You are on page 1of 64

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENCEGAHAN


STUNTING DI KECAMATAN PAGADEN KABUPATEN
SUBANG

USULAN PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Dalam Menempuh Ujian Sarjana (S1)
Program Studi Administrasi Publik

Disusun Oleh
ANI JULAEHA
NPM :A1A.16.0486

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS SUBANG
2020
i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENCEGAHAN


STUNTING DI KECAMATAN PAGADEN KABUPATEN
SUBANG

USULAN PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Dalam Menempuh Ujian Sarjana (S1)
Program Studi Administrasi Publik

ANI JULAEHA
NPM : A1A.16.0486

Menyetujui : Mengesahkan :
Pembimbing 1, Ketua Program Studi,

Dr. NURAIDA .S.IP.,M.Si Dr. NURAIDA .S.IP.,M.Si

Pembimbing II,

Drs. H CICIN KUSNADI, M.Si

Mengetahui :
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Subang

Dr. H. IWAN HENRI KUSNADI , S,Sos, M.Si

i
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iii

DAFTAR TABEL.................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian..............................................................1

1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................7

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................................................8

1.3.1 Tujuan Penelitian..................................................................8

1.3.2 Kegunaan Penelitian.............................................................8

BAB II TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kajian Teoritis...............................................................................9

2.1.1 Administrasi Publik..............................................................9

2.1.2 Konsep Kebijakan Publik.....................................................11

2.1.3. Konsep Implementasi Kebijakan.........................................15

2.1.3.1. Pengertian Implementasi......................15

2.1.3.2. Pengertian Kebijakan...........................16

2.1.3.3. Pengertian Implementasi Kebijakan.....17

2.1.4. Model Implementasi Kebijakan Publik................................19

2.1.5. Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses

Implementasi Kebijakan.......................................................22

ii
iii

2.1.6. Pengertian Stunting..............................................................37

2.1.7. Upaya Pencegahan Stunting................................................38

2.3 Kerangka Pemikiran........................................................................40

2.5 Hipotesis........................................................................................41

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian....................................................................42

3.2 Informan Penelitian.......................................................................43

3.3 Instrumen Penelitian......................................................................44

3.4 Teknik Pengumpulan Data............................................................47

3.5 Pengujian Validitas Data...............................................................48

3.6 Teknik Analisis Data.....................................................................49

3.7 Lokasi Penelitian...........................................................................51

3.8 Jadwal Penelitian...........................................................................51

DAFTAR PUSTAKA

PEDOMAN WAWANCARA

iii
iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran..........................................................................22

iv
v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Angka Stunting Kabupaten Subang 2017-2019....................................5

Tabel 1 2 Angka Stunting Kecamatan Pagaden 2017-2019..................................5

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian...................................................................................52

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses kebijakan

publik. Proses kebijakan adalah suatu rangkaian tahap yang saling bergantung

yang diaturmenurut urutan waktu, penyusunan agenda, formulasi kebijakan adopsi

kebijakan dan penilaian kebijakan (Winarno,2012:51). Implementasi atau

pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses

perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah direkomondasikan untuk di

pilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil

dalam mengimplementasikan.

Dalam menjalankan kebijakan, implementasi kebijakan merupakan faktor

penting dalam sebuah kebijakan. Di mana implementasinya sebuah kebijakan

akan mengandung resiko kegagalan bila tidak terimplementasikan dengan baik.

Tidak terimplementasikan disini mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan

tidak terlaksanakan sesuai dengan rencana, tidak efisien dalam pekerjaanya atau

kurangnya kerjasama antar pihak–pihak pelaksana, yang tentunya akan berakibat

terhadap implementasi yang efektif sukar untuk dicapai.

Masalah gizi stunting (balita pendek) merupakan salah satu masalah gizi

yang krusial, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting

merupakan bentuk kegagalan tumbuh kembang yang menyebabkan gangguan

pertumbuhan linear pada balita akibat dari akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang

1
2

berlangsung lama, mulai dari masa kehamilan sampai usia 24 bulan. Kekurangan

gizi pada masa tumbuh kembang anak di usia dini akan menghambat

perkembangan fisik, meningkatnya kesakitan, menghambat perkembangan mental

anak, dan bahkan menyebabkan kematian balita yang mengalami masalah gizi

stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual,

produktivitas, dan kemungkinan risiko mengalami penyakit degeneratif di masa

mendatang.

Secara global kebijakan dalam mengatasi masalah penurunan kejadian

stunting harus difokuskan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau yang

disebut dengan Scaling Up Nutrition (SUN) sampai dengan usia 24 bulan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merekomendasikan 3,9% penurunan

stunting per tahun untuk memenuhi target penurunan stunting pada tahun 2025

yaitu 40%. Pada sepanjang siklus kehidupan, intervensi yang dilakukan harus

melibatkan berbagai lapisan baik sektor kesehatan maupun non kesehatan, seperti

pemerintah, swasta, masyarakat sipil, melalui tindakan kolektif dalam

meningkatkan perbaikan gizi, baik intervensi spesifik (jangka pendek) maupun

intervensi sensitif (jangka panjang)

Pemerintah telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Penanganan

Stunting pada bulan Agustus 2017 yang harus menekankan pada kegiatan

konvergensi di tingkat nasional, daerah, dan desa untuk memprioritaskan dengan

kegiatan Intervensi Gizi Spesifik dan Gizi Sensitif dalam 1000 Hari Pertama

Kehidupan (HPK) sampai dengan usia 6 tahun. Intervensi Gizi Spesifik yang

ditujukan kepada ibu hamil dan anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)
3

dengan kontribusi sebesar 30% penurunan stunting pada umumnya dilakukan oleh

sektor kesehatan. Sedangkan Intervensi Gizi Sensitif ditujukan melalui berbagai

kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dengan kontribusi sebesar 70%

terhadap penurunan angka stunting dengan sasaran masyarakat umum dan tidak

khusus terhadap ibu hamil dan balita pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)

(Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017).

Kejadian stunting (balita pendek) merupakan masalah gizi utama yang

telah dihadapi Indonesia. Berdasarkan dari Pemantauan Status Gizi (PSG) selama

tiga tahun terakhir ini, balita pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan

dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, bahkan gemuk. Prevalensi

balita pendek mengalami naik turun, dapat dilihat pada table 1.1 sebagai berikut :\

Tabel 1.1
Angka Prevalensi Stunting di Indonesia Tahun 2017-2019

No Tahun Angka Prevalensi Stunting


1 2017 29,6%
2 2018 28,5%
3 2019 30,1%
Sumber: Kementrian Kesehatan RI Tahun 2019

Tabel diatas menunjukan bahwa dari tahun 2017 anga prevalensi stunting

di Indonesia yaitu sebanyak 29,6% menurun pada tahun 2018 yaitu 28,5% dan

mengalami peningkatan pada tahun 2019 menjadi 30,1% (Kemenkes RI, 2019).

Pencegahan dan penanggulangan stunting membutuhkan upaya yang

bersifat holistic dan saling terintegrasi. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013

merupakan salah satu strategi dalam Scalling Up Nutrition (SUN) dengan

melibatkan berbagai sektor yang harus disikapi dengan koordinasi yang kuat baik
4

di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Pemerintah daerah Kabupaten Subang

juga mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Bupati Nomor 15 Tahun 2016

tentang Penurunan Stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik yang ditujukan pada

anak 1000 HPK yang dilakukan oleh sektor kesehatan dan Intervensi Gizi Sensitif

yang akan dilakukan lintas sektor kesehatan dengan sasaran semua masyarakat.

Peraturan ini dibuat dengan tujuan meningkatkan status gizi masyarakat dan

kualitas sumber daya manusia dengan strategi yang akan dilakukan adalah

edukasi, pelatihan dan penyuluhan kesehatan dan gizi melalui kemandirian

keluarga, gerakan masyarakat hidup sehat, dan memperkuat gerakan seribu hari

pertama kehidupan (HPK).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2017 tentang

Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi yang menegaskan tentang penyusunan

Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) dan Rencana Aksi Daerah

Pangan dan Gizi (RAD-PG) untuk mewujudkan sumber daya manusia yang

berkualitas dan berdaya saing dalam pembangunan pangan dan gizi. Selanjutnya

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat

(Germas) yang mampu meningkatkan pendidikan mengenai gizi seimbang dan

penyediaan pangan sehat dan percepatan perbaikan gizi.

