You are on page 1of 23

MAKALAH

SISTEM ORGANISASI PENGOLAHAN ZAKAT(OPZ) DI INDONESIA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Zakat & Wakaf
Dosen Pengampu: H. Abd Fatah, Kc. M. SEI

Oleh:

Agung Diwa Haryanto (2122290037)


Moch. Yasin saiful ihsan (2122290058)
Sapiudin (2122290059)

PRODI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AHMAD SIBAWAYHIE
DEMUNG BESUKI SITUBONDO
KATA PENGANTAR

Kalimat syukur dan termakasih mengawali kata dalam makalah ini, semua
teruntuk dan terhatur hanya pada Allah SWT. Tuhan yang telah memberikan
berbagai kenikmatan dan rasa nyaman untuk sekalian manusia sebagai risalah
suatu anugerah yang akan membuat manusia menyelesaikan tugasnya di dunia.
Dan karena kekuasannyalah kita juga bisa juga menyelesaikan makalah ini dengan
baik.

Tidak bisa dipungkiri dengan sifat mutlak manusia antara salah dan lupa,
maka sudi kiranya pembaca dan semua pihak yang telah membantu selesainya
mata kuliah ini untuk senantiasa selalu memberikan dukungan dan motivasi baik
moril dan maupun material, karena makalah ini tidak akan mencapai sempurna
tanpa sumbangsih pemikiran dari kalian semua.

Selain itu kami ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah
membimbing kami. Dengan rasa bangga dan bahagia kami berharap makalah ini
akan mampu memberikan sebuah pemahaman baru yang lebih komunitatif
sehingga isi makalah ini dapat sampai dengan baik dihati dan pikiran pembaca.
Berkenaan dengan itu semua, kami menunggu saran dan keritik untuk perbaikan
makalah ini.

Besuki , 01 Oktober 2023

Penyususn

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... II

DAFTAR ISI ................................................................................................... III

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

LATAR BELAKANG .................................................................................... 1

A. RUMUSAN MASALAH ...................................................................... 2


B. TUJUAN ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHSAN ................................................................................... 3

A. Unsur-unsur dalam zakat ........................................................................ 3


B. Manajemen organisasi pengelola zakat .................................................
C. Prinsip OPZ ............................................................................................. 18

BAB IIIPENUTUP ......................................................................................... 20

A. Kesimpulan ......................................................................................... 20
B. Saran ................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Sistem ekonomi Islam bagi kaum muslimin merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari keyakinan (Aqidah) dan merupakan wujud ketakwaan seorang
muslim, apabila dalam bermu’amalah sesuai dengan syariah ajaran Islam
sebagai bukti ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini berarti
bahwa ketaqwaan-lah yang menjadi asas pokok dalam sistem perekonomian
Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan
ekonomi konvensional.

Awal mula pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak masa Nabi


Muhammad SAW diutus menjadi seorang Rasul. Beberapa kebijakan yang
dikeluarkan di masa Rasulullah selain masalah hukum (fiqih) dan politik
(siyasah), kebijakan dalam hal perniagaan atau ekonomi (muamalah) juga
diatur di antara kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan. Rasulullah
menjadikan masalah ekonomi sebagai suatu hal yang harus diberikan perhatian
yang lebih. Oleh karena perekonomian adalah pilar penyangga keimanan yang
harus diperhatikan. Kebijakan yang telah dibentuk oleh Rasulullah ini, juga
dijadikan pedoman oleh para Khalifah yang menggantikan kepemimpinan
sepeninggal Rasulullah saw dalam mengambil keputusan tentang
perekonomian. Landasan utama sebagai dasar adalah Al-Quran dan Al -Hadist.

Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan perwujudan


dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi
Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi
sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang
mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari
sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini
dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman
hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi
tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat

1
yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat
memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada
keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan
untuk akhirat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja unsur-unsur zakat?


