bila > 45 mmHg, maka dianggap ada hiperkapnia
(asidosis respiratori)

Apabila terjadi penambahan atau peningkatan hidrogen,


maka keadaan bersifat asam dan pH akan turun.
Sebaliknya, jika tubuh bersifat basa atau alkali, pH akan
meningkat.

pH 7,35-7,45

47
Menunjukkan konsentrasi H+; keasaman meningkat bila
konsentrasi H+ meningkat (nilai pH menurun saat
keasaman meningkat)
pH < 7,35 (asidosis)
pH > 7,45 (alkalosis)

Konsentrasi HCO3 dalam plasma darah yang telah


diseimbangkan pada PaCO240 mmHg dan dengan O2
sampai saturasi hemoglobin penuh.
HCO3 22-26 mEq/L
standar Menunjukkan gangguan metabolik tubuh (non-
respiratori) yang bersifat primer atau kompensasi.
Selalu negatif pada asidosis metabolik (kurangnya alkali
Kelebihan -2-+2 mEq/L atau kelebihan fixed acid).
basa
Selalu positif pada alkalosis metabolik (lebih alkali,
kurang fixed acid).
Didapat dengan mengalikan penyimpangan standar
HCO3, dari normal dengan faktor 1,2 yang menunjukkan
kerja bufer dari sel darah merah.

(Sumber: Tambayong, 2000)

5. Spirometri
Spirometri merupakan sebuah metode yang dilakukan untuk mengetahui fungsi paru
dengan mengukur volum udara yang dapat dikeluarkan klien dari paru-paru secara paksa
setelah klien melakukan inspirasi maksimal (GOLD, 2010).
Spirometri dapat secara langsung mengukur semua volume dan kapasitas paru kecuali
volume dan kapasitas yang mengandung VR, karena VR merupakan volume udara yang tetap
berada di dalam paru setelah ekspirasi maksimal.
a. Tujuan pemeriksaan spirometri
Spirometri merupakan metode terbaik untuk mendeteksi adanya obstruksi jalan napas dan
menegakkan diagnosis COPD (GOLD, 2010). Tujuan penggunaan spirometri, antara lain:
1) Konfirmasi adanya obstruksi jalan napas
2) Konfirmasi rasio FEV1/FVC < 0.7 setelah penggunaan bronkodilator
3) Menegakkan indeks keparahan penyakit

48
4) Membantu membedakan asma dengan COPD
5) Mendeteksi kemungkinan COPD pada kelompok berisiko, misalnya pada kelompok
perokok
6) Mampu memonitor progresifitas penyakit
7) Membantu dalam memprediksi prognosis

b. Indikasi pemeriksaan spirometri


Spirometri sangat bermanfaat untuk membantu diagnosis dan penatalaksanaan penyakit
paru seperti asma, COPD.Spirometri dapat melihat kelainan yang terjadi (obstruksi,
restriksi), penapisan awal populasi umum, evaluasi respon pengobatan, menilai risiko
operasi.
Tabel 2.6. Indikasi Spirometri
No Tujuan Indikasi
1. Diagnostik 1. Mengevaluasi gejala, tanda, atau hasil laboratorium
yang abnormal
a. Gejala: dispnea, mengi, ortopnea, batuk, produksi
sputum, nyeri dada
b. Tanda: suara napas melemah, hiperinflasi, ekspirasi
memanjang, sianosis, kelainan dada, ronchi
c. Hasil lab yang abnormal: hipoksemia, hiperkapnea
2. Mengukur efek penyakit terhadap fungsi paru
3. Menyaring subjek degan risiko penyakit paru
a. Perokok
b. Individu yang terpajan zat berbahaya di tempat
kerja
4. Menilai risiko preoperasi
5. Menilai prognosis (transplantasi paru dan lain-lain)
6. Menilai status kesehatan sebalum masuk program
dengan aktivitas fisik yang berat
2. Evaluasi 1. Menilai hasil pengobatan
pengobatan a. Terapi bronkodilator

49
b. Terapi steroid pada asma, penyakit paru instrstitial
2. Memonitor reaksi obat yang mempunyai toksisitas
terhadap paru
3. Evaluasi gangguan/ 1. Menilai risiko sebagai bagian dari evaluasi asuransi
ketidakmampuan kesehatan
2. Menilai klien terkait program rehabilitasi
4. Kesehatan Perbandingan kondisi kesehatan populasi yang tinggal di
masyarakat lingkungan berisiko

c. Jenis-jenis spirometer
1) Bellows or Rolling Seal Spirometer
Alat cukup besar dan tidak bergitu portabel. Biasa digunakan di laboratorium paru.
Alat ini perlu dikalibrasi dengan syringe 3 liter dan akurasinya terjamin.
2) Electronics Desktop Spirometer
Alat ini lebih compact, portabel, dan biasanya lebih cepat serta lebih mudah
digunakan. Alat ini mempunyai tampilan visual real-time dan terdapat kertas untuk
mencetak hasil pemeriksaan. Beberapa membutuhkan kalibrasi dengan syringe 3 liter
dan beberapa harus dikalibrasi dan dicek oleh manufaktur. Secara unum, alat ini hanya
membutuhkan perawatan ringan dan lebih mudah dibersihkan.
3) Hand-Held Spirometer
Bentuk alat ini relatif kecil dan tidak mahal. Terdapat numerical record tetapi tidak
bisa dicetak.
d. Persiapan pengukuran fungsi paru
1) Persiapan subjek
Subjek harus dikaji usia, jenis kelamin, dan tinggi badan karena akan
mempengaruhi kurva prediksi yang muncul pada spirometri. Jika subjek adalah Asian
atau Afro-Carribean, nilai normal dikurangi 10% dibandingkan subjek dari Kaukasia.
Subjek harus merasa nyaman sebelum dilakukan pemeriksaan, harus bebas rokok
minimal dua jam sebelum pemeriksaan, tidak sedang sakit, tidak boleh makan terlalu
kenyang, tidak berpakaian ketat, dan mengosongkan kandung kemih.
2) Persiapan teknisi

50
Teknisi memberikan penjelasan tentang tujuan pemeriksaan, memberikan instruksi
mengenali perasat yang harus dikerjakan dan memperagakan teknik yang tepat sebelum
melakukan pemeriksan sehingga subjek mengerti bahwa mereka harus mengisi dan
mengosongkan paru-paru dengan sempurna.
3) Persiapan peralatan
Peralatan yang disiapkan adalah spirometer dengan barier filter yang baru,
mouthpiece, lembar observasi. Pastikan flowmeter diset pada angka nol.
4) Posisi pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan posisi duduk atau berdiri. Pemilihan posisi
tergantung dari individu: posisi duduk dapat dilakukan pada subjek yang tidak dapat
toleran terhadap posisi berdiri terutama saat sedang melakukan perasat paksa. Posisi
tubuh dikatakan tidak penting pada subjek dengan IMT < 30kg/m2. Namun pada subjek
dengan IMT >30 kg/m2, VEP1 pada posisi berdiri lebih besar daripada posisi duduk.
e. Pelaksanaan pengukuran fungsi paru
1) Nyalakan alat terlebih dahulu dengan memencet tombol ON.
2) Masukkan data seperti umur, seks, TB, BB.
3) Atur posisi subjek, bila memungkinkan berdiri karena posisi tersebut dapat lebih
memaksimalkan ekspirasi.
4) Siapkan one-way mouthpiece spirometer yang bersih dan disposable dan tutuplah
hidung dengan penjepit hidung untuk memastikan bahwa aliran udara hanya melalui
mulut.
5) Untuk mengatur pernapasan, anjurkan klien untuk bernapas terlebih dahulu dengan
tenang sebelum melakukan pemeriksaan.
6) Pastikan mouthpiece tetap terpasang dengan tepat pada mulut subjek.
7) Tekan tombol start jika sudah siap untuk memulai pengukuran.
8) Instruksikan subjek bernapas dalam sampai dengan paru-paru terasa penuh.
9) Instruksikan subjek untuk menghembuskan napas dengan kekuatan dan semakin cepat
semakin baik sampai dengan terasa tidak ada lagi udara yang bisa dikeluarkan. Teknisi
harus memotivasi subjek untuk tetap menghembuskan napas sampai benar-benar
terasa habis.
10) Cek kurva apakah dapat terbaca dengan baik dan datanya sudah cukup.

51
11) Ulangi prosedur sampai paling tidak terdapat tiga kurva yang acceptable dan
konsisten. Maksimal pengulangan adalah delapan kali.
f. Teknik pemilihan spiromgram
1) Minimal terdapat tiga hasil acceptable. Syarat acceptable antara lain:
a) Inspirasi penuh sebelum pemeriksaan dimulai
b) Memenuhi syarat awal ekspirasi, yaitu dengan usaha maksimal dan tidak ragu-
ragu
c) Tidak batuk atau glotis menutup selama detik pertama
d) Memenuhi lama pemeriksaan, yaitu 6 detik sampai 15 detik pada subjek dengan
kelainan obstruksi
e) Tidak terjadi kebocoran
f) Tidak terjadi obstruksi pada mouthpiece
2) Hasil yang reproducible
Nilai KVP dan VEP1 : dua nilai terbesar dengan perbedaan diantaranya 5% atau 0,1
liter.
3) Seleksi nilai untuk interpretasi
a) Pilih hasil yang konsisten
b) Pilih nilai FEV1 dan FVC yang paling besar

52
BAB III
PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN

Dalam keadaan normal, saluran pernapasan atas berfungsi menghangatkan, melembapkan,


dan menyaring udara. Diproses ini, saluran pernapasan atas terpajan terhadap berbagai jenis
patogen yang dapat masuk dan tumbuh pada berbagai area tubuh. patogen dapat bersarang
dalam hidung, faring (terutama tonsil), laring, atau trakea dan dapat berpoliferasi jika daya
tahan tubuh hospes rendah. Penyebaran infeksi bergantung pada resistensi hospes dan virulensi
organisme patogen.
Infeksi saluran pernapasan atas sering ditemukan sebagai common cold (selesma). Kondisi
ini ditandai oleh inflamasi akut yang menyerang baik hidung, sinus paranasal, tenggorok,
maupun laring. Infeksi saluran pernapasan atas mempunyai kecenderungan meluas hingga
trakea dan bronkus dan pada sejumlah kecil klien kondisinya dapat diperburuk oleh pneumonia.
Pada anak-anak infeksi sering meluas ke dalam telinga sehingga menyebabkan otitis media.
Virus juga dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas, bakteri juga dapat sebagai
pemicu. Contoh virus yang dapat memicu infeksi saluran atas adalah influenza, ditandai oleh
inflamasi akut nasofaring, trakea, dan bronkiolus yang mengarah pada nekrosis jaringan. Infeksi
saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus adalah penyakit yang bersifat self limited,
yang berarti dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan yang spesifik. Namun, jika tidak
ditanggulangi, infeksi saluran pernapasan atas dapat menjadi predisposisi/pencetus klien
terhadap superinfeksi bakteri, misalnya nasofaringitis streptokokus. Bakteri ini dapat menyebar
ke dalam struktur anatomi yang berdekatan dan menyebabkan sinusitis bakterialis, otitis media,
atau bronkhitis mukopurulen.
Secara klinis, infeksi saluran pernapasan atas secara khas timbul dengan hidung tersumbat
dan terus mengeluarkan sekret dari hidung. Sakit tenggorok dan rasa tidak nyaman saat
menelan, bersin, dan batuk nyaring dan kering adalah gejala yang umum. Manifestasi sistemik
yang khas adalah mengalami malaise umum dan sedang. Penyakit berlangsung selama beberapa
hari atau satu sampai dua minggu, dan setelahnya akan sembuh. Lazimnya, klien akan
merasakan produksi sekret hidung purulen, nyeri pada sinus dan telinga, dan peningkatan

53
produksi mukus pada laring merupakan tanda lazim infeksi bakteri. Berbeda dengan infeksi
oleh virus, infeksi bakteri tidak akan sembuh tanpa pemberian antibiotik.
Klien yang mengalami infeksi saluran pernapasan atas hanya akan merasakan sakit ringan,
dan tidak perlu perawatan inap, kecuali kondisinya terus menjadi parah dan membutuhkan
pertolongan lebih lanjut. Penatalaksanaan keperawatan lebih ditekankan pada penyuluhan
kesehatan seperti istirahat yang cukup, perbanyak minum, dan pencegahan infeksi lebih lanjut.
Pada klien dengan infeksi saluran pernapasan atas yang semakin parah, diwajibkan untuk
menjalani rawat inap. Biasanya penyakit yang menyerang adalah sinusitis atau tonsilitis
folikular. Asuhan keperawatan untuk kondisi ini disesuaikan dengan data hasil pengkajian.
Diagnosis keperawatan yang umunya sesuai dengan kondisi sinusitis, antara lain: (1) bersihan
jalan napas tak efektif; (2) nyeri akut (sakit kepala dan fasial); (3) perubahan sensoris perseptual
yang berhubungan dengan perubahan dalam indra hidung dan lidah; (3) kurang pengetahuan
tentang kondisi dan pengobatan.

Tabel 3.1. Penyuluhan kesehatan klien infeksi saluran pernapasan atas


1. Istirahat yang cukup
2. Konsumsi air mineral minimal 2-3 liter sehari
3. Pencegahan lainnya:
a. Hembuskan hidung dengan kedua nostril (lubang hidung) terbuka untuk mencegah
bahan terinfeksi terdorong ke dalam tuba eustachius.
b. Tutup mulut ketika batuk dan bersin, dengan menggunakan tisu atau kain khusus.
Fungsinya untuk mencegah droplet mengotori udara sekitarnya.
c. Buang tisu yang sudah dipakai di tempat pembuangan yang baik.
d. Hindari keramaian.
e. Sering mencuci tangan, terutama setelah batuk dan bersin.
f. Mencari bantuan medis bila terjadi kejadian lebih lanjut seperti demam tinggi, nyeri
dada hebat, telinga sakit, gejala berlangsung lebih dari 2 minggu dan kambuhnya
selesma.
(Sumber: Yasmin & Effendy, 2004)

54
Berbeda dari proses infeksi saluran pernapasan atas, proses infeksi pada saluran
pernapasan bawah bisa disebabkan karena patogen yang menyerang. Hal ini mengarah pada
berbagai gambaran patologis dan klinis, yang keparahannya bergantung pada resistensi
hospes dan virulensi organisme penyerang. Infeksi saluran pernapasan bawah sering kali
terjadi akibat perluasan dari infeksi saluran pernapasan atas. Umumnya berkaitan dengan
pneumonia dan tuberkulosis.
Pneumonia adalah inflamasi akut jaringan paru yang diakibatkan oleh patogen infeksius
dan merupakan infeksi yang mengancam jiwa bagi sebagian besar populasi, utamanya bagi
klien yang berusia lanjut, klien yang mempunyai penyakit kronis dan bagi klien yang
mengalami imunosupresi. Pneumonia diklasifikasikan sebagai hospital acquired, yang
didapat ketika klien dirawat di rumah sakit. Disebut hospital acquired jika waktu kejadian
terjadi dalam 48 jam atau lebih setelah klien dirawat di rumah sakit. Klasifikasi lainnya
adalah community acquired, yang didapat dalam lingkungan komunitas.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan mycobacterium
tuberculosis, yaitu suatu organisme tahan asam. Tuberkulosis sering dianggap penyakit yang
dapat dicegah dan disembuhkan, tapi TB adalah penyakit yang secara konstan menuntut
survelens dari masyarakat.

A. ABSES PARU
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Abses paru adalah lesi supuratif setempat yang destruktif (lesi berongga yang terisi
oleh pus) dan sering disebabkan oleh stafilokokus dan bakteri lain, seperti Klebsiella
dan Pseudomonas (janrang terjadi).
b. Etiologi
Abses paru dapat terjadi sebagai komplikasi khas dari pneumonia stafilokokus
nekrotik setelah mengaspirasi materi yang terinfeksi dari saluran pencernaan atau
saluran pernapasan, serta pada bagian yang terletak sebelah distal dari obstruksi bronkial
oleh tumor.
c. Faktor Risiko
1) Pecandu alkohol

55
2) Penyalahgunaan narkoba
3) Memiliki kondisi lain, seperti strok, epilepsi, dan penyakit periodontal, emfisema,
kanker paru, dan gangguan esofagus

d. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala awal abses paru tidak dapat dibedakan dari pneumonia. Gejalanya
termasuk demam dengan menggigil, batuk, keringat malam, dispnea, penurunan berat
badan dan kelelahan, nyeri dada, serta anemia (jarang). Tanda khas abses paru
mencakup tanda yang pada awalnya batuk tidak produktif, kemudian menjadi batuk
produktif (vomique). Batuk tetap produktif, kadang diikuti hemoptisis. Klien dengan
abses kronis dapat mengalami clubbing jari.
Gejala abses disebabkan oleh bakteri aerobik yang berkembang lebih akut
(menyerupai bakteri pneumonia) (Brown dkk., 2017). Gejala yang paling umum adalah
batuk bersputum (biasanya cokelat gelap) yang berbau dan berasa busuk. Pemeriksaan
fisik pada dada mengindikasikan adanya dullness dan penurunan suara pernapasan.
Selain itu, crackles juga bisa muncul pada tahap selanjutnya.
e. Klasifikasi
Kuhajda, dkk. (2015) mendeskripsikan divisi abses paru berdasarkan durasi,
etiologi, dan cara penyebarannya, yaitu:
1) Durasi
a) Akut (kurang dari 6 minggu)
b) Kronis (lebih dari 6 minggu)
2) Etiologi
a) Primer (aspirasi sekresi orofaringeal, pneumonia nekrosis, imunodefisiensi)
b) Obstruksi bronkus sekunder, penyebaran hematogenik, penyebaran
langsung dari infeksi mediastinum, adanya penyakit paru lain
3) Cara Penyebaran
a) Brokogenik (aspirasi sekresi orofaringeal, obstruksi bronkial oleh tumor,
benda asing, pembesaran kelenjar getah bening, malaformasi kongenital)
b) Hematogenik (sepsis abdomen, endokarditis infektif, tromboembolisme
septik)

56
f. Patofisiologi
Patogen yang paling umum dari abses paru-paru karena aspirasi adalah bakteri
anaerobik, tapi sekitar setengah dari semua kasus melibatkan organisme anaerobik dan
aerobik. Patogen anaerobik yang paling umum adalah Peptostreptococcus,
Fusobacterium, Prevotella, dan Bacteroides. Patogen aerobik yang paling umum adalah
streptococci dan staphylococci, tapi kadang-kadang methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) biasanya juga bisa menyebabkan abses paru.
Klien immunocompromised paling sering terinfeksi Pseudomonas aeruginosa dan
bakteri gram negatif lainnya atau jamur. Kasus langka gangren paru atau pneumonia
fulminan dengan sepsis telah dilaporkan dengan patogen seperti MRSA, Pneumococcus,
dan Klebsiella. Beberapa klien, terutama yang berasal dari negara berkembang, berisiko
mengalami abses karena Mycobacterium tuberculosis, dan kasus yang jarang terjadi
karena infeksi amebic (misalnya Entamoeba histolytica), paragonimiasis, atau infeksi
Burkholderia pseudomallei.
Masuknya patogen ini ke paru-paru pertama kali menyebabkan peradangan, yang
lebih dari satu atau dua minggu kemudian menyebabkan nekrosis jaringan dan
pembentukan abses. Abses biasanya pecah menjadi bronkus, dan isinya keluar,
meninggalkan rongga udara dan cairan. Pada sekitar sepertiga kasus, penyebaran
langsung atau tidak langsung (melalui fistula bronkopleural) ke dalam rongga pleura
menghasilkan empiema.
g. Komplikasi
Komplikasi potensial setelah abses pecah atau pascaoperasi, antara lain:
1) Empiema, kumpulan besar cairan yang terinfeksi di sekitar paru-paru yang terjadi
di mana abses berada. Hal ini dapat mengancam jiwa dan memerlukan perhatian
medis segera sehingga harus segera ditangani.
2) Fistula bronkopleural, terjadi ketika jalan napas besar di dalam paru-paru dan
ruang di sekitar bagian luar paru-paru saling berhubungan.

h. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut ini merupakan pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan:
1) Rontgen dada untuk membantu mendiagnosis dan menemukan lesi.

57
2) Pemeriksaan CT Scan pada dada dapat digunakan untuk membantu jika kavitasi
tidak dapat dilihat dengan jelas oleh rontgen dada.
3) Bronkoskopi digunakan untuk (1) menghindari kontaminasi orofaringeal, (2)
mengumpulkan spesimen jika drainase tertunda, (3) mengidentifikasi adanya
kemungkinan keganasan yang mendasarinya.
4) Kultur sputum dan tes sensitivitas untuk menentukan organisme penyebab dan
sensitivitas antimikrobial

i. Penatalaksanaan Medis
Setelah dilakukan penilaian dan diagnosis, hasilnya akan menunjukkan tipe
organisme dan pengobatan:
1) Melakukan terapi antimikrobial intravena; klindamisin (Cleocin) merupakan obat
pilihan, disertai dengan penisilin dan metronidazol (Flagyl). Intravena sering
diberikan dengan dosis besar, karena antibiotik harus menembus jaringan nekrotik
dan cairan abses.
2) Melakukan diet tinggi protein dan kalori.
3) Mengalami tanda perbaikan, seperti suhu tubuh kembali normal, jumlah sel darah
putih mengalami penurunan, perbaikan gambaran ronsen dada, pemberian
antibiotik secara oral lebih dipilih dibanding pemberian IV.
4) Terapi antibiotik dilaksanakan 6-16 minggu.
5) Intervensi bedah jarang dilakukan. Reseksi pulmonal (lobektomi) dilakukan bila
terdapat hemoptisis masif, malignasi atau tidak ada respons terhadap
penatalaksanaan medis.
6) Pencegahan untuk mengurangi risiko abses paru dengan memberikan terapi
antibiotik yang sesuai sebelum prosedur higiene gigi dan oral. Selain itu, berikan
juga terapi antimikrobial yang sesuai untuk pneumonia.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian Keperawatan

58
1) Kaji riwayat faktor risiko, seperti adanya riwayat aspirasi, infeksi saluran napas
(radang mulut, gigi dan gusi, tenggorokan), higiene oral yang kurang, peminum
minuman keras atau masuknya suatu benda ke dalam saluran pernapasan.
2) Kaji adanya riwayat penyakit infeksi saluran napas kronis seperti TBC, Bronkitis,
abses hepar.
3) Kaji adanya batuk dengan sputum yang berlebih serta bau yang khas serta batuk
darah, nyeri yang dirasakan di dalam dada, kelelahan, nafsu makan yang menurun.
4) Inspeksi: Pergerakan pernapasan menurun, tampak sesak napas dan kelelahan.
5) Palpasi: Adanya fremitus taktil yang meningkat di daerah yang terinfeksi, panas
badan yang meningkat di atas normal, takikardi, naiknya tekanan vena jugularis
(JVP), sesak napas, adanya jari tabuh.
6) Perkusi: Terdengar suara redup/pekak pada daerah yang terinfeksi.
7) Auskultasi: Pada daerah sakit terdengar suara napas bronkial disertai suara
tambahan kasar sampai halus.
8) Pemeriksaan tambahan terutama laboratorium yang terjadi peningkatan angka
leukosit dan laju endap darah serta terjadinya penurunan tekanan O2 arteri, rontgen
dada terlihat kavitasi dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi di
sekelilingnya yang tampak jelas lagi dengan pemeriksaan CT Scan dada. Adanya
masa tumor atau benda asing dalam pemeriksaan bronkoskopi.
b. Diagnosis Keperawatan
1) Hipertermia berhubungan dengan penyakit/trauma.
2) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
spasme jalan napas, sekresi tertahan, banyaknya mukus, adanya jalan napas buatan,
sekresi bronkus, adanya eksudat di alveolus, adanya benda asing di jalan napas.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan
kerusakan alveoli.
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi.
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan umum, kelelahan yang berhubungan dengan batuk
berlebihan dan dispnea.

59
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Hipertermia berhubungan Termoregulasi a. Monitor suhu sesering mungkin
dengan penyakit/trauma. b. Monitor warna dan suhu kulit
Kriteria hasil: c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
a. Suhu 36–37oC d. Monitor penurunan tingkat kesadaran
b. Nadi dan RR dalam rentang e. Monitor WBC, Hb, dan Hct
normal f. Monitor intake dan output
c. Tidak ada perubahan warna kulit g. Berikan anti piretik:
dan tidak ada pusing, h. Kelola Antibiotik:………………………..
i. Selimuti klien
j. Berikan cairan intravena
k. Kompres klien pada lipat paha dan
aksila
l. Tingkatkan sirkulasi udara
m. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
n. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
o. Catat adanya fluktuasi tekanan
p. darah
q. Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
r. kelembapan membran mukosa

60
2. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas, spasme patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
jalan napas, sekresi tertahan, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
banyaknya mukus, adanya jalan dalam
napas buatan, sekresi bronkus, Kriteria hasil: d. Posisikan klien untuk memaksimalkan
adanya eksudat di alveolus, a. Mendemonstrasikan batuk e. ventilasi
adanya benda asing di jalan efektif dan suara napas yang f. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
napas. bersih, tidak ada sianosis dan g. Keluarkan sekret dengan batuk atau
dispnea (mampu mengeluarkan suction
sputum, bernapas dengan h. Auskultasi suara napas, catat adanya
mudah, tidak ada pursed lips) suara tambahan
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Berikan bronkodilator:
paten (klien tidak merasa j. Monitor status hemodinamika
tercekik, irama napas, frekuensi k. Berikan pelembap udara kassa basah
pernapasan dalam rentang NaCl lembap
normal, tidak ada suara napas l. Kelola pemberian antibiotik
abnormal) m. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
c. Mampu mengidentifikasikan dan keseimbangan.
mencegah faktor yang penyebab. n. Monitor respirasi dan status O2
d. Saturasi O2 dalam batas normal o. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
e. Foto toraks dalam batas normal mengencerkan sekret

61
p. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
penggunaan peralatan: O2, Suction,
Inhalasi
3. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan gangguan Exchange ventilasi
suplai oksigen dan kerusakan b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
alveoli. Elektrolit c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Respiratory Status: Ventilation d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
d. Vital Sign Status suction
e. Auskultasi suara napas, catat adanya
Kriteria hasil: suara tambahan
a. Mendemonstrasikan f. Berikan bronkodilator;
peningkatan ventilasi dan g. Berikan pelembap udara
oksigenasi yang adekuat h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
b. Memelihara kebersihan paru- keseimbangan.
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Monitor respirasi dan status O2
distres pernapasan j. Catat pergerakan dada, amati
c. Mendemonstrasikan batuk kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
efektif dan suara napas yang retraksi otot supraclavikula dan
bersih, tidak ada sianosis dan interkostal
dispnea (mampu mengeluarkan k. Monitor suara napas, seperti dengkur
sputum, mampu bernapas

62
dengan mudah, tidak ada pursed l. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
lips) kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
d. Tanda-tanda vital dalam rentang biot
normal m. Auskultasi suara napas, catat area
e. Gas darah arteri dalam batas n. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
normal o. suara tambahan
f. Status neurologis dalam batas p. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
normal dan ststus mental
q. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
r. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan (O2, Suction,
Inhalasi)
s. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
4. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level Pain Management:
agen injuri biologi. b. Pain Control a. Observasi reaksi nonverbal dari
c. Comfort Level ketidaknyamanan
b. Eksplorasi hal hal yang mempengaruhi
Kriteria Hasil: nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri

63
b. Melaporkan nyeri berkurang c. Eksplorasi pengalaman nyeri masa
c. Mampu mengenali nyeri lampau untuk mengetahui
d. Menyatakan rasa nyaman setelah ketidakefektifan kontrol nyeri masa
nyeri berkurang lampau
d. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi,
interpersonal)

Analgesic Administration:
a. Tentukan mengenai lokasi, kualitas,
karakteristik nyeri sebelum pemberian
obat
b. Cek riwayat alergi
c. Tentukan pilihan analgesik, rute
pemberian dan dosis optimal
d. Evaluasi efektivitas analgesik
5. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan
ketidakseimbangan antara suplai c. Konservasi energi aktivitas secara bergantian
dan kebutuhan oksigen,

64
kelemahan umum, kelelahan Kriteria hasil: c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
yang berhubungan dengan batuk a. Menunjukkan toleransi aktivitas berkala
berlebihan dan dispnea. b. Menampilkan aktivitas kehidupan d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
sehari–hari memberikan terapi yang tepat

65
B. PNEUMONIA
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Pneumonia adalah radang parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme, termasuk bakteri, mikobakteri, jamur, dan virus. Pneumonia
diklasifikasikan sebagai pneumonia yang dikontrol komunitas (CAP), pneumonia yang
didapat di rumah sakit (nosokomial), pneumonia pada hospes immunocompromised, dan
pneumonia aspirasi.
Klien berisiko terkena pneumonia jika memiliki kelainan mendasar yang kronis,
penyakit akut yang parah, sistem kekebalan tubuh yang tertekan dari penyakit atau obat-
obatan, imobilitas, dan faktor lain yang mengganggu mekanisme perlindungan paru-
paru normal. Klien lansia juga mempunyai risiko yang tinggi terkena pneumonia.
b. Etiologi
Banyak kuman bisa menyebabkan pneumonia. Yang paling umum adalah bakteri
dan virus di udara yang kita hirup. Tubuh biasanya mencegah kuman ini menginfeksi
paru-paru, tapi kadang kala kuman ini bisa mengalahkan sistem kekebalan tubuh.
Pneumonia diklasifikasikan menurut jenis kuman yang menyebabkannya dan di mana
seseorang terkena infeksi.
1) Pneumonia yang didapat di masyarakat
Pneumonia yang didapat masyarakat adalah jenis pneumonia yang paling umum. Itu
terjadi di luar rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya. Ini mungkin
disebabkan oleh:
a) Bakteri. Penyebab paling umum pneumonia adalah bakteri Streptococcus
pneumoniae. Pneumonia jenis ini bisa terjadi otomatis atau setelah seseorang
terserang pilek atau flu. Hal ini dapat mempengaruhi satu bagian (lobus) paru-
paru, suatu kondisi yang disebut pneumonia lobar.
b) Organisme patogen. Mycoplasma pneumoniae juga bisa menyebabkan
pneumonia. Gejalanyaa lebih ringan daripada jenis pneumonia lainnya.
c) Jamur. Jenis pneumonia ini paling sering terjadi pada orang dengan masalah
kesehatan kronis atau sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan pada orang-
orang yang telah menghirup organisme dalam jumlah banyak. Jamur yang

66
menyebabkannya bisa ditemukan di tanah atau kotoran burung dan bervariasi
tergantung lokasi geografis.
d) Virus. Beberapa virus dapat menyebabkan flu dan flu bisa menyebabkan
pneumonia. Virus adalah penyebab paling umum pneumonia pada anak-anak
di bawah 5 tahun.

2) Pneumonia yang didapat di rumah sakit


Beberapa orang terkena pneumonia saat tinggal di rumah sakit karena penyakit lain.
Pneumonia yang didapat di rumah sakit bisa serius karena bakteri penyebabnya
mungkin lebih tahan terhadap antibiotik dan karena orang yang mendapatkannya
sudah sakit. Orang yang menggunakan ventilator mekanik (sering digunakan di unit
perawatan intensif) berisiko tinggi terkena pneumonia jenis ini.
3) Pneumonia saat mendapat perawatan kesehatan
Pneumonia yang didapat dari perawatan kesehatan adalah infeksi bakteri yang terjadi
pada orang-orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang atau yang
mendapat perawatan di klinik rawat jalan, termasuk pusat dialisis ginjal. Seperti
pneumonia yang didapat di rumah sakit, pneumonia yang didapat dari perawatan
kesehatan dapat disebabkan oleh bakteri yang lebih tahan terhadap antibiotik.
4) Pneumonia aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi saat makanan, minuman, muntahan, atau air liur masuk
ke paru-paru. Pneumonia jenis ini lebih mungkin terjadi jika ada sesuatu yang
mengganggu refleks muntah normal, seperti cedera otak atau masalah menelan atau
penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang.
c. Faktor Risiko
1) Pneumonia bisa menyerang siapa saja, tapi anak yang berusia 2 tahun atau kurang
dan orang yang berusia 65 atau lebih tua paling berisiko terkena penyakit ini.
2) Mendapat perawatan di rumah sakit. Seorang klien opname berisiko lebih besar
terkena pneumonia jika ia berada di unit perawatan intensif rumah sakit, terutama
jika menggunakan mesin bantuan napas (ventilator).
3) Memiliki penyakit kronis. Seseorang lebih mungkin terkena pneumonia jika ia
menderita asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau penyakit jantung.

67
4) Merokok. Merokok merusak pertahanan alami tubuh terhadap bakteri dan virus yang
menyebabkan pneumonia.
5) Sistem kekebalan tubuh yang lemah. Orang yang memiliki HIV/AIDS, yang telah
menjalani transplantasi organ, atau yang menerima kemoterapi atau steroid jangka
panjang juga berisiko mengalami pneumonia.
d. Tanda dan Gejala
Tanda serta gejala yang biasa dijumpai pada pneumonia adalah demam; takipnea;
takikardi; batuk produktif; serta perubahan sputum, baik dari jumlah maupun
karakteristiknya. Selain itu, klien akan merasa nyeri dada seperti ditusuk pisau, inspirasi
yang tertinggal pada ekspnasi dada.
e. Klasifikasi
1) Berdasarkan klinis dan epidemologi:
a) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b) Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia /nosocomial pneumonia)
c) Pneumonia aspirasi
d) Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2) Berdasarkan bakteri penyebab:
a) Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca-infeksi influenza.
b) Pneumonia atopikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c) Pneumonia virus
d) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3) Berdasarkan predileksi infeksi
a) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya, pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan

68
b) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c) Pneumonia interstisial
f. Patofisiologi
Reaksi inflamasi dapat terjadi pada alveoli, menghasilkan eksudat (cairan radang
ekstravaskuler) yang mengganggu difusi oksigen dan karbon dioksida. Bronkospasme
juga dapat terjadi jika klien yang memiliki penyakit saluran napas reaktif.
Bronkopneumonia, bentuk yang paling umum, didistribusikan secara merata,
membentang dari bronkus ke parenkim paru di sekitarnya. Pneumonia lobaris adalah
istilah yang digunakan jika sebagian besar dari satu atau lebih lobus ikut terlibat.
Pneumonia disebabkan oleh berbagai agen mikroba dalam berbagai setting. Organisme
umum, termasuk spesies Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella; Staphylococcus
aureus; Haemophilus influenzae; Staphylococcus pneumonia; dan bakteri gram-negatif,
jamur, dan virus (paling umum pada anak-anak).
g. Komplikasi
1) Bakteri dalam aliran darah (bakteremia). Bakteri yang masuk ke aliran darah dari
paru-paru bisa menyebarkan infeksi ke organ lain, berpotensi menyebabkan
kegagalan organ.
2) Sulit bernapas. Jika pneumonia parah atau menderita penyakit paru kronis, paisen
mungkin mengalami kesulitan bernapas dengan kandungan oksigen yang cukup.
3) Akumulasi cairan di sekitar paru (pleural effusion). Pneumonia dapat menyebabkan
cairan terbentuk di rongga pleura.
4) Abses paru. Abses terjadi jika nanah terbentuk di rongga di paru-paru. Abses
biasanya diobati dengan antibiotik. Terkadang, operasi atau drainase untuk
mengeluarkan cairan pada abses dapat memperbaiki kondisi.
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik
2) Sinar-X dada, darah dan kultur sputum, pewarnaan Gram
i. Penatalaksanaan Medis

69
1) Antibiotik diresepkan berdasarkan hasil pewarnaan Gram dan pedoman antibiotik
(pola resistensi, faktor risiko, etiologi harus dipertimbangkan). Terapi kombinasi
juga bisa digunakan.
2) Pengobatan suportif meliputi hidrasi, antipiretik, obat antitusif, antihistamin, atau
dekongestan hidung.
3) Bedrest dianjurkan sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda membaik.
4) Terapi oksigen diberikan untuk hipoksemia.
5) Pemberian oksigenasi suportif meliputi pemberian fraksi oksigen, intubasi
endotrakeal, dan ventilasi mekanis.
6) Jika diperlukan, dilakukan pengobatan atelektasis, efusi pleura, syok, gagal
pernapasan, atau sepsis, jika diperlukan.
7) Bagi klien berisiko tinggi terhadap CAP, disarankan melakukan vaksinasi
pneumokokus.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Klien yang mengalam pneumonia tidak harus dirawat di rumah sakit. Sebaliknya, di
rawat jika akan atau berisiko mengalami pneumonia. Data yang harus dikumpulkan
untuk mengkaji klien dengan pneumonia adalah:
1) Riwayat dan karakter awitan dan durasi batuk, demam, mengigil, nyeri dada,
produksi sputum (jumlah, warna dan konsistensi)
2) Riwayat pemajanan terhadap individu dengan infeksi
3) Tanda-tanda penyakit kronis lainnya
4) Tanda vital: suhu tubuh mengalami kenaikan, takikardi/takipnea
5) Modalitas perawatan diri yang digunakan untuk mengatasi gejala
6) Pemeriksaan pulmonal:
a) Inspeksi: retraksi otot-otot aksesori, sianosis sentral, gerakan dada terbatas
b) Palpasi: penurunan ekspansi pada area dada yang sakit, peningkatan fremitus
taktil
c) Perkusi: pekak

70
d) Auskultasi: bunyi napas bronkial, inspirasi krakles (rales), penurunan
fremitus vokal (efusi pleural), egofoni (konsolidasi)
7) Temuan laboratorium:
a) Rontgen dada: gambar difus—pneumonia atopi: gambaran lobaris—
pneumonia tipikal
b) Hematologi: SDP—meningkat 15.000 sampai 25.000/mm3; aglutinin
dingion—fiksasi komponen/virus atau M. Pneumoniae.
c) Pemeriksaan gas darah arteri: hipoksemia/respirasi alkalosis; jika penyakit
yang mendasari, respirasi asidosis.
b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas,
spasme jalan napas, sekresi tertahan, banyaknya mukus, sekresi bronkus, adanya
eksudat di alveolus, adanya benda asing di jalan napas.
2) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan secara aktif.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor
biologis.
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan interpretasi terhadap informasi yang
salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-
sumber informasi.