Menurut hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) persentasi balita pendek di

Kabupaten Subang pada tahun 2019 sebesar 33,2% dengan proporsi balita pendek

sebesar 17,8% dan proporsi balita sangat pendek sebesar 15,4%. Kabupaten

Subang memiliki beberapa Kecamatan yang menjadi fokus lokasi penurunan

stunting yaitu Kecamatan Pagaden, Kecamatan Patokbeusi, Kecamatan Blanakan


5

dan Kecamatan Legon Kulon. Berdasarkan data tersebut, Kecamatan Pagaden

menduduki peringkat pertama dengan prevalensi stunting pada tahun 2019 sebesar

8% (Dinas Kesehatan Kabupaten Subang 2019).

Berikut data Kecamatan tertinggi kasus stunting di Kabupaten Subang dari

tahun 2017 s/d 2019:

Tabel 1.1
Angka Stunting Kabupaten Subang 2017-2019

DATA BALITA STUNTING KABUPATEN SUBANG 2017-2019


10
2017
5 2018
2019
0
k i
la ija
ti
ha
n
ga ka
n
de
n
ka
n
lo
n be eus se
m
a Ca na ga u K u jam B ia
K D n Ci
k n Bl
a pa a n ok C
ba Jala P am
Lego P at
m
Ta

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Tahun 2019

Tabel 1.2
Angka Stunting Kecamatan Pagaden 2017-2019

ANGKA STUNTING 2017-2019


10
8
DATA BALITA GIZI BURUK 2016-
6 2019
4
2
0
2017 2018 2019
Sumber: Puskesmas Pagadeni Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang Tahun 2019

Dari tabel dan Grafik diatast terlihat bahwa Kecamatan Pagaden menjadi

Kecamatan yang mengalami peningkatan angka stunting paling tinggi dilihat dari

data tahun 2017 sebanyak 6 % balita, tahun 2018 sebanyak 7% balita dan tahun

2019 sebanyak 8% balita. Hal ini disebabkan kurangnya komunikasi dan


6

koordinasi antar pihak pelaksana dalam merencanakan program mengenai

pencegahan stunting pada anak balita yang ada di Kecamatan Pagaden Kabupaten

Subang, adapun program pencegahan stunting bisa berupa kegiatan penyuluhan

oleh pihak puskesmas terkait yang bekerjasama dengan kader-kader posyandu

yang ada di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, namun hal itu masih jarang

dilakukan oleh para pihak pelaksana kebijakan.

Upaya perbaikan gizi melalui kegiatan penyuluhan oleh pihak Puskesmas

terkait dinilai masih rendah, data menunjukan pola komunikasi yang dilakukan

melalui kegiatan penyuluhan posyandu hanya dilakukan selama 3 bulan sekali,

seharusnya penyuluhan stunting itu idealnya dilakukan satu bulan sekali pada saat

imunisasi rutin yang dilaksanakan di Puskesmas maupun desa masing-masing.

Terdapat sebuah masalah yang lain yang terjadi mengenai tingginya angka

stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, hal ini disebabkan oleh masih

minimnya kompetensi pihak pelaksana dalam mensosialisasikan pencegahan

stunting sejak awal, fenomena di lapangan peneliti menemukan terdapat kader

posyandu yang minim pengetahuan dan menganggap bahwa stunting bukan

masalah krusial yang harus ditangani melainkan stunting terjadi karena faktor

keturunan atau genetik. Anggapan tersebut didukung oleh faktor langsung

perilaku masyarakat yang tidak menerapkan ASI Eksklusif dengan adanya

pemberian makanan pada awal kelahiran seperti pemberian pisang, madu, gula,

dan lainnya.

Berdasarkan penjajagan awal yang penulis lakukan, bahwa pelaksanaan

Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden


7

dinilai Kabupaten Subang belum optimal, hal tersebut dapat dilihat dari indikator

masalah sebagai berikut :

1. Komunikasi pihak pelaksana dalam upaya menurunkan angka stunting di

Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang belum optimal dilihat dari

kegiatan penyuluhan kader posyandu mengenai program stunting hanya

dilakukan 3 bulan sekali bukan 1 bulan sekali (30%).

2. Kompetensi sumberdaya pihak pelaksana dalam mensosialisasikan

program pencegahan stunting belum optimal khususnya mengenai

sosialisasi teknis akan makanan yang bergizi pada anak balita sehingga

angka stunting di Kec Pagaden paling tinggi yakni 8% atau 336 balita dari

jumlah keseluruhan balita sebanyak 4.125 di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang (Sumber :Dinkes Kab Subang 2020).

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik dan akan lebih lanjut

untuk melakukan penelitian dalam bentuk usulan penelitian dengan judul

"IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENCEGAHAN

STUNTING DI KECAMATAN PAGADEN KABUPATEN SUBANG”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan tersebut diatas,

maka dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut “Mengapa Implementasi

Kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten

Subang belum optimal.?


8

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, maka adapaun tujuan dari penelitian

adalah “Untuk mengetahui Bagaimana Implementasi Program Pencegahan

Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang “.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, umumnya bagi pengembangan Ilmu

Administrasi Publik.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi

pemikiran penelitian dan memberikan manfaat dan berguna bagi pihak yang

bersangkutan yaitu pihak Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.


9

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Administrasi Publik

Secara konseptual, administrasi publik dimaksudkan untuk lebih memahami

hubungan pemerintah dengan publik serta meningkatkan responsibilitas kebijakan

terhadap berbagai kebutuhan publik, dan juga melembagakan praktik-praktik

manajerial agar terbiasa melaksanakan suatu kegiatan dengan efektif, efisien dan

rasional dalam Pasolong (2017:1).

Menurut Henry dalam Pasolong (2017:9) Definisi administrasi publik

adalah;

“Suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan praktik dengan tujuan
mempromosi pemahaman terhadap pemerintah dalam hubungannya dengan
masyarakat yang diperintah, dan juga mendorong kebijakan publik agar
lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Administrasi publik berusaha
melembagakan praktik-praktik manajemen agar sesuai dengan nilai
efektivitas, efisiensi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara lebih
baik”.

Adapun pendapat lain dari Nigro dalam Pasolong(2017:14) mengemukakan

bahwa definisi administrasi publik adalah:

“Administrasi Publik adalah suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan


publik, yang mencakup dalam tiga cabang yaitu lembaga yudikatif,
legislatif dan eksekutif yang bekerjasama dalam upaya menciptakan
kesejahteraan.publik”

9
10

Adapun menurut Chandler dalam Pasolong(2017:25) Administrasi Publik

dapat diartikan sebagai berikut :

“Administrasi Publik adalah proses dimana sumber daya dan personel


publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan,
mengimplementasikan, dan mengelola keputusan-keputusan dalam
kebijakan publik.”
Selanjutnya Dimock dalam Pasolong (2017:14) juga menjelaskan:

“Administrasi Publik adalah sebagai manajemen yang dilakukan dalam


sebuah organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai
tujuan pemerintah. Tujuan pemerintah ini di dapatkan dari sistem kapanye
pada tehap sebelumnya. Selengkapnya, baca; Program Pemerintah dalam
Memperbaiki Kualitas Pendidikan”
Adapun pendapat lain dari Nigro dalam Pasolong(2017:14) mengemukakan

bahwa karakteristik administrasi publik diantaranya:

1. Upaya berbagai kelompok yang kooperatif di seting publik.

2. Mencakup tiga lembaga negara- eksekutif, legislatif, yudikatif- yang

semuanya saling terhubung.

3. Berperan penting dalam perumusan kebijakan publik dan karenanya

menjadi bagian dari proses politik.

4. Berbeda secara signifikan di hal-hal tertentu dari administrasi swasta.

5. Berkaitan erat dengan kelompok-kelompok swasta dan individu-individu

terkait penyediaan jasa dan layanan bagi komunitas.

Salah satu ahli Henry dalam Pasolong (2017:22) mengemukakan ruang

lingkup administrasi publik yang dapat dilihat dari topik-topik yang dibahas selain

perkembangan ilmu administrasi itu sendiri, antara lain :


11

1. Organisasi publik, pada prinsipnya berkenaan dengan model-model organisasi

dan perilaku birokrasi.

2. Manajemen publik, yaitu berkenaan dengan sistem dan ilmu manajemen,

evaluasi program, dan produktivitas, anggaran publik dan manajemen sumber

daya manusia.

3. Implementasi, yaitu menyangkut pendekatan terhadap kebijakan publik dan

implementasinya, privatisasi, administrasi antar pemerintahan dan etika

birokrasi.

