You are on page 1of 20

MAKALAH

FILSAFAT MODERN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH DASAR-DASAR SAINS

DOSEN PEMBIMBING :
Bapak Ridwan Joharmawan

DISUSUN OLEH :
Wulan Rahayu Putri
NIM : 160331605621
Program Studi : S1 Pendidikan Kimia
Offering : B

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN KIMIA
SEPTEMBER 2016
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua
abad (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance.
Renaissance berarti kelahiran kembali, yang mengacu pada gerakan keagamaan dan
kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14). Di samping itu, para
humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian
dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti
kultur klasik. Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang
sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta, manusia,
kehidupan masyarakat dan sejarah. Orang-orang pada masa itu percaya bahwa dengan pikiran
akan menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Filsafat Modern?
2. Siapa tokoh-tokoh Filsafat Modern?
3. Bagaimana hasil pemikiran tokoh-tokoh Filsafat Modern?

C. Tujuan
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas tentang tokoh-tokoh Filsafat Modern
beserta hasil pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat zaman modern adalah pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama,
Tidak juga dari para penguasa tetapi dari diri manusia sendiri. Aliran rasionalisme beranggapan
bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. Aliran emperisme,
sebaliknya meyakini pengalaman Sumber pengetahuan itu,baik yang batin maupun inderawi.
Waktu munculnya filsafat modern adalah abad ke-17 hingga awal abad ke-20 di Eropa Barat
dan Amerika Utara. Filsafat Modern ini pun dimulai sejak munculnya rasionalisme lewat
pemikiran Descartes, seorang filsuf terkemuka pada zaman Modern.

Tokoh-tokoh filsafat Modern :


1. Empirisisme
John Locke - Filsuf Negara Liberal

John Locke adalah seorang filsuf dari Inggris yaqng Lahir di Wrington, Somerset, Inggris
pada 29 Agustus 1632 dan meninggal di Essex, Inggris pada 29 Agustus 1632 . Ia menjadi salah
satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke
juga dikenal sebagai filsuf negara liberal. Salah satu pemikiran Locke yang paling berpengaruh di
dalam sejarah filsafat adalah mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Ia berupaya
menjelaskan bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuannya. Menurut Locke, seluruh
pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah posisi empirisme yang
menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber pengetahuan manusia yang terutama
berasal dari rasio atau pikiran manusia.
Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul "Dua Tulisan
tentang Pemerintahan" (Two Treatises of Civil Government). Ia menjelaskan pandangannya itu
dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan masyarakat. Locke membagi perkembangan
masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of
war), dan negara (commonwealth).
Pandangan Locke mengenai agama bersifat deistik. Ia menganggap agama Kristen adalah
agama yang paling masuk akal dibandingkan agama-agama lain, karena ajaran-ajaran Kristen
dapat dibuktikan oleh akal manusia. Pengertian tentang Allah juga disusun oleh pembuktian-
pembuktian. Locke berangkat dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berakal budi,
sehingga pastilah disebabkan karena adanya 'Tokoh Pencipta' yang mutlak dan maha kuasa, yaitu
Allah. Ia meyakini bahwa Alkitab ditulis oleh ilham Ilahi, namun ia juga menyatakan bahwa setiap
wahyu Ilahi haruslah diuji oleh rasio manusia.

George Berkeley - Filsuf Empiris Inggris

George Berkeley adalah seorang filsuf Irlandia yang juga menjabat sebagai uskup di Gereja
Anglikan. Bersama John Locke dan David Hume, ia tergolong sebagai filsuf empiris Inggris yang
terkenal. Ia dilahirkan pada 12 Maret 1685 di County Kilkenny, Irlandia. Berkeley
mengembangkan suatu pandangan tentang pengenalan visual tentang jarak dan ruang. Selain itu,
ia juga mengembangkan sistem metafisik yang serupa dengan idealisme untuk melawan
pandangan skeptisisme.
Berkeley adalah salah satu tokoh berpengaruh dalam filsafat Barat, doktrin-doktrinnya
mengerahkan pengaruh yang sangat signifikan pada filsafat analitik. Sebagai matematikawan,
George Berkeley dikenal karena pemikiran kritiknya terhadap teori-teori matematika.
Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang "pengenalan". Menurut Berkeley,
pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang
diamati. Pengamatan justru terjadi karena hubungan pengamatan antara pengamatan indra yang
satu dengan pengamatan indra yang lain.
David Hume – Tokoh Filsuf Modern

