Professional Documents
Culture Documents
Masa Transisi 1966
Masa Transisi 1966
O
L
E
H
Kelas XII MIPA 1
Ketua : Miftahul Khairiah
Anggota :
- Ester Monica Fridasari
- Miftahul Khairiah
- Muhammad Irham Malik
- Nurul Maulida
SMAN 1 Pelaihari
Tahun Ajaran 2022/2023
A. Masa Transisi 1966-1977
Selama kurun 1966-1967 terdapat dualisme kepemimpinan nasional , yaitu
satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif dan pihak lain Jendral Soeharto yang
semakin populer karena berhasil menumpas G-30-S/PKI. Jendral Soeharto juga
berhasil melaksanakan stabilitas ekonomi dan politik berdasarkan Surat Perintah 11
Maret 1966.
Pada tanggal 6-9 Mei 1966 diadakan simposium kebangkitan semangat ‘66b di
Universitas Indonesia untuk memberikan saran-saran bagi perbaikan politik dalam
negri pada awal Orde Baru. Simposium itu mengambil tema “ INDONESIA NEGARA
HUKUM “. Hal itu disebabkan pada masa Orde Lama telah terjadi banyak
penyimpangan-penyimpangan terhadap asas-asas yang berlaku sebagai negara
hukum. Untuk itu disarankan kepada pemerintah untuk melaksanakan Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni dan meninjau penpres-penpres yang telah
dikeluarkan. Diusulkan pula agar ada jaminan terhadap pengakuan hak-hak asasi
manusia.
Untuk menciptakan iklim politik yang lebih stabil, Surat Perintah 11 Maret
dikukuhkan melalui ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memberikan
wewenang kepada Soeharto selaku Mentri/Panglima AD untuk mengambil tindakan
yang dianggap perlu guna menjamin ketenangan dan keamanan serta kestabilan
jalannya revolusi. Selanjutnya, MPRS mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-
ormasnya melalui ketetapan No. XXV/MPRS/1966. Melalui ketetapan MPRS itu, PKI
dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Pada waktu bersamaan
dikeluarkan ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet
Ampera. Tugas kabinet itu diserahkan kepada pengemban Supersemar, Soeharto.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno sesuai dengan UUD 1945.
Miniatur pulau-pulau dalam gambar di atas terdapat di Taman Mini Indonesia
Indah (TMII). TMII dibangun tahun 1975 pada masa pemerintahan Orde Baru. Di
dalam TMII kita dapat melihat “Indonesia kecil” yang digambarkan melalui beragam
bentuk keanekaragaman masyarakat dan budaya Indonesia sebagai cermin
persatuan Indonesia sebagaimana terungkap dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
TMII mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal
pembangunan nasional yang menjadi program utama Orde Baru. Hal ini sesuai
dengan cita-cita proklamasi untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan
sejahtera.
Orde Baru adalah suatu sistem pemerintahan yang hendak menerapkan
tatanan kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Orde ini lahir
setelah terjadinya tragedi nasional pada tahun 1965. Mengapa Orde Baru dapat
bertahan selama 32 tahun? Karena Orde Baru mampu menciptakan dan memelihara
stabilitas sosial politik dengan mewujudkan pembangunan nasional yang dirancang
secara bertahap dan berkesinambungan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial
politik di masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum
sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut.
Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden Soekarno semakin menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di
Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota
antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI.
Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni
(PMII).Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan.
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di
masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya
berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini
membuat situasi politik tidak stabil.
1. Aksi-Aksi Tritura
- Isi Tritura
Pada tanggal 12 Januari 1966, kesatuan-kesatuan aksi mengajukan tiga
tuntutan kepada pemerintah yang disebut Tri Tuntutan Rakyat atau disingkat
(Tritura). Isi Tritura adalah sebagai berikut.
Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S/PKI.
Turunkan harga barang atau perbaikan ekonomi.
Dalam tuntutan tersebut diikuti dengan aksi-aksi mahasiswa yang masih
berjalan terus. Pada tanggal 22 Februari 1966, Presiden Soekarno mengadakan
perombakan Kabinet Dwikora dengan nama Kabinet Dwikora yang Disempurnakan
atau Kabinet Seratus Menteri. Menjelang pelantikan para Kabinet Dwikora dengan
nama Kabinet yang Disempurnakan, demonstrasi mahasiswa semakin meningkat.
Pada tanggal 24 Februari 1966 pada saat pelantikan para menteri kabinet baru,
mahasiswa melakukan aksi mengempeskan ban-ban mobil di jalan raya, terutama di
depan Istana Merdeka, hal ini menyebabkan lalu lintas praktis berhenti.
