You are on page 1of 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran

2.1.1 Pengertian Kebakaran

Kebakaran adalah api yang tidak terkendali yang diluar keinginan dan

kemampuan manusia. Proses terjadinya kebakaran tidak begitu saja terjadi.

Kebakaran terjadi akibat dari adanya tiga unsur api yang saling berinteraksi antara

lain yaitu sumber panas (heat), bahan (fuel) dan oksigen. Tanpa ada salah satu

dari ketiga unsur ini maka tidak akan terjadi api. Teori ini dikenal dengan teori

segitiga api (fire triangle).

Gambar 2.1 : Fire triangle


Sumber: www.academyfire.com

Selain teori segitiga api masih ada teori lain yang menjelaskan mengenai

proses terjadinya kebakaran yaitu Teori fire tetrahedron. Teori fire tetrahedron

menjelaskan bahwa kebakaran disebabkan oleh empat unsur yaitu panas (heat),

bahan (fuel), oksigen dan rantai reaksi kimia. Tanpa adanya rantai reaksi kimia

maka api tidak dapat menyala secara terus menerus.

7
8

Gambar 2.2 Fire Tetrahedron


Sumber: en.wikipedia.org

Unsur pertama yang harus ada dalam proses pembakaran adalah panas

(heat). Sumber panas yang potensial akan dapat menyalakan bahan bakar yang

telah bercampur dengan oksigen. beberapa sumber panas (heat) yang dapat

menyebabkan kebakaran diantaranya yaitu: api terbuka, pengelasan, percikan

mekanis, energi kimia, energi listrik, mesin bermotor, listrik statis dan petir.

Unsur yang kedua adalah bahan bakar. Bahan bakar adalah segala sesuatu

material baik dalam bentuk padat cair maupun gas yang dapat menyala atau

menghasilkan penyalaan. Bahan bakar dapat diklasifikasikan menurut bentuk dan

jenisnya yaitu bahan bakar padat seperti kayu, kertas, kain, plastik, kapas; bahan

bakar cair seperti minyak, aceton, spiritus; dan bahan bakar yang berbentuk gas

seperti LPG, gas alam, gas karbit dan sebagainya (Ramli, 2010b).

Unsur ketiga dalam proses kebakaran adalah oksigen. Oksigen merupakan

unsur yang terdapat di udara bebas. Oksigen juga dapat berasal dari bahan kimia

yang bersifat sebagai bahan kimia oksidator. Bahan oksidator adalah bahan yang

sangat reaktif yang mampu menghasilkan oksigen dalam reaksi penguraian yang
9

dapat menimbulkan kebakaran atau ledakan (DPK Provinsi Jakarta, 2013).

menurut Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta (2013) bahan oksidasi dapat dibagi

menjadi dua yaitu bahan anorganik, seperti permangat, perklorat, hydrogen

peroksida, dikromat, persulfat dan sebagainya; serta bahan organic, seperti benzyl

peroksida, asetil peroksida, eter peroksida, perasetat dan sebagainya.

Unsur keempat dalam proses kebakaran adalah rantai reaksi kimia . Rantai

reaksi kimia adalah peristiwa dimana ketiga elemen api yang ada saling bereaksi

secara kimiawi, sehingga yang dihasilkan bukan hanya pijar tetapi berupa nyala

api atau peristiwa pembakaran (Ramli, 2010b).

Kejadian kebakaran pada umumnya diawali oleh api kecil, kemudian

membesar dan menjalar di daerah sekitarnya. Penjalaran api ini dapat melalui tiga

cara yaitu (Ramli, 2010b):

1. Konveksi

Penjalaran api melalui benda padat, misalnya beton, kayu atau dinding.

jika terjadi kebakaran di suatu ruangan maka panas dapat merambat

melalui dinding sehingga ruangan yang disebelahnya akan mengalami

pemanasan sehingga api dapat merambat dengan mudah.

