You are on page 1of 25

KEGIATAN BELAJAR 3:

BANK, RENTE DAN FEE

CAPAIAN
Capaian PEMBELAJARAN
Pembelajaran

Menganalisis tentang bank, rente, dan fee dalam ajaran Islam.

Sub Capaian Pembelajaran


SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 3 ini diharapkan saudara
dapat:
1. Menganalisis tentang konsep bank dalam ajaran Islam
2. Menganalisis tentang konsep rente atau bunga bank
3. Menganalisis tentang konsep riba dalam ajaran Islam
4. Menganalisis tentang konsep fee dalam ajaran Islam

POKOK-POKOK MATERI
POKOK-POKOK MATERI

1. Konsep bank dalam ajaran Islam


2. Konsep Rente dan bunga bank
3. Konsep riba dalam ajaran Islam
4. Konsep fee dalam ajaran Islam

1
DAFTAR ISI
CAPAIAN PEMBELAJARAN ................................................................................................. 1
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN ........................................................................................ 1
POKOK-POKOK MATERI ...................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2
URAIAN MATERI.................................................................................................................... 3
A. Konsep Bank dalam Ajaran Islam .................................................................................. 3
1. Pengertian Bank .......................................................................................................... 3
B. Bank Syariah ................................................................................................................... 4
C. Rente atau Bunga Bank ................................................................................................... 7
1. Pengertian Rente atau Bunga Bank ............................................................................. 7
2. Hukum Rente atau Bunga Bank .................................................................................. 8
3. Ikhtilaf Hukum Bunga Bank .................................................................................... 11
D. Konsep Riba dalam Ajaran Islam ................................................................................. 14
1. Pengertian, Jenis dan Hukum Riba ........................................................................... 14
2. Tahapan Pengharaman Riba ...................................................................................... 17
3. Hikmah Keharaman Riba .......................................................................................... 19
E. Konsep Fee dalam Ajaran Islam ................................................................................... 22
1. Pengertian dan Hukum Fee ....................................................................................... 22
REFLEKSI ............................................................................................................................... 22
CONTOH SOAL ..................................................................................................................... 23
TINDAK LANJUT BELAJAR................................................................................................ 24
GLOSARIUM .......................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 25

2
URAIAN MATERI
URAIAN MATERI

Saudara mahasiswa sekalian, pada bahan kegiatan belajar 3 akan dibahas


tentang konsep bank, rente, riba dan fee dalam ajaran Islam. Islam mengatur
perekonomian dengan sangat baik sebab bertujuan agar seluruh harta beredar di
seluruh lapisan masyarakat. Karena itu, transaksi tukar-menukar, jual beli dan
transaksi ekonomi lainnya harus memperhatikan aspek tolong menolong, saling
percaya dan berkeadilan. Tidak ada unsur penipuan dan judi yang merugikan orang
lain. Karena itu, transaksi yang mengandung riba, bunga, dan gharar sangat ditolak
dalam Islam. Pada KB 3 ini, mahasiswa akan memahami konsep bank, rente dan fee
(pembiayaan) yang dibolehkan dalam Islam. Baca dan perhatikan materi kegiatan ini
dengan baik agar tercapai tujuan secara optimal.

A. Konsep Bank dalam Ajaran Islam


1. Pengertian Bank
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit
dengan modal sendiri atau orang lain. Dari pengertian ini maka bank memiliki dua
arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bank


adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Serupa dengan definisi perbankan syariah yaitu badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. (Undang-undang No. 21 Tahaun
2008 tentang Perbankan Syariah).

3
Ada dua jenis Bank di Indonesia, yaitu bank konvensional dan bank syariah.
Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan
Bank Perkreditan Rakyat. Sedangkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Dengan demikian, Bank Konvensional adalah lembaga keuangan yang fungsi


utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau
lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan usaha-
usaha yang produktif dengan sistem bunga. Sedangkan Bank Syariah adalah suatu
lembaga yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang
atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga. Contohnya Bank
Muamalat.

B. Bank Syariah
Bank Syariah adalah sebuah Lembaga keugangan yang melakukan
penghimpunan dana nasabah dan menginvestasikannya dengan tujuan
membangkitkan ekonomi masyarakat muslim dan merealisasikan hubungan kerja
sama Islami berdasarkan syariah Islam. Diantara konsep paling penting adalah
menjauhi transaksi ribawi dan akad-akad yang dilarang.

Asas Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya adalah Prinsip


Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Adapun yang dimaksud
dengan prinsip syariah adalah prinsip-prinsip yang sejalan dengan tuntunan
ekonomi Islam seperti menghindari riba, gharar (tipuan) dan maysir (judi). Perbankan
Syariah juga bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Adapun prinsip-prinsip syariah yang dikembangkan dalam rangka


menghindari bunga bank adalah sebagai berikut: Pertama, wadiah yaitu titipan uang,
barang dan surat-surat berharga). Dalam operasinya bank Islam menghimpun
dengan cara menerima deposito berupa uang, benda dan surat berharga sebagai

4
amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak
menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus
menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilik deposito
memerlukannya.