- Dampak tritura
Tuntutan pembubaran PKI yang tidak segera dipenuhi lama-kelamaan berubah
menjadi desakan agar Bung Karno turun tahta. Unjuk rasa anti-PKI terus berlangsung
dan membuat Soekarno semakin terjepit hingga akhirnya mengeluarkan Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Supersemar berisi perintah kepada Soeharto selaku Panglima Komando
Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan
dan ketertiban negara. Nantinya, Supersemar menjadi pembuka jalan naiknya
Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Sementara pengaruh Soekarno sebagai
presiden semakin melemah, sebaliknya, Soeharto justru kian kuat bak pahlawan
penyelamat bangsa. Akhirnya, Orde Lama benar-benar tumbang dan digantikan Orde
Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Tritura pun menjadi titik pergantian rezim,
dari Orde Lama ke Orde Baru.
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar adalah surat perintah yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret
1966 berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando
Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada
saat itu. Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas
Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966
Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh
para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI,
dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke
Istana.
Di tengah-tengah persidangan tersebut Presiden Soekarno menerima laporan
dari ajudan presiden atau Komandan Pasukan Pengawal Cakrabirawa bahwa di
sekitar istana terdapat pasukan-pasukan yang tidak dikenal. Meskipun ada jaminan
dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap
aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.
Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul
Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter.
Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul
ke Bogor dengan mobil.
Tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M
Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke
Bogor. Ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat
Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Mayjen Basuki
Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk
Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap
pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”
Sejak pertemuan Presiden Soekarno dan Soeharto di Bogor pada tanggal 2
Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden
Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat. Menurut Letjen
Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi
dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah
melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia
tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin
Nasakom. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal
mendapat kebebasan bertindak dari Presiden.
Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan
Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh.
Ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa,
Brigjen Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada
Letjen Soeharto. Akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang
kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau
Supersemar. Secara umum ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya
Supersemar, diantaranya:
Situasi negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting
Untuk mengatasi situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Tindakan
pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat
Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi
massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas. Pembubaran itu mendapat
dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah
dilaksanan.
Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang
menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI. Selain itu demi
lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri
koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah
Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham
Chalid dan Dr. J. Leimena.
Selanjutnya dalam rangka menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka pada tanggal 20 Juni –
5 Juli 1966 dilaksanakan Sidang Umum IV MPRS. Sidang ini menghasilkan ketetapan-
ketetapan penting berikut.
Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tentang pengesahan dan pengukuhan
Supersemar.
Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966, tentang kedudukan lembaga-lembaga
negara tingkat pusat dan daerah.
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tentang pemilihan umum.
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966, tentang penegasan kembali landasan
kebijakan politik luar negeri.
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, tentang pembentukan Kabinet Ampera.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, tentang sumber tertib hukum Republik
Indonesia dan tata urutan petraturan perundang-undangan Republik
Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang pembubaran PKI dan
pernyataan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966, tentang pahlawan Ampera
Ketetapan MPRS No. XXX/MPRS/1966, tentang pencabutan bintang
mahaputra kelas III dari D.N. Aidit.
Pada permulaan pemerintahan orba banyak hal-hal yang dilakukan untuk
menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia. Tindakan pemerintah ini dilakukan
karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat
inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya
program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Pada pemerintahan
orba juga banyak pembangunan-pembangunan yang dilakukan pemerintah seperti
pembangunan jangka panjang maupun jangka pendek yang lebih dikenal dengan
sebutan Pelita (pembangunan lima tahun). Itulah sebabnya pemerintahan orba
sering disebut masa pembangunan.
- Kontroversi Supersemar
d. Perbedaan interpretasi
Setelah Supersemar dikeluarkan, Soeharto langsung melakukan aksi beruntun,
seperti membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno,
mengembalikan anggota Tjakrabirawa ke asalnya, serta mengontrol media massa di
bawah Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Puspen TNI). Sementara itu,
bagi Soekarno, Supersemar adalah instruksi kepada Letjen Soeharto untuk
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya
pemerintahan. Selain itu, Supersemar berisi tentang sebuah perintah untuk
pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya sendiri selaku presiden dan
keluarganya. Namun, jenderal yang membawa Supersemar itu dari Bogor ke Jakarta
pada 11 Maret 1966, yaitu Amir Machmud, menyimpulkan surat itu sebagai penanda
pengalihan kekuasaan.
Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat
Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat
Perintah 11 Maret 1966. Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal
Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan
menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat
Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa
draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut
tidak membantu menyelesaikan situasi konfik.
Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10
Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto
mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan
kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden
Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian sikap
Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima
Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden
menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah
ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal
22 Februari 1967.Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan
pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat
Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah
setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No.
XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia
hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai
berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde
Baru.