71
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas spasme Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
jalan napas, sekresi tertahan, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
banyaknya mukus, adanya jalan dalam
napas buatan, sekresi bronkus, Kriteria hasil: d. Posisikan klien untuk memaksimalkan
adanya eksudat di alveolus, a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
adanya benda asing di jalan efektif dan suara napas yang e. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
napas. bersih, tidak ada sianosis dan f. Keluarkan sekret dengan batuk atau
dispnea (mampu mengeluarkan suction
sputum, bernapas dengan g. Auskultasi suara napas, catat adanya
mudah, tidak ada pursed lips) suara tambahan
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Berikan bronkodilator:
paten (klien tidak merasa i. Monitor status hemodinamika
tercekik, irama napas, frekuensi j. Berikan pelembap udara kassa basah
pernapasan dalam rentang NaCl lembap
normal, tidak ada suara napas k. Berikan antibiotik
abnormal) l. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
c. Mampu mengidentifikasikan dan keseimbangan.
mencegah faktor yang penyebab. m. Monitor respirasi dan status O2

72
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
e. Foto toraks dalam batas normal mengencerkan sekret
o. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
penggunaan peralatan: O2, Suction,
Inhalasi
2. Defisit volume cairan a. Fluid balance a. Pertahankan catatan intake dan output
berhubungan dengan kehilangan b. Hydration yang akurat
volume cairan secara aktif. c. Nutritional Status: Food and b. Monitor status hidrasi (kelembapan
Fluid Intake membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik), jika diperlukan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan c. Monitor hasil lab yang sesuai dengan
selama…. defisit volume cairan teratasi retensi cairan (BUN, Hmt, osmolalitas
dengan kriteria hasil: urin, albumin, total protein
a. Mempertahankan urine output d. Monitor vital sign setiap 15menit–1 jam
sesuai dengan usia dan BB, BJ e. Kolaborasi pemberian cairan IV
urine normal, f. Monitor status nutrisi
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh g. Berikan cairan oral
dalam batas normal h. Berikan penggantian nasogatrik sesuai
c. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, output (50–100cc/jam)
Elastisitas turgor kulit baik, i. Dorong keluarga untuk membantu klien
membran mukosa lembap, tidak makan
ada rasa haus yang berlebihan

73
d. Orientasi terhadap waktu dan j. Kolaborasi dokter jika tanda cairan
tempat baik berlebih muncul memburuk
e. Jumlah dan iramapernapasan k. Atur kemungkinan tranfusi
dalam batas normal l. Persiapan untuk tranfusi
f. Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas m. Pasang kateter jika perlu
normal pH urine dalam batas n. Monitor intake dan urin output setiap 8
normal jam
g. Intake oral dan intravena
adekuat
3. Ketidakseimbangan nutrisi a. Nutritional status: Adequacy of a. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh Nutrient b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan b. Nutritional Status: Food and menentukan jumlah kalori dan nutrisi
ketidakmampuan untuk Fluid Intake yang dibutuhkan klien
memasukkan atau mencerna c. Weight Control c. Yakinkan diet yang dimakan
nutrisi oleh karena faktor mengandung tinggi serat untuk mencegah
biologis, psikologis atau Setelah dilakukan tindakan keperawatan konstipasi
ekonomi. selama…. nutrisi kurang teratasi dengan d. Ajarkan klien bagaimana membuat
indikator: catatan makanan harian.
a. Albumin serum e. Monitor adanya penurunan BB dan gula
b. Pre-albumin serum darah
c. Hematokrit f. Monitor lingkungan selama makan
d. Hemoglobin

74
e. Total iron binding capacity g. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
f. Jumlah limfosit selama jam makan
h. Monitor turgor kulit
i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
l. Monitor intake nutrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
o. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
p. Kelola pemberian anti-emetik
q. Anjurkan banyak minum
r. Pertahankan terapi IV line
s. Catat adanya edema, hiperemia,
hipertonik papila lidah dan kavitasi oval

75
4. Kurang pengetahuan Knowledge: Health Behaviour a. Kaji tingkat pemahaman klien dan
berhubungan dengan interpretasi keluarga
terhadap informasi yang salah, Kriteria hasil: b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
kurangnya keinginan untuk Klien paham tentang penyakitnya bagaimana hal ini berhubungan dengan
mencari informasi, tidak anatomi dan fisiologi serta cara yang tepat
mengetahui sumber-sumber untuk menangani
informasi.

76
C. TUBERKULOSIS
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis biasanya menyerang bagian paru-paru, yang kemudian dapat menyerang
ke semua bagian tubuh. Infeksi biasanya terjadi pada 2-10 minggu. Pasca 10 minggu,
klien akan muncul manifestasi penyakit karena gangguan dan ketidakefektifan respons
imun. Proses aktivasi dapat berkepanjangan dan ditandai dengan remisi panjang ketika
penyakit dicegah, hanya untuk diikuti oleh periode aktivitas yang diperbarui.
Tuberkulosis oleh WHO telah dinyatakan sebagai emerging disease, karena angka
kejadiannya yang terus meningkat sejak tahun 2000. Di Indonesia, angka kejadian
tuberkulosis juga terus meningkat. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1992, menyatakan jika tuberkulosis adalah penyebab kematian nomor dua setelah
penyakit jantung. Penyakit ini sebagian besar penderitanya berasal dari kelompok
masyarakat usia produktif dan berpenghasilan rendah.
b. Etiologi
Tuberkulosis (TBC) disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini menyebar saat penderita TB batuk atau bersin dan orang lain
menghirup droplet yang dikeluarkan, yang mengandung bakteri TB. Meskipun TB
menyebar dengan cara yang sama dengan flu, penyakit ini tidak menular dengan mudah.
Seseorang harus kontak dalam waktu beberapa jam dengan orang yang terinfeksi.
Misalnya, infeksi TBC biasanya menyebar antar anggota keluarga yang tinggal di rumah
yang sama. Akan sangat tidak mungkin bagi seseorang untuk terinfeksi dengan duduk
di samping orang yang terinfeksi di bus atau kereta api. Selain itu, tidak semua orang
dengan TB dapat menularkan TB. Anak dengan TB atau orang dengan infeksi TB yang
terjadi di luar paru-paru (TB ekstrapulmoner) tidak menyebarkan infeksi..
c. Faktor Risiko
1) Kontak yang dekat dengan seseorang yang memiliki TB aktif.
2) Status imunocompromized (penurunan imunitas) (misalnya, lansia, kanker, terapi
kortikosteroid, dan HIV).
3) Penggunaan narkoba suntikan dan alkoholisme.

77
4) Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai (misalnya,
tunawisma atau miskin, minoritas, anak-anak, dan orang dewasa muda).
5) Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes, gagal ginjal kronis,
silikosis, dan kekurangan gizi.
6) Imigran dari negara-negara dengan tingkat tuberkulosis yang tinggi (misalnya,
Haiti, Asia Tenggara).
7) Pelembagaan (misalnya, fasilitas perawatan jangka panjang, penjara).
8) Tinggal di perumahan yang padat dan tidak sesuai standar.
9) Pekerjaan (misalnya, petugas layanan kesehatan, terutama mereka yang melakukan
kegiatan berisiko tinggi).

Depkes RI (2016) menyatakan bahwa salah satu faktor risiko tuberkulosis adalah
daya tahan tubuh yang menurun. Secara epidemologi, kejadian penyakit merupakan
hasil dari interaksi tiga komponen, yaitu agent, host, dan environment. Pada komponen
host, kerentanan seseorang terkena bakteri Mycobacterium tuberculosis dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh seseorang. Dengan demikian, para penderita HIV/AIDS rentan
terserang tuberkulosis. Berikut ini merupakan notifikasi kasus koinfeksi tuberkulosis
(TB) HIV:

Tabel 3.2 Notifikasi Kasus Koinfeksi Tuberkulosis TB HIV Tahun 2009-2014


No. Variabel 2010 2011 2012 2013 2014
1. Klien TB ternotifikasi 302.861 321.308 331.441 327.103 324.539
2. Klien TB yang mengetahui 2.751 6.003 6.317 10.497 16.133
status HIV
3. Klien TB yang HIV positif 1.106 2.547 2.089 2.438 2.399
4. Klien TB yang HIV positif 325 990 1.063 1.149 441
yang mendapatkan ART
(Antiretroviral)
5. Klien TB yang HIV positif 693 1.702 1.138 1.274 566
yang mendapatkan PPK
(Sumber: Kemenkes RI, 2016)

78
d. Tanda dan Gejala
1) Awitan tersembunyi.
2) Demam bertingkat yang dimulai dari rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat
badan, keringat malam, nyeri dada, dan batuk menetap.
3) Batuk, non-produktif pada awalnya, dapat berlanjut sampai sputum mukopurulen
dengan hemoptisis.

e. Klasifikasi
1) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
a) Tuberkulosis paru. TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis
TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat
gambaran radiologi yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru. Klien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai klien TB paru.
b) Tuberkulosis ekstra paru. TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:
pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan
tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologi atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus
diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Klien TB
ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai
klien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a) Klien baru TB: adalah klien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari
28 dosis).
b) Klien yang pernah diobati TB: adalah klien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
c) Klien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:

79
i. Klien kambuh: adalah klien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologi atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).
ii. Klien yang diobati kembali setelah gagal: adalah klien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
iii. Klien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah
klien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan klien setelah putus
berobat/default).
iv. Lain-lain: adalah klien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:


Pengelompokan klien TB berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a) Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja.
b) Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c) Multidrug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan.
d) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin).
e) Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotipe
(tes cepat) atau metode fenotipe (konvensional).

80
4) Klasifikasi klien TB berdasarkan status HIV:
a) Klien TB dengan HIV positif (klien ko-infeksi TB/HIV): klien TB dengan hasil
tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART atau hasil tes HIV
positif pada saat diagnosis TB.
b) Klien TB dengan HIV negatif: klien TB dengan hasil tes HIV negatif
sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
c) Klien TB dengan status HIV tidak diketahui: klien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

f. Patofisiologi
Menghirup Mycobacterium tuberculosis menyebabkan salah satu dari empat
kemungkinan hasil, yakni pembersihan organisme, infeksi laten, permulaan penyakit
aktif (penyakit primer), penyakit aktif bertahun-tahun kemudian (reaktivasi penyakit).
Setelah terhirup, droplet infeksius tetesan menular menetap di seluruh saluran udara.
Sebagian besar bakteri terjebak di bagian atas saluran napas di mana sel epitel
mengeluarkan lendir. Lendir yang dihasilkan menangkap zat asing dan silia di
permukaan sel terus-menerus menggerakkan lendir dan partikelnya yang terperangkap
untuk dibuang. Sistem ini memberi tubuh pertahanan fisik awal yang mencegah infeksi
tuberkulosis.
g. Komplikasi
Tanpa pengobatan, tuberkulosis bisa berakibat fatal. Penyakit aktif yang tidak
diobati biasanya menyerang paru-paru, namun bisa menyebar ke bagian tubuh lain
melalui aliran darah. Komplikasi tuberkulosis meliputi:
1) Nyeri tulang belakang. Nyeri punggung dan kekakuan adalah komplikasi
tuberkulosis yang umum.
2) Kerusakan sendi. Atritis tuberkulosis biasanya menyerang pinggul dan lutut.
3) Infkesi pada meningen (meningitis). Hal ini dapat menyebabkan sakit kepala
yang berlangsung lama atau intermiten yang terjadi selama berminggu-minggu.
4) Masalah hati atau ginjal. Hati dan ginjal membantu menyaring limbah dan
kotoran dari aliran darah. Fungsi ini menjadi terganggu jika hati atau ginjal
terkena tuberkulosis.

81
5) Gangguan jantung. Meskipun jarang terjadi, tuberkulosis dapat menginfeksi
jaringan yang mengelilingi jantung, menyebabkan pembengkakan dan
tumpukan cairan yang dapat mengganggu kemampuan jantung untuk memompa
secara efektif.
h. Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa tes digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis (TB), tergantung pada jenis
dugaan TB.
1) TB Paru
Diagnosa TB paru, bisa sulit dan beberapa tes biasanya diperlukan. Klien perlu
menjalani pemeriksaan sinar-X dada untuk mencari perubahan pada gambaran
infiltrasi paru-paru yang menandakan TB. Sampel dahak juga akan sering diperiksa
untuk memastikan keberadaan bakteri TB. Tes ini penting dalam membantu
menentukan pengobatan yang paling efektif.
2) TB ekstrapulmoner
Beberapa tes dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dugaan TB
ekstrapulmoner (TB yang terjadi di luar paru-paru). Tes ini meliputi:
a) CT Scan, pemindaian MRI atau pemindaian ultrasound pada bagian tubuh yang
terkena
b) Pemeriksaan bagian dalam tubuh menggunakan dengan menggunakan
endoskopi. Endoskopi dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui sayatan
kecil yang dibuat di kulit (laparoskopi), jika ada kebutuhan untuk memeriksa
bagian tubuh yang lain
c) Tes urine dan darah
d) biopsi, sampel kecil jaringan atau cairan diambil dari daerah yang terkena dan
diuji untuk bakteri TB
e) Pungsi lumbal, dengan mengambil sampel kecil cairan serebrospinal (CSF) dari
dasar tulang belakang.
3) Pengujian untuk TB laten
Dalam beberapa keadaan, dokter perlu melakukan tes untuk memeriksa TB laten:
a) Tes Mantoux

82
Tes Mantoux adalah tes yang banyak digunakan untuk TB laten. Tes ini
melibatkan penyuntikan sejumlah kecil zat yang disebut tuberkulin PPD ke kulit
lengan bawah. Tes ini juga disebut tuberculin skin test (TST). Jika seseorang
memiliki infeksi TB laten, kulit akan sensitif terhadap tuberkulin PPD dan akan
muncul indurasi berupa pelebaran lingkaran dan berwarna kemerahan serta
terasa gatal, biasanya dalam 48 sampai 72 jam setelah tes. Jika klien memiliki
reaksi kulit yang sangat kuat, mungkin memerlukan pemeriksaan sinar-X dada
untuk memastikan apakah ia memiliki penyakit TB aktif. Jika klien tidak
memiliki infeksi laten, kulit tidak akan bereaksi terhadap tes Mantoux.
b) Interferon Gamma Release Assay (IGRA)
Uji pelepasan gamma interferon (interferon gamma release assay/IGRA) adalah
tes darah untuk TB. IGRA dapat digunakan untuk membantu diagnosis TB laten:
i. Jika klien memiliki tes Mantoux yang positif.
ii. Jika sebelumnya klien telah mendapatkan vaksinasi BCG.
iii. Sebagai bagian dari skrining TB, jika klien pindah dari sebuah negara.
iv. Jika klien akan memiliki perawatan yang berpengaruh terhadap sistem
kekebalan tubuh.

i. Penatalaksanaan Medis
1) Obat lini pertama: isoniazid atau INH (Nydrazid), rifampisin (Rifadin), pirazinamida,
dan etambutol (Myambutol) setiap hari selama 8 minggu dan berlanjut hingga 4
sampai 7 bulan.
2) Obat lini kedua: capreomycin (Capastat), etionamida (Trecator), sodium para-
aminosalicylate, dan sikloserin (Seromisin).
3) Vitamin B (piridoksin) biasanya diberikan dengan INH.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Identitas klien meliputi: nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, umur, pekerjaan,
pendidikan, alamat, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, no.
register/MR, serta penanggung jawab

83
2) Riwayat kesehatan (Soemantri, 2009)
a) Riwayat Kesehatan Dahulu (RKD). Apakah klien sering merokok, serta jenis
gangguan kesehatan yang dialami sebelumnya, misal cedera dan pembedahan.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang (RKS). Apakah klien mengalami demam tinggi,
batuk kurang lebih selama 3 minggu, napas sesak, kurangnya nafsu makan,
nyeri dada.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK). Apakah keluarga klien mengatakan ada
riwayat penyakit emfisema, asma, alergi, dan TB.
3) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang
kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan perlunya
pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru
sering mengalami kecemasan sesuai dengan keluhan yang dialaminya (Zulkarnain,
2011).
4) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksaan fisik umum per
sistem dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(breathing), B2 (blood), B3 (brain), B4 (bladder), B5 (bowel), dan B6 (bone) serta
pemeriksaan yang fokus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh sistem
pernapasan.

b. Diagnosis Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakadekuatan intake nutrisi.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.

84
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan kongesti Exchange ventilasi
paru. b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
Elektrolit c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Respiratory Status: Ventilation d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
d. Vital Sign Status suction
e. Auskultasi suara napas, catat adanya
Kriteria hasil: suara tambahan
a. Mendemonstrasikan f. Berikan bronkodilator;
peningkatan ventilasi dan g. Berikan pelembap udara
oksigenasi yang adekuat h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
b. Memelihara kebersihan paru- keseimbangan.
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Monitor respirasi dan status O2
distres pernapasan j. Catat pergerakan dada, amati
c. Mendemonstrasikan batuk kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
efektif dan suara napas yang retraksi otot supraclavikula dan
bersih, tidak ada sianosis dan interkostal
dispnea (mampu mengeluarkan k. Monitor suara napas, seperti dengkur
sputum, mampu bernapas

85
dengan mudah, tidak ada pursed l. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
lips) kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
d. Tanda-tanda vital dalam rentang biot
normal m. Auskultasi suara napas, catat area
e. Gas darah arteri dalam batas n. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
normal o. suara tambahan
f. Status neurologis dalam batas p. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
normal dan status mental
q. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
r. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan (O2, suction,
inhalasi)
s. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
2. Ketidakseimbangan nutrisi a. Nutritional status: Adequacy of a. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh Nutrient b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan b. Nutritional Status: Food and menentukan jumlah kalori dan nutrisi
ketidakmampuan untuk Fluid Intake yang dibutuhkan klien
memasukkan atau mencerna c. Weight Control
nutrisi oleh karena faktor

86
biologis, psikologis atau Setelah dilakukan tindakan keperawatan c. Yakinkan diet yang dimakan
ekonomi. selama…. nutrisi kurang teratasi dengan mengandung tinggi serat untuk mencegah
indikator: konstipasi
a. Albumin serum d. Ajarkan klien bagaimana membuat
b. Pre-albumin serum catatan makanan harian.
c. Hematokrit e. Monitor adanya penurunan BB dan gula
d. Hemoglobin darah
e. Total iron binding capacity f. Monitor lingkungan selama makan
f. Jumlah limfosit g. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
selama jam makan
h. Monitor turgor kulit
i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
l. Monitor intake nutrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti

87
NGT/TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
o. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
p. Kelola pemberian anti-emetik
q. Anjurkan banyak minum
r. Pertahankan terapi IV line
s. Catat adanya edema, hiperemia,
hipertonik papila lidah dan kavitasi oval
3. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan
ketidakseimbangan antara suplai c. Konservasi energi aktivitas secara bergantian
dan kebutuhan oksigen, c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
kelemahan umum, kelelahan Kriteria hasil: berkala
yang berhubungan dengan batuk a. Menunjukkan toleransi aktivitas d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
berlebihan dan dispnea. b. Menampilkan aktivitas kehidupan memberikan terapi yang tepat
sehari–hari

88
BAB IV

PENYAKIT PARU TIPE OBSTRUKTIF

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial. Secara klinis, PPOK terdiri atas bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.
Temuan di lapangan, banyak menunjukkan penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar terbaru tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah
klien PPOK di Indonesia mencapai 3,7%. Angka mortalitas PPOK menduduki peringkat empat
penyebab kematian tertinggi di dunia setelah kanker, gagal jantung dan stroke (Harwood,
2012). WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020 PPOK akan menjadi penyakit penyebab
kematian tertinggi nomer tiga di dunia (Lewis, 2011) dan morbiditasnya akan meningkat dari
peringkat 12 menjadi peringkat lima penyakit terbanyak di dunia termasuk di Asia. Data PPOK
di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas 2013 sejumlah 122.100 orang.
Berdasarkan kesepakatan para pakar Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun
2011, PPOK dikelompokkan ke dalam:
1. PPOK ringan adalah klien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum
dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sementara itu, pemeriksaan spirometernya
menunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %.
2. PPOK sedang adalah klien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau produksi
sputum dan sesak napas dengan derajat dua. Sementara itu, pemeriksaan spirometernya
menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80%.
3. PPOK berat adalah klien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau empat dengan
gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau
gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometer menunjukkan VEP1/KVP <70 %, VEP1<30%
prediksi atau VEP1>30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil

89
pemeriksaan analisis gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau
hipoksemia dengan hiperkapnia.

Faktor risiko yang menyebabkan PPOK antara lain sebagai berikut.


1. Pajanan dari partikel
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara
berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mukus dan obstruksi jalan
napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Studi di China
menghasilkan risiko relatif merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94).
Perokok pasif juga meningkatkan gejala gangguan saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.
Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan
mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.
b. Polusi dalam ruang
Memasak menggunakan bahan biomassa dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan
memberi kontribusi sampai 35% terjadinya PPOK.
Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor), seperti
di dalam rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mal, dan di dalam kendaraan.
Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak
dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan
mebel, bahan percetakan dan alergen dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif.
WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab terhadap kematian dari
1,6 juta orang setiap tahunnya. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di Bogota,
Columbia, pembakaran kayu dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK (adjusted OR
3,92, 95 % CI 1,2 – 9,1).
c. Polusi luar ruang
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP, inhalan yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Kadmium, Zinc, debu dan asap sisa produk

90
pembakaran/pabrik/tambang. Peningkatan jumlah kendaraan akan meningkatkan polusi
udara yang berdampak terhadap kejadian PPOK. Pada negara berpenghasilan rendah, di
mana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan cara masak tradisional
dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi dalam ruang dari bahan sampah biomassa
telah memberi kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardio respiratori.
PPOK adalah hasil interaksi antara faktor genetik individu dengan pajanan
lingkungan dari bahan beracun, seperti asap rokok, polusi indoor dan outdoor. Di
Mexico, menemukan bahwa peningkatan materi partikel 10μg/m3 dikaitkan dengan
peningkatan penyakit saluran napas 2,9% (95% CI 0,9–4,9), dan kematian PPOK 4,1%
(95% CI 1,3–6,9).
Di Hongkong, sebuah studi kohort prospektif menemukan bahwa prevalensi
beberapa penyakit pernapasan meningkat selama periode 12 tahun dan diperoleh data
bahwa prevalensi yang terdiagnosis emfisema meningkat dari 2,4%- 3,1% dengan OR
1,78 (95% CI 1,12–2,86). Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan
khususnya peningkatan polusi udara di kota Hongkong. Beberapa penelitian
menemukan bahwa pajanan kronik di kota dan polusi udara menurunkan laju fungsi
pertumbuhan paru-paru pada anak-anak.
d. Polusi di tempat kerja
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran dan bakteri atau
racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri
(pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan
kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19%.

2. Genetik (Defisiensi Alfa 1-antitrypsin)


Faktor risiko dari genetik memberikan kontribusi 1–3% pada klien PPOK. PPOK
adalah penyakit poligenik dan dipengaruhi oleh interaksi gen-lingkungan. Faktor genetik
yang mempengaruhi terjadinya PPOK adalah autosomal recessive disorder, mutasi pada
gen SERPINA1 yang terletak pada kromosom 14 yang menyebabkan defisiensi α1-
antitripsin, dan gangguan pada gen yang memberikan instruksi untuk menghasilkan α1-
antitripsin (Black, 2009). α1-antitripsin adalah senyawa protein atau polipeptida yang dapat
diperoleh dari darah dan cairan bronkus. α1-antitripsin yang terdapat di saluran pernapasan

91
jumlahnya sangat sedikit yaitu hanya sekitar 1-2% dari plasma darah dan kapasitas
inhibisinya 30% dari aktivitas plasma darah.
α1-antitripsin berperan sebagai antiprotease atau inhibitor dari protease serin. Protease
bekerja dengan memecah komponen jaringan ikat, dan kerja antiprotease adalah mencegah
pemecahan komponen jaringan ikat tersebut. Gangguan pada α1-antitripsin akan
menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease, dimana kerja protease meningkat
dan akan terjadi kerusakan elastin yang merupakan komponen jaringan ikat utama
parenkim paru.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan,
hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit
terbanyak yang diderita anak-anak. Penyakit saluran pernapasan pada bayi dan anak-anak
dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, di mana ada hubungan dengan
terjadinya PPOK.
4. Gender, usia, konsumsi alkohol, dan kurang aktivitas fisik
Studi pada orang dewasa di Cina didapatkan risiko relatif pria terhadap wanita adalah 2,80
(95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77
(95% CI : 1,45–2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34–3,02).

PPOK terdiri atas dua penyakit yaitu Bronkitis Kronis dan Emfisema.
BRONKITIS KRONIS
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Bronkitis merupakan kondisi peradangan pada daerah trakeabronkial, tetapi
peradangan ini tidak meluas sampai alveoli (Depkes RI). Bronkhitis diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu bronkhitis akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada
semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi,
penyakit ini dikenal dengan bronkiolitis.
Bronkitis merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh adanya batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Orang yang tinggal di kota yang
penuh polusi, atau perokok aktif berpeluang besar menderita bronkitis kronis.

92
Iritasi bronkus secara terus menerus menyebabkan sel goblet memproduksi lebih
banyak mukus. Mukus yang meningkat mengurangi fungsi siliaris. Dinding bronkus
juga menjadi menebal, sehingga lumen bronkus menyempit. Alveoli yang berdekatan
dengan bronkiolus mungkin menjadi rusak dan fibrosis, sehingga menurunkan fungsi
makrofag alveolar. Hal ini penting karena makrofag berperan penting dalam
menghancurkan partikel asing, termasuk bakteri. Akibatnya, klien menjadi lebih rentan
terhadap infeksi pernapasan lain. Eksaserbasi bronkitis kronis paling sering terjadi
selama musim dingin.
b. Etiologi
Ada banyak penyebab bronkitis kronis, namun penyebab utamanya adalah asap
rokok. Statistik dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS
menunjukkan bahwa sekitar 49% perokok mengalami bronkitis kronis dan 24%
mengalami emfisema. Selain asap rokok, banyak iritasi inhalasi lainnya (misalnya asap
kendaraan, polutan industri, dan pelarut) juga dapat menyebabkan bronkitis kronis.
Infeksi virus dan bakteri yang mengakibatkan bronkitis akut dapat menyebabkan
bronkitis kronis jika seseorang mengalami kontak kembali dengan agen infeksius.
Selain itu, proses penyakit yang mendasarinya (misalnya, asma, fibrosis kistik,
imunodefisiensi, gagal jantung kongestif, dan pelebaran bronkiolus/bronkiektasis) dapat
meningkatkan risiko bronkitis kronis.

c. Faktor Risiko
1) Asap rokok
Orang yang merokok atau tinggal bersama perokok mempunyai risiko tinggi
terkena bronkitis kronis.
2) Penurunan sistem imun
Hal ini mungkin akibat dari penyakit akut lainnya, seperti pilek, atau dari kondisi
kronis yang merusak sistem kekebalan tubuh. Lanjut usia, bayi, dan anak-anak
memiliki kerentanan yang lebih besar terhadap infeksi.
3) Paparan terhadap iritan di tempat kerja
Risiko terkena bronkitis menjadi jauh lebih besar jika bekerja di sekitar iritan paru-
paru, seperti biji-bijian atau tekstil, atau terpapar uap kimia.

93
4) Refluks asam lambung
Serangan heartburn yang berulang dapat mengiritasi tenggorokan dan membuat
seseorang menjadi lebih rentan terhadap bronkitis.
5) Aspirasi berulang
6) Anomali saluran pernapasan
7) Iritasi oleh benda asing

d. Tanda dan Gejala


1) Dispnea
2) Batuk produktif yang kronis
3) ‘blue bloater’ yaitu klien mengalami sianosis akibat berkurangnya ventilasi dan
bertubuh besar (bloater) karena adanya edema perifer akibat gagal jantung kanan
(Kendall, 2014).

e. Patofisiologi
Metaplasia mukus, proses di mana produksi mukus berlebih sebagai respons
terhadap inflamasi, merupakan dasar patologis untuk tuberkulosis kronis. Peningkatan
produksi mukus terjadi akibat overproduksi dan hipersekresi oleh sel goblet dan
penurunan kemampuan mengeluarkan mukus. Hipersekresi mukus terjadi akibat
paparan asap rokok, infeksi virus akut dan kronis, infeksi bakteri, atau aktivasi sel
inflamasi transkripsi gen mucin melalui aktivasi reseptor faktor pertumbuhan epidermal.
Hal ini menyebabkan kelebihan produksi mukus dan hipersekresi dari peningkatan
degranulasi oleh elastase yang dimediasi neutrofil. Hal ini diperparah oleh kesulitan
dalam membersihkan sekresi karena fungsi siliaris yang menurun, oklusi jalan napas
distal, dan batuk yang tidak efektif akibat kelemahan otot pernapasan akan mengurangi
arus ekspirasi puncak.
f. Komplikasi
Komplikasi utama bronkitis kronis adalah:
1) Gagal napas,
2) Pneumonia,
3) Pembesaran dan kelemahan ventrikel jantung kanan jantung

94
4) Pneumotoraks (kumpulan udara atau gas di paru-paru yang menyebabkan kolaps
paru),
5) Polisitemia (peningkatan konsentrasi sel darah merah),
6) Emfisema.

g. Pemeriksaan Diagnostik
Salah satu dari tes berikut dapat digunakan untuk membantu mengkonfirmasi diagnosis:
1) Pemeriksaan Sinar-X dada. Sebuah tes yang menggunakan radiasi sinar X untuk
membuat gambaran jaringan internal, tulang, dan organ, termasuk paru-paru.
2) Pemeriksaan gas darah arterial. Tes darah ini digunakan untuk menganalisis jumlah
karbon dioksida dan oksigen dalam darah.
3) Pemeriksaan Pulse Oxymetry. Oksimetri adalah alat untuk mengukur jumlah
oksigen dalam darah. Untuk mendapatkan pengukuran ini, sensor kecil ditempelkan
di jari tangan atau jari kaki. Saat mesin menyala, lampu merah kecil bisa dilihat di
sensor. Sensornya tidak menimbulkan rasa sakit dan lampu merahnya tidak menjadi
panas.
4) Pemeriksaan kultur nasal dan sputum. Menguji dahak bisa dilakukan untuk
menemukan dan mengidentifikasi mikroorganisme penyebab infeksi.
5) Tes fungsi paru. Tes yang membantu mengukur kemampuan fungsional paru-paru.

h. Penatalaksanaan Medis
Golongan obat yang digunakan untuk mengobati bronkitis kronis adalah
bronkodilator dan steroid.
1) Bronkodilator (misalnya albuterol [Ventolin, Proventil, AccuNeb, Vospire,
ProAir], metaproterenol [Alupent], formoterol [Foradil], salmeterol [Serevent])
bekerja dengan merelaksasi otot-otot polos yang mengelilingi bronkus, yang
memungkinkan saluran udara untuk melebar. Obat antikolinergik juga bisa
bertindak sebagai bronkodilator, termasuk tiotropium (Spiriva) dan ipratropium
(Atrovent).
2) Steroid (misalnya prednisone, methylprednisolone [Medrol, Depo-Medrol])
mengurangi reaksi inflamasi dan dengan demikian mengurangi pembengkakan dan akan

95
memperbaiki aliran udara pada jalan napas. Sering kali steroid inhalasi diberikan karena
memiliki efek samping minimal dibandingkan steroid sistemik (oral). Contohnya
termasuk budesonida (Pulmicort), flutikason (Flovent), beklometason (Qvar), dan
mometasone (Asmanex). Terapi kombinasi dengan kedua steroid dan bronkodilator
sering digunakan, antara lain flutikason/salmeterol (Advair), budesonide/formoterol
(Symbicort), dan mometasone/formoterol (Dulera).

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Anamnesis
Keluhan utama pada klien dengan bronkitis meliputi batuk, produksi sputum purulen,
demam dengan suhu tubuh dapat mencapai > 40oC, dan sesak napas.
2) Riwayat penyakit saat ini
Riwayat penyakit saat ini pada klien dengan bronkitis bervariasi tingkat keparahan dan
durasi penyakitnya. Bermula dari gejala batuk, hingga penyakit akut dengan
manifestasi klinis berat. Sebagai tanda-tanda terjadinya toksemia, klien dengan
bronkitis sering mengeluh malaise, demam, badan terasa lemah, keringat berlebih,
takikardia, dan takipnea. Sebagai tanda terjadinya iritasi, keluhan yang didapatkan
terdiri atas batuk, ekspektorasi/peningkatan produksi sekret, dan rasa sakit di bawah
sternum, penting ditanyakan oleh perawat mengenai obat-obatan yang telah atau biasa
diminum oleh klien untuk mengurangi keluhannya dan mengkaji kembali apakah obat-
obatan itu masih relevan untuk dipakai kembali.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu sering kali klien mengeluh pernah
mengalami infeksi saluran pernapasan bagian atas dan adanya riwayat alergi pada
saluran pernapasan atas.
4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pada pengkajian psikologis klien dengan bronkitis didapatkan klien sering
mengalami kecemasan sesuai dengan keluhan yang dialaminya di mana adanya
keluhan batuk, sesak napas, dan demam merupakan stresor penting yang menyebabkan
klien cemas. Perawat perlu memberikan dukungan moral dan memfasilitasi

96
pemenuhan informasi dengan tim medis untuk memprediksi prognosis penyakit dari
klien.
Kaji pengetahuan keluarga tentang pengobatan yang diberikan (nama, cara kerja,
frekuensi, efek samping, dan tanda-tanda terjadinya kelebihan dosis). Penatalaksanaan
nonfarmakologi, seperti olahraga secara teratur serta mencegah kontak dengan alergen
atau iritan (jika diketahui penyebab alergi), optimalkan sistem pendukung (support
system), dan berikan edukasi pada keluarga.
5) Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan bronkitis biasanya didapatkan
adanya peningkatan suhu tubuh lebih dari 40oC, peningkatan frekuensi napas,
peningkatan frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan.

b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas spasme
jalan napas, sekresi tertahan, banyaknya mukus.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau kelelahan.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis

97
a. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas spasme Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
jalan napas, sekresi tertahan, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
banyaknya mukus. dalam
Kriteria hasil: d. Posisikan klien memaksimalkan
a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
efektif dan suara napas yang e. Keluarkan sekret dengan batuk atau
bersih, tidak ada sianosis dan suction
dispnea (mampu mengeluarkan f. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sputum, bernapas dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) g. Berikan bronkodilator
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor status hemodinamika
paten (klien tidak merasa i. Berikan pelembap udara kasa NaCl lembap
tercekik, irama napas, frekuensi j. Berikan antibiotik
pernapasan dalam rentang k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
normal, tidak ada suara napas keseimbangan.
abnormal) l. Monitor respirasi dan status O2
c. Mampu mengidentifikasikan dan m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
mencegah faktor yang penyebab. mengencerkan sekret

98
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
e. Foto toraks dalam batas normal penggunaan peralatan: O2, suction, inhalasi
2. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan Exchange ventilasi
ketidakseimbangan suplai dan b. Keseimbangan asam Basa, b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
kebutuhan oksigen. Elektrolit c. Keluarkan sekret dengan batuk atau
c. Respiratory Status: Ventilation suction
d. Vital Sign Status d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
tambahan
Kriteria hasil: e. Berikan bronkodilator;
a. Mendemonstrasikan f. Berikan pelembap udara
peningkatan ventilasi dan g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
oksigenasi yang adekuat keseimbangan.
b. Memelihara kebersihan paru- h. Monitor respirasi dan status O2
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
distres pernapasan penggunaan otot tambahan, retraksi otot
c. Mendemonstrasikan batuk supraclavikula dan interkostal
efektif dan suara napas yang j. Monitor suara napas, seperti dengkur
bersih, tidak ada sianosis dan k. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
dispnea (mampu mengeluarkan kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
sputum, mampu bernapas biot
l. Auskultasi suara napas, catat area

99
dengan mudah, tidak ada pursed m. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
lips) n. suara tambahan
d. Tanda-tanda vital dalam rentang o. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
normal dan status mental
e. gas darah arteri dalam batas p. Observasi sianosis khususnya membran
normal mukosa
f. Status neurologis dalam batas q. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
normal persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
alat tambahan (O2, suction, inhalasi)
r. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
3. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan penurunan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
energi atau kelelahan Patency b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Vital Sign Status c. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Kriteria hasil: d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
a. Mendemonstrasikan batuk tambahan
efektif dan suara napas yang e. Berikan bronkodilator
bersih, tidak ada sianosis dan f. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dispnea (mampu mengeluarkan lembap
sputum, mampu bernapas

100
dengan mudah, tidak ada pursed g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
lips) keseimbangan.
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor respirasi dan status O2
paten (klien tidak merasa i. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
tercekik, irama napas, frekuensi j. Pertahankan jalan napas yang paten
pernapasan dalam rentang k. Observasi adanya tanda-tanda
normal, tidak ada suara napas hipoventilasi
abnormal) l. Monitor vital sign
e. Tanda-tanda vital dalam rentang m. Informasikan pada klien tentang teknik
normal (tekanan darah, nadi, relaksasi untuk memperbaiki pola napas
pernapasan) n. Ajarkan bagaimana batuk efektif
s. Monitor pola napas
4. Ketidakseimbangan nutrisi a. Nutritional status: Adequacy of a. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh Nutrient b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan b. Nutritional Status: Food and menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
ketidakmampuan untuk Fluid Intake dibutuhkan klien
memasukkan atau mencerna c. Weight Control c. Yakinkan diet yang dimakan mengandung
nutrisi oleh karena faktor tinggi serat untuk mencegah konstipasi
biologis. Setelah dilakukan tindakan keperawatan d. Ajarkan klien bagaimana membuat catatan
selama…. nutrisi kurang teratasi dengan makanan harian.
indikator: e. Monitor adanya penurunan BB dan gula
g. Albumin serum darah

101
h. Pre-albumin serum f. Monitor lingkungan selama makan
i. Hematokrit g. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
j. Hemoglobin selama jam makan
k. Total iron binding capacity h. Monitor turgor kulit
l. Jumlah limfosit i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva
l. Monitor intake nutrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
o. Kelola pemberian anti-emetik
p. Anjurkan banyak minum
q. Pertahankan terapi IV line
r. Catat adanya edema, hiperemia, hipertonik
papila lidah dan kavitasi oval

102
C. EMFISEMA
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Emfisema sering diartikan sebagai pola uniformis yang abnormal, distensi
permanen spasium udara dengan destruksi dinding alveolar. Pada kasus yang terjadi di
beberapa klien, terdapat predisposisi keluarga yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma.
b. Etiologi
Penyebab utama emfisema adalah paparan jangka panjang terhadap iritasi di udara,
antara lain asap tembakau, asap rokok, asap polusi kimia, dan debu. Namun, dalam
beberapa kasus, emfisema juga disebabkan oleh kelainan genetik, yakni adanya
defisiensi protein yang melindungi struktur elastis paru-paru. Ini biasanya disebut
defisiensi alpha 1-antitrypsin.
c. Faktor Risiko
1) Kebiasaan merokok, adalah penyebab utama timbulnya emfisema.
2) Adanya riwayat terpapar polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, seperti asap
dari kendaraan, asap kayu bakar.
3) Adanya hiperaktivitas bronkus.
4) Adanya riwayat infeksi saluran napas bawah berulang.
5) Kekurangan alfa 1 antitripsin, tapi penyebab ini jarang terdapat di Indonesia.

d. Tanda dan Gejala


Gejala utama dari emfisema adalah napas pendek atau lebih dikenal dengan istilah
dispnea. Klien kesulitan untuk menghembuskan napas keluar. Umumnya gejala ini akan
yang berkembang secara bertahap. Kemampuan klien dalam beraktivitas akan
mengalami penurunan. Emfisema bahkan bisa menyebabkan napas pendek walaupun
penderita sedang tidur. Selain napas pendek, gejala-gejala umum emfisema lainnya
adalah batuk dan suara mengi saat bernapas. Gejala lainnya adalah:
1) Kemampuan untuk berolahraga dan menjalani aktivitas sehari-hari menurun secara
bertahap.

103
2) Napas pendek sehingga tidak bisa menaiki tangga.
3) Bibir dan kuku menjadi biru atau abu-abu.
e. Klasifikasi
1) Panlobular (panasinar): ditandai oleh dilatasi keseluruhan asinus (bronkiolus
respiratorius, ductus alveolaris, dan sacus alveolaris). Terutama mengenai lobus
paru bagian bawah. Jenis ini berkaitan dengan defisiensi alfa 1 antitripsin.
2) Sentrilobular (sentriasinar): ditandai oleh dilatasi bagian proksimal asinus
(bronkiolus respiratorius). Lebih sering terjadi pada paru sebelah atas, biasanya
berkaitan dengan kebiasaan merokok.
3) Emfisema asinar distal: pada emfisema ini kerusakan lebih banyak mengenai
saluran napas distal, duktus dan sakus alveolar, terutama mengenai daerah septa
atau dekat pleura.
4) Emfisema ireguler. Disebut juga sebagai emfisema jaringan parut, biasanya
terlokalisir dan berbentuk ireguler tanpa gejala klinis.

f. Patofisiologi
Respons inflamasi pada emfisema terjadi karena proses peradangan yang didapat
atau diperoleh. Akumulasi komponen inflamasi ini berkontribusi pada cedera paru lebih
lanjut. Mobilisasi sel-sel inflamasi ke paru-paru menyebabkan pelepasan mediator yang
berpotensi merusak jaringan paru, termasuk protease dan sitokin, yang secara langsung
berkontribusi pada remodelling dan penghancuran jaringan. Mediator ini mencakup
faktor chemoattractant, terutama kemokin, yang berfungsi untuk menarik sel
peradangan tambahan. Respons inflamasi keseluruhan berfungsi untuk memicu sel
endotel vaskular dan sel epitel untuk mengaktivasi sitokin proinflamasi, kemokin, dan
mediator lainnya.
Selain peradangan, stres oksidatif akibat inhalasi asap rokok berperan penting
dalam menyebabkan emfisema. Dampak utama dari stres oksidatif adalah aktivasi faktor
transkripsi faktor nuklir-KB, yang mengaktifkan transkripsi sitokin proinflamasi. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa asap rokok menghambat deasetilase histon, yang
selanjutnya mendorong pelepasan sitokin proinflamasi.