Kedua, mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana).


Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada
pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun
rugi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.

Ketiga, musyarakah/syirkah (persekutuan). Pihak bank dan pengusaha sama-


sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil
dalam mengelola usaha patungan itu dan menaggung untung rugi bersama atas dasar
perjanjian profit and loss sharing.

Keempat, murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga
pembelian yang pertama secara jujur). Syarat murabahah antara lain bahwa pihak
bank harus memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga
pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost plusnya.

Kelima, Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat memberikan
pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang
memiliki deposito di bank Islam.

Keenam, Ijarah, yaitu akad sewa-menyewa antara satu atau dua orang, atau
antara satu lembaga dengan lembaga lain berdasarkan prinsip syariah.

Ketujuh, Hiwalah, yaitu akad perpindahan utang dari si A kepada B atau C


yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Bank Islam boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahannya tidak


mengelola zakat secara langsung. Bank Islam juga dapat menggunakan sebagian
zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk
kepentingan agama dan umum. Bank Islam juga boleh menerima dan memungut
pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam

5
melaksanakan pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah misalnya
biaya materai, telepon dalam memberitahukan rekening dan lain-lain

Bank Syariah diharuskan memiliki Dewan syariah yang bertugas memberikan


nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
Prinsip Syariah. Karena itu, bank syariah memiliki keistimewaan di bandingkan bank
konvensional yang berpijak pada system ribawi baik dalam penghimpunan dana
maupun pembiayaannya.

Islam mendorong praktik bagi hasil yang dilakukan oleh bank syariah serta
mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana,
namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat
dijelaskan dalam tabel berikut:

Table 3.1 Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil.

NO BUNGA BAGI HASIL

1 Penentuan bunga dibuat pada waktu Penentuan besarnya rasio/


akad dengan asumsi harus selalu nisbah bagi hasil dibuat pada
untung waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan untung rugi
2 Besarnya persentase berdasarkan Besarnya rasio bagi hasil
pada jumlah uang (modal) yang berdasarkan pada jumlah
dipinjamkan keuntungan yang diperoleh
3 Pembayaran bunga tetap seperti yang Bagi hasil tergantung pada
dijanjikan tanpa pertimbangan keuntungan proyek yang
apakah proyek yang dijalankan oleh dijalankan. Bila usaha merugi,
pihak nasabah untung atau rugi. kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak.
4 Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba
meningkat sekalipun jumlah meningkat sesuai dengan
keuntungan berlipat atau keadaan peningkatan jumlah pendapatan.
ekonomi se-dang “booming”.
5 Eksistensi bunga diragukan (kalau Tidak ada yang meragukan
tidak dikecam) oleh semua agama keabsahan bagi hasil
termasuk Islam.

6
C. Rente atau Bunga Bank
1. Pengertian Rente atau Bunga Bank
Rente adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang berarti bunga. Fuad
Muhammad Fachruddin mendefinisikan bahwa rente ialah keuntungan yang
diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan
perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank yang meminjamkan uang
kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga
bertambah banyak.

Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau tambahan untuk penggunaan
modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase
modal yang berkaitan dengan itu dan biasa dinamakan suku bunga modal.
Sedangkan bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya
adalah simpan-pinjam, memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kredit dengan modal
sendiri atau orang lain. Kegiatan perbankan adalah bergerak dalam bidang keuangan
dan kredit, serta mencakup dua fungsi penting, yaitu menciptakan uang dan sebagai
perantara pemberi kredit (Hasan, 2003).

Sedangkan secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang
berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari
uang yang dipinjamkan. Bunga bank juga diartikan adalah kelebihan jasa yang harus
dibayarkan kepada bank dari pihak peminjam atau pihak yang berhutang. Selain itu,
bunga bank sendiri juga dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank
yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan
kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga(tambahan) tetap
sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.

Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah sistem yang diterapkan oleh bank-
bank konvensional (nonIslam) sebagai suatu lembaga keuangan yang mana fungsi
utamanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan

7
dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk
investasi produktif dan lain-lain.

Dalam praktiknya, bunga bank (rente) merupakan keuntungan yang diperoleh


pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih
untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut. Usahanya menjadi
maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad
kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat
atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.

