You are on page 1of 21

ETIKA PELAYANAN KESEHATAN, ETICOMEDICOLEGAL, BIOETIKA MEDIS

Oleh :
Solihin Niar Ramadhan 110110110195
Bima Rizki Nurahman 110110110237
Trian Christiawan 110110110244
(kelompok 3)

Dosen :
Dr.Hj.Efa Laela Fakhriah. S.H.,M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika adalah aturan bertindak atau berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu
atau komunitas. Aturan bertindak ini ditentukan oleh setiap kelompok masyarakat, dan
biasanya bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi, serta tidak tertulis. Sedangkan
hukum adalah aturan berperilaku masyarakat dalam suatu masyarakat atau negara yang
ditentukan atau dibuat oleh para pemegang otoritas atau pemerintah negara, dan tertulis.
Baik etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan yang sama, yakni
terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan damai. Oleh sebab itu, semua
anggota masyarakat harus mematuhi etika dan hukum ini. Apabila tidak, maka bagi para
pelanggar kedua aturan perilaku ini memperoleh sanksi yang berbeda. Bagi pelanggar etika
sanksinya adalah “moral”, sedangkan bagi pelanggar hukum, sanksinya adalah hukuman
(pidana atau perdata).
Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika dan
hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, perilaku
petugas kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan juga tunduk pada
ketentuan hukum, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Apabila petugas
kesehatan melanggar kode etik profesi, maka akan memperoleh sanksi “etika” dari
organisasi profesinya. Dan mungkin juga apabia melanggar ketentuan peraturan atau
perundang-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum (pidana atau perdata).
Seiring dengan kemajuan zaman, serta kemudahan dalam akses informasi, era globalisasi
atau kesejagatan membuat akses informasi tanpa batas, serta peningkatan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi membuat masyarakat semakin kritis. Disisi lain menyebabkan
timbulnya berbagai permasalahan etik. Selain itu perubahan gaya hidup, budaya dan tata
nilai masyarakat, membuat masyarakat semakin peka menyikapi berbagai persoalan,
termasuk memberi penilaian terhadap pelayanan yang diberikan petugas kesehatan.
Perkembangan ilmu dan tekhnologi kesehatan yang semakin maju telah membawa manfaat
yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Perkembangan
ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di bidang kesehatan, sehingga secara
bersamaan, petugas kesehatan menghadapi masalah hukum terkait dengan aktivitas,
perilaku, sikap dan kemampuannya dalam menjalankan profesi kesehatan.
Ketika masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan atau apabila seorang
petugas kesehatan merugikan pasien, tidak menutup kemungkinan untuk di meja hijaukan.
Bahkan didukung semakin tinggi peran media, baik media massa maupun elektronik dalam
menyoroti berbagai masalah yang timbul dalam pelayanan kesehatan, merupakan hal yang
perlu diperhatikan dan perlu didukung pemahaman petugas kesehatan mengenai kode etik
profesi dan hukum kesehatan, dasar kewenangan dan aspek legal dalam pelayanan
kesehatan. Untuk itu dibutuhkan suatu pedoman ynag komprehensif dan integratif tentang
sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang petugas kesehatan, pedoman tersebut
adalah kode etik profesi.
Kode etik profesi penting diterapkan, karena semakin meningkatnya tuntutan
terhadap pelayanan kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum masyarakat
tentang prinsip dan nilai moral yang terkandung dalam pelayanan profesional. Kode etik
profesi mengandung karakteristik khusus suatu profesi. Hal ini berarti bahwa standar profesi
harus diperhatikan dan mencerminkan kepercayaan serta tanggung jawab yang diterima
oleh profesi dalam kontrak hubungan profesional antara tenaga kesehatan dan masyarakat.
Masyarakat memberi kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk melaksanakan
kewajibannya dalam memutuskan dan melakukan tindakan berdasarkan pada pertimbangan
terbaik bagi kepentingan masyarakat (penerima layanan kesehatan) yang mengacu pada
standar praktik dan kode etik profesi. Kode etik adalah seperangkat prinsip etik yang
disusun atau dirumuskan oleh anggota-anggota kelompok profesi, yang merupakan cermin
keputusan moral dan dijadikan standar dalam memutuskan dan melakukan tindakan profesi.

