You are on page 1of 13

MAKALAH

Sistem dan Struktur Politik Ekonomi Indonesia


Massa Transisi 1966-1977

O
L
E
H
Kelas XII MIPA 1
Ketua : Miftahul Khairiah
Anggota :
- Ester Monica Fridasari
- Miftahul Khairiah
- Muhammad Irham Malik
- Nurul Maulida

SMAN 1 Pelaihari
Tahun Ajaran 2022/2023
A. Masa Transisi 1966-1977
Selama kurun 1966-1967 terdapat dualisme kepemimpinan nasional , yaitu
satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif dan pihak lain Jendral Soeharto yang
semakin populer karena berhasil menumpas G-30-S/PKI. Jendral Soeharto juga
berhasil melaksanakan stabilitas ekonomi dan politik berdasarkan Surat Perintah 11
Maret 1966.
Pada tanggal 6-9 Mei 1966 diadakan simposium kebangkitan semangat ‘66b di
Universitas Indonesia untuk memberikan saran-saran bagi perbaikan politik dalam
negri pada awal Orde Baru. Simposium itu mengambil tema “ INDONESIA NEGARA
HUKUM “. Hal itu disebabkan pada masa Orde Lama telah terjadi banyak
penyimpangan-penyimpangan terhadap asas-asas yang berlaku sebagai negara
hukum. Untuk itu disarankan kepada pemerintah untuk melaksanakan Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni dan meninjau penpres-penpres yang telah
dikeluarkan. Diusulkan pula agar ada jaminan terhadap pengakuan hak-hak asasi
manusia.
Untuk menciptakan iklim politik yang lebih stabil, Surat Perintah 11 Maret
dikukuhkan melalui ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memberikan
wewenang kepada Soeharto selaku Mentri/Panglima AD untuk mengambil tindakan
yang dianggap perlu guna menjamin ketenangan dan keamanan serta kestabilan
jalannya revolusi. Selanjutnya, MPRS mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-
ormasnya melalui ketetapan No. XXV/MPRS/1966. Melalui ketetapan MPRS itu, PKI
dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Pada waktu bersamaan
dikeluarkan ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet
Ampera. Tugas kabinet itu diserahkan kepada pengemban Supersemar, Soeharto.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno sesuai dengan UUD 1945.
Miniatur pulau-pulau dalam gambar di atas terdapat di Taman Mini Indonesia
Indah (TMII). TMII dibangun tahun 1975 pada masa pemerintahan Orde Baru. Di
dalam TMII kita dapat melihat “Indonesia kecil” yang digambarkan melalui beragam
bentuk keanekaragaman masyarakat dan budaya Indonesia sebagai cermin
persatuan Indonesia sebagaimana terungkap dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
TMII mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal
pembangunan nasional yang menjadi program utama Orde Baru. Hal ini sesuai
dengan cita-cita proklamasi untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan
sejahtera.
Orde Baru adalah suatu sistem pemerintahan yang hendak menerapkan
tatanan kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Orde ini lahir
setelah terjadinya tragedi nasional pada tahun 1965. Mengapa Orde Baru dapat
bertahan selama 32 tahun? Karena Orde Baru mampu menciptakan dan memelihara
stabilitas sosial politik dengan mewujudkan pembangunan nasional yang dirancang
secara bertahap dan berkesinambungan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial
politik di masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum
sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut.
Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden Soekarno semakin menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di
Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota
antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI.
Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni
(PMII).Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan.
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di
masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya
berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini
membuat situasi politik tidak stabil.

1. Aksi-Aksi Tritura

- Latar Belakang Tritura


Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat
dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan
peristiwa yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan
hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia. Peristiwa tersebut
telah menimbulkan kemarahan rakyat.
Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian
makin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah
melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan
masyarakat.
Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30 S PKI
semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-
pemuda, antara lain:
 Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
 Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
 Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)
 Kesatuan Aksi Wanita Indonesia ( KAWI)
 Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI)
 Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)
Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut
pembubaran PKI makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik
politik makin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk.
Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan
mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan
sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI
dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2)
Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan
ekonomi.
Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata
tidak dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan
perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga
memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl
24 Pebruari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan
menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga
menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang
menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman
Hakim.
Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari
1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu
Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan. Insiden berdarah yang terjadi ternyata
menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional. Keputusan
membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar
Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat
untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan
munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak
terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman
Hakim. Melanjutkan aksi KAMI.
Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan
meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam
suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang
melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar
Negeri, selain itu mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC),
Hsin Hua.
Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.
Pada hari itu juga Presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh
komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi
kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang
langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan,
kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan
terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.

- Isi Tritura
Pada tanggal 12 Januari 1966, kesatuan-kesatuan aksi mengajukan tiga
tuntutan kepada pemerintah yang disebut Tri Tuntutan Rakyat atau disingkat
(Tritura). Isi Tritura adalah sebagai berikut.
 Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
 Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S/PKI.
 Turunkan harga barang atau perbaikan ekonomi.
Dalam tuntutan tersebut diikuti dengan aksi-aksi mahasiswa yang masih
berjalan terus. Pada tanggal 22 Februari 1966, Presiden Soekarno mengadakan
perombakan Kabinet Dwikora dengan nama Kabinet Dwikora yang Disempurnakan
atau Kabinet Seratus Menteri. Menjelang pelantikan para Kabinet Dwikora dengan
nama Kabinet yang Disempurnakan, demonstrasi mahasiswa semakin meningkat.
Pada tanggal 24 Februari 1966 pada saat pelantikan para menteri kabinet baru,
mahasiswa melakukan aksi mengempeskan ban-ban mobil di jalan raya, terutama di
depan Istana Merdeka, hal ini menyebabkan lalu lintas praktis berhenti.

- Dampak tritura
Tuntutan pembubaran PKI yang tidak segera dipenuhi lama-kelamaan berubah
menjadi desakan agar Bung Karno turun tahta. Unjuk rasa anti-PKI terus berlangsung
dan membuat Soekarno semakin terjepit hingga akhirnya mengeluarkan Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Supersemar berisi perintah kepada Soeharto selaku Panglima Komando
Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan
dan ketertiban negara. Nantinya, Supersemar menjadi pembuka jalan naiknya
Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Sementara pengaruh Soekarno sebagai
presiden semakin melemah, sebaliknya, Soeharto justru kian kuat bak pahlawan
penyelamat bangsa. Akhirnya, Orde Lama benar-benar tumbang dan digantikan Orde
Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Tritura pun menjadi titik pergantian rezim,
dari Orde Lama ke Orde Baru.
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar adalah surat perintah yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret
1966 berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando
Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada
saat itu. Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas
Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966
Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh
para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI,
dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke
Istana.
Di tengah-tengah persidangan tersebut Presiden Soekarno menerima laporan
dari ajudan presiden atau Komandan Pasukan Pengawal Cakrabirawa bahwa di
sekitar istana terdapat pasukan-pasukan yang tidak dikenal. Meskipun ada jaminan
dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap
aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.
Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul
Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter.
Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul
ke Bogor dengan mobil.
Tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M
Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke
Bogor. Ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat
Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Mayjen Basuki
Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk
Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap
pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”
Sejak pertemuan Presiden Soekarno dan Soeharto di Bogor pada tanggal 2
Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden
Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat. Menurut Letjen
Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi
dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah
melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia
tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin
Nasakom. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal
mendapat kebebasan bertindak dari Presiden.
Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan
Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh.
Ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa,
Brigjen Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada
Letjen Soeharto. Akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang
kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau
Supersemar. Secara umum ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya
Supersemar, diantaranya:
 Situasi negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting
 Untuk mengatasi situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
 Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
 Untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Tindakan
pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat
Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi
massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas. Pembubaran itu mendapat
dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah
dilaksanan.
Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang
menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI. Selain itu demi
lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri
koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah
Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham
Chalid dan Dr. J. Leimena.
Selanjutnya dalam rangka menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka pada tanggal 20 Juni –
5 Juli 1966 dilaksanakan Sidang Umum IV MPRS. Sidang ini menghasilkan ketetapan-
ketetapan penting berikut.
 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tentang pengesahan dan pengukuhan
Supersemar.
 Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966, tentang kedudukan lembaga-lembaga
negara tingkat pusat dan daerah.
 Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tentang pemilihan umum.
 Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966, tentang penegasan kembali landasan
kebijakan politik luar negeri.
 Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, tentang pembentukan Kabinet Ampera.
 Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, tentang sumber tertib hukum Republik
Indonesia dan tata urutan petraturan perundang-undangan Republik
Indonesia.
 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang pembubaran PKI dan
pernyataan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
 Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966, tentang pahlawan Ampera
 Ketetapan MPRS No. XXX/MPRS/1966, tentang pencabutan bintang
mahaputra kelas III dari D.N. Aidit.
Pada permulaan pemerintahan orba banyak hal-hal yang dilakukan untuk
menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia. Tindakan pemerintah ini dilakukan
karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat
inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya
program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Pada pemerintahan
orba juga banyak pembangunan-pembangunan yang dilakukan pemerintah seperti
pembangunan jangka panjang maupun jangka pendek yang lebih dikenal dengan
sebutan Pelita (pembangunan lima tahun). Itulah sebabnya pemerintahan orba
sering disebut masa pembangunan.

- Kontroversi Supersemar

a. Naskah asli tidak ditemukan


Menurut catatan sejarah, Surat Perintah Sebelas Maret dibuat di Istana Bogor
oleh Presiden Soekarno. Damun dalam perkembangannya, surat ini justru
melemahkan kekuasaan Soekarno karena mengakibatkan dualisme kepemimpinan.
Setelah Supersemar dikeluarkan, Soeharto, yang telah menerima mandat dari
Soekarno, langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkap
para menteri yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S. Dalam naskah
Supersemar disebutkan bahwa Soeharto berwewenang untuk melakukan segala
tindakan yang dianggapnya perlu. Akan tetapi, banyak yang meragukan akan adanya
pemberian mandat itu secara suka rela oleh Soekarno. Presiden Soekarno sendiri
sempat mengecam tindakan Soeharto menggunakan Supersemar di luar kewenangan
yang diberikannya. Kontroversi Supersemar terus berlanjut hingga saat ini karena
naskah aslinya tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu, isi Surat Perintah 11 Maret
1966 pun tidak dapat dipastikan. Saat ini, ada tiga versi Supersemar dari Pusat
Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi Kebangsaan,
tetapi tidak ada satu pun yang asli. Tiga versi Supersemar tidak otentik tersebut
disimpan Lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

b. Dianggap Sebagai Alat Kudeta


Supersemar menyebabkan Soeharto melakukan serangkaian langkah strategis
yang dianggap telah merugikan Soekarno. Tanpa izin dari Soekarno, Soeharto segera
membubarkan PKI yang kemudian dianggap sebagai partai terlarang. Soekarno
sendiri sangat menyesai tindakah Soeharto, karena dianggap terlalu semena-mena.
Presiden Soekarno menegaskan bahwa Supersemar dikeluarkan olehnya dengan
tujuan untuk memperbaiki keadaan pada 1965 hingga 1966, bukan transfer
kekuasaan.
Di sisi lain, Soekarno juga membantah dugaan bahwa Supersemar merupakan
alat kudeta untuk memindahkan kekuasaan kepada Soeharto. Pernyataan ini
disampaikan Soekarno lewat pidato saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Harian Kompas, 11 Maret 1971, memberitakan, bagi Soeharto,
keberadaan Supersemar untuk mengembalikan kewibawaan negara dan sebagai
legitimasi untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Soeharto
menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukannya untuk menjalankan perintah
Supersemar dan mengatasi keadaan politik yang memburuk saat itu. Selain itu,
Soeharto mengaku tidak menganggap Supersemar sebagai tujuan untuk memperoleh
kekuasaan mutlak secara terselubung atau kudeta.

c. Supersemar dikeluarkan bukan atas kemauan Soekarno


Perlu diketahui bahwa Supersemar dikeluarkan bukan atas kemauan
Soekarno, melainkan karena adanya tekanan yang muncul. Menurut catatan sejarah,
Soekarno sempat dihampiri oleh dua pengusaha yang diutus Mayjen Alamsjah Ratu
Prawiranegara. Mereka adalah Hasjim Ning dan Dasaad, yang datang untuk
membujuk Soekarno agar memberikan pemerintahannya kepada Soeharto.
Permintaan itu tentu ditolak langsung oleh Soekarno. Bahkan ia sempat marah besar.
Dari peristiwa ini dapat terlihat bahwa Supersemar lahir bukan karena kemauan
Soekarno, melainkan karena adanya tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya
kepada Soeharto.

d. Perbedaan interpretasi
Setelah Supersemar dikeluarkan, Soeharto langsung melakukan aksi beruntun,
seperti membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno,
mengembalikan anggota Tjakrabirawa ke asalnya, serta mengontrol media massa di
bawah Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Puspen TNI). Sementara itu,
bagi Soekarno, Supersemar adalah instruksi kepada Letjen Soeharto untuk
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya
pemerintahan. Selain itu, Supersemar berisi tentang sebuah perintah untuk
pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya sendiri selaku presiden dan
keluarganya. Namun, jenderal yang membawa Supersemar itu dari Bogor ke Jakarta
pada 11 Maret 1966, yaitu Amir Machmud, menyimpulkan surat itu sebagai penanda
pengalihan kekuasaan.

3. Dualisme Kepemimpinan Nasional


Dualisme kekuasaan muncul dimana pihak Presiden Soekarno masih menjabat
presiden, namun pamornya telah kian merosot gara-gara peristiwa G 30 S/PKI.
Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak
agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato
pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah
mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari
sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan
yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar,
diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet
Ampera.
Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi
pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini
berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno
sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana
pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan
pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-
tugas harian pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya
menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada
munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966
memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan
dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa
dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum
Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris
MPRS.Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno
selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi”
tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk
membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato
“Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi
sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku
mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab
meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan
darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan
MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelengkap nawaksara itu presiden
mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan
pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara
baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga
menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan
30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.
Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet
Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli
1966. Kabinet ini mempunyai program kerja yang disebut Catur Karya yang terdiri
dari:
 Memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan,
 Melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No.
XI/MPRS/1966.
 Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
 Melanjutkan perjuangan anti Imperialisme dan Kolonialisme dalam segala
bentuk manifestasinya.
Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan
tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.Sehubungan dengan
permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah
gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan
memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu
usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI
mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan
kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal
Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di
kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi
Presiden Soekarno.
Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan
memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme
kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi
sumber konfik politik yang tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar
Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan
Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.

Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat
Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat
Perintah 11 Maret 1966. Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal
Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan
menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat
Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa
draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut
tidak membantu menyelesaikan situasi konfik.
Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10
Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto
mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan
kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden
Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian sikap
Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima
Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden
menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah
ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal
22 Februari 1967.Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan
pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat
Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah
setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No.
XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia
hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai
berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde
Baru.

You might also like