104
Gambar 4.1 Mekanisme patogenik emfisema
(Sumber: Sharafkhaneh, dkk., 2008)

g. Komplikasi
1) Pneumotoraks. Paru yang rusak dapat mengancam jiwa penderita emfisema berat,
karena fungsi paru-paru mereka sudah sangat terganggu.
2) Gangguan jantung. Emfisema dapat meningkatkan tekanan di arteri yang
menghubungkan jantung dan paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan kondisi yang
disebut kor pulmonal, di mana bagian jantung membesar dan melemah.
3) Terbentuknya bula pada paru. Beberapa orang dengan emfisema mengalami
pembentukan ruang kosong di paru-paru yang disebut bula yang dapat berukuran
sebesar setengah paru-paru. Selain mengurangi jumlah ruang yang tersedia bagi
paru-paru untuk pertukaran gas, bula tersebut dapat meningkatkan risiko
pneumotoraks.

h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan foto dada
2) Uji fungsi pulmonal
3) Gas darah

105
i. Penatalaksanaan Medis
1) Aspirasi jarum (thoraco-sintesis) jika volume kecil dan cairan tidak terlalu kental.
2) Pemasangan torakostomi tube dengan agen fibrinolitik pada dinding toraks.
3) Torakotomi untuk mengurangi cairan pleura berlebih, nanah, dan untuk
menghilangkan jaringan paru yang sakit.
4) Decortication, operasi pengangkatan, jika peradangan sudah lama terjadi.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala: keletihan, kelelahan, malaise; ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari karena sulit bernapas; ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam
posisi duduk tinggi; dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau
latihan.
Tanda: keletihan, gelisah, insomnia; kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2) Sirkulasi
Gejala: kelemahan
Tanda: pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan tekanan darah,
peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena jugularis;
edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung; bunyi jantung redup;
warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis; pucat dapat
menunjukkan anemia
3) Makanan/Cairan
Gejala:
a) Mual/muntah, nafsu makan menurun/anoreksia
b) Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
c) Penurunan berat badan menetap, peningkatan berat badan menunjukkan edema
Tanda:
a) Turgor kulit buruk, edema dependen
b) Berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan
(emfisema)

106
4) Higiene
Gejala: penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehari-hari
Tanda: kebersihan buruk, bau badan
5) Pernapasan
Gejala:
a) Napas pendek (pernapasan dangkal dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada
emfisema) rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernapas
b) Sesak napas
c) Batuk
d) Episode batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun
dapat terjadi produktif
e) Riwayat pneumonia berulang: terpajan pada polusi kimia/iritan pernapasan dalam
jangka panjang (mis., rokok sigaret) atau debu/asap (mis., abses, debu atau batu
bara, serbuk gergaji)
f) Faktor keluarga dan keturunan, mis., defisiensi alfa-anti tripsin
Tanda:
a) Pernapasan: biasanya cepat, dapat lambat, penggunaan otot bantu pernapasan
b) Dada: hiperinflasi dengan peninggian diameter AP, gerakan diafragma minimal
c) Bunyi napas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi ronki, sepanjang area paru.
d) Perkusi: hiperesonan pada area paru
e) Warna: pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku.
6) Keamanan
Gejala: riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan;
7) Pemeriksaan fisik:
a) Inspeksi: Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada
berbentuk barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis
dorsal.
b) Palpasi: Ruang antar iga melebar, vokal fremitus menurun.
c) Perkusi : terdengar hipersonor.
d) Auskultasi :Suara napas berkurang, ronki bisa terdengar apabila ada dahak

107
b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi tertahan, banyaknya
mukus, sekresi bronkus, adanya eksudat di alveolus.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen akibat
obstruksi jalan napas oleh bronkospasme.
3) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.

108
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
sekresi tertahan, banyaknya Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
mukus, sekresi bronkus, adanya c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
eksudat di alveolus. dalam
Kriteria hasil: d. Posisikan klien memaksimalkan
a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
efektif dan suara napas yang e. Keluarkan sekret dengan batuk atau
bersih, tidak ada sianosis dan suction
dispnea (mampu mengeluarkan f. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sputum, bernapas dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) g. Berikan bronkodilator
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor status hemodinamika
paten (klien tidak merasa i. Berikan pelembap udara kasa NaCl lembap
tercekik, irama napas, frekuensi j. Berikan antibiotik
pernapasan dalam rentang k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
normal, tidak ada suara napas keseimbangan.
abnormal) l. Monitor respirasi dan status O2
c. Mampu mengidentifikasikan dan m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
mencegah faktor yang penyebab. mengencerkan sekret

109
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
e. Foto toraks dalam batas normal penggunaan peralatan: O2, suction,
inhalasi
2. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan kurangnya Exchange ventilasi
suplai oksigen akibat obstruksi b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
jalan napas oleh bronkospasme. Elektrolit c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Respiratory Status: Ventilation d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
d. Vital Sign Status suction
e. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
Kriteria hasil: tambahan
a. Mendemonstrasikan f. Berikan bronkodilator;
peningkatan ventilasi dan g. Berikan pelembap udara
oksigenasi yang adekuat h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
b. Memelihara kebersihan paru- keseimbangan.
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Monitor respirasi dan status O2
distres pernapasan j. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
c. Mendemonstrasikan batuk penggunaan otot tambahan, retraksi otot
efektif dan suara napas yang supraclavikula dan interkostal
bersih, tidak ada sianosis dan k. Monitor suara napas, seperti dengkur
dispnea (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernapas

110
dengan mudah, tidak ada pursed l. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
lips) kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
d. Tanda-tanda vital dalam rentang biot
normal m. Auskultasi suara napas, catat area
e. gas darah arteri dalam batas n. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
normal o. suara tambahan
f. Status neurologis dalam batas p. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
normal dan ststus mental
q. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
r. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
alat tambahan (O2, suction, Inhalasi)
s. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
3. Ketidakseimbangan nutrisi: a. Nutritional status: Adequacy of a. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh Nutrient b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan anoreksia. b. Nutritional Status: Food and menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
Fluid Intake dibutuhkan klien
c. Weight Control c. Yakinkan diet yang dimakan mengandung
tinggi serat untuk mencegah konstipasi

111
Setelah dilakukan tindakan keperawatan d. Ajarkan klien bagaimana membuat catatan
selama…. nutrisi kurang teratasi dengan makanan harian.
indikator: e. Monitor adanya penurunan BB dan gula
a. Albumin serum darah
b. Pre-albumin serum f. Monitor lingkungan selama makan
c. Hematokrit g. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
d. Hemoglobin selama jam makan
e. Total iron binding capacity h. Monitor turgor kulit
f. Jumlah limfosit i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva
l. Monitor intake nutrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
o. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan

112
p. Kelola pemberian anti-emetik
q. Anjurkan banyak minum
r. Pertahankan terapi IV line
s. Catat adanya edema, hiperemia, hipertonik
papila lidah dan kavitasi oval

113
B. ASMA
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Asma adalah penyakit obstruksi jalan napas yang ditandai oleh penyempitan jalan
napas. Penyempitan jalan napas akan mengakibatkan klien mengalami dispnea, batuk,
dan mengi. Eksaserbasi akut terjadi dari beberapa menit sampai jam, bergantian dengan
periode bebas gejala.
Asma adalah penyakit yang dapat menyerang semua golongan, tanpa pandang bulu.
Penyakit asma memang muncul sejak kanak-kanak, setengah dari asma berkembang pada
masa kecil, sepertiganya terjadi sebelum usia empat puluh.
Asma dapat disebabkan oleh alergi, idiopatik (non-alergis) atau keduanya. Asma
alergi disebabkan oleh alergi yang tampak mata, misalkan serbuk, debu, kontak dengan
binatang, bulu-bulu binatang. Sedangkan asma idiopatik disebabkan tidak berkaitan
dengan alergi spesifik. Faktor uang dapat memicu asma idiopatik, seperti infeksi
pernapasan, emosi, dan polusi lingkungan. Ada juga asma yang disebabkan karena alergi
dan idiopatik (gabungan). Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum terjadi.
Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan tahun 2013, memperkirakan jumlah
klien asma di Indonesia mencapai 4,5% dari total jumlah penduduk. Provinsi Sulawesi
Tengah menduduki peringkat pertama penderita asma terbanyak, dengan jumlah 7,8%
dari total jumlah penduduk.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2014, mengeluarkan peringkat
negara di dunia perihal kematian akibat penyakit asma dan Indonesia menempati urutan
ke-19 dalam daftar tersebut. Menurut WHO, angka kematian akibat penyakit asma di
Indonesia mencapai 24.773 orang atau sekitar 1,77% dari total jumlah kematian
penduduk.

b. Etiologi
Penyebab mendasar asma tidak sepenuhnya dipahami. Faktor risiko terkuat
terjadinya asma adalah kombinasi predisposisi genetik dengan paparan lingkungan

114
terhadap zat dan partikel yang dihirup yang dapat memicu reaksi alergi atau mengganggu
saluran napas, seperti:
1) alergen dalam ruangan (misalnya tungau debu rumah di tempat tidur, karpet dan
perabotan boneka, polusi dan bulu binatang peliharaan)
2) alergen luar ruangan (seperti serbuk sari dan jamur)
3) asap tembakau
4) iritasi kimia di tempat kerja
5) polusi udara

Pemicu lainnya bisa termasuk udara dingin, rangsangan emosional ekstrem, seperti
kemarahan atau ketakutan, dan latihan fisik. Bahkan, obat tertentu dapat memicu asma,
misalnya aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid lainnya, dan beta-blocker (yang
digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, kondisi jantung dan migrain) (WHO,
2014).
c. Faktor Risiko
Secara umum, faktor risiko terdiri dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Berikut
ini merupakan deskripsi kedua faktor tersebut.
Tabel 4.1 Faktor Risiko Asma
Faktor Genetik Faktor Lingkungan
Hiperaktivitas Alergen di dalam ruangan (tungau debu
rumah, kucing, alternaria/jamur, dll.)
Atopi/alergi bronkus Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung
sari)
Faktor yang memodifikasi penyakit Makanan (bahan penyedap, pengawet,
genetik pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu, sapi, telur)
Jenis kelamin Obat-obatan tertentu (misalnya, golongan
aspirin, NSAID, β-bloker, dll.)
Ras/etnik Bahan yang mengiritasi (misalnya, parfum,
household spray, dan lain-lain)
(Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Kemenkes RI, 2009)

115
d. Tanda dan Gejala
1) Secara umum asma mempunyai gejala seperti batuk (dengan atau tanpa lendir),
dispnea, dan mengi.
2) Asma bisanya menyerang pada malam hari atau di pagi hari.
3) Eksaserbasi sering didahului dengan meningkatnya gejala selama berhari-hari, tapi
bisa juga terjadi secara tiba-tiba.
4) Pernapasan berat dan mengi.
5) Obstruksi jalan napas yang memperburuk yang memperburuk dispnea.
6) Batuk kering pada awalnya: diikuti dengan batuk yang lebih kuat dengan produksi
sputum berlebih.
7) Gejala tambahan seperti diaforesis, takikardi, dan tekanan nadi yang melebar.

e. Klasifikasi
Derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
diklasifikasikan ke dalam empat tingkat, yaitu intermiten, persisten ringan, persisten
sedang, dan persisten berat.

Tabel 4.2. Klasifikasi Derajat Asma pada Orang Dewasa


Derajat Gejala Gejala Faal Paru
Asma Malam
Intermiten Bulanan ≤ 2 kali APE (𝐴𝑟𝑢𝑠 𝑃𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 𝐸𝑘𝑠𝑝𝑖𝑟𝑎𝑠𝑖) ≥
sebulan 80%
Gejala < 1x per VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥
minggu 80% nilai terbaik
Tanpa gejala di Variabilitas APE < 20%
luar serangan
Serangan singkat

Persisten Mingguan APE > 80%


ringan

116
Gejala > 1x per > 2 kali VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥
minggu tetapi < 1x sebulan 80% nilai terbaik
per hari
Serangan dapat Variabilitas APE 20-30%
mengganggu
aktivitas dan tidur

Persisten Harian APE 60-80%


sedang
Gejala setiap hari > 2 kali VEP1 60-80% nilai prediksi APE
sebulan 60-80% nilai terbaik
Serangan Variabilitas APE > 30%
mengganggu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari

Persisten Kontinu APE ≤ 60%


berat
Gejala terus Sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi APE ≤
menerus 60% nilai terbaik
Sering kambuh Variabilitas APE > 30%
Aktivitas fisik
terbatas

(Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Kemenkes RI, 2009)

f. Patofisiologi
Inflamasi saluran napas pada klien asma merupakan hal yang mendasari gangguan
fungsi yaitu terdapatnya obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran
udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan (Sundaru, 2009).
Obstruksi pada klien asma dapat disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi
bronkus yang menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi
bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Smeltzer dkk., 2010).
Keterbatasan aliran udara disebabkan oleh berbagai perubahan di jalan napas, antara lain:

117
1) Bronkokonstriksi. Pada asma, kejadian fisiologis dominan yang menyebabkan gejala
klinis adalah penyempitan saluran napas dan gangguan berikutnya dengan aliran
udara. Pada eksaserbasi asma akut, kontraksi otot polos bronkial (bronkokonstriksi)
terjadi dengan cepat untuk mempersempit jalan napas sebagai respons terhadap
paparan berbagai rangsangan termasuk alergen atau iritasi. Alergen akan
menstimulasi pelepasan mediator IgE mencakup histamin, tryptase, leukotrien, dan
prostaglandin yang secara langsung mengendalikan otot polos jalan napas (Busse dan
Lemanske, 2001).
2) Edema jalan napas. Edema pada jalan napas terjadi karena proses peradangan berupa
peningkatan permeabilitas vascular. Edama jalan napas tersebut akan mempersempit
diameter bronkus dan membatasi aliran udara. Selain itu, perubahan struktural
termasuk hipertrofi dan hiperplasia pada otot polos saluran napas juga dapat
berpengaruh.
3) Hipersekresi mukus. Sekresi mukus terjadi sebagai mekanisme fisiologis dari
masuknya iritan. Pada asma bronkhial, pengeluaran mukus terjadi secara berlebihan
sehingga semakin mengganggu bersihan jalan napas.
g. Komplikasi
Asma yang tidak ditangani dengan baik dapat memiliki efek buruk pada kualitas
hidup seseorang. Kondisi tersebut bisa mengakibatkan kelelahan, kinerja menurun,
masalah psikologis termasuk stres, kecemasan, dan depresi. Dalam kasus yang jarang
terjadi, asma dapat menyebabkan sejumlah komplikasi pernapasan serius, termasuk:
1) pneumonia (infeksi paru-paru);
2) kerusakan sebagian atau seluruh paru-paru;
3) gagal napas, di mana kadar oksigen dalam darah menjadi sangat rendah atau kadar
karbon dioksida menjadi sangat tinggi;
4) status asthmaticus (serangan asma berat yang tidak merespons pengobatan).

h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter.
2) Uji revisibilitas (dengan bronkodilator).
3) Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada atau tidaknya hiperaktivitas bronkus.

118
4) Uji alergi (skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
5) Foto toraks untuk menyingkirkan penyakit selain asma.

i. Penatalaksanaan Medis
1) Obat pengontrol asma jangka panjang, umumnya dikonsumsi setiap hari. Jenis
pengobatan kontrol jangka panjang meliputi:
a) Inhalasi kortikosteroid. Obat antiinflamasi ini meliputi fluticasone (Flonase,
Flovent HFA), budesonide (Pulmicort Flexhaler, Rhinocort), flunisolide
(Aerospan HFA), ciclesonide (Alvesco, Omnaris, Zetonna), beklometason
(Qnasl, Qvar), mometasone (Asmanex) dan fluticasone furoate (Arnuity Ellipta).
Tidak seperti kortikosteroid oral, obat kortikosteroid ini memiliki risiko efek
samping yang relatif rendah dan umumnya aman untuk penggunaan jangka
panjang.
b) Leukotrien modifier. Obat oral ini membantu meringankan gejala asma hingga
24 jam. Yang termasuk obat jenis ini antara lain montelukast (Singulair),
zafirlukast (Accolate) dan zileuton (Zyflo). Dalam kasus yang jarang terjadi,
obat-obatan ini dikaitkan dengan reaksi psikologis, seperti agitasi, agresi,
halusinasi, depresi, dan pemikiran bunuh diri.
c) Agonis beta long acting. Obat inhalasi meliputi salmeterol (Serevent) dan
formoterol (Foradil, Perforomist) yang berfungsi membuka saluran udara.
d) Inhaler kombinasi. Obat-obat ini mengandung agonis beta long acting
bersamaan dengan kortikosteroid. Yang termasuk jenis ini antara lain
fluticasone-salmeterol (Advair Diskus), budesonide-formoterol (Symbicort) dan
formoterol-mometasone (Dulera).
e) Teofilin (Theo-24, Elixophyllin) adalah terapi oral rutin yang membantu dilatasi
bronkus (bronkodilator) dengan merelaksasi otot-otot di sekitar saluran udara.
2) Obat emergency digunakan sesuai kebutuhan untuk pemulihan gejala jangka pendek
yang cepat selama serangan asma. Jenis obat ini meliputi:
a) Bronkodilator kerja cepat (short acting), bertindak dalam beberapa menit untuk
segera mengurangi gejala selama serangan asma. Obat yang termasuk golongan

119
ini antara lain albuterol (ProAir HFA, Ventolin HFA, lainnya) dan levalbuterol
(Xopenex). Obat ini digunakan dengan inhaler genggam atau nebulizer portabel.
b) Ipratropium (Atrovent). Seperti bronkodilator lainnya, ipratropium bekerja cepat
untuk segera merelaksasikan saluran napas. Ipratropium banyak digunakan
untuk emfisema dan bronkitis kronis, tapi kadang digunakan untuk mengobati
serangan asma.
c) Kortikosteroid oral dan intravena. Obat-obat ini meredakan peradangan saluran
napas yang disebabkan oleh asma berat. Yang termasuk dalam obat ini antara
lain prednison dan methylprednisolone. Obat ini dapat menyebabkan efek
samping yang serius bila digunakan dalam jangka panjang, jadi obat ini hanya
digunakan secara jangka pendek untuk mengobati gejala asma yang parah.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Secara umum, untuk menegakkan diagnosis asma, dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Depkes RI, 2009).
1) Anamnesis
Tanyakan kepada klien:
a) Apakah terdapat batuk yang berulang terutama pada malam hari menjelang dini
hari?
b) Apakah klien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan
alergen atau polutan (pencetus)?
c) Apakah pada waktu klien mengalami selesma (common cold), klien merasakan
sesak di dada? Apakah selesmanya menjadi berkepanjangan (selama 10 hari atau
lebih)?
d) Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktivitas
atau olah raga?
e) Apakah gejala-gejala yang telah disebutkan sebelumnya berkurang atau hilang
setelah dilakukan pemberian (bronkodilator)?
f) Apakah terjadi batuk, mengi, sesak di dada ketika ada perubahan
musim/cuaca/suhu yang ekstrem (perubahan yang tiba-tiba)?

120
g) Apakah terdapat alergi lain yang diderita?
h) Apakah di dalam keluarga, terdapat anggota yang memiliki asma atau alergi?
2) Pemeriksaan Fisik
Perhatikan tanda-tanda asma yang paling sering muncul, seperti mengi. Pada asma
yang sangat berat, mengi tidak terdengar; klien dalam keadaan sianosis; dan kondisi
kesadaran menurun. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
a) Inspeksi: klien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi
sela iga, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis.
b) Palpasi: biasanya tidak terdapat kelainan yang nyata (pada serangan berat, dapat
terjadi pulsus paradoksus).
c) Perkusi: biasanya tidak terdapat kelainan yang nyata.
d) Auskultasi: ekspirasi memanjang, mengi (wheezing), ronchi.

b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas spasme
jalan napas, sekresi tertahan, banyaknya mukus, adanya jalan napas buatan, sekresi
bronkus.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau kelelahan.
4) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, pola interaksi.

121
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas spasme Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
jalan napas, sekresi tertahan, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
banyaknya mukus, adanya jalan dalam
napas buatan, sekresi bronkus. Kriteria hasil: d. Posisikan klien memaksimalkan
a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
efektif dan suara napas yang e. Keluarkan sekret dengan batuk atau
bersih, tidak ada sianosis dan suction
dispnea (mampu mengeluarkan f. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sputum, bernapas dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) g. Berikan bronkodilator
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor status hemodinamika
paten (klien tidak merasa i. Berikan pelembap udara dengan kasa NaCl
tercekik, irama napas, frekuensi lembap
pernapasan dalam rentang j. Berikan antibiotik
normal, tidak ada suara napas k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
abnormal) keseimbangan.
c. Mampu mengidentifikasikan dan l. Monitor respirasi dan status O2
mencegah faktor yang penyebab.

122
d. Saturasi O2 dalam batas normal m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
e. Foto toraks dalam batas normal mengencerkan sekret
n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
penggunaan peralatan: O2, suction, inhalasi
2. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas
ketidakseimbangan antara suplai c. Konservasi energi secara bergantian
dan kebutuhan oksigen. c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
Kriteria hasil: berkala
a. Menunjukkan toleransi aktivitas d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
b. Menampilkan aktivitas kehidupan memberikan terapi yang tepat
sehari–hari
3. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan penurunan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
energi atau kelelahan. Patency b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Vital Sign Status c. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Kriteria hasil: d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
a. Mendemonstrasikan batuk tambahan
efektif dan suara napas yang e. Berikan bronkodilator
bersih, tidak ada sianosis dan f. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dispnea (mampu mengeluarkan lembap

123
sputum, mampu bernapas g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dengan mudah, tidak ada pursed keseimbangan.
lips) h. Monitor respirasi dan status O2
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
paten (klien tidak merasa j. Pertahankan jalan napas yang paten
tercekik, irama napas, frekuensi k. Observasi adanya tanda-tanda
pernapasan dalam rentang hipoventilasi
normal, tidak ada suara napas l. Monitor vital sign
abnormal) m. Informasikan pada klien tentang teknik
c. Tanda-tanda vital dalam rentang relaksasi untuk memperbaiki pola napas
normal (tekanan darah, nadi, n. Ajarkan bagaimana batuk efektif
pernapasan) o. Monitor pola napas
4. Ansietas berhubungan dengan Kriteria hasil: a. Tinjau ulang pengalaman klien/orang terdekat
krisis situasi, pola interaksi b. Cemas klien berkurang sebelumnya dengan kanker
c. Koping klien adaptif b. Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaannya
c. Pertahankan kontak dengan klien
d. Bantu klien dalam mengenali dan
mengklarifikasi rasa takut untuk memulai
mengembangkan strategi koping untuk
menghadapi rasa takut
e. Tingkatkan lingkungan tenang

124
B. BRONKIEKTASIS
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan dilatasi
bronkus dan bronkiolus yang bersifat menetap serta terjadinya penebalan dinding
bronkus. Keadaan ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan
inflamasi yang diikuti dengan pelepasan mediator. Patogenesis dari bronkiektasis
mempunyai banyak faktor yang berperan. Terdapat empat teori yang menjelaskan
patogenesis bronkietaksis sebagai berikut.
1) The pressure of secretion theory
Teori ini menjelaskan sekret yang kental mula-mula menyebabkan obstruksi,
kemudian diikuti dengan pelebaran saluran respiratorik.
2) Atelectasis theory
Menurut teori ini, dilatasi bronkus terjadi akibat peningkatan tekanan negatif
intrapleural.
3) Traction theory
Fibrosis dan jaringan parut akibat penyakit parenkim paru menyebabkan traksi
dinding bronkus.
4) Infection theory
Infeksi dan respons inflamasinya merupakan penyebab utama dan menjadi
penyebab utama kerusakan struktur penunjang dinding bronkus.

b. Etiologi
Secara umum, penyebab bronkiektasis antara lain:
1) Infeksi campak, TB, dan pertusis, terutama di negara yang sedang berkembang.
Strategi program imunisasi pada anak telah berhasil menurunkan insiden
bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis. Di sisi lain, ternyata infeksi saluran
respiratorik lainnya yang terjadi pada anak juga dapat menyebabkan kerusakan
saluran respiratorik yang permanen.

125
2) Aspirasi benda asing. Adanya benda asing yang menutupi jalan napas akan
menyebabkan obstruksi kronis dan inflamasi. Kedua hal tersebut adalah faktor
terpenting pada proses terjadinya bronkiektasis.
3) Kelainan kongenital, seperti:
a) Fibrosis kistik. Hal ini paling banyak terjadi di negara maju. Adanya infiltrasi
yang tampak di lobus paru-atas pada foto rontgen toraks, dan ditemukannya
pertumbuhan S. aureus atau P. aeruginosa pada kultur sputum, merupakan
tanda bahwa fibrosis kistik merupakan penyakit yang mendasarinya. Adanya
peningkatan konsentrasi natrium dan klorida pada sweat chloride test
mendukung terjadinya fibrosis kistik.
b) Primary cillary dyskinesia (PCD). Adalah keadaan kurang atau tidak
berfungsinya silia, sehingga sekret bertumpuk dan terjadi infeksi rekuren yang
menyebabkan bronkiektasis. Kelainan ini bersifat diturunkan sebagai
autosomal resesif. Lebih kurang 50% klien dengan PCD menunjukkan sindrom
Kartagener (bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus).
c) Marfan syndrome. Rentannya klien sindrom marfan terhadap kejadian
bronkiektasis adalah akibat kelemahan jaringan ikat.
d) Bruton agammaglobulinemia
e) Mounier-Kuhn syndrome (congenital tracheobronchomegaly), yaitu kelainan
jaringan ikat.
f) Williams-Campbell syndrome, yaitu tidak adanya otot dan kartilago bronkus.
g) Sekuestrasi paru.

4) Defisiensi imun. Individu yang menunjukkan sindrom defisiensi imun yang


melibatkan defisiensi IgG, IgM, dan IgA mempunyai risiko mendapatkan infeksi
sinopulmoner supuratif berulang dan bronkiektasis.
5) Kelainan jaringan ikat, meliputi rheumatoid arthritis (RA) dan systemic lupus
erythematosus (SLE). Bronkiektasis mendahului terjadinya atritis atau terjadi
selama perjalanan penyakit RA. Di klinik khusus RA, kejadian bronkiektasis terjadi
pada 1−3% klien RA, tetapi dengan penggunaan HRCT, prevalensinya meningkat
hingga 30%.

126
6) Infeksi HIV. Klien pengidap HIV sering mengalami infeksi saluran respiratorik
berulang dan menunjukkan jumlah sel CD4 yang rendah.
7) Komplikasi allergic bronchopulmonary fungal diseases (misalnya allergic
bronchopulmonary aspergillosis/ABPA). ABPA adalah suatu keadaan di mana
klien mengalami kerusakan saluran respiratorik akibat berbagai faktor.
Bronkiektasis pada klien dengan ABPA disebabkan oleh reaksi imun terhadap
aspergilus, mikotoksin, elastase, IL-4, dan IL-5, yang pada tahap akhir akibat invasi
langsung dari fungus ke saluran respiratorik.
8) Defisiensi alpha 1-antitrypsin (alpha1-protease) inhibitor.

c. Faktor Risiko
1) Protein CFTR yang tidak ada atau disfungsional pada sel bronkial pada fibrosis
kistik (cystic fibrosis/CF).
2) Memiliki penyakit sistemik yang berhubungan dengan bronkiektasis.
3) Infeksi paru kronis atau parah (seperti tuberkulosis, atau TB) yang merusak saluran
pernapasan.

d. Tanda dan Gejala


1) Batuk kronis dan produksi sputum purulen yang berlebihan.
2) Hemoptisis, clubbing jari dan infeksi pulmonal yang berulang.

e. Klasifikasi
Bronkiektasis dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk-bentuk berikut secara morfologis:
1) Bronkiektasis tubule: bronkus berukuran lebih besar dan berbentuk silinder.
2) Varises bronkiektasis: bronkus tidak teratur dengan daerah dilatasi dan
penyempitan.
3) Kistik: dilatasi bronkus bentuk kista. Ini adalah bentuk bronkiektasis yang paling
parah dan sering ditemukan pada klien dengan fibrosis kistik.

127
f. Patofisiologi
Reid dalam King (2009) mengategorikan bronkiektasis ke dalam tiga fenotipe
utama, yaitu: 1) tubular yang ditandai dengan pelebaran bronkial yang halus; 2) varises
di mana bronkus dilatasi dengan beberapa lekukan; dan 3) kistik di mana dilatasi
bronkus berakhir di sakus alveolaris.
Bronkiektasis folikular ditandai dengan adanya folikel limfoid di dinding bronkial.
Proses inflamasi dimulai di jalan napas kecil. Peradangan saluran udara kecil ini
menyebabkan pelepasan mediator, seperti protese yang merusak saluran udara besar
yang menyebabkan hilangnya elastin dan komponen lainnya, seperti otot dan tulang
rawan yang mengakibatkan pelebaran bronkial. Dengan perkembangan penyakit folikel,
limfoid membesar dan menyebabkan penyumbatan aliran udara ke saluran udara kecil.
Manifestasi akhir adalah penyebaran peradangan di luar saluran udara yang
menyebabkan terjadinya pneumonia interstisial. Hogg, dkk. dalam King (2009),
menggambarkan folikel limfoid serupa pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
yang memiliki hubungan kuat dengan penebalan dinding bronkial dan obstruksi aliran
udara.
Jenis sel yang terlibat dalam proses inflamasi pada bronkiektasis adalah neutrofil,
limfosit, dan makrofag. Neutrofil adalah tipe sel yang paling menonjol di lumen bronkial
dan melepaskan mediator, terutama protese/elastase yang menyebabkan pelebaran
bronkial (bronkiektasis). Infiltrasi di dinding sel didominasi oleh makrofag dan limfosit.
Studi telah melaporkan bahwa limfosit utama adalah sel T. Sel ini cenderung
menghasilkan folikel limfoid. Selain itu, emfisema juga bisa terjadi pada bronkiektasis
g. Komplikasi
Dalam beberapa kasus, klien dengan bronkiektasis dapat mengalami komplikasi
serius yang memerlukan perawatan darurat. Komplikasi yang bisa terjadi adalah batuk
darah dalam jumlah besar (hemoptisis). Hal ini dapat terjadi bila salah satu bagian dari
pembuluh darah yang memasok paru-paru tiba-tiba pecah/ruptur. Gejala yang mungkin
menunjukkan hemoptisis masif meliputi:
a) batuk darah lebih dari 100 ml dalam periode 24 jam,
b) kesulitan bernapas yang disebabkan oleh darah yang menghalangi saluran udara,
c) pusing, kulit dingin dan lembap disebabkan oleh kehilangan darah yang cepat.

128
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Petunjuk diagnostik yang akurat adalah dengan melihat riwayat batuk produktif
yang berkepanjangan dengan dahak secara konsisten negatif untuk basil
tuberkulosis.
2) Diagnosis dilakukan setalah dilakukan CT Scan.

i. Penatalaksanaan Medis
1) Fisioterapi dada dengan perkusi; drainase postural, ekspektoran, atau bronkoskopi
untuk menghilangkan sekresi bronkial.
2) Terapi antimikroba dipandu oleh studi kepekaan sputum.
3) Vaksinasi terhadap influenza dan pneumonia pneumokokus.
4) Bronkodilator.
5) Berhenti merokok.
6) Intervensi bedah (reseksi segmental lobus atau pembuangan paru-paru), jarang
digunakan. Dalam persiapan operasi: drainase postural yang kuat, suction melalui
bronkoskop, dan terapi antibakteri.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang:
a) Merokok produk tembakau sebagai faktor penyebab utama
b) Tinggal atau bekerja daerah dengan polusi udara berat
c) Riwayat alergi pada keluarga
d) Ada riwayat asma pada masa anak-anak
2) Riwayat atau adanya faktor-faktor pencetus eksaserbasi, seperti:
a) Alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari atau jamur)
b) Stres emosional
c) Aktivitas fisik yang berlebihan
d) Polusi udara
e) Infeksi saluran napas

129
f) Kegagalan program pengobatan yang dianjurkan
3) Pemeriksaan fisik berdasarkan fokus pada sistem pernapasan yang meliputi:
a) Kaji frekuensi dan irama pernapasan.
b) Inspeksi warna kulit dan warna membran mukosa.
c) Auskultasi bunyi napas.
d) Pastikan bila klien menggunakan otot-otot aksesori bila bernapas:
i. Mengangkat bahu pada saat bernapas
ii. Retraksi otot-otot abdomen pada saat bernapas
iii. Pernapasan cuping hidung
e) Kaji ekspansi dada asimetris.
f) Kaji nyeri dada pada saat bernapas.
g) Kaji batuk (apakah produktif atau nonproduktif). Bila produktif tentukan warna
sputum.
h) Tentukan apakah klien mengalami dispnea atau ortopnea.
i) Kaji tingkat kesadaran.

4) Pemeriksaan diagnostik meliputi:


a) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi
b) Sinar X dada menunjukkan peningkatan kapasitas paru dan volume cadangan
c) Kultur sputum positif bila ada infeksi
d) Immunoglobulin assay menunjukkan adanya peningkatan IgE serum
e) Tes fungsi paru untuk mengetahui penyebab dispnea dan menentukan apakah
terdapat perubahan fungsi paru ( obstruksi atau restriksi)
f) Tes hemoglobin
g) EKG ( peninggian gelombang P psada lead II, III, AVF dan aksis vertikal)
5) Kaji persepsi diri klien.
6) Kaji berat badan dan masukan rata-rata cairan dan diet.

130
b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif obstruksi jalan napas spasme jalan napas, sekresi
tertahan, banyaknya mukus, adanya jalan napas buatan, sekresi bronkus, adanya
eksudat di alveolus.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan
kerusakan alveoli.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor
biologis.
5) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan proses penyakit kronis,
malnutrisi.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas.

131
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas spasme Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
jalan napas, sekresi tertahan, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
banyaknya mukus, adanya jalan dalam
napas buatan, sekresi bronkus, Kriteria hasil: d. Posisikan klien untuk memaksimalkan
adanya eksudat di alveolus. a. Mendemonstrasikan batuk e. ventilasi
efektif dan suara napas yang f. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
bersih, tidak ada sianosis dan g. Keluarkan sekret dengan batuk atau
dispnea (mampu mengeluarkan suction
sputum, bernapas dengan h. Auskultasi suara napas, catat adanya
mudah, tidak ada pursed lips) suara tambahan
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Berikan bronkodilator:………………..
paten (klien tidak merasa j. Monitor status hemodinamika
tercekik, irama napas, frekuensi k. Berikan pelembap udara kassa basah
pernapasan dalam rentang NaCl lembap
normal, tidak ada suara napas l. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
abnormal) keseimbangan.
c. Mampu mengidentifikasikan dan m. Monitor respirasi dan status O2
mencegah faktor yang penyebab.

132
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
e. Foto toraks dalam batas normal mengencerkan sekret
o. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
penggunaan peralatan: O2, Suction,
Inhalasi
2. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
ketidakseimbangan suplai dan Patency b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
kebutuhan oksigen. c. Vital Sign Status c. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Kriteria hasil: d. Auskultasi suara napas, catat adanya
a. Mendemonstrasikan batuk suara tambahan
efektif dan suara napas yang e. Berikan bronkodilator
bersih, tidak ada sianosis dan f. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dispnea (mampu mengeluarkan lembap
sputum, mampu bernapas g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dengan mudah, tidak ada pursed keseimbangan.
lips) h. Monitor respirasi dan status O2
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Bersihkan mulut, hidung dan sekret
paten (klien tidak merasa trakea
tercekik, irama napas, frekuensi j. Pertahankan jalan napas yang paten
pernapasan dalam rentang

133
normal, tidak ada suara napas k. Observasi adanya tanda-tanda
abnormal) hipoventilasi
c. Tanda-tanda vital dalam rentang l. Monitor vital sign
normal (tekanan darah, nadi, m. Informasikan pada klien tentang teknik
pernapasan) relaksasi untuk memperbaiki pola napas
n. Ajarkan bagaimana batuk efektif
o. Monitor pola napas
3. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan gangguan Exchange ventilasi
suplai oksigen dan kerusakan b. Keseimbangan asam Basa, b. Keluarkan sekret dengan batuk atau
alveoli. Elektrolit suction
c. Respiratory Status: Ventilation c. Auskultasi suara napas, catat adanya
d. Vital Sign Status suara tambahan
d. Berikan bronkodilator;
Kriteria hasil: e. Berikan pelembap udara
a. Mendemonstrasikan f. Monitor respirasi dan status O2
peningkatan ventilasi dan g. Catat pergerakan dada, amati
oksigenasi yang adekuat kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
b. Memelihara kebersihan paru- retraksi otot supraclavikula dan
paru dan bebas dari tanda-tanda interkostal
distres pernapasan h. Monitor suara napas, seperti dengkur

134
c. Mendemonstrasikan batuk i. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
efektif dan suara napas yang kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
bersih, tidak ada sianosis dan biot
dispnea (mampu mengeluarkan j. Auskultasi suara napas, catat area
sputum, mampu bernapas k. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
dengan mudah, tidak ada pursed suara tambahan
lips) l. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
d. Tanda-tanda vital dalam rentang dan ststus mental
normal m. Observasi sianosis khususnya membran
e. gas darah arteri dalam batas mukosa
normal n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
f. Status neurologis dalam batas persiapan tindakan dan tujuan
normal penggunaan alat tambahan (O2, Suction,
Inhalasi)
o. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
4. Ketidakseimbangan nutrisi a. Nutritional status: Adequacy of a. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh Nutrient b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan b. Nutritional Status: Food and menentukan jumlah kalori dan nutrisi
ketidakmampuan untuk Fluid Intake yang dibutuhkan klien
memasukkan atau mencerna c. Weight Control

135
nutrisi oleh karena faktor Setelah dilakukan tindakan keperawatan c. Yakinkan diet yang dimakan
biologis. selama…. nutrisi kurang teratasi dengan mengandung tinggi serat untuk mencegah
indikator: konstipasi
a. Albumin serum d. Monitor adanya penurunan BB dan gula
b. Pre-albumin serum darah
c. Hematokrit e. Monitor lingkungan selama makan
d. Hemoglobin f. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
e. Total iron binding capacity selama jam makan
f. Jumlah limfosit g. Monitor turgor kulit
h. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
i. Monitor mual dan muntah
j. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
k. Monitor intake nutrisi
l. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
m. Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.

136
n. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
o. Kelola pemberian anti-emetik
p. Anjurkan banyak minum
q. Pertahankan terapi IV line
r. Catat adanya edema, hiperemia,
hipertonik papila lidah dan kavitasi oval
5. Risiko tinggi terhadap infeksi a. Risk control a. Tingkatkan prosedur mencuci tangan
berhubungan dengan proses b. Immune status b. Tempatkan pada isolasi sesuai indikasi
penyakit kronis, malnutrisi. c. Tekankan personal higiene
Kriteria hasil: d. Pantau suhu
a. Mampu mencegah cedera e. Kaji semua sistem (kulit, pernapasan,
b. Tidak demam dan mencapai genitourinaria) terhadap tanda dan gejala
pemulihan tepat pada waktunya infeksi secara kontinu
f. Berikan antibiotik sesuai indikasi
5. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan kerusakan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan
pertukaran gas. c. Konservasi energi aktivitas secara bergantian
Kriteria hasil: c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
c. Menunjukkan toleransi aktivitas berkala
d. Menampilkan aktivitas kehidupan d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
sehari–hari memberikan terapi yang tepat

137
BAB V
PENYAKIT PARU TIPE RESTRIKTIF

Penyakit paru restriktif merupakan salah satu penyakit penting dalam kumpulan penyakit
paru. Penyakit ini ditandai dengan keterbatasan volume ekspansi paru-paru dan kecepatan
ekspansi dan kontraksi. Penyakit ini merupakan kondisi peradangan kronis jaringan interstisial
paru yang membuat paru-paru menjadi kaku (stiff) dan tidak elastis (McConnell, 2007).
Normalnya, interstitium (dinding alveolar, kapiler-kapiler, dan jaringan pendukung) tipis dan
halus.
Interstitium yang normal mempermudah difusi gas. Akan tetapi, jika interstitium tersebut
menebal, difusi gas menurun. Hal yang penting lagi adalah semakin berkurangnya udara yang
keluar masuk paru-paru. Penyakit ini biasanya didiagnosis melalui pemeriksaan fungsi paru
untuk mengevaluasi dispnea; atau radiografi dada (Saint & Frances, 2010). Beberapa penyakit
paru yang tergolong dalam penyakit paru tipe restriktif adalah atelektasis dan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS).