David Hume adalah filsuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Dia dimasukan sebagai
salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun
kebanyakan ketertarikan karya Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia
mendapat pengakuan dan penghormatan. Skeptisisme Hume berpendapat bahwa, filsafat tidak bisa
berkiprah melampaui pengalaman, hipotesis yang berpretensi membuka kualitas asli terdalam dari
dan membatasi pengertian manusia.
Mengenai kausalitas, Hume berpendapat bahwa tiada keharusan fisik yang mutlak dantiada
koneksi mutlak antara kejadian a dan kejadian b, maka tiada hukum sebab akibat. Yang ada
hanyalah hubungan erat antara ruang dan waktu. Sedangkan bagi Hume, moralitas adalah tatanan
hidup baik dan buruk yang sangat dipengaruhi olehunsur perasaan. Maka, moralitas bisa jadi
persoalan perasaan atau hasrat bukan akal budi.
Hume tidak setuju dengan adanya agama monoteis. Menurutnya, monoteisme itu tidak
memiliki dasar, khususnya anggapan yang menyakini Tuhan itu sempurna. Buktinya dunia ini
jahat dan buruk, maka keyakinan Tuhan itu maha sempurna bisa disangkal. Menurutnya pula, kita
tidak tahu pasti tentang apa itu Allah sebab kita tidak memiliki pengalaman tentang dunia yang
lain selain dunia ini. Sikap skeptis Hume bersifat agnotisisme, yakni sebuah anggapan bahwa kita
tidak bisa tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.

2. Filsafat Politik
Thomas Hobbes - Filsuf Inggris Aliran Empirisme
Thomas Hobbes dari Malmesbury adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme.
Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme,
serta pandangan tentang hubungan manusia dengan sistem negara.

Inti pemikiran Hobbes berakar pada empirisme (berasal dari bahasa Yunani empeiria yang
berarti 'berpengalaman dalam, berkenalan dengan'). Empirisme menyatakan bahwa pengalaman
adalah asal dari segala pengetahuan. Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan
tentang efek-efek atau akibat-akibat berupa fakta yang dapat diamati. Segala yang ada ditentukan
oleh sebab tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Yang nyata adalah yang
dapat diamati oleh indera manusia, dan sama sekali tidak tergantung pada rasio manusia
(bertentangan dengan rasionalisme). Dengan menyatakan yang benar hanyalah yang inderawi,
Hobbes mendapatkan jaminan atas kebenaran.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam
filsafat, yakni:

1. Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang.


2. Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka.
3. Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi. Maksudnya, refleksi atas
hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya.
4. Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial.

Hobbes menyatakan bahwa keempat bidang tersebut saling berhubungan satu sama lain. Karena
itulah, Hobbes berpandangan bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat melalui gerak dan
materi dalam fisika.

Jean-Jacques Rousseau - Filsuf dan Pengarang Perancis


Jean-Jacques Rousseau (Perancis: [ʒɑʒak ʁuso) adalah seorang filsuf Jenewa, penulis,
dan komposer abad ke-18. Filsafat politiknya mempengaruhi Revolusi Perancis serta
pengembangan keseluruhan pemikiran politik, sosiologis, dan pendidikan modern. Diketahui
bahwa karya-karyanya tak lepas dari pengalaman waktu kecil, ayahnya selalu membacakan cerita-
cerita roman saat Jean tidur di malam hari.
Orang bilang tulisan-tulisan Rousseau merupakan faktor penting bagi pertumbuhan
sosialisme, romantisme, totaliterisme, anti-rasionalisme, serta perintis jalan ke arah pecahnya
Revolusi Perancis dan merupakan penyumbang untuk ide-ide modern menuju demokrasi dan
persamaan. Dia juga dianggap memiliki sumbangan penting dalam pengaruh teori pendidikan
modern. Telah lama dipermasalahkan di bidang teoritis bahwa manusia hampir pada hakekatnya
merupakan produk alam sekitarnya (karena itu mudah berubah serta peka). Anggapan ini berasal
dari tulisan-tulisan Rousseau.