Ketentuan batas maksimum bunga bank sebenarnya tidak memberatkan dan


tetap dalam batas kewajaran. Ketentuan semacam ini tidak termasuk riba ad’afan
mudha’afah sebagaimana yang disingung dalam al-Qur’an. Bunga bank dengan
ketentuan semacam ini jika dilihat asbabun nuzul ayat-ayat tentang riba dalam al-
Qur’an tidak termasuk riba, sehinggasejauh ini bunga bank masih menjadi diskursus
yang multi tafsir dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni
riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank)
adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif. Pada praktiknya, tidak semua
bunga/rente atau semacamnya sama memberatkan bagi peminjam.

2. Hukum Rente atau Bunga Bank


Sebagian masyarakat terjebak dalam praktek pinjam meminjam uang dengan
suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir. Berbeda dengan bunga
bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat” itu sering menimbulkan
kegelisahan di masyarakat sebab. Kondisi ini muncul dikarenakan beban yang
ditanggung oleh pihak nasabah terlalu berat, sementara di sisi lain muncul
sekelompok orang yang hidup mewah dari hasil rentrenir yang memeras pihak
peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah diragukan bahwa sisten rente seperti
itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram hukumnya karena di dalamnya terdapat
unsur penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan
praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman jahikliyah.

8
Dengan demikian, keharaman rentenir jelas karena termasuk kategori riba
yang diharamkan, di dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak peminjam,
sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan tertindas jika kelebihan dalam batas
kewajaran dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang
diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 275:

ِّ ‫اَّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم‬


‫الرَب‬ َّ ‫َح َّل‬
َ ‫َوأ‬
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah:
2/275).
Kemudian permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan,
apakah bunga bank di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau
tidak?

Bank merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu


mekanisme bank untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini,
masyarakat dapat menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun
dapat meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan.
Masyarakat yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai modal
usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif dan dari usaha itu akan diperoleh
keuntungan. Di sisi lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya kepada bank
untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk menggunakan daya
beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya pihak yang meminjam
dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi dapat
memanfaatkan pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan keuntungan.
Berdasarkan prinsip bahwa tidak terdapat pihak yang dirugikan, maka tidaklah adil
kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk mempergunakan daya beli
modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat imbalan. Sementara itu,
peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan memperoleh
keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.

9
Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah
ketentuan jumlah atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
Untuk mengatasi persoalan ini ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti
nanti diperhitungkan untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik
asli dan pengguna modal, baik keuntungannya maupun kerugiannya. Tapi
pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka yang sekarang
dipraktekkan oleh bank Islam menghadapi permasalahan yang sangkat kompleks
dan rumit serta tidak efisien.

Hal yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya


terjadi kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan
baik dan merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi
bunga yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal.
Tidak adanya kepastian prosentase bunga seperti yang tedapat dalam bank Islam
merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar menarik modal. Apa yang
dipraktekkan oleh bank Islam itu sungguh sangat mulia, karena Islam mengajarkan
kepada orang yang memiliki rezeki yang lebih agar membantu meminjaminya
kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengaharap keuntungan. Tapi
himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk
sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif keluarga.

Kembali tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid
Thantawi berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan
bahwa bunga deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya
terlebih dahulu itu tidak haram menurut Islam. Fatwa ini sejalan dengan apa yang
ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar, “Tidak termasuk riba seseorang yang
memberikan kepada orang lain uang untuk diinfestasikan sambil menentukan baginya dari
hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi
pemilik dan pengelola modal. Sedangkan riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak
tanpa alasan serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”

10
Diriwayatkan dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang
kepada Nabi. Ketika Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan
melebihkannya. Beliau bersabda:

‫ضاء‬ ْ ‫إِّ َّن َخ ْ َْيُك ْم أ‬


َ َ‫َح َسنُ ُك ْم ق‬
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”
3. Ikhtilaf Hukum Bunga Bank
Sebelum menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, perlu
dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam sistem
bunga bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan
uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari
bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan
uang. Sebaliknya kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu
tertentu oleh bank juga diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Selain
itu, ia pun harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah disepakati pada
waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.

Konsep bunga bank terdapat perbedaan sikap para ulama dalam


menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok
ulama tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang
menghukuminya haram secara mutlak). Kedua, kelompok yang mengharamkan jika
bersifat konsumtif. Ketiga, muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan keempat,
kelompok yang menganggapnya syubhat. Berikut ini akan diuraikan empat kelompok
ulama seperti dimaksud:

Pertama, Kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la al-Maududi,
M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-
Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
riba nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh
berhubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan
darurat. Terkait dengan kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda

11
dengan yang lainnya, menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman
bunga bank, keharamannya bersifat mutlak.

Kedua, Kelompok yang antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau berpendapat


bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang berlaku
pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif
berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga
dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara
riba dengan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam
yang membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sedangkan rente sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam
digunakan untuk modal usaha yang menghasilkan keuntungan.