B. Rumusan Masalah
1. bagaimana etika dalam pelayanan kesehatan ?
2. apa yang dimaksud dengan etiko medikolegal ?
3. apa yang dimaksud dengan bioetik medis ?

.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Pelayanan Kesehatan

Dalam arti yang sempit, pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan pemberian obat-
obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya
kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta
masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik terutama
pelayanan kesehatan berhasil diberikan melalui suatu sistem yang sehat. Pelayanan
kesehatan ini dapat dilihat sehari-hari di RSUD ataupun puskesmas-puskesmas. Tujuan
pelayanan kesehatan adalah menyediakan obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik
bagi masyarakat. Obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa
yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan
kesehatan yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap masyarakat, kalau
perlu melebihi harapan masyarakat.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan kesehatan (health service) identik dengan
memberikan pelayanan jasa demi kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini
pelayanan kesehatan lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen pelayan
kesehatan seperti para tim medis melakukan pelayanan, dimana pelayanan kesehatan
identik dengan pengobatan yang merupakan bagian dari manajemen ilmu kesehatan.

1. Pentingnya Etika Pelayanan Kesehatan

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan antara administrasi dan
politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator harus sungguh-sungguh netral, bebas
dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan kesehatan. salah satunya jasa
pelayanan kesehatan. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi
administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada
keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik dalam kebijakan
pentingnya pelayanan kesehatan. Sejak saat ini dimata masyarakat mulai memberikan
perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para tim medis yang
beprofesi dibidang pelayanan kesehatan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan
kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap
kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan
mendasar mengapa pelayanan kesehatan harus diberikan adalah adanya public interest
atau kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah terutama dibidang
pelayanan kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa
mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.
Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral;
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga
arti penting etika, yaitu
a) Etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan
“sistem nilai”.
b) Etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”;
c) Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas
konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu
sendiri – yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket
menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam
pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan
tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan
cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi
kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan
simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan
menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
2. Beberapa Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan

Realita yang terjadi saat ini, terkait dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) menjadi tidak relevan ditengah masyarakat yang membutuhkan
pelayanan dan penanganan sesuai dengan tujuan diadakannya program kesehatan
Gratis, program yang satu ini terlalu indah ditelinga Rakyat, namun apakah realita
yang terjadi dilapangan, apakah seindah pemaparan didalam tujuan pokok
diadakannya program itu, ataukah memang lahan bisnis bagi Oknum-oknum
tertentu, seperti halnya yang dialami oleh Penderita Tumor Ganas atas nama
Salahudin warga Dusun Madalibi Desa Madaprama, Kecamatan Woja Kabuapten
Dompu ,Salahuddin terdaftar sebagai peserta Jamkesmas pada PPK : 23050101-
Puskemas Dompu Barat, No. Peserta 0002512250605, atau kepesertaan : P/I/S/A
peserta tanggal lahir 01/07/1972, yang sudah sejak tanggal 20/10/2010 masuk
Rumah Sakit Umum Dompu Akibat luka dalam yang dialaminya pada rusuk bagian
kiri, selama dua hari menginap dirumah sakit yakni pada ruangan perawatan kelas I
dengan harga Rp. 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah) Per hari total Rp. 60.000,-
(Enam Puluh Ribu Rupiah) selama dua hari, ditambah dengan biaya lain-lain sampai
dengan Rp 363,000,- (tiga Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah), Pembayaran
berdasarkan ketentuan pihak Rumah Sakit, yang memang pada saat awal masuk
rumah Sakit, di Tanya oleh petugas Rumah Sakit “apakah mau masuk kelas I atau
Kelas II pak/bu?”, kira-kira begitu dicontohkan oleh salah satu petugas RSUD
dibagian yang menangani Jamkesmas, pada saat Dinamika Info News menelusuri
apakah nama Salahudin terkafer atau tidak sebagai peserta Jamkesmas diruang
registrasi Jaminan Kesehatan gratis RSUD Dompu, 28/03/11.
Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan yang sama
oleh pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien adalah kelas I atau
Kelas II, beberapa keluarga penderita tumor yang enggan disebut namanya pada saat
dikonfirmasi Majalah Dinamika Info News dikediamannya di Desa Madaprama 27/03/11.
Keluarga penderita mengeluhkan, sungguh Ironisnya, pihak Rumah Sakit sudah
mengetahui bahwa calon pasien itu memiliki Kartu Jaminan Kesehatan secara gratis,
kenapa justru dipertanyakan lagi, sementara untuk JAMKESMAS hanya kelas III yang bisa
dipakai untuk tempat merawat penderita, “inikan sama halnya program tersebut dibisniskan”,
keluhnya.
Disamping penjelasan tentang ruang mana saja yang berhak dipakai untuk merawat
peserta JAMKESMAS yang tidak jelas, yang terkesan menunjuk alias mengarahkan,
penderita agar menempati ruang yang ditunjuk oleh pihak Rumah Sakit Umum Dompu,
imbuhnya.
Komentar pihak Dokter RSUD Dompu, begini pak!, “ruangan kelas III, ruangan itu saja
yang digratiskan,” kalau ruangan I dan II itu, ruangan untuk pasien Askes Pegawai dan
orang –orang tertentu saja, cetus salah satu yang mengetahui bahwa Data Jamkesmas
untuk nama Salahudin terdaftar sebagai peserta pada program Pemerintah khususnya
Jaminan Kesehatan Gratis Masyarakat itu dengan berapi-api, sambil menarik tanda bukti
pembayaran Rumah Sakit yang dibayarkan Keluarga Salahudin pada saat merawat tujuh
bulan yang lalu.
Ditempat terpisah dr. H. Ahmad Faisal, spA. Selaku Direktur pada Rumah Sakit Umum
Dompu (RSUD) membantah kalau pihaknya yang menolak Jamkesmas yang dimiliki oleh
Salahudin, apalagi menyarankan kepada penderita maupun keluarganya untuk masuk kelas
lain selain kelas yang sudah ditentukan untuk Program Kesehatan Gratis ini,
ditambahkannya hal senada mungkin saja pihak pasien yang ada Kartu Jamkesmasnya ini
namun tidak terdaftar diregistrasi sebagai peserta pada program itu, jika Salahudin terdaftar
di registrasi itu, tidak ada alasan pihak Rumah Sakit untuk membebankan kepada pasien
dengan biaya-biaya, jelasnya pada saat dikonfirmasi media ini diruang kerjanya 28/03/11.
Pelayanan Kesehatan yang diharapkan adalah pelayanan yang bermutu walaupu harus
dibayar, bagaimana jikalau digratiskan, sementara yang dibayar sekalipun sakitnya tak
kunjung sembuh alias makin parah, “Perut itu, kian hari makin buncit”, sementara pihak
keluarga penderita sudah menyurat Kepada Dinas terkait, Bupati Dompu, dan DPRD,
namun sejauh ini belum ada tanggapan serius dari pihak-pihak diatas, keluhnya.
Pihak keluarga mengharapkan agar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu
“Mundur dari jabatan” jika tidak tanggap dengan persoalan rakyat, ungkapnya.
Dilanjutkannya, bahwa pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu, “senagaja tutup mata
dengan pederitaan yang dialami oleh Penderita tumor Ganas seperti Salahudin ini, dan
masih banyak persoalan yang sama diluar sana, yang sama sekali diduga minimnya
sosialisasi khususnya tentang kesehatan masyarakat lainnya yang ada di Kabupaten
Dompu. oleh karena itu, diharapkan Kepada pengambil kebijakan agar jangan ada lagi
Kepala Dinas yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri tampa menghiraukan
keluhan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya
Kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode
etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang
birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”
dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain
lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu
sendiri.
 Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang terkadang begitu variatif
sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan
menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan
prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan
ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu
yang relatif lebih maju
 Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang
populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan
kesehatan sangat besar. Pelayanan kesehatan tidak sesederhana sebagaimana
dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan
dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik
pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri.
 Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan kesehatan
mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan
bertindak” (discretion). Keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi
pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode
etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya
di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan
publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas
kenyataan), desain organisasi pelayanan kesehatan (pengaturan struktur,
formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses
manajemen pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari
perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya
itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil,
dsb
 Pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab
melemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan
tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan
perundang-undangan, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang
mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali,
sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia,
pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak
menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu
pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak
diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat
berdampak pada disintegrasi bangsa.
 Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan kesehatan. Kode etik pelayanan kesehatan
di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli keperawatan,
kebidanan dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum
nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara
umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada
sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut
tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi
peluang bagi para pemberi pelayanan kesehatan untuk mengenyampingkan
kepentingan masyarakat umum. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi
sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai yang bekerja dibidang
kesehatan.
 Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula
kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang
berlaku dalam pelayanan kesehatan masih kurang maksimal, bahkan seringkali
kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan
jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum
terjadi otonomi beretika.
 Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan
kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau
berada. Mendahulukan orang-orang elit atau suku sendiri merupakan tindakan tidak
terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi masyarakat yang menghendaki
perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam
organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi masyarakat terutama dalam
pelayanan kesehatan.
 Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita akan melihat apakah benar
puskesmas menjadi sarana kesehatan yang tidak bermutu lagi dimasyarakat. Dalam
hal ini, puskesmas dibawah tanggung jawab Dinas Kesehatan menjadi ujung tombak
pelayanan masyarakat, mulai dari preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif.
Program Dinkes yang telah ada tidah sepenuhnya berjalan dengan lancar, dapat
dilihat dari masih adanya masalah kesehatan yang ditemui dalam masyarakat,
misalnya ditemukan wabah gizi buruk pada balita dibeberapa tempat di Indonesia.
Hal ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan pertanggung jawaban dari pihak
puskesmas setempat. Mungkin saja dikarenakan peran serta masyarakat yang
kurang terhadap lingkungan, dalam hal ini para ibu yang tidak memperhatikan gizi
anaknya mulai dari lahir sampai dewasa.
Konsep puskesmas seharusnya menjemput bola. Perannya bukan hanya seperti
rumah sakit yang menunggu pasien berkunjung. Untuk daerah terpencil yang sulit
dijangkau, puskesmas harus mendekat ke masyarakat agar mereka tidak terlanjur
sakit. Bila masyarakat tidak dibina, dari 4 program puskesmas yang harus ada,
mereka rentan jatuh sakit, sehingga puskesmas akan dinilai gagal karena pasien
yang akan berobat akan semakin banyak, dan yang lebih parah apabila mereka
mengeluh dengan penyakit yang itu-itu saja.