A. ATELEKTASIS
1. Konsep Penyakit

Gambar 5.1 Kolaps Paru Total


(Sumber: Ray, 2014)

138
a. Definisi
Atelektasis adalah penyakit restriktif akut yang umum terjadi. Penyakit ini
mencakup kolaps jaringan paru atau unit fungsional paru. Penyakit ini umum menyerang
klien post-operasi.
Atelektasis berbeda dengan pneumotoraks, walaupun pada kedua kondisi ini terjadi
kolaps alveolar, penyebab kolaps pada keduanya sangat berbeda. Atelektasis adalah
istilah yang berarti ekspansi tidak sempurna. Kondisi yang menunjukkan bahwa alveoli
pada bagian paru yang terganggu, mengalami kehilangan udara dan kolaps. Atelektasis
terjadi karena alveoli mengalami kurang inflasi atau tak terinflasi. Atelektasis dapat
dicegah dengan intervensi keperawatan yang sesuai.
b. Etiologi
Atelektasis sering kali terjadi setelah penggunaan anestesi untuk pembedahan.
Anestesi yang digunakan pada saat pembedahan dapat menyebabkan perubahan pada
pola pernapasan dan perubahan tekanan pada paru-paru. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan alveoli menjadi mengempis dan menimbulkan atelektasis. Selain
disebabkan oleh anestesi, penyebab atelektasis juga bisa berbeda-beda, baik pada kasus
atelektasis obstruktif maupun non-obstruktif.
c. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya atelektasis obstruktif,
antara lain efusi pleural, pneumotoraks, distensi abdomen, dan sumbatan cairan mukus.
Selain itu, atelektasis obstruktif dapat terjadi karena adanya mukus yang menyebabkan
aliran udara dari trakea ke alveoli menjadi terganggu. Sumbatan cairan mukus sering
terjadi pada saat pembedahan karena akumulasi cairan mukus tidak bisa dikeluarkan
melalui batuk atau muntahan. Sumbatan cairan mukus juga dapat terjadi pada anak-
anak, penderita cystis fibrosis, atau pada orang yang mengalami serangan asma berat.
1) Benda asing
Atelektasis obstruktif sangat umum terjadi pada anak-anak yang tidak sengaja
menghirup benda asing, seperti kacang atau mainan dan masuk ke paru-paru.
2) Penyempitan saluran udara bronkus

139
Infeksi kronis seperti infeksi jamur, tuberkulosis (TBC) dan penyakit lain dapat
melukai dan mempersempit bronkus.
3) Tumor pada saluran bronkus besar
Tumor yang tumbuh di bronkus dapat menghalangi aliran udara.
4) Gumpalan darah
Jika terdapat perdarahan pada paru-paru dan penderita tidak bisa mengeluarkan
darah tersebut, maka penggumpalan bisa terjadi dan menghalangi aliran udara
masuk ke alveoli.

d. Tanda dan Gejala


Gejala atelektasis dapat dilihat bergantung pada ukuran paru-paru yang terkena,
adanya penyumbatan pada bronkus, atau adanya infeksi yang dapat memperparah
atelektasis. Ada beberapa gejala umum dari atelektasis, yaitu sulit bernapas (dispnea),
batuk, serta napas cepat dan pendek.
Pada atelektasis yang berkembang dengan lambat, umumnya hanya menyebabkan
gejala ringan. Jika atelektasis terjadi akibat adanya penyumbatan atau halangan pada
bronkus, dapat timbul gejala-gejala berikut:
1) Nyeri pada daerah yang terkena atelektasis.
2) Dispnea yang terjadi secara tiba-tiba.
3) Sianosis, yaitu kebiruan pada kulit, bibir, dan ujung-ujung jari karena kekurangan
oksigen.
4) Meningkatnya denyut jantung (takikardi).
5) Tekanan darah rendah (hipotensi).
6) Demam.
7) Syok.

e. Klasifikasi
Atelektasis diklasifikasikan menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah atelektasis
resorptive sekunder yang diakibatkan obstruksi bronkial atau bronkiolar. Sementara itu,
jenis kedua adalah atelektasis kompresi yang diakibatkan oleh tekanan dari luar pada

140
sebagian atau keseluruhan paru sehingga mendorong udara keluar dan menyebabkan
kolaps.

f. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi atelektasis meliputi:
1) Resorpsi atau atelektasis obstruktif akibat obstruksi jalan napas intrinsik atau
ekstrinsik.
2) Atelektasis pasif akibat disfungsi diafragma dan hipoventilasi.
3) Atelektasis kompresif dari kompresi jaringan paru-paru dan ekspansi alveolar yang
tidak efektif dari kekuatan intra atau toraks.
4) Atelektrik perekat karena meningkatnya tegangan permukaan.

Sementara itu, Ray dkk. (2014) menyatakan bahwa terdapat beberapa efek
patofisiologis atelektasis, antara lain:
1) Pernapasan iregular
Hilangnya volume paru-paru akibat atelektasis menyebabkan penurunan kapasitas
residu fungsional (Functional Residual Capacity [FRC]). Akibatnya, diperlukan
peningkatan tekanan transpulmonal yang tinggi untuk mencapai volume tidal
tertentu, yang menyebabkan terjadinya peningkatan kerja pernapasan.
2) Gangguan Oksigenasi
Atelektasis dapat mempengaruhi oksigenasi sistemik secara signifikan sebab terjadi
penurunan perfusi oksigen pada paru.
3) Peningkatan Resistensi Vaskular Pulmonal
Hipoksia regional pada paru menyebabkan vasokonstriksi paru dan terjadinya
hipoksia akibat penurunan tekanan oksigen vena dan alveolar. Jika meluas,
fenomena ini dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kanan dan peningkatan
kebocoran cairan mikrovaskuler.

g. Komplikasi
1) Pneumonia akut
2) Bronkiektasis

141
3) Hipoksemia dan gagal napas
4) Sepsis
5) Efusi pleura dan empiema

h. Pemeriksaan Diagnostik
Tes yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis atelektasis adalah
pemeriksaan sinar X toraks. Selain itu, CT Scan toraks juga mungkin direkomendasikan
untuk melihat gambaran struktur toraks secara lebih rinci.
Atelektasis sering sembuh tanpa pengobatan. Kondisi yang parah atau berlangsung
lama sering kali disebabkan oleh penyumbatan saluran napas. Untuk memastikan hal
ini, diperlukan skrining bronkoskopi. Prosedur ini digunakan untuk melihat secara lebih
jelas saluran napas. Selama prosedur, bronkoskop akan dimasukkan melalui hidung
(atau kadang-kadang mulut), tenggorokan, dan masuk ke saluran napas. Kamera pada
bronkoskop digunakan untuk melihat ke dalam saluran napas secara lebih jelas.

i. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan atelektasis disesuaikan dengan penyebab timbulnya atelektasis.
Atelektasis pada area kecil paru-paru dapat sembuh tanpa perawatan. Jika ada kondisi
yang mendasari, seperti tumor, perawatan bisa melibatkan pengangkatan tumor dengan
pembedahan, kemoterapi, atau radiasi. Beberapa pengobatan yang mungkin disarankan
antara lain:
1) Fisioterapi dada
Fisioterapi dada meliputi pemberian teknik napas dalam berisi teknik setelah
operasi dengan memperbaiki jaringan paru-paru yang rusak. Teknik-teknik ini
paling baik diberikan sebelum operasi. Yang termasuk ke dalam teknik ini antara
lain:
a) Napas dalam
b) Perkusi di dada, yakni di atas area dada untuk mencairkan lendir. Klien juga
bisa menggunakan alat pengencer lendir mekanis.
c) Melakukan latihan pernapasan dalam (spirometer insentif) dan menggunakan
alat untuk membantu batuk efektif.

142
d) Membiasakan posisi tubuh, di mana kepala lebih rendah dari dada (drainase
postural). Hal ini memungkinkan lendir dapat dikeluarkan dari bagian bawah
paru-paru.
e) Oksigen tambahan dapat membantu meredakan sesak napas.
2) Bedah atau prosedur lainnya
Penghilangan hambatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara mengisap lendir
atau dengan bronkoskopi. Bronkoskopi dapat dilakukan untuk membersihkan
saluran napas.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Karakteristik Klien
Atelektasis lebih banyak diderita oleh anak-anak daripada dewasa. Bayi prematur
cenderung untuk mengalami atelektasis. Lingkungan yang kotor cenderung dapat
menambah risiko atelektasis karena lebih berisiko terkena TB ataupun efusi pleura.
2) Keluhan utama
Keluhan yang sering dirasa oleh klien atelektasis adalah batuk dan sesak napas.
3) Riwayat kesehatan
a) Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Klien atelektasis biasanya mengalami subfebris, febris hilang timbul, lalu timbul
batuk karena adanya iritasi pada bronkus, batuk ini dimulai dari batuk kering sampai
batuk dengan sputum purulen, sesak napas bila sudah lanjut, di mana infiltrasi radang
sampai setengah paru. Nyeri dada jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi
radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
b) Riwayat Penyakit Sebelumnya (RPD)
Klien atelektasis sering kali mempunyai riwayat penyumbatan bronkus,
penyumbatan bisa berasal di dalam bronkus seperti tumor bronkus, benda asing,
cairan sekresi yang masif. Dan penyumbatan bronkus akibat penekanan dari luar
bronkus seperti tumor sekitar bronkus, kelenjar yang membesar.
4) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (breathing)

143
Inspeksi : sesak, batuk, nyeri dada, penggunaan otot bantu pernapasan,
pernapasan diafragma dan perut meningkat, pernapasan cuping
hidung, pola napas cepat dan dangkal, retraksi otot bantu
pernapasan.
Palpasi : fremitus berkurang, biasanya terdapat perbedaan pada gerak
dinding toraks, gerak sela iga dan diafragma.
Perkusi : pekak atau datar.
Auskultasi : suara pernapasan tidak terdengar, terdengar suara ronchi pada
lapang paru ( karena penumpukan sekret).
b) B2 (blood)
Pada umumnya klien atelektasis mengalami peningkatan leukosit dan LED, gas
darah arteri menunjukkan derajat hipoksemia, terkadang kadar Hb dalam darah
menurun, denyut nadi meningkat (takikardia), dan sianosis.
c) B3 (brain)
Pada klien atelektasis biasanya dapat terjadi penurunan kesadaran karena
penurunan suplai O2 ke otak, gelisah, dan kejang.
d) B4 (bladder)
Terkadang produksi urine menurun.
e) B5 (bowel)
Mual dan terkadang juga muntah.
f) B6 (bone)
Pada umumnya tidak ada kelainan.
5) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penderita atelektasis, di antaranya sebagai berikut:
a) Foto rontgen dada
i. Tampak gambaran radiologi atelektasis adalah pengurangan volume bagian
paru baik lobaris, segmental atau seluruh paru.
ii. Tampak kavitasi bayangan berupa cincin.
iii. Tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
b) Bronkoskopi serat optik
Pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronkus/kerusakan paru karena TB.

144
c) Laboratorium
i. Darah : leukosit meninggi, LED meningkat karena infeksi.
ii. Sputum : pada kultur ditemukan BTA (pada klien dengan komplikasi TBC
yang bisa menyebabkan atelektasis).
iii. Test Tuberkulin : Mantoux (dengan durasi lebih dari 10–15 mm). Hasil test
ini akan menunjukkan hasil positif jika klien terkena TBC.
iv. Gas darah arteri menunjukkan derajat hipoksemia. Klien atelektasis biasanya
akan kekurangan oksigen sehingga O2 akan menurun sedangkan CO2 akan
meningkat.

b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas oleh
eksudat atau benda asing.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan O2 dalam udara inspirasi
akibat penekanan terhadap paru.
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau kelelahan.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transpor O2 sekunder
akibat atelektasis.

145
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas oleh Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
eksudat atau benda asing. c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
dalam
Kriteria hasil: d. Posisikan klien memaksimalkan
a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
efektif dan suara napas yang e. Keluarkan sekret dengan batuk atau
bersih, tidak ada sianosis dan suction
dispnea (mampu mengeluarkan f. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sputum, bernapas dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) g. Berikan bronkodilator
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor status hemodinamika
paten (klien tidak merasa i. Berikan pelembap udara kasa NaCl lembap
tercekik, irama napas, frekuensi j. Berikan antibiotik
pernapasan dalam rentang k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
normal, tidak ada suara napas keseimbangan.
abnormal) l. Monitor respirasi dan status O2
c. Mampu mengidentifikasikan dan m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
mencegah faktor yang penyebab. mengencerkan sekret

146
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
e. Foto toraks dalam batas normal penggunaan peralatan: O2, suction,
inhalasi
2. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan kurangnya Exchange ventilasi
suplai oksigen akibat obstruksi b. Keseimbangan asam Basa, b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
jalan napas oleh bronkospasme Elektrolit c. Keluarkan sekret dengan batuk atau
c. Respiratory Status: Ventilation suction
d. Vital Sign Status d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
tambahan
Kriteria hasil: e. Berikan bronkodilator;
a. Mendemonstrasikan f. Berikan pelembap udara
peningkatan ventilasi dan g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
oksigenasi yang adekuat keseimbangan.
b. Memelihara kebersihan paru- h. Monitor respirasi dan status O2
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
distres pernapasan penggunaan otot tambahan, retraksi otot
c. Mendemonstrasikan batuk supraclavikula dan interkostal
efektif dan suara napas yang j. Monitor suara napas, seperti dengkur
bersih, tidak ada sianosis dan k. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
dispnea (mampu mengeluarkan kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
sputum, mampu bernapas biot

147
dengan mudah, tidak ada pursed l. Auskultasi suara napas, catat area
lips) m. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
d. Tanda-tanda vital dalam rentang n. suara tambahan
normal o. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
e. Gas darah arteri dalam batas dan ststus mental
normal p. Observasi sianosis khususnya membran
f. Status neurologis dalam batas mukosa
normal q. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
alat tambahan (O2, suction, inhalasi)
r. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
3. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan penurunan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
energi atau kelelahan. Patency b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Vital Sign Status c. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Kriteria hasil: d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
a. Mendemonstrasikan batuk tambahan
efektif dan suara napas yang e. Berikan bronkodilator
bersih, tidak ada sianosis dan f. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dispnea (mampu mengeluarkan lembap

148
sputum, mampu bernapas g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dengan mudah, tidak ada pursed keseimbangan.
lips) h. Monitor respirasi dan status O2
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
paten (klien tidak merasa j. Pertahankan jalan napas yang paten
tercekik, irama napas, frekuensi k. Observasi adanya tanda-tanda
pernapasan dalam rentang hipoventilasi
normal, tidak ada suara napas l. Monitor vital sign
abnormal) m. Informasikan pada klien dan keluarga
c. Tanda-tanda vital dalam rentang tentang teknik relaksasi untuk
normal (tekanan darah, nadi, memperbaiki pola napas.
pernapasan) n. Ajarkan bagaimana batuk efektif
o. Monitor pola napas
4. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan gangguan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas
sistem transpor O2 sekunder c. Konservasi energi secara bergantian
akibat atelektasis. c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
Kriteria hasil: berkala
a. Menunjukkan toleransi aktivitas d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
b. Menampilkan aktivitas kehidupan memberikan terapi yang tepat
sehari–hari

149
B. ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau Sindrom Gawat Pernapasan
Akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan oksigen secara progresif
yang terjadi setelah klien mengalami penyakit atau cedera serius. ARDS mempunyai
angka moralitas yang tinggi, antara 50-60%.
b. Etiologi
Penyebab mekanik ARDS adalah ekstravasasi dari kapiler paru-paru ke
alveoluskecil di mana darah teroksigenasi. Biasanya, membran pelindung menyimpan
cairan ini di dalam pembuluh. Pada kondisi penyakit parah atau cedera, dapat
menyebabkan kerusakan pada membran yang menyebabkan kebocoran ARDS. Berikut
adalah penyebab utama yang paling umum dari ARDS:
1) Sepsis. Penyebab ARDS yang paling umum adalah sepsis, infeksi yang serius dan
meluas dari aliran darah.
2) Inhalasi zat berbahaya. Menghirup asap dengan konsentrasi kimia atau menelan
cairan dengan tiba-tiba dapat menyebabkan ARDS.
3) Pneumonia parah. Kasus pneumonia yang parah biasanya mempengaruhi kelima
lobus paru-paru.
4) Cedera kepala, dada, atau cedera besar lainnya. Kecelakaan, seperti jatuh atau
kecelakaan mobil, bisa langsung merusak paru-paru atau bagian otak yang
mengendalikan pernapasan.
5) Pankreatitis, transfusi darah yang masif, dan luka bakar juga bisa menjadi penyebab
ARDS.
c. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ARDS adalah:
1) Aspirasi
2) Kelainan hematologis (koagulapati intravaskuler diseminata, transfusi masif,
bypass kardiopulmonal)
3) Infeksi setempat (bakteri, jamur, virus pneumonia)
4) Gangguan metabolik (pankreatitis, uremia)

150
5) Inhalasi berkepanjangan oksigen dengan konsentrasi tinggi, asap, atau substansi
korosif
6) Syok
7) Mempunyai trauma (kontusio pulmonal, fraktur multipel, cedera kepala)
8) Embolisme lemak atau udara
9) Sepsis
10) Pembedahan mayor

d. Tanda dan Gejala


1) Gagal pernapasan akut
2) Infiltrat pulmonal bilateral (pola retikulogranular) penampilan latar belakang
seperti kaca pada gambaran sinar-X
3) Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mm Hg) walapun (FiO2) antara 50-60%

e. Patofisiologi
Han dan Mallampalli (2015) menyatakan bahwa respons imun bawaan memainkan
peran penting dalam patofisiologi ARDS. Beberapa proses imunologis yang melibatkan
neutrofil, makrofag, dan sel dendritik berperan dalam mediasi cedera jaringan.
Peradangan, baik secara lokal dari paru-paru atau secara sistemik dari ekstrapulmoner,
mempengaruhi epitel bronkial, makrofag alveolar, dan endotel vaskular, yang
menyebabkan akumulasi cairan edema ke dalam alveoli dan selanjutnya, hipoksemia
akibat gangguan pertukaran gas.

151
Cedera paru-paru
Antibiotik
Agen anti
profilaksis
inflamasi
Pengeluaran zat vasoaktif
(serotonin, histamin, dan bradikinin)
 Batuk
 Asidosis
respiratori Peningkatan permeabilitas membran alveolar
 Crackles
 Takipnea Protein dan cairan
 Hipoksemia Bergerak ke alveoli
 Dispnea
 Sputum kental
Kerusakan epitel alveolar
(type II pneumocyst)

Penurunan produksi surfaktan Hemoptisis

Atelektasis

Compliance
Regenerasi membran alveolar paru-paru
Dengan sel epitel tebal

Sering kali timbul jaringan parut dan menurunkan FRC


fungsi paru-paru

(Sumber: Soemantri, 2008)

f. Komplikasi
National Heart, Lung, and Blood Institute (2012) menyatakan bahwa beberapa
masalah medis dapat berkembang ketika klien ARDS berada di rumah sakit. Masalah
yang paling umum terjadi adalah:
1) Infeksi

152
Berada di rumah sakit dan berbaring dalam waktu lama serta penggunaan ventilator
mekanis dapat meningkatkan risiko infeksi, seperti pneumonia.
2) Pneumotoraks (paru-paru kolaps)
Kondisi di mana udara atau gas berkumpul di ruang sekitar paru-paru. Hal ini dapat
menyebabkan satu atau kedua paru-paru rusak. Tekanan udara dari ventilator bisa
menyebabkan kondisi ini.
3) Bekas luka parut ARDS menyebabkan paru-paru menjadi kaku
Hal ini juga membuat paru-paru sulit untuk mengembang dan terisi udara.
4) Terbentuknya trombus
Berbaring dalam waktu lama dapat meningkatkan terbentuknya trombus/bekuan
darah. Jenis bekuan darah ini bisa pecah, berjalan melalui aliran darah ke paru-paru,
dan menghalangi aliran darah. Kondisi ini disebut emboli paru.

g. Pemeriksaan Diagnostik
Tidak ada pemeriksaan diagnostik tertentu untuk mengidentifikasi ARDS.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan sinar X dada, dan
kadar oksigen.
1) Pemeriksaan Sinar X Dada dan CT Scan
a) X-ray dada. X-ray dada dapat menggambarkan seberapa banyak cairan dalam
paru, serta memeriksa adanya perbesaran jantung.
b) CT Scan. CT Scan dapat memberikan informasi rinci tentang struktur di dalam
jantung dan paru-paru.
2) Tes laboratorium
Tes ini menggunakan analisis gas darah arteri untuk mengukur kadar oksigen.
Apabila ada diagnosis infeksi paru-paru, pengujian sekresi dari jalan napas
dilakukan untuk mengetahui penyebab infeksi.
3) Tes jantung
a) Elektrokardiogram. Tes ini untuk mengetahui aktivitas listrik di jantung. Tes
ini menggunakan beberapa sensor kabel ke tubuh klien.
b) Ekokardiogram/sonogram jantung. Tes ini dapat menunjukkan adanya masalah
dengan struktur dan fungsi jantung.

153
h. Penatalaksanaan Medis
Smeltzer (2010) menyatakan beberapa manajemen medis yang dapat dilakukan
terhadap klien dengan ARDS, yaitu:
1) Mengidentifikasi dan merawat kondisi yang mendasarinya; memberikan perawatan
terapeutik dan suportif (intubasi dan ventilasi mekanis; terapi intravena, volume
cairan yang adekuat, dan dukungan nutrisi).
2) Gunakan oksigen tambahan saat klien mengalami hipoksemia.
3) Pantau nilai gas darah arteri, oksimetri nadi, dan pengujian fungsi paru.
4) Seiring perkembangan penyakit, gunakan positive end expiratoey pressure (PEEP).
5) Atasi terjadinya hipovolemik dengan hati-hati; hindari overload cairan (agen
inotropik atau agen vasopresor mungkin diperlukan).
6) Tidak ada pengobatan farmakologis spesifik untuk ARDS, kecuali perawatan
suportif. Sejumlah perawatan farmakologis masih dalam penelitian untuk
mencegah kejadian yang mengarah ke ARDS (misalnya, terapi penggantian
surfaktan, agen antihipertensi pulmonal, dan agen antisepsis).
7) Berikan dukungan nutrisi (35 sampai 45 Kkal/kg setiap hari).

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Pengkajian primer
a) Jalan napas: Mengenali adanya sumbatan jalan napas
i. Peningkatan sekresi pernapasan
ii. Bunyi napas ronchi dan mengi
iii. Adanya sputum, sekret, lendir, darah, dan benda asing
iv. Jalan napas bersih atau tidak
b) Pernapasan
i. Peningkatan frekuensi napas
ii. Napas dangkal dan cepat
iii. Kelemahan otot pernapasan
iv. Kesulitan bernapas (sianosis)

154
c) Sirkulasi
i. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
ii. Sakit kepala
iii. Pingsan
iv. Pusing
v. Gangguan tingkat kesadaran: ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
vi. Berkeringat banyak
vii. Mata berkunang-kunang
d) Disabilitas
i. Dapat terjadi penurunan kesadaran
ii. Triase (Merah)
2) Pemeriksaan fisik
a) Mata
i. Konjungtiva pucat (karena anemia)
ii. Konjungtiva terdapat petekie (karena emboli lemak atau endokarditis)
b) Kulit
i. Sianosis perifer (vasokonstriksi dan menurunnya aliran darah perifer)
ii. Sianosis secara umum (hipoksia)
iii. Penurunan turgor (dehidrasi)
iv. Edema
v. Edema periorbita
c) Jari dan kuku
i. Sianosis
ii. Clubbing finger
d) Mulut dan bibir
Membran mukosa sianosis
e) Hidung
Pernapasan dengan cuping hidung
f) Vena jugularis
Adanya distensi/bendungan
g) Dada

155
i. Retraksi otot bantu pernapasan (karena peningkatan aktivitas pernapasan,
dispnea, atau obstruksi jalan pernapasan)
ii. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan
iii. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati
saluran/rongga pernapasan)
iv. Suara napas normal (vesikuler, bronkovesikuler, bronkial)
v. Suara napas tidak normal (crakles/reles, ronchi, wheezing, friction rub)
vi. Bunyi perkusi (resonan, hiperesonan, dullness)
h) Pola pernapasan
i. Pernapasan normal (eupnea)
ii. Pernapasan cepat (takipnea)
iii. Pernapasan lambat (bradipnea)

b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas spasme
jalan napas, sekresi tertahan, banyaknya mukus, adanya jalan napas buatan, sekresi
bronkus, adanya eksudat di alveolus.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi.
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,
peningkatan sekret, penurunan kemampuan untuk oksigenasi, kelelahan.

156
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
obstruksi jalan napas spasme Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
jalan napas, sekresi tertahan, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
banyaknya mukus, adanya jalan dalam
napas buatan, sekresi bronkus, Kriteria hasil: d. Posisikan klien memaksimalkan
adanya eksudat di alveolus. a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
efektif dan suara napas yang e. Keluarkan sekret dengan batuk atau
bersih, tidak ada sianosis dan suction
dispnea (mampu mengeluarkan f. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sputum, bernapas dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) g. Berikan bronkodilator
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor status hemodinamika
paten (klien tidak merasa i. Berikan pelembap udara kasa NaCl lembap
tercekik, irama napas, frekuensi j. Berikan antibiotik
pernapasan dalam rentang k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
normal, tidak ada suara napas keseimbangan.
abnormal) l. Monitor respirasi dan status O2
c. Mampu mengidentifikasikan dan m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
mencegah faktor yang penyebab. mengencerkan sekret

157
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
e. Foto toraks dalam batas normal penggunaan peralatan: O2, suction,
inhalasi
2. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan Exchange ventilasi
abnormalitas ventilasi-perfusi. b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
Elektrolit c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Respiratory Status: Ventilation d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
d. Vital Sign Status suction
e. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
Kriteria hasil: tambahan
a. Mendemonstrasikan f. Berikan bronkodilator;
peningkatan ventilasi dan g. Berikan pelembap udara
oksigenasi yang adekuat h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
b. Memelihara kebersihan paru- keseimbangan.
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Monitor respirasi dan status O2
distres pernapasan j. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
c. Mendemonstrasikan batuk penggunaan otot tambahan, retraksi otot
efektif dan suara napas yang supraclavikula dan interkostal
bersih, tidak ada sianosis dan k. Monitor suara napas, seperti dengkur
dispnea (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernapas

158
dengan mudah, tidak ada pursed l. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
lips) kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
d. Tanda-tanda vital dalam rentang biot
normal m. Auskultasi suara napas, catat area
e. Gas darah arteri dalam batas penurunan/tidak adanya ventilasi dan
normal suara tambahan
f. Status neurologis dalam batas n. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
normal dan ststus mental
o. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
p. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
alat tambahan (O2, suction, inhalasi)
q. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
3. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan pertukaran b. Respiratory Status: Airway ventilasi
gas tidak adekuat, peningkatan Patency b. Pasang mayo bila perlu
sekret, penurunan kemampuan c. Vital Sign Status c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
untuk oksigenasi, kelelahan. d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction

159
Kriteria hasil: e. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
a. Mendemonstrasikan batuk tambahan
efektif dan suara napas yang f. Berikan bronkodilator
bersih, tidak ada sianosis dan g. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dispnea (mampu mengeluarkan lembap
sputum, mampu bernapas h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dengan mudah, tidak ada pursed keseimbangan.
lips) i. Monitor respirasi dan status O2
b. Menunjukkan jalan napas yang j. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
paten (klien tidak merasa k. Pertahankan jalan napas yang paten
tercekik, irama napas, frekuensi l. Observasi adanya tanda-tanda
pernapasan dalam rentang hipoventilasi
normal, tidak ada suara napas m. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
abnormal) oksigenasi
c. Tanda-tanda vital dalam rentang n. Monitor vital sign
normal (tekanan darah, nadi, o. Informasikan pada klien dan keluarga
pernapasan) tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.
p. Ajarkan bagaimana batuk efektif
q. Monitor pola napas

160
BAB VI

PENYAKIT VASKULAR PULMONAL

Penyakit pembuluh darah paru menggambarkan setiap proses yang mengganggu aliran
darah antara jantung dan paru-paru. Darah bergerak dari sisi kanan jantung ke paru-paru
melalui arteri pulmonalis. Arteri pulmonalis kemudian dipecah menjadi saluran yang lebih
kecil dan akhirnya menjadi tempat di mana oksigen diserap dan karbon dioksida dilepaskan.
Vena pulmonal kemudian mengembalikan darah yang teroksigenasi ke sisi kiri jantung
kemudian dipompa ke seluruh bagian tubuh lainnya. Setiap proses yang menunjukkan
gangguan pada sirkulasi ini disebut sebagai PVD. Misalnya, orang dengan malformasi
arteriovenosa (AVM) paru-paru, di mana terdapat sirkulasi abnormal antara arteri dan vena.
Sirkulasi abnormal akan mengganggu proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida
serta meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pulmonal. Selain itu, gangguan PVD juga
mencakup penyakit tromboembolik akut dan kronis, hipertensi pulmonal, dan penyakit veno-
oklusif paru. Ini bisa terjadi sebagai proses akut, seperti trombus yang berjalan ke paru-paru,
atau sebagai penyakit progresif yang lambat seperti AVM yang menunjukkan manifestasi
klinis dalam hitungan bulan atau tahun.
Terdapat dua tipe utama penyakit vaskular pulmonal, yaitu emboli paru dan hipertensi
pulmonal. Emboli paru terjadi karena penggumpalan darah yang menyumbat cabang arteri di
paru-paru, yang akan menyumbat aliran darah ke paru. Hipertensi pulmonal disebabkan oleh
tekanan darah tinggi di arteri pulmonalis, yang membawa darah dari jantung ke paru-paru.
Hal ini dapat mengganggu fungsi jantung, sehingga tidak dapat mengedarkan darah ke seluruh
tubuh secara efisien. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan bisa berakibat fatal.

A. EMBOLIS PULMONAL (EMBOLI PARU)


1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Embolis pulmonal adalah kondisi obstruksi salah satu arteri pulmonal atau lebih
oleh trombus (atau trombi) yang berasal dari suatu tempat dalam sistem venosa atau
jantung sebelah kiri, yang terlepas dan terbawa ke paru. Kondisi ini merupakan

161
kelainan umum yang berkaitan dengan trauma, bedah (ortopedi, pelvis, ginekologi),
kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, gagal jantung kongestif, usia lanjut (lebih
dari 60 tahun), dan imobilitas yang berkepanjangan. Sebagian besar trombus berasal
dari vena tungkai.
b. Etiologi
Faktor umum yang menyebabkan emboli paru adalah adanya gumpalan darah. Hal
tersebut bisa terjadi akibat beberapa hal:
1) Darah terlalu mudah menggumpal. Kondisi yang mengakibatkan darah mudah
menggumpal antara lain kanker, gagal jantung, trombofilia, sindrom antibodi
antifosfolipid.
2) Penurunan aktivitas fisik. Kurangnya pergerakan tubuh dalam waktu lama darah
dalam tubuh cenderung akan mengumpul pada tubuh bagian bawah, khususnya di
bagian bawah kaki. Hal ini akan meningkatkan risiko terbentuknya penggumpalan
darah.
3) Cedera pada pembuluh darah. Pada pembuluh darah yang rusak bisa menyempit
atau tersumbat dan menyebabkan terbentuknya gumpalan darah. Kondisi ini bisa
terjadi karena patah tulang, cedera otot parah, vesikulitis, dan sebagian obat-obatan
kemoterapi.

c. Faktor Risiko
1) Memiliki penyakit kanker
2) Riwayat keluarga dengan embolisme
3) Fraktur kaki atau pinggul
4) Keadaan hiperkoagulasi (darah kental) atau gangguan pembekuan darah genetik,
termasuk faktor V Leiden, mutasi gen protrombin, dan peningkatan kadar
homosistein
5) Riwayat serangan jantung atau strok
6) Menjalani operasi besar
7) Kegemukan
8) Gaya hidup yang tak sehat seperti merokok, jarang gerak, dsb.
9) Usia lebih dari 60 tahun

162
10) Menggunakan preparat hormon estrogen atau testosteron.

d. Tanda dan Gejala


Emboli paru mempunyai gejala yang berbeda-beda pada setiap orang. Gejala awal
tergantung dari luas bagian paru yang terkena, ukuran gumpalan darah, dan kondisi
kesehatan seseorang secara umum, khususnya kondisi jantung dan paru-parunya. Ada
beberapa gejala umum yang terjadi dari emboli paru, yaitu:
1) Batuk. Batuk yang terjadi biasanya batuk kering, namun bisa mengandung dahak
atau darah.
2) Sakit di dada atau punggung bagian atas. Rasa sakit yang dirasakan tajam seperti
ditusuk. Kondisi ini akan semakin sakit saat menarik napas lebih dalam, batuk,
makan, dan ketika membungkukkan tubuh. Gejalanya mirip seperti serangan
jantung.
3) Sesak napas. Gejala ini bisa muncul secara tiba-tiba dan bisa bertambah buruk.
4) Pingsan
5) Pusing
6) Sianosis ujung-ujung jari dan bibir
7) Berkeringat berlebihan
8) Jantung berdetak lebih cepat dan berdebar-debar
9) Gelisah
10) Demam

e. Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi emboli paru sesuai dengan pedoman Ceko dan
Eropa untuk diagnosis dan pengelolaan emboli paru:

Tabel 6.1 Klasifikasi emboli paru


Panduan Czech Society of Cardiology Pedoman European Society of
Cardiology
Emboli paru besar Emboli paru berisiko tinggi
Emboli paru submasif Emboli paru berisiko menengah

163
Emboli paru kecil Emboli paru berisiko rendah
(Sumber: Bĕlohlávek, dkk., 2013)

f. Patofisiologi
Ruldoph Virchow (dalam Weinberger dkk., 2008) mengidentifikasi tiga faktor
utama yang berperan dalam terjadinya emboli paru yang disebut dengan Virchow’s
Triad, yaitu stasis aliran darah vena, hiperkoagulabel, dan trauma vaskuler yang
menyebabkan kerusakan endotelium.
Hipoksemia merupakan akibat yang umum terjadi pada emboli paru. Obstruksi
pembuluh darah paru mengakibatkan hambatan aliran darah dari vena sistemik
mencapai kapiler paru. Hal ini menyebabkan peningkatan shunting intra pulmonal,
ketidaksamaan ventilasi-perfusi (V/Q) dan penurunan kadar O2 vena.
Selanjutnya, shunting dan peningkatan ruang rugi alveolar dapat terjadi akibat
perdarahan alveolar atau atelektasis yang berhubungan dengan berkurangnya
surfaktan. Konstriksi bronkiolus terminal dapat meningkatkan ruang rugi alveolar
akibat dari hipokapnia dan pelepasan substansi vasokonstriktor dari agregasi platelet
dan sel mast.
Meskipun terjadi peningkatan ruang rugi alveolar, klien dengan emboli paru
biasanya mengalami hipokapnia. Terjadinya hipoksemia merupakan petunjuk adanya
peningkatan yang menyebabkan vasokonstriksi sistemik. Klien yang tidak mempunyai
penyakit kardiopulmoner akan memberi respons kompensasi dengan
meningkatkan venous return dan stroke volume. Setelah itu, emboli akan
meningkatkan tekanan atrium kanan.
Berdasarkan oklusi vasculer paru, kita dapat membedakan tipe emboli paru
ringan: <25%, menengah: 25-50% dan berat: >50%. Patofisiologi emboli paru menurut
Muhl, dkk. (2012) memberikan manifestasi sebagai berikut:
1) Perubahan hemodinamika
Afterload akibat gangguan sirkulasi pulmonal akan meningkatkan beban kerja
ventrikel kanan, sementara indeks jantung menurun (bahkan dengan tekanan
darah arteri normal dan takikardi) yang menyebabkan hipotensi sistemik. Tekanan
intraatrial kanan mengalami peningkatan dan gradien tekanan antara atrium kanan

164
dan aorta mengalami penurunan; mendorong septa intraventrikular ke rongga
ventrikel kiri (D-sign). Selain takikardia dan penurunan curah jantung, syok
dengan iskemia jantung juga mungkin dapat terjadi.
2) Hipoksemia
Ketidakseimbangan ventilasi/perfusi meningkat. Daerah dengan hipoperfusi
mengalami peningkatan V/Q, sementara itu terjadi penurunan pada daerah sirkulasi
(atelektasis) atau biasanya pada daerah perfusi. Adanya shunt juga akan
menurunkan curah jantung dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh (Nowak, dkk. via
Muhl dkk., 2012). Platelet melepaskan zat vasoaktif menyebabkan vasokonstriksi
dan bronkospasme pada daerah yang terkena. Produksi surfaktan terganggu pada
fase awal hipertensi pulmonal. Karena perfusi shunt, hipoksemia arteri global
berkembang dengan penurunan saturasi oksigen arterial (Konstantinides &
Hasenfuss dalam Muhl dkk., 2012).

g. Komplikasi
Meskipun biasanya emboli paru dapat sembuh dengan pengobatan yang tepat, ada
beberapa kemungkinan komplikasi yang terjadi, di antaranya:
1) Kolaps, akibat efek trombus pada jantung dan sirkulasi. Hal ini dapat
menyebabkan henti jantung dan bisa berakibat fatal. Emboli paru dapat
menyebabkan peningkatan kerja jantung dan bisa menyebabkan kondisi yang
disebut gagal jantung, di mana jantung memompa terlalu lemah dari biasanya.
Trombus bisa terjadi berulang kali (dikenal dengan emboli paru rekuren).
Pengobatan antikoagulan dapat membantu mencegah kondisi tersebut.
2) Komplikasi akibat pengobatan. Pengobatan antikoagulan bisa memberikan efek
samping, salah satunya pendarahan di organ lain dalam tubuh, misalnya di
lambung. Sekitar 3 dari 100 klien akan mengalami pendarahan signifikan akibat
pengobatan antikoagulan untuk emboli paru. Jenis perdarahan ini jarang berakibat
fatal dengan rasio 3 dari 1000 kasus.
3) Emboli paru berulang, kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
darah pada paru-paru (hipertensi pulmonal primer).

165
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Analisis gas darah
Tes ini akan mendeteksi penurunan kadar oksigen dalam pembuluh darah arteri
secara tiba-tiba, yang merupakan salah satu gejala emboli paru.
2) Tes darah
Tes ini untuk melihat fungsi D-dimer (protein di dalam darah yang muncul setelah
adanya gumpalan darah yang terurai oleh fibrinolisis). Bila terjadi peningkatan D-
dimer, akan ada gumpalan darah yang lepas dan beredar di pembuluh darah.
Artinya kita harus hati-hati akan kemungkinan gumpalan menyumbat arteri
pulmonalis.
3) Tes radiologi
CT Scan, MRI, dan USG akan melihat posisi penggumpalan darah yang terjadi.
Sinar X berfungsi untuk memastikan bahwa gejala-gejala di atas bukan karena
pembesaran jantung atau pneumonia. Khususnya pada wanita hamil, MRI akan
disarankan untuk melindungi agar janin tidak terkena radiasi.
4) Angiogram Paru
Merupakan tes paling akurat untuk mendiagnosis emboli paru, karena
memberikan gambar aliran darah pada semua arteri di paru-paru. Tapi karena tes
ini punya tingkat kesulitan yang tinggi, biasanya tes ini dilakukan saat tes lain
gagal untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.
5) V/Q Scan (Ventilation-Perfusion Scan)
Tes ini berfungsi untuk memperlihatkan aliran udara dan darah dalam paru-paru.
Jika hasilnya ada bagian paru-paru yang terisi udara tanpa adanya darah, maka hal
itu mungkin disebabkan emboli paru.

i. Penatalaksanaan Medis
1) Terapi Antikoagulan
a) Terapi antikoagulan (heparin, natrium warfarin [Coumadin]) secara tradisional
merupakan metode utama untuk menangani Trombosis Vena Dalam (Deep
Vein Thrombosis [DVT]) dan emboli paru (Pulmonary embolism [PE]) akut.