Ketiga, Kelompok antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat bahwa


bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang
diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:

‫اَّللَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِّ ُحو َن‬


َّ ‫اع َفة َواتَّ ُقوا‬
َ‫ض‬ َ ‫َض َعافا ُم‬ ِّ ‫ين ء َامنُوا ََل ََتْ ُكلُوا‬
ْ ‫الرَب أ‬
ِّ َّ
َ َ ‫ََيأَيُّ َها الذ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
Keempat, kelompok Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di
Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para
nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).
Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada
pemerasan sejalan dengan QS. 2:279.
ۡ ۡ
﴾٩٧٢ ‫وس أ َۡم ََٰولِّ ُك ۡم ََل تَظلِّ ُمو َن َوََل تُظلَ ُمو َن‬ ‫ء‬‫ر‬ ۡ ‫ٱَّللِّ ورسولِِّّهۦۖ وإِّن ت ۡب ت ۡم ف لَ ُك‬
‫م‬ َّ ‫ن‬ ِّ
‫م‬ ٖ‫ب‬‫ر‬ۡ ‫﴿فِّإن ََّّۡل ت ۡفعلُواْ ف ۡأذنواْ ِِّب‬
ُ ُ ُ َ ُ ُ َ ُ ََ َ َ َُ َ َ َ َ

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279).

12
Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional
bank. Oleh karena itu Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah
membolehkannya jika dalam keadaan terpaksa saja.

Masing-masing klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh


para ulama seperti terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran
melalui ijitihad mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga masing-
masing kelompok memiliki argumentasi yang diyakininya benar. Terlepas dari
perdebatan tersebut, melihat realitas yang ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia
sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan
anggapan bahwa bunga bank itu sesuatu yang terpaaksa atau darurat.

Adapun beberapa ulama yang menilai boleh atau syubhat tentang bunga bank
dilatarbelakangi oleh beberapa argument sebagai berikut: Pertama, bahwa bunga
bank tidak berlipat ganda, tetapi hanya sebesar 4 %, 7 % atau 9 %. Sehingga, tidak
masuk dalam nash yang melarang riba (surat al-Baqarah:275) dan tidak masuk dalam
riba yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab. Kedua, mereka berargumen bahwa kata
‘riba’ dalam syariat masih mujmal (global). Sebab ayat riba merupakan ayat paling
terakhir yang belum sempat dijelaskan oleh Rasulullah saw. Ketiga, Sebagian penulis
kontemporer seperti Dr. Ma’ruf ad Dawalibi beranggapan bahwa riba yang
diharamkan adalah riba qardh (pinjaman) untuk konsumsi. Riba ini dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kebutuhan mendesak dan dilunasi secara berlipat.
Adapun pinjaman untuk investasi seperti industry, perdaganagan maupun pertanian,
maka kelebihan itu tidak termasuk riba yang diharamkan. Keempat, mereka yang
membolehkan beranggapan bahwa bunga pinjaman investasi adalah suatu tuntutan
kebutuhan riil sehingga dibolehkan meskipun mengandung kemudharatan. Kelima,
mereka beranggapan bahwa bank adalah sebuah kebutuhan penting ekonomi di masa
modern. Keenam, bunga dapat dijadikan pengganti nilai uang yang hilang akibat
inflasi. Ketujuh, bahwa uang kertas adalah barang yang tidak ditimbang sehingga
bukan termasuk barang ribawi, tetapi merupakan jenis barang dagangan. Kedelapan,
bunga bank yang diberikan kepada pemilik harta dan ditentukan jumlahnya pada
hakikatnya tetap dan tidak bertambah atau berkurang sebab uang itu digunakan

13
untuk pengembangan modal yang diinvestasikan untuk proyek-proyek industry.
(Wahbah Zuhaili: 2011).

Berdasarkan pada tiga pandangan tentang hukum bank ada yang mengatakan
haram, syubhat dan boleh. Semuanya didasarkan pada argumentasi yang jelas dan
rasional. Tiga pandangan tersebut dapat disikapi dengan sikap moderat yakni nilai
tawassuth (mengambil jalan tengah) dengan cara menghindari sebaik mungkin untuk
melakukan pinjaman dana dari bank. Sebab bagaimana pun bank dibutuhkan
keberadaannya bagi masyarakat. Mereka yang membutuhkan dana besar untuk
usaha, tidak ada orang yang dapat memberikan pinjaman dalam jumlah besar kecuali
bank. Keharaman hukum bank untuk orang tertentu yang dia tidak punya
kemampuan untuk melakukan pembayaran pelunasan, bagi para pelaku usaha yang
membutuhkan dana besar dibolehkan karena untuk membangun kemaslahatan yang
lebih besar.