Cara Mengatasi Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan


 Lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan
kesehatan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek
kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh
Denhardt. Dalam literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah
dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau
anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap
manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya
peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
 Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya
sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan
berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian
dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan
kesehatan telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan kesehatan
yang telah memiliki kode etik.
 Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu
memberi perhatian terhadap berbagai dilema di atas. Atau dengan kata lain, para
pemberi pelayanan kesehatan harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat
universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi
norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut
sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan
dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema
tersebut. Harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan
hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.

B. ETIKOMEDIKOLEGAL

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan Medikolegal


adalah yang berkaitan, baik dng kesehatan maupun hukum. Kebanyakan dokter
kurang memahami peranan dan tanggungjawab dalam interaksi mereka dengan
sistem hukum. Hal ini tidaklah mengejutkan, melihat meningkatnya kebutuhan
mendesak akan praktisi medis oleh perundang-undangan, peraturan dan petunjuk.

1. PETUNJUK MEDIKOLEGAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN


 Persetujuan pengobatan
Praktisi medis dituntut memberikan informasi pada pasien mereka agar pasien
mampu memahami :
- Pilihan pengobatan mereka
- Konsekuensi yang dapat diperkirakan dan efek samping dari setiap terapi atau
intervensi yang diusulkan
- Konsekuensi jika tidak berproses dengan pengobatan
- Praktisi medis memberi nasehat pada pilihan klinis terbaik dan alasan mereka
untuk opini profesional tersebut
 Rekam Medis
Praktisi medis diharuskan menyimpan dengan akurat, rekaman perawatan yang
telah diberikan pada pasien.
 Kerahasiaan dalam hubungan dokter-pasien
Kerahasiaan adalah landasan hubungan dokter-pasien. Sebagai prinsip umum,
pasien memiliki hak mengharapkan praktisi medis tidak akan menyingkap informasi
yang didapat dari pasien dalam rangka hubungan dokter-pasien tanpa ijin dari
pasien.
Pengecualian terhadap Kerahasiaan
a) Jika pasien setuju untuk diungkapkan
b) Dengan persetujuan seseorang yang berhak bertindak atas nama pasien
c) Anggota keluarga
d) Ketika informasi klinis perlu dibagi diantara tim yang melakukan pengobatan
e) Untuk jaminan kualitas dan evaluasi pelayanan kesehatan
f) Kelahiran
g) Kematian
h) Wajib melaporkan penganiayaan anak-anak
i) Pemberitahuan penyakit infeksi kepada otoritas yang berhubungan
j) Kebugaran untuk mengendarai kendaraan bermotor
k) Contoh darah setelah kecelakaan
l) Pemenuhan surat perintah pencarian
m) Pemberitahuan praktisi kesehatan yang kecacatan kesehatannya dapat
membahayakan publik
n) Sertifikasi orang dengan penyakit mental
o) Panggilan tertulis untuk tampil di pengadilan
p) Resiko serius untuk dirinya dan orang lain
q) Pengungkapan terhadap otoritas pemerintah
 Permintaan pihak ketiga untuk penilaian atau laporan untuk pengadilan
Menyediakan laporan sebagaimana yang diminta pihak ketiga merupakan bagian
penting pada praktek medis kontemporer. Hal itu juga merupakan satu dari banyak
pengalaman praktisi medis sebagai gangguan terhadap kewajiban klinis mereka.