Berdasarkan perihal diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa administrasi

publik adalah kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga

dalam melaksanakan tugas atau kegiatan pemerintah yang dikeluarkan oleh badan

legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam memenuhi kebutuhan publik secara

efisien dan efektif.

2.1.2 Konsep Kebijakan Publik

Pada dasarnya kebijakan tata negara yang dirumuskan oleh pemerintah

dimuat dalam bentuk undang-undang dan pada dasarnya dibuat untuk melakukan

perbaikan keadaan dalam masyarakat. Istilah kebijakan publik menurut Dye

dalam Winarno (2016:19) menyebutkan bahwa Kebijakan publik adalah apapun

yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun

batasan yang diberikan oleh Dye ini dianggap agak tepat, namun batasan ini tidak

cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa yang putuskan oleh pemerintah

untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah.


12

Berdasarkan pendapat diatas penulis dapat menganalisis bahwa kebijakan

publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap masyarakat untuk

membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke

dalam pola ketergantungan.

Menurut Carl J Frierich dalam Winarno (2016: 20) mengatakan bahwa :

“Kebijakan publik adalah suatu tindakan yang diusulkan oleh seseorang,


kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan
yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai
suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu
yang telah disusun secara rapih”.

Berdasarkan pendapat diatas penulis menganalisis bahwa kebijakan publik

memiliki kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya.

Kebijakan publik tidak bersifat spesifik dan sempit tetapi luas dan strategis, oleh

karena itu berfungsi sebagai pedoman umum untuk keputusan-keputusan khusus

dibawahnya.

Menurut Willy N. Dunn dalam Syafiie (2006:106) mengatakan bahwa:

“Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling


berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada
bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertanahan
keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat,
kriminalis, perkotaan dan lain-lain”

Menurut W.I Jenkins yang dikutip oleh Wahab bukunya Analisis Kebijakan

Publik (2012:15) merumuskan kebijakan publik sebagai berikut :

“Kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan


yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan
dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya
dalam suatu situasi, keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada
dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut”.

Nasucha (2004:37) mengemukakan definisi kebijakan publik yakni :


13

“Kebijakan publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu


kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan
tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat yang
akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial
yang harmonis “

Definisi kebijakan publik diatas dapat dikatakan bahwa : (1) kebijakan

publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, (2)

kebijakan publik harus berorientasi kepada kepentingan publik, dan (3) kebijakan

publik adalah tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak

dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik.

Jadi idealnya suatu kebijakan publik adalah (1) kebijakan publik untuk

dilaksanakan dalam bentuk riil bukan untuk sekedar dinyatakan, (2) kebijakan

publik untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan karena didasarkan pada

kepentingan publik itu sendiri.

Menurut Pasolong (2017:48) jenis-jenis kebijakan publik dapat telusuri

melalui undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan pasal 7 menjelaskan jenis dan hirarki peraturan-perundangan

sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,


2. Undang-undang/Peraturan,
3. Peraturan Pemerintah ,
4. Peraturan Presiden,
5. Peraturan Daerah .

Sedangkan menurut Nugroho dalam Pasolong (2017:48) kebijakan publik

dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Kebijakan yang bersifat makro, yaitu kebijakan atau peraturan yang bersifat
umum.
14

2. Kebijakan yang bersifat meso, yaitu kebijakan yang bersifat menengah atau
memperjelas pelaksanaan, seperti kebijakan Menteri, Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati dan Peraturan Wali Kota.
3. Kebijakan yang bersifat mikro, yaitu kebijakan yang bersifat mengatur
pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya, seperti kebijakan
yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati
dan Wali Kota.

Pasolong mengemukakan (2017:49) proses perumusan kebijakan publik

yaitu dimulai dari analisis kebijakan, pengesahan kebijakan, implementasi

kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Berikut penjelasannya :

1. Analisis kebijakan

Nugroho dalam Pasolong (2017:50), mengatakan bahwa analisis kebijakan

pemahaman akan suatu kebijakan atau pula pengkajian untuk merumuskan suatu

kebijakan.

2. Pengesahan kebijakan

Proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan

secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang

diterima.

3. Implementasi kebijakan

Wijaya dan Supardo dalam Pasolong (2017:67), mengatakan bahwa

implementasi adalah proses mentransformasikan suatu rencana ke dalam praktik.

4. Evaluasi kebijakan

Evaluasi digunakan untuk mempelajari tentang hasil yang diperoleh dalam

suatu program untuk dikaitkan dalam pelaksanaannya, mengendalikan tingkah

laku dari orang-orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program, dan


15

mempengaruhi respon dari mereka yang berada diluar lingkungan politik. Rossi &

Freeman dalam Pasolong (2017:70).

2.1.3 Konsep Implementasi Kebijakan

2.1.3.1 Pengertian Implementasi

Kata implementasi berasal dari kata Bahasa Inggris yaitu to implement, yang

artinya mengimplementasikan atau juga implementasi diartikan sebagai

pelaksanaan atau penerapan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk

melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.

Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat

berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan

yang dibuat oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Menurut Ripley dan Franklin dalam Winarno (2016:134) berpendapat

bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan

yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu

jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjukan

pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan

program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

Implementasi mencakup banyak macam kegiatan, pertama bertanggung jawab

dalam menjalankan program. Kedua, badan-badan pelaksana mengembankan

bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana-

rencana dan desain program. Ketiga, badan-badan pelaksana harus

mengorganisasikan kegiatan-kegiatan dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan

rutinitas untuk mengatasi beban kerja.


16

Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa

mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan

dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif

tetapi gagal memperoleh substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik.

Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil merupakan kondisi yang

diperlukan sekaligus tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir yang positif. Hal ini

sangat berpengaruh pada pencapaian suatu kebijakan dalam memecahkan

persoalan publik.

2.1.3.2 Pengertian Kebijakan

Kebijakan Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris

“policy”. Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan

senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati

berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksaan berasal dari kata “wisdom”. Peneliti

berpandangan bahwa istilah kebijakan berbeda dengan istilah kebijaksanaan. Hal

ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengertian kebijaksanaan memerlukan

pertimbangan-pertimbangan yang lebih lanjut, sedangkan kebijakan mencakup

peraturan-peraturan yang ada didalamnya termasuk konteks politik. Menurut

Nugroho (2008) dalam Rusli (2013:32) berpendapat bahwa beberapa ilmuwan di

Indonesia menggunakan istilah kebijaksanaan sebagai ganti policy.

Sesungguhnya, kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena kebijaksanaan adalah

salah satu dari ciri kebijakan publik.


17

Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan

pada umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seorang kelompok atau

pemerintah, kebijakan mempunyai hambatan dalam mewujudkan tujuan yang

diinginkan. Akan tetapi kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan

praktik sosial yang ada dimasyarakat. Apabila kebijakan bertentangan dengan

nilai-nilai yang ada dimasyarakat, maka kebijakan harus mampu

mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik yang hidup dan berkembang di

masyarakat.

2.1.3.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya. Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan suatu

kebijakan ada dua pilihan, yakni langsung mengimplementasikannya dalam

bentuk program atau melalui formulasi kebijakan turunan.

Menurut Van Meter and Van Horn dalam Winarno (2016:135) menyatakan

bahwa Implementasi kebijakan meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan baik

oleh individu atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan

sebelumnya”.

Berdasarkan pendapat diatas penulis dapat menganalisis bahwa

implementasi kebijakan merupakan tahapan lanjut dari formulasi kebijakan.Pada

tahapformulasiditerapkan strategidantujuan-tujuan kebijakan.

Sedangkantindakan(action) untuk mencapaitujuandiselenggarakan pada tahap


18

implementasi kebijakan, implementasiadalah suatuproses interaksi

antarasuatuperangkattujuan dantindakan yang mampuuntukmencapainya.

Nugroho (2008:429) mengemukakanbahwa implementasi

kebijakanpadaprinsipnyaadalahcara agar sebuah kebijakandapat mencapai

tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan

publikadaduapilihanlangkahyang ada, yaitulangsung mengimplementasikan

dalam bentukprogramatau melalui formulasikebijakandereviat atauturunan dari

kebijakan publik tersebut.

Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk

undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-

keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan pengadilan. Lazimnya

keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutnya

secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk

menstruktur atau mengatur proses implementasinya.

Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada

realisasi program. Dalam hal ini administrator mengatur cara untuk

mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah

diseleksi. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah persiapan implementasi,

yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai kemungkinan

keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-peluang yang ada

dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas melaksanakan program.

Dapat diketahui, makna dasar yang terkandung dalam kata implementasi

kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: Rusli (2013:91)


19

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan


2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan
3. Adanya hasil kegiatan

Berdasarkan pendapat para ahli diatas tentang implementasi kebijakan maka

penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan sebagai serangkaian

tindakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya

tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan berjalan tidak selalu mulus,

banyak faktor yang mempengaruhi disekelilingnya yang turut mempengaruhi

suatu implementasi kebijakan. Disamping itu bahwa implementasi kebijakan

merupakan suatu hal yang sangatpenting,bahkanlebihpentingdari

pembuatankeputusan. Olehkarena itu, implementasikebijakan merupakan

tahapanyang strategisdanmenentukan terhadap pencapaian suatu tujuan yang

telah ditetapkan dalamtahap formulasi sebuah kebijakan.

2.1.4 Model Implementasi Kebijakan Publik

Melihat dari beberapa definisi yang dikemukakan sebelumnya terungkap

makna bahwa implementasi kebijakan publik adalah sesuatu yang kompleks, yang

melibatkan berbagai bentuk kegiatan, berbagai pihak, terkait dengan lingkungan

atau konteks dimana kebijakan itu hendak diterapkan untuk mencapai tujuannya.

Rusli (2013:91-92).

Diantaranya sejumlah model yang digunakan untuk melihat bagaimana

faktor-faktor mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, maka beberapa diantaranya

akan diuraikan. Parsons dalam Rusli (20013:94) :

1. Model Top down (implementasi sistem rasional)


20

Model ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang

melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam

sebuah sistem.

2. Model Bottom up

Model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan

konsensus. Model ini juga menekankan pada fakta bahwa implementasi

dilapangan memberikan keleluasan dalam penerapan kebijakan.

Sedangkan Agustino (2017:130-131) mengatakan bahwa perkembangan

studi implementasi kebijakan telah memasuki generasi ketiga, dimana generasi

pertama memperkenalkan pendekatan top-down. Pendekatan ini mengasumsikan

bahwa implementasi kebijakan dimulai dengan keputusan yang dibuat oleh

pemerintah, sehingga pelaksanaannya pun bersifat tersentralisasi. Atau dalam kata

lain, pendekatan top-down bertitik-tolak dari perspektif bahwa keputusan-

keputusan atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh aktor pembuat kebijakan

harus dilaksanakan oleh aparatur, administratur, atau birokrat di semua tingkatan-

terutama pada tingkat bawah. Maka tidak heran apabila Letser dan stewart Jr.

(2000:108) menamakan pendekatan ini dengan istilah the command and control

approach (pendekatan kontrol dan komando). Dimana inti pendekatan ini adalah

hendak menjelaskan sejauh mana tindakan para pelaksana melaksanakan konten

kebijakan sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan dalam

kebijakan atau oleh aktor kebijakan di tingkat pusat.

Generasi kedua perkembangan teori implementasi kebijakan

memperkenalkan pendekatan bottom-up atau dalam istilah Letser dan Stewart Jr.
21

(2000:108) dinamakan the market approach (pendekatan pasar) sebagai respon

atas pendekatan top-down. Para penggagas pendekatan ini menolak gagasan

bahwa kebijakan ditentukan di tingkat pusat dan pelaksana harus tetap berpegang

pada tujuan ini seketat mungkin. Mereka berpendapat bahwa untuk menyelesaikan

masalah publik sebaiknya dimulai dari ‘bawah’ yang mengenal dan memahami

konteks masalah yang dirasakan oleh mereka.

Dan generasi ketiga memperkenalkan pendekatan hibrid atau pendekatan

campuran (antara pendekatan top-down dengan pendekatan buttom-up).

Pendekatan ini awalnya dikembangkan oleh Richard Elmore (dlm. Pulzl & Treib

2007) seorang simpatisan pendekatan top-down yang merasa gundah dengan

kelemahan dua pendekatan yang ada. Oleh sebab itu, ia menggabungkan forward-

mapping dengan backward-mapping yang intinya adalah para pembuat kebijakan

harus mulai mempertimbangkan instrumen kebijakan dan sumber daya yang

tersedia untuk perubahan kebijakan (forward-mapping) dan juga harus

mengetahui struktur insentif pelaksana dan kelompok sasaran (backward-

mapping).

Jika dikaitkan dengan bermacam-macam kasus dan konteks kebijakan, maka

diantara semua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan jika digunakan

sebagai acuan untuk melihat bagaimana kebijakan publik itu dilaksanakan dalam

mencapai tujuannya.
22

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses Implementasi

Kebijakan

George C. Edward III merupakan salah satu ahli yang mengemukakan

model-model implementasi. Implementasi kebijakan menurut Edward merupakan

kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi

keberhasilan suatu kebijakan publiknya yang diberi nama Direct and Indirect

impact on Implementation ia menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan atau implementasi kebijakan publik. Diantara faktor-faktor tersebut

secara simultan bekerja dan berinteraksi yang pada gilirannya berpengaruh secara

langsung atau tidak langsung terhadap keberhasilan implementasi kebijakan

publik Rusli (2013:100-104).

Gambar 2.1
Model Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward

Komunikasi

Sumber Daya

Implementasi
Disposisi

Struktur
Sumber :Budiman Rusli,2013:100

Menurut Edward III dalam implementasi kebijakan publik ada empat

faktor/variabel yang mempengaruhi proses keberhasilan dalam sebuah kebijakan,

yaitu :
23

2.1.5.1 Komunikasi

Implementasi agar efektif, maka semua pihak yang bertanggung jawab

dalam pelaksanaan suatu kebijakan harus mengetahui apa yang seharusnya

dilakukan. Perintah-perintah untuk melaksanakan kebijakan harus diberikan pada

personil yang tepat dan mereka harus mengkomunikasikannya dengan jelas,

akurat dan konsisten agar tidak menimbulkan salah pengertian. Ada tiga hal yang

menyangkut dalam proses komunikasi kebijakan adalah :

2.1.5.1.1 Transmisi

Sebelum pemerintah mengimplementasikan suatu keputusan, pembuat

kebijakan diharapkan sadar akan keputusan yang telah dibuat dan telah

mengeluarkan surat perintah untuk pelaksanaannya. Pertentangan pendapat antara

para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan pun

menjadi salah satunya. Adanya hirarki birokrasi membuat tingkat efektifitas

komunikasi kebijakan yang dijalankan juga sedikit mengalami hambatan,

dikarenakan adanya hambatan dalam komunikasi mengakibatkan para pelaksana

kebijakan mengabaikan persyaratan suatu kebijakan. Adapun pola komunikasi

menurut Hadayaningrat (2012:66) Transmisi komunikasi dibagi menjadi 2

diantaranya:

A. Pendekatan Top-down

Adapun ciri-ciri komunikasi bersifat Top-down adalah:

 Keputusan dapat dibuat dan diimplementasikan dengan sangat cepat.

 Cocok untuk waktu yang terbatas.


24

 Dapat menyelaraskan tujuan proyek dengan tujuan strategis organisasi karena

pemerintah yang memberikan arahan.

B. Pendekatan Bottom-up

Adapun ciri-ciri komunikasi bersifat Bottom-up adalah:

 Masyarakat memiliki suara dalam perencanaan kebijakan dan keputusan

dibuat secara kolaboratif.

 Kebijakan akan lebih tepat sasaran karena berasal dari suara masyarakat.

2.1.5.1.2 Kejelasan

Kejelasan informasi yang disampaikan akan meminimalisir kemungkinan

terjadinya distorsi atau penyimpangan informasi dari apa yang seharusnya atau

dikehendaki oleh pemberi informasi. Melalui informasi dan proses komunikasi

yang jelas diharapkan tidak muncul misinterprestasi, sehingga proses

implementasi kebijakan bisa lebih mudah dilaksanakan dalam mencapai

tujuannya. Adapun Kejelasan Komunikasi menurut Pasolong Harbani (2012:36)

diantaranya meliputi:

1. Karakteristik Organisasi

Hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan sumber daya manusia

yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan

manusia dalam rangka menciptkan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia

ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan

menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas.
25

2. Karakteristik Lingkungan

Mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan ekstern yaitu

lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap

organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan.

Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu

lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi.

4. Karakteristik Manajemen

Merupakan strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk

mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas tercapai.

Kebijakan dan praktik manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk

mengarahkan setiap kegiaan guna mencapai tujuan organisasi.