Karl Marx - Bapak Komunisme

Karl Heinrich Marx adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan
dari Prusia. Semasa hidupnya ia telah menulis banyak hal, ia paling terkenal atas analisisnya
terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah
dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas",
sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.
Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan
politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa
kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.
Marx juga menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari
kelas kerja internasional. “Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara,
tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil dari pergerakan ini kita yang
akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis. Komunisme adalah pergerakan yang akan
menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil
dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. - Ideologi Jerman-
3. Idealisme
Immanuel Kant - Filsuf Besar Jerman

Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki pengaruh
sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana metafisika
hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana etika ia juga
mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam mempengaruhi epistemologi
selanjutnya.
Deontologi berasal dari kata Yunani “deon” yang berarati apa yang harus dilakukan,
kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman, Immanuel Kant (1724- 1804). Sistem
etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan moral dikritik habis-
habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat
tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban
(duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral
apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan
dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu
kewajiban.
Etika Immanuel Kant (1724-1804) diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik
yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik
maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal
diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Sedangkan
Moralitas adalah Pemenuhan kewajiban yang didorong oleh keinginan memenuhi kewajiban yang
muncul dari kehendak baik dari dalam diri. Selanjutnya Kant menjabarkan kriteria kewajiban
moral, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi
praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas
empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel - Tokoh Idealisme Jerman

Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf idealis Jerman. Pengaruhnya
sangat luas terhadap para penulis dari berbagai posisi, termasuk para pengagumnya (F. H. Bradley,
Sartre, Hans Küng, Bruno Bauer, Max Stirner,Karl Marx), dan mereka yang menentangnya
(Kierkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidegger, Schelling). Tokoh idealisme Jerman terbesar
pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel
dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu
generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia
mencoba merehabilitasi metafisika. Sedangkan Dialektika merupakan suatu “irama” yang
memerintahkan seluruh filsafat Hegel.

3. Eksistensialisme
Søren Aabye Kierkegaard - Bapak Filsafat Eksistensialisme

Søren Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari
Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-
filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard
menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi
Eksistensialisme.
Kritik Kierkegaard atas Hegelianisme bukan sekedar sebuah minat teoritis, melainkan
didasari oleh sebuah keprihatinan praktis terhadap perilaku keagamaan di Denmark. Zaman itu,
Lutheranisme menjadi agama resmi negara Denmark. Agama itu secara otomatis dianut oleh orang
Denmark, dan menjadi semacam cap saja untuk kehidupan sosial. Menurut Kierkegaard agama
Kristen sungguh-sungguh menjadi sekular dan duniawi, dan orang yang menyebut dirinya Kristen
tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan Allah. Dalam situasi seperti ini, agama hanya menjadi
persoalan “objektif” dan “lahiriah”, hanya menyangkut perilaku yang dapat dilihat dan tidak
menyangkut komitmen subjektif manusia.

Friedrich Nietzsche - Tokoh Pertama Eksistensialisme Modern Yang Ateistis

Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi
yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer. Dia menulis beberapa
teks kritis terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan,
menampilkan kesukaan untuk metafora, ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh
pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis.
Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah
filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also
sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zamannya (dengan
peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar
dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma
kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan).
Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian
tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah
filosofi untuk menaklukan nihilisme1 (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh
kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch
dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami
pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de
Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan
seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk mentransformasikan tragedi
hidup.

4. Fenomenologi

Edmund Husserl - Pendiri Aliran Fenomenologi

Edmund Gustav Albrecht Husserl adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai
bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan
filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua
pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Arti Fenomenologi menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk
memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal
fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita
di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar
kita. Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut
pandang subyektif orang terkait.
Martin Heidegger - Fenomenologi Ontologi

Martin Heidegger adalah seorang filusuf Jerman yang karyanya terkait dengan
Fenomenologi dan Eksistensialisme. Ia belajar di Universitas Freiburg dalam bimbingan Edmund
Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928.
Perhatian utama dari seorang Heidegger adalah Ontologi. Dalam karyanya, “Being dan
Time”, ia mencoba untuk mengakses Being (Sein) dengan melalui analisis Fenomenologis tentang
eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter duniawi dan sejarah manusia. Dalam
Being And Time Heidegger menyatakan bahwa studi tentang diri kita atau Dasein (berada-ada)
adalah perkara penting untuk menanyakan makna keberadaan. Ini lantaran kitalah satu-satunya
entitas yang mempersoalkan atau menanyakan makna keberadaan.

