You are on page 1of 58

l:l ,d:l{

ll.j4l
PENANGGUNG JAWAB

DT. FAIZATI KARIM,MPH

TIM PENYUSUN :

Dr. Agnes M. Loupatty, Mkes


Dr. Badril Munir,MA
Dr. JoPie KambeY,MSc
Dr. Hasan Miharja
Drs. Imam WaluYo, MSc
Puspa Indrawati,SKM MKes.
Dr. Petrus Gito Mario
Dr. Yvone Siboe
Dr. Zorni Fadia
KATA PENGANTAR
Pengobatan tradisionar patah turang adarah sarah
satu bentuk upaya pengobatan tradisionar ylng merupakan
bagian dari budaya dan tradisi dan secara nyata telah cliakui
keberadaannya dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Disatu
sisi, tidak sedikit warga masyarakat yang menderita patah
tulang, justru terlebih dahulu'datang ke pengobat tradisional
(battra) patah turang seberum mereka pelgi ke petugas
kesehatan, puskesmas atau Rumah sakit.- Di sisi lJin,
mereka perlu dilindungi, agar memperoreh perayanan yang
memenuhi standar medis, dan sembuh secara klinii
sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya efek
samping yang merugikan, seperti sambungan'yang kurang
tepat (deformitas).

Untuk itu perru dilakukan pembinaan teknis secara


t_ terus menerus terhadap praktek battra patah turang;'guna
meningkatkan mutu keamanan dan manfaatnya.
sebelum petugas kesehatan merakukan intervensi perru
pembinaan kemitraan, dengan menggunakan pendekatan
KIE-Kultural,yaitu dengan melihat Kuituratau kebudayaan
sebagai bagian penting dan menentukan periraku battra
pa]ah tulang yang didasarkan asas kebersamaan dan
kekeluargaan untuk mencapai tujuan yang sama yakni
memberi pelayanan pengobatan patahL tulang kepada
masyarakat yang bermutu, aman dan bermanfaal
Kemitraan dibangun melalui pendekatan KIE- kultural, yaitu
dengarr mempertimbangkan kurtur atau kebudayaan
sebagai bagian penting dan menentukan perilaku kehidupan
battra patah tulang. oreh karena itu sangat penting petugas
kesehatan memahami pendekatan KIE-KulturJl' dalam
baik secara perorangan atau
melakukan pembinaan
berkelompok.

Pembinaan terhadap battra patah tulang, merupakan


suatu upaya untuk memasukkan satu atau beberapa unsur
prinsip atau kaidah pengobatan modern ke dalam sistem
pengobatan yang dimiliki dan diyakini manfaatnya oleh
masyarkat setempat dan battra patah tulang.

Buku pedoman ini diperuntukkan bagi petugas


kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Dan
Puskesmas sebagai panduan melakukan kemitraan dengan
battra patah tulang. Pedoman ini berorientasi pada aspek
sosio-budaya khususnya budaya' dan perilaku pengobat
tradisional, battra patah tulang

Kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah


memberikan masukan kami mengucapkan terima kasih,
dengan harapan buku ini dapat bermanfaat bagi petugas
Kesehatan dalam melakukan pembinaan dan kemitraan
dengan pengobat tradisional khususnya battra Patah
Tulang.
Untuk pengembangan dan peningkatan mutu serta manfaat,
buku pedoman ini kami masih teiap mengharapkan kritik -'
dan saran perbaikan.

Jakarta, November 2OO3


Direktur
Kesehatan Komunitas

Dr. Faizati Karim. MPH


NtP 140 087 851
Daftar rsi
KataPengantar
Kata Sambutan
Daftar Isi
Bagian I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Tujuan
3. Manfaat
4. Sasaran
5. Ruang Lingkup
6. Cara Penggunaan buku pedoman.
7. Metoda dan Instrumen
Bagian II
Kemitraan Dengan Pendekatan KlE-kultural
1. Konsep dasar pendekatan KlE-kultural
a. Latar Belakang
Materi
b. Uraian -r
c. Rangkuman
2. Profile Battra Patah Tulang
a. Latar Belakang
b. Uraian Materi
c. Rangkuman
3. Langkah-langkah Pendekatan KlE-kultural
a. Latar Belakang
b. Uraian Materi
c. Rangkuman
Bagian III
Membangun Kemitraan dalam Pengobatan Patah Tulang
1. Latar Belakang
2. Ruang LingkuP
3. Uraian Materi
4. Rangkuman
BAB I-

PENDAHULUAN

Pengobatan Tradisional merupakan suatu bentuk upaya


masyarakat untuk membuat diri mereka menjadi sehat. Upaya
ini secara nyata telah member:ikan andil yang cukup besar
dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Suatu kenyataan bahwa, khusus bagi
pengobatan patah tulang, tidak sedikit dari warga masyarakat
yang menderita patah tulang, justru terlebih dahulu
mendatangi battra patah tulang sebelum mereka pergi ke
pengobatan kesehatan konvensional (modern/ barat) di
Puskesmas/rumah sakit. Oleh karena itu kontribusi 'battra
patah tulang ini perlu terus ditingkatkan.

Di sisi lain, masyarakat harus dilindungi, untuk menghindari


kemungkinan terjadinya dampak yang kurang menguntungkan
bagi penderita yang menerima pengobatan patah tulang, agar
mutu pengobatan yang diberikan, aman , bermanfaat sehingga
terhindar dari hal hal yang tidak diinginkan seperti terhindarnya
pasien dari sambungan yang kurang tepat (deformity), kaku
sendi dan sebagainya. Untuk itu perlu dilakukan pembinaan
teknis secara terus menerus terhadap praktek pengobatan
battra patah tulang.
Pembinaan Battra Patah Tulang merupakan salah satu bentuk
kegiatan yang diarahkan untuk menjamin tersedianya
pelayanan pengobatan patah tulang yang bermutu, yang dapat
menjamin keamanan dan pemanfaatan oleh masyarakat. Oleh
karena itu kegiatan pembinaan battra patah tulang sangat
diperlukan

A. Tujuan
Tersedianya Pedoman Pembinaan Battra patah tulang
sebagai panduan petugas kesehatan melakukan pembinaan
yang efektif bagi pengobatan patah tulang.

B. Manfaat
Buku pedoman ini merupakan bagian pertama dari O"ndu"n
pembinaan pengobat patah tulang. yang menguraikan tentang
bagaimana membentuk kemitraan dengan battra patah tulang
sebagai langkah awal sebelum melakukan intervensi
meningkatkan mutu pelayanan

Dengan adanya buku ini maka diharapkan dapat dipergunakan


oleh petugas kesehatan untuk melakukan :

1. lnteraksi dengan battra patah tulang melalui pendekatan


kultural sehingga dapat tercipta komunikasi yang terbuka
saling menghargai, saling memahami yang akhirnya
dapat terjalin kemitraan yang baik antar Battra dan
petugas kesehatan .

2 Jalinan kemitraan dengan battra patah tulang melalui


interaksi yang harmonis sehingga diperoleh kemitraan
yang efektif dengan batrra patah tulang.
3. Melalui pembinaan kemitraan yang efektif daPat
menghasilkan praktek battra patah tulang yang bermutu
aman, bermanfaat dan memenuhi standar, sehingga
masyarakat dapat terhindar dari hal hal negatif atau efek
samping yang tidak diharaPkan.