2. Apa tujuan pengolahan Zakat?
3. Apa Saja prinsip-prinsip OPZ ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Pembangunan Ekonomi
2. Untuk Mengetahui Pengertian Pembangunan Ekonomi
3. Untuk Mengetahui Tujuan Pembangunan Dalam Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Unsur-unsur zakat
Adapun rukun zakat ialah mengeluarkan sebahagian dari nisab (harta)
dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik
orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut diserahkan
kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut
zakat. Zakat dihukumi wajib atas setiap muslim merdeka yang memiliki satu
nisab dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pelaksanaan zakat yaitu: orang
yang berzakat (muzakki), harta yang dikenakan zakat, dan orang yang
menerima zakat (mustahiq).1
1. Yang Wajib Berzakat(Muzakki)
Persoalan yang sangat terkait dengan kewajiban zakat adalah atas
siapa diwajibkan berzakat itu. Inilah sebenarnya yang menjadi inti dari
pembahasan tema ini. Orang yang wajib berzakat disebut dengan
Muzakki. Telah disepakati oleh umat Islam bahwa zakat hanya
diwajibkan kepada seorang muslim, merdeka, dewasa yang berakal, yang
memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat tertentu.
Ketentuan ini ada yang disepakati dan ada pula yang tidak.
Mengenai ketentuan yang pertama, para ulama telah sepakat bahwa
zakat tidak diwajibkan kepada non muslim. Dasar pendapat mereka ini
adalah hadis shahih yang menjelaskan tentang instruksi nabi kepada
Mu’az bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman: “… Yang pertama
yang harus kamu lakukan adalah mengajak mereka agar meyakini bahwa
Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya. Apabila
mereka menyambut seruanmu, maka ajarkanlah bahwa Allah mewajibkan
mereka salat lima kali dalam sehari. Dan bila mereka mengerjakannya,
maka barulah kamu beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan
mereka berzakat, yang dipungut dari orang kaya mereka dan diberikan

1
Wahbah al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab (Cet. VII; Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. 97-98

3
kepada orang yang miskin.” Dengan ini jelaslah bahwa kewajiban zakat
ini terkait dengan keislaman seseorang, dan ia merupakan salah satu dari
lima landasan tempat berdirinya bangunan keislaman itu, yaitu syahadat,
salat, zakat, puasa dan haji ke Baitullah. Karena itu tidak diwajibkan bagi
orang yang tidak Islam.
Para ulama juga sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan bagi Muslim
yang merdeka. Zakat tidak wajib atas budak, karena budak tidak memiliki
apa-apa, bahkan ia sendiri adalah milik tuannya. Kalaupun ia
memilikisesuatu, maka itu bukanlah pemilikan yang sempurna (penuh).
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang harta anakanak
dan orang gila, ada yang berpendapat tidak wajib, dan ada yang
sebaliknya. Beberapa ulama seperti Abu Ja’far al-Baqir, Hasan, Mujahid
dan lain-lain berpendapat bahwa harta anak-anak dan orang gila tidak
wajib dikeluarkan zakatnya. Mereka beralasan: Pertama, zakat adalah
ibadah mahdhah seperti salat, dan ibadah ini perlu niat, yang tidak
dipunyai oleh anak-anak atau orang gila, dan kalaupun mereka bisa
melakukannya, tidaklah dianggap. Karena itu, ibadat tidak wajib atas
mereka, dan mereka tidak dikhithab dengannya.
Kedua, alasan di atas, menurut mereka didukung oleh hadis rufi’al
qalam ‘an tsalaatsattin: ‘anish shabiyyi hatta yablugha, ‘anin naa’imi hatta
yastayqazha, wa ‘anil majnuuni hattayfiiqa. Terangkatnya pena berarti
bebas dari tuntutan hukum, karena hukumnya hanya dibebankan kepada
orang yang memahami maksud hukum, sedangkan tiga golongan yang
disebutkan dalam hadis tidak memahami maksud tersebut.
Ketiga, dalil lain menurut mereka adalah firman Allah dalam QS.
9:103. Di sini dijelaskan bahwa tujuan dari perintah pemungutan zakat itu
adalah untuk membersihkan dan mensucikan dari dosa, sedangkan
anakanak dan orang gila tidak berdosa. Karena itu, tentu mereka tiak
termasuk dalam tuntutan ayat ini.
Keempat, selain itu, kemashlahatan yang menjadi perhatian Islam
dalam setiap penetapan hukumnya, menurut mereka tidak akan ter capai
dengan mewajibkan zakat kepada harta mereka ini, karena