D. Konsep Riba dalam Ajaran Islam


1. Pengertian, Jenis dan Hukum Riba
Secara bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba
berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak
peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang
meminjamkan pada waktu pengembalian uang pinjaman, semakin lama waktu
pembayaran semakin besar pula tambahannya. Riba jenis ini disebut riba nasiah.
Hukum riba secara jelas adalah haram. Keharaman riba, pada hakekatnya
adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi.
Penghapusan riba dalam ekonomi Islam dapat dimaknai sebagai penghapusan riba
yang terjadi dalam jual beli dan hutang-pihutang. Dalam konteks ini, berbagai
transaksi yang spekulatif dan mengandung unsur gharar harus dilarang.
Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah
modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada
yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang
diberikan kepada si peminjam. Riba nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh
karena itu disebut juga dengan riba duyun dan disebut juga dengan riba jahiliyah,

14
sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan
membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal
dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar hukumnya
disebut secara jelas dan pasti. Sejarah mencatat bahwa praktek riba nasiah ini pernah
dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani
Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar
lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran. Sebagian tokoh
sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya pernah
mempraktekkannya sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian
membuat heran orang musyrik, karena mereka telah menganggap jual beli itu sama
dengan riba. (Satria Effendi, 1988:147). Ayat tersebut menyatakan secara jelas:
ِّ َّ ُ‫وم الَّ ِّذي يَتَ َخبَّطُه‬ ِّ َّ
َ ‫الش ْيطَا ُن ِّم َن الْ َم ِّ ذَل‬
‫َ ِِّ َََُّّْم قَالُوا إََِّّا الْبَ ْي ُع‬ ُ ‫ومو َن إََِّّل َك َما يَ ُق‬ ِّ ‫ين ََيْ ُكلُو َن‬
ُ ‫الرَب ََل يَ ُق‬ َ ‫الذ‬
ِّ ‫اَّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم‬
‫الرَب‬ َّ ‫َح َّل‬ ِّ ‫ِّمثْل‬
َ ‫الرَب َوأ‬ ُ

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)

Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga


unsur. Pertama, terdapat tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.
Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang
diperoleh si peminjam. Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam bentuk pemberian
piutang dan tenggang waktu. Bandingkan dengan kasus lain, penambahan yang
dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar dan tanpa ada syarat
sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) yang pernah
dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136). Rasul pernah berhutang
kepada seseorang seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua
umurnya seraya bersabda:

15
ِّ ِّ
‫ضاء تمتفع عليه‬ ْ ‫فَا َّن م ْن َخ ِّْْيُك ْم أ‬
َ َ‫َح َسنَ ُك ْم ق‬

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam
membayar hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim).

Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan


terpuji. Menurut mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika
tambahan tersebut disyaratkan pada waktu aqad. Artinya seseorang mau
memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan
ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan pemerasan. Sedangkan tambahan yang
terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang
berhutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa
terima kasih kepada orang yang telah memberikan huta ng kepadanya.
Selain riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba
dalam bentuk lain yang disebut dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal
ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. Dengan
kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah
yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, korma dengan korma, kecuali
dengan sama banyak dan secara tunai. Barang siapa yang menambah atau minta tambah,
masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).
Dari pengertian tersebut, fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan
yang terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emas dengan
emas, perak dengan perak dan gandum dengan gandum atau lainnya.
Adapun hukum keharaman riba, sikap semua agama samawi (Islam, Yahudi
dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktek yang
dapat merusak moral. Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran
sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah
seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan
kamu meminta keuntungan hartamu”. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25
kitab imamat, “jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu

16
meminta darinya keuntungan dan manfaat”. Paus Pius berkata “sesungguhya pemakan riba
akan kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang
pantas dikain kapankan setelah mereka mati”. Adapun dalam pandangan Islam,
keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara bertahap dan secara kronologis di
berbagai ayat yang jelas dan tegas yang mengharamkan dan mengancam pelaku riba.

2. Tahapan Pengharaman Riba


Pada periode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat 39 tentang riba.
َِّّ ‫يدو َن و ۡجه‬ ِّ ۡ ِّۖ َّ ‫ند‬ ۡ ِّ ‫ِف أ َۡم ََٰوِّل ٱلن‬
َ ‫َّاس فَ ََل يَربُواْ ِّع‬
ۡ ِّ ِّ ۡ
‫ٱَّلل‬ َ َ ُ ‫ٱَّلل َوَمآ ءَاتَي تُم من َزَك َٰوة تُِّر‬ ٓ ِّ ْ‫﴿وَمآ ءَاتَي تُم من ِّربٖا ل َْيبُ َوا‬
َ
ۡ ۡ ٓ
﴾٩٢ ‫َ ُه ُم ٱل ُمضعِّ ُفو َن‬
َ ِّ‫فَأ ُْوَٰلَئ‬