C. Kerangka pikir dan sistimatika buku _.

Kerangka pikir yang digunakan untuk membangun kemitraan


secara prinsip adalah sebagai berikut:
secara skematis dapat dilihat dalam skema I dibawah ini,
sebaiknya dalam bentuk skema saja.
. Pada dasarnya dengan adanya nilai , norma '
keyakinan , kepercayaan , falsafah dalam
lingkungan masyarakat yang relatif menetap dan
turun temurun mempengaruhi cata berpikir,

bertindak dan battra patah tulang termasuk metode,


prinsip dasar pengobatan, teknik pengobatan,
peralatan I alal yang digunakan.
Latar belakang dan pendidikan petugas kesehatan
akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku
petugas kesehatan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya termasuk dalam melakukan pembinaan
kepada battra patah tulang.
Dengan adanya beberapa perbedaan tersebut
diperlukan penyamaan persepsi agar dapat tercipta
kemitraan dalam pembinaan battra patah tulang
dengan menggunakan pendekatan KIE _Kultural. .
Dalam proses KrE kurturar perru memperhatir<an
nirai
f
norma , prinsip/dasar keyakinan , kepercayaan , I
falsafah dalam lingkungan masyarakat., serta
I
karakterisitik battra patah turang. Dengan demikian
I
:ff::,,"T::' ;,il'il;HJl"o'lerou<a
I
;;H:,',]j:: :ilT':,11:,1 :T;;T:*,"
I
Skema 1 : Kerangka pikir'membangun kemitraan

Nilai, norma, prinsip,


kepercayaan, falsafah

Perbedaan
persepsi: KIE - Kultural Terjalin
. Pengetahuan . Dialog- kemitraan
dan perilaku kekeluargaan
battra patah . Komunikasi
tulang sambung
termasuk rasa
dan metode
peralatan
. Sarehan
batra patah
tulang
. Pengetahuan Profil batra patah
dan perilaku
tul ang (karakterisiti k
petugas
kesehatan batra)

D. Sistimatika
Dengan kerangka pikir sebagai tersebut diatas buku pertan
akan disusun dengan sistimatika :
Bab I Pendahuluan : yang memuat perbedaan cara pandan
persepsi antara petugas kesehatan dan batra pate
tulang dalam menjalin kemitraan untuk pembinau
batra patah tulang.
Bab ll menguraikan prinsip atau konsep pendekatan K
kultural yang diperlukan untuk membangt
kemitraan.
Bab.lll menguraikan tentang bagaimana membangt
kemitraan dengan menggunakan prinsip pendekatz
KIE dalam membangun kemitraan.
BAB II.
KONSEP DASAR KEMITRAAN DENGAN
PENDEKATAN KIE KULTURAL

A. Konsep dan pengertian


Kemitraan (building lingkges) adalah :
kerjasama antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu
kegiatan, baik perorangan maupun institusi, yang masing-
masing bekerja atas dasar prinsip kesetaraan (equity),
keterbukaan (transparancy) dan saling menguntungkan
(mutual benefit), secara efektif, efisien dan produktif dalam
mencapai tujuan kemitraan -.
Dalam menjalankan kemitraan battra patah tulang
diperlukan pendekatan kultural. Pihak-pihak yang terlibat
dalam kemitraan perlu memahami nilai-nilai, norma-norma
dan prinsip-prinsip dasar yang berlaku di lingkungan setiap
mitra. Dalam konteks inilah upaya untuk memahami segala
sesuatu yang berhubungan dengan sistem pengobatan
tradisional patah tulang bagi tenaga kesehatan, menjadi
penting.
Pendekatan kultural pada dasarnya merupakan suatu
pendekatan yang melihat kultur atau kebudayaan sebagai
bagian yang penting dan menentukan arah perilaku dalam
kehidupan masyarakat, karena kebudayaan meliputi segala
pengetahuan yang dimiliki oleh individu warga masyarakat
yang dipelajari dari lingkungannya, sejak ia dilahirkan dan
dibesarkan, dan dengan pengetahuan budaya itu pula
mereka menginterpretasikan segala sesuatu yang dihadapi
dan dijadika acuan untuk bertindak pada apa yang

dihadapinya.
Oleh karena itu pihak-pihak yang bermitra perlu
memahami sistem pengobatan barat atau modern
(konvensional) yang dianut oleh tenaga kesehatan dan
sistem pengobatan tradisional patah tulang yang dianut
oleh battra patah tulang sehingga dapat tercapai interaksi
kemitraan yang optimal. Adanya beberapa perbedaan dari
kedua sistem tersebut maka perlu pemahaman bebera'hal
di bawah ini.

1. Pengobatan modern atau konvensional.


Dalam sistem kesehatan dikenal adanya pengobatan
konvensional (modern atau barat) dan pengobatan
tradisional (Traditional Medicine) Pengobatan konvensional
pada umumnya sudah dibuktikan (evidence based) dan
diterima secara universal.
Sedang pengobatan tradisional adalah upaya pengobatan
atau perawatan diluar ilmu kedokteran/keperawatan.
Pengobatan tradisional umumnya evidance base belum
jelas.
Pengobatan konvensional telah dikenal dan dipahami oleh
tenaga kesehatan melalui pendidikan formal yang mereka
peroleh. Secara prinsip ada beberapa konsep yang
merupakan ciri dari keilmuan dan profesi kesehatan yakni
keyakinan tentang konsep manusia sehat/sakit, prinsip
pengobatan yang digunakan, dengan cara pembuktian
sehingga membentuk suatu teori yang dapat
menggambarkan, menjelaskan, menguraikan, memprediksi
dari fenomena yang ada disertai dengan landasan etika
profesi.
Sampai sekarang telah dikenal ilmu dan piofesi
kedokteran, ilmu dan profesi keperawatan, ilmu dan profesi
kesehatan masyarakat, ilmu farmasi dan profesi apoteker,
+
L

dan sebagainya.

I
2. Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional yang dibahas disini meliputi suatu


sistem yang menyangkut tentang konsep sehat/sakit yang
dianut (falsafah, nilai-nilai, norma), teknik pengobatan,
peralatan atau bahan yang dipergunakan

Pengobatan tradisional patah tulang sebagai sistem


pengobatan tradisional yang merupakan salah satu
komponen budaya masyarakat, yakni suatu tatanan yang
diciptakan oleh kelompok masyarakat tertentu secara turun
temurun dan berkesinambungan tentang bagaimana cara
untuk membuat diri mereka menjadi sehat dan
menaggulangi gangguan kesehatan termasuk -"patah
tulang.

Tatanan ini kemudian menjadi pengetahuan budaya,


yang diyakini kebenarannya dan menjadi milik
masyarakat secara turun temurun serta dijadikan acuan
untuk bertindak. Acuan tersebut dipergunakan dalam
mengobati diri sendiri atau dilakukan oleh pengobat
untuk menolong warga masyarakat dan mereka yang
mengalami patah tulang untuk menjadi seha tdan pulih
kembali.
Pengobat tradisional (battra/dukun) patah tulang dipandang
oleh masyarakat memiliki kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab penyembuhan warga mereka.
Pengobatan tradisonal sebagai suatu sistem yang
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat maka
tidak mudah bagi sistem diluar kebudayaan tersebut untuk
melakukan intervensi atau merubah sistem pengobatan
yang diyakini kebenaran dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat secara turun temurun tersebut. lntervensi
dapat dilakukan apabila terjadi. kemitraan dengan interakasi
optimal, sehingga dapat saling menerima perbedaan dan
mencari beberapa persamaan untuk mendapatkan manfaat
yang optimal.

Pemahaman tentang pengetahuan budaya


masyarakat setempat sangat diperlukan
untuk melakukan pendekatan kepada batra
patah tulang . Dengan pemahaman tersebut
diarapkan dapat melakukan analisis terhadap
perilaku atau tindakan dalam kegiatan battra
patah tulang. Selanjutnya dapat
dipergunakan untuk menjalin interaksi yang
terbuka, saling memahami antara petugas
kesehatan dan battra patah tulang.

3. Pembinaan Pengobat Tradisional


Pembinaan terhadap pengobat tradisional, dalam hal ini
battra patah tulang, merupakan suatu upaya untuk
memasukkan satu atau beberapa teknik pengobatan
t-

konvensional (modern/barat) ke dalam sistem pengobatan


tradisional patah tulang yang telah dimiliki dan diyakini
manfaatnya oleh masyarakat setempat secara turun
temurun.