166
b) Klien harus terus memakai beberapa bentuk antikoagulan paling sedikit 3
sampai 6 bulan setelah terjadinya emboli.
c) Efek samping utama adalah perdarahan di bagian tubuh dan reaksi anafilaksis
yang mengakibatkan syok atau kematian. Efek samping lainnya termasuk
demam, fungsi hati yang tidak normal, dan reaksi alergi kulit.
2) Terapi Trombolitik
a) Terapi trombolitik meliputi urokinase, streptokinase, dan alteplase. Pemberian
terapi ini dilakukan untuk PE yang mempengaruhi area paru yang signifikan
dan menyebabkan ketidakstabilan hemodinamika.
b) Perdarahan adalah efek samping yang signifikan; Prosedur invasif yang tidak
penting harus dihindari.
3) Manajemen Bedah
a) Embolektomi bedah jarang dilakukan namun dapat dilakukan jika klien
mengalami ketidakstabilan PE atau gangguan hemodinamik berat atau jika ada
kontraindikasi terhadap terapi trombolitik.
b) Embolektomi kateter transvenous dengan atau tanpa penyisipan filter vena
caval inferior (misalnya, Greenfield).

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Riwayat adanya faktor risiko seperti kondisi-kondisi yang mengarah kepada :
a) Hiperkoagulabilitas darah, contoh, polisitemia, dehidrasi, kanker, penggunaan
kontrasepsi oral dan anemia sel sabit.
b) Cedera pada endotelium vena, contoh, fraktur tulang panjang, penyalahgunaan
obat IV, bedah ortopedi, pungsi vena kaki, pemasangan CVP atau kateter
intraatrial (kateter ini merupakan sumber primer terjadinya emboli udara) dan
operasi yang baru dilaksanakan.
c) Aliran vena statis, contoh, imobilisasi, luka bakar luas, varises vena,
tromboplebitis vena dalam, gagal jantung, fibrilasi atrium, dan kegemukan.
2) Pemeriksaan fisik berfokus pada pengkajian sistem pernapasan dan sistem
kardiovaskuler dapat menunjukkan:

167
a) Nyeri dada yang berat pada saat inspirasi, kulit yang lembap hangat atau lembap
dingin tergantung derajat dari hipoksemia
b) Terjadi sesak napas yang tiba-tiba disertai dengan takipnea
c) Takikardi (frekuensi nadi lebih dari 100 kali/menit)
d) Demam ringan
e) Tekanan darah turun
f) Ronki pada kasus emboli paru yang luas
g) Batuk produktif disertai bercak darah, atau sputum kemerahan atau batuk tidak
produktif
h) Sianosis (jika terjadi penyumbatan total pada arteri pulmonal)
i) Distensi vena jugularis pada saat posisi duduk
j) Petekie di dada, aksila atau di konjungtiva (akibat emboli lemak)
k) Selain itu klien sering tampak pucat, diaforesis, ketakutan, gelisah, iritabel, atau
kekacauan mental
3) Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan darah rutin menunjukkan leukositosis.
b) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan hipoksemia (PaO2 kurang dari 80 mmHg)
dan alkalosis respiratori (PaO2 kurang dari 35 mmHg dan pH lebih tinggi dari
7,45). Alkalosis respiratori dapat disebabkan oleh hiperventilasi.
c) Waktu protrombin/Prothrombin Time (PT) dan waktu tromboplastin
parsial/Partial Thromboplastine Time (PTT), mungkin rendah jika terjadi
pembekuan darah dan mungkin normal jika disebabkan oleh emboli udara atau
emboli lemak.
d) Pemeriksaan enzim-enzim jantung (CPK, LDH, AST) harus dilakukan untuk
mengantisipasi terjadinya infark miokardia.
e) Scanning paru-paru (ventilasi dan perfusi) untuk mengetahui area yang
mengalami hipoperfusi.
f) Angiogram paru-paru memberikan gambaran yang paling akurat dari kejadian
emboli paru. Walaupun dilakukannya tidak rutin, angiogram pulmonal dapat
dilaksanakan jika pemeriksaan radiologi lainnya tidak dapat membuktikan suatu

168
kesimpulan dan bila direncanakan suatu tindakan di vena kava. Tindakan ini
dilaksanakan sama seperti melaksanakan kateter jantung kanan.
4) Kaji respons emosional terhadap kondisi tersebut.

b. Diagnosis Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru, hipertensi pulmonal.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeabronkial oleh bekuan
darah, sekret banyak, perdarahan aktif.
3) Perfusi jaringan kardiopulmoner tidak efektif berhubungan dengan gangguan afinitas
Hb oksigen, gangguan hipoventilasi O2 transportasi.

169
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan kongesti Exchange ventilasi
paru, hipertensi pulmonal. b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
Elektrolit c. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
c. Respiratory Status: Ventilation tambahan
d. Vital Sign Status d. Berikan bronkodilator;
e. Berikan pelembap udara
Kriteria hasil: f. Atur intake untuk mengoptimalkan
a. Mendemonstrasikan keseimbangan cairan
peningkatan ventilasi dan g. Monitor respirasi dan status O2
oksigenasi yang adekuat h. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
b. Memelihara kebersihan paru- penggunaan otot tambahan, retraksi otot
paru dan bebas dari tanda-tanda supraclavikula dan interkostal
distres pernapasan i. Monitor suara napas, seperti dengkur
c. Tanda-tanda vital dalam rentang j. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
normal kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
d. Gas darah arteri dalam batas biot
normal k. Auskultasi suara napas, catat area
e. Status neurologis dalam batas penurunan/tidak adanya ventilasi dan
normal suara tambahan

170
l. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
dan status mental
m. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
alat tambahan (O2, suction, inhalasi)
o. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
2. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan pertukaran b. Respiratory Status: Airway ventilasi
gas tidak adekuat, peningkatan Patency b. Pasang mayo bila perlu
sekret, penurunan kemampuan c. Vital Sign Status c. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
untuk oksigenasi, kelelahan. tambahan
Kriteria hasil: d. Berikan bronkodilator
a. Menunjukkan jalan napas yang e. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
paten (klien tidak merasa lembap
tercekik, irama napas, frekuensi f. Atur intake untuk mengoptimalkan
pernapasan dalam rentang keseimbangan cairan.
normal, tidak ada suara napas g. Monitor respirasi dan status O2
abnormal) h. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
i. Pertahankan jalan napas yang paten

171
b. Tanda-tanda vital dalam rentang j. Observasi adanya tanda-tanda
normal (tekanan darah, nadi, hipoventilasi
pernapasan) k. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
oksigenasi
l. Monitor vital sign
m. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.
n. Monitor pola napas
3. Perfusi jaringan kardiopulmoner Tissue Perfusion: Cardiopulmonary a. Periksa dorsalis pedis dan denyut nadi tibia
tidak efektif berhubungan posterior secara bilateral. Jika tidak dapat
dengan gangguan afinitas Hb Kriteria hasil: menemukannya, gunakan stetoskop
oksigen, gangguan hipoventilasi a. Menunjukkan perfusi jaringan Doppler dan beri tahu dokter jika denyut
O2 transportasi. yang tepat, seperti yang nadi tidak ada.
dibuktikan oleh rangsangan b. Perhatikan warna kulit dan rasakan suhu
perifer teraba, kulit hangat dan kulit.
kering, keluaran urine yang c. Periksa waktu pengisian kapiler.
adekuat, dan tidak adanya d. Catat tekstur kulit dan adanya bula
gangguan pernapasan. e. Perhatikan adanya edema pada
b. Pengetahuan tentang rejimen ekstremitas.
pengobatan, termasuk latihan

172
yang tepat dan obat-obatan dan f. Ukur lingkar pergelangan kaki dan betis
kemungkinan efek samping pada saat yang sama setiap hari di pagi
c. Mengidentifikasi perubahan hari.
gaya hidup yang dibutuhkan g. Kaji nyeri di ekstremitas, perhatikan
untuk meningkatkan perfusi tingkat keparahan, kualitas, waktu, dan
jaringan hal-hal yang dapat meningkatkan nyeri.
Bedakan gangguan pada vena atau
penyakit arteri. Pada klien dengan
insufisiensi vena, nyeri berkurang dengan
elevasi kaki dan olahraga.

173
B. HIPERTENSI ARTERI PULMONAL (PULMONARY ARTERIAL HYPERTENSION)
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Penyakit Hipertensi Arteri Pulmonal (HAP) atau Pulmonary Arterial
Hypertension (PAH) secara klinis tidak akan terlihat secara kasat mata, sampai
perkembangan penyakit berada di tahap lanjut. Tekanan arterial sistolik pulmonal
melebihi 30 mm Hg dan tekanan arteri pulmonal rerata adalah di atas 15 mm Hg.
Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang
ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung
kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun
1891.
b. Etiologi
Hipertensi pulmonal/pulmonary hypertension (PH) dimulai dengan pembengkakan
dan perubahan sel yang melapisi arteri pulmonalis. Faktor lain juga dapat
mempengaruhi arteri pulmonal dan menyebabkan PH. Misalnya, kondisi dapat
berkembang jika:
1) Dinding arteri spasme.
2) Dinding arteri kaku saat lahir atau menjadi kaku karena pertumbuhan sel yang
terlalu tinggi.
3) Terbentuk bekuan darah di arteri.

Perubahan ini menyebabkan jantung sulit untuk mengalirkan darah melalui arteri
pulmonalis dan masuk ke paru-paru. Dengan demikian, tekanan di arteri meningkat
dan menyebabkan PH. Banyak faktor yang dapat berkontribusi pada proses yang
mengarah pada berbagai jenis PH. Etiologi dari hipertensi arteri pulmonal (PAH)
kelompok I tidak diketahui secara pasti dapat juga bersifat genetik. Beberapa penyakit
dan kondisi juga dapat menyebabkan kelompok 1 PH. Contohnya infeksi HIV,
penyakit jantung kongenital, dan penyakit sel sabit. Selain itu, penggunaan obat-
obatan terlarang (seperti kokain) dan obat-obatan diet tertentu dapat menyebabkan PH.
Sementara itu, banyak penyakit dan kondisi dapat menyebabkan kelompok 2-5 PH
atau disebut PH sekunder). Kondisi tersebut termasuk:

174
1) Penyakit katup mitral
2) Penyakit paru-paru, seperti COPD (penyakit paru obstruktif kronik)
3) Apnea tidur
4) Sarkoidosis

c. Faktor Risiko
PH biasanya berkembang antara usia 20 dan 60, namun bisa terjadi pada usia
berapapun. Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (2018), beberapa
kondisi berikut meningkatkan faktor risiko seseorang terkena PH. Orang yang berisiko
tinggi terhadap PH meliputi:
1) Mereka yang memiliki riwayat keluarga kondisi tersebut.
2) Mereka yang memiliki penyakit atau kondisi tertentu, seperti penyakit jantung
dan paru-paru, penyakit hati, infeksi HIV, atau bekuan darah di arteri
pulmonalis.
3) Mereka yang menggunakan narkoba (seperti kokain) atau obat diet tertentu.
4) Mereka yang tinggal di dataran tinggi.

d. Tanda dan Gejala


1) Dispnea adalah gejala utama yang terlihat dengan kegiatan dan kemudian saat
istirahat.
2) Fisik terlihat lemah, mudah letih, sinkope.
3) Tanda-tanda gagal jantung sebelah kanan (edema perifer, asites, distensi vena
jugularis, perbesaran hepar, krakles, murmur jantung).
4) Nyeri dada substernal merupakan hal yang umum.
5) Perubahan elektrokardiogram (EKG).
6) Penurunan PaO2 (hipoksemia).

e. Klasifikasi
Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder.
Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui

175
penyebabnya. Hipertensi pulmonal primer yang sekarang dikenal dengan hipertensi
arteri pulmonal idiopatik (IPAH) adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang secara
histopatologi ditandai dengan lesi angioproliferatif fleksiform sel-sel endotel,
muskularis arteriol-arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intima dan penebalan tunika
media yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga
meningkatkan tekanan darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan
tahanan vaskuler dari aliran darah di paru. Beratnya hipertensi pulmonal dibagi dalam
3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang PAP 46-64 mmHg dan berat bila
PAP > 65 mmHg.
Hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh
kondisi medis lain. Istilah ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan
kesalahan dalam penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini
diganti menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal Idiopatik. HAP idiopatik adalah kondisi
yang jarang terjadi. Penyebab yang pasti masih belum diketahui. Gambaran klinis yang
ada tidak spesifik pada penyakit pulmonal dan jantung atau embolisme pulmonal. HAP
idiopatik paling sering menyerang wanita antara usia 20 dan 40 tahun, dan biasanya
fatal dalam 5 tahun diagnosis
HAP sekunder adalah kondisi yang lebih umum. Penyebabnya adalah penyakit
jantung atau pulmonal yang sudah menyerang klien terlebih dahulu. Prognosis
tergantung pada tingkat prahnya penyakit yang mendasari dan perubahan pada
jaringan vaskular pulmonal. Penyebab paling umum dipacu oleh konstriksi arteri
pulmonal akibat hipoksia karena PPOK.
Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini
disebabkan karena gangguan pada ventrikel kiri jantung akibat gangguan katup
jantung seperti regurgitasi (aliran balik) dan stenosis (penyempitan) katup mitral.
Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya edema paru (penumpukan
cairan pada paru).
Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain HIV, penyakit autoimun, sirosis
hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit pada paru yang
dapat menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab penyakit ini misalnya:

176
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru interstisial dan sleep apnea,
yaitu henti napas sesaat pada saat tidur.
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of
Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau “mean”
tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg
pada aktivitas dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri,
penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.
Menurut World Health Organization (WHO, 2013) mengklasifikasikan hipertensi
arteri pulmonal menjadi lima jenis sebagai berikut.
a) PH idiopatik
b) PH akibat penyakit jantung kiri
c) PH akibar penyakit paru lain
d) PH karena bekuan darah pada paru
e) PH akibat gangguan hematologi dan penyakit lain

f. Patofisiologi
Guignabert dkk. (2013) menyatakan bahwa remodeling vaskular paru, yang
terjadi terutama pada arteriol paru berukuran kecil sampai menengah (<500 μm),
merupakan ciri sebagian besar bentuk hipertensi pulmonal (PH). Lesi vaskular paru
yang terjadi pada klien dengan PAH, dan juga pada model hewan PH, berlangsung
secara berurutan dan mencakup, dengan berbagai tingkat: muskularisasi abnormal
arteri pra-kapiler distal dan medial, hilangnya arteri pra-kapiler, penebalan paru-paru
dinding arteriol dengan laminar lesi konsentris atau eksentrik, formasi neointimal,
nekrosis fibrinoid, dan pembentukan lesi kompleks, disebut “lesi plexiform”.
Proses remodeling tersebut melibatkan perubahan di ketiga lapisan dinding
pembuluh (intima, media dan adventitia) yang merupakan konsekuensi dari adanya
hipertrofi seluler, hiperplasia, pembengkakan, metabolisme energi yang berubah, cacat
pada diferensiasi sel dan apoptosis, migrasi berlebihan, dan akumulasi komponen
matriks ekstraseluler.
g. Komplikasi
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan sejumlah komplikasi, termasuk:

177
1) Pembesaran jantung kanan dan gagal jantung (cor pulmonale). Pada cor
pulmonale, ventrikel kanan jantung membesar karena harus memompa darah lebih
kuat dari biasanya untuk mengalirkan darah melalui arteri paru yang menyempit
atau tersumbat. Pada awalnya, jantung mencoba untuk mengompensasi dengan
penebalan dinding jantung dan memperluas ruang ventrikel kanan untuk
meningkatkan jumlah darah yang dapat dipompanya. Namun, penebalan dan
pembesaran ini hanya berfungsi sementara, dan akhirnya ventrikel kanan gagal
untuk memompa darah.
2) Gumpalan darah. Gumpalan darah dapat menghentikan pendarahan setelah
terluka. Namun, terkadang gumpalan terbentuk di tempat yang tidak diperlukan.
Sejumlah gumpalan kecil atau beberapa yang besar terlepas dari pembuluh darah
dan terdistribusi ke paru-paru, yang akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang
umumnya dapat reversibel dengan waktu dan penatalaksanaan yang baik. Klien
dengan hipertensi pulmonal akan berisiko terbentuk trombus di paru-paru, yang
berbahaya jika pembuluh darah tersebut menyempit atau tersumbat.
3) Aritmia. Detak jantung yang tidak teratur (aritmia) dari merupakan salah satu
komplikasi hipertensi pulmonal. Hal ini dapat menyebabkan palpitasi, pusing atau
pingsan, dan bisa berakibat fatal.
4) Perdarahan. Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pendarahan ke paru-paru
dan batuk darah (hemoptisis). Ini adalah komplikasi yang berpotensi fatal.

h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Rontgen dada
2) EKG
3) Kateterisasi jantung
4) Pemeriksaan fungsi pulmonal
5) Biopsi paru
i. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah untuk mengelola kondisi yang mendasari hipertensi
pulmonal yang diketahui penyebabnya. Sebagian besar klien hipertensi pulmonal tidak
mengalami hipoksemia saat istirahat namun membutuhkan oksigen tambahan dengan

178
olahraga. Smeltzer dkk. (2010) menyatakan beberapa manajemen medis yang dapat
dilakukan terhadap klien dengan hipertensi arteri pulmonal:
1) Untuk pemberian obat, pertimbangkan pemberian antikoagulan untuk klien dengan
hipertensi pulmonal dan klien dengan kateter (indwelling cathether).
2) Golongan obat yang berbeda digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal.
Obat-obatan ini termasuk calcium channel blocker, berupa phosphodiesterase-5
(misalnya, sildenafil [Revatio, Viagra]), antagonis endothelin (misalnya, bosentan
[Tracleer]), dan prostanoid (misalnya, epoprostenol [Flolan], treprostinil
[Remodulin], dan iloprost [Ventavis]). Pilihan agen terapeutik didasarkan pada
tingkat keparahan penyakit.
3) Beberapa klien memberikan respons yang baik terhadap pemberian vasodilator dan
calcium channel blocker.
4) Transplantasi paru tetap menjadi pilihan bagi semua klien yang mengalami gejala
parah setelah 3 bulan menjalani epoprostenol. Atrial septostomy (prosedur bedah)
dapat dipertimbangkan untuk klien tertentu/terpilih.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Anamnesis
Sesak napas yang belum jelas penyebabnya, cepat lelah, lemah, sakit dada,
sinkope, distensi abdomen, dipsnea paroksimal dan adanya faktor risiko PH (riwayat
keluarga, penyakit jaringan ikat, hipertensi portal, infeksi HIV dan penyakit jantung
bawaan).
2) Pemeriksaan Fisik
a) Sistem integumen: diaforesis, sianosis, clubbing finger, dan edema perifer.
b) Sistem kardiovaskular: distensi vena jugularis (JVP meningkat).
c) Sistem gastrointestinal: asites, hepatomegali, mual, perut begah, nafsu makan
menurun, diare, konstipasi.
d) Sistem respirasi: suara napas, ronchi, wheezing, perubahan kecepatan dan
kedalaman napas, serta penggunaan otot bantu pernapasan.
e) Sistem persarafan: tingkat kesadaran, kelemahan ekstremitas, riwayat afasia.

179
f) Sistem perkemihan: Nyeri BAK, jumlah, warna, dan konsistensi urine.
g) Sistem penglihatan: konjungtiva (anemis), sklera (kuning), kornea (arcus
senilis), eksoptalmus (tirotoxikosis).
h) Status psikologi: depresi, ansietas.
i) Suport sosial: dukungan keluarga/lingkungan dan finansial.
j) Pendidikan/tingkat pengetahuan

b. Diagnosis Keperawatan
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan irama jantung, strok
volume, preload dan afterload, kontraktilitas jantung.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru, hipertensi pulmonal.
3) Gangguan pola napas berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke paru.
4) Perfusi jaringan kardiopulmoner tidak efektif berhubungan gangguan afinitas Hb
oksigen, gangguan hipoventilasi O2 transportasi.
5) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antarsuplai
oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder penurunan curah jantung

180
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Penurunan curah jantung a. Cardiac Pump Effectiveness a. Evaluasi adanya nyeri dada
berhubungan dengan gangguan b. Circulation Status b. Catat adanya disritmia jantung
irama jantung, strok volume, c. Vital Sign Status c. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
preload dan afterload, d. Tissue Perfusion: Perifer curah jantung
kontraktilitas jantung. d. Monitor status pernapasan yang
Kriteria hasil: menandakan gagal jantung
a. Tanda vital dalam rentang e. Monitor keseimbangan cairan
normal (tekanan darah, nadi, f. Monitor respons klien terhadap efek
respirasi) pengobatan antiaritmia
b. Dapat mentoleransi aktivitas, g. Atur periode latihan dan istirahat untuk
tidak ada kelelahan menghindari kelelahan
c. Tidak ada edema paru, h. Monitor toleransi aktivitas klien
perifer, dan tidak ada asites i. Monitor adanya dispnea, fatigue, takipnea
d. Tidak ada penurunan dan ortopnea
kesadaran j. Anjurkan untuk menurunkan stres
e. Gas darah arteri dalam batas k. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
normal l. Monitor VS saat klien berbaring, duduk,
f. Tidak ada distensi vena atau berdiri
jugularis m. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
g. Warna kulit normal bandingkan

181
n. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
o. Monitor jumlah, bunyi dan irama jantung
p. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
q. Monitor pola pernapasan abnormal
r. Monitor suhu, warna, dan kelembapan
kulit
s. Monitor sianosis perifer
t. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
u. Identifikasi penyebab perubahan vital sign
v. Jelaskan pada klien tujuan pemberian
oksigen
w. Sediakan informasi untuk mengurangi
stres
x. Kelola pemberian obat anti aritmia,
inotropik, nitrogliserin dan vasodilator
untuk mempertahankan kontraktilitas
jantung
y. Kelola pemberian antikoagulan untuk
mencegah trombus perifer

182
2. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan kongesti Exchange ventilasi
paru, hipertensi pulmonal. b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
Elektrolit c. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
c. Respiratory Status: tambahan
Ventilation d. Berikan bronkodilator:…………………
d. Vital Sign Status e. Berikan pelembap udara
f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
Kriteria hasil: keseimbangan.
a. Mendemonstrasikan g. Monitor respirasi dan status O2
peningkatan ventilasi dan h. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
oksigenasi yang adekuat penggunaan otot tambahan, retraksi otot
b. Memelihara kebersihan paru- supraclavikula dan interkostal
paru dan bebas dari tanda- i. Monitor suara napas, seperti dengkur
tanda distres pernapasan j. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
c. Mendemonstrasikan batuk kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
efektif dan suara napas yang biot
bersih, tidak ada sianosis dan k. Auskultasi suara napas, catat area
dispnea (mampu l. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
mengeluarkan sputum, m. suara tambahan
mampu bernapas dengan n. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
mudah, tidak ada pursed lips) dan status mental

183
d. Tanda-tanda vital dalam o. Observasi sianosis khususnya membran
rentang normal mukosa
e. Gas darah arteri dalam batas p. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
normal persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
f. Status neurologis dalam batas alat tambahan (O2, suction, inhalasi)
normal q. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
3. Gangguan pola napas a. Respiratory Status: a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan Ventilation ventilasi
peningkatan aliran darah ke b. Respiratory Status: Airway b. Pasang mayo bila perlu
paru. Patency c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Vital Sign Status d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Kriteria hasil: e. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
a. Menunjukkan jalan napas tambahan
yang paten (klien tidak f. Berikan bronkodilator
merasa tercekik, irama napas, g. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
frekuensi pernapasan dalam lembap
rentang normal, tidak ada h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
suara napas abnormal) keseimbangan.
i. Monitor respirasi dan status O2
j. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea

184
b. Tanda-tanda vital dalam k. Pertahankan jalan napas yang paten
rentang normal (tekanan l. Observasi adanya tanda-tanda
darah, nadi, pernapasan) hipoventilasi
m. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
oksigenasi
n. Monitor vital sign
o. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.
p. Monitor pola napas
4. Perfusi jaringan kardiopulmoner Tissue Perfusion: Cardiopulmonary h. Periksa dorsalis pedis dan denyut nadi tibia
tidak efektif berhubungan posterior secara bilateral. Jika tidak dapat
gangguan afinitas Hb oksigen, Kriteria hasil: menemukannya, gunakan stetoskop
gangguan hipoventilasi O2 a. Menunjukkan perfusi Doppler dan beri tahu dokter jika denyut
transportasi. jaringan yang tepat, seperti nadi tidak ada.
yang dibuktikan oleh i. Perhatikan warna kulit dan rasakan suhu
rangsangan perifer teraba, kulit.
kulit hangat dan kering, j. Periksa waktu pengisian kapiler.
keluaran urine yang adekuat, k. Perhatikan adanya edema pada
dan tidak adanya gangguan ekstremitas.
pernapasan.

185
b. Pengetahuan tentang rejimen l. Ukur lingkar pergelangan kaki dan betis
pengobatan, termasuk latihan pada saat yang sama setiap hari di pagi
yang tepat dan obat-obatan hari.
dan kemungkinan efek m. Kaji nyeri di ekstremitas, perhatikan
samping tingkat keparahan, kualitas, waktu, dan
c. Mengidentifikasi perubahan hal-hal yang dapat meningkatkan nyeri.
gaya hidup yang dibutuhkan Bedakan gangguan pada vena atau
untuk meningkatkan perfusi penyakit arteri. Pada klien dengan
jaringan insufisiensi vena, nyeri berkurang dengan
elevasi kaki dan olahraga.

5. Intoleransi aktivitas yang a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien


berhubungan dengan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas
ketidakseimbangan antarsuplai c. Konservasi energi secara bergantian
oksigen ke jaringan dengan c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
kebutuhan sekunder penurunan Kriteria hasil: berkala
curah jantung. a. Menunjukkan toleransi aktivitas d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
b. Menampilkan aktivitas memberikan terapi yang tepat
kehidupan sehari–hari

186
C. KOR PULMONAL
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Kor pulmonal merupakan suatu kondisi di mana ventrikel kanan mengalami
pembesaran (dengan atau tanpa gagal jantung kanan) akibat adanya penyakit yang
mempengaruhi struktur atau fungsi paru-paru (Smeltzer, 2010). Tekanan arteri
pulmonar pada klien dengan kor pulmonal dapat mencapai 45 mm Hg atau lebih.
Penyebab paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang parah.
Kondisi lain yang menjadi penyebab kor pulmonal adalah kondisi yang membatasi
fungsi ventilasi; kondisi yang memicu hipoksemia atau asidosis, dan kondisi yang
mengurangi peredaran darah di paru-paru serta gangguan lain, seperti gangguan sistem
saraf, otot pernapasan, dan dinding dada.
b. Etiologi
Paru-paru bergantung pada jantung untuk mengangkut darah dari tubuh ke paru-
paru. Hipertensi pulmonal adalah jenis peningkatan tekanan di arteri paru-paru dan
berakibat pada ventrikel kanan jantung. Hal tersebut terjadi akibat ventrikel kanan
harus mengatasi tekanan tinggi di paru-paru untuk memaksa darah masuk ke paru-
paru. Tekanan yang meningkat ini menyebabkan transportasi darah ke paru-paru tidak
efektif. Hipertensi pulmonal yang tidak diobati adalah penyebab paling umum kor
pulmonal. Kondisi lain yang dapat menyebabkan komplikasi kesehatan ini termasuk
emboli paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, kerusakan jaringan paru-paru,
sleep apnea, dan cystic fibrosis.
c. Faktor Risiko
Sebagian besar kasus kor pulmonal bersifat sekunder akibat penyakit paru-paru.
Hampir semua penyakit paru kronis bisa menyebabkannya. Namun, dalam praktik
klinis, penyebab utama kor pulmonal antara lain emboli paru akut, emfisema kronis,
atau bronkitis kronis.
d. Tanda dan Gejala
Gejala yang umumnya terjadi adalah adanya dispnea eksersional, takipnea, batuk,
dan lelah. Tanda-tanda fisik yang dapat dilihat adalah adanya hipertrofi ventrikel
kanan dan meningkatnya bunyi jantung kedua (Brown dkk., 2014). Hipoksemia kronis

187
memicu polisitemia dan meningkatnya volume darah total serta viskositas darah. Jika
gagal jantung turut menyertai kor pulmonal, dapat terjadi beberapa gejala tambahan,
seperti edema periferal; penambahan berat badan; distensi vena jugularis; dan
pembesaran hati.

e. Patofisiologi

Gangguan paru-paru restirktif


Gangguan paru-paru obstruksi
Gangguan paru-paru primer

Perubahan anatomi
Perubahan fungsional paru-paru
pembuluh darah
paru-paru
Hiposekmia dan hiperkapnia

Polisitemia
Pengurangan jaringan Asidosis
vaskular paru-paru
Peningkatan resistensi Vasokonstruksi arteri pulmonal
vaskular pau-paru

Hipertensi pulmonal

Hipertensi ventrikel kanan

Kor pulmonal

(Sumber: Price dan Wilson dalam Soemantri, 2008)

f. Komplikasi
1) Exertional syncope
2) Hipoksia
3) Edema perifer
4) Insufiensi vena perifer
5) Regurgitasi trikuspid

188
6) Gangguan fungsi hati dan sirosis hepatis
7) Kematian

g. Pemeriksaan Diagnostik
Kor pulmonal didiagnosis menggunakan pemeriksaan fisik dan tes medis. Dokter akan
mencari irama jantung abnormal, retensi cairan, dan distensi vena jugularis.
Pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk mendeteksi kadar antibodi dan peptida
natriuretik. Peptida natriuretik adalah asam amino yang disekresi oleh jantung dan
hepar. Pemeriksaan diagnostik juga meliputi:
1) CT Scan
2) Ekokardiogram, pemeriksaan menggunakan gelombang suara untuk
menghasilkan gambaran jantung
3) X-ray toraks, untuk pemeriksaan adanya kelainan pada toraks
4) Scan paru-paru, digunakan untuk mendeteksi pembekuan darah
5) Tes fungsi paru-paru, untuk melihat fungsi paru-paru
6) Kateterisasi jantung kanan

h. Penatalaksanaan Medis
1) Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki ventilasi dan mengobati penyakit
paru yang mendasarinya; serta manifestasi penyakit jantung.
2) Pemberian oksigen dilakukan untuk mengurangi tekanan arteri pulmonal dan
resistensi pembuluh darah paru. Untuk klien dengan hipoksia berat, berikan terapi
oksigen terus menerus (24 jam/hari).
3) Tingkat oksigen darah dinilai dengan oksimetri nadi dan analisis gas darah arteri.
4) Fisioterapi dada dilakukan untuk menurunkan akumulasi sekret/mukus jalan
napas. Selain itu, dapat diberikan bronkodilator untuk meningkatkan kemampuan
ventilasi.
5) Terapi bronkodilator diberikan pada kasus dengan etiologi gangguan obstruktif.
6) Lakukan intubasi dan ventilasi mekanis (jika diperlukan) jika terjadi kegagalan
pernapasan.

189
7) Jika klien mengalami gagal jantung (heart failure), hipoksemia, dan hiperkapnia,
segera tangani untuk memperbaiki curah jantung.
8) Edema periferal dan preload ventrikel kanan dikurangi dengan istirahat, restriksi
natrium, dan diuretik.
9) Jika diindikasikan (misalnya, pada kegagalan ventrikel kiri), digitalis dapat
diberikan.
10) Infeksi paru-paru harus segera diobati karena hal ini akan memperburuk
hipoksemia dan kor pulmonal.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Anamnesis, meliputi:
a) Keluhan kor pulmonal akut akibat emboli paru adalah sesak tiba-tiba pada saat
istirahat, terkadang batuk-batuk, dan hemoptisis.
b) Keluhan klien kor pulmonal (penyakit paru obstruktif kronis [PPOK]) adalah
sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
c) Pada penderita kor pulmonal dengan hipertensi pulmonal idiopatik, keluhannya
berupa sesak napas dan sering pingsan jika beraktivitas (exertional syncope).
2) Identitas klien
a) Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan pada anak-anak. Untuk orang
dewasa, kasus yang paling sering ditemukan adalah pada lansia.
b) Untuk kasus anak-anak, umumnya terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran
napas atas, seperti hipertrofi tonsil dan adenoid.
c) Jenis pekerjaan yang dapat menjadi risiko terjadinya kor pulmonal adalah para
pekerja yang sering terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok.
d) Lingkungan yang menjadi pemicu kor pulmonal adalah lingkungan (yang dekat)
dengan daerah perindustrian dan kondisi rumah yang kurang memenuhi
persyaratan rumah yang sehat.
3) Riwayat sakit dan Kesehatan
a) Keluhan utama
Klien dengan kor pulmonal sering mengeluh sesak, nyeri dada

190
b) Riwayat penyakit saat ini
Pada klien kor pulmonal, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih,
sesak, nyeri dada, batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan
keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau
menghilangkan keluhan-keluhan tersebut. Penyebab kelemahan fisik setelah
melakukan aktivitas ringan sampai berat:
i. Seperti apa kelemahan melakukan aktivitas yang dirasakan, biasanya
disertai sesak napas.
ii. Apakah kelemahan fisik bersifat lokal atau keseluruhan sistem otot rangka
dan apakah disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
iii. Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.
iv. Kapan timbulnya keluhan kelemahan dalam beraktivitas, seberapa
lamanya kelemahan dalam beraktivitas, apakah setiap waktu, saat istirahat
ataupun saat beraktivitas tertentu.
c) Riwayat penyakit dahulu
Klien dengan kor pulmonal biasanya memilki riwayat penyakit, seperti penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling
sering adalah klien dengan riwayat hipertensi pulmonal.

4) Pemeriksaan fisik
a) B1 (Breath)
i. Pola napas : irama tidak teratur
ii. Suara napas : wheezing, ronchi, rales
iii. Sesak napas (+)
b) B2 (Blood)
i. Irama jantung : ireguler BJ1/BJ2
ii. Nyeri dada (+)
iii. Bunyi jantung : murmur
iv. CRT : dapat lebih dari 3 detik
v. Akral : dingin lembap

191
vi. Pembesaran vena jugularis
vii. Edema tungkai
c) B3 (Brain)
ii. Nyeri kepala
iii. Penurunan kesadaran
d) B4 (Bladder)
Jumlah urine kurang dari 0,5cc/kg BB/jam
e) B5 (Bowel)
Peristaltik kurang dari 5x/menit

b. Diagnosis Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan sempitnya lapang respirasi dan
penekanan toraks.
3) Penurunan curah jantung berhubungan dengan respons fisiologis otot jantung.
4) Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan menurunnya curah jantung.

192
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan kongesti Exchange ventilasi
paru. b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
Elektrolit c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Respiratory Status: Ventilation d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
d. Vital Sign Status suction
e. Auskultasi suara napas, catat adanya
Kriteria hasil: suara tambahan
a. Mendemonstrasikan f. Berikan bronkodilator
peningkatan ventilasi dan g. Berikan pelembap udara
oksigenasi yang adekuat h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
b. Memelihara kebersihan paru- keseimbangan.
paru dan bebas dari tanda-tanda i. Monitor respirasi dan status O2
distres pernapasan j. Catat pergerakan dada, amati
c. Mendemonstrasikan batuk kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
efektif dan suara napas yang retraksi otot supraclavikula dan
bersih, tidak ada sianosis dan interkostal
dispnea (mampu mengeluarkan k. Monitor suara napas, seperti dengkur
sputum, mampu bernapas

193
dengan mudah, tidak ada pursed l. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
lips) kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
d. Tanda-tanda vital dalam rentang biot
normal m. Auskultasi suara napas, catat area
e. Gas darah arteri dalam batas n. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
normal o. suara tambahan
f. Status neurologis dalam batas p. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
normal dan status mental
q. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
r. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan (O2, suction,
inhalasi)
s. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
2. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan penurunan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
energi atau kelelahan. Patency b. Pasang mayo bila perlu
c. Vital Sign Status c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction

194
Kriteria hasil: e. Auskultasi suara napas, catat adanya
a. Mendemonstrasikan batuk suara tambahan
efektif dan suara napas yang f. Berikan bronkodilator
bersih, tidak ada sianosis dan g. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dispnea (mampu mengeluarkan lembap
sputum, mampu bernapas h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dengan mudah, tidak ada pursed keseimbangan.
lips) i. Monitor respirasi dan status O2
b. Menunjukkan jalan napas yang j. Bersihkan mulut, hidung dan sekret
paten (klien tidak merasa trakea
tercekik, irama napas, frekuensi k. Pertahankan jalan napas yang paten
pernapasan dalam rentang l. Observasi adanya tanda-tanda
normal, tidak ada suara napas hipoventilasi
abnormal) m. Monitor adanya kecemasan klien
e. Tanda-tanda vital dalam rentang terhadap oksigenasi
normal (tekanan darah, nadi, n. Monitor vital sign
pernapasan) o. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.
p. Ajarkan bagaimana batuk efektif
t. Monitor pola napas

195
3. Penurunan curah jantung a. Cardiac Pump Effectiveness Cardiac Care
berhubungan dengan respons b. Circulation Status a. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas,
fisiologis otot jantung. c. Vital Sign Status lokasi, durasi)
b. Catat adanya disritmia jantung
Kriteria Hasil: c. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
a. Tanda vital dalam rentang normal cardiac output
(tekanan darah, nadi, respirasi) d. Monitor status kardiovaskuler
b. Dapat mentoleransi aktivitas, e. Monitor status pernapasan yang
tidak ada kelelahan menandakan gagal jantung
c. Tidak ada edema paru, perifer, f. Monitor abdomen sebagai indicator
dan tidak ada asites penurunan perfusi
d. Tidak ada penurunan kesadaran g. Monitor keseimbangan cairan
h. Monitor adanya perubahan tekanan darah
i. Monitor respons klien terhadap efek
pengobatan antiaritmia
j. Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
k. Monitor toleransi aktivitas klien
l. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu
dan ortopneu
m. Anjurkan untuk menurunkan stres

196
Vital Sign Monitoring
a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
b. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
c. Monitor VS saat klien berbaring, duduk,
atau berdiri
d. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
e. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
f. Monitor kualitas dari nadi
g. Monitor adanya pulsus paradoksus
h. Monitor adanya pulsus alterans
i. Monitor jumlah dan irama jantung
j. Monitor bunyi jantung
k. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
l. Monitor suara paru
m. Monitor pola pernapasan abnormal
n. Monitor suhu, warna, dan kelembapan kulit
o. Monitor sianosis perifer
p. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik)

197
q. Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign
4. Perfusi jaringan tidak efektif a. Circulation Status Peripheral Sensation Management
berhubungan dengan b. Tissue Prefusion: Cerebral a. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
menurunnya curah jantung peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
Kriteria hasil: b. Monitor adanya protease
a. Mendemonstrasikan status c. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
sirkulasi yang ditandai: kulit jika ada lesi atau laserasi
1) Tekanan sistole dan diastole d. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
dalam rentang yang e. Batasi gerakan pada kepala, leher, dan
diharapkan punggung
2) Tidak ada ortostatik f. Monitor kemampuan BAB
hipertensi g. Kolaborasi pemberian analgetik
3) Tidak ada tanda tanda h. Monitor adanya tromboplebitis
peningkatan tekanan
intrakranial (tidak lebih dari
15 mmHg)
b. Mendemonstrasikan kemampuan
kognitif yang ditandai dengan:
1) Berkomunikasi dengan jelas
dan sesuai dengan
kemampuan

198
2) Menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
3) Memproses informasi
4) Membuat keputusan dengan
benar
c. Menunjukkan fungsi sensori
motori kranial yang utuh: tingkat
kesadaran mambaik, tidak ada
gerakan gerakan involunter.