5. Pragmatisme

Charles Sanders Peirce - Flsuf Amerika

Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika, ahli logika, matematikawan,
dan ilmuwan, kadang-kadang dikenal sebagai "bapak pragmatisme ". Ia dididik sebagai
ahli kimia dan bekerja sebagai ilmuwan selama 30 tahun. Sekarang ia dihargai karena
kontribusinya pada logika, matematika, filsafat, metodologi ilmiah, dan semiotika, dan
penemuannya soal pragmatisme.
Pemahaman abduksi menurut pierce pada awal mulanya dijelaskan sebagai bentuk
penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu: proposisi tentang suatu hukum (rule),
proposisi tentang suatu kasus (case), dan yang terakhir adalah prosposisi tentang
kesimpulan (result). Maka silogisme hipotesis yang terdiri dari premis mayor, premis
minor dan kesimpulan adalah bentuk penyimpulan dari tiga proposisi tersebut, hukum,
kasus, dan kesimpulan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan abduksi ialah upaya
rasional untuk mencari penjelasan untuk setiap fenomena-fenomena yang membingungkan
(Puzzling), yang adalah proses yang meliputi penghasilan hipotesis-hipotesis penjelasan
dan penyeleksian hipotesis-hipotesis tertentu untuk pemeriksan lebih jauh. Pemikiran ini
muncul dan matang sekitar tahun 1893 dalam karya-karya yang dibuat oleh Sanders Pierce.
Dalam ilmu sosial, Peirce adalah salah satu tokoh yang turut mengembangkan ilmu
semiotika. Konsepnya mengenai tanda seringkali dijadikan rujukan dalam
menginterpretasikan semua tanda yang ada didunia ini. Menurut Peirce, Semiotika
bersinonim dengan logika, manusia hanya berpikir dalam tanda. Tanda dapat dimaknai
sebagai tanda hanya apabila ia berfungsi sebagai tanda. Fungsi esensial tanda menjadikan
relasi yang tidak efisien menjadi efisien baik dalam komunikasi orang dengan orang lain
dalam pemikiran dan pemahaman manusia tentang dunia. Tanda menurut Pierce kemudian
adalah sesuatu yang dapat ditangkap, representatif, dan interpretatif.

William James - Filsuf Pendiri Pragmatisme

William James adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang terkenal sebagai salah
seorang pendiri Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, James juga terkenal sebagai
seorang psikolog.
William James menentang pandangan sebelum dia bahwa kesadaran tidak mewujudkan
kesatuan lahiriah. Ia justru menyatakan bahwa kesadaran adalah suatu fungsi yang bersumber
dari pengalaman murni. Pengalaman murni adalah perubahan-perubahan yang terus dari
kehidupan manusia dan akan menjadi bahan refleksi manusia pada masa depan. Oleh karena
itu, James menolak adanya kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, dan bersifat tetap
serta berdiri sendiri. Menurut James kebenaran selalu dapat diubah dan direvisi oleh
pengalaman murni.
William James adalah seorang yang individualis. Didalam bukunya Talks to Teachertidak
terdapat pernyataan mengenai pendidikan sebagai fungsi soisal. Baginya pendidikan lebih
cenderung kepada “ organisasi yang ketertarikan mendalam terhadap tingkah laku dan
ketertarikan akan kebiasaan dalam tingkah laku dan aksi yang menempatkan individual pada
linkungannya”. Teori perkembangan diartikannya sebagai susunan dasar dari pengalaman
mental untuk bertahan hidup. Pemikirannya ini dipengaruhi oleh insting dan pengalamannya
mempelajari psikologi hewan dan doktrin teori evolusi biologi.