4. Komunikasi, lnformasi dan Edukasi (KlE)


Merupakan suatu proses penyampaian gagasan (inovasi)
baru bagi sasaran, yang tentu saja diyakini oleh pembawa
gagasan, bahwa gagasan baru tersebut lebih baik dari apa
yang ada pada sasaran dan belum dimiliki oleh mereka,
dengan harapan agar gagasan tersebut bisa diterima dan
selanjutnya memberikan warna bagi perilaku mereka
sehari-hari. ''

Unsur pengobatan modern ini merupakan inovasi baru bagi


kebudayaan mereka. Agar inovasi baru tersebut bisa
diterima oleh masyarakat, tentu saja memerlukan suatu
metoda dan cara tertentu yang memungkinkan gagasan
baru tersebut bisa diterima oleh battra maupun oleh
masyarakatnya. Oleh karena itu perlu dilakukan
pendekatan khusus, yaitu dengan pendekatan komunikasi
informasi dan edukasi dengan mengadaptasikan pesan-
pesan yang akan disampaikan dengan nilai-nilai dan
norma-norma budaya yang ada di tengahtengah
masyarakat setempat yang dikenal sebagai pendekatan
KIE-Kultural

. KIE- Kultural adalah Komunikasi lnformasi dan


Edukasi yang menggunakan tata-cara sesuai
budaya, adat, tradisi masyarakat setempat dan
bersifat kekeluargaan
. Pendekatan KIE-Kultural dipakai dalam
pembinaan battra baik perorangan maupun
kelompok
. Sebagai contoh di dalam budaya masyarakat
Jawa dikenal dengan istilah sarasehan atau di
dalam masyarakat Bali disebut Sangkep.

Tugas pertama petugas kesehatan dalam pendekatan-KlE-


Kultural ini adalah berupaya memahami latar belakang
budaya, filosofis dan makna budaya dari segala tindakan
yang dilakukan oleh battra patah tulang dalam proses
pengobatan yang mereka berikan kepada pasiennya.
Tidak sedikit tindakan pengobatan dari battra patah tulang,
baik berupa tindakan secara fisik maupun berupa mantera-
mantera yang tidak dapat dipahami secara logika dengan
sistem pengobatan modern.
Pemahaman ini penting bagi petugas untuk menghindari
terjadinya konflik nilai dan norma-norma budaya antara
inovasi baru yang akan diakulturasikan atau intervensikan
ke dalam budaya mereka agar kemudian inovasi baru yang
ditawarkan dapat diterima dan diadopsi dengan sukarela
sehingga bisa terintegrasi ke dalam perilaku budaya
mereka dalam memberikan pengobatan pasien patah
tulang (proses enkulturisasi).

Langkah penting yang harus dilakukan dalam


pendekatan KIE-kultural ke battra patah tulang, yaitu
dengan terlebih dahulu memahami latar belakang
budaya dari setiap tindakan yang dilakukan oleh battra
dalam proses pengobatan yang mereka berikan.

5. Proses akulturisasi dan Enkulturisasi


.,
Akulturisasi, merupakan suatu proses memasukkan
satu atau beberapa komponen budaya luar ke
dalam suatu sistem sosial-budaya tertentu
yang telah ada.
Enkulturisasi: merupakan proses penerimaan atau adopsi
komponen budaya luar tersebut, sebagai inovasi
baru, oleh kelompok masyarakat tersebut ke
dalam sistem sosial budaya mereka, secara
permanen dan mewarnai kehidupan mereka
sehari-hari.
Berdasarkan pemahaman ilmu kebudayaan, bahwa
merubah pengetahuan, keterampilan atau perilaku budaya
bukanlah sesuatu yang mudah, karena ini merupakan
sebuah proses mental.
Barnett (1930), seorang antropolog, mengemukakan
bahwa suatu inovasi baru akan'dapat diterima oleh individu
dalam suatu masyarakat apabila inovasi baru tersebut
mengandung makna-makna tertentu yang sesuai bagi
mereka. Apabila persyaratan ini diabaikan, artinya inovasi
baru itu dirasakan tidak mengandung makna-makna yang
sesuai bagi mereka atau tidak memberikan keuntungan
apa-apa, maka inovasi baru ini akan mengalami kesukaran
'r
untuk dapat diterima oleh mereka.

Suatu hal yang perlu diingat bahwa adanya perbedaan


yang mendasar antara pembawa inovasi baru ( petugas
kesehatan ) yang selalu bergelut dengan "konfigurasi baru"
di satu pihak, dengan sekelompok indivdiu atau
masyarakat yang masih bergelut dengan "konfigurasi lama"
dipihak lain, menyebabkan proses penerimaan inovasi baru
tersebut akan mengalami hambatan mental. karena proses
inovasi itu terkait dengan aktivitas mental, yaitu terjadinya
secara logis dan berlandaskan pada aspek persepsi dan
psikologi belajar.
baru
Kalau petugas kesehatan sebagai pembawa inovasi
ingin agar inovasi tersebut bisa diterima oleh
suatu
petugas
kelompok masyarakat tertentu, maka hendaknya
kesehatan tersebut harus terlebih dahulu berupaya
menggali keuntungan-keuntungan apa yang dapat
dirasakan oleh masyarakat penerima inovasi
dan menurut

pendapat mereka sendiri, artinya keuntungan


yang bisa
norma-
dirasakan oleh mereka berangkat dari nilai-nilai,
miliki
norma, pengetahuan dan pengalaman yang mereka
diperoleh
dan yakini Tentu saja informasi tentang ini harus
dari mereka sendiri, bukanlah hasil pemikiran atau

perkiraan petugas kesehatan sendiri' Agar inovasi baru


atauciri-cirikebudayaanluardapatditerimaoleh
masyarakat, maka perlu dikemas sedemikian rupa
dan

dilaksanakanSecarabijaksanayangbertitiktolakdari
minimal
kerangka berpikir yang sama dengan mereka atau
norma
tidak bertentangan secara frontal dengan nilai-nilai,
yang berlaku dalam lingkungan lingkungan kebudayaan
mereka.
Selain itu, inovasi baru atau. ciri-ciri kebudayaan luar
tersebut, agar dapat diterima oleh warga masyarakat, jika
perlu harus dimodifikasi sedemikian rupa, dilaksanakan
secara bijaksana, dengan bertitik tolak dari kerangka
berpikir yang sama dengan mereka atau sekurang-
kurangnya tidak bertentangan secara frontal dengan nilai-
nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan
kebudayaan mereka.

Kurangnya pemahaman untuk memahami apa yang


mereka yakini seringkali merupakan hambatan yang dapat
menimbulkan kegagalan dalam melakukan upaya
perubahan terhadap satu atau beberapa kompbnen
kebudayaan masyarakat sasaran.
Barnett, dalam penelitiannya untuk menjawab pertanyaan
tentang: "Bagaimana ciri-ciri kebudayaan luar dapat
digabungkan ke dalam suatu sistem sosial-budaya tertentu
secara permanen", artinya ciri kebudayaan luar atau
inovasi baru bagi masyarakat tersebut dapat diintegrasikan
ke dalam sistem sosial-budaya mereka, kemudian dapat
diterima oleh masyarakat secara menetap dan akhirnya
mewarnai tingkah laku individu warga masyarakat tersebut,
ia sampai pada sebuah kesimpulan yang amat mendasar
tentang proses penerimaan inovasi baru tersebut, yaitu:
a. Bahwa Ciri-ciri kebudayaan, baik itu bersifat
material atau nonmaterial, selalu fleksibel, dan
dapat dimodifikasi, selama ciri-ciri tersebut masih
dapat memberikan makna, fungsi dan secara prinsip
dapat diaplikasikan.

b. Proses modifikasi dan inkorporasi atau


ketergabungan ciri-ciri kebudayaan luar tersebut
merupakan proses mental yang mendasar, yang
terjadi di dalam pikiran setiap individu warga
masyarakat tersebut.
Proses enkulturisasi atau proses penerimaan ilri-ciri
kebudayaan baru atau inovasi baru ini, menurut
Barnett, terjadi dalam tiga tahap, yaitu:

o Tahap analisis, yaitu tahap dimana dalam

pikiran individu warga masyarakat terjadi proses


analisis terhadap ciri kebudayaan baru dan lama'

. Tahap mencocokkan dan identifikasi, yaitu


tahap dimana individu warga masyarakat
tersebut mencocokkan dan memilah-milah
kesamaan yang terdapat diantara masing-
masing ciri kebudayaan baru dan lama.