Praktisi medis yang diminta untuk memberikan laporan mungkin saja sebagai
seorang dokter biasa yang mengobati pasien, atau diminta sebagai ahli independen
untuk menilai pasien dan memberikan opini dan/atau rekomendasi tentang
permasalahan semisal kebugaran untuk kembali bekerja. Kunci permasalahannya
adalah bahwa laporan seperti itu ditulis sebagai permintaan pihak ketiga dan
biasanya dibayar oleh pihak tersebut.
Pihak ketiga yang mencari laporan mungkin saja perusahaan asuransi, pemberi kerja
pasien, otoritas menurut undang-undang, polisi, praktisi hukum, dan pengadilan.
 Surat Keterangan Medis
Praktisi medis diminta untuk menyediakan sertifikat (surat keterangan) untuk tujuan
berbeda-beda – surat keterangan sakit, surat keterangan kembali bekerja,
kemampuan tubuh untuk mengendarai kendaraan dan surat keterangan kematian
dan lain-lain.
Biasanya surat sakit berisi:
- Nama dan alamat praktisi medis yang mengeluarkan surat keterangan
- Nama pasien
- Tanggal surat keterangan dibuat
- Tanggal dimana pasien tidak merasa sehat untuk bekerja
- Penjelasan tambahan tentang bantuan terhadap pekerja dalam memperoleh
citu yang sesuai, khususnya jika terdapat pertentangan untuk kapan surat
keterangan dibuat dan tanggal pada sura keterangan.
Diagnosa tidak selalu dibutuhkan untuk surat keterangan. Praktisi medis memiliki
kewajiban untuk mengumpulkan dan membuat laporan informasi cukup berdasarkan
fakta melalui anamnesa dan pemeriksaan untuk dicatat dalam bentuk apapun dalam
surat keterangan. Surat keterangan harus tertanggal pada hari dimana surat tersebut
ditulis – tidak boleh dimundurkan dalam keadaan apapun.
 Memberikan Keterangan
Praktisi medis dapat dipanggil secara tertulis untuk tampil di pengadilan sebagai
saksi di hadapan hukum dan pengadilan dan juga dapat diminta untuk memberikan
keterangan. Ini berhubungan dengan pengobatan yang dilakukan oleh mereka,
penilaian yang dilakukan dan observasi yang mereka buat. Bukti tersebut dapat
berupa bukti fakta dan bukti pendapat.
Sebelum memberikan keterangan, praktisi medis harus meninjau kembali diri mereka
dengan dokumen yang berhubungan dengan pasien tentang keadaan medis yang
dibutuhkan untuk memberikan bukti. Praktisi medis harus mendasarkan pendapat
mereka pada data dan menahan diri dari spekulasi, kecuali dengan jelas diminta
melakukannya oleh pengadilan. Mereka harus menggambarkan dengan jelas antara
fakta dan pendapat pribadi dan dipersiapkan untuk menjelaskan alasan muculnya
pendapat tersebut, jika diminta untuk melakukannya.
 Memberi kesaksian
Ketika praktisi medis diminta untuk memberi kesaksian, para praktisi harus
menganggap dirinya bertindak dalam kapasitas sebagai praktisi medis dan
menerapkan kemampuan klinis mereka. Seorang praktisi seharusnya tidak
memberikan kesaksian jika dia menerima uang untuk kesaksian tersebut.
 Bersaksi untuk dokumen hukum lainnya
Praktisi medis diminta untuk bersaksi atas berbagai dokumen hukum yang pasti.
Banyak pertimbangan garis besar dalam hubungan kesaksian yang bisa diterapkan
pada kesaksian dokumen lainnya.
2. KONTEKS LAYANAN MEDIKO-LEGAL DALAM KERANGKA SISTEM
KESEHATAN
Pengalaman layanan medikolegal setelah pemerkosaan bagi mereka yang
selamat dan penyedia layanan mereka sangat banyak pada tingkat klinis individual,
kualitas dan perlakuan perawatan yang diterima masih dipengaruhi oleh sejumlah
faktor namun meluas jauh ke pengaturan klinis segera. Jika kita mengerti dengan
baik tujuan dan kualitas pelayanan kesehatan bagi mereka yang selamat dari
pemerkosaan, kita harus mengerti cara layanan ini dipetakan secara luas dalam
lingkungan sosial dan politik sistem pelayanan kesehatan.
Pelayanan mediko-legal perlu ditinjau ulang dalam konteks sistem kesehatan
yang luas. Kebijakan, program dan prosedur yang akan dihasilkan dalam kepedulian
yang lebih baik dapat selalu diimplementasikan tanpa sumber daya yang banyak,
namun sistem kesehatan yang lebih luas tidak selalu mendukung implementasinya.