199
BAB VII
KANKER PARU

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Karsinoma bronkogenik atau kanker paru adalah tumor maligna yang timbul dari
epitelium bronkial. Kemungkinan survive bagi klien yang menderita penyakit ini sangat
rendah, karena kanker bisa menyebar ke limfatik regional ketika terdiagnosis. Empat sel
utama dari kanker paru adalah karsinoma epidermoid (sel skuamosa), karsinoma sel kecil
(sel oat), adenokarsinoma dan karsinoma sel besar.
Banyak tumor yang mengandung lebih dari satu tipe sel, pendekatan pengobatan
dilakukan berdasarkan tipe selnya. Tahapan penyebaran tumor mengacu pada luasnya tumor
berdasarkan anatomi, penyebaran pada nodus limfe regional, dan metastasis ke organ lain.
Prognosis lebih baik pada karsinoma epidermoid dan adenokarsinoma.

Gambar 7.1 Karsinoma Paru


(Sumber: Gaillard, dkk., 2010)

200
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor
di paru). Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud dengan kanker paru ialah
kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma
bronkus (bronchogenic carcinoma). Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen.
Sebuah sel normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi
ketidakseimbangan antara fungsi onkogen dengan gen tumor supresor dalam proses tumbuh
dan kembangnya sebuah sel.
Penelitian World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa kanker paru-paru
adalah salah satu jenis kanker yang paling sering menyerang laki-laki di Indonesia.
Berdasarkan data Globocan atau International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun
2012, di Indonesia terdapat 25.322 kasus kanker paru-paru pada pria dan 9.374 kasus pada
wanita. Hasil penelitian di 100 rumah sakit di Jakarta menunjukkan bahwa kanker paru
merupakan kasus kanker terbanyak pada laki-laki dan nomor empat terbanyak pada wanita.
Angka kejadian kanker paru cukup rendah pada usia di bawah 40 tahun dan semakin
meningkat hingga usia 70 tahun.
Kanker paru merupakan penyakit yang perlu pengobatan dan tindakan yang cepat dan
terarah. Pemeriksaannya pun membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana.
Dalam pengobatannya, kanker paru merupakan penyakit yang membutuhkan pendekatan
multidisiplin. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat bergantung pada
diagnosis dini kanker. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat membantu
penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita
memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak
dapat menyembuhkannya. Dalam beberapa kasusm penderita kanker paru membutuhkan
penanganan sesegera mungkin meski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.

2. Etiologi
Rokok adalah penyebab terbesar kanker paru-paru, baik pada perokok aktif maupun
pada orang yang terpapar asap rokok. Namun, kanker paru-paru juga terjadi pada orang yang
tidak pernah merokok dan pada mereka yang tidak pernah terkena asap rokok
berkepanjangan. Dalam kasus ini, tidak ada penyebab kanker paru yang jelas.

201
Merokok menyebabkan kanker paru-paru dengan merusak sel-sel yang melapisi paru-
paru. Saat seseorang menghirup asap rokok yang bersifat karsinogenik, akan terjadi
perubahan struktur sel pada paru-paru dan jalan napas. Pada awalnya, tubuh mungkin dapat
memperbaiki kerusakan ini. Akan tetapi, dengan paparan berulang, sel-sel normal yang
melapisi paru-paru semakin rusak. Seiring waktu, kerusakan menyebabkan sel melakukan
metaplasia dan akhirnya menimbulkan kanker.
3. Faktor Risiko
Rokok merupakan penyebab utama dari kanker paru-paru, baik pada klien perokok
aktif maupun perokok pasif. Selain rokok, beberapa penyebabnya adalah polusi dan kondisi
lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerja.
a. Perokok aktif dan pasif
Sekitar 80-90 persen kasus kanker paru-paru disebabkan oleh kebiasaan merokok.
Maka para perokok aktif menjadi kelompok yang paling berisiko. Rokok mengandung 60
zat beracun yang dapat memicu perkembangan kanker.
Pada awalnya, kerusakan yang terjadi pada paru-paru masih dapat diperbaiki oleh
tubuh. Pengulangan dan keberlanjutan dari merokok menyebabkan kerusakan pada
jaringan paru-paru terus bertambah. Kerusakan inilah yang mengakibatkan sel-sel
bereaksi secara tidak normal hingga akhirnya muncul sel kanker.
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai
salah satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya.
Peningkatan angka kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat
dari hasil hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2013
yang menunjukkan bahwa prevalensi kanker paru di Indonesia sebesar 1,4% dan di
khusus Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 4,1%. Secara umum, prevalensi kanker agak
tinggi pada bayi (0,3%) dan meningkat pada umur ≥15 tahun, dan tertinggi pada umur
≥75 tahun (5%). Prevalensi kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-
laki. Prevalensi kanker di kota cenderung lebih tinggi dari pada di desa. Pada penyakit
kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok
dengan kuintil indeks kepemilikan teratas.
Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Jumlah ini
terus bertambah dari tahun ke tahun. Indonesia berada di urutan ketiga dalam negara-

202
negara dengan perokok aktif tertinggi, setelah Tiongkok dan India. Sementara itu,
perokok pasif adalah orang yang terkena pajanan asap rokok tapi tidak merokok secara
langsung. Meski tidak merokok secara langsung, perokok pasif tetap berisiko terkena
kanker paru-paru. Risiko perokok pasif terkena kanker paru-paru meningkat setidaknya
20 persen dibandingkan orang yang tidak terkena pajanan asap rokok.
b. Polusi Udara
Salah satu penyebab kanker paru-paru adalah polusi udara. Risiko terkena kanker
paru-paru akan meningkat jika kita terkena pajanan polusi udara contohnya dari asap
kendaraan atau asap pabrik. Sekitar satu dari 100 kematian karena kanker paru-paru
diakibatkan oleh tingkat polusi yang tinggi. Menghirup asap pembuangan dari kendaraan
maupun pabrik bisa memiliki dampak yang sama seperti merokok pasif.
c. Pajanan di Tempat Kerja
Beberapa pekerjaan kemungkinan berhubungan dengan meningkatnya risiko
terkena kanker paru-paru. Pegawai yang terkena pajanan beberapa senyawa kimia yang
bersifat karsinogenik, seperti asbes, nikel, batu bara, silika, dan arsenik memiliki risiko
lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru.
d. Pajanan Radiasi
Radon adalah gas radioaktif yang muncul secara alami, dan merupakan bagian dari
udara yang kita hirup. Radon berasal dari batuan dan tanah dalam jumlah yang sangat
kecil. Gas radon ini bisa berpindah tempat melalui tanah. Gas ini akan masuk ke dalam
rumah melalui celah-celah fondasi, pipa, saluran air atau lubang terbuka lainnya. Gas ini
bisa diuji dengan alat pengujian sederhana, karena gas radon bersifat tidak kasat mata dan
tidak berbau. Jika dihirup, gas radon dapat merusak paru-paru, terutama bagi seorang
perokok.

4. Tanda dan Gejala


Kanker paru tidak akan memperlihatkan gejala apapun pada tahap awal. Gejala baru
terlihat jika kanker sudah menyebar dan mencapai suatu tahap tertentu. Kanker paru-paru
sering tidak menunjukkan gejala hingga sudah stadium lanjut. Banyak klien baru
terdiagnosis ketika kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Ada gejala umum yang
menjadi tanda menderita kanker paru, anatra lain:

203
a. Batuk yang berkelanjutan dan bertambah parah, hingga akhirnya mengalami batuk
darah.
b. Mengalami sesak napas dan rasa nyeri di dada.
c. Mengalami kelelahan tanpa sebab.
d. Pembengkakan pada muka atau leher.
e. Sakit kepala.
f. Sakit pada tulang, bisa pada bahu, lengan atau tangan.
g. Berat tubuh menurun.
h. Kehilangan selera makan.
i. Suara menjadi serak.
j. Kesulitan menelan atau sakit saat menelan sesuatu.
k. Perubahan pada bentuk jari, yaitu ujung jari menjadi cembung.

Gejala kanker paru harus segera diketahui. Jika terlambat diobati, tingkat keberhasilan
pengobatan juga menjadi rendah. Sebenarnya, ada tujuh gejala awal yang mudah
diidentifikasi, antara lain:
a. Batuk darah
Batuk darah merupakan petanda buruk bagi kesehatan tubuh. Seorang ahli bedah toraks
dari Mount Sinai School of Medicine di New York City mengatakan, orang yang
mengalami batuk darah harus segera periksa ke dokter. Batuk berdarah bisa jadi tanda
adanya kanker paru, walau perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikannya.
b. Nyeri dada
Nyeri dada menjadi salah satu gejala kanker paru. Rasa nyeri sering dirasakan pada dada,
punggung, hingga bahu. Terkadang bisa disertai rasa sesak di dada.
c. Batuk terus-menerus
Batuk bisa disebabkan oleh flu dan alergi. Namun, jika batuk berkepanjangan, dapat
menjadi tanda penyakit lebih serius, seperti kanker paru.
d. Sesak napas
Perasaan sesak napas saat sedang istirahat atau melakukan aktivitas ringan bisa jadi gejala
kanker paru-paru, terutama jika disertai dengan gejala lainnya.
e. Mudah merasa lelah

204
Menurut penelitian yang dilakukan American Cancer Society, penurunan berat badan dan
hilang nafsu makan bisa jadi tanda kanker paru-paru. Selain itu, klien juga dapat
mengalami penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas ringan.
f. Asma
Jika seseorang didiagnosis asma saat sudah dewasa atau usia lebih tua, waspadai gejala
kanker paru. Klien diedukasi untuk segera melakukan skrining untuk mengetahui ada atau
tidaknya tumor di paru-paru.
g. Nyeri di seluruh tubuh
Keluhan yang sering dialami klien adalah nyeri kepala, gangguan keseimbangan, mati
rasa pada tungkai. Gejala di atas mengindikasikan bahwa kanker telah menyebar ke otak
atau sumsum tulang belakang. Sementara itu, jika mata dan kulit menguning, bisa jadi
telah menyebar ke hati hingga kelenjar getah bening.
h. Perubahan suara
Suara klien dapat tiba-tiba menjadi serak ketika bangun tidur. Jika perubahan suara
tersebut menetap lebih dari dua minggu, harus segera dilakukan rontgen. Kanker paru
dapat mempengaruhi pita suara sehingga menyebabkan perubahan suara.

5. Klasifikasi
Berdasarkan jenis sel yang terkena, ACS membagi kanker paru ke dalam tiga tipe
utama. Tipe kanker akan mempengaruhi pilihan pengobatan dan prognosis. Berikut ini
merupakan tiga tipe kanker tersebut:
a. Kanker Paru-Paru Non- Sel Kecil (Non-Small Cell Lung Cancer [NSCLC])
Kanker paru non-sel kecil (NSCLC) adalah jenis kanker paru yang paling umum.
Karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, dan karsinoma sel besar adalah subtipe
dari NSCLC.
b. Kanker paru-paru sel kecil (Small Cell Lung Cancer [SCLC])
Kanker jenis ini juga biasa disebut dengan kanker sel oat. Sekitar 10% sampai 15%
kanker paru adalah SCLC. Kanker jenis ini merupakan kanker yang dapat menyebar
dengan cepat.
c. Tumor Karsinoid Paru

205
Tumor karsinoid paru (juga dikenal sebagai karsinoid paru) adalah jenis kanker paru-
paru yang merupakan kanker yang dimulai di paru-paru. Kanker dimulai saat sel
mulai tumbuh tak terkendali. Sel di hampir seluruh bagian tubuh bisa menjadi kanker
dan bisa menyebar ke daerah lain di tubuh. Tumor karsinoid paru jarang terjadi dan
cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan jenis kanker paru lainnya.

6. Stadium
Tahap diagnosis akan dilanjutkan dengan pengobatan, namun pengobatan disesuaikan
dengan tingkat stadium kanker. Semakin tinggi tingkat stadium, semakin serius kondisi
kanker. Stadium kanker paru menunjuk pada letak, ukuran, dan penyebaran tumor.

Tabel 7.1 Stadium NSCLC


Stadium Karakteristik
I Tumor kecil dan terlokalisasi di paru. Tidak menyerang kelenjar getah
bening.
A Tumor <3 cm
B Tumor 3-5 cm dan menyerang daerah sekitar

II Peningkatan ukuran tumor, terdapat keterlibatan beberapa kelenjar getah


bening
A Tumor berukuran 3-5 cm dan telah menyebar ke kelenjar getah bening di
sisi yang sama dari dada atau daerah tumor, atau
Tumor berukuran 5-7 cm, tetapi tidak menyerang getah bening
B Tumor berukuran 5-7 cm dan sudah menyerang bronkus dan kelenjar
getah bening di sisi dada yang sama dan jaringan organ lokal lainnya, atau
Tumor berukuran >7 cm, tetapi tidak menyerang kelenjar getah bening

III Peningkatan penyebaran tumor


A Tumor menyebar ke daerah terdekat (dinding dada, pleura, perikardium)
dan kelenjar getah bening regional.
B Tumor meluas, menyebar ke jantung, trakhea, esofagus, mediastinum.
Tumor ini melibatkan efusi pleura ganas, kelenjar getah bening
kontralateral, kelenjar getah bening skalene atau supraklavikular
IV Metastasis (penyebaran kanker dari situs awal ke tempat lain di dalam
tubuh) yang jauh
(Sumber: Brown dkk., 2014)

206
7. Patofisiologi
Patofisiologi perkembangan kanker paru-paru kompleks dan tidak sepenuhnya
dipahami. Gen yang dipengaruhi patogenesis kanker paru menghasilkan protein yang terlibat
dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi, proses siklus sel, apoptosis, angiogenesis, progresi
tumor, dan regulasi kekebalan tubuh.
8. Komplikasi
Kanker paru-paru dapat menyebabkan komplikasi, seperti:
a. Sesak napas. Orang dengan kanker paru-paru bisa mengalami sesak napas jika
pertumbuhan kanker menghalangi jalan napas utama. Kanker paru-paru juga dapat
menyebabkan cairan menumpuk di sekitar paru-paru, sehingga menghambat ekspansi
paru-paru.
b. Ruptur pembuluh darah pada paru-paru. Kanker paru-paru dapat menyebabkan
pendarahan di saluran napas, yang dapat menyebabkan batuk darah (hemoptisis).
c. Efusi pleura. Kanker paru-paru dapat menyebabkan akumulasi cairan di ruang pleura
yang dapat menyebabkan sesak napas.
d. Penyebaran kanker ke bagian tubuh yang lain (metastasis). Kanker paru-paru sering
menyebar (bermetastasis) ke bagian lain dari tubuh, seperti otak dan tulang melalui
darah atau sistem limfatik. Kanker yang menyebar dapat menyebabkan rasa sakit,
mual, sakit kepala, atau tanda dan gejala lain tergantung pada organ apa yang
terpengaruh.
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi. Radiologi sinar-X pada paru-paru akan memberikan gambaran
nodul dan abnormalitas paru-paru. CT Scan dapat mengungkapkan lesi kecil di paru-
paru yang mungkin tidak terdeteksi pada sinar-X.
b. Sitologi sputum. Pemeriksaan dahak dengan mikroskop sering kali dapat
mengungkapkan keberadaan sel-sel kanker paru-paru.
c. Sampel jaringan (biopsi). Contoh sel abnormal dapat diangkat dalam prosedur yang
disebut biopsi. Biopsi bisa dilakukan dengan beberapa cara, termasuk bronkoskopi, di
mana area paru-paru yang abnormal diperiksa menggunakan alat yang dimasukkan dari
tenggorokan ke paru-paru. Selain itu, bisa menggunakan prosedur mediastinoskopi, di
mana sayatan dibuat di dasar leher dan alat bedah dimasukkan di belakang tulang dada

207
untuk mengambil sampel jaringan dari kelenjar getah bening. Sampel biopsi juga dapat
diambil dari kelenjar getah bening atau area lain di mana kanker telah menyebar.

10. Penatalaksanaan Medis


Berikut ini merupakan manajemen medis terhadap klien dengan kanker paru-paru:
a. Tujuan manajemen adalah untuk memberikan penyembuhan jika memungkinkan.
b. Pengobatan tergantung pada jenis sel, stadium penyakit, dan status fisiologis.
c. Pengobatan mungkin melibatkan pembedahan (pilihan), terapi radiasi, atau kemoterapi;
atau kombinasi ini. Terapi yang lebih baru dan lebih spesifik untuk memodulasi sistem
kekebalan tubuh sedang dalam penelitian.

Selain manajemen medis tersebut, terdapat manajemen medis lainnya yang dapat
diterapkan dalam penanganan klien dengan kanker paru. Penatalaksanaan ditujukan untuk
mengobati keganasan, meningkatkan kelangsungan hidup dan mencegah pertumbuhan
kembali sel abnormal, atau meminimalkan gejala dengan terapi paliatif. Berbagai terapi yang
dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Pembedahan (misalnya eksisi, operasi endoskopi, salvage surgery, cryosurgery,
chemosurgery, atau operasi laser). Pembedahan mungkin merupakan metode pengobatan
utama atau mungkin bersifat profilaksis, paliatif, atau rekonstruktif. Tujuan pembedahan
ini adalah untuk mengangkat tumor sebanyak mungkin.
b. Terapi radiasi dan kemoterapi (dapat digunakan secara terpisah atau kombinasi).
c. Terapi lainnya (misalnya Biological Response Modifier [BRM], terapi gen, pengobatan
komplementer dan alternatif [CAM]).

Tujuan dari pengobatan adalah memberikan kemungkinan penyembuhan maksimum.


Pengobatan disesuaikan pada tipe sel, tahap penyakit, dan melihat status psikologis.
Pengobatan tambahan seperti pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi, dan imunoterapi bisa
dilakukan secara terpisah atau dilakukan secara bersamaan.
a. Manajemen Tanpa Pembedahan
1) Terapi oksigen

208
Jika terjadi hipoksemia, klien harus diberikan oksigen masker atau nasal canula
sesuai dengan kebutuhan. Oksigen dapat diberikan sesuai kebutuhan untuk
memperbaiki dispnea dan rasa cemasnya.
2) Terapi Obat
Jika klien mengalami bronkospasme, segera diberikan obat golongan bronkodilator
dan golongan kortikosteroid. Fungsinya untuk mengurangi bronkospasme, inflamasi,
dan edema.
3) Kemoterapi
Kemoterapi adalah pilihan pengobatan yang bisa diberikan pada klien kanker paru-
paru, terutama yang masih di tahap small-cell lung cancer karena metastasis.
Pengobatan kemoterapi bisa juga dilakukan bersamaan dengan pengobatan dengan
pembedahan.
4) Imunoterapi
Bagi klien kanker paru-paru yang mengalami gangguan imun, dapat diberikan
imunoterapi
5) Terapi Radiasi
Indikasi:
a) Klien dengan tumor paru-paru yang dapat dioperasi, tetapi berisiko jika
dilakukan operasi.
b) Klien dengan kanker adenokarsinoma atau sel skuamosa inoperable di mana
terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada hilus ipsilateral dan mediastinal.
c) Klien kanker bronkhus dengan oat cell.
d) Klien kambuhan sesudah lobektomi atau pneumonektomi.
Komplikasi:
a) Esofagitis: hilang satu minggu sampai dengan sepuluh hari sesudah pengobatan.
b) Pneumonitis: pada rontgen terlihat bayangan eksudat di daerah penyinaran.
6) Terapi Laser Bronkoskopi
Terapi laser bronkoskopi dimungkinkan dapat mengangkat lesi bronkial yang
menghalangi. Laser Nd:YAG (neodymium-doped yttrium aluminum garnet)
merupakan laser yang biasanya digunakan untuk reseksi dengan menggunakan

209
bronkoskop. Terapi ini merupakan pengobatan obstruksi endobronkial yang
efektif dan aman.
7) Torasentesis dan Pleurodesis
a) Efusi pleura dapat menjadi masalah bagi klien dengan kanker paru-paru.
b) Efusi timbul akibat adanya tumor pada pleura visceralis dan parietalis dan
obstruksi kelenjar limfe mediastinal.
c) Tujuan akhir: mengeluarkan dan mencegah akumulasi cairan.
8) Terapi Fotodinamik
Terapi ini digunakan untuk merawat klien dengan kanker paru-paru stadium awal
yang terbatas pada lapisan luar saluran napas. Terapi ini juga dapat mengangkat lesi
yang menghalangi jalan napas.
9) Airway Stenting
Airway stenting adalah prosedur yang sering dilakukan, yang biasanya digunakan
untuk meringankan dispnea, batuk, atau insufisiensi pernapasan (Brown dkk., 2014).
Keuntungan dari adanya airway stent adalah mendukung dinding jalan napas dalam
melawan kolaps atau kompresi eksternal. Selain itu, alat ini juga dapat menunda
ekstensi tumor ke dalam lumen jalan napas.
10) Ablasi Radiofrekuensi
Terapi ini digunakan untuk menangani NSCLC yang berada di tepi luar paru. Terapi
ini merupakan cara alternatif bagi klien yang tidak dapat dilakukan pembedahan.
b. Manajemen Bedah
1) Dilaksanakan bagi klien pada tumor stadium I dan II jenis karsinoma, adenokarsinoma,
dan karsinoma sel besar.
2) Dilaksanakan khusus bagi klien stadium III yang mencakup tiga kriteria:
a) Karakter Biologis tumor:
i. Hasil baik: tumor dari sel skuamosa dan epidermoid
ii. Hasil cukup baik: adenokarsinoma dan karsinoma sel besar
iii. Hasil buruk: oat cell
b) Letak tumor dan pembagian stadium klinik. Untuk menentukan letak pembedahan.
c) Keadaan fungsional penderita

210
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengkajian adalah dengan mengidentifikasi
data subjektif dan objektif.

Tabel 7.2 Data subjektif dan objektif klien dengan kanker paru
Data Subjektif
1. Informasi kesehatan yang penting
a. Riwayat kesehatan masa lalu:
1) Paparan asap rokok second-hand smoke; karsinogen udara (asbes, radon, dll.);
atau polutan lainnya
2) Lingkungan hidup perkotaan
3) Penyakit paru kronis (tuberkulosis, bronkiektasis, dll.)
b. Pengobatan
Obat batuk atau medikasi pernapasan lainnya
2. Pola kesehatan fungsional
a. Persepsi kesehatan-manajemen kesehatan
1) Riwayat merokok
2) Riwayat keluarga berpenyakit paru
3) Sering mengalami infeksi saluran pernapasan
b. Nutrisi-metabolisme
1) Anoreksia, mual, muntah, disfagia
2) Penurunan berat badan
3) Kedinginan
c. Aktivitas-latihan
1) Kelelahan
2) Batuk terus-menerus (produktif maupun nonproduktif)
3) Dispnea saat beristirahat atau beraktivitas, hemoptisis (gejala lanjut)
d. Kognitif-perseptual
Nyeri dada atau sesak, nyeri bahu dan lengan, sakit kepala, sakit tulang (gejala
lanjutan)

Data Objektif
1. Umum
Demam, limfadenofati leher dan aksila (ketiak), sindrom paraneoplastik
2. Integumen
a. Jaundice (metastasis hati)
b. Edema leher dan wajah

211
c. Clubbing finger (kelainan bentuk jari dan kuku tangan)
3. Pernapasan
Wheezing, suara serak (hoarseness), stridor, kelumpuhan diafragma unilateral, efusi
pleura (gejala lanjutan)
4. Kardiovaskular
Efusi perikardial, tamponade jantung, disritmia (gejala lanjutan)
5. Neurologi
Kebingungan, disorientasi, gangguan gaya berjalan (unsteady gait)
6. Muskuloskeletal
Fraktur patologis, kelelahan otot (muscle wasting) (gejala lanjutan)
7. Kemungkinan temuan diagnostik
a. Lesi pada rontgen dada, CT Scan, atau PET Scan
b. Temuan MRI vertebra, sumsum tulang belakang, atau invasi mediastinum
c. Sputum positif pada bronchial washing untuk studi sitologi
d. Bronkoskopi fiberoptik positif dan temuan biopsi

(Sumber: Lewis dkk., 2014)

b. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi
trakeobronkial dan adanya tumor.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya kapasitas paru-paru.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan tumor yang menghalangi aliran udara.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.

212
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif berhubungan dengan b. Respiratory status: Airway suctioning.
peningkatan sekresi Patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
trakeabronkial dan adanya tumor c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
dalam
Kriteria hasil: d. Posisikan klien memaksimalkan
a. Mendemonstrasikan batuk ventilasi
efektif dan suara napas yang e. Keluarkan sekret dengan batuk atau
bersih, tidak ada sianosis dan suction
dispnea (mampu mengeluarkan f. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sputum, bernapas dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) g. Berikan bronkodilator
b. Menunjukkan jalan napas yang h. Monitor status hemodinamika
paten (klien tidak merasa i. Berikan pelembap udara kasa NaCl lembap
tercekik, irama napas, frekuensi j. Berikan antibiotik
pernapasan dalam rentang k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
normal, tidak ada suara napas keseimbangan.
abnormal) l. Monitor respirasi dan status O2
c. Mampu mengidentifikasikan dan m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
mencegah faktor yang penyebab. mengencerkan sekret

213
d. Saturasi O2 dalam batas normal n. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
e. Foto toraks dalam batas normal penggunaan peralatan: O2, suction,
inhalasi
2. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
menurunnya kapasitas paru- Patency b. Pasang mayo bila perlu
paru. c. Vital Sign Status c. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
tambahan
Kriteria hasil: d. Berikan bronkodilator
d. Mendemonstrasikan batuk e. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
efektif dan suara napas yang lembap
bersih, tidak ada sianosis dan f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dispnea (mampu mengeluarkan keseimbangan.
sputum, mampu bernapas g. Monitor respirasi dan status O2
dengan mudah, tidak ada pursed h. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
lips) i. Pertahankan jalan napas yang paten
e. Menunjukkan jalan napas yang j. Observasi adanya tanda-tanda
paten (klien tidak merasa hipoventilasi
tercekik, irama napas, frekuensi k. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
pernapasan dalam rentang oksigenasi
normal, tidak ada suara napas l. Monitor vital sign
abnormal)

214
d. Tanda-tanda vital dalam rentang m. Informasikan pada klien dan keluarga
normal (tekanan darah, nadi, tentang teknik relaksasi untuk
pernapasan) memperbaiki pola napas.
n. Ajarkan bagaimana batuk efektif
o. Monitor pola napas
3. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan gangguan Exchange ventilasi
suplai oksigen dan kerusakan b. Keseimbangan asam Basa, b. Pasang mayo bila perlu
alveoli. Elektrolit c. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
c. Respiratory Status: Ventilation tambahan
d. Vital Sign Status d. Berikan bronkodilator;
e. Berikan pelembap udara
Kriteria hasil: f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
a. Mendemonstrasikan keseimbangan.
peningkatan ventilasi dan g. Monitor respirasi dan status O2
oksigenasi yang adekuat h. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
b. Memelihara kebersihan paru- penggunaan otot tambahan, retraksi otot
paru dan bebas dari tanda-tanda supraclavikula dan interkostal
distres pernapasan i. Monitor suara napas, seperti dengkur
c. Mendemonstrasikan batuk j. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
efektif dan suara napas yang kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
bersih, tidak ada sianosis dan biot

215
dispnea (mampu mengeluarkan k. Auskultasi suara napas, catat area
sputum, mampu bernapas l. penurunan/tidak adanya ventilasi dan
dengan mudah, tidak ada pursed m. suara tambahan
lips) n. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
d. Tanda-tanda vital dalam rentang dan status mental
normal o. Observasi sianosis khususnya membran
e. Gas darah arteri dalam batas mukosa
normal p. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
f. Status neurologis dalam batas persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
normal alat tambahan (O2, suction, inhalasi)
q. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
4. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas
ketidakseimbangan antara suplai c. Konservasi energi secara bergantian
dan kebutuhan oksigen. c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
Kriteria hasil: berkala
c. Menunjukkan toleransi aktivitas d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
d. Menampilkan aktivitas kehidupan memberikan terapi yang tepat
sehari–hari

216
BAB VIII
TRAUMA DADA

A. TRAUMA DADA
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Trauma adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sekitar 2/3 klien memiliki
trauma dada dengan tingkat keparahan yang bervariasi dari patah tulang rusuk sederhana
hingga luka pada jantung atau gangguan trakeobronkial (Ludwig & Koryllos, 2017).
Trauma dada atau trauma toraks adalah abnormalitas rangka dada yang terjadi akibat
adanya benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru,
diafragma, ataupun isi mediastinal; baik oleh benda tajam maupun tumpul. Benturan ini
kemudian dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan. Trauma dada mencakup
cedera atau luka dengan tingkat keparahan yang luas dan berkisar dari relativitas luka
ringan (misalnya, abrasi dan fraktur [patah tulang] rusuk tunggal) sampai cedera serius
yang mengancam jiwa (ruptur jantung atau tension pneumothorax).
b. Etiologi
Berikut ini merupakan etiologi trauma dada (chest trauma) menurut Dennison dan
Johnson (2017):
1) Tabrakan kendaraan bermotor
2) Tabrakan sepeda motor
3) Tabrakan kendaraan atau pejalan kaki
4) Jatuh
5) Serangan
6) Ledakan
7) Proyektil: peluru, pisau, penyulaan

c. Tanda dan Gejala


1) Kesulitan bernapas, kegagalan dada untuk berekspansi secara normal, suara berderak
di tulang rusuk, memar, dan batuk darah.

217
2) Satu segmen dinding dada mengalami penurunan pengembangan paru atau bergerak
berlawanan dengan dinding dada yang lain (flail chest).
3) Bahkan tanpa cedera eksternal yang jelas, cedera internal yang signifikan dapat
terjadi.

d. Klasifikasi
1) Trauma tumpul di mana permukaan tubuh tetap utuh.
2) Trauma tembus (penetrating trauma) mengganggu integritas permukaan tubuh.
3) Trauma perforasi meninggalkan luka masuk dan keluar (benda melewati tubuh)

e. Mekanisme Cedera
1) Trauma Dada Tumpul
a) Akselerasi atau deselerasi cepat: pergerakan antara benda dengan dada yang
menyebabkan benturan dan terjadi peregangan jaringan, organ, pembuluh darah
robek, bocor, atau pecah.
b) benda menuju tubuh atau tubuh yang menuju (‘mendekati’) benda adanya cedera
berupa faktur tulang rusuk, sternal, atau fraktur skrapular yang menyebabkan luka
pada parenkim jantung atau paru-paru.
c) Kompresi: kekuatan deselerasi yang cepat saat jaringan menabrak suatu benda
tetap; seperti tulang dada atau tulang rusuk; menyebabkan, kontusio, pendarahan,
atau ruptur organ.
2) Trauma Dada Penetrasi (Penetrating Chest Trauma)
Penetrasi paru-paru, jantung, pembuluh besar, atau diafragma, menyebabkan
pendarahan dan dapat menyebabkan hilangnya keutuhan organ atau pembuluh darah.

f. Komplikasi
Beberapa komplikasi trauma toraks antara lain kegagalan pernapasan, pneumonia,
dan sepsis. Kegagalan pernapasan dan pneumonia secara langsung berkaitan dengan
keparahan cedera, usia dan kondisi klien (Stewart & Corneille, 2008).

218
g. Pemeriksaan Diagnostik
1) X-ray Toraks: Semua klien yang mengalami trauma dada harus menjalani radiografi
toraks. Namun, sensitivitas radiografi toraks hanya 65%, oleh karena itu diperlukan
CT Scan yang memiliki sensitivitas jauh lebih tinggi untuk mendeteksi cedera dada.
2) EKG: dapat membantu pada klien dengan trauma dada tumpul.
3) Pulse Oximetry: untuk menilai kecukupan oksigenasi dan kebutuhan untuk O2
tambahan.
h. Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan trauma dada dapat dibagi menjadi tiga tingkat
perawatan yang berbeda, yaitu manajemen pra-hospital, manajemen intra-hospital di
ruang gawat darurat, dan manajemen bedah (Ludwig & Koryllos, 2017).
1) Manajemen Pra-Hospital
Penilaian pernapasan dan pemeriksaan klinis toraks (gerakan pernapasan dan
kualitas respirasi) diperlukan untuk mengenali luka toraks mayor, seperti tension
pneumothorax, pneumotoraks terbuka, fail chest, kontusio paru, dan hemotoraks
masif. Pemeriksaan, palpasi, perkusi, dan terutama auskultasi (sensitivitas 90%,
spesivisitas 98%) akan memberikan informasi mengenai apakah ada tension
pneumothorax.
Diagnosis klinis pneumotoraks, mungkin memerlukan intervensi langsung,
dengan dekompresi jarum pada ruang pleura. Jika ini tidak berhasil atau ada bukti
pneumotoraks, diperlukan pemasangan WSD. Dengan tidak adanya hipoventilasi pada
auskultasi, atau nyeri toraks pada klien yang stabil, tension pneumothorax mayor dapat
dikesampingkan. Pemeriksaan berulang wajib dilakukan untuk menghindari kelalaian
perkembangan pneumotoraks.
2) Manajemen Intra-Hospital di IGD
Pengulangan pemeriksaan klinis pada survei primer bersama dengan informasi
hasil anamnesis akan memberikan informasi tentang potensi keparahan cedera toraks.
Bila tingkat trauma tidak dapat didefinisikan, rekomendasikan untuk melakukan CT
Scan (contrast-enhanced CT Scan) karena sensitivitas sinar-X dada di ruang gawat
darurat hanya 58,3%. Dibandingkan dengan rontgen dada, USG menunjukkan
sensitivitas dan spesivisitas yang setara untuk diagnosis pneumotoraks. Ultrasonografi

219
di ruang gawat darurat juga merupakan metode yang andal untuk menyingkirkan efusi
pleura/perikardial. Pemasangan WSD atau chest tube diperlukan bila pneumotoraks
relevan, progresif, atau bila klien diberi ventilasi mekanis.

Menurut pedoman Advanced Trauma Life Support (ATLS), dokter bedah toraks
terlibat ketika klien mengalami:
a) Kehilangan darah di dada > 1.500 mL pada awalnya, atau > 200 mL/jam lebih dari
2-4 jam;
b) Hemoptisis;
c) Emfisema subkutan masif;
d) Kebocoran udara di sekitar tabung dada (chest tube);
e) Gambar yang tidak jelas pada X-ray dada atau CT toraks;
f) Trauma dada penetrasi (Penetrating chest trauma)

Sementara itu, indikasi untuk intervensi bedah toraks segera adalah:


a) Kehilangan darah ≥1.500 mL pada awalnya> 200 mL/jam selama 2-4 jam;
b) Kehilangan darah endobronkial; kontusio besar dengan gangguan ventilasi
mekanis yang signifikan;
c) Cedera trakeabronkial (kebocoran udara/hemotoraks);
d) Cedera jantung atau pembuluh darah besar (kehilangan darah/pericardial
tamponade).

3) Trauma Life Support Berkaitan dengan Pembedahan


Anekolateral torakotomi di ruang interkostal 4-6 biasanya direkomendasikan.
Clamshell (sternotomi melintang dan torakotomi anterolateral bilateral) atau hemi-
clamshell (sternotomi longitudinal dan torakotomi anterolateral) akan memungkinkan
eksposisi organ toraks yang lebih baik. Kebutuhan akan torakotomi di ruang gawat
darurat sangat jarang terjadi, sedangkan torakotomi anterolateral akan memungkinkan
menyelamatkan nyawa sebelum lanjut ke ruang operasi.
Indikasi dilakukannya bedah torakoskopi dengan bantuan video (video-assisted
thoracoscopic surgery [VATS]) pada klien adalah:

220
a) (Menembus) luka dengan sedikit kehilangan darah pada klien yang stabil;
b) Hemotoraks yang terus-menerus;
c) Empiema;
d) Kebocoran udara yang terus-menerus;
e) Kecurigaan adanya ruptur diafragma.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
a) Jalan napas
Trauma laring dapat terjadi bersamaan dengan trauma dada, meskipun gejala
kinis yang ada kadang tidak jelas. Sumbatan jalan napas karena trauma laring
merupakan cedera laring yang mengancam nyawa. Trauma pada dada bagian atas,
dapat menyebabkan dislokasi ke area posterior atau fraktur dislokasi dari sendi
sternoclavicular. Penanganan trauma ini dapat menyebabkan sumbatan jalan
napas atas. Trauma ini diketahui apabila ada sumbatan napas atas (stridor), adanya
tanda perubahan kualitas suara dan trauma yang luas pada daerah leher akan
menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoclavikular. Penanganan
trauma ini paling baik dengan reposisi tertutup fraktur dan jika perlu dengan
intubasi endotrakeal.
b) Pola napas
Dada dan leher penderita harus terbuka selama dilakukan penilaian pola napas
dan vena jugularis. Pergerakan pernapasan dan kualitas pernapasan dinilai dengan
observasi dan palpasi. Tanda terpenting dari trauma dada adalah hipoksia
termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pola pernapasan, terutama
pernapasan yang memburuk. Sianosis adalah tanda hipoksia lanjut pada penderita.
Jenis trauma yang mempengaruhi pola napas harus dikenali dan diketahui selama
pengkajian primer.
c) Sirkulasi
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi, dan keteraturannya.
Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui

221
inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Adanya tanda-tanda syok
dapat disebabkan oleh hematoraks masif maupun tension pneumotoraks.
Penderita trauma dada di daerah sternum yang menunjukkan adanya disritmia
harus dicurigai adanya trauma miokard.
2) Pengkajian Sekunder
Pengkajian klien dengan trauma dada (Doenges, 2000) meliputi:
a) Aktivitas istirahat
Gejala: dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b) Sirkulasi
Tanda: Takikardia; disritmia; irama jantunng gallops, nadi apikal berpindah
c) Integritas ego
Tanda: ketakutan atau gelisah.
d) Makanan dan cairan
Tanda: adanya pemasangan akses vena sentral/infuse tekanan.
e) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: nyeri unilateral, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, nyeri dada
yang menyebar ke leher, bahu, dan abdomen.
Tanda: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.
f) Keamanan
Gejala: adanya trauma dada; radiasi/kemoterapi kanker.
g) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat faktor risiko keluarga, TBC, kanker; adanya bedah
intratorakal/biopsi paru.
b. Diagnosis Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi, perusakan/pelemahan
muskuloskeletal kelelahan otot pernapasan, nyeri.
2) Perfusi jaringan kardiopulmoner tidak efektif berhubungan dengan, hipoventilasi.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik.
4) Risiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pengobatan dan keterbatasan
ketahanan kardiovaskuler.