. Tahap melakukan substitusi, yaitu tahap


dimana setelah individu warga masyarakat
merasakan, .bahwa ciri-ciri kebudayaan baru
tersebut masih tetap berfungsi dan memberikan
makna bagi kehidupan mereka, barulah mereka
melakukan substitusi ciri-ciri kebudayaan baru
tersebut ke dalam kebudayaan lama mereka.

B. Profil Battra Patah Tulang


.,
Ada hal-hal yang bersifat universal dalam setiap sistem
pengobatan, apakah sistem pengobatan medis modern
atau tradisional, semuanya memiliki:
. Teori penyakit, yang memberikan penjelasan:
mengenai filosofi, prinsip dasar pengobatan, sebab
penyakit dan ciri-ciri keadaan sehat dan sakit.
(fisiologi dan patofisiologi)
r sistem pengobatan, yang memberikan penjelasan
mengenai teknik I cara pengobatan terhadap
penyebab penyakit;
. sistem perawatan, yang memberikan penjelasan
mengenai cara-cara peiawatan penderita sakit.

Dalam sistem pengobatan tradisional, "pengobat" yang


sering disebut dengan istilah dukun atau "battra" adalah :

orang yang diakui atau dipercaya oleh


masyarakatnya memiliki kemampuan mengatasi
masalah kesehatan, menyembuhkan suatu
penyakit, menurut konsep sehat /sakit dan
penyehab penyakit yang mereka anut.
Pengakuan atau kepercayaan ini tentu saja tidak terjadi
begitu saja dalam waktu seketika. Pengakuan dan rasa
percaya ini memerlukan suatu proses yang panjangi dan
baru terjadi setelah masyarakat betul-betul menyaksikan
bahwa sang dukun atau battra tersebut memang memiliki
kemampuan menyembuhkan penyakit. Berarti, secara tidak
langsung, ada kriteria tertentu atau ciri-ciri umum di tengah
masyarakat untuk mengakui seseorang dapat dianggap
dan diyakini sebagai pengobat atau battra atau dukun

Pengobat atau dukun patah tulang mempunyai beberapa


ciri yang perlu diperhatikan dalam membangun kemitraan .
a
I

i
;
1. Ciri-ciri umum battra patah tulang
'bawah
i
I
i
Apa yang dikemukakan di ini sesungguhnya
I
bukanlah ciri yang ditetapkan oleh kelompok battra,
I
I
I
l akan tetapi merupakan deskripsi dari temuan empiris di
i
lapangan, antara lain:
a. Pengobat tradisional (battra), khususnya battra
patah tulang, pada umumnya berusia sekitar 40
-7O
tahun, meskipun tidak ada per-syaratan khusus
mengenai usia untuk menjadi battra patah tulang.
Mungkin hal ini disebabkan oleh sulit dan lamanya
proses alih generasi dalam dunia perdukunan atau
battra patah tulang ini yang mungkin disebabkan
oleh proses pematangan untuk sampai pada tingliat
diakui oleh masyarakatnya.
b. Pada umumnya battra, termasuk Battra patah tulang
tidak menentukan pasiennya harus membayar atau
tidak, dan tidak menentukan berapa tarif jasa
pengobatan. Semua diserahkan kepada pasien dan
keluarganya sendiri untuk memberi semampu dan
seikhlasnya. Ada keyakinan mereka, bahwa kalau
mereka menentukan tarif jasa pengobatan, maka
akan menurunkan kualitas atau memudarnya
kemujaraban pengobatan.
c. Hampir seluruh battra patah tulang yang ada di
suatu daerah tertentu mempunyai hubungan
kekerabatan. Hal ini mungkin disebabkan adanya
pola penurunan ilmu atau kemampuan pengobatan,
yang hanya diberikan kepada keturunan atau
kerabat dekat yang dipandang potensial untuk
mengemban tu$as menyembuhkan penderita patah
tulang di kampungnya

2. Cara memperoleh ilmu pengobatan patah tulang


Menjadi battra (dukun) patah tulang:
a. Diperoleh secara turun-temurun
. Ada battra yang mengaku bahwa dia peiiama
kali, didatangi dan dimintai pertolongan oleh
penderita patah tulang yang mengetahui
bahwa ia (battra tersebut) adalah keturunan
battra patah tulang sebelumnya. Sejak itu dia
menjadi battra patah tulang.
. Di daerah tertentu penurunan teknik I
ketrampilan pengobatan patah tulang
diberikan kepada anak yang berlainan jenis
dengan battra penurunnya: Contoh battra pria
kepada anak wanitanya dan battra wanita
kepada anak prianya yang dipandang
berbakat untuk dapat meneruskan ilmu
pengobatan patah tulang.

b. Melalui proses belajar kepada battra yang ada


c. Melalui proses magang
d Melalui mimpi
e. Melalui pengalaman menjadi pasien battra. dll

3. Cara pengobatan battra patah tulang

Satu sama lain diantara para battra seringkali memiliki


perbedaan tentang cara-cara pengobatan patah tulang,
karena memang sistem pengobatan tradisional ttdak
memiliki standar prosedur tertentu, sebagaimana sistem
pengobatan modern yang dilengkapi dengan SOP
(standard operasional procedure). Namun secara
umum ada beberapa kesamaan antara lain:
a. Memberi minuman air yang dimantera:
Sebelum memberikan tindakan mengurut, pasien
diberi minum atau ramuan tertentu yang telah
dimantera / dijampi. Ada beberapa pendapat/alasan
battra menggunaan mantera, jampi atau doa atau
air / ramuan yang dimantera, antara lain untuk :
1). Menghilangkan rasa nyeri,
2). Menghentikan aliran darah,
3). Menghilangkan kotoran yang ikut masuk atau
pecahan tulang yang tidak dapat bersatu lagi
4). untuk mempermudah bersambungnya urat-ura1
( tendon) yang cidera / putus, dalam rangka
mempercepat proses kesembuhan.

Melakukan reposisi letak tulang patah:


Membersihkan (mengelap) bagian yang luki
(patah), kemudian mereposisi (mengurut) letal
tulang-tulang menurut tingkat kebutuhannya sesua
dengan pengetahuan sang battra, dengat
menguhakan ramuan. Tiap battra mempunya
ramuan sendiri, umumnya mereka menggunakat
minyak kelapa atau campuran ramuan dengat
minyak kelapa. Ada yang menggunakan minyal
kelapa dari kelapa yang tidak jatuh ke tanah atat
minyak ular
dan beberapa macam jenis rimpanl
dan daun-daun tertentu, seperti jahe, kunyit, guli
madu, daun sere, daun sirih, daun sirsak, daun turi
daun kapuk, daun lantana, pelepah pisang, berar
ketan merah, bedak dingin dari beras, serta telu
ayam kampung, yang diramu khusus oleh battra.
1). Menghilangkan rasa nYeri,
2). Menghentikan aliran darah,
3). Menghilangkan kotoran yang ikut masuk atau
pecahan tulang yang tidak dapat bersatu lagi,
4). untuk mempermudah bersambungnya urat-urat
(tendon) yang cidera / putus, dalam rangka
mempercepat proses kesembuhan.