4
ketidakmampuan mereka mengelola harta, maka penarikan zakat dari
tahun ketahun dikhawatirkan akan menghabiskan harta mereka dan me
nyebabkan mereka miskin.
Sementara itu Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang
yang sesudah mereka berpendapat bahwa harta anak-anak dan orang gila
wajib dikeluarkan zakatnya. Alasan mereka adalah: (1) Nash ayat dan
hadis yang mewajibkan zakat bersifat umum, yang mencakup pada semua
harta orang kaya, tanpa mengecualikan anak-anak dan orang gila. (2)
Hadis riwayat Syafi’i dari Yusuf bin Mahak bahwa Rasululullah
bersabda: “Terimalah/Ambillah oleh kalian zakat dari harta seorang anak
yatim (yang kaya), atau harta kekayaan anak-anak yatim yang tidak
mengakibatkan harta itu habis. (3) Selain itu mereka beralasan dengan
tindakan para sahabat, seperti Umar, Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah dan
Jabir bin Abdullah yang mewajibkan zakat atas kekayaan anak-anak. (4)
Kemudian mereka juga melihat dari sisi makna dari diwajibkannya zakat,
yang menurut mereka adalah untuk membantu orang yang membutuhkan
di samping untuk mensyukuri nikmat Allah, karena itu anak-anak dan
orang gila, bila memang kaya tidak terlepas dari kewajiban zakat ini.
Setelah memperhatikan semua alasan dari kedua belah pihak, maka
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa yang mewajibkan zakat harta anak
dan orang gila lebih kuat dalilnya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa
kekayaan anak-anak dan orang gila wajib zakat, karena zakat merupakan
kewajiban yang terkait dengan kekayaan bukan dengan orang, yang tidak
gugur karena pemiliknya masih anak-anak atau orang gila.
Dengan paparan di atas jelaslah bahwa untuk penentuan muzakki itu
tidaklah terlalu sulit, karena kriterianya sangat sederhana sekali. Telah
dijelaskan bahwa muzakki itu adalah seorang muslim atau lembaga yang
dimiliki oleh orang Islam yang memiliki harta yang diwajibkan zakat,
baik sudah dewasa atau tidak, berakal atau tidak.2
2. Mustahik Zakat

2
Isnawati Rais, 2009 , Muzakki Dan Kriterianya Dalam Tinjauan Fikih Zakat,Jurnal Vol. I, No. 1,
Majelis Ulama Indonesia Pusat H. 99-101

5
Mustahiq zakat adalah orang- orang yang berhak menerima harta
zakat. Allah SWT telah menentukan orang-orang yang berhak menerima

zakat di dalam firman-Nya:


“Sesungguhnya shadaqah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 60).
Ayat di atas menggunakan kata "innama" sebagai huruf hasr
(pembatasan), makna zahir yang dikehendaki adalah membatasi mustahik
zakat sehingga orang-orang yang tidak termasuk dalam kategori ini tidak
berhak menerima zakat.
Di dalam hadits riwayat Abu Daud dari Ziyad bin Al-Harits Al-
Shada’i, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT tidak
berwasiat dengan hukum nabi dan juga tidak dengan hukum lainnya
sampai Dia memberikan hukum di dalamnya. Maka, Allah membagi zakat
kepada delapan bagian. Apabila kamu termasuk salah satu dari bagian
tersebut, maka aku berikan hakmu.” (HR Abu Dawud).
3. Golongan Penerima (Mustahik) Zakat
1. Fakir
Terdapat perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan
orang fakir (al-faqr, jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah
berpendapat orang fakir adalah orang yang tidak memiliki penghasilan
tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun menurut
jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta
atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk

6
dirinya sendiri maupun untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi
tanggungannya.
2. Miskin
Dalam mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-
masakin) pun, kedua golongan ulama diatas berbeda pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin adalah orang yang
memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi kebutuhannya
sehari-hari. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah
orang yang mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi
kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak
mencukupi. Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qasim (w. 918 M;
tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak membedakan secara defenitif kedua
kelompok orang tersebut (fakir dan miskin). Menurut mereka, fakir
dan miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang
sama. Islam sangat memperhatikan nasib fakir dan miskin ini. Hal ini
terbukti dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi yang
menyuruh umat Islam memperhatikan nasib mereka. Bahakan Al-
Qur’an memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir
miskin sebagai pendusta agama, sebagaimana tersebut dalam Surat
Al-Ma’un ayat 1-3. Usaha-usaha Islam untuk meningkatkan
kesejahteraan fakir miskin antara lain ialah dengan pemberian zakat
kepada mereka. Dan fakir miskin adalah yang paling berhak menerima
zakat diantara delapan asnaf.
3. Amil
Yang dimaksud amil adalah orang yang ditunjuk untuk
mengumpulkan zakat, menyimpannya, membaginya kepada yang
berhak dan mengerjakan pembukuannya.
Mereka itu adalah kelengkapan personil dan finasial untuk
mengelola zakat.
a. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya
atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh
masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas

7
lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau
penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-
sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan
mereka yang mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga
serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat
Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan
panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini
adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang
mengurus zakat yang ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh karena
itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
b. Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang
bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok
dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki,
jujur, dan mengetahui hukum zakat. Ada tugas-tugas sekunder lain
yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi
sebagian syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi, penyimpanan, dan
perawatan aset yang dimilikilembaga pengelola zakat, pengetahuan
tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.
c. Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang
diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan
bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun
mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil
dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat
(13,5%). Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat
pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas
ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang
zakat dapat disalurkan kepada mustahik lain.
d. Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah
atau hibah, baik dalam bentuk uang ataupun barang. Melengkapi

8
gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan
yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah,
hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil
sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus
berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan
penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah
zakat.
e. Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi
suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk
meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan tugas kontrol
terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan
bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan
bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat
kecerobohan dan kelalaiannya. Para petugas zakat seharusnya
mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun
dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan
mereka. Begitu juga terhadap para mustahik, mereka mesti dapat
menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas
sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada
para mustahik.
4. Muallaf
Yaitu golongan yang diusahakan untuk dirangkul, ditarik, dan
dikukuhkan hatinya dalam keislaman disebabkan belum mantapnya
keimanan mereka atau untuk menolak bencana yang mungkin
merekalakukan terhadap kaum muslimin dan mengambil keuntungan
yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Kemudian
menurut Umrotul Khasanah, yang dimaksud muallaf disini ada 4
macam yaitu:
a. Muallaf muslim ialah orang yang sudah masuk islam tetapi niatnya
atau imannya masih lemah, maka diperkuat memberi zakat.

9
b. Orang-orang yang masuk islam dan niatnya cukup kuat, dan ia
terkemuka di kalangan kaum nya, dia diberi zakat dengan harapan
kawan- kawannya akan tertarik masuk islam.
c. Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang kaum kafir
disampingnya.
d. Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang yang
membangkang membayar zakat.
5. Fi Riqab ( Memerdekakan Budak)
Fi Riqab (memerdekakan budak) menurut istilah syara’riqab ialah
budak atau hamba sahaya. Budak dinamakan raqaba atau riqab, karena
dia dikuasai sepenuhnya oleh tuannya sehingga dengan diberikan
bagian zakat tujuannya agar mereka dapat melepaskan diri dari
belenggu perbudakan. Zakat dapat digunakan untuk membebaskan
orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan:
a. Membantu para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil
pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan dirinya dari
majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak
mendapatkannya dari zakat.
b. Atau dengan membeli budak kemudian dimerdekakan Pada zaman
sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia,
mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab
Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari tangan
musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan.
Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih
berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya.
Bahkan Mahmud Syaltut (tokoh fiqih Mesir) menyatakan bahwa
bagian zakat untuk memerdekakan budak bisa dipergunakan untuk
menghindari suatu Negara dari perbudakan ekonomi, cara berpikir
dan politik.
6. Gharim
Mereka adalah orang-orang yang terbebani oleh hutang. Ada dua
macam gharim yaitu orang yang terlilit hutang untuk kemaslahatan