2.1.5.1.3 Konsistensi

Jika implemnetasi kebijakan ingin berlangsung secara efektif, maka

perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Dari beberapa faktor

yang menghasilkan komunikasi yang tidak jelas juga menyebabkan komunikasi

yang tidak konsisten, yaitu :

1. Kompleksitas kebijakan publik,


3 Kesulitan-kesulitan untuk memulai program baru,
4 Banyaknya tujuan dari berbagai kebijakan (Multiple objectives of many
policies).

Dwiyanto (2006;50-51) mengemukakan bahwa konsistensi komunikasi dapat

dilihat daria aspek Terget dan hasil dari pelaksanaan suatu kegiatan, lebih jelasnya

sebagai berikut:
26

A. Target Pelaksanaan

Dapat diartikan sebagai sikap antusiasme para pegawai dalam

melaksanakan tugasnya. Sikap mental ini dapat dilihat dari komitmen dan

kemauan tinggi para pegawai dalam melaksanakan tugasnya.Tepat atau tidaknya

suatu sasaran kegiatan maupun program sangat tergantung pada proses

pelaksanaan kegiatan tersebut dan hasil yang di harapkan dari program yang telah

ditentukan. Menurut Sutrisno (2010: 125-126) berkenaan dengan bagaiman

keseuaian perencanaan yang di rancang oleh pengelola kepada kelompok sasaran.

B. Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan berkaitan dengan waktu yang tepat untuk

menyelesaikan pekerjaan dalam suatu proses pencapaian target merupakan hal

yang penting dalam proses meningkatkan kinerja organisasi, karena dengan

menyelesaikan dengan tepat waktu maka tidak akan membuat sesuatu tertunda

berlarut-larut. Tetapi tidak semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat

waktu.

2.1.5.2 Sumber daya

Ketersediaan sumber-sumber yang memadai sangat penting dalam rangka

mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Sumber yang penting meliputi

jumlah staff yang memadai dengan pengalaman yang cukup, memiliki informasi

yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan, kewenangan dan

fasilitas-fasilitas. Sumber daya tersebut meliputi :


27

2.1.5.2.1 Sumberdaya Manusia

Diperlukannya staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk

melaksakan tugas-tugas mereka. Tingkat kualitas dari SDM tentunya menjadi

faktor penting karena merekalah yang menjadi pelaksana kebijakan. Peningkatan

kualitas SDM, motivasi dan diadakannya pelatihan bagi pelaksana kebijakan

tentunya perlu agar pelaksana kebijakan dapat melakukannya dengan benar sesuai

dengan kemampuan dan pengetahuan lebih yang mereka miliki terkait

implementasi kebijakan tersebut. Nugroho (2014:99) mengemukakan bahwa

Sumber Daya Manusia dapat dilihat dari aspek Kompetensi, Jenjang Pendidikan

dan aspek Keterampilan, lebih jelasnya sebagai berikut:

1. Kompetensi

Kompetensi adalah terminology yang sering didengar dan di ucapkan

banyak orang. Kita pun sering mendengar dan mengucapkan terminology itu

dalam berbagai penggunaan, khususnya terkait dengan pengembangan sumber

daya manusia maupun kualitas kerja pegawai. Menurut Amstrong dalam

Sedarmayanti (2011:346): "Kompetensi adalah dimensi tindakan dari tugas,

dimana tindakan dipakai oleh pegawai untuk menyelesaikan tugas pekerjaan

mereka dengan memuaskan dan apa yang diberikan karyawan dalam bentuk yang

berbeda dan tingkatan kinerjanya”.

2. Jenjang Pendidikan

Jenjang atau Tingkat pendidikan dari SDM tentunya menjadi faktor

penting suatu kebijkan dikeluarkan, karena merekalah yang menjadi pelaksana

kebijakan. Peningkatan kualitas SDM, motivasi dan diadakannya pelatihan bagi


28

pelaksana kebijakan tentunya perlu agar pelaksana kebijakan dapat melakukannya

dengan benar sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan lebih yang mereka

miliki.

3. Keterampilan

Menurut Spencer (Moeheriono, 2010:2) Keterampilan adalah karakteristik

yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam

pekerjaannya atau karakteristik dasar individu yang memiliki huhungan kausal

atau sebagai sebab akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau

berkinerja prima atau superior di tempat kerja pada situasi tertentu. Mathis dan

Jackson (2001:83) menjelaskan bahwa Keterampilan adalah kemampuan alami

yang melibatkan bakat dan minat yang tepat untuk pekerjaan yang diberikan.

2.1.5.2.2 Sumberdaya Pendukung

Terdapat dua bentuk informasi, pertama adalah informasi mengenai

bagaimana melaksanakan suatu kebijakan, kedua adalah data tentang ketaatan

personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Kurangnya

pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan kebijakan mempunyai

beberapa konsekuensi secara langsung, yang pertama adalah beberapa

tanggungjawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi tepat pada

waktunya dan yang kedua adalah ketidakefisienan. Nugroho (2014:110)

mengemukakan bahwa Sumber Daya Pendukung dapat dilihat dari aspek Sarana

dan Prasarana dan Fasilitas, lebih jelasnya sebagai berikut:


29

1. Sarana dan Prasarana

Yaitu merupakan perlengkapan yang disediakan oleh lembaga public

untuk menunjang proses kerja. Untuk mendapatkan kinerja yang baik dari

karyawannya, maka sebuah lembaga publik harus mempunyai sarana dan

prasarana yang memadai dan peralatan dan teknologi yang mendukung pegawai

tersebut telah bekerja keras.

2. Fasilitas

Fsilitas fisik menjadi salah satu sumber penting dalam implementasi.

Seorang pelaksana memiliki staf yang memadai, memahami apa yang harus

dilakukan, mempunyai informasi-informasi, bahkan mempunyai wewenang untuk

melakukan tugasnya, tapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan

koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan

implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.

2.1.2.1 Disposisi

Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap

kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu

implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana

terhadap kebijakan. Para pelaksana mungkin gagal dalam melaksanakan

kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang

terkandung dalam kebijakan-kebijakan tersebut.


30

Menurut Edward III, ada beberapa alasan mengapa tujuan-tujuan suatu

kebijakan ditolak oleh orang-orang yang bertanggung jawab terhadap

implementasi kebijakan tersebut, yakni: tujuan-tujuan kebijakan yang telah

ditetapkan sebelumnya mungkin bertentangan dengan sistem nilai pribadi-pribadi

para pelaksana, kesetiaan-kesetiaan ekstra organisasi, perasaan akan kepentingan

diri sendiri, atau karena hubungan-hubungan yang ada dan yang lebih disenangi.

Para pelaksana yang mempunyai pilihan-pilihan negatif mungkin secara terbuka

akan menimbulkan sikap menentang tujuan-tujuan program. bila hal ini terjadi,

maka persoalan implementasi akan mengundang perdebatan – bawahan mungkin

menolak untuk berperan serta dalam program tersebut sama sekali. Dalam

keadaan seperti ini, Van Meter dan Van Horn menyarankan agar orang melihat

kepada peran pengawasan dan pelaksana untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan

keefektifan implementasi.

2.1.2.1.1 Koordinasi Antarorganisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan

Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan

dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja

kebijakan. Dengan demikian, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar

kepada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implementasi, ketepatan

komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari

ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber

informasi. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan

suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pean-pesan ke bawah

dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para
31

komunikator dapat menyampaikannya atau menyebarluaskannya, baik secara

sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang

berbeda memberikan interprestasi-interprestasi yang tidak konsisten terhadap

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama

memberikan interprestasi-interprestasi yang bertentangan, para pelaksana akan

menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud

kebijakan, oleh karena itu, menurut Van Meter dan Van Horn, prospek-prospek

tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan

tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam

mengomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan tersebut.

1. Koordinasi SecaraTidak Langsung

Koordinasi tidak langsung dapat diartikan sebuah dimana suatu kondisi

mengenai apa yang akan disposisikan bersifat secara tidak secara langsung dan

berupa lembaran disposisi itu sendiri, bisa berupa surat maupun lainya.

Koordinasi secara tidak langsung dapat dikategorikan sebagai pesan singkat

maupun aduan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Koordinasi Secara Langsung

Koordinasi secara langsung dalam konteks faktor pendukung kebijakan

dalam pengalokasian kebijakan adalah dengan meninjau dan berkomunikasi

langsung dengan pihak stakholder yang terlibat. Koordinasi langsung berarti

melihat langsung fenomena yang ada dan isi disposisi ini berisi sifat, tujuan

maupun saran yang diterima dari pihak internal maupun eksternal.