Melakukan reposisi letak tulang patah:


Membersihkan (mengelap) bagian yang luka
(patah), kemudian mereposisi (mengurut) letak
tulang-tulang menurut tingkat kebutuhannya sesuai
dengan pengetahuan sang battra, dengan
mengunakan ramuan. Tiap battra mempunyai
ramuan sendiri, umumnya mereka menggunakan
minyak kelapa atau campuran ramuan dengan
minyak kelapa. Ada yang menggunakan minyak
kelapa dari kelapa yang tidak jatuh ke tanah atau
minyak ular dan beberapa macam jenis rimpang
dan daun-daun tertentu, seperti jahe, kunyit, gula
madu, daun sere, daun sirih, daun sirsak, daun turi,
daun kapuk, daun lantana, pelepah pisang, beras
ketan merah, bedak dingin dari beras, serta telur
ayam kampung, yang diramu khusus oleh battra'
Ramuan ini digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri, atau bengkak (odema atau
haematoma), Setiap etnik memiliki cara dan
ramuan yang spesifik.

Ditemukan diberapa daerah seperti di


dan Sumatera, mereka
Kalimantan, Aceh,
memiliki ramuan yang sama proses
pembuatannya yaitu minyak yang di masak
dengan campuran ramuan dari sejenis burung
dengan sarangnya dimana cara memperolehnya
cukup unik, yaitu anak burung yang baru lahir,
diamati disarangnya , hari pertama satu sayap
burung tsb. dipatahkan oleh battra, kemudian
oleh induknya akan diobati dengan sejenis
ranting daun (getahnya) dan tersambung
kembali, Setelah sembuh, besoknya battra akan
mematahkan sayap yang lain dan akan beruJang
proses yang sama, terus dilakukan ke anggota
gerak lain sampai hari kelima / terakhir leher anak
burung tsb, dipatahkan dan bersama ranting-
ranting daun sisa obat patah yang diberikan
induk burung tadi,bersama sarangnya dimasak
dengan minyak dan dijadikan sebagai minyak
obat untuk mengobati patah tulang dan keseleo.

Teknik reposisi umumnya sama, yaitu setelah tulang


yang patah direposisi kemudian oleh battra diikat
dengan cara tertentu, misalnya diikat pakai bambu,
dengan daun lontar kering dibantu dengan papan
atau pelepah pisang. Beberapa battra sudah
menggunakan verban, elastis verban dan sebagai
bidai digunakan papan kecil sesuai lokasi patah

c. lndikasi kesembuhan :

Jika tiga atau empat hari setelah diobati pasien


merasa gatal-gatal pada bagian yang diobati'
menunjukkan adanya kesembuhan' Jika tidak
merasagatal'merupakanindikasiketidaksembuhan
danharusdireposisiulang,namuninijarangterjadi
atau jarang ditemukan.

4. Beberapa halyang menyebabkan masyarakat masih


tetap senang datang berobat ke battra patah tulang
adalah:
a' Biayanya relatif sangat murah, bahkan kalau tidak
punya uang bisa gratis' dan tidak menyebabkan
battra mengurangi kualitas pelayanan

pengobatannya kepada pasien, bahkan battra


merasa bangga apabila bisa menolong orang yang
kesusahansampaibisasembuh(kalausamadokter
atau di rumah sakit, tarif ditentukan, terkadang
terasasangatmahal'bahkanharusdibayarduluan
baru dilaYani);
b. Menurut pasien: battra, disamping mereposisi
tulang, juga merawat tubuh pasien dengan mantera
agar tidak kesakitan, berusaha mengembalikan
keadaan tubuh pasien tanpa operasi seperti Di RS.
Pengalaman masyarakat (penderita) takut ke RS

kerena sering secara medis harus dilakukan


amputasi tapi, mereka menolak dan setelah ke
battra patah tulang, tidak dilakukan amputasi,
dirawat dan pasien tersebut bisa pulih/sembuh
walaupun secara klinis tidak sempurna, foto
rontgen sambungan tidak sempurna ( ada angulasi,
defect)
d Hal-hal lain dari battra patah tulang yang p'erlu
diperhatikan
Mengenai pe,mbayaran atau jasa pengobatan, battra
tidak menentukan. Semuanya diserahkan kepada
pasien dan keluarganya sendiri, semampu dan
seikhlasnya. Keyakinan mereka adalah, bahwa
kalau mereka menentukan tarif jasa pengobatan,
maka akan menurunkan kualitas atau memudarnya
kemujaraban pengobatannya.
C. Langkah-langkah Pendekata.n KIE-Kultural
Dalam rangka pendekatan KIE-Kultural, seorang petugas
kesehatan yang akan menyampaikan gagasan tertentu
yang merupakan inovasi baru bagi sasaran, agar tidak
terjadi benturan-benturan dengan nilai-nilai dan norma
budaya sasaran, terlebih dah'ulu harus memahami latar
belakang budaya sasaran, khususnya yang terkait dengan
substansi yang akan diakulturasikan ke dalam sistem
sosial budaya sasaran diakulturasikan.

Langkah yang perlu dilakukan untuk memahami latar


belakang budaya sasaran tersebut memerlukan kehati-
hatian, terutama pada fase awal kegiatan (entry point),
ketika memasuki wilayah battra, agar tidak menimbulkan
kesan negatif dan 'sikap antipati dari sasaran. Begitu
muncul kesan pertama yang negatif maka seterusnya akan
menjadi sulit bagi petugas kesehatan untuk melangkah
lebih lanjut.
Oleh karena itu langkah-langkah yang sistematis dalam
melakukan pendekatan KIE-Kulturtal ini perlu dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya.
Salah satu yang penting adalah memahami "komunikasi
antar budaya" atau antar petugas kesehatan dan battra
patah tulang yang akan mengkomunikasikan dua sistem
yang berbeda. Oleh karena itu memerlukan kehati-hatian
dalam melangkah.

1. Kesan pertama yang menyenangkan


Kesan pertama yang ingin dihasilkan dalam "tahap entry
point" ini adalah untuk memenuhi tolok ukur pertama, yaitu
menimbu kan kesenangan.
I

Pada dasarnya manusia merasa aman dengan apa yang


telah akrab dengan kehidupannya selama ini' Terhadap
sesuatu yang baru, mereka akan bertanya-tanya:
Apakah sesuafu yang baru ini bisa bermakna,
barmanfaat bagi dirinya dan tidak mengganggu
kepentingan, kesenangan, kenikmatan hidup yang
telah dirasakannYa selama ini?

Pertanyaan semacam ini selalu ada dalam diri setiap

manusia ketika ia menghadapi sesuatu yang baru.


Petugas kesehatan sebagai inovator yang berasal dari luar
suatu sistem sosial budaya hendaknya memperhatikan hal
ini dengan sungguh-sungguh, karena perasaan seperti ini
berhubungan erat dengan sikap mental individu warga
masyarakat terhadap sesuatu yang datang dari luar sistem
sosial budaya mereka. oleh karena itu dalam melakukan
pendekatan, seorang inovator hendaknya berangkat dari
apa yang ada dan sudah akrab dengan pola pikir battra,
sehingga meraka tidak merasakah ada sesuatu yang baru,
yang mengejutkan, yang akan mengancam kepentingan,
kesenangan, dan keuntungan yang selama ini sudah
mereka rasakan.
Untuk tidak menimbulkan sikap yang menolak di awal

pertemuan maka :

seorang inovator (petugas kesehatan) harus


terampil memodifikasi dan mengemas kembali
pesan-pesan yang akan disampaikan, sampai pada
tahap bisa diterima oleh battra dengan tidak
menghilangkan makna inti dari pesan yang
disampaikan. -r

Di tahap entry point ini, petugas perlu memperhatikan hal-


hal sbb:
o jangan sekali-kali memberikan komentar negatif,
mengkritik, menggurui atau
o rT1€r't$?jukan pertanyaan-pertanyaan yang

memojokkan battra ybs, terhadap apa-apa yang


ditemui di lapangan, untuk tidak menimbulkan
perasaan antiPati.
l- 2. Memelihara hubungan yang kondusif
i
Memelihara hubungan yang kondusif, dalam rangka
memenuhi tolok ukur kedua komunikasi yang efektif, yaitu
menimbulkan persahabatan yang semakin akrab,
menyangkut gaya bicara yang menimbulkan kesan
kesetaraan, menghargai, menjadi pendengar yang baik,
memperlihatkan antusias terhadap apa yang diceritakan
oleh sasaran, berusaha mengenal secara baik dan
bersahabat dengan seluruh anggota keluarga mereka,
sampai kepada menimbulkan rasa percaya (trust) dan
suatu keyakinan bahwa sang inovator merupakan bagian
dari mereka dan bukan orang asing yang membahayakan
kepentingan hidup mereka. '