10
pribadi yang dibolehkan oleh syara’ dan orang yang terlilit hutang
untuk kemaslahatan masyarakat seperti untuk merukunkan dua pihak
yang bermusuhan. Elsi Kartika Sari menyebutkan dalam bukunya
Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf bahwa al gharimin (orang-orang
yang berutang) ialah orang yang tersangkut (mempunyai) utang
karena kegiatannya dalam urusan kepentingan umum, antara lain
mendamaikan perselisihan antara keluarga, memelihara persatuan
umat Islam, melayani kegiatan dakwah Islam dan sebagainya. Mereka
berhak menerima bagian dari zakat, sedangkan orang-orang yang
berutang karena moral dan mentalnya telah rusak, seperti orang
berutang karena akibat narkotika, minuman keras, judi dan
sebagainya, mereka tidak berhak mendapat bagian dari zakat.
7. Fisabilillah
a. Fisabilillah Menurut Ulama Mazhab
Menurut Menurut mazhab Hanafi adalah pejuang fakir yang
terjun dalam peperangan. Mereka diberi harta zakat agar dapat
membantu keperluan yang dibutuhkan dalam perjuangan. Maka
pejuang yang kaya harta tidak diberikan zakat karena telah
dicukupkan dengan sendiri.
Sedangkan menurut al-Qurtubi, salah seorang mufassir yang
beraliran Malikiyah, pengertian fisabilillah dalam mazhab Maliki
adalah: "fisabilillah adalah pejuang yang memiliki ikatan,
diberikan untuk menjadi kebutuhan mereka dalam peperangan
baik keadaan mereka kaya atau miskin." Pengertian fisabilillah
yang diberikan Malikiyah menunjukkan bahwa tidak membedakan
kaya dan miskin. Semua pejuang yang terjun dalam peperangan
mendapat jatah harta zakat. Pemberian ini hanya disebabkan
karena terlibat dalam peperangan bukan lainnya.
Mazhab Syafi`i sejalan dengan mazhab Maliki dalam
mengkhususkan sasaran zakat pada fisabilillah, dan membolehkan
memberi mujahid yang dapat menolongnya dalam berjihad,
walaupun kaya, serta boleh menyerahkan zakat untuk memenuhi

11
yang mutlak diperlukan, seperti senjata dan perlengkapan lainnya.
Akan tetapi dalam hal ini mazhab Syafi`i berbeda pendapat
dengan mazhab Maliki yaitu: mereka mensyaratkan pejuang
sukarelawan itu tidak mendapat bagian atau gaji yang dianggarkan
oleh negara.
Sedangkan pandangan Hanabilah terhadap sabilillah banyak
persamaan dengan yang dikemukakan Syafi`iyah, tetapi mereka
menambahkan bahwa cakupan yang dikehendaki dari pengertian
fisabilillah lebih luas. Menurut mereka penjaga benteng
pertahanan juga dinamakan bagian perang walaupun tidak ada
penyerangan, juru rawat, tukang masak, dan lainnya yang
berhubungan dengan peperangan.
b. Fisabilillah Menurut Ulama Modern
Sayid Rasyid Ridha pengarang Tafsir al-Manar
mengemukakan pendapatnya dalam menafsirkan fisabilillah yaitu:
segala jalan (al-Thariq) yang digunakan dalam mempertahankan
keyakinan dan amal untuk mencapai keridhaan dan balasan dari
Allah. Kemaslahatan umum kaum muslimin, yang dengannya
tegak urusan agama dan pemerintahan, bukan kepentingan pribadi.
Ibadah haji tidak termasuk kemaslahatan bersama, karena ia wajib
bagi orang yang mampu dan tidak wajib kepada mereka yang tidak
mampu, ibadah ini termasuk fardhu `ain yang mempunyai syarat-
syarat tertentu seperti shalat dan puasa, bukan termasuk
kemaslahatan agama yang bersifat umum. Akan tetapi untuk
kepentingan syiar ibadah haji dan kepentingan untuk
melaksanakannya, seperti pengamanan jalan, memenuhi
kebutuhan air dan makanan serta kesehatan jama`ah, maka untuk
kegiatan tersebut boleh dipergunakan dari bagian fisabilillah, jika
tidak ada sumber dana lain. Yang paling utama adalah
mendahulukan persiapan perang, seperti membeli senjata,
menyiapkan bala tentera (ini dinisbatkan pada peperangan Islam
dan untuk menengakkan kalimat Allah semata).