2. Konduksi

Api juga dapat menjalar melalui fluida, misalnya air, udara atau bahan cair

lainnya. suatu ruangan yang terbakar dapat menyebarkan panas melalui

hembusan angin yang membawa udara panas ke sekitarnya.


10

3. Radiasi.

Penjalaran panas lainnya adalah melalui proses radiasi yaitu pancaran

cahaya atau gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan oleh nyala api.

Dalam proses radiasi ini terdapat perpindahan panas (heat transfer) dari

sumber panas ke objek penerima. Faktor ini yang sering menjadi penyebab

penjalaran api dari suatu bangunan ke bangunan lainnya.

Proses penjalaran api sangat penting untuk diketahui dalam merancang

sistem proteksi kebakaran. Dengan mengetahui proses penjalaran api maka dapat

dilakukan upaya pengendalian api dengan cara melakukan perancangan bangunan

yang dapat menghambat menjalarnya api dari satu gedung ke gedung yang

lainnya .

2.1.2 Klasifikasi Kebakaran

Klasifikasi kebakaran adalah penggolongan atau pembagian kebakaran

atas dasar jenis bahan bakarnya. Pengklasifikasian kebakaran ini bertujuan

untuk memudahkan usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran (Ramli,

2010b).

Menurut peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-04/

MEN / 1990 tentang syarat – syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam

api ringan, kebakaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut.


11

Tabel 2.1 Klasifikasi Kebakaran Menurut Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Per-04/ MEN / 1990
Kelas Jenis Contoh
Kelas A Bahan Padat Kebakaran dengan bahan bakar padat
bukan logam
Kelas B Bahan Cair dan Gas Kebakaran dengan bahan bakar cair atau
gas mudah terbakar
Kelas C Listrik Kebakaran Instalasi listrik bertegangan
Kelas D Bahan Logam Kebakaran dengan bahan bakar Logam

2.1.3 Fire Hazard (Bahaya Kebakaran)

Hazard adalah sesuatu yang berpotensi menyebabkan kerusakan. Ini

termasuk substansi, proses kerja, dan atau aspek lainnya dari lingkungan kerja

(Suardi, 2005). Sedangkan menurut Ramli (2010a) hazard adalah segala sesuatu

yang termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan

atau cidera pada manusia kerusakan atau gangguan lainnya.

Fire hazard adalah segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan

kebakaran baik berupa sumber api, bahan, dan oksigen sehingga dapat

menyebabkan kerusakan (Furness dan Muckett, 2007). Klasifikasi fire hazard

dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Heat (Panas)

Heat merupakan fire hazard yang merupakan sumber panas yaitu

segala sesuatu maupun tindakan yang dapat potensi menimbulkan api.


12

Terdapat berbagai sumber api yang dapat memicu terjadinya kebakaran

diantaranya:

a. Api Terbuka

sumber api yang berupa panas langsung dan permukaan panas

misalnya: api rokok, api dapur, tungku pembakaran dan sebagainya.

b. Pengelasan atau Pemotongan

api yang berasal dari kegiatan pengelasan dapat berpotensi menyalakan

bahan yang mudah terbakar.

c. Percikan Mekanis

sumber api yang berasal dari benturan logam dari alat-alat mekanis

seperti palu pemecah besi, batu gerinda atau percikan api karena benda

jatuh yang menimpa batu atau beton.

d. Listrik

sumber panas dari listrik disebabkan beberapa hal diantaranya

hubungan singkat (korsleting) dan beban lebih (over load). Hubungan

singkat terjadi karena adanya kontak antara muatan positif dan negatif

misalnya, hubungan singkat karena kabel yang terkelupas. Beban

berlebih dapat disebabkan misalnya, kabel untuk 12 ampere dialiri

listrik 16 amper sehingga kabel isolasi menjadi rusak dan panas.

Pemasangan instalasi listrik yang tidak baik atau sudah rusak dapat

menimbulkan percikan api karena loncatan arus listrik.


13

e. Mesin/kendaraan bermotor

kendaraan bermotor yang menggunakan busi atau listrik dapat menjadi

sumber api yang dapat menyalakan bahan bakar. Mesin-mesin yang

tidak terawat juga dapat menjadi sumber panas. Mesin yang panas

karena debu yang jarang dibersihkan atau habisnya pelumas pada

mesin dapat menyebabkan mesin over heat sehingga berpotensi

meledak.

f. Listrik Statis

merupakan energi yang timbul akibat adanya muatan listrik statis

misalnya adanya beda potensial antara dua benda bermuatan listrik

positif dan negatif yang mengakibatkan loncatan bunga api listrik.

g. Energi Kimia

sumber penyalaan bisa berasal dari reaksi kimia misalnya reaksi antara

phirophoric sulfide dengan udara atau oksigen. Besi sulfide berasal

dari kerak tangki bekas berisi minyak mentah atau karat-karat yang

menempel di dinding tangki.

h. Petir

sumber api yang berasal dari perbedaan muatan listrik di udara. Petir

sendiri adalah suatu fenomena alam.

2. Fuel (Bahan Bakar)

fuel adalah fire hazard yang merupakan bahan bakar yaitu berbagai

bahan baik cair, padat, maupun gas yang dapat berpotensi menjadi bahan

bakar.
14

a. zat cair yang mudah terbakar bisa berupa bahan bakar misalnya bensin

solar maupun zat-zat pelarut seperti alkohol ester dan sebagainnya.

b. zat padat yang mudah terbakar misalnya kapas, karet, plastik, kertas,

kayu, debu, dan sebagainya.

c. zat gas yang mudah terbakar bisa kita jumpai seperti LPG, LNG, gas

karbit dan sebagainya. (Ramli, 2010b)

Ketata-rumah-tanggaan (house keeping) yang buruk seperti

penempatan bahan yang mudah terbakar tidak pada tempatnya, kabel

yang berserakan juga dapat menyebabkan terjadinya kebakaran

(Suma’mur, 1979).

3. Oksigen

Oksigen merupakan elemen api yang berasal dari udara bebas.

Selain itu, dalam proses kebakaran oksigen juga dapat berasal dari suatu

reaksi oksidasi dari zat kimia oksidator seperti permangat, perklorat,

hydrogen peroksida, dikromat, persulfat dan sebagainya.

2.1.4 Fire Risk (Risiko Kebakaran)

Risk adalah adalah peluang / sesuatu hal yang berpeluang untuk terjadinya

kematian, kerusakan atau sakit yang dihasilkan karena bahaya. Menurut OHSAS

18001: 2007 risiko adalah kombinasi antara kemungkinan terjadinya peristiwa

yang mengandung bahaya atau paparan dengan tingkat keparahan dari luka atau

penurunan kesehatan yang disebabkan oleh kejadian atau paparan tersebut.


15

Fire Risk adalah hasil kombinasi dari kemungkinan atau peluang terjadinya

suatu peristiwa kebakaran dengan tingkat keparahan apabila peristiwa kebakaran

tersebut terjadi (Furness dan Muckett, 2007).

2.2 Fire Risk management ( Manajemen Risiko Kebakaran)

2.2.1 Pengertian Fire Risk management

Managemen risiko kebakaran adalah suatu proses untuk mengelola risiko

kebakaran yang ada disetiap kegiatan berada pada level yang dapat diterima.

Menurut Standard New Zeland HB 4525 manajemen risiko kebakaran terbagi atas

beberapa tahap yaitu Penentuan konteks, Hazard identification, Risk assessment

Risk Control serta Residual Risk Asessment, Komunikasi dan Pemantauan.