3. PEMERIKSAAN MEDIKO-LEGAL

Tujuan Umum
Secara umum dilakukan untuk tujuan mempersiapkan laporan untuk klaim perlukaan
pribadi
 Melindungi pekerjaan
 Kewajiban umum
 Kealpaan medis

Pengaturan
 Rencana percobaan yang baik ke depan
 Janji temu melalui telepon dan mengkonfirmasikan dengan para dermawan dalam
pencatatan
 Semua pencitraan dan hasil-hasil tes lainnya yang ada

Tujuan Pemeriksaan
1. menetapkan yang menjadi penyebab
2. memperkirakan kapasitas untuk bekerja
3. menilai tingkat kecacatan

Pertanyaan-pertanyaan khusus, biasanya menyertakan hal-hal diatas, merupakan


garis besar dalam surat dari para dermawan dan menuntut jawaban khusus.
Keadilan
 Berlaku sebagai pihak ketiga yang tidak berat sebelah
 Sebagai ahli, tidak sebagai pengacara
 Melaporkan hasil harus mencegah jargon hukum dan komentar-komentar mengenai
kewajiban

Pendekatan
 Bedakan antara anamnese, pemeriksaan dan penyimpanan catatan sebagai dokter
yang mengobati
 Tidak bertindak secara langsung terhadap ketertarikan pasien
 Memberi waktu yang cukup (1 jam)
 Juru bahasa wajib
 Mendorong untuk ditemani oleh keluarga atau teman
Perekaman
 Dictaphone
v Dapat menyela laporan
v Bukan perseorangan
v Setelah itu dihapus
 Catatan tertulis
v Terbaik setelah konsultasi
 Rekaman pasien
v Tidak diijinkan
Anamnesa
 Membangun sikap netral dengan cepat dan mengumpulkan kepercayaan diri pasien
 Membangun kronologi kejadian dengan akurat
 Memisahkan dengan jelas antara riwayat yang didapatkan dari laporan lain dan yang
diberikan oleh pasien
 Pertanyaan rinci mengenai kapasitas kerja
Pemeriksaan
 Mulailah dengan perlahan
 Menjelaskan setiap gerakan pemeriksaan
 Memeriksa bagian yang tidak terluka terlebih dahulu
 Mencoba manuver yang menyebabkan rasa sakit terlebih dahulu dan berhenti jika
muncul rasa sakit
 Sadar untuk menghormati privasi ketika pasien tidak mengenakan pakaian dalam
pemeriksaan
 Mengamati ketika berpakaian dan menanggalkan pakaian secara hati-hati,
khususnya anggota tubuh bagian atas; naik dan turun meja pemeriksaan; duduk di
ruang tunggu, berjalan ke dalam ruang periksa dan berjalan kembali ke kendaraan
 Ketidak-konsekuen-an akan hampir selalu muncul
 Bersaksi sebagaimana yang ditemukan, namun tetap memberi komentar pada
ketidak-konsekuen-an, jika memang ada
 Akhirnya, penilaian objektif terhadap kecacatan yang ada dibutuhkan, karenanya
siasat untuk memperlihatkan kepura-puraan bukannya tidak beralasan
Kelemahan
 Penilaian berdasarkan petunjuk yang diatur oleh Asosiasi Medis
 Jangan menawarkan pendapat seperti pada kerusakan pasien yang dapat pulih
sebagai hasil dari perlukaan
 Jangan berkomentar pada perlakuan proses pengadilan atau kemungkinan
penyelesaian
Penulisan Laporan
 Persiapkan dengan segera
 Tahan sampai pembayaran diselesaikan
 Tersusun
 Menolak jargon
Masalah sehubungan dengan pasien
 Perhatikan bahwa pasien tidak akan memperoleh kompensasi yang mereka yakini
bahwa mereka mungkin saja
v Marah
v Pengobatan minim oleh pekerja
v Paranoid
v Adanya tambahan sadar dan tidak sadar
 Salah pengertian mengenai tujuan pemeriksaan
v Menjelaskan tujuan kunjungan dengan jelas
v Persepsi bahwa dokter merupakan penjaga pintu untuk melindungi pekerjaan
Masalah sehubungan dengan dokter
 Takut penipuan
v Normalnya ada asumsi kejujuran satu sama lain
v Pertanyaan agresif
v Pemeriksaan yang kasar
 Tidak memihak pada pasien sebagai seorang manusia
v Bukan dokter yang mengobati
v Tidak ada kewajiban untuk peduli
Keluhan
 Sering didapati
 Akibat faktor dokter-pasien yang disebutkan sebelumnya

C. Bioetika Medis

Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran


membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan
permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara
tentang bidang medis dan profesi kedokteran saja, terutama hubungan dokter
dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak
tiga dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau yang disebut jugadengan
etika biomedis.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya
memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga
memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang berarti
norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi interdisipliner tentang
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran
baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang. Bioetika
mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain
membicarakan bidang medis, seperti abortus, euthanasia, transplantasi organ,
teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah
kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak
pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan
sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap penelitian
kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institude for the Study of
Society, Ethics and Life Sciences, Hasting Center, New York pada tahun 1969. Kini
terdapat berbagai isu etika biomedik.
Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir yang
dipelopori oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta.
Perkembangan ini sangat menonