Professional Documents
Culture Documents
57-Article Text-107-1-10-20190508
57-Article Text-107-1-10-20190508
Husni Mubarok
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Jakarta
email: aceng.husni2@gmail.com
Abstract : This paper intends to discuss the latest problems in Indonesia due to identity politics,
its potential solutions, and implications for preachers (and religious leaders in general)
to reconcile the cracked social relations in Indonesia. Indonesia is recognized as one of
the succeed transitional countries in the world. Even so, democracy in a pluralistic
country like Indonesia is always potentially prone to conflict because of identity
politics for, instead of unitingit is divided society. In current time, more people
became more sensitive and easily provoked. How to understand this phenomenon?
What solutions can be made to overcome them? This paper argues that democracy
is the best political system owned by the Indonesian people. While recognizing that
democracy inherently allows identity politics, this paper argues that identity politics
must be managed in such a way as to strengthen the resilience of the people from the
onslaught of provocation. This paper proposes social cohesion as a solution. Social
cohesion contains four elements: structural involvement, involvement of associations,
involvement of day-to-day activities, and symbolic or cultural involvement.
Abstraksi: Tulisan ini hendak mendiskusikan berbagai persoalan mutakhir di Indonesia akibat
politik identitas, jalan keluarnya, dan hal-hal yang mungkin dilakukan para mubaligh
(dan tokoh agama pada umumnya) untuk merekatkan kembali hubungan sosial di
masyarakat yang tengah retak. Demokrasi di Indonesia diakui sebagai satu dari sedikit
negara yang mengalami transisi dan berhasil. Meski demikian, demokrasi di negara
366_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.II 2018
plural seperti Indonesia selalu berpotensi rawan konflik sebab politik identitas yang,
alih-alih mempersatukan, ia malah memecah belah masyarakat. Belakangan situasinya
berubah yang mana masyarakatsemakin sensitif dan mudah terprovokasi. Bagaimana
memahami fenomena ini? Apa jalan keluar yang bisa diajukan untuk mengatasinya?
Tulisan ini berargumen bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang dimiliki
bangsa Indonesia. Seraya mengakui demokrasi secara inheren memungkinkan politik
identitas, tulisan ini berpendapat bahwa politik identitas harus dikelola sedemikan rupa
dengan salah satunya memperkuat daya tahan masyarakat dari gempuran provokasi.
Tulisan ini mengusulkan kohesi sosial sebagai jalan keluarnya. Kohesi sosial tersebut
mengandung empat unsur: Keterlibatan struktural, keterlibatan asosiasi, keterlibatan
kegiatan sehari-hati, dan keterlibatan simbolik atau kebudayaan.
A. Pendahuluan
penduduk Indonesia beragam dari sisi suku, bahasa, etnis, dan agama,
yang seringkali memicu konflik dan ketegangan di masyarakat.
Hal lain yang perlu dicatat dari perjalanan 20 tahun reformasi adalah
masyarakat kita semakin sensitif, mudah tersinggung, dan rentan
terhadap provokasi. Catatan ini terkait dengan politik identitas, berita
bohong, dan ujaran kebencian, yang menguat dan pada saat yang sama
membuat hubungan sosial terpilah-pilah berdasarkan kubu-kubu politik.
Ditambah lagi, laju kecepatan internet yang menyediakan informasi,
berita benar maupun berita palsu, melebihi kecepatan kita berpikir.
Belum sempat kita mencerna, memikirkan, dan memaknai berita yang
sampai ke telepon genggam, apakah benar atau tidak, berita baru
sudah muncul lagi, lagi dan lagi. Hanya sebagian dari antara mereka
menyisihkan waktu untuk merenungkan berita yang masuk di akun
media sosialnya. Dari mereka yang mau menyeleksi berita, tidak semua
memiliki kemampuan yang memadai untuk memeriksa apakah berita
itu benar atau tidak.
B. Landasan Teori
1. Makna Demokrasi
2. Politik Identitas
tersebut dia penuhi, maka warga negara yang beda identitas tidak turut
menikmati kebijakan tersebut. Sejak keputusan tersebut diputuskan, sang
politisi mulai mendiskriminasi mereka yang tidak satu kubu dengannya.
Lebih jauh, identitas lain yang kecil jumlahnya tidak saja dikecilkan,
tetapi juga berpotensi dianggap tidak ada.
Indonesia saat ini tercatat sebagai tiga besar pengguna media sosial
di dunia. Data April 2018, Indonesia merupakan pengguna Facebook
terbanyak ketiga (140 juta), setelah Amerika (240 juta), dan India (270
juta) pengguna. Sementara itu, Indonesia merupakan keempat terbanyak
pengguna Instagram(56 juta), setelah India (59 juta), Brazil (61 juta), dan
Amerika (120 juta) akun.9 Itu data skala dunia. Bagaimana dengan data
nasional? Berdasarkan data Globalwebindeks, pengguna YouTube adalah
platform media sosial yang paling sering digunakan (43 persen), disusul
Facebook (41 persen), dan WhatsApp (40 persen). Data ini memperlihatkan
bahwa media sosial di Indonesia merupakan sarana efektif sebagai arena
kampanye. Politik identitas mau tidak mau memanfaatkan kenyataan
ini sebagai arena kampanye, bersaing dengan kampanye berdasarkan
program kerja.
Demokrasi, Politik Identitas, dan Kohesi Sosial _379
Meskipun kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa ada di
antara media yang sudah dikenal mainstream tidak memberitakan salah
satu kandidat secara proporsional. Karena itu, mereka membutuhkan
media sendiri. Mereka buatlah media seakan-akan mainstream dari sisi
tampilan dan nama, padahal situs abal-abal. Media semacam ini tidak
memenuhi atau bahkan dengan sengaja mengabaikan prinsip jurnalisme.
Fitnah sengaja dibuat dengan maksud menjatuhkan gambaran tentang
lawan politik di hadapan pemilih, yang kemudian diedarkan melalui
media sosial.
Produksi berita palsu dan fitnah akan selalu seiring dengan ujaran
kebencian. Berita palsu perlu dibahasakan dengan gambaran tentang
lawan politik yang sebisa mungkin menimbulkan rasa amarah para
pemilihnya. Yang ditembak oleh berita palsu, ujaran kebencian, dan
pelintiran kebencian adalah identitas objek untuk kepentingan politik.
Di sinilah sisi jahatnya politik identitas dalam mempromosikan
kandidat yang didukung sekaligus menjatuhkan kandidat lawan dengan
kebohongan.
bisa menghasut, pemelintir perlu isu. Namanya hasutan, isu yang diangkat
mesti perkara yang tidak jelas atau bila perlu bohong. Dalam konteks ini,
berita palsu adalah barang paling pas untuk menghasut. Ketika hasutan
melalui hoax sudah sampai ke masyarakat, pada gilirannya mereka akan
menimbulkan kemarahan, alias mereka terhasut. Semakin banyak orang
terhasut, semakin berhasil ia sebagai pemelintir kebencian. Dengan
demikian, semakin besar pula peluang mereka memobilisasi untuk
gerakan massa yang lebih luas. Hoax, dengan demikian, adalah unsur
yang merusak, alih-alih memperkuat, demokrasi. Keterlibatan warga
negara untuk turut memantau pemerintah dengan cara propaganda
politik melalui menyebarkan berita bohong tidak memberi manfaat
apa-apa. Hoax justru memperburuk hubungan antara warga dengan
pemerintah karena materi yang menghubungkan keduanya kebohongan,
alias berita yang dibuat-buat.11
2. Nasionalisme
3. Interaksi sosial
terbuka dan saling menghargai satu sama lain; semakin terbatas hubungan
intim dengan mereka yang berbeda, semakin dia mudah terprovokasi
untuk memusuhi, mengucilkan, bahkan mendiskriminasi mereka yang
berada di luar kelompoknya. Rumusan ini, keintiman interaksi sosial ini
bisa menjelaskan mereka yang mudah dan tidak mudah terprovokasi
propaganda politik identitas, apapun ideologi dan ajaran teologi yang
dia anut.
Kasus-kasus konflik sosial, baik pada skala besar maupun skala kecil,
selalu dimulai oleh pemicu kecil. Meski pemicunya sangat kecil, namun
hal tersebut diolah dan dipolitisir sehingga memantik emosi dan konflik
yang lebih luas dan besar. Di sinilah kita bisa melihat bahwa interkasi
sosial yang terbatas “membawa” pengaruh terhadap rentannya konflik
yang kecil menjadi besar dan meluas.
E. Dua Pendekatan
2. Kohesi Sosial
a. Keterlibatan struktural
b. Keterlibatan asosiasi
c. Keterlibatan sehari-hari
d. Keterlibatan simbolik
Terakhir, para da’i perlu manfaatkan kegiatan budaya dan adat yang
melibatkan banyak pihak sebagai sarana perekat masyarakat di atas
perbedaan. Sebagaimana telah dipaparkan, Rasulan, di Jawa Tengah,
adalah salah satu contohnya. Barangkali di tempat lain, hidangan bubur
Ashura bisa menjadi sarana perjumpaan beragam tradisi Islam untuk
memperingati peralihan tahun baru Islam, yang bagi sebagian mazhab,
lebih dari itu pemaknaan di baliknya. Terlepas dari makna yang pasti
mengandung ragam tafsir, kegiatan budaya di antara sarana yang bisa
mempertemukan, khususnya pada tataran simbolik bahwa kita hidup
dalam keragaman.
G. Penutup
Agar daya tahan masyarakat lebih kuat, kita butuh dialog. Dialog
yang mengedepankan suara hati sehingga orientasinya adalah kebaikan
bersama. Namun, dialog tersebut perlu diperkuat lagi dengan kegiatan
yang bernuansa inklusi sosial. empat model keterlibatan yang bisa
dimanfaatkan di masyarakat. Peran pemerintah dalam memfasilitasi
keterlibatan sosial di masyarakat. pemerintah bukan saja dituntut kreatif,
juga dituntut kerjasama antar lembaga pemerintah, dan dengan lembaga
non-pemerintah.
Semua peran tersebut juga menjadi domain para da’i. Dengan kapasitas
dan kedudukannya di masyarakat, para da’i dapat menggerakan dakwah
sebagai sistem yang dapat memperkut hubungan sosial sehingga mampu
menjadi benteng dari berbagai potensi negatif yang ditimbulkan oleh
adanya perbedaan pilihan politik.
398_Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.II 2018
Daftar Pustaka
George, Cherian, Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its
Threat to Democracy. Cambridge: The MIT Press, 2016.
Leftwich, A. What is Politics: The Activity and Its Study, T. tp: John Wiley
& Sons, 2015.
Stepan, A., Linz, J. J., & Yadav, Y., Crafting State-Nations: India and other
Multinational Democracies, JHU Press, 2011.
Endnotes
4. Stepan, A., Linz, J. J., & Yadav, Y., Crafting State-Nations: India and other
Multinational Democracies, T.tp., JHU Press, 2011, T. th.
6. Leftwich, A., What is politics: The Activity and its study, John Wiley & Sons,
2015, h. 7.
7. Calhoun, C. J.,”Social theory and the politics of identity”, T. Tp; T. tp., 1994,
h.12.
8. Ibid. h. 13.
10. George, Cherian, Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat
to Democracy, Cambridge: The MIT Press, 2016.
11. Ibid.