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS.: 30/39)

Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang
keharaman riba, terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130

ۡ ۖ ۡ ِّ ۡ
﴾٠٩١ ‫ٱَّللَ لَ َعلَّ ُك ۡم تُفلِّ ُحو َن‬ ََٰ ‫َض َعَٰفٖا ُّم‬
َّ ْ‫ض َع َفةٖۖ َوٱتَّ ُقوا‬ ‫ين ءَ َامنُواْ ََل ََت ُكلُواْ ٱلربََٰٓواْ أ‬ ِّ َّ َٰٓ
َ ‫﴿َيَيُّ َها ٱلذ‬
َ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS:
3/130).

Ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-
Baqarah ayat 278-279:
ۡ ۡ
ٖ‫ فَِّإن ََّّۡل تَف َعلُواْ فَأذَنُواْ ِِّبَ ۡرب‬٩٧٢ ‫ني‬ِّ ِّ ۡ ِّ ‫ٱَّللَ َوذَ ُرواْ َما بَِّقي ِّم َن‬ ِّ َّ‫﴿َيَيُّها ٱل‬
َ ‫ٱلربََٰٓواْ إِّن ُكنتُم ُّمؤمن‬ َ َّ ‫ا‬
ْ‫و‬ ‫ق‬
ُ َّ‫ين ءَ َامنُواْ ٱت‬
َ ‫ذ‬ َ ََٰٓ
ۡ ۡ
﴾٩٧٢ ‫وس أ َۡم ََٰولِّ ُك ۡم ََل تَظلِّ ُمو َن َوََل تُظلَ ُمو َن‬ ۡ ۡ ۡ ِّ ِِّّ َِّّ ‫ِّمن‬
ُ ُ‫ٱَّلل َوَر ُسولهۦۖ َوإن تُب تُم فَلَ ُكم ُرء‬ َ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan

17
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279).

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap
orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah
tidak memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok
tanpa ada tambahan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba
adalah perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang
membinasakan. Dalam hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada
pelakunya saja tapi juga kepada semua pihak yang ikut membantu terlaksananya
perbuatan riba tersebut, hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim:

‫ ترواه البخارى ومسلم‬.‫ وكاتبه‬،‫ وشاهديه‬،‫ ومؤكله‬،‫لعن هللا هللا آكل الرب‬

Artrinya: Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-
saksinya dan penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara rinci, keharaman riba dalam al-Qur’an secara bertahap, sejalan dengan
kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti pelarangan minuman keras. Adapun
tahap-tahap pelarangan riba dalam al-Qur'an dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama, bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah,
sedangkan shodaqoh akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum:
39).
Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras,
sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan
mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam
kedua belah pihak dengan siksa Allah yang pedih (QS. An-Nisa’: 160-161).
Tahap ketiga, keharaman riba dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat
ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3
Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah berlipat ganda harus dipahami sebagai
sifat bukan syarat sehingga pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya
18
yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat
riba yang berlaku umum pada waktu itu adalah berlipat ganda.
Tahap keempat merupakan tahap terakhir yang dengan tegas dan jelas Allah
mengharamkan riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara jual beli dan riba dan
menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-pihutang yang
mengandung riba (QS. Al-Baqarah: 278-279).

3. Hikmah Keharaman Riba


Berdasar kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf
Qardawi dan Sayyid Sabiq memberikan komentar yang senada tentang bahaya riba
dalam konteks kehidupan personal dan sosial. Menurut Yusuf Qardhawi dalam
kitabnya al-halal wa al-haram menyatakan bahwa dalam praktek riba terdapat
kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta orang lain tanpa hak. Hal ini dapat
terlihat dengan jelas dengan keharusan orang yang berhutang untuk mengembalikan
sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus dibayarkan.

Lebih lanjut, Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara
psikologis yang dapat melemahkan kreativitas manusia untuk bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya dan aktivitas ekonomi lainnya yang mampu
memutus kreativitas hidupnya. Dampak negatif ini muncul sangatlah beralasan
dikarenakan uang yang mengalir ke dalam sakunya diperoleh secara mudah tanpa
mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung kepada riba yang
diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang konsumtif
dan tidak produktif.

Selain itu, praktek riba berpotensi besar untuk menghilangkan nilai kebaikan
dan keadilan dalam hutang piutang. Transaksi hutang piutang yang pada mulanya
mengandung kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong dalam
kehidupan sosial, akibat virus riba maka hutang piutang akhirnya berubah menjadi
sebuah praktek pemerasan terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental
lintah darat yang memanfaatkan kebaikan hutang piutang. Selain itu, dilihat secara
moral, tegas Qardhawi riba sangat tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di
dalamnya terdapat eksploitasi terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena

19
yang menjadi kebiasaan adalah orang yang memberi hutang adalah orang kaya dan
orang yang berhutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan hutang dari orang
yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt.,
hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial. (Qardhawi, 1994: 242-243)

Senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif


yang diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap
dari Sabiq yaitu bahwa dalam praktek riba akan dapat menimbulkan potensi
permusuhan. Hal ini muncul dimungkinkan karena dalam praktek riba menapikan
unsur tolong menolong yang dapat memperkuat tali persahabatan dan persaudaraan.
Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang dianjurkan oleh semua
agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya dapat hidup selalu saling
tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan
mengeksploitasi kerja orang lain.

Lanjut Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk melahirkan


mental hidup mewah (pemboros), pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan
penimbunan harta tanpa usaha yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang
nempel di pohon lain. Sederet dampak tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental
yang bertentangan dengan semangat ajaran Islam. Pemborosan merupakan sifat yang
seharusnya dijauhi oleh ummatnya karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-
nyiakan harta dengan perbuatan yang tidak bermanfaat yang diklaim sebagai
perbuatan syetan. Demikian halnya dengan sikap berpangku tangan juga merupakan
sifat yang tidak islami, karena ajaran Islam menganjurkan umatnya berusaha sekuat
tenaga untuk mencari harta dengan jalan yang benar, menghargai kerja keras dan
menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata
pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan kemandirian serta mengangkat
semangat hidup seseorang.

Butir lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang
diungkap Sabiq adalah bahwa praktek riba merupakan salah satu cara penjajahan.
Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah

20
yang berkembang sampai sekarang menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang
berbasis kapitalis yang jauh dari nilai tolong nenolong. Hal ini tentunya bertentangan
dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak manusia agar dapat memberikan
pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik semata untuk mendapat pahala
bukan mengekploitasi orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:

‫اْل ِّْْث َوالْ ُع ْد َو ِّان‬


ِّْ ‫وتَ َعاونُوا َعلَى الِّْ ِّب والتَّ ْقوى وََل تَ َعاونُوا َعلَى‬
َ َ َ َ َ َ
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2).

Selain itu, Wahbah Zuhaili juga mengungkapkan hikmah keharaman riba yaitu
mengakibatkan kesusahan bagi orang-orang yang membutuhkan, mematikan unsur-
unsur kasih saying dan rahmat bagi manusia, menghilangkan nilai tolong-menolong
dalam kehidupan, eksploitasi orang kaya terhadap orang miskin, dan menyebabkan
mudharat yang besar bagi masyarakat. Jika uang telah menjadi barang komersial
dengan tambahan tambahan ribawi baik secara tunai maupun tidak, maka rusaklah
sistem penilai barang-barang yang seharusnya bersifat terbatas dan tetap, tidak naik
dan tidak turun.

Memperhatikan praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya


sebagaimana dijelaskan di atas maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat
yang ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik
secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari keberkahan
hidup. Jika praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem
perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba maka sistem kapitalis di mana
terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai sistem
perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan
manusia modern. Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa
orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.

21
E. Konsep Fee dalam Ajaran Islam
1. Pengertian dan Hukum Fee
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk
kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain.
Pungutan itu pada hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya
bisa dipersamakan dengan hukum bunga bank. Untuk menjawab masalah ini dapat
dikembalikan kepada pendapat ulama tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi
kelompok ulama yang mengharamkan bunga bank, maka mereka pun
mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat
dari sebuah transaksi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba,
meskipun fee itu digunakan untuk dana operasional. Sedangkan ulama yang
menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau alasan
lainnya, mereka pun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena itu
hukumnya boleh selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi
maka keberadaan sesuatu sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan asal.
Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.

Fee dalam aktivitas masyarakat juga terus berkembang, setiap apa pun jasa
yang diberikan harus selalu diganti dengan bayaran yang disyaratkan. Seperti parkir
motor/mobil harus ada fee, praktik seperti ini sudah menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat, sepanjang tidak memudharatkan, hukum fee seperti ini juga dibolehkan
selama tidak ada paksaan atau kerugian dari salah satu pihak.

Refleksi
REFLEKSI
Orang-orang yang memakan riba atau pelaku riba merupakan orang-orang yang
melanggar nilai-nilai moderasi beragama, diantaranya adalah nilai islah dan i’tiraf
‘urf. Sebab orang-orang yang senang dengan riba bukan memberikan rasa aman dan
damai (islah) di masyarakat tetapi justru membuat kekacauan dan konflik. Praktik
riba membuat orang buta mata sehingga tidak mampu membedakan antara
membantu atau menganiaya, orang yang memakan riba merasa dirinya membantu

22
orang lain yang kesusahan dengan memberikan pinjaman, padahal di sisi lain, ia telah
menjebak orang tersebut masuk ke dalam kehancuran dengan bunga yang terus
menumpuk dan tidak mampu dibayarkan olehnya. Selain itu, pelaku riba hanya
mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli dengan kesulitan orang lain. Sehingga
dirinya bukan orang yang islah (memberi rasa damai) tetapi ifsad (membuat
kerusakan).

Para pelaku riba juga melanggar nilai i’tiraf urf (mengakui tradisi), yakni tradisi
masyarakat yang sudah baik, yaitu tradisi saling tolong-menolong, saling berbagi dan
saling peduli terhadap sesama. Para pelaku riba telah menghancurkan tradisi-tradisi
baik di negeri ini dan mengganti dengan tradisi yang hanya mementingkan dirinya
sendiri, tidak menolong, tidak mau berbagi dan tidak peduli dengan sesama, sehingga
kehidupan masyarakat kembali kepada masyarakat jahiliyah yang mereka saling
bermusuh-musuhan, saling bunuh, dan saling menyakiti. Itulah bahaya riba yang
harus dihindari. Agar kita tetap saling berbagi dan peduli di antara kita, karena agama
kita memerintahkan untuk persatuan dan tolong-menolong.

Selanjutnya, lakukan Analisa Saudara terhadap nilai-nilai yang mencerminkan nilai


moderasi beragama seperti nilai tawassuth dan nilai syura (bermusyawarah) dalam
materi pada KB ini.

Contoh Soal
CONTOH SOAL
Perhatikan pernyataan di bawah ini:

1. Ahmad pinjam ke Yanto sejumlah 5 juta rupiah, kemudian dalam waktu dekat

Ahmad telah mengembalikan hutangnya sejumlah uang yang


dipinjamkannya, tetapi Ahmad membawa bingkisan makanan yang
diserahkan kepada Yanto.
2. Ahmad pinjam ke Yanto sejumlah 5 juta rupiah, kemudian dalam waktu yang

sudah terlalu lama (melewati janji pembayarannya), Yanto pun meminta


pembayarannya dilebihkan 2,5 %.

23
3. Ahmad pinjam ke Yanto sejumlah 5 juta rupiah, kemudian dalam waktu dekat

Ahmad telah mengembalikan hutangnya namun Ahmad mengurangi jumlah


pembayarannya hanya 4 juta rupiah.
4. Ahmad pinjam ke Yanto sejumlah 5 juta rupiah, kemudian dalam waktu yang

sudah terlalu lama (melewati janji pembayarannya), Ahmad pun minta waktu
untuk melunasinya dan berjanji nanti dikasih kelebihan 5 %.
5. Ahmad pinjam ke Yanto sejumlah 5 juta rupiah, kemudia dalam waktu dekat

Ahmad telah mengembalikan hutangnya sejumlah uang yang dipinjamnya,


tetapi Ahmad memberikan sejumlah uang yang diniatkan shadaqah karena
Yanto sedang membangun madrasah.

Pernyataan yang tidak termasuk riba adalah…


A. 1 dan 2 D. 2 dan 4
B. 3 dan 4 E. 3 dan 5
C. 1 dan 5

TindakTINDAK
Lanjut Belajar
LANJUT BELAJAR
1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG. Baca
artikel kemudian lakukan analisis berdasarka isi artikel!
2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai anti korupsi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program
PPG.

GLOSARIUM
Glosarium

Bank : Lembaga Keuangan

Bank Syariah : Lembaga keuangan berbasis syariah

24
Bank Konvensional : Lembaga keuangan berbasis bunga bank.

Murabahah : jual beli untuk mengambil keuntungan

Ijarah : Akad sewa menyewa.

Bunga : Tanggungan pinjaman uang

Ujroh : Upah

Rahn : Gadai

Riba : Kelebihan dari pinjaman

Fee : pungutan biaya

Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Abul A’la al-Maududi, Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba, alihbahasa: Isnando,
Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.

Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. cet.
I, Jakarta: Darul Haq, 2004

Hakim, Lukmanul. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga, 2012

Hasan, M Ali. (2003). Masail Fiqhiyah; Zakat Pajak Asuransi dan Lembaga
Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers.

Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: Rosda. 2013.

Suma, Muhammad Amin. Tafsir Ayat Ekonomi. Jakarta: Amzah, 2015.

Ikhwan, Wahyu. Riba dan Bungan Bank Perspektif Moh. Hatta, Tesis
diajukankepada Program Studi Hukum Islam, Program Pascasarjana UINSunan
Kalijaga Yogyakarta.

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah. Cet 17. Penerjemah Mahyuddin Syaf. Bandung. PT.
al-Ma’arif. 1996.

Wahbah Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu, Jilid 5. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. 2011.

25

You might also like