222
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
b. Respiratory Status: Airway ventilasi
berhubungan dengan
Patency b. Pasang mayo bila perlu
hipoventilasi, perusakan/
c. Vital Sign Status c. Keluarkan sekret dengan suction
pelemahan muskuloskeletal d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
Kriteria hasil: tambahan
kelelahan otot pernapasan, nyeri.
a. Mendemonstrasikan suara napas e. Berikan bronkodilator
yang bersih, tidak ada sianosis f. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
dan dispnea (mampu lembap
mengeluarkan sputum, mampu g. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
bernapas dengan mudah, tidak ada keseimbangan.
pursed lips) h. Monitor respirasi dan status O2
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
paten (klien tidak merasa tercekik, j. Pertahankan jalan napas yang paten
irama napas, frekuensi pernapasan k. Observasi adanya tanda-tanda
dalam rentang normal, tidak ada hipoventilasi
suara napas abnormal) l. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
c. Tanda-tanda vital dalam rentang oksigenasi
normal (tekanan darah, nadi, m. Monitor vital sign
pernapasan)

223
n. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.
o. Ajarkan bagaimana batuk efektif
p. Monitor pola napas
2. Perfusi jaringan kardiopulmoner Tissue Perfusion: Cardiopulmonary a. Periksa dorsalis pedis dan denyut nadi tibia
tidak efektif berhubungan Kriteria hasil: posterior secara bilateral. Jika tidak dapat
dengan, hipoventilasi. a. Menunjukkan perfusi jaringan menemukannya, gunakan stetoskop
yang tepat, seperti yang Doppler dan beri tahu dokter jika denyut
dibuktikan oleh rangsangan nadi tidak ada.
perifer teraba, kulit hangat dan b. Perhatikan warna kulit dan rasakan suhu
kering, keluaran urine yang kulit.
adekuat, dan tidak adanya c. Periksa waktu pengisian kapiler.
gangguan pernapasan. d. Kaji nyeri di ekstremitas, perhatikan
b. Pengetahuan tentang rejimen tingkat keparahan, kualitas, waktu, dan
pengobatan, termasuk latihan hal-hal yang dapat meningkatkan atau
yang tepat dan obat-obatan dan menurunkan nyeri. Bedakan gangguan
tindakan mereka dan pada vena atau penyakit arteri. Pada klien
kemungkinan efek samping dengan insufisiensi vena, nyeri berkurang
c. Mengidentifikasi perubahan gaya dengan elevasi kaki dan olahraga
hidup yang dibutuhkan untuk
meningkatkan perfusi jaringan

224
3. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level Pain Management:
agens cedera fisik. b. Pain Control a. Observasi reaksi nonverbal dari
c. Comfort Level ketidaknyamanan
b. Eksplorasi hal-hal yang mempengaruhi
Kriteria Hasil: nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri c. Eksplorasi pengalaman nyeri masa lampau
b. Melaporkan nyeri berkurang untuk mengetahui ketidakefektifan kontrol
c. Mampu mengenali nyeri nyeri masa lampau
d. Menyatakan rasa nyaman setelah d. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri berkurang mempengaruhi nyeri
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi,
interpersonal)

Analgesic Administration:
a. Tentukan mengenai lokasi, kualitas,
karakteristik nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek riwayat alergi
c. Tentukan pilihan analgesik, rute pemberian
dan dosis optimal
d. Evaluasi efektivitas analgesik

225
4. Risiko syok berhubungan a. Shock Prevention Shock Prevention
dengan hipovolemia. b. Shock Management a. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu
kulit, denyut jantung, HR, dan ritme, nadi
Kriteria Hasil : perifer, dan kapiler refill.
a. Nadi dalam batas yang b. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
diharapkan c. Monitor suhu dan pernapasan
b. Irama jantung dalam batas yang d. Monitor input dan output
diharapkan e. Pantau nilai labor : HB, HT, gas darah arteri
c. Frekuensi napas dalam batas yang dan elektrolit
diharapkan f. Monitor hemodinamik invasi yng sesuai
d. Irama pernapasan dalam batas g. Monitor tanda dan gejala asites
yang diharapkan h. Monitor tanda awal syok
e. Natrium serum dalam batas i. Tempatkan klien pada posisi supine, kaki
normal elevasi untuk peningkatan preload dengan
f. Kalium serum dalam batas normal tepat
g. Klorida serum dalam batas j. Lihat dan pelihara kepatenan jalan napas
normal k. Berikan cairan IV dan atau oral yang tepat
h. Kalsium serum dalam batas l. Berikan vasodilator yang tepat
normal m. Ajarkan keluarga dan klien tentang tanda dan
i. Magnesium serum dalam batas gejala datangnya syok
normal n. Ajarkan keluarga dan klien tentang langkah
untuk mengatasi gejala syok

226
j. PH darah serum dalam batas Shock Management
normal a. Monitor fungsi neurotogis
a. Monitor fungsi renal (e.g BUN dan Cr : Lavel)
b. Monitor tekanan nadi
c. Monitor status cairan, input, output
d. Catat gas darah arteri dan oksigen
e. dijaringan
f. Monitor EKG, sesuai
g. Memanfaatkan pemantauan jalur arteri untuk
meningkatkan akurasi pembacaan tekanan
darah, sesuai
h. Menggambar gas darah arteri dan memonitor
jaringan oksigenasi
i. Memantau tren dalam parameter hemodinamik
(misalnya, CVP, MAP, tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau faktor penentu pengiriman jaringan
oksigen (misalnya, PaO2 kadar hemoglobin
SaO2, CO), jika tersedia
k. Pantau tingkat karbon dioksida sublingual
dan/atau tonometri lambung

227
l. Monitor gejala gagal pernapasan (misalnya,
rendah PaO2 peningkatan PaCO2 tingkat,
kelelahan otot pernapasan)
m. Monitor nilai laboratorium
5. Gangguan mobilitas fisik a. Mobility Level Exercise Therapy: Ambulation
berhubungan dengan pengobatan b. Self-care: ADLs a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah
dan keterbatasan ketahanan c. Transfer Performance latihan dan lihat respons klien saat latihan
kardiovaskuler b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
Kriteria hasil: rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
a. Klien meningkat dalam aktivitas c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat
fisik saat berjalan dan cegah terhadap cedera
b. Mengerti tujuan dari peningkatan d. Ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain
mobilitas tentang teknik ambulasi
c. Memverbalisasikan perasaan e. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
dalam meningkatkan kekuatan f. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan
dan kemampuan berpindah ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
d. Memperagakan penggunaan alat g. Dampingi dan bantu klien saat mobilisasi
bantu untuk mobilisasi (walker) dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan klien bagaimana mengubah posisi
dan berikan bantuan jika diperlukan

228
B. FRAKTUR RUSUK
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Fraktur rusuk merupakan cedera dada yang paling umum. Penyebab paling sering
fraktur rusuk adalah cedera tumpul; terutama dalam sebuah kecelakaan mobil (Linton,
2015). Tulang rusuk 5 sampai 10 paling sering retak karena tidak dilindungi oleh otot
dada. Dibutuhkan sekitar 6 minggu untuk menyembuhkan fraktur tulang rusuk.
b. Etiologi
Fraktur rusuk paling sering disebabkan oleh trauma langsung, seperti kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, atau cedera olahraga. Iga juga dapat retak karena trauma
berulang dari olahraga seperti golf dan dayung atau dari batuk yang parah dan
berkepanjangan.
c. Faktor Risiko
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan risiko patah tulang rusuk:
1) Osteoporosis. Penyakit di mana tulang kehilangan kepadatannya dan membuat
seseorang lebih rentan terhadap patah tulang.
2) Olahraga. Bermain olahraga, seperti tinju atau sepak bola, meningkatkan risiko
trauma di dada.
3) Lesi kanker di tulang rusuk. Lesi kanker dapat melemahkan tulang, membuatnya
lebih rentan patah.
d. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala fraktur rusuk mencakup rasa sakit di lokasi cedera (terutama pada
saat inspirasi), kadang-kadang memar di permukaan, pembengkakan, fragmen tulang
yang terlihat di lokasi luka, dan pernapasan dangkal atau klien memegang dada secara
protektif untuk meminimalkan gerakan dada yang menyakitkan.
e. Patofisiologi
Dinding dada berfungsi melindungi organ-organ yang terletak di dalam dada. Oleh
karena itu tulang rusuk, klavikula, sternum, dan tulang belikat adalah struktur yang
memungkinkan respirasi normal. Cedera pada dinding dada dapat menyebabkan ventilasi
terganggu. Selain itu, cedera dada juga dapat menyebabkan hal-hal berikut.

229
1) Kontrol rasa sakit yang tidak memadai menghambat mekanisme pernapasan dan
dapat menyebabkan atelektasis, oksigenasi yang tidak memadai, dan pneumonia.
2) Banyak fraktur rusuk yang berdekatan dan menghalangi mekanisme koordinasi otot
yang diperlukan untuk respirasi normal.
3) Fragmen dari tulang rusuk yang terluka dapat menembus organ-organ, seperti paru-
paru yang mengakibatkan hemotoraks atau pneumotoraks.

Lokasi fraktur menunjukkan komplikasi terkait yang mungkin timbul. Dua rusuk
bagian bawah dapat menyebabkan lecet organ ke limpa, hati, atau ginjal. Umumnya,
bagian bawah dua tulang rusuk tidak mudah patah karena tidak melekat pada tulang dada.
Fraktur tulang rusuk bagian tengah menyebabkan pneumotoraks karena tusukan paru-
paru oleh tepi patah yang tajam.
f. Komplikasi
Tulang rusuk yang patah dapat melukai pembuluh darah dan organ dalam. Risiko
meningkat seiring dengan jumlah tulang rusuk yang patah. Komplikasi bervariasi
tergantung pada tulang rusuk yang patah. Komplikasi yang mungkin termasuk:

1) Aorta robek atau tertusuk. Ujung tajam di salah satu dari tiga tulang rusuk pertama
di bagian atas tulang rusuk bisa menyebabkan ruptur aorta
2) Paru-paru tertusuk. Ujung bergerigi dari tulang tengah yang patah dapat menusuk
paru-paru dan menyebabkannya terluka.
3) Limpa, hati, atau ginjal. Bagian bawah dua tulang rusuk jarang patah karena mereka
memiliki fleksibilitas lebih tinggi daripada tulang rusuk atas dan tengah, yang
berlabuh ke tulang dada. Namun, apabila fraktur terjadi pada rusuk yang lebih
rendah, ujung yang patah dapat menyebabkan kerusakan serius pada limpa, hati,
atau ginjal.
g. Pemeriksaan Diagnostik
Selain pemeriksaan fisik secara menyeluruh, beberapa pemeriksaan berikut dapat
digunakan untuk memastikan fraktur rusuk.

230
1) X-ray. Pemeriksaan sinar X dada bisa membantu mengidentifikasi fraktur rusuk,
meskipun sering kali tidak bisa secara mendetail. Selain itu, pemeriksaan ini juga
berguna dalam mendiagnosis paru-paru yang cedera.
2) CT Scan. Pemeriksaan ini sering dapat mengidentifikasi fraktur tulang rusuk secara
lebih rinci. Cedera pada jaringan lunak dan pembuluh darah juga lebih mudah dilihat
pada CT scan karena mengambil gambar dari berbagai sudut dan menggabungkannya
untuk menggambarkan irisan melintang struktur internal tubuh.
3) MRI. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk melihat jaringan lunak dan organ di
sekitar tulang rusuk untuk menentukan apakah ada kerusakan di bagian tersebut.
Selain itu, MRI juga dapat membantu mendeteksi fraktur tulang rusuk yang lebih
halus. MRI menggunakan magnet dan gelombang radio yang kuat untuk
menghasilkan gambar irisan melintang.
4) Pemindai tulang. Teknik ini baik untuk melihat tekanan fraktur, di mana tulang retak
setelah trauma berulang, misalnya fraktur yang disebabkan serangan batuk yang
lama. Selama pemindaian tulang, sejumlah kecil bahan radioaktif disuntikkan ke
dalam aliran darah.

h. Penatalaksanaan Medis
Perawatan ditujukan untuk menghilangkan rasa sakit, sehingga klien memiliki
ekspansi dada yang baik untuk pernapasan yang memadai. Blok saraf interkostal dengan
anestesi lokal merupakan perawatan medis yang paling sering digunakan. Selain itu,
pemberian analgesik bersama dengan obat penenang ringan juga dapat dilakukan untuk
menghilangkan rasa sakit. Memfiksasi dada dengan kain atau pengikat dulunya
merupakan hal yang biasa dipakai, tetapi sekarang tidak dianjurkan karena dapat memicu
komplikasi, seperti pneumonia dan atelektasis.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Setelah fraktur rusuk, perawat harus mewaspadai adanya tanda peningkatan distres
pernapasan yang mungkin mengindikasikan pneumotoraks yang disebabkan oleh
fragmen tulang. Berikut ini merupakan pengkajian atas klien dengan fraktur rusuk:

231
Tabel 8.1. Pengkajian klien dengan gangguan pernapasan
No Fokus Pengkajian Pemeriksaan yang diperlukan
1. Riwayat Kesehatan Penyakit yang saat ini dialami
Batuk: onset, durasi, frekuensi, tipe, tingkat keparahan,
produksi dan karakteristik sputum, dan rasa sakit.
Dispnea
Onset, durasi, tingkat keparahan, pemicu dispnea, gejala
yang terkait.
Rasa sakit (Pain)
Lokasi, onset, durasi, pemicu kejadian, efek pada
pernapasan, tindakan yang mengurangi atau meringankan
rasa sakit, gejala terkait.
Riwayat medis masa lalu
Pilek, pneumonia, tuberkulosis, bronkitis kronis,
emfisema, asma, kanker saluran pernapasan, cystic
fibrosis, infeksi sinus, infeksi telinga, diabetes melitus,
penyakit jantung, alergi, trauma, operasi/pembedahan,
hospitalisasi, kondisi yang menekan respons imun,
imunisasi melawan pneumonia dan influenza, rontgen
dada terakhir, tes kulit tuberkulin terakhir, obat saat ini
dan obat yang masih dikonsumsi.
Riwayat keluarga
Kondisi pernapasan mayor, riwayat merokok.
Review gejala
Lelah, lemah, demam, kedinginan, berkeringat di malam
hari, sakit telinga, penyumbatan hidung, sakit sinus, sakit
tenggorokan, suara serak, edema, dispnea, ortopnea.
Pengkajian fungsional
Pekerjaan, paparan patogen dan iritan pernapasan,
aktivitas sehari-hari, diet yang biasa dilakukan dan.
asupan cairan, riwayat merokok, peran dalam keluarga,
stresor, strategi koping.
2. Pemeriksaan Fisik Survei umum
Penampilan, ekspresi wajah, postur, kewaspadaan, pola
bicara

Tinggi dan Berat Badan


Tanda vital

232
Tekanan darah, temperatur, denyut nadi, respirasi

Hidung
Bentuk hidung, kelembutan, patensi, deviasi;
pembengkakan, cairan, perdarahan, benda asing di rongga
hidung

Bibir
Pursed-lip breathing

Faring
Kemerahan, eksudat atau pembesaran tonsil

Trakea
Garis tengah

Kelenjar getah bening


Pembesaran dan kelembutan

Toraks/Dada
Upaya dan pola pernapasan, otot aksesori, bunyi paru-
paru, krepitasi, hematom

Abdomen
Distensi

Ekstremitas
Warna, clubbing, edema

b. Diagnosis Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya integritas tulang rusuk.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pengobatan dan keterbatasan
ketahanan kardiovaskuler.

233
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan hilangnya b. Respiratory Status: Airway ventilasi
integritas tulang rusuk. Patency b. Keluarkan sekret dengan suction
c. Vital Sign Status c. Auskultasi suara napas, catat adanya
suara tambahan
Kriteria hasil: d. Berikan bronkodilator
a. Mendemonstrasikan suara napas e. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
yang bersih, tidak ada sianosis lembap
dan dispnea (mampu f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
mengeluarkan sputum, mampu keseimbangan.
bernapas dengan mudah, tidak g. Monitor respirasi dan status O2
ada pursed lips) h. Bersihkan mulut, hidung dan sekret
b. Menunjukkan jalan napas yang trakea
paten (klien tidak merasa i. Pertahankan jalan napas yang paten
tercekik, irama napas, frekuensi j. Observasi adanya tanda-tanda
pernapasan dalam rentang hipoventilasi
normal, tidak ada suara napas k. Monitor vital sign
abnormal) l. Informasikan pada klien tentang teknik
relaksasi untuk memperbaiki pola napas
m. Ajarkan bagaimana batuk efektif

234
c. Tanda-tanda vital dalam rentang n. Monitor pola napas
normal (tekanan darah, nadi,
pernapasan)
2. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level Pain Management:
agen injuri fisik. b. Pain Control a. Observasi reaksi nonverbal dari
c. Comfort Level ketidaknyamanan
b. Eksplorasi hal-hal yang mempengaruhi
Kriteria Hasil: nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri c. Eksplorasi pengalaman nyeri masa
b. Melaporkan nyeri berkurang lampau untuk mengetahui
c. Mampu mengenali nyeri ketidakefektifan kontrol nyeri masa
d. Menyatakan rasa nyaman setelah lampau
nyeri berkurang d. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi,
interpersonal)

Analgesic Administration:
a. Tentukan mengenai lokasi, kualitas,
karakteristik nyeri sebelum pemberian
obat

235
b. Cek riwayat alergi
c. Tentukan pilihan analgesik, rute
pemberian dan dosis optimal
d. Evaluasi efektivitas analgesik
3. Gangguan mobilitas fisik a. Mobility Level Exercise Therapy: Ambulation
berhubungan dengan pengobatan b. Self-care: ADLs a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah
dan keterbatasan ketahanan c. Transfer Performance latihan dan lihat respons klien saat latihan
kardiovaskuler. b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
Kriteria hasil: rencana ambulasi sesuai dengan
a. Klien meningkat dalam aktivitas kebutuhan
fisik c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat
b. Mengerti tujuan dari saat berjalan dan cegah terhadap cedera
peningkatan mobilitas d. Ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain
c. Memverbalisasikan perasaan tentang teknik ambulasi
dalam meningkatkan kekuatan e. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
dan kemampuan berpindah f. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan
d. Memperagakan penggunaan alat ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
bantu untuk mobilisasi (walker) g. Dampingi dan bantu klien saat mobilisasi
dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan klien bagaimana mengubah
posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

236
C. FLAIL-CHEST
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Istilah flail chest merujuk pada gerakan paradoksal dada akibat cedera yang
menyebabkan patahnya beberapa segmen tulang rusuk (Linton, 2015). Bagian tulang
rusuk yang terkena terpisah dari sisa tulang rusuk. Hal ini menyebabkan dada bergerak
secara independen, sehingga segmen tersebut bergerak ke dalam saat inspirasi dan
bergerak keluar saat ekspirasi. Pola pergerakannya justru berkebalikan dari pergerakan
dinding dada yang utuh. Oleh karena itu, gerakan tersebut disebut dengan gerakan
paradoksal.
Akibat adanya flail chest, ventilasi akan terganggu dan klien mengalami hipoksemia.
Selain itu, pelemahan jaringan paru-paru yang mendasari dapat menyebabkan cairan
menumpuk di alveoli. Rusuk yang retak bisa merobek pleura atau paru-paru itu sendiri,
mengakibatkan pneumotoraks atau hemotoraks. Hilangnya stabilitas dinding dada dan
kolapsnya paru-paru memungkinkan mediastinum bergetar, berayun maju mundur
bersama dengan respirasi.
b. Etiologi
Flail chest selalu terkait dengan trauma tumpul yang parah, seperti jatuh atau
kecelakaan mobil. Namun, gangguan ini juga bisa terjadi akibat dari cedera yang kurang
parah. Misalnya, ada kasus flail chest yang terjadi akibat penyakit tulang atau kerusakan
pada klien yang lebih tua (tetapi ini sangat jarang terjadi).
c. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala flail chest mencakup dispnea, sianosis, takipnea, takikardia, dan
gerakan paradoksal dada.
d. Patofisiologi
Flail chest terjadi ketika serangkaian tulang iga yang berdekatan retak di setidaknya
2 tempat, baik bagian anterior maupun posterior. Bagian dinding dada ini menjadi tidak
stabil dan bergerak ke dalam selama inspirasi spontan. Dampak fisiologis dari flail chest
tergantung pada beberapa faktor, termasuk ukuran segmen flail, tekanan intratoraks yang
dihasilkan selama ventilasi spontan, dan kerusakan terkait pada paru-paru dan dinding
dada (Davignon, Kwo, & Bigatello, 2004).

237
e. Komplikasi
Dengan perawatan yang tepat, orang dewasa muda yang dalam kondisi sehat dapat
pulih dengan sedikit komplikasi. Namun, lansia memiliki risiko komplikasi yang
meningkat, seperti kegagalan pernapasan atau pneumonia, jika flail chest tidak dikelola
dengan baik. Faktor lain juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya, menggunakan
ventilasi mekanis untuk waktu yang lama dapat meningkatkan risiko pneumonia dan
menyebabkan hasil pemulihan yang lebih buruk.
f. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis didasarkan pada riwayat, presentasi klinis, dan rontgen dada. Gas darah
arteri dapat diukur untuk menilai kecukupan ventilasi.
g. Penatalaksanaan Medis
Perawatan terhadap flail chest bervariasi, bergantung pada tingkat keparahan kondisi.
Jika klien dapat mempertahankan oksigenasi yang cukup, perawatan dapat mencakup
napas dalam dan batuk, perawatan tekanan positif intermiten (Intermitten positive-
pressure breathing [IPPB]), dan manajemen cedera. Klien dengan distres pernapasan
biasanya membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis. Radiografi dan tes darah arterial
sering diulang pada interval untuk memantau oksigenasi dan mendeteksi adanya
komplikasi paru tambahan, seperti pneumonia.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Pengkajian klien dengan gangguan pernapasan dapat dilihat pada “Tabel Pengkajian
Klien dengan Gangguan Pernapasan” di subbab “Fraktur Rusuk” (Tabel 8.1). Ketika klien
mengalami flail chest, tunda pengkajian lengkap mengenai klien sampai kondisi klien
stabil. Penilaian awal berfokus pada status pernapasan, tanda vital, diagnosis medis
lainnya, dan riwayat obat-obatan.
b. Diagnosis Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya integritas tulang rusuk.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
3) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, pola interaksi.

238
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan hilangnya b. Respiratory Status: Airway ventilasi
integritas tulang rusuk. Patency b. Pasang mayo bila perlu
c. Vital Sign Status c. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
tambahan
Kriteria hasil: d. Berikan bronkodilator
a. Mendemonstrasikan suara napas e. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
yang bersih, tidak ada sianosis lembap
dan dispnea (mampu f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
mengeluarkan sputum, mampu keseimbangan.
bernapas dengan mudah, tidak g. Monitor respirasi dan status O2
ada pursed lips) h. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Pertahankan jalan napas yang paten
paten (klien tidak merasa j. Observasi adanya tanda-tanda
tercekik, irama napas, frekuensi hipoventilasi
pernapasan dalam rentang k. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
normal, tidak ada suara napas oksigenasi
abnormal) l. Monitor vital sign

239
c. Tanda-tanda vital dalam rentang m. Informasikan pada klien dan keluarga
normal (tekanan darah, nadi, tentang teknik relaksasi untuk
pernapasan) memperbaiki pola napas.
n. Ajarkan bagaimana batuk efektif
o. Monitor pola napas
2. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level Pain Management:
agen cedera fisik. b. Pain Control a. Observasi reaksi nonverbal dari
c. Comfort Level ketidaknyamanan
b. Eksplorasi hal hal yang mempengaruhi
Kriteria Hasil: nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri c. Eksplorasi pengalaman nyeri masa lampau
b. Melaporkan nyeri berkurang untuk mengetahui ketidakefektifan kontrol
c. Mampu mengenali nyeri nyeri masa lampau
d. Menyatakan rasa nyaman setelah d. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri berkurang mempengaruhi nyeri
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi,
interpersonal)

Analgesic Administration:
a. Tentukan mengenai lokasi, kualitas,
karakteristik nyeri sebelum pemberian obat

240
b. Cek riwayat alergi
c. Tentukan pilihan analgesik, rute pemberian
dan dosis optimal
d. Evaluasi efektivitas analgesik
3. Ansietas berhubungan dengan Kriteria hasil: a. Tinjau ulang pengalaman klien/orang terdekat
krisis situasi, pola interaksi. a. Cemas klien berkurang sebelumnya dengan kanker
b. Koping klien adaptif b. Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaannya
c. Pertahankan kontak dengan klien
d. Bantu klien dalam mengenali dan
mengklarifikasi rasa takut untuk memulai
mengembangkan strategi koping untuk
menghadapi rasa takut
e. Tingkatkan lingkungan tenang

241
D. PNEUMOTORAKS
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Jika seorang klien mengalami cedera dada yang parah atau berat, biasanya disertai
dengan penumpukan darah di dalam rongga dada (hemotoraks). Hal ini disebabkan
robeknya pembuluh interkostal, laserasi paru-paru, atau keluarnya udara dari paru yang
cedera ke dalam rongga pleural (pneumotoraks). Di dalam rongga dada, sering ditemukan
adanya darah dan udara. Cedera dada mengakibatkan paru menjadi tertekan, yang
menyebabkan gangguan fungsi normal paru.
Pneumotoraks adalah suatu keadaan di mana terdapat udara pada rongga potensial di
antara pleura viseral dan pleura parietal. Pada keadaan normal rongga pleura di penuhi
oleh paru–paru yang mengembang pada saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan
permukaan (tekanan negatif) antara kedua permukaan pleura, adanya udara pada rongga
potensial di antara pleura viseral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru terdesak
sesuai dengan jumlah udara yang masuk ke dalam rongga pleura tersebut, semakin banyak
udara yang masuk ke dalam rongga pleura akan menyebabkan paru–paru menjadi kolaps
karena terdesak akibat udara yang masuk meningkat tekanan pada intrapleural.

b. Etiologi
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1) Cedera dada. Setiap luka tumpul atau tembus ke dada dapat menyebabkan kerusakan
paru-paru. Beberapa cedera dapat terjadi selama serangan fisik atau tabrakan mobil,
atau secara tidak sengaja terjadi selama prosedur medis, misalnya pungsi pleura atau
biopsi.
2) Penyakit paru-paru. Jaringan paru yang rusak lebih mungkin terkena pneumotoraks.
Kerusakan paru-paru dapat disebabkan oleh beberapa jenis penyakit yang mendasari,
termasuk penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), fibrosis kistik, dan pneumonia.
3) Ventilasi mekanis. Jenis pneumotoraks yang parah dapat terjadi pada orang yang
membutuhkan bantuan mekanis untuk bernapas. Ventilator dapat menciptakan
ketidakseimbangan tekanan udara di dalam dada.

242
c. Faktor Risiko
Faktor risiko pada pneumotoraks meliputi:
1) Jenis kelamin. Secara umum, pria jauh lebih mungkin untuk memiliki pneumotoraks
daripada wanita.
2) Merokok. Risiko meningkat seiring lamanya waktu dan jumlah rokok yang dihisap.
3) Usia. Jenis pneumotoraks kemungkinan besar terjadi pada orang berusia antara 20
dan 40 tahun, terutama jika orang tersebut sangat tinggi dan kurus.
4) Genetika. Jenis pneumotoraks tertentu muncul dalam keluarga.
5) Penyakit paru-paru. Memiliki penyakit paru-paru yang mendasari, terutama penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK)—membuat paru-paru kolaps lebih mungkin terjadi.
6) Ventilasi mekanis. Orang yang membutuhkan ventilasi mekanis untuk membantu
pernapasan berisiko lebih tinggi terkena pneumotoraks.

d. Tanda dan Gejala


Nyeri dada secara mendadak dan sesak napas adalah gejala dasar terjadinya
pneumotoraks. Tanda-tanda lain yang mungkin terlihat antara lain kulit kebiruan,
kelelahan, napas cepat, detak jantung cepat, dan batuk parah.

e. Klasifikasi
Secara umum, pneumotoraks terbagi menjadi dua. Ketika terjadi tanpa adanya
penyakit lain yang mendasari, kondisi ini disebut pneumotoraks primer. Sebaliknya,
pneumotoraks yang dialami akibat komplikasi dari penyakit paru-paru tertentu disebut
pneumotoraks sekunder.
Selain kedua tipe pneumotoraks tersebut, terdapat beberapa klasifikasi lagi.
Pneumotoraks juga bisa dibagi berdasarkan etiologinya, yaitu spontan pneumotoraks
(spontan pneumotoraks primer dan spontan pneumotoraks sekunder), pneumotoraks
traumatis, dan iatrogenik pneumotoraks. Ada juga ahli yang membaginya berdasarkan
mekanisme terjadinya, yaitu pneumotoraks terbuka (open pneumotoraks) dan
pneumotoraks terdesak (tension pneumotoraks). Berikut ini merupakan deskripsi tipe
pneumotoraks:
1) Pneumotoraks Spontan

243
a) Pneumotoraks spontan primer (Primary Spontaneous Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan primer penyebabnya belum diketahui secara pasti. Ada
teori yang menyatakan jika penyebabnya adalah faktor kongenital, yaitu
terdapatnya bula pada sub-pleura viseral, yang suatu saat akan pecah, akibat
tingginya tekanan intra pleura, sehingga menyebabkan terjadinya pneumotoraks.
Bula yang terdapat pada sub-pleura ini dikatakan paling sering ditemukan pada
bagian apeks paru dan juga pada percabangan trakeabronkial.
b) Pneumotoraks Spontan Sekunder (Secondary Spontaneus Pneumothorax)
Penyebab dari pneumotoraks spontan sekunder sangat erat kaitannya dengan
penyakit paru-paru. ada banyak penyakit paru-paru yang berakibat pneumotoraks
tipe ini. Seperti Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), infeksi yang
disebabkan oleh bakteri pneumocity carinii, adanya keadaan immunocompremise
yang disebabkan oleh infeksi virus HIV, serta banyak penyebab lainnya.
Pneumotoraks spontan sekunder biasanya menyerang klien berumur 60-65 tahun.
2) Pneumotoraks Trauma
Pneumotoraks trauma disebabkan oleh trauma yang secara langsung mengenai
dinding dada. Bisa karena kecelakaan, terbentur benda tajam dan tumpul.
Setelah dada mengalami luka benturan, terjadi peningkatan tekanan pada alveolar
secara mendadak. Akibatnya alveolar menjadi ruptur akibat kompresi yang
ditimbulkan oleh trauma tersebut. Pecahnya alveolar akan menyebabkan udara
menumpuk pada pleura viseral. Udara yang menumpuk secara terus menerus akan
menyebabkan pleura viseral rupture atau robek sehingga mengakibatkan
pneumotoraks.
3) Iatrogenik Pneumotoraks
Iatrogenik pneumotoraks paling sering disebabkan oleh pemasangan
thransthoracic needle biopsy. Kanalisissi sentral dapat juga menjadi salah satu
penyebabnya. Pada umumnya, ada dua hal yang menyebabkan iatrogenik
pneumotoraks, yaitu dalamnya pemasukan jarum pada saat memasukkannya dan
kedua, ukuran jarum yang kecil. Kedua hal tersebut memiliki korelasi yang kuat
terjadinya pneumotoraks.

244
4) Tension Pneumotoraks
Merupakan keadaan darurat medis yang mengancam jiwa klien. Udara dialirkan
ke dalam spasium pleura dari paru yang mengalami laserasi atau melalui lubang kecil
dalam dinding dada. Udara yang memasuki spasium pleura terjebak di dalamnya.
Terbentuk tension (tegangan), yang berakibat kolaps paru dan perpindahan letak
jantung dan pembuluh besar sera trakea ke arah bagian dada yang tidak mengalami
cedera.
5) Pneumotoraks Terbuka
Pneumotoraks terbuka adalah suatu pembukaan dalam dinding dada yang cukup
besar dan memungkinkan udara keluar-masuk dengan bebas dari rongga toraks pada
setiap kali pernapasan. Kondisi paru mengalami kolaps, jantung dan pembuluh darah
besar berpindah ke arah dada yang tidak mengalami cedera dan pada arah yang
berlawanan dengan ekspirasi (flutter mediastinal).

f. Patofisiologi
Pada pneumotoraks, alveoli pulmonal atau saluran napas menjadi terhubung ke
rongga pleura, dan udara berpindah dari alveoli ke rongga pleura sampai tekanan kedua
area berada dalam keseimbangan. Demikian pula, ketika dinding dada dan rongga pleura
terhubung, udara bergerak ke rongga pleura dari lingkungan sampai perbedaan tekanan
tidak lagi ada atau sampai koneksi ditutup. Ketika tekanan rongga pleura meningkat,
mediastinum bergerak ke arah yang berlawanan, memperluas toraks dari sisi yang sama,
dan menekan diafragma (Choi, 2014).
Perubahan fisiologis utama pada pneumotoraks adalah pengurangan tekanan oksigen
arteri di samping kapasitas vital yang berkurang. Klien yang mengalami pneumotoraks
primer mengalami penurunan kapasitas vital dengan relatif baik, tetapi pada klien yang
menderita pneumotoraks sekunder dan penyakit paru yang mendasari, penurunan
kapasitas vital dapat menyebabkan hipoventilasi alveolar dan gagal napas.
g. Komplikasi
Seseorang yang pernah megalami pneumotoraks dapat mengalaminya secara
berulang, biasanya dalam satu hingga dua tahun pertama. Udara kadang-kadang bisa terus

245
bocor jika pembukaan di paru tidak menutup dengan sempurna. Prosedur pembedahan
diperlukan untuk menutup kebocoran udara tersebut.
h. Pemeriksaan Diagnostik
Pneumotoraks umumnya didiagnosis menggunakan X-ray. Dalam beberapa kasus,
pemindaian tomografi komputer (CT Scan) mungkin diperlukan untuk memberikan
gambar yang lebih rinci. CT Scan menggabungkan gambar X-ray yang diambil dari
berbagai arah yang berbeda untuk menghasilkan pandangan cross-sectional dari struktur
internal tubuh.
i. Penatalaksanaan Medis
1) Pneumotoraks Tension
a) Manifestasi Klinis
i. agitasi
ii. Hipotensi, takikardia, diuresis hebat, dan sianosis
b) Penatalaksanaan
i. Oksigen konsentrasi tinggi untuk mengatasi hipoksia
ii. Insersi jarum berdiameter besar ke dalam rongga pleura untuk menghilangkan
tekanan
iii. Pemasangan chest tube untuk membuang udara dan cairan yang tersisa
2) Pneumotoraks Terbuka
a) Intervensi Kedaruratan: Menghentikan Aliran Udara Melalui Pembukaan pada
Dinding Dada
i. Gunakan apa saja alat yang cukup besar untuk menutupi lubang (handuk,
sapu tangan, tumit telapak tangan)
ii. Minta klien menghela napas dan mengejan pada glotis yang tertutup jika
klien sadar
iii. Jika memungkinkan, pembukaan disumbat dengan menutupnya
menggunakan kasa petroleum-impregnated dan pastikan hanya tiga sisi
yang terfiksasi.
b) Intervensi Medikal
i. Selang dada dalam drainase water seal untuk mengeluarkan udara dan
cairan

246
ii. Antibiotik untuk melawan infeksi akibat kontaminasi

Tujuan penatalaksanaan adalah mengeluarkan udara atau darah dari ruang pleura
tanpa mengubah keseimbangan cairan.
1) Selang dada berdiameter besar dimasukkan ke dalam rongga dada. Biasanya pada
spasium interkostal keempat sampai keenam untuk hemotoraks
2) Selang dada kecil dimasukkan dekat spasium interkostal kedua untuk pneumotoraks
3) Autotransfusi, jika terjadi pendarahan hebat dari selang dada

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Identitas Klien
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan, dan pekerjaan klien/asuransi kesehatan.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada dada, dan keluhan
susah untuk melakukan pernapasan.
3) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin lama semakin berat.
Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri
pada gerakan pernapasan. Kaji juga apakah terdapat riwayat trauma yang mengenai
rongga dada, seperti peluru yang menembus dada dan paru, ledakan, atau kecelakaan
lalu lintas.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Identifikasi apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru di mana sering
terjadi pada pneumotoraks spontan.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit
yang mungkin menyebabkan pneumotoraks, seperti kanker paru, asma, TB paru, dan
lain-lain.

247
6) Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, cara
mengatasi, serta bagaimana perilaku klien pada tindakan yang dilakukan terhadap
dirinya.
7) Pemeriksaan Fisik
a) B1(Breathing)
i. Inspeksi
Peningkatan usaha frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu
pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan
dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris
(cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan
sputum purulen. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
ii. Palpasi
Taktil Fremitus menurun pada sisi yang sakit. Di samping itu, pada palpasi
juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang
sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar-iga bisa saja normal atau melebar.
iii. Perkusi
Dilakukan secara minimal untuk mencegah komplikasi dan nyeri
iv. Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi
duduk, semakin ke atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga suara
napas terdengar amforis, bila ada fistel bronkopleura yang cukup besar pada
pneumotoraks terbuka.

b) B2 (Blood)
Perawat perlu memonitor pneumotoraks pada status kardiovaskular yang
meliputi keadaan hemodinamika, seperti nadi, tekanan darah, dan pengisian
kapiler darah.
c) B2 (Brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaraan perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga
pemeriksaan GCS. Apakah compos mentis, somnolen, atau koma.

248
d) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Perawat
perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria merupakan tanda awal dari syok.
e) B5 (Bowel)
Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah, penurunan
nafsu makan turun dan berat badan.
f) B6 (Bone)
Pada trauma di rusuk dada, sering kali didapatkan adanya kerusakan otot dan
jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi.
8) Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan dengan radiologi. Gambaran radiologis
pneumotoraks akan tampak hitam, rata. Sementara itu, pada paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru.

b. Diagnosis Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik.
3) Risiko trauma pernapasan berhubungan dengan pemasangan (Water Seal Drainage
[WSD]).

249
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
menurunnya ekspansi paru Patency b. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sekunder terhadap peningkatan c. Vital Sign Status tambahan
tekanan dalam rongga pleura. c. Berikan bronkodilator
Kriteria hasil: d. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
a. Mendemonstrasikan suara napas lembap
yang bersih, tidak ada sianosis e. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
dan dispnea (mampu keseimbangan.
mengeluarkan sputum, mampu f. Monitor respirasi dan status O2
bernapas dengan mudah, tidak g. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
ada pursed lips) h. Pertahankan jalan napas yang paten
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Observasi adanya tanda-tanda
paten (klien tidak merasa hipoventilasi
tercekik, irama napas, frekuensi j. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
pernapasan dalam rentang oksigenasi
normal, tidak ada suara napas k. Monitor vital sign
abnormal) l. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.

250
c. Tanda-tanda vital dalam rentang m. Ajarkan bagaimana batuk efektif
normal (tekanan darah, nadi, n. Monitor pola napas
pernapasan)
2. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level Pain Management:
agens cedera fisik. b. Pain Control a. Observasi reaksi nonverbal dari
c. Comfort Level ketidaknyamanan
b. Eksplorasi hal-hal yang mempengaruhi
Kriteria Hasil: nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri c. Eksplorasi pengalaman nyeri masa lampau
b. Melaporkan nyeri berkurang untuk mengetahui ketidakefektifan kontrol
c. Mampu mengenali nyeri nyeri masa lampau
d. Menyatakan rasa nyaman setelah d. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri berkurang mempengaruhi nyeri
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal)

Analgesic Administration:
a. Tentukan mengenai lokasi, kualitas,
karakteristik nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek riwayat alergi

251
c. Tentukan pilihan analgesik, rute pemberian
dan dosis optimal
d. Evaluasi efektivitas analgesik
3. Risiko trauma pernapasan a. Knowledge: Personal Safety Environmental Management safety
berhubungan dengan b. Safety Behavior: Fall Prevention a. Sediakan lingkungan yang aman untuk
pemasangan (Water Seal c. Safety Behavior: Fall occurance klien
Drainage [WSD]). d. Safety Behavior: Physical Injury b. Identifikasi kebutuhan keamanan klien,
e. Tissue Integrity: Skin and sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
Mucous Membran kognitif klien dan riwayat penyakit
terdahulu klien
Kriteria hasil: c. Menghindarkan lingkungan yang
Klien terbebas dari trauma fisik berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
d. Memasang side rail tempat tidur
e. Menyediakan tempat tidur yang nyaman
dan bersih
f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau klien
g. Membatasi pengunjung
h. Memberikan penerangan yang cukup
i. Menganjurkan keluarga untuk menemani
klien.

252
j. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
k. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
l. Berikan penjelasan pada klien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab
penyakit.

253
E. KONTUSIO PARU (PULMONARY CONTUSION)
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Kontusio paru atau kontusio pulmonal merupakan kontusio (luka memar) pada paru-
paru yang disebabkan oleh trauma dada (CTI Reviews, 2016). Akibat kerusakan kapiler,
darah dan cairan lainnya menumpuk di jaringan paru-paru. Kontusio paru berkaitan
dengan luka yang disebabkan oleh deselerasi cepat ketika seseorang mengalami
kecelakaan kendaraan (Ignatavicius dkk., 2017). Hal-hal yang biasa terjadi pada kontusio
paru ini adalah perdarahan dan edema yang terjadi pada dan di antara alveoli, penurunan
gerakan paru-paru, dan pengurangan area pertukaran gas. Kegagalan pernapasan juga
sering terjadi seiring berjalannya waktu setelah adanya trauma.
b. Etiologi
Kontusio paru terjadi dengan deselerasi cepat ketika dada bergerak menyerang atau
diserang objek tetap. Kontusio paru terjadi pada 25-35% trauma dada tumpul. Jaringan
paru-paru hancur saat dinding dada membungkuk ke dalam pada benturan. Penyebab
lainnya adalah jatuh, serangan, dan cedera olahraga.
c. Faktor Risiko
Kontusio paru sering terjadi pada cedera dada tertutup dan cedera dada terbuka.
d. Tanda dan Gejala
Kontusio paru dapat diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu ringan, sedang,
dan berat. Manifestasi klinis kontusio paru beragam, mulai dari takipnea, takikardia, nyeri
dada pleuritik, hipoksemia, sekresi berwarna darah (blood-tinged secretions) untuk
takipnea yang lebih berat, takikardia, crackles, pendarahan, hipoksemia berat, dan
asidosis pernapasan. Perubahan sensori, termasuk peningkatan agitasi atau perilaku
irasional yang agresif, bisa merupakan tanda hipoksemia.
Sementara itu, sebagai tambahan, klien dengan kontusio paru mengalami
peningkatan produksi mukus disertai darah pada ruas trakeobronkial. Klien sering
mengalami batuk terus-menerus, tetapi sekresi tidak bersih. Klien dengan kontusio berat
memiliki tanda dan gejala penyakit sindrom gagal napas akut (Accute Respiratory Ditress
Syndrome [ARDS]). Tanda dan gejala tersebut dapat meliputi sianosis, agitasi, dan batuk
produktif dengan sekresi berbusa dan berdarah.