2.2.2 Proses Fire Risk management

Proses management risiko kebakaran dapat dilakukan dalam beberapa tahap

tahap diantaranya:
Menentukan Konteks

Identifikasi Bahaya Kebakaran


Pemantauan dan Tinjauan ulang

Penilaian Risiko Kebakaran:


Komunikasi

Analisis Risiko Kebakaran


Evaluasi Risiko Kebakaran

Pengendalian Risiko

Penilaian Residual Risk Kebakaran

Gambar 2.3 Proses Manajemen Risiko SNZ HB 4525


16

1. Penentuan Konteks

Sebelum melakukan manajemen risiko kebakaran terlebih dahulu menentukan

konteks strategis organisasional mengenai perusahan tersebut. Penentuan konteks

dilakukan karena seiap perusahaan memiliki permasalahan K3 dalam hal ini

masalah kebakaran yang berbeda. Perusahaan bahan kimia memiliki konteks K3

yang berbeda dengan perusahaan jasa kontruksi sehingga karakteristik risiko

kebakaran dari setiap perusahaanpun akan berbeda.

2. Fire Hazard identification (Identifikasi Bahaya Kebakaran)

Identifikasi bahaya kebakaran adalah suatu proses yang dilakukan untuk

mengenali segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kebakaran meliputi api,

bahan, dan oksigen yang bersumber dari proses produksi, material atau bahan

yang digunakan, kegitan kerja serta instalasi sehingga dapat menimbulkan

kerusakan (Ramli, 2010b).

3. Fire Risk Assessment (Penilaian Risiko Kebakaran)

Setelah melakukan identifikasi bahaya kebakaran langakah selanjutnya

adalah melakukan penilaiana risiko kebakaran. Penilaian risiko kebakaran (fire

risk assessment) terdiri dari dua tahap yaitu menganalisis risiko kebakaran (fire

risk analysis) dan mengevaluasi risiko kebakaran (fire risk evaluation). Analisis

risiko kebakaran adalah suatu kegiatan untuk menentukan besarnya suatu risiko

kebakaran yang merupakan kombinasi antara kemungkinan (likelyhood) dan

keparahan (severity) bila risiko kebakaran tersebut terjadi. Sedangkan Evaluasi

risiko kebakaran adalah suatu kegiatan untuk menentukan apakah risiko


17

kebakaran tersebut dapat diterima atau tidak, dengan membandingkan dengan

standard yang berlaku.

a. Fire Risk Analisis (Analisis Risiko Kebakaran)

Setiap bahaya kebakaran yang telah ditemukan pada tahap identifikasi

bahaya ditentukan nilai (likelyhood) dan keparahan (severity). Berikut cara

menentukan tingkat keparahan (severity) dan kemungkinan (likelyhood).

Tabel 2.2 Penentuan Tingkat Kemungkinan (Likelyhood)

Nilai Kriteria Uraian


1 Rare (Jarang) Jarang atau tidak pernah terjadi kebakaran
2 Unlikely (Kecil Biasanya tidak terjadi kebakaran, namun ada potensi
kemungkinan) terjadi kemungkinan terjadi kebakaran.
3 Possible (Ada Ada kemungkinan terjadi kebakaran, frekuensi lebih dari
kemungkinan) 1 tahun sekali.
4 Likely (Besar Kemungkinan besar terjadi kebakaran dalam beberapa
kemungkinan) periode tertentu. frekueensi kejadian kebakaran lebih dari
satu kali dalam setahun
5 Almost certain Dapat terjadi setiap saat dalam kondisi normal dimana
(Hampir pasti) kebakaran hampir pasti terjadi dan tidak dapat terhindar.
Sumber: Siswanto (2009)

Tabel 2.3 Penentuan Tingkat Keparahan (Severity)

Nilai Deskriptor Uraian


1 Insignifant Kebakaran tidak menimbulkan kerugian berarti atau tidak
menimbulkan cidera pada manusia.
2 Minor Kebakaran menimbulkan kerugian sedang, menimbulkan
cidera ringan pada manusia.
3 Moderate Kebakaran menimbulkan kerugian finansial tinggi,
perlunya waktu perbaikan namun tidak mengganggu
kapasitas produksi, cidera sedang pada manusia.
4 Major kebakaran menyebabkan cidera serius, hilangnya
kapasitas produksi, dan kerugian finansial besar.
5 Catastrophic Kebakaran menyebabkan banyak kematian,
menghentikan kegiatan usaha, bencana dan kerusakan
lingkungan dalam jangka waktu yang lama.
Sumber: Siswanto (2009)
18

Penentuan tingkat risiko dapat dilakuakan dengan menggunakan matrik

risiko semi kwantitatif sebagai berikut.