12
Demikian pula Mahmud Syaltut dalam menafsirkan fisabilillah
dengan kemaslahatan umum yang bukan milik perorangan, tidak
hanya dimanfaatkan oleh seseorang, pemiliknya hanya untuk
Allah dan kemanfaatannya untuk makhluk Allah, yang paling
utama adalah untuk mempersiapkan perang dalam rangka menolak
orang-orang jahat, memelihara kemuliaan agama. Mencakup pula
dalam makna ini adalah persiapan da’i-da’i muda yang kuat untuk
menjelaskan ketinggian agama dan hukum-hukumnya, serta
melemahkan argumentasi orang-orang yang ingin menjelek-
jelekkan dan menghancurkan Islam. Kemudian Yusuf al-
Qaradhawi menyebutkan dalam “Fatwa-fatwa Kontemporer”
bahwa kebutuhan untuk tentara dan pertahanan pada masa
sekarang ini menjadi tanggung jawab umum. Ia memerlukan dana
besar yang tidak dapat dipenuhi dengan hasil zakat saja. Karena
itu dana untuk kepentingan ini bukan diambil dari zakat,
melainkan dari uang fa’i (hasil rampasan), kharaj (pajak), dan
sebagainya. Hasil zakat hanya untuk pelengkap saja, misalnya
untuk member nafkah kepada para sukarelawan dan sebagainya.
Pendistribusian zakat untuk kepentingan fi sabilillah pada zaman
sekarang ini lebih tepat jika diarahkan pada jihad tsaqafi
(perjuangan dalam bidang kebudayaan), pendidikan, dan
informasi. Berjihad dalam bentuk ini adalah lebih utama dengan
syarat harus berupa jihad (perjuangan) Islam yang benar.
8. Ibnu sabil
Yang dimaksud dengan pos ini adalah pemberian harta zakat
kepada seseorang yang bepergian di daerah asing. Jika dia kaya maka
ia mengambil harta tersebut sebagai qard hasan (pinjaman) yang akan
dikembalikan setelah kembali ke daerahnya dan jika dia fakir maka ia
tidak mengembalikannya. Orang tersebut diberi harta zakat sebesar
apa yang mencukupi dirinya sampai kembali ke daerah asalnya.
Menurut jumhur ulama, ibnu sabil adalah musafir yang melakukan
suatu perjalanan bukan untuk maksiat dan dalam perjalanan itu

13
mereka kehabisan bekal. Yusuf alQardawi, setelah mendiskusikan
beberapa ayat, mengatakan bahwa Alqur’an meneyebutkan yang
disebut “perjalanan” yang disuruh dan dirangsang oleh Allah SWT itu
adalah:
a. Orang-orang yang melakukan perjalanan untuk mencari rezeki
(QS: 67: 15),
b. Para penuntut ilmu (QS: 29:20, 3:137, dan 22: 46),
c. Berjihad/perang dijalan Allah SWT (QS: 9: 41 – 42 dan 121),
d. Melaksanakan haji ke Baitullah (QS: 3:97 dan 22: 27 – 28).
Oleh sebab itu Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa ibnu sabil
dalam kaitannya dengan zakat adalah seluruh bentuk perjalanan yang
dilakukan untuk kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali pada
agama Islam atau masyarakat Islam. Ibnu Sabil yang berhak menerima
zakat menurut ulama fiqih harus memenuhi syarat:
a. Dalam keadaan membutuhkan,
b. Bukan perjalanan maksiat3
B. Manajemen organisasi pengolahan zakat
UU 23 Tahun 2011 secara tegas menjabarkan bahwa dua tujuan
pengelolaan zakat di Indonesia adalah untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan penang-gulangan kemisinan.
Artinya, pengelolaan zakat harus senantiasa dikaitkan dengan agenda
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Untuk
itu, penting bagi BAZNAS agar dapat membangun koordinasi dan sinergi
dengan seluruh Kementerian/Lembaga non Kementerian terkait di bidang
pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan sosial. Bahwasanya,
dalam agenda ini, tidak semestinya BAZNAS hanya bekerjasendiri atau hanya
dengan melibatkan BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, dan LAZ,
namun juga perlu melibatkan seluruh institusi pemerintah dalam agenda
tersebut.