32

2.1.2.1.2 Karakteristik Badan-badan Pelaksana

Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma

dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif

yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka

miliki dengan menjalankan kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengetengahkan

beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam

mengimplementasikan kebijakan:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusam subunit dan

proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota-anggota legislatif dan eksekutif);

d. Vitalitas suatu organisasi;

Rusli (2015:66) mengemukakan bahwa Karakteristik badan Pelaksana

dapat dilihat daria aspek Proses, aspek Sistem dan aspek Kelembagaan, lebih

jelasnya sebagai berikut:

1. Aspek Proses

Aspek ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi

masalah, perumusan usul, pengesahan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasinya.

Model ini akan memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan pembuatan

kebijakan pemerintah (public policy).


33

2. Aspek Sistem

Model ini beranjak dari memperlihatkan desakan-desakan lingkungan,

antara lain berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan, gangguan,

pujian, kebutuhan atau keperluana, dan lain-lain yang mempengaruhi pubic

policy. Setelah diproses, akan ada jawaban. Desakan lingkungan dianggap sebagai

masukan (input), sedangkan jawabannya dianggap keluaran (output) yang berisi

keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, dan kebijakan-

kebijakan pemerintah.

3. Aspek Kelembagaan

Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah kelembagaan

pemerintah. yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah eksekutif (presiden,

menteri-menteri dan departemennya), lembaga legislatif (parlemen), lembaga

yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain. Dalam model ini public policy

dikuasai oleh lembaga-lembaga tersebut, dan sudang barang tentu lembaga

tersebut adalah satu-satunya yang dapat memaksa serta melibatkan semua pihak.

Perubahan dalam kelembagaan pemerintah tidak berarti perubahan kebijaksanaan.

3.1.2.1 Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implemntasi kebijakan. Salah satu

aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adanya prosedur operasi

yang standar (SOP). Standar operasional ini menjadi pedoman bagi setiap

implementor dalam bertindak.


34

Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma

dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif

yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka

miliki dengan menjalankan kebijakan. Edward III mengetengahkan beberapa

unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam

mengimplementasikan kebijakan:

e. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

f. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusam subunit dan

proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

g. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota-anggota legislatif dan eksekutif);

h. Vitalitas suatu organisasi;

i. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai

jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat

kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-

individu di luar organisasi;

j. Kaitan formal dan infornal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan”

atau “pelaksana keputusan”.

4. Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

2.1.5.4.1 Standar Operasional Prosedur

Struktur organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan memiliki

pengaruh penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek structural paling

dasar dari suatu organisasi adalah SOP. Dengan menggunakan SOP para
35

pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga

menyamakan tindaka-tindakan dari para pembuat kebijakan dalam organisasi-

organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat

menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan

peraturan-peraturan. Adapun SOP dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Standar Waktu

Standar waktu mempunyai arti penting karena menentukan standar yang

ditentukan dalam sesuatu hal. Standar merupakan suatu ukuran apakah sesuatu

yang diiinginkan dapat dicapai. Tanpa standar, tidak diketahui kapan sesuatu

tersebut tercapai.

Dengan menggunakan Standar waktu para pelaksana dapat memanfaatkan

waktu yang tersedia. Selain itu, Standar waktu juga menyamakan tindakan-

tindakan dari para pembuat pihak pelaksana dalam organisasi-organisasi yang

kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas

yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan.

B. Tahapan

Program yang dibuat oleh pemerintah benar-benar harus memuaskan

seluruh komponen masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan agar masyarakat

dapat menikmati keberhasilan program yang sedang bergulir.

Sebagai sistem, suatu organisasi menerima input dari lingkungannya,

kemudian memprosesnya, dan selanjutnya memberikan outut kepada

ingkungannya. Tanpa adanya input dari lingkungannya, suatu organisasi akan


36

mati. Demikian juga, tidak memberikan output kepada lingkungannya, suatu

organisasi akan mati. Jadi efektivitas tidak hanya dilihat dari segi tujuan semata-

mata, melainkan juga dari segi sistem. Ketiga, ialah perilaku manusia dalam

organisasi. Ancangan ini digunakan karena atas dasar realitanya bahwa tiap-tiap

organisasi dalam mencapai tujuannya selalu menggunakan perilaku manusia

sebagai alatnya. Justru karena faktor-faktor manusianya itulah suatu organisasi

dapat efektif, tetapi juga faktor manusianyalah organisasi tidak efektif.

2.1.5.4.2 Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan

kebijakan adalah fragmentasi oganisasi. Tanggungjawab bagi suatu bidang

kebijakan sering tersebar diantar beberapa organisasi dan tahapan, seringkali pula

terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai

tujuan-tujuan kebijakan.

Dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik pada kebijakan publik

merupakan pusat perhatian yang besar selama dasawarsa yang lalu. Menurut

Edward III, faktor-faktor ini mempunyai efek yang mendalam terhadap

pencapaian badan-badan pelaksana.Menurut Winarno (2002:99) Fragmentasi

kebijakan dilihat dari aspek:

1. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik

Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik meruapakan variabel selanjutnya

yang harus diindentifikasikan oleh Van Metter dan Van Horn. Kondisi-kondisi

ekonomi, sosial dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatikan
37

yang besar selama dasawarsa yang lalu para peminat perbandingan politik dan

kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh

variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari

faktor-faktor ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat

perhatian yang kecil, namun ada faktor-faktor yang mempunyai efek mendalam

terhadap badan pelaksana.

2.1.6 Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau

tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur

dengan panjang dan tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi

median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting merupakan masalah

gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi,

gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.

Balita stunting di masa mendatang akan mengalami kesulitan dalam mencapai

perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).

Schmidt 2014 dalam Fikawati (2017) mengatakan bahwa stunting juga

didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar median kurva

pertumbuhan anak WHO (WHO, 2010). Stunting merupakan kondisi kronis

buruknya pertumbuhan linear seorang anak yang merupakan akumulasi dampak

berbagai faktor seperti buruknya gizi dan kesehatan sebelum dan setelah kelahiran

anak tersebut. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Schmidt (2014) yang

menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari kurang gizi yang terjadi
38

dalam periode waktu yang lama yang pada akhirnya menyebabkan penghambatan

pertumbuhan linear.

2.1.7 Upaya Pencegahan Stunting

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals

(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu

menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta

mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka

stunting hingga 40% pada tahun 2025.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai

salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan

Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurukan prevalensi stunting

diantaranya sebagai berikut :

1. Ibu Hamil dan Bersalin

1. Intervensi pada 1000 HPK;

2. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care(ANC) terpadu;

3. Meningkatnya persalinan di fasilitas kesehatan;

4. Menyelenggarakan program pemberian makanantinggi, kalori, protein dan

mikronutrien (TKPM)

2.Balita

1. Pemantauan pertumbuhan balita

2. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk

balita;
39

3. Menyelenggarakan stimulus dini perkembangan anak; dan

4. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3.Anak Usia Sekolah

1. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

2. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;

3. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan

4. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.

4.Remaja

1. Penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi

seimbang, tidak merokok, dan mengkonsumsi narkoba; dan

2. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5.Meningkatkan Dewasa Muda

1. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencara (KB);

2. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan

3. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak

merokok/mengonsumsi narkoba (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurukan prevalensi

stunting merupakan tujuan pemerintah Republik Indonesia khususnya di

Kabupaten Subang, adapun upaya yang dilakukan yakni dengan membagikan

klasifikasi khusus bagi pola hidup sehat yang dijalankan oleh masyarakat terutama

oleh para ibu melahirkan dan lingkungan sekitarnya.


40

2.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penjajagan yang peneliti lakukan, Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang mempunyai masalah dalam pelaksanaan Implementasi

Program Pencegahan Stunting yang belum optimal, adapun masalah yang telah

dipaparkan diuraian sebelumnya. Dalam upaya untuk menjawab rumusan masalah

dalam peneliti, penulis mengambil teori dari model implementasi kebijakan

George Edward III(65:2012). Teori ini disebut diambil karena peneliti melihat

indikator masalah-masalah yang ada dalam pelaksanan Implementasi

Implementasi Program Pencegahan Stunting relavan dengan teori tersebut.

Merujuk model implemtasi kebijakan menurut George C. Edward

III(65:2012) yang penulis gunakan, terdapat empat faktor yang mempengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan, yakni : Komunikasi, Sumber Daya,

Disposisi dan Struktur Birokrasi.