Tabel 2.4 Risk Matriks

Likelyhood Severity
(1 ) (2 ) (3) (4 ) (5)
Insig- Minor Moderate Major Catastropic
nificant
(5) Almost certain 5 10 15 20 25
(Hampir pasti)
(4) Likely (Besar 4 8 12 16 20
kemungkinan)
(3) Possible (Ada 3 6 9 12 15
kemungkin)
(2) Unlikely (Kecil 2 4 6 8 10
kemungkinan)
(1) Rare 1 2 3 4 5
(Jarang)
Sumber: Siswanto (2009)

b. Fire Risk Evaluation (Evaluasi Risiko Kebakaran)

Fire Risk evaluation adalah upaya tindak lanjut dari analisis risiko

dengan membandingkan terhadap standard yang berlaku atau kemampuan

organisasi menghadapi risiko yang bertujuan untuk menentukan diterima atau

tidak suatu risiko.(Ramli, 2010a).


19

Tabel 2.5 Kriteria Tingkat Risiko

Tingkat Keterangan
risiko
Low Risiko kebakaran dapat diterima, tidak memerlukan pengendalian
1–4 tambahan. Namun peninjauan tetap dilakuakan untuk memastikan
pengendalian telah diimplementasikan dengan baik dan benar, dan
mencegah risiko lebih lanjut.
Medium Perlu tindakan pengendalian untuk menurunkan tingkat risiko
5–9 kebakaran, namun biaya pengendalian perlu diteliti dan dibatasi.
High Tindakan pengendalian harus segera dilakukan guna menurunkan
10-16 tingkat risiko.
Extreme Pekerjaan tidak boleh dilaksanakan sampai tingkat resiko
20-25 diturunkan. Diperlukan penunjauan ulang terhadap upaya
pengendalian.
Sumber: Siswanto (2009)
4. Fire Risk Control (Pengendalian Risiko Kebakaran)
Pengendalian risiko kebakaran adalah segala upaya yang dilakukan untuk

mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya diantaranya pengendalian

wujud energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran, sarana penyelamatan serta

pembentukan organissasi tanggap darurat (Kepmennaker No. 186/Men/1999).

a. Pengendaliann Wujud Energi

Pengendalian wujud energi dilakukan dengan cara menghindarkan

kontak antara ketiga unsur api. Jika kontak anatara ketiga unsur api

tidak terjadi maka kebakaran juga tidak akan timbul.

Langkah pertama yaitu mengelola dan mengendalikan semua bahan

yang dapat menjadi bahan bakar. Kedua adalah dengan

mengendalikan sumber api agar tidak bersatu dengan bahan bakar.

Contoh dari upaya pencegahan kebakaran ini yaitu dengan

dibuatkannya MSDS yang berisi cara melakuakan pengelolaan yang

baik semua unsur material yang dapat terbakar seperti minyak, gas
20

LPG, atau bahan plastik mulai dari tahap penyimpanan, pengangkutan

dan penggunaan. Serta mengelola dan mengendalikan sumber api

seperti memasang instalasi penyalur petir.

b. Proteksi kebakaran

Sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan

adalah sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana baik

yang terpasang maupun terbangun pada bangunan yang digunakan

untuk tujuan sistem proteksi aktif dan sistem proteksi pasif maupaun

cara-cara pengelolaan dalam rangka melindungi bangunan dan

lingkungan terhadap bahaya kebakaran (Permen PU No.

26/PRT/M/2008).

Sistem proteksi kebakaran dapat di kelompokan menjadi 2 bagian

yaitu sistem proteksi aktif dan sistem proteksi pasif. Sistem proteksi

aktif adalah sarana proteksi kebakaran yang harus digerakkan dengan

sesuatu untuk berfungsi memadamkan kebakaran. Sedangkan sistem

proteksi pasif adalah sistem proteksi kebakaran yang menjadi kesatuan

(inherent) atau bagian dari suatu rancangan atau benda.(Ramli, 2010b)

1) Sarana Proteksi Aktif

a) Alarm

Alarm adalah alat yang dibuat untuk memberikan peringatan

bahaya kepada penghuni baik secara otomatis maupun manual

mengenai adanya bahaya kebakaran sehingga dapat melakukan


21

tindakan proteksi dan penyelamatan ketika konddisi darurat.

(Kepmen PU No. 10/KPTS/2000).

b) Detektor

Detektor adalah alat yang digunakan untuk membantu

melakukan deteksi dini akan adanya bahaya kebakaran

(Kepmen PU No. 10/KPTS/2000).

c) Apar

Apar adalah alat yang ringan dan dapat digunakan oleh satu

orang untuk memadamkan api pada tahap awal terjadi

kebakaran. Berdasarkan media yang digunakan jenis-jenis apar

dapat dibedakan menjadi apar media air, apar media busa, apar

media serbuk kimia, apar dan media gas (Permenaker No.

Per.04/MEN/1980).

d) Hidran

Hidran adalah alat yang memiliki kelengkapan berupa slang

dan mulut pemancar (nozzle) untuk mengalirkan air

bertekanan, yang digunakan untuk keperluan pemadaman

kebakaran (Kepmen PU No. 10/KPTS/2000).

e) Sprinkler

Sprinkler adalah alat yang dapat memancarkan air untuk

pemadaman kebakaran yang memiliki tudung berbentuk

deflektor pada bagian ujung mulutnya sehingga air dapat


22

memancarkan kesemua arah secara merata (Kepmen PU No.

10/KPTS/2000).

2) Sarana Proteksi Pasif

Menurut Ramli (2010b) Sistem proteksi pasif meliputi barier, jarak

aman dan pelindung tahan api.

a. Barier (Penghalang)

adalah struktur bangunan yang berfungsi sebagai penghalang atau

penghambat penjalaran api dari suatu bagian bangunan ke bagian

lainnya. Penghalang dapat didesain bentuk tembok atau partisi

dengan material tahan api.

b. Jarak aman

pengaturan jarak bangunan sangat membantu dalam mengurangi

penjalaran api. Bangunan yang berdempet-dempetan akan mudah

mengalami kebakaran dari bangunan sebelahnya. Di lingkungan

industri jarak aman sangat diperlukan antara unit proses,tangki

timbun, gudang dan boiler. Dengan demikian kemungkinan

perambatan api dapat dikurangi.

c. Pelindung tahan api

Penjalaran atau kebakaran dapat dikurangi dengan memberi

pelindung tahan api untuk peralatan dan sarana tertentu. Contoh

tiang-tiang pondasi peralatan di dalam pabrik kimia diberi proteksi

bahan tahn panas (fire proofing) sehingga mampu menahan

kebakaran sekurangnya setengah jam.


23

c. Jalur Evakuasi

Adalah sarana penyelamatan dari daerah kebakaran ketempat aman

atau daerah yang aman, baik secara vertikal maupun horizontal, yang

dapat berupa pintu, tangga, koridor, jalan keluar atau kombinasi dari

komponen – komponen tersebut (Kepmen PU No. 10/KPTS/2000).

d. Organisasi tanggap darurat

Organisasi tanggap darurat adalah suatu organisasi yang dibentuk

untuk menangani segala keadaan darurat yang mungkin terjadi seperti

kebakaran dan bencana.