6. Tokoh-tokoh Filsafat Indonesia


M. Hatta

Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer
sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock(sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia
Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945.M.
Hatta dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda, bersama Sutan Syahrir dan aktivis
pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Saat dibuang, Hatta menulis sebuah buku berjudul Alam
Pikiran Yunani. Melalui studi terhadap para filsuf Yunani ini, Hatta memperkenalkan pendahuluan
paling awal bagi pemikiran Barat jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamasikan. Buku Alam Pikiran Yunani masih digunakan sebagai buku bacaan wajib bagi
mahasiswa filsafat di Indonesia.
Dalam Alam Pikiran Yunani, Hatta menggali pula pandangan hidup asketisme yang
bersumber dari filsuf Barat. Penggalian Hatta menjadi tonggak baru pemikir Indonesia, yang
sebelumnya mengandalkan pencarian asketisme dari nabi, pahlawan, dan pemikir dari Timur
(Asia).
Buku Alam Pikiran Yunani terdiri dari tiga bagian.Bagian pertama memaparkan paham-paham
filosofi sebelum Sokrates. Bagian kedua mengurai filosofi Yunani Klasik, yaitu ajaran-ajaran
Sokrates, Plato dan Aristoteles. Bagian ketiga menjelaskan filosofi Yunani yang telah berkembang
setelah Aristoteles.

Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam
Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa
Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang
pembela kemerdekaan Indonesia yang berpihak pada golongan sayap kiri bersama dengan tokoh-
tokoh Partai Komunis
Tan Malaka adalah pengarang buku berjudul Madilog (Materialisme Dialektika Logika).
Meski Tan Malaka menola menyebut Madilog sebagai sebuah falsafah, namun studi ini mengupas
mengenai hukum berpikir dan rasionalisme pemikiran filosofis Barat dengan dengan luas dan
mendalam.
Madilog adalah buku yang termasuk paling awal dan utuh mempertentangkan antara
pemikiran filosofis Barat dan Timur. Tan Malaka menawarkan suatu hukum berpikir berdasarkan
filosofis materialisme yang digagas oleh Karl Marx dan F. Engels. Berbeda dengan polemik
kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Soepomo, Ki Hajar Dewantara, dan
lainnya, Madilog juga menolak pemikiran Barat yang dianggap sebagai paham idealisme
berdasarkan keruhanian. Madilog lebih maju dengan membedakan kontradiksi di dalam sejarah
pemikiran Barat dan Timur.
M. Nasroen

M. Nasroen (1907-1968) adalah seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia. Puncak


kariernya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru BesarFilsafat di Universitas Indonesia. Karyanya
yang membahas langsung Filsafat Indonesia ialah Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1967). Tidak banyak yang mengetahui kapan dia lahir, akan tetapi puncak kariernya ialah
ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia.
Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat
Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia
adalah suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi
dalam ajaran filosofismupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-
royong, dan kekeluargaan. Bukunya yang hanya setebal 90 halaman itu, sayangnya, hanya
memberikan garis besar, penjelasan umum yang tidak detail, dan masih membutuhkan penjabaran
dan penjelasan yang lebih luas. Kekurangannya itu kelak disempurnakan oleh generasi pengkaji
Filsafat Indonesia berikutnya.

Soenoto

Dia lahir pada tahun 1929 dan merupakan pengkaji Filsafat Indonesia generasi kedua di
era 1980-an. Pendidikan kefilsafatan pertamakali diperoleh dari Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta (Sarjana dan Magister Ilmu Sosial dan Politik), lalu Vrije Universiteit,
Amsterdam (Doktor Ilmu Sosial dan Politik). Jabatan yang pernah dipegang ialah Dosen Tetap
UGM (sejak 1958), Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), Peneliti Filsafat Pancasila di
Dephankam, Ketua Survei Pengamalan Pancasila di UGM dan Depdagri RI. Karya-karyanya yang
langsung berhubungan dengan kajian Filsafat Indonesia ialah: Selayang Pandang tentang Filsafat
Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan
Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983),
dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi
Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).

Dalam ketiga karyanya itu Sunoto menyempurnakan karya rintisan Nasroen dengan
menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang amat detail tentang tradisi
itu. Tentu saja, walaupun karya ini berhasil menyempurnakan Nasroen, tetapi tetap saja masih
memiliki kekurangan, sesuatu yang sangat diakui Sunoto sendiri. R. Parmono, salah seorang dosen
UGM pula, akan menyempurnakan kekurangannya tadi.

R. Parmono

Lahir pada tahun 1952, R. Parmono menempuh jenjang pendidikan kefilsafatan di


Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Sarjana Filsafat), lalu setelah lulus pada
1976, dia meneruskan pendidikan di Program Pasca-Sarjana Jurusan Filsafat Indonesia di UGM
pula. Setelah memperoleh gelar Magister, ia diterima sebagai Dosen Filsafat di UGM, bahkan
pernah menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia yang dirintisnya
bersama-sama dengan Sunoto. Selain mengajar di UGM, dia juga salah seorang anggota Peneliti
Filsafat Pancasila (1975-1979) di Dephankam. Karya-karyanya yang membahas Filsafat Indonesia
ialah: Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian
Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian
Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).

Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono menyempurnakan kekurangan


kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan melebarkan lingkup kajian
pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba
mendefinisi-ulang istilah ‘Filsafat Indonesia’, sebagai ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di
dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ (hal. iii). Jadi, Filsafat Indonesia berarti segala
filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh
pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.

Jakob Soemardjo

Nama aslinya Jakobus Soemardjo, dilahirkan di Klaten pada tahun 1939. Karier
kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harianKOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya,
Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962
mengajar di Fakultas Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata
kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni. Buku-bukunya yang
khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya
Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma
Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial
Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).
Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah
Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era
primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat
dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik,
pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-
teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakatIndonesia. Dalam
karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia
Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat
Indonesia Lama’.
Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya,
yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan
karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’,
artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun
tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk
rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’(Mencari Sukma Indonesia,
hal. 116).
Selain itu dia juga membuat buku yang berjudul "filsafat seni" yang diterbitkan oleh ITB pada
tahun 2000. semua tulisan di dalam buku ini berasal dari kumpulan artikel-artikel yang setiap
minggu mengisi ruang budaya pada harian pikiran rakyat di bandung. pemikiran yang dituangkan
pada buku ini hanya sebagai pengantar untuk menuju filsafat seni, walaupun demikian buku
tersebut dapat menjadi sebuah referensi bagi pembacanya.

Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan
Ki Hajar Dewantoro; lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun.

Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara demi memperjuangkan


kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan seringnya mengubah namanya sediri.
Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan
pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru
spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.
Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai
model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu,
nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya


anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara ada
satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita
mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah
persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja.
Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding
yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas
dengan realita di luar.

BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Filsafat zaman modern adalah pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama,
Tidak juga dari para penguasa tetapi dari diri manusia sendiri. Aliran rasionalisme beranggapan
bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. Aliran emperisme, sebaliknya meyakini pengalaman
Sumber pengetahuan itu,baik yang batin maupun inderawi.
Filsafat zaman modern ditandai dengan perubahan dalam bentuk-bentuk kesadaran atau
pola-pola berpikir. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas dicirikan dengan tiga hal yaitu;
Subjektivitas, Kritik dan Kemajuan.
Aliran-Aliran Filsafat Modern: Rasionalisme, Empirisme, Kritisme, Idealisme, Positivisme,
Evolusionisme, Materialisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi,
Eksistensialisme, Neo- Thomisme.

B. Daftar Pustaka
http://v3aprilliani.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-tokoh-filsafat-di-indonesia.html
https://www.academia.edu/11458926/Indonesia_Tokoh_Filsafat
https://id.wikipedia.org/wiki/Pelopor_Kajian_Filsafat_Indonesia
https://manajemendigilib.wordpress.com/2012/06/06/filosofis-pendidikan-ki-hadjar-
dewantara/
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/12/john-locke-filsuf-negara-
liberal.html
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/12/george-berkeley-filsuf-empiris-
inggris.html
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/12/david-hume-tokoh-filsuf-
modern.html
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/12/thomas-hobbes-filsuf-inggris-
aliran-empirisme.html

You might also like