Mengacu pada pendapat yang dikemukakan di atas, maka penulis

menggambarkan kerangka pemikiran penelitian untuk memudahkan pemecahan

masalah seperti gambar dibawah ini :

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran

Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden


Kabupaten Subang belum optimal

Empat Variabael Implementasimenurut pendapat Edward III


(65:2012)
Komunikasi
Sumber daya
Disposisi pelaksana
Struktur birokrasi
Edward III (dalam Agustino,2012)
jj
Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan
Pagaden Kabupaten Subang optimal
41

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas penulis merumuskan hipotesis

sebagai berikut “Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di

Kecamatan Pagaden Kabupaten Subangakan optimal apabila memperhatikan

aspekkomunikasi, sumber daya, disposisi pelaksana dan struktur birokrasi.


42

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif, Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi

suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut

mementingkan proses dibandingkan dengan hasil akhir. Oleh karena itu, urutan-

urutan kegiatan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada kondisi dan

banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan

individu secara holistik (utuh).

Woody dalam Nazir (2011:13) penelitian merupakan sebuah metode untuk

mengungkapkan sebuah kebenaran yang juga merupakan sebuah pemikiran kritis

(critical thinking). Penelitian meliputi pemberian definisi dan redefinisi terhadap

masalah, memformulasikan hipotesis atau jawaban sementara, membuat

kesimpulan dan sekurang-kurangnya mengadakan pengujian yang hati-hati atas

semua kesimpulan untuk menentukan apakah ia cocok dengan hipotesis.

Menurut Wiliams dalam Moleong (2007:5) menulis bahwa penelitian

kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan

menggunakan metode alamiah, yang dilakukan oleh orang atau peneliti yang

tertarik secara alamiah.

42
43

Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan

metode inquiry, bahwa studi kasus sebuah eksplorasi dari suatu sistem yang

terikat atau suatu kasus/beragam kasus yang dari waktu ke waktu melalui

pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi

yang kaya dalam suatu konteks. Sistem terikat ini diikat oleh waktu dan tempat

sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu program, peristiwa, aktivitas atau suatu

individu dan organisasi. Dengan perkataan lain, studi kasus merupakan penelitian

dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan

kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok sosial) serta

mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan

berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu dalam melakukan

penelitian terhadap Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di

Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang yang ditentukan oleh faktorkomunikasi,

sumber daya, disposisi pelaksana dan struktur birokrasi.

3.2 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian kualitatif berkembang terus (snowball) secara

bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan.

Mengingat fokus penelitian Implementasi Kebijakan Program Pencegahan

Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang yang terpenting adalah

bagaimana penentuan informan (key informan). Adapun rincian informasi yang di

jadikan key informan dalam penelitian ini adalah yang terkait dan terlihat
44

langsung dalam Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Stunting di

Kecamatan Pagaden Kabupaten Subangialah :

1. Camat Pagaden. Alasan informan ini dipilih karena merupakan key informan

yang dapat memberikan informasi mengenai data maupun fakta mengenai

implementasi kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang.

2. Kepala Puskesmas Pagaden Alasan informan ini dipilih karena pihak

Puskesmas dapat memberikan informasi yang jelas mengenai kegiatan

program kesehatan khusunya program pencegahan stunting yang ada di

kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.

3. Bagian Pelaksana Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden.

Informan ini ipilih karena untuk mengetahui langsung Pelaksanaan program

pencegahan stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.

4. Ibu / Masyarakat yang memiliki balita stunting di Kecamatan Pagaden

kabupaten Subang, karena untuk mengetahui langsungdampak dan hasil apa

yang di dapat dariprogram pencegahan stunting di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang.

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrument penelitian yang digunakan ialah peneliti itu

sendiri, kedudukan peneliti, dalam penelitian kualitatif adalah sebagai perencana,

pelaksana pengumpulan data, analis, dan pelapor hasil penelitiannya. Dalam

penelitian ini pedoman wawancara digunakan sebagai panduan yang dilakukan


45

untuk mengetahui hasil penelitian yang di butuhkan, terkait penelitian ini peneliti

terlibat langsung dengan lingkungan objek penelitian untuk mengetahui keahlian

dari initi masalah yang dijadikan suatu bahan penelitian.

Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi seberapa

jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun

kelapangan. Validasi terhadap penelitian sebagai instrumen meliputi validasi

terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap

bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik

secara akademik maupun logistiknya.

3.3.1 Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini berasal dari :

a) Wawancara

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancaratidak

terstruktur untuk memperoleh data dilapangan. Wawancara yangdilakukan yaitu

indept interview atau wawancara secara mendalamdengan sumber data atau

informan yang menguasai dan memahami datayang akan dicari oleh peneliti,

(Sugiyono:2008:73) Wawancara mendalam dimaksudkan agar peneliti dalam

mengajukan pertanyaan- pertanyaan dapat dilakukan secara bebas dan leluasa

tanpa terikat olehsuatu susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Metode

wawancaramendalam menggunakan panduan wawancara yang berisi butir-

butirpertanyaan untuk diajukan kepada informan. Ini hanya untukmemudahkan


46

dalam melakukan wawancara, penggalian data daninformasi, dan selanjutnya

tergantung improvisasi di lapangan.

Pada proses wawancara mendalam, diawali dengan pengantar.Yaitu

peneliti secara terbuka dan jujur memperkenalkan diri danmenjelaskan tujuan

dari wawancara. Selanjutnya penelitimenyampaikan pertanyaan yang bersifat

struktur dan diakhiri denganpertanyaan terbuka (wawancara tidak terstruktur).

Wawancaramendalam ini digunakan untuk mencari data yang akan

digunakandalam mencari jawaban atas perumusan masalah yaitu mengenai

implementasi kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang.

b) Observasi

Lewat observasi ini, peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak

terucapkan (tacit understanding), bagaimana teori digunakan langsung (theory-in

use), dan sudut pandang informan yang mungkin tidak tercungkil lewat

wawancara atau survey (Alwasilah, 2006:155).

Dalam penelitian ini, teknik observasi/pengamatan yang digunakan adalah

observasi partisipatif pasif dimana peneliti datang di tempat kegiatan orang yang

diamati namun tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Kaitannya dengan penelitian

ini adalah penelitian yang dilakukan antar beberapa stakeholder merupakan

penelitian yang rumit, karena dalam prosesnya akan bertemu dengan berbagai

Karakter yang berbeda-beda.


47

3.3.2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Studi literatur atau kepustakaan

Dalam studi literatur dan kepustakaan peneliti melakukan pengumpulan

data penelitian yang diperoleh dari berbagai referensi baik buku ataupun jurnal

ilmiah yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Studi Dokumentasi

Dalam studi dokumentasi ini peneliti menghimpun data penelitian yang

diperoleh dari peraturan perundang-undangan, laporan-laporan, catatan-catatan

serta menghimpun dokumen-dokumen dan menganalisisnya yang relevan dengan

masalah yang diteliti.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian yang berjudul

“Implementasi kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang” pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting,

berbagai sumber, dan berbagai cara.

Dalam pengumpulan data peneliti melakukan teknik wawancara secara

langsung dengan intansi, lembaga-lembaga swadaya dan masyarakat agar apa

yang menjadi isi dari informasi-informasi tersebut lebih akurat dan realistis,

dengan di pandu pedoman wawancara yang sudah peneliti tentukan oleh dimensi

implementasi kebijakan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden


48

Kabupaten Subang yang mencakup faktor komunikasi, sumber daya, disposisi

pelaksana dan struktur birokrasi.

Dokumentasi Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mempelajari dan mencatat bahan-bahan bacaan, makalah, jurnal, dokumen,

laporan-laporan, catatan statistik, serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan

maksud dan tujuan penelitian.

3.5 Pengujian Validitas Data

Dalam hal ini, penulis menggunakan triangulasi sumber yang berguna

membuktikan bahwa apa yang diamati seusai dengan apa yang ada dalam dunia

kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang duina kenyataan

memang benar sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Dalam Validitas data

dilakukan dengan cara triangulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data

dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan

pengecekan atau perbandingan terhadap data itu.

Menurut Denzim (1978) dalam Moleong (2014:330) ada empat macam

triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,

metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi

sumber. Triangulasi Sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

dalam penelitian kualitatif (Patton,1987 dalam Moleong,2014:330-331).