Efektifitas pengendalian risiko pada implementasi pengendalian risiko dari

prosedur yang ada penting untuk dinilai untuk mengetahui seberapa besar

pengendalian risiko dijalankan dan dapat menekan potensi bahaya. Berikut

pedoman penilaian efektifitas pengendalian oleh PT. Freeport.

Tabel 2.6 Pedoman Penilaian Efektifitas Pengendalian

Nilai Diskripsi
100 % Istimewa Persyaratan yang lengkap dari kontrol yang ada
dipenuhi dan ditaati dan tidak ada keraguan bahwa
persyaratan tersebut secara penuh di implementasikan
dan berfungsi
90 % Sangat baik Kontrol yang ada diimplementasikan dan berfungsi
tetapi masih perlu ditingkatkan
75 % Diimplementasikan Kontrol yang ada diimplementasikan dan berfungsi.
dengan baik Tetapi, masih ada celah yang jelas yang harus diperbaiki
65 % Diimplementasikan Persyaratan Kontrol yang ada diimplementasikan dan
berfungsi, tetapi masih diperlukan tindakan yang
spesifik dan terfokus untuk memenuhi persyaratan.
50 % Diimplementasikan Persyaratan kontrol yang ada telah diimplementasikan
sebagian sampai taraf tertentu, memerlukan tindakan-tindakan
spesifik untuk direncanakan dan diimplementasikan
24

Lanjutan Tabel 2.6 Pedoman Penilaian Efektifitas Pengendalian.

Nilai Diskripsi
40% Diimplementasikan Walaupun suatu tindakan dilakukan untuk memenuhi
kurang dari 50% persyaratan suatu item, ada celah (gap’s) yang jelas dan
ada kemungkinan kesalah pahaman terhadap beberapa
tindakan spesifik yang masih perlu diambil agar bisa
secara semestinya mengimplementasikan kontrol yang
ada
25% Implementasi Tidak ada tindakan riil yang telah diambil untuk
lemah mengimplementasikan persyaratan. Jelas bahwa hal-hal
tertentu dari persyaratan tidak dipahami. Intervensi
spesifik harus diambil untuk memastikan bahwa
kemajuan dibuat untuk mengimplementasikan
persyaratan
15% Ada pengertian Ada pengertian bahwa tindakan harus diambil tetapi
hingga tanggal ini tidak ada sesuatu yang telah
dilakukan untuk mengimplementasikan persyaratan
kontrol yang ada
0% Tidak di Tidak ada yang sudah dilakukan sampai dengan tanggal
implementasikan ini untuk mengimplementasikan persyaratan kontrol
yang ada. Tidak ada pertimbangan implementasi dalam
waktu dekat. Pengertian tentang persyaratan mungkin
ada, tetapi tidak ada tindakan spesifik untuk
memenuinya
Sumber: Siswanto (2009)

5. Penilaian Risiko Sisa ( Residual Risk Assessment)

Residual risk adalah risiko yang masih ada dan diperoleh setelah

pengendalian (kontrol) diterapkan. Rumus dari penialaian risiko sisa adalah

(Siswanto, 2009):

(100% -% nilai kontrol) X risiko awal


100%
6. Komunikasi

Risiko kebakaran yang telah diketahui berdasarkan hasil manajemen

kebakaran harus dikomunikasikan ke semua pihak yang berkepentingan atau


25

pihak manajemen perusahaan. Pengkomunikasian kepada pihak perusahaan

dimaksudkan agar dapat memberikan masukan mengenai sarana pengendalian

risiko kebakaran agar lebih baik. Hasil manajemen risiko kebakaran juga harus

dikomunikasikan kepada semua pihak seperti pekerja, ahli, pemasok, mitra kerja

dan lainnya yang kemungkinan terpengruh terhadap penerapan manajemen risiko

kebakaran.