254
e. Klasifikasi
Wagner dkk. (dalam Brunner dkk., 2011) mengajukan empat tipe kontusio paru
berdasarkan etiologinya untuk membantu pemahaman mengenai risiko dan etiologi
proses penyakit ini.
Tabel 8.2. Tipe Kontusio Paru
Tipe Keterangan
I Karena kompresi dinding dada langsung terhadap parenkim paru.
Kontusio tipe ini paling sering terjadi.

II Karena gesernya jaringan paru-paru di seluruh ruas vertebra

III Lesi yang dilokalisasi akibat rusuk yang retak, yang langsung melukai
paru-paru yang mendasari

IV Karena adhesi pleuropulmoner yang mendasari dari cedera paru-paru


sebelumnya yang merobek parenkim

f. Patofisiologi
Patofisiologi kontusio paru dan trauma dada tumpul meliputi peradangan,
peningkatan permeabilitas alveoli-kapiler dan edema paru, ketidakcocokan ventilasi atau
perfusi yang meningkatkan intrapulmonary shunting, dan hilangnya integritas (Ganie
dkk., 2013). Secara klinis, klien dengan manifestasi paru terjadi pada hipoksemia,
hiperkarbia, dan sesak napas yang intensif.
Kandungan air paru meningkat selama 72 jam pertama setelah cedera dan dapat
menyebabkan edema paru yang nyata pada kasus yang lebih serius. Membran antara
alveoli dan kapiler robek, dan kerusakan pada pembuluh darah kecil menyebabkan darah
dan cairan bocor ke alveoli dan ruang interstisial paru. Peradangan paru ditandai dengan
perdarahan mikro yang terjadi saat alveoli secara traumatis terpisah dari struktur saluran
napas dan pembuluh darah. Paru yang mengalami trauma biasanya dikelilingi oleh area
edema. Akumulasi cairan pada alveoli mengganggu pertukaran gas dan menyebabkan
alveoli terisi dengan protein dan mengalami kolaps.

255
Kontusio paru biasanya terjadi akibat trauma tumpul pada dinding dada. Kecelakaan
kendaraan bermotor dan kecelakaan motor merupakan penyebab paling umum dari pola
cedera ini, namun juga dapat dilihat dengan blust truma (trauma ledakan). Sekitar 25-
35% trauma dada tumpul melibatkan luka pada paru-paru itu sendiri (Brunner dkk.,
2011). Paru-paru adalah organ kedua yang paling umum yang terluka akibat luka ledakan.
Kontusio paru menghasilkan konsolidasi paru-paru dan kolapsnya alveolar sekunder
akibat perdarahan dan edema interstisial.
g. Komplikasi
Kontusio paru biasanya menghilang secara otomatis dalam 3 hingga 5 hari, asalkan
tidak terjadi penyakit lain. Komplikasi utama kontusio paru adalah ARDS dan
pneumonia. ARDS berkembang pada 17% klien dengan memar paru yang terisolasi,
sementara 78% dengan cedera tambahan berlanjut menjadi ARDS (Miller & Mansour,
2007). Trauma paru, hipoksia alveolar, dan darah di ruang alveolar semuanya
mengaktifkan jalur inflamasi yang menyebabkan cedera paru akut. Darah di ruang
alveolar menjadi media yang sangat baik untuk bakteri. Pembersihan sekresi dari area
yang berkontraksi berkurang yang ditambah dengan cedera dinding dada dan ventilasi
mekanis.
h. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut ini adalah metode diagnosis klien dengan kontusio paru:
1) Rontgen Dada
Rontgen dada adalah metode yang paling umum digunakan untuk diagnosis.
Adanya hemotoraks atau pneumotoraks mungkin menggugurkan kemungkinan
kontusio pada radiograf.
2) CT Scan
CT Scan dapat memvisualisasikan cedera paru dan kontusio yang tidak terlihat
pada rontgen dada awal. CT Scan sangat akurat dan mudah didapat di kebanyakan
gawat darurat, hal ini dianggap sebagai standar yang baik untuk mendiagnosis kontusio
paru. Namun, pada klien dengan kontusio paru ringan yang didiagnosis dengan sinar
X dada dan sedikit gejala klinis, CT Scan mungkin tidak diperlukan.
3) USG

256
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa USG mungkin merupakan pemeriksaan
diagnostik tambahan yang berguna untuk mendiagnosis kontusio paru, dengan
sensitivitas 94,6% dan spesivisitas 96,1% (Brunner dkk., 2011). Soldati dan Ball
menunjukkan bahwa USG dapat mengungkapkan adanya sindrom alveolar-interstisial
dalam setting trauma yang menandakan adanya kontusio paru. Meskipun USG
mungkin tidak memberikan bukti penting dari kontusio paru, USG berguna untuk
membantu diagnosis ketika rontgen dada tidak memberikan kepastian, CT Scan tidak
tersedia atau klien terlalu tidak stabil untuk dibawa ke ruang radiologi.

i. Penatalaksanaan Medis
Sebagian besar kontusio paru tidak memerlukan terapi khusus. Modalitas perawatan
dalam kontusio paru adalah untuk mencegah cedera tambahan, memberikan perawatan
suportif sambil menunggu sembuhnya kontusio (Ganie dkk., 2013). Pengobatan
membantu mencegah gagal napas dan memastikan oksigenasi darah yang adekuat. Akan
tetapi, kontusio besar dapat mempengaruhi pertukaran gas dan mengakibatkan
hipoksemia. Karena dampak fisiologis dari kontusio cenderung berkembang selama 24-
48 jam, pemantauan ketat diperlukan bersamaan dengan pemberian oksigen tambahan.
Intubasi trakea dan ventilasi mekanis mungkin diperlukan jika ada kesulitan dalam
oksigenasi atau ventilasi. Biasanya dukungan ventilasi dapat dihentikan begitu kontusio
paru telah teratasi, terlepas dari cedera dinding dada. Bila kontusio tidak merespons
pengobatan lain, oksigenasi membran ekstrakorporeal dapat digunakan. Berikut ini
merupakan beberapa manajemen yang dapat dilakukan:
1) Ventilasi
Ventilasi tekanan positif noninvasif termasuk tekanan udara positif kontinu
(CPAP) dapat digunakan untuk memperbaiki oksigenasi dan mengobati atelektasis.
Namun, hal itu dapat menyebabkan distensi lambung dengan memaksa udara masuk
ke dalam perut atau menyebabkan aspirasi isi perut, terutama saat tingkat kesadaran
menurun. Klien dengan tanda-tanda respirasi atau oksigenasi yang tidak memadai
mungkin perlu diintubasi dan diberi ventilasi mekanis. Ventilasi dapat membuka
kembali alveoli yang rusak, namun intubasi berulang akan berbahaya, dan ventilasi
dengan PEEP yang tinggi juga dapat merusak paru-paru dengan overinflasi.

257
ARDS sebagai komplikasi dari kontusio paru traumatis dapat menyebabkan
paru-paru kehilangan kemampuan complience, sehingga tekanan yang lebih tinggi
mungkin diperlukan untuk memberi jumlah udara normal. Bila complience pada paru
yang terluka berbeda secara signifikan dari paru-paru yang tidak terluka, paru-paru
dapat di ventilasi secara terpisah dengan dua ventilator untuk menghasilkan udara
pada tekanan yang berbeda. Hal ini memberikan ventilasi yang memadai dan
mencegah cedera paru lebih lanjut.
2) Terapi Cairan
Pemberian terapi cairan pada individu dengan kontusi paru masih kontroversial.
Mengukur tekanan arteri pulmonalis memungkinkan petugas kesehatan memberikan
cukup cairan untuk mencegah syok tanpa memperburuk edema.
3) Diuretik
Diuretik mengurangi kelebihan cairan dalam sistem tubuh dan dapat digunakan
dalam pengobatan kontusio paru untuk melemaskan otot polos vena paru, sehingga
menurunkan resistensi vena paru dan mengurangi tekanan pada kapiler paru.
4) Perawatan suportif
Pembersihan paru dilakukan dengan penggunaan suction, pernapasan dalam,
batuk (coughing), dan metode lain untuk menghilangkan lendir dan darah dari
saluran pernapasan.

2. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Pada pengkajian, perawat mengkaji tingkat dan kedalaman pernapasan. Klien dapat
mengalami takipnea dengan pernapasan dangkal. Usaha bernapas di dalam tubuh
manusia dibantu oleh otot aksesori dan interkostal. Karena ventilasi lemah, terjadilah
ketidakseimbangan di dalam ventilasi atau rasio perfusi. Hal ini ditunjukkan oleh
penurunan PaO2 (konsentrasi oksigen dalam darah arteri). Selain itu, hal yang juga
harus dilakukan adalah pemantauan gas darah arteri serial.
Perawat juga harus mengkaji adanya tanda apapun yang mungkin muncul, seperti
lecet atau memar pada dinding dada yang menyertai cedera awal (Dolan & Holt, 2008).
Pengkajian dibantu oleh rontgen dada. Kontusi biasanya berkembang selama 1-3 hari

258
pertama (Greaves dkk. dalam Dolan & Holt, 2008). Akan tetapi, pada kasus trauma
dada yang parah, bayangan samar-samar di daerah yang terkena dapat dilihat dalam
beberapa jam setelah cedera (Driscoll dkk. dalam Dolan & Holt, 2008). Selain itu,
oksimetri denyut nadi dan monitoring EKG akan sangat membantu pengkajian ini.
Selain pengkajian yan telah disebutkan di atas, berikut ini merupakan tanda dan
gejala klien dengan kontusio paru:
1) Dispnea
2) Hipoksemia
3) Sputum berdarah
4) Penurunan bunyi napas
5) Adanya crackle dan wheeze (desah)
6) Sesuatu yang kabur atau tidak jelas pada rontgen dada di lobus atau parenkim

b. Diagnosis Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan keseimbangan ventilasi-perfusi.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan umum, kelelahan yang berhubungan dengan batuk
berlebihan dan dispnea.
5) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret.
6) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, pola interaksi.

259
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level Pain Management:
agen cedera fisik. b. Pain Control a. Observasi reaksi nonverbal dari
c. Comfort Level ketidaknyamanan
b. Eksplorasi hal hal yang mempengaruhi
Kriteria Hasil: nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri c. Eksplorasi pengalaman nyeri masa lampau
b. Melaporkan nyeri berkurang untuk mengetahui ketidakefektifan kontrol
c. Mampu mengenali nyeri nyeri masa lampau
d. Menyatakan rasa nyaman setelah d. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri berkurang mempengaruhi nyeri
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi,
interpersonal)

Analgesic Administration:
a. Tentukan mengenai lokasi, kualitas,
karakteristik nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek riwayat alergi
c. Tentukan pilihan analgesik, rute pemberian
dan dosis optimal

260
o. Evaluasi efektivitas analgesik
2. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
menurunnya ekspansi paru Patency b. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
sekunder terhadap peningkatan c. Vital Sign Status tambahan
tekanan dalam rongga pleura.. c. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
Kriteria hasil: lembap
a. Mendemonstrasikan suara napas d. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
yang bersih, tidak ada sianosis keseimbangan.
dan dispnea (mampu e. Monitor respirasi dan status O2
mengeluarkan sputum, mampu f. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
bernapas dengan mudah, tidak g. Pertahankan jalan napas yang paten
ada pursed lips) h. Observasi adanya tanda-tanda
b. Menunjukkan jalan napas yang hipoventilasi
paten (klien tidak merasa i. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
tercekik, irama napas, frekuensi oksigenasi
pernapasan dalam rentang j. Monitor vital sign
normal, tidak ada suara napas k. Informasikan pada klien dan keluarga
abnormal) tentang teknik relaksasi untuk
c. Tanda-tanda vital dalam rentang memperbaiki pola napas.
normal (tekanan darah, nadi, l. Ajarkan bagaimana batuk efektif
pernapasan) m. Monitor pola napas

261
3. Gangguan pertukaran gas a. Respiratory Status: Gas a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan Exchange ventilasi
keseimbangan ventilasi-perfusi. b. Keseimbangan asam Basa, b. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
Elektrolit tambahan
c. Respiratory Status: Ventilation c. Berikan bronkodilator;
d. Vital Sign Status d. Berikan pelembap udara
e. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
Kriteria hasil: keseimbangan.
a. Mendemonstrasikan f. Monitor respirasi dan status O2
peningkatan ventilasi dan g. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
oksigenasi yang adekuat penggunaan otot tambahan, retraksi otot
b. Memelihara kebersihan paru- supraclavikula dan interkostal
paru dan bebas dari tanda-tanda h. Monitor suara napas, seperti dengkur
distres pernapasan i. Monitor pola napas: bradipena, takipenia,
c. Mendemonstrasikan batuk kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
efektif dan suara napas yang biot
bersih, tidak ada sianosis dan j. Auskultasi suara napas, catat area
dispnea (mampu mengeluarkan penurunan/tidak adanya ventilasi dan
sputum, mampu bernapas suara tambahan
dengan mudah, tidak ada pursed k. Monitor TTV, gas darah arteri, elektrolit
lips) dan ststus mental

262
d. Tanda-tanda vital dalam rentang l. Observasi sianosis khususnya membran
normal mukosa
e. Gas darah arteri dalam batas m. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
normal persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
f. Status neurologis dalam batas alat tambahan (O2, Suction, Inhalasi)
normal m. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
4. Intoleransi aktivitas a. Self-care: ADLs a. Kaji tingkat kemampuan klien
berhubungan dengan b. Toleransi aktivitas b. Anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas
ketidakseimbangan antara suplai c. Konservasi energi secara bergantian
dan kebutuhan oksigen, c. Bantu klien untuk mengubah posisi secara
kelemahan umum, kelelahan Kriteria hasil: berkala
yang berhubungan dengan batuk a. Menunjukkan toleransi aktivitas d. Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
berlebihan dan dispnea. b. Menampilkan aktivitas kehidupan memberikan terapi yang tepat
sehari–hari
5. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif obstruksi jalan napas b. Respiratory status: Airway suctioning.
spasme jalan napas, sekresi patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
tertahan, banyaknya mukus, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
adanya jalan napas buatan, dalam
sekresi bronkus, adanya eksudat Kriteria hasil: d. Posisikan klien untuk memaksimalkan
ventilasi

263
di alveolus, adanya benda asing a. Mendemonstrasikan suara napas e. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
di jalan napas. yang bersih, tidak ada sianosis tambahan
dan dispnea (mampu f. Monitor status hemodinamika
mengeluarkan sputum, bernapas g. Berikan pelembap udara kassa basah NaCl
dengan mudah, tidak ada pursed lembap
lips) h. Berikan antibiotik
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
paten (klien tidak merasa keseimbangan.
tercekik, irama napas, frekuensi j. Monitor respirasi dan status O2
pernapasan dalam rentang k. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
normal, tidak ada suara napas mengencerkan sekret
abnormal) l. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
c. Mampu mengidentifikasikan dan penggunaan peralatan: O2, Suction,
mencegah faktor yang penyebab. Inhalasi
d. Saturasi O2 dalam batas normal
e. Foto toraks dalam batas normal
6. Ansietas berhubungan dengan Kriteria hasil: a. Tinjau ulang pengalaman klien/orang terdekat
krisis situasi, pola interaksi a. Cemas klien berkurang sebelumnya dengan kanker
b. Koping klien adaptif b. Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaannya
c. Pertahankan kontak dengan klien

264
d. Bantu klien dalam mengenali dan
mengklarifikasi rasa takut untuk memulai
mengembangkan strategi koping untuk
menghadapi rasa takut
e. Tingkatkan lingkungan tenang

265
BAB IX
EFUSI PLEURA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan di ruang pleura. Penyakit ini sering
terjadi karena proses sekunder dari adanya penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih,
yang mungkin merupakan transudat, eksudat atau dapat berupa darah atau pus.
2. Etiologi
Efusi pleura diakibatkan oleh kelebihan cairan dapat berupa rcairan rendah protein
(transudatif) atau kaya protein (eksudatif). Penyebab paling umum efusi pleura transudatif
(cairan encer) meliputi gagal jantung, emboli paru, sirosis, dan bedah jantung pascaoperasi.
Sementara itu, efusi pleura eksudatif (cairan protein) paling sering disebabkan oleh
pneumonia, kanker, emboli paru, penyakit ginjal, dan penyakit inflamasi.
Selain dua penyebab utama di atas, penyebab efusi pleura lain yang kurang umum antara
lain tuberkulosis, penyakit autoimun, perdarahan (karena trauma dada), chylothorax (karena
trauma), infeksi dada dan perut, efusi pleura asbes (karena paparan asbes), sindrom Meig
(karena tumor ovarium jinak), dan sindrom hiperstimulasi ovarium.
Obat-obatan tertentu, operasi perut, dan terapi radiasi juga dapat menyebabkan efusi
pleura. Efusi pleura dapat terjadi pada beberapa jenis kanker termasuk kanker paru-paru,
kanker payudara, dan limfoma (Boka, 2017).
3. Faktor Risiko
Efusi pleura merupakan manifestasi dari penyakit lain. Oleh karenanya, faktor risiko
efusi pleura adalah penyakit yang mendasarinya. Secara umum, efusi pleura lebih sering
terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak.
4. Tanda dan Gejala
Efusi pleura beberapa gejalanya disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia akan
menyebabkan demam, menggigil dan nyeri dada pleuritik. Efusi maligna dapat
mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala.

266
a. Efusi luas: sesak napas, bunyi pekak atau datar pada saat perkusi di atas area yang terisi
cairan, bunyi napas minimal atau tak terdengar, dan pergeseran trakea menjauhi tempat
yang sakit.
b. Efusi ringan sampai sedang: dispnea bisa tidak terjadi
5. Patofisiologi
Akumulasi cairan pleura biasanya terjadi akibat peningkatan pembentukan cairan pleura
atau penurunan penyerapan cairan pleura; atau gabungan dua kondisi tersebut. Peningkatan
pembentukan cairan pleura merupakan hasil peningkatan tekanan hidrostatik (misalnya,
gagal jantung kongestif), penurunan tekanan osmotik koloid (misalnya, sirosis, sindrom
nefrotik), peningkatan permeabilitas kapiler (misalnya, infeksi, neoplasma), penekanan
cairan oleh dinding diafragma (misalnya, sirosis dengan ascites), atau pengurangan tekanan
ruang pleura (misalnya, atelektasis). Penurunan penyerapan cairan pleura dapat terjadi akibat
obstruksi limfatik atau dari peningkatan tekanan vena sistemik yang mengakibatkan
gangguan drainase limfatik (misalnya, sindrom vena kava superior).
Adanya cairan di lingkungan tekanan negatif yang normal dari ruang pleura memiliki
sejumlah konsekuensi untuk fisiologi pernapasan. Efusi pleura menghasilkan defek ventilasi
yang restriktif dan juga menurunkan kapasitas paru total, kapasitas residual fungsional, dan
kapasitas vital paksa. Hal ini dapat menyebabkan ketidakcocokan ventilasi-perfusi dan
dalam tahap lanjut dapat menurunkan curah jantung (Light, 2006).
6. Komplikasi
Efusi pleura membahayakan fungsi paru-paru karena menurunkan kemampuan ekspansi
paru-paru. Efusi yang sudah lama terjadi akan menimbulkan jaringan parut paru-paru dan
menyebabkan penurunan fungsi paru secara permanen. Cairan yang menumpuk pada jangka
waktu yang lama juga berisiko terinfeksi dan membentuk abses yang disebut empiema.
Prosedur diagnostik dan terapeutik termasuk thoracentesis dalam pelaksanaannya
menempatkan jarum melalui dada ke dalam rongga pleura. Hal ini membuat klien berisiko
terkena pneumotoraks sebagai komplikasi prosedur.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen dada
b. Ultrasonografi
c. Torasentesis

267
d. Kultur cairan pleural

8. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab yang mendasari; untuk
mencegah reakumulasi cairan; dan untuk meringankan ketidaknyamanan, dispnea, dan
penurunan kerja sistem pernapasan (Smeltzer dkk., 2010). Pengobatan spesifik diarahkan
pada penyebab yang mendasarinya.
a. Thoracentesis dilakukan untuk menghilangkan cairan, mengumpulkan spesimen untuk
analisis, dan meredakan dispnea.
b. Pemasangan chest tube dan water-seal drainage mungkin diperlukan untuk drainase dan
re-ekspansi paru-paru.
c. Pleurodesis kimia: Pembentukan adhesi dilakukan saat obat ditanamkan ke dalam ruang
pleura untuk menghilangkan ruang dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
d. Modalitas pengobatan lainnya, termasuk pleurektomi pembedahan (pemasangan kateter
kecil yang menempel pada botol pengisap) atau implantasi pleuroperitoneal shunt.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Hal yang penting untuk dikaji pada klien dengan efusi pleura, antara lain:
a. Pengkajian Riwayat
Riwayat medis rinci harus diperoleh dari semua klien yang mengalami efusi pleura,
karena ini dapat membantu untuk menetapkan etiologi. Sebagai contoh, riwayat
hepatitis kronis atau alkoholisme dengan sirosis menunjukkan hidrotoraks hati atau
pankreatitis akibat alkohol dengan efusi. Trauma atau pembedahan tulang belakang
meningkatkan kemungkinan kebocoran CSF. Klien harus ditanya tentang riwayat
kanker, karena efusi pleura ganas dapat berkembang bertahun-tahun setelah diagnosis
awal.
Riwayat kerja juga harus ditanyakan, termasuk paparan asbes potensial, yang dapat
mempengaruhi klien terhadap mesothelioma atau efusi pleura terkait asbes. Klien juga
harus ditanya tentang obat yang dikonsumsi.

268
Manifestasi klinis efusi pleura bervariasi dan sering dikaitkan dengan proses
penyakit yang mendasarinya. Gejala yang paling sering dikaitkan adalah dispnea
progresif, batuk, dan nyeri dada pleura.
Gejala lain yang berhubungan dengan efusi pleura mungkin ada pada proses
penyakit yang mendasarinya. Peningkatan edema ekstremitas bawah, ortopnea, dan
dispnea nokturnal paroksismal dapat terjadi dengan gagal jantung kongestif.
Berkeringat di malam hari, demam, hemoptisis, dan penurunan berat badan mengarah
pada kasus TB yang mendasari efusi pleura. Hemoptisis juga meningkatkan
kemungkinan keganasan, inflamasi endotrakeal atau endobronkial lainnya, atau infark
paru. Epidemi demam akut, produksi dahak purulen, dan nyeri dada pleura mungkin
terjadi pada klien dengan efusi akibat pneumonia.
b. Pengkajian Fisik
Temuan fisik pada efusi pleura bervariasi dan bergantung pada volume efusi.
Biasanya, tidak ada temuan klinis untuk efusi kurang dari 300 mL. Dengan efusi lebih
besar dari 300 mL, pada dinding dada terdapat temuan berikut ini:
1) Adanya dullness pada pemeriksaan perkusi, penurunan fremitus taktil, dan ekspansi
dada asimetris, dengan ekspansi yang berkurang atau tertunda pada sisi efusi. Hal
ini merupakan temuan fisik efusi pleura yang paling dapat diandalkan.
2) Peralihan mediastinum jauh dari efusi. Temuan ini diamati dengan efusi lebih besar
dari 1000 mL. Pemindahan trakea dan mediastinum ke sisi efusi merupakan
petunjuk penting untuk mengatasi bronkus lobar oleh lesi endobronkial, yang dapat
disebabkan oleh keganasan atau, yang lebih jarang terjadi pada penyebab non-ganas,
seperti obstruksi benda asing.
3) Suara napas yang berkurang atau tak terdengar.
4) Adanya egofoni (dikenal sebagai perubahan bunyi “ee” menjadi “aa”) pada klien.
5) Gesekan pleura
6) Temuan fisik dan ekstrapulmoner lainnya mungkin menjadi penyebab dari efusi
pleura.
7) Edema perifer, distensi vena jugularis, dan S3 (gallop) yang menunjukkan adanya
gagal jantung kongestif. Edema juga bisa menjadi manifestasi sindrom nefrotik,

269
penyakit perikardial, atau bila dikombinasikan dengan adanya yellow nailbed,
sindrom kuku kuning.
8) Perubahan kutaneous dan asites yang menunjukkan adanya penyakit hati.
9) Limfadenofati atau massa yang teraba yang menunjukkan adanya penyakit serius
atau keganasan.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru-paru sekunder
akibat akumulasi cairan di rongga pleura.
b. Jalan napas tidak efektif terkait dengan kelemahan dan usaha batuk yang lemah.
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme, penurunan nafsu makan karena sesak napas sekunder akibat
penekanan struktur abdomen.

270
3. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1. Pola napas tidak efektif a. Respiratory Status: Ventilation a. Posisikan klien untuk memaksimalkan
berhubungan dengan penurunan b. Respiratory Status: Airway ventilasi
ekspansi paru-paru sekunder Patency b. Pasang mayo bila perlu
akibat akumulasi cairan di c. Vital Sign Status c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
rongga pleura. d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
Kriteria hasil: suction
a. Mendemonstrasikan batuk e. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
efektif dan suara napas yang tambahan
bersih, tidak ada sianosis dan f. Berikan bronkodilator
dispnea (mampu mengeluarkan g. Berikan pelembap udara kasa basah NaCl
sputum, mampu bernapas lembap
dengan mudah, tidak ada pursed h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
lips) keseimbangan.
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Monitor respirasi dan status O2
paten (klien tidak merasa j. Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea
tercekik, irama napas, frekuensi k. Pertahankan jalan napas yang paten
pernapasan dalam rentang l. Observasi adanya tanda-tanda
normal, tidak ada suara napas hipoventilasi
abnormal) m. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
oksigenasi

271
c. Tanda-tanda vital dalam rentang n. Monitor vital sign
normal (tekanan darah, nadi, o. Informasikan pada klien dan keluarga
pernapasan) tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola napas.
p. Ajarkan bagaimana batuk efektif
q. Monitor pola napas
2. Bersihan jalan napas tidak a. Respiratory status: Ventilation a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
efektif obstruksi jalan napas b. Respiratory status: Airway suctioning.
spasme jalan napas, sekresi patency b. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
tertahan, banyaknya mukus, c. Aspiration Control c. Anjurkan klien untuk istirahat dan napas
adanya jalan napas buatan, dalam
sekresi bronkus, adanya eksudat Kriteria hasil: d. Posisikan klien untuk memaksimalkan
di alveolus, adanya benda asing a. Mendemonstrasikan batuk e. ventilasi
di jalan napas. efektif dan suara napas yang f. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
bersih, tidak ada sianosis dan g. Keluarkan sekret dengan batuk atau
dispnea (mampu mengeluarkan suction
sputum, bernapas dengan h. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
mudah, tidak ada pursed lips) tambahan
b. Menunjukkan jalan napas yang i. Berikan bronkodilator:
paten (klien tidak merasa j. Monitor status hemodinamika
tercekik, irama napas, frekuensi k. Berikan pelembap udara kassa basah NaCl
pernapasan dalam rentang lembap

272
normal, tidak ada suara napas l. Berikan antibiotik
abnormal) m. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
c. Mampu mengidentifikasikan dan keseimbangan
mencegah faktor yang penyebab. n. Monitor respirasi dan status O2
d. Saturasi O2 dalam batas normal o. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
e. Foto toraks dalam batas normal mengencerkan sekret
p. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
penggunaan peralatan: O2, Suction,
Inhalasi
3. Ketidakseimbangan nutrisi: a. Nutritional status: Adequacy of a. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh Nutrient b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan b. Nutritional Status: Food and menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
peningkatan metabolisme, Fluid Intake dibutuhkan klien
penurunan nafsu makan karena c. Weight Control c. Yakinkan diet yang dimakan mengandung
sesak napas sekunder akibat tinggi serat untuk mencegah konstipasi
penekanan struktur abdomen Setelah dilakukan tindakan keperawatan d. Ajarkan klien bagaimana membuat catatan
selama…. nutrisi kurang teratasi dengan makanan harian.
indikator: e. Monitor adanya penurunan BB dan gula
a. Albumin serum darah
b. Pre-albumin serum f. Monitor lingkungan selama makan
c. Hematokrit g. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
d. Hemoglobin selama jam makan

273
e. Total iron binding capacity h. Monitor turgor kulit
f. Jumlah limfosit i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva
l. Monitor intake nutrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
o. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
p. Kelola pemberian anti-emetik
q. Anjurkan banyak minum
r. Pertahankan terapi IV line
s. Catat adanya edema, hiperemia, hipertonik
papila lidah dan kavitasi oval

274
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin dan Christantie Effendy. (2004). Keperawatan Medikal Bedah: Klien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Black,. J. (2009). Medical-Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes.
Singapure: Saunders Elsevier.
Brown, Diane, Helen Edwards, Lesley Seaton, dan Thomas Buckley. (2014). Lewis's Medical-
Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Edisi 4. Australia:
Elsevier.
Bulechek, GM, H Butcher, JM Dochterman, dan C Wagner. (2013). Nursing Interventions
Classifications (NIC). Edisi 6. Missouri: Elsevier.
Dennison, RD dan Johnson, J. (2017). Pass Cen!. Edisi 2. Missouri: Elsevier.
deWit, SC, H. K. Stromberg, dan C.V. Dallred. (2017). Medical-Surgical Nursing: Concepts and
Practice. Edisi 3. Missouri: Elsevier.
Djojodibroto, D. (2014). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.
Dolan, B. dan Holt, L. (Editor). (2008). Accident & Emergency: Theory into Practice. Edisi 2.
London: Elsevier.
Harwood, M. (2012). Diagnosis and Management of COPD in Maori and Pacific Peoples. BPJ
Issue 43, 15 - 25.
Ignatavicius, DD, C Winkelman, NM Heimgartner. (2017). Medical-Surgical Nursing: Concepts
for Interprofessional Collaborative Care. Edisi 9. Missouri: Elsevier.
Kendall, K. T. (2014). Sinopsis Organ Sistem Pulmonologi: Pendekatan dengan Sistem Terpadu
dan Disertai Kumpulan Kasus Klinik. Bandung: Karisma Publishing Group.
Lewis, S. D. (2011). Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical
Problems. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
Lewis, Sharon L., Shannon Ruff Dirksen, Margaret McLean Heitkemper, dan Linda Bucher.
(2014). Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Edisi
9. Missouri: Elsevier.
Linton, A.D. (2015). Introduction to Medical-Surgical Nursing. Edisi 6. Missouri: Elsevier.
McConnell, Thomas. (2007). The Nature of Disease: Pathology for The Health Professions.
Philadhelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Moorhed, dkk. (2013). Nursing Outcomes Classifications (NOC). Edisi 5. Missouri: Elsevier.
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 (diterjemahkan B.A.
Keliat dkk.). Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction

275
Saint, S. dan Frances, Craig. (2010). Clinical Clerkship in Inpatient Medicine. Philadhelphia:
Lippincot Williams and Wilkins.
Smeltzer, Suzanne C., Brenda G. Bare, Janice L. Hinkle, Kerry H. Cheever. (2010). Brunner &
Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing. Edisi 12. Philadhelphia: Lippincot
Williams & Wilkins.
Soemantri, Irman. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Tambayong, Jan. (2000). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Weinberger, S.E., Cockril, B.A., Mandel, J. (2008). Texbook of Principles of Pulmonary Medicine.
Edisi 4. Philadelphia: Sounders Elsevier.
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC (dialihbahasakan oleh Widyawati dkk.). Jakarta: EGC.
Yung, GL and PF Fedullo. (2008). Pulmonary Thromboembolic Disease. In Fishman’s Pulmonary
Diseases. McGraw-Hill Medical Inc 2008; Edisi 4, 1423 – 1448.

Sumber Internet:
American Cancer Society. Lung Cancer. Diakses https://www.cancer.org/cancer/lung-
cancer.html. pada Oktober 2017.
Bĕlohlávek, J., V. Dytrych dan A. Linhart. (2013). Pulmonary Embolism, Part I: Epidemiology,
Risk Factors and Risk Stratification, Pathophysiology, Clinical Presentation, Diagnosis and
Nonthrombotic Pulmonary Embolism. Experimental and Clinical Cardiology, 2013
Spring; 18(2): 129–138. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3718593/ pada Oktober 2017.
Boka, Kamran. (2017). Pleural Effusion. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/299959-overview pada Maret 2018.
Bruner, DI, A Pritchard, A Hubert. (2011). Pulmonary Contusions. A Relias Learning Company.
Diakses dari https://www.ahcmedia.com/articles/131881-pulmonary-contusions pada
Oktober 2017.
CTI Reviews. (2016). Nursing Care Plans, Diagnoses, Interventions, and Outcomes. Edisi 8.
Content Technologies Inc.
Davies, John D., Senussi, Mourad H., & Mireles-Cabodevila, Eduardo. (2016). Should a Tidal
Volume of 6 mL/kg be used in All Patients?. Respiratory Care 2016, 61 (6) 774-790.
Diakses dari http://rc.rcjournal.com/content/61/6/774 pada Maret 2018.
Davignon K., Kwo J., Bigatello L.M. (2004). Pathophysiology and Management of the Flail
Chest. Minerva Anestesiol. 2004 Apr; 70(4): 193-9. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15173695 pada Maret 2018.

276
European Lung Foundation. (2013). Pulmonary vascular disease. Diakses dari
http://www.europeanlung.org/lung-disease-and-information/lung-diseases/pulmonary-
vascular-disease pada Oktober 2017.
Gaillard dkk. (2010). Lung Cancer. Radiopaedia. Diakses dari
https://radiopaedia.org/articles/lung-cancer-3. pada Oktober 2017.
Ganie, FA, H Lone, G N Lone, M L Wani, S Singh, A M Dar, N Wani, S N Wani, dan N Nazeer.
(2013). Lung Contusion: A Clinico-Pathological Entity with Unpredictable Clinical
Course. NCBI. Vol. 1 Januari 2013: 7-16. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4771236/ pada Oktober 2017.
Guignabert, C., L. Tu, M. L. Hiress, N. Ricard, C. Sattler, A. Seferian, A. Huertas, M.
Humbert, D. Montani. (2013). Pathogenesis Of Pulmonary Arterial Hypertension: Lessons
From Cancer. European Respiratory Review, 2013 22: 543-551. Diakses dari
http://err.ersjournals.com/content/22/130/543 pada Oktober 2017.
King, PT. (2009). The Pathophysiology Of Bronchiectasis. NCBI. Volume 4: 411–419. Diakses
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2793069/. pada Oktober 2017.
Light, R.W. (2006). The undiagnosed pleural effusion. Clin Chest Med. 27: (2): 309-319.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16716820 pada Maret 2018.
Ludwig, C dan A Koryllos. (2017). Management of Chest Trauma. Journal of Thoracic Disease.
Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5392544/. pada Oktober
2017.
Mayo Clinic Staff. (2017). Emphysema. Diakses dari https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/emphysema/symptoms-causes/syc-20355555 pada Maret 2018.
Miller, D.L, Mansour, K.A. (2007). Blunt Traumatic Lung Injuries. Thorac Surg Clin 17(1):57–
61. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4771236/ pada Maret
2018.
Mühl, D., G. Woth, T. Kiss, S. Ghosh dan J.E. Tanus-Santos. (2012). Pathophysiology,
Diagnosis and Treatment of Pulmonary Embolism Focusing on Thrombolysis-New
approaches. INTECH. Diakses dari https://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/32204.pdf. pada
Oktober 2017.
National Heart, Lung, and Blood Institute. (2018). Atelectasis-How Is Atelectasis Diagnosed?.
Diakses dari https://www.nhlbi.nih.gov/node/4071 pada Maret 2018.
Nuzulul Zulkarnain Haq. (2011). Asuhan Keperwatan (Askep) TB Paru. Diakses dari
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35527-Kep%20Respirasi-
Askep%20TB%20Paru.html#popup pada Maret 2018.

277
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. (2016). Tuberkulosis. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/InfoDatin-2016-
TB.pdf pada Maret 2017.
Ray, K., A. Bodenham, dan E. Paramasivam. (2014). Pulmonary Atelectasis in Anaesthesia and
Critical Care. Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. Volume 14,
Issue 5,hlm. 236–245. Diakses dari https://doi.org/10.1093/bjaceaccp/mkt064. pada
Oktober 2017.
Roland, J. (2016). Pulmonary Arterial Hypertension (PAH): Understanding Treatment Options.
Healthline. Diakses dari https://www.healthline.com/health-slideshow/pulmonary-arterial-
hypertension-treatments#3 pada Oktober 2017.
Sharafkhaneh, A, NA. Hanania, dan V. Kim. (2008). Pathogenesis of Emphysema From the
Bench to the Bedside. ATS Journal. Vol. 5, No. 4, 1 Mei 2008. Diakses dari
http://www.atsjournals.org/doi/full/10.1513/pats.200708-126ET pada Oktober 2017.
Stewart R.M. & Corneille M.G. (2008). Common Complications Following Thoracic Trauma:
Their Prevention and Treatment. Semin Thorac Cardiovasc Surg. 2008 Spring;20(1):69-71.
doi: 10.1053/j.semtcvs.2008.01.006. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18420130 pada Maret 2018.
Whited L. Graham D.D. (2017). Abnormal Respirations. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470309/ pada Maret
2018.
Won-Il Choi. (2014). Pneumothorax. Tuberc Respir Dis (Seoul). 2014 Mar; 76(3): 99–104.
Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3982243/

278
PROFIL PENYUSUN

Scholastica Fina Aryu Puspasari, Ns., M. Kep telah menjadi staf pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKes) Panti Rapih Yogyakarta sejak 2012 hingga sekarang. Sebelum mengabdi sebagai
dosen, perempuan kelahiran Yogyakarta, 11 Februari 1986 ini menjalani profesi perawat di Unit ICU RS
Santa Maria Pekanbaru dari tahun 2007 hingga 2009.
Penulis mendapatkan gelar Diploma Keperawatan dari STIKes Panti Rapih pada tahun 2007.
Kemudian, melanjutkan studi S1 Keperawatan di STIK Sint Carolus, Jakarta dan mendapat gelar Sarjana
Keperawatan pada tahun 2012. Pada tahun 2015, beliau mendapatkan gelar Magister Keperawatan dari
institusi yang sama.
Selama mengabdi menjadi dosen, penulis aktif melaksanakan beberapa penelitian di bidang
keperawatan. Di antaranya penelitian mengenai tingkat pengetahuan masyarakat tentang Avian Influenza
di Kabupaten Bantul, DIY. Di kabupaten yang sama, beliau juga melakukan penelitian tentang persepsi
perawat terhadap peran dan fungsi perawat di Puskesmas Pandak Bantul. Pada tahun 2015, beliau
menggarap penelitian mengenai pengaruh 6-Minute Walk Test dan Pursed-Lip Breathing terhadap kualitas
hidup klien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Yayasan Panti Rapih Yogyakarta.
Yang terbaru, beliau menuntaskan penelitian perihal pengaruh edukasi terhadap domain kognitif, afektif,
dan psikomotor pada lansia dengan hipertensi di Dusun Bokesan, Sleman, DIY.
Buku Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan ini merupakan
karya kedua penulis. Sebelumnya, penulis telah merampungkan penyusunan buku Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Integumen (Pustaka Baru Press, 2018).

279

You might also like