3. Langkah-langkah yang efektif

Terlebih dahulu berusaha memperoleh informasi awal


sebanyak-banyaknya dari informan yang berasal dari
kerabat atau masyarakat setempat, mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan praktek pengobatan
battra patah tulang, meliputi latar belakang filosofis
pengobatan patah tulang, konsep sehat-sakit, pengertian
sembuh, jenis obat-obatan yang diberikan senta pantangan
bagi penderita patah tulang yang sedang dalam pengo-
batan battra.
lnformasi awal ini penting dilakukan untuk melihat ada atau
tidaknya pertemuan pola pikir dari kedua sistem medis
(modern dan tradisional) menyangkut pengobatan kasus
patah tulang dan untuk pengembangan dialog petugas
kepada battra. Untuk penggalian awal ini, sebaiknya anda
lakukan secara tidak terlalu.resmi, sambil ngobrol santai.
Kemudian sekembalinya dari pertemuan dengan mereka,
segera mencatat berbagai informasi yang diperoleh.
Sebaiknya urusan catat mencatat tidak dilakukan di depan
mereka, karena dikhawatirkan akan menimbulkan rasa
waswas dan rasa takut atas infomasi yang mereka berikan.
Kembangkan informasi awal ini menjadi berbagai bahan
pertanyaan untuk dialog dengan battra. Anda
"LXrp
melakukan dialog secara tidak formal, guna menghindari
salah langkah dan konflik nilai dan norma dalam memasuki
wilayah battra.
Kemudian, dengan rendah hati, anda berupaya
menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga kehadiran
anda bisa diterima apa adanya oleh mereka, dan mereka
tidak merasakan adanya ancaman bagi profesi mereka.
Hindari penggunaan pakaian ataupun atribut-atribut yang
bisa membuat jarak antara anda dan mereka.
Menciptakan situasi saling percaya , keterbukaan serta
kebebasan untuk memungkinkan terjadinya tukar menukar
informasi dengan pihak Battra. Keterbukaan hendaknya
dimulai dari diri petugas kesehatan sendiri.
Pada awal memasuki wilayah Battra, menyangkut
substansi anda sebaiknya bersikap aoak pasif, karena
tidak mungkin dengan segera membuat berbagai

hubungan yang kondusif den'gan pihak battra untuk secara


bebas dan mudah mengumpulkan informasi.
Perasaan anda sebagai petugas kesehatan hendaknya
berada "di luar" situasi kerja resmi, untuk dapat
mempelajari seluk beluk perilaku subyek (battra) dan
masuk ke dalam suasana keakraban secara perlahan-
lahan, sampai tercipta rasa kekeluargaan, dan mereka
merasa senang dengan kehadiran anda, serta teicipta
suasana saling percaya dan keterbukaan.
Selama berada di wilayah battra, anda sama sekali tidak
1
boteh menapik, mencemohkan atau mengkritik bentuk
perilaku apapun yang ditemui atau ditampilkan oleh battra,
baik dalam bentuk tindakan ataupun ucapan-ucapan. Juga
tidak boleh mengajukan pertanyaan yang bernada

memojokkan dan bisa membuat mereka menjadi bersifat


" defensif . "
Hal yang paling penting di lakukan, yaitu terlebih dahulu
harus menjelaskan tujuan kedatangan anda, bahwa anda
sesungguhnya ingin banyak belajar dari mereka dan
menjamin kerahasiaan individual, serta tidak akan
menceritakan kepada siapapun t"ng"nai informasi yang
anda peroleh dari mereka.

Ada lima kondisi yang menjadi tolok ukur


efektivitas komunikasi dengan battra patah tulang.
1. Menimbulkan kesenanQan. menyangkut substansi
pembicaraan;
2. Menimbulkan p.ersahabatan, menyangkut gaya
dan basa-basi dalam berkomunikasi;
3 Menimbulkan pengertian, ffienyangkut
penggunaan bahasa: bisa dimengerti, jelas dan
tidak bertele-tele;
4 Menimbulkan perubahan pada sikap, menyangkut
keajekan (kontinyuitas) penyampaian pesan -
pesan, tidak bersifat "hit and runs";
5. Penerimaan pesan dan terjadinya perubal'-fan
perilaku.
BAB III
MEMBANGUN KEMITRAAN DALAM
PENANGANAN KASUS PATAH TULANG

Pengobat tradisional patah tulang telah secara nyata


membuktikan kemampuannya menyembuhkan penderita
patah tulang. Namun dari pemantauan serama ini dihasilkan
beberapa temuan yang perlu mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh, antara lain:
tr Dalam pengamatan terhadap proses pengobatan oleh
battra patah tulang, terlihat adanya tindakan
pengobatan yang kurang memenuhi persyaratan medis,
terutama dari segi higiene dan sanitasi;
u Hasil pemeriksaan Rontgen terhadap beberapa pasien
pasca pengobatan battra patah tulang yang sudah
dinyatakan sembuh secara klinis, terlihat adanya
sambungan tulang yang kurang sempurna.

Oleh karena itu, untuk lebih menyempurnakan tingkat


kesembuhan penderita patah tulang, perlu dilakukan
pembinaan teknis penanganan patah tulang dengan
memberikan pengetahuan ketrampilan medis praktis untuk
penyempurnaan ieknik pengobatan battra untuk itu sebelum
petugas kesehatan melakukan intervensi perlu ditingkatkan
kemitraan antara battra patah tulang, yang sudah diakui
oleh masyarakat, dengan pihak provider kesehatan, yang
memiliki kredibilitas dalam hal pengobatan modern.
Demikian pula dengan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan
penanganan kasus patah tulang.
Dengan kemitraan ini diharapkan dapat terbentuk kerjasama
yang lebih efektif, efisien dan produktif diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam penanganan kasus patah tulang, untuk
menghasilkan penanganan yang sebaik-baiknya bagi
penderita patah tulang.
-t

A. Ruang Lingkup Kemitraan


Ruang lingkup kemitraan meliputi sektor pemerintah dalam hal
ini Petugas kesehatan Puskesmas maupun Dinas kesehatan
Kabupaten/Kota, battra patah tulang, pasien patah tulang dan
keluarganya serta kelompok professional.

1. Kemitraan di dalam Sektor pemerintah


Adalah kerjasama antara Dinas kesehatan, termasuk
puskesmas dan rumah sakit setempat.

2. Kemitraan antar sektor pemerintah dan battra patah


tulang adalah kerjasama antara Dinas kesehatan,
termasuk puskesmas dan rumah sakit dengan battra
patah tulang.

3. Kemitraan antar sektor pemerintah dan pasien patah


tulang adalah kerjasama antara dinas kesehatan,
termasuk puskesmas dan rumah sakit dengan penderita
patah tulang dan keluarganya.

4. Kemitraan sektor pemerintah dengan kelompok


professional adalah kerjasama antara dinas kesehatan,
termasuk puskesmas dan rumah sakit dengan praktek
I swasta dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
I
I

B. Pengertian dan Strategi Kemitraan


1. Pengertian
Kemitraan (building linkage) dalam penanganan kasus patqh
tulang, adalah kerJasama antara berbagai pihak yang terlibat
dalam penanganan kasus
maupun , institusi atas dasar
prinsip kesetaraan (equity), keterbukaan (transparancy) dqn
saling menguntungkan (mutual benefit), secara efektif, efisien

penanganan kasus patah tulanq.


Untuk mencapai efektivitas, efisiensi dan produktivitas
program kemitraan, perlu adanya . (ejelasan tujuan yang ingin
dicapai melalui kemitraan;
1. kejelasan dan kesepakatan wadah serta mekanisme
kerja kemitraan;
2. kejelasan peran setiap unit atau pihak yang terkait
dalam program kemitraan.