7. Pemantauan dan Tinjauan ulang

Proses manajemen risiko kebakaran perlu dilakukan pemantaun disetiap

kegiatannya guna mengetahui apakah terdapat kendala atau penyimpangan dalam

pelaksanaannya. Pemantauan juga diperlukan guna memastikan apakah

manajemen risiko kebakaran telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah

ditetapkan. Manajemen risiko kebakaran merupakan siklus yang berulang

sehingga perlu adanya tinjauan ulang guna menentukan langkah perbaikan yang

diperlukan.

2.3 Metode Penilaian Risiko Kebakaran

Penilaian risiko kebakaran dapat dilakukan dalam 3 cara yaitu penilaian

risiko kualitatif, semi kwantitatif dan kwantitatif. Pertimbangan yang harus

diperhatikan dalam memilih metode penilaian risiko antara lain teknik yang

dipilih sesuai dengan kondisi dan kelengkapan fasilitas atau instalasi serta jenis

bahaya yang terdapat dalam kegiatan kerja, teknik tersebut dapat digunakan untuk

membantu memilih cara pengendalian risiko, teknik tersebut dapat membantu

membedakan tingkat bahaya secara jelas sehingga memudahkan prioritas


26

pengendalian bahaya tersebut, dan cara penerapanya terstruktur dan konsisten

sehingga manajemen risiko dapat berjalan berkesinambungan (Ramli, 2010a).

1. Metode Kualitatif

Metode kualitatif adalah cara yang digunakan untuk menilai risiko

menggunakan matrik risiko yang menggambarkan tingkat dari kemungkinan dan

keparahan suatu bahaya yang dinayatakan dalam bentuk rentang nilai risiko

rendah sampai risiko tinggi. Metode kualitatif digunakan jika data yang lengkap

dari perusahaan tidak tersedia. Metode kualitatif memiliki tingkat subyektifitas

yang tinggi karena nilai risiko digambarkan menggunakan kata-kata tanpa

terdapat nilai. Pihak terkait yang menggunakan metode atau hasil ini harus

menerka-nerka dan menafsirkan sendiri nilai risiko tersebut. Contoh matriks

risiko kualitatif sebagai berikut

Tabel 2.7 Matrik Risiko Kualitatif

Sumber: www.prioritysystem.com

2. Metode Semi Kuantitatif

Metode semi kuantitatif adalah suatu metode yang digunakan untuk menilai

risiko dimana tingkat risiko dari suatu bahaya yang digambarakan dalam matrik
27

risiko digambarkan dengan angka numerik, namun nilai ini tidak bersifat absolut.

Tingkat risiko yang digambarkan pada metode semi kuantitatif lebih konkrit

dibandingkan dengan metode kualitatif. Contok matrik risiko semi kuantitatif

sebagai berikut.

Tabel 2.8 Matrik Risiko Semi Kuantitatif


Likelyhood Severity
(1 ) Insig- (2 ) (3) Moderate (4 ) (5) Catastropic
nificant Minor Major
(5) Almost certain 5 10 15 20 25
(Hampir pasti)
(4) Likely (Besar 4 8 12 16 20
kemungkinan)
(3) Possible (Ada 3 6 9 12 15
kemungkin)
(2) Unlikely (Kecil 2 4 6 8 10
kemungkinan)
(1) Rare 1 2 3 4 5
(Jarang)
Sumber: Siswanto (2009)

3. Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif suatu metode penilaian risiko yang menggunakan

perhitungan nilai probabilitas kejadian dan konsekuensi dengan data numerik

dimana besarnya risiko tidak berupa peringkat seperti metode semi kuantitatif

tetapi berupa nilai numerik yang memberikan arti dari risiko tersebut. Hasil

penilaian risiko metode kuantitatif memberikan nilai yang lebih akurat

dibandingkan dengan metode semi kuantitatif tetapi membutuhkan dukungan data

dan informasi yang lebih mendalam mengenai probabilitas kejadian dan

konsekuensi suatu bahaya. Contoh dari metode kuantitaif adalah fault tree

analysis, quantitatif risk analysis dan layer of protection analysis.

You might also like