Disini peneliti menggunakan metode triamgulasi sumber data, dengan

menggunakan metode triangulasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan dan

menjamin validitas data. Berdasarkan teknik trianggulasi diatas, penelitian ini


49

menggunakan teknik trianggulasi sumber data yang dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Berikut gambar

teknik trianggulasi sumber data :

Gambar 2.1
Triangulasi Sumber Data

Pembuat Kebijakan Pelaksana Kebijakan

Penerima Kebijakan

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki

lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam penelitian

ini, peneliti menggunakan teknik analisa data model Milles dan Huberman,

dimana terdapat tiga aktivitas dalam analisis data yaitu, redukasi data(data

reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan/verifikasi

(conclusion drawing/verification).

1. Redukasi Data (Data Reduction)

Redukasi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian

pada penyederhanaan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-

catatan tertulis di lapangan. Meredukasi data berarti merangkum, memilih hal-

hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan

polanya. Data yang telah di redukasi akan memberikan gambaran yang lebih

jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data


50

selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Redukasi data membantu

memberikan kode pada aspek-aspek tertetu.

2. Penyajian data (Data Display)

Dalam sebuah penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan

dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan anat kategori, flowchart dan

sejenisnya. Namun pada penelitian ini, penyajian data yang peneliti lakukan

dalam penelitian ini adalah bentuk teks narasi, hal seperti ini yang dikatakan

oleh Miles & Huberman (2009:17) :“the most frequent form display data of

qualitative data ini the past has been narrative text” (yang paling sering

digunakan untuk penyajian data kualitatif pada masa yang lalu adalah bentuk

teks naratif).

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)

Langkah ketiga dalam tahapan analisis interaktif menurut

Miles&Huberman (2009:18-21) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi,

yaitu menyimpulkan dari temuan-temuan penelitian untuk dijadikan suatu

kesimpulan penelitian. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat

sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila

kesimpulan yang di kemukakan pada tahapan awal didukung oleh bukti-bukti

yang valid dan konsisten saat penelitian kembali ke lapangan mengumpulkan

data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang

kredibel.
51

3.7 Lokasi Penelitian

Lokasi yang dijadikan tempat penelitian oleh penulis adalah Kantor

Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, dengan alamat JL Raya Pagaden Subang

KM 8 kabupaten Subang, Jawa Barat 41252.

3.8 Jadwal Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan September 2020

sampai dengan bulan Februari 2021 Untuk menyusun lebih jelas mengenai

pelaksanaan penelitian tersebut, dapat dilihat pada Table 3.1 mengenai rencana

jadwal kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi sebagai berikut :


52

Tabel 3.1
Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian dan Penyusunan Skripsi

Tahun 2020
No Bulan September Oktober November Desember Januari Februari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
a. Penelitian
b. Konsultasi
c. Penyusunan Kerangka
Pemikiran
d. Seminar Usulan
Penelitian
2 Pelaksanaan Penelitian
a. Pengumpulan Data
b. Pengolahan Data
c. Penelitian Kepustakaan
3 Penyusunan Skripsi
a. Penulisan dan
Bimbingan BAB I

b. Penulisan dan
Bimbingan BAB II
c. Penulisan dan
Bimbingan BAB III
d. Penulisan dan
Bimbingan BAB IV
e. Penulisan dan
Bimbingan BAB V

f. Sidang Skripsi

DAFTAR PUSTAKA
53

Agustino, 2014. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.

Agustino, 2017. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.

Anggara, 2014. Kebijakan Publik. Bandung : CV Pustaka Setia

Budi Winarno, 2002. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta : Media
Presindo

Creswell, Jhon W. 2009. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,


dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta :


Gajah Mada

Dwiyanto, Indiahono. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis.


Yogyakarta : Gava Media

Erwan, Dyah, 2015. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya Di


Indonesia. Yogyakarta : Gava Media

Nugroho, Riant, 2014. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.


Jakarta : Gramedia Jakarta

Rusli, 2015. Kebijakan Publik: Membangun Pelayanan Publik yang Responsif.


Bandung : CV. ADOYA Mitra Sejahtera

Fikawati, 2017.KebijakanKesehatan Masyarakat. Yogyakarta : Gava Media

Subarsono, 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Subarsono, 2006. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Subarsono, 2010. Cetakan ke V Analisis Kebijakan Publik.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Subarsono, 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep Teori dan Aplikasi).


Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sugiyono, 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.


54

Sugiyono,, 2010. Metode Penelitian Administratif. Dilengkapi dengan Metode


R&D.
Bandung : Alfabeta

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D). Bandung : Alfabeta

Winarno, Budi 2012 Kebijakan Publik Teori, Proses. Yogyakarta : CAPS

Perundang-undangan :
Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan
dan Gizi
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(Germas)
Peraturan Bupati Subang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Penurunan Stunting

PEDOMAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN PELAKSANA KEBIJAKAN


55

Nama :……………………………………………...

Jenis Kelamin : ……………………………………………...

Jabatan : ……………………………………………...

Intansi : ……………………………………………...

Implementasi Kebijakan

1.Komunikasi

a) Komunikasi seperti apa yang diilakukan dalam mengimplementasi Program

Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang? Tolong

jelaskan!

b) Apakah Komunikasi itu bersifat Top down atau Bottom Up? Coba Jelaskan?

c) Apakah ada feedback dari penerima kebijakan?

d) Apakah komunikasi yang dilakukan terukur sesuai perda yang diberlakukan di

Kabupaten Subang?

2.Sunberdaya

a) Bagaimana dukungan Sumber Daya Manusia dan Sarana dan Prasarana

mengenai Implementasi Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang?

b) Apakah fasilitas pendukung khususnya dalam pelaksanaan Program

Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?

c) Seperti apa fasilitas pendukung tersebut?coba berikan argument?


56

3.Disposisi Pelaksana

a) Apakah implementasi kebijakan pencegahan stunting ini sudah di

sosialisasikan ke seluruh pemilik stakeholder yang ada di Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang?

b) Bagaimana tanggapan para pelaksana mengenai kebijakan Implementasi

Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?

c) Apakah hasil yang dicapai dari kesepakatan pihak pelaksana akan fenomena

mengenai program ini?

d) Apakah Struktur organisasi Kecamatan Pagaden Kab Subang sudah

mendukung Implementasi Program Pencegahan Stunting di Kecamatan

Pagaden Kabupaten Subang? Tolong jelaskan!

e) Apakah pengawasan yang dilakukan pelaksana sudah optimal dalam hal

pelaksanan Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten

Subang?

4.Struktur Birokrasi

a) Bagaimana struktur birokrasi yang diterpakan dalam Implementasi Program

Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?

b) Adakah standar waktu yang ditentukan mengenai tindak lanjut pelaksanaan

program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?

c) Bagaimana tahapan pelaksanaanya mengenai tindak lanjut tersebut?

d) Bagaimana cara mang akomodir para pihak pelaksana dalam melaksanakan

Program Pencegahan Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?


57

PEDOMAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN PENERIMA KEBIJAKAN

Nama :……………………………………………...

Jenis Kelamin : ……………………………………………...

Jabatan : ……………………………………………...

Instansi : ……………………………………………...

Implementasi Kebijakan

1.Kominukasi

a) Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai Implementasi Program Pencegahan

Stunting di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?

b) Apakah memberi dampak yang positif bagi Bapak/Ibu?

c) Jika memberi dampak yang positif coba berikan alasanya?

d) Apakah dengan ada kebijakan pencegahan stunting ini memudahkan masyarakat

berprilaku hidup bersih dan sehat?

2.Sumberdaya

a) Apakah Sumberdaya masyarakat Kecamatan Pagaden telah sepenuhnya

memahami program pencegahan stunting di Kabupaten Subang?

b) Apakah masyarakat menilai dampak program pencegahan stunting yang ada di

lingkungan Bapak/Ibu memberi dampak yang p lingkungan Bapak/Ibu?


58

3.Disposisi Pelaksana

a)Adakah kegiatan pendukung lainya yang dilakukan oleh pelaku kebijakan program

pencegahan stunting yang ada di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang?

b) Jika ada kegiatan seperti apa yang dilaksanakan?

4.Struktur Birokrasi

a) Bagaimana sikap Bapak/Ibu dalam menyikapi keberadaan kebijakan program

pencegahan stunting di lingkungan Bapak/Ibu dikaitkan dengan kesejahteraan

masyarakat disini?

b) Bagaimana menurut Bapak/Ibu dampak ekonomi, sosial dan politik dalam

pelaksanaan kebijakan ini?

You might also like