2. Strategi kemitraan
Pada hakikatnya adalah melakukan mobilisasi sumber

daya yang ada melalui berbagai cara, dapat dirinci sbb:


a. Advokasi, yaitu melakukan pendekatan kepada
berbagai pihak yang terkait program kemitraan dalem
penanganan kasus patah tulang, dengan menggunakan
data dan informasi yang benar.
b Tujuan utama Advokasi adalah untuk meyakinkan guna
memperoleh dukungan dari pengambil keputusan yang
terkait dengan program kemitraan dalam penanganan
kasus patah tulang.
c. Pemberdayaan pihak-pihak yang terkait dengan
program kemitraan, dengan melakukan KIE-kultural,
sosial marketing dan mengembangkan sistem
penghargaan (reward system).
d. Mengupayakan dukungan sosial (social support) dari
petugas kesehatan, battra dan masyarakat serta
lembaga-lembaga sosial yang terkait dengan tujuan
kemitraan.
e. Penggalangan kemitraan, dengan melakukan
identifikasi stakeholder (pihak-pihak yang terkait),
membangun jaringan kerjasama, memadukan
sumberdaya yang tersedia di masing-masing mitra
kerja, melaksanakan kegiatan terpadu dan
menyelenggarakan pertemuan berkala.
f. Keterpaduan program, dengan mengintegrasikan
kegiatan masing-masing mitra kerja ke dalam proses
kerja setiap mitra. Meningkatkan profesionalisme
dengan cara menstandarisasi tolok ukur dan
mekanisme kemitraan serta menyusun dan
menyebarluaskan panduan kemitraan.

C. Pembentukan dan mekanisme kerja kemitraan


Untuk mengembangkan kemitraan dalam penanganan
kasus patah tulang, perlu dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
c. ldentifikasi masalah sehubungan dengan praktek
battra pata tulang
d. Merumuskan masalah dan menseleksi untuk
mendapatkan masalah prioritas;
e. Mengidentifikasi calon mitra kerja (battra) yang
sesuai, yang diharapkan mau dan mampu bermitra;
f. ldentifikasi peran battra patah tulang calon mitra
kerja;
g. Membangun kesepakatan diantara mitra-mitra kerja;
h. Menyusun rencana kerja bersama;
i. Melaksanakan kegiatan terpadu sesuai dengan
perannya masing-masing yang telah disepakati;
j. Pemantauan dan evaluasi.

Program yang melibatkan banyak mitra tidak akan dapat


terselenggara dengan baik, apabila tidak ada koordinasi
yang jelas, termasuk wadah dan mekanisme kerja yang
mengatur keterkaitan berbagai mitra kerja yang terkait.
Untuk itu diperlukan:
1. Wadah koordinasi kemitraan, yang menampung
seluruh mitra kerja yang terkait.
Menggunakan wadah yang sudah ada sesuai dengan
tradisi dan adat setempat. seperti .

. Perkumpulankekrabatan,
. Forum komunikasi yang ada dalam komunitas,
etnik setempat.
2. Mekanisme kerja yang jelas untuk penanganan
kasus patah tulang, menyangkut siapa berperan
apa
dan kapan atau pada fase apa peran itu dilaksanakan.
Kesinambungan (kontinyuitas) kerja kemitraan
memerrukan
pembinaan yang terus menerus.

Beberapa kiat keberhasilan kemitraan, a. I :


a. Tjdak menganggap rendah bidang kegiatan
pihak yang diajak bermitra.yaitu penioOat
(battra) patah tulang
b. Mengetahui ruang lingkup kegiatan pihak yang
akan diajak bermitra.:
Filosofi pengobatan, tehnik pengobatan dan
perawatan pasca pengobatan -battra patali
tulang
c. Mengidentifikasi kesamaan bidang kegiatan
pihak yang diajak bermitra.
teknik pengobatan dan perawatan
d. Memilih kegiatan bersama yang akan dimitrakan.
e. Merumuskan visi dan misi- bersama, ,"it"
strategi dan program yang akan dimitrakan.
f.- Menyusun kegiatan bersima, peran dan uraian
tugas masing-masing.:
Baik petugas kesehatan (puskesmas) maupun
Battra patah tulang
g Menghitung dan membagi beban kerja
operasional program kemitraan.
3. Proses Pembentukan Kemitraan :

a. Perumusan kesepa katan wadah kemitraan.


b. Perumusan tujuan kemitraan
c. Perumusan jaringan kerja kemitraan
d. Perumusan ruang Lingkup Kemitraan.
e. Perumusan tugas dan fungsi masing-masing
f. mitra kerja.
g. Perumusan mekanisme kerja antar pihak yang
bermitra.
h.

D. Kegiatan, peran dan sumber daya kemitraan -r

Kesempurnaan penanganan kasus patah tulang


memerlukan keterlibatan unsur pengobatan tradisional,
yang pada kenyataannya dipercaya oleh masyarakat.
Unsur pengobatan modern (puskesmas, rumah sakit dan
tenaga profesional) yang karena tugas dan fungsinya
berkewajiban membina dan menyempurnakan hasil
pengobatan tradisional dan penderita patah tulang dan
keluarganya. Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi
penanganan kasus patah tulang, maka perlu adanya
kejelasan mengenai kegiatan, peran dan sumberdaya apa
saJa yang bisa dimanfaatkan .dari masing-masing mitra
kerja, yaitu kejelasan mengenai :
. Jenis kegiatan yang memerlukan kemitraan;
. Peran dari masing-masing mitra kerja;
. Sumber daya apa saja yang bisa dimanfaatkan
dari setiap mitra kerja

1. Kegiatan setiap mitra adalah sebagai berikut:

a. Kemitraan sektor pemerintah

Adalah kerjasama antara dinas kesehatan, termasuk


puskesmas dan rumah sakit setempat, meliputi hal_h.gl:
1) Pembinaan pengetahuan dan keterampilan
pengobatan dan keperawatan patah tulang,
menyangkut pencapaian standar tehnis medis.
2) Penegakan sistem rujukan dari puskesmas ke
rumah sakit.

3) Penegakan sistem rujukan dari battra ke rumah


sakit (dalam hal gawat darurat)

b. Kemitraan antar sektor pemerintah dan battra patah


tulang

adalah kerjasama antara Dinas kesehatan, termasuk


puskesmas dan rumah sakit dengan battra patah
tulang, meliputi hal-hal :

1) Pembinaan prosedur pengobatan dan


keperawatan patah tulang yang berhubungan
dengan pencapaian standar tehnis medis.
2) Penegakan sistem rujukan pengobatan dan
keperawatan patah tulang dari battra patah tulang
ke puskesmas dan rumah sakit dan sebaliknya
dari puskesmas dan rumah sakit ke battra patah
tulang.

Kemitraan antar sektor pemerintah dan pasien patah


-a
tulang

adalah kerjasama antara Dinas kesehatan, termasuk


puskesmas dan rumah sakit dengan pasien patah
tulang dan keluarganya, meliputi hal-hal :

1) Keterbukaan mengenai keberhasilan dan


kegagalan pengobatan, baik yang dilakukan oleh
battra patah tulang maupun yang dilakukan oleh
institusi pengobatan pemerintah (puskesmas dan
rumah sakit).
2) Pembinaan oleh institusi pengobatan pemerintah
(puskesmas dan rumah sakit) kepada pasien
a

patah tulang pasca . pengobatan battra patah


tulang.

d. Kemitraan sektor pemerintah dengan kelompok


professional adalah kerjasama antara dinas kesehatan,
termasuk puskesmas dan. rumah sakit dengan praktek
dokter swasta dan tenaga kesehatan lainnya, misalnya
menerima rujukan battra patah tulang dalam
pengobatan dan keperawatan pasien patah tulang,
dalam hal teknis medis, jika diperlukan.

E. lndikator Keberhasilan Kemitraan _.

Untuk ;dapat mengetahui keberhasilan pengembangan


kemitraan diperlukan adanya indikator yang dapat diukur,
yang sifatnya: spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis
dan tepat waktu (SMART= specific, measurable,
achievable, realistic and time bound).

lndikator keberhasilan yang perlu dikembangkan dalam


program kemitraan ini meliputi:

L lndikator lnput (masukan), antara lain:


a. Terbentuknya tim dan wadah yang disepakati dalam
kemitraan misalnya Forum komunikasi atau
perku m pul a n kekerabatan /adat setem pat
b. Adanya kejelasan peran .dan mekanisme kerja

masing-masing mitra kerja.


c. Adanya dokumen kesepakatan kerjasama dalam
SOP (Standar operaition Procedure) Koordinasi
penanganan kasus patah tulang, antara battra dan
petugas kesehatan. (penielasan pada baca buku ll)

2. lndikator Process (proses), antara lain:


a. frekwensi dan kualitas pembinaan teknis
penanganan kasus Patah tulang.
b. kesempurnaan penanganan kasus-kasus patah
tulang melalui kerja tim.

3. lndikator Output (luaran), antara lain: -r

a. jumlah kegiatan kemitraan yang dikerjakan oleh


masing-masing mitra kerja, sesuai dengan
kesepakatan.
b. jumlah kasus patah tulang yang berhasil ditangani
dengan sempurna.

4. lndikator Outcome (dampak), antara lain:


a. menurunnya angka ketidak-sempurnaan
penanganan kasus Patah tulang.
b. menurunnya keluhan pasien patah tulang atas

penanganan kasus patah tulang yang dikerjakan


mitra kerja masing-masing.
BAB IV .

PELAKSANAAN KEMITR/MN BATTRA PATAH TULANG


DI PUSKESMAS

Pembinaan kemitraan battra dengan tujuan meningkatkan


peran battra Batah tulang sebagai motivator dan komunikator
maupun sebagai "co-health provider atau co heatth
serevrces" dilakukan melalui KIE- Kultural (sarasehan).
Dari pengalaman uji coba KIE-Kultural (sarasehan) di
beberapa daerah peran fasilitator merupakan kunci
keberhasilan sarasehan. (Rudy salan, Depkes 1gg0) yang
dimaksud dengan fasilitator disini adalah petugas kesehatan
sebagai pemandu dan penyuluh dalam KIE-Kultural.
Pelaksanaan kemitraan dengan battra patah tulang atau
battra pada umumnya di puskesmas dengan pendekatan KIE-
KULTURAI dilakukan melalui 2 cara .
1. Secara perorangan ( kunjungan ke battra ) atau
2. Berlelompok
Penjelasan selanjutnya adalah contoh pelaksanaan KtE-
KULTURAL dalam hentuk berketompok (SARASEHAN)
Langkah-langkah pelaksanaan pembinaan kemitraan battra
patah tulang melalui KIE Kultural ( berkelompok)
A. Persiapan KabuPaten/Kota
1. PertemuantingkatKabupaten/Kota
Pada pertemuan ini diadakan diseminasi informasi
tentang pelaksanaan kegiatan pembinaan kemitraan
battra patah tulang secara lintas program dan lintas
sektor terkait tingkat Kabupaten/Kota untuk
mendapatkan dukungan.
2. Penunjukan petugas Dinkes Kabupaten/Kota
sebagai penanggung jawab kegiatan pembinaan
kemitraan battra Patah tulang
-r
B. Persiapan Puskesmas
1. Pertemuan tingkat Puskesmas
Pada pertemuan ini diadakan diseminasi informasi
tentang pelaksanaan kegiatan pembinaan kemitraan
battra patah tulang secara lintas program dan lintas
sektor terkait tingkat Kecamatan untuk mendapatkan
dukungan.
2. Pelatihan petugas Puskesmas sebagai fasilitator
Sesudah pertemuan di tingkat Kecamatan, diadakan
pelatihan bagi petugas Puskesmas tentang
pelaksanaan pembinaan kemitraan battra patah
tulang.
a. Tujuan:
1) Diperolehnya keseragaman pengertian tentang
pembinaan kemitraan battra patah tulang dan
KIE Kultural.
2). Petugas Puskesmas menguasai materi
sarasehan.
3). Petugas Kesehatan trampil melaksanakan
Sarasehan.
b. Kriteria Petugas Kesehatan:
Agar pelatihan peningkatan peran battra dengan
metode KIE-Kultural (sarasehan) dapat terlaksana
dengan baik maka diperlukan minimal 2 or_ang
petugas Puskesmas yang akan menjadi fasilitator
sesuai dengan kualifikasi sbb:
1) Berwibawa, mudah bergaul dan dikenal baik
dalam masyarakat.
2) Mampu mengutarakan pendapat
3) Diutamakan yang menguasai bahasa dan adat
istiadat setempat.
4) Memiliki wawasan luas terhadap upaya
pembangunan kesehatan.
5) Memiliki wawasan luas terhadap upaya
terhadap battra dan penganganan kasus
patah tulang.
6) Sabar dan mampu menjadi pendengar yang
baik serta memiliki kemampuan sebagai
pelatih.
c. Materi:
Materi yang diberikan dalam mempersiapkan
petugas a.l.
1) Pedoman pembinaan battra dan profile battra
patah tulang
2) Pedoman Pelaksanaan KIE-Kultural
3) Panduan pembinaan kemitraan
4) Peran Fasilitator dalam KIE-Kultural

3. Pengumpulan data / inventarisasi battra patah -'


tulang di Kecamatan.
Sebelum pelaksanaan sarasehan perlu dilakukan
inventarisasi battra yang ada di wilayah kerja
Puskesmas yang bersangkutan dan sekaligus
melakukan pendekatan kultural (sesuai budaya dan
tradisi) battra patah tulang. Data yang akan di
inventarisasi adalah data jumlah, informasi tentang
prinsip dasar pengobatan, cara /teknis penanganan
patah tulang, ramuan yang digunakan dll.
4. pertemuan tingkat
De.sa
pada pertemuan ini
diadakan diseminasi informasi
tentang peraksanaan kegiatan pembinaan
kemitraan
battra patah turang di tingkat desa
untuk mendapatkan
dukungan dari aparat di desa, tokoh masyarakat,
ketua adat, dan sektor terkait
lainnya.

C. Pelaksanaan KIE Kultural


KrE-Kurturar/sarasehan adarah
istirah untuk penyuruhan
atau arih informasi, pengetahuan
dan ketrampiran dengan
pendekatan kultural (budaya).
KIE-Kultural Sarasehan
adalah suatu bentuk forum memecahkan
masalah qecara
kekeluargaan, melalui musyawarah
untuk mencapai
mufakat, dimana :

1. Semua peserta mempunyai ikatan


moril untuk
melaksanakan apa yang telah
menjadi kesepakatan.
2' semua yang terribat daram proses
sarasehan berada
dalam kedudukan yang sama,
baik hak maupun
kewajiban.
3. Ada pimpinan pertemuan yang mengakomodasi
semua usulan peserta dan mengatur
kelancaran
jalannya pertemuan.
Dari hasil penelitian, uji coba di
beberapa propinsi KIE_
Kultural adalah forum yang tepat
untuk melakukan
inventarisasi Battra, pembinaan dan sebagai sarana
motivasi peran battra dan alih pengetahuan dan
ketrampilan untuk meningkatkan mutu pelayanan battra
patah tulang.
Perbedaan antara KIE-Kultural dengan Pelatihan

ASPEK KIE KULTURAL PELATIHAN/


PERBEDAAN PENATARAN

Hubungan antara Sederajat Seperti guru dan


peserta murid
Posisi Peserta Duduk bersila, Di kelas duduk di
sesuai budaya/ kursi
tradisi setempat.
Bahasa yang di Dominan Bahasa Dominan Bahasa
gunakan Lisan tulisan
4. Suasana Informal Formal
pertemuan
_a
5 Proses komunikasi Komunikasi 5. Komunikasi nalar
sambung rasa instruktif, terjadi alih
pengtahuan

You might also like