3
Andi Suryadi, 2018, Mustahiq Dan Harta Yang Wajib Dizakati Menurut Kajian Para Ulama,
Jurnal Vol. 19 No. 1, Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten, H. 2-10

14
Dalam aspek menghimpun, penting bagi BAZNAS, BAZNAS Provinsi,
dan BAZNAS Kabupaten/Kota untuk berkoordinasi dengan, Kantor
Perwakilan Indonesia di luar negeri, Satuan Kerja Perangkat Daerah, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
sehingga menghimpun zakat dapat lebih terukur sesuai dengan potensi yang
ada. Sementara itu, dalam aspek pendistribusian dan pendayagunaan,
penyaluran zakat perlu untuk melakukan sinergi di antara organisasi pengelola
zakat (OPZ) baik bersifat teknis di tingkat pelaksanaan program maupun pada
tataran pertukaran data dan informasi mengenai mustahik yang berhak
menerima zakat. Tujuan dari sinergi ini adalah agar tidak ada lagi mustahik
yang mendapatkan bantuan zakat berganda, sementara di wilayah lain masih
banyak mustahik yang belum terbantu oleh manfaat zakat. Dalam hal ini,
BAZNAS memiliki peran yang sangat penting untuk memoderasi kesenjangan
sosial melalui penyaluran zakat yang terintegrasi secara nasional.
Di dalam pengelolaan zakat nasional terdapat tujuh azas. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat. Ketujuh asas tersebut adalah syariat Islam, amanah, kemanfaatan,
keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas.
Di tingkat provinsi, BAZNAS Provinsi melaksanakan fungsi koordinator
dan operator zakat tingkat provinsi. Fungsi koordinator zakat provinsi
ditekankan pada peran koordinasi terhadap BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ
provinsi terkait kebijakan dan pedoman pengelolaan zakat yang telah
ditetapkan oleh BAZNAS.
Dalam fungsi koordinator zakat provinsi ini, BAZNAS Provinsi
bertanggung jawab atas pelaporan zakat tingkat provinsi yang meliputi laporan
dari BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ tingkat provinsi,
serta pemberian rekomendasi pembukaan perwakilan LAZ dalam wilayah
provinsi
Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan dan Pelaporan
1. Pegumpulan Zakat, dalam rangka pengumpulan zakat, Muzaki melakukan
penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya. Hal ini tidak dapat

15
menghitung sendiri kewajiban zakatnya, sehingga Muzaki dapat meminta
bantuan Baznas.
2. Pendistribusian, Pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewajiban berdasarkan
skala prioritas.
3. Pendayagunaan, Pendayagunaan zakat dilakukan apabila kebutuhan dasar
Mustahik telah terpenuhi. Para amil zakat diharapkan mampumelakukan
pembagian porsi hasil pengumpulan zakat misalnya 60% untuk zakat
konsumtif dan 40% untuk zakat produktif.
4. Pengelolaan Infak, sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan lainnya,
Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial
lainnya dilakukan sesuai dengan syariat islam dan dilakukan sesuai dengan
peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi. Pengelolaan infak, sedekah, dan
dana sosial lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri. Dimana
BAZNAS atau LAZ tidak hanya menerima zakat tetapi juga dapat
menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
5. Pelaporan, BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya
kepada Menteri secara berkala.4
C. Prinsip OPZ
BAZNAS menerapkan prinsip 3A dalam pengelolaan zakat yaitu, Aman
Syari, Aman Regulasi, dan Aman NKRI. Aman Syari adalah pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BAZNAS harus sesuai dengan jalur hukum syari.
Maksudnya dalam pelaksanaannya harus berlandaskan dengan sumber hukum
Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah. Aman Regulasi adalah pengelolaan zakat
harus selaras dengan peraturan hukum dan perundangan yang berlaku. Dan
Aman NKRI adalah pengelolaan zakat harus menambah keeratan persaudaraan
antaranak bangsa dan menjauhkan diri dari tindakan terorisme.

4
Mohd. Nasir dan Efri Syamsul Bahri. Rencana Strategis Zakat Nasional (Jakarta : BAZNAS,
2016).h. 16-27

16
Sebagai sebuah lembaga, lembaga pengelola zakat memiliki asas-asas
yang menjadi pedoman kerjanya. Dalam UU No. 23 Tahun 2011, disebutkan
bahwa asas-asas lembaga pengelola zakat adalah :
1. Syariat Islam. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, lembaga pengelola
zakat haruslah berpedoman sesuai dengan syariat Islam, mulai dari tata
cara perekrutan pegawai hingga tata cara pendistribusian zakat.
2. Amanah. Lembaga pengelola zakat haruslah menjadi lembaga yang dapat
dipercaya.
3. Kemanfaatan. Lembaga pengelola zakat harus mampu memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi mustahiq.
4. Keadilan. Dalam mendistribusikan zakat, lembaga pengelola zakat harus
mampu bertindak adil.
5. Kepastian hukum. Muzakki dan mustahiq harus memiliki jaminan dan
kepastian hukum dalam proses pengelolaan zakat.
6. Terintegrasi. Pengelolaan zakat harus dilakukan secara hirarkis sehingga
mampu meningkatkan kinerja pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat.
7. Akuntabilitas. Pengelolaan zakat harus bisa dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat dan mudah diakses oleh masyarakat dan pihak lain
yang berkepentingan.
Lembaga pengelola zakat yang berkualitas seharusnya mampu mengelola
dana yang masuk dengan efisien dan efektif. Programprogram pendistribusian
dana harus benar-benar bermanfaat dan tepat sasaran. LPZ juga harus
mempunyai sikap responsif terhadap kebutuhan mustahiq, muzakki, dan
masyarakat sekitar. Hal ini mendorong amil zakat untuk bersifat proaktif,
antisipatif, inovatif, danjuga kreatif sehingga tidak hanya bersifat pasif dan
reaktif terhadap fenomena sosial yang terjadi.
Kedua lembaga yang diakui oleh pemerintah yaitu BAZ dan LAZ sama–
sama memiliki tugas untuk mengelola zakat yang berasal dari para muzakki
sehingga dapat tersalurkan dengan baik kepada mustahiq. Selain itu dalam
pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain
a. Pengelolaan harus berlandaskan al quran dan as sunnah.

17
b. Keterbukaan, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang
terbuka.
c. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
d. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelola zakat dengan
sebaik-baiknya.5

5
Mahmudi, Penguatan Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi Pengelola Zakat,
(Ekbisi 2009 volume 4), 69-84

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pelaksanaan zakat yaitu: orang
yang berzakat (muzakki), harta yang dikenakan zakat, dan orang yang menerima
zakat (mustahiq)
UU 23 Tahun 2011 secara tegas menjabarkan bahwa dua tujuan pengelolaan
zakat di Indonesia adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
penang-gulangan kemisinan
Kedua lembaga yang diakui oleh pemerintah yaitu BAZ dan LAZ sama–
sama memiliki tugas untuk mengelola zakat yang berasal dari para muzakki
sehingga dapat tersalurkan dengan baik kepada mustahiq. Selain itu dalam
pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain
a. Pengelolaan harus berlandaskan al quran dan as sunnah.
b. Keterbukaan, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang
terbuka.
c. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
d. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelola zakat dengan
sebaik-baiknya.

B. Saran

Maka dengan makalah ini Kami berharap Semoga bisa bermanfaat bagi
para pembaca dan dapat menambah wawasan khususnya bagi mahasiswa,
namun manusia tidaklah ada yang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat diperlukan guna memperbaiki makalah ini

19
DAFTAR PUSTAKA
Andi Suryadi, 2018, Mustahiq Dan Harta Yang Wajib Dizakati Menurut Kajian
Para Ulama, Jurnal Vol. 19 No. 1, Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten,
Isnawati Rais, 2009 , Muzakki Dan Kriterianya Dalam Tinjauan Fikih
Zakat,Jurnal Vol. I, No. 1, Majelis Ulama Indonesia Pusat
Mahmudi, Penguatan Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi
Pengelola Zakat, (Ekbisi 2009 volume 4)
Mohd. Nasir dan Efri Syamsul Bahri. Rencana Strategis Zakat Nasional (Jakarta :
BAZNAS, 2016).
Wahbah al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab (Cet. VII; Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2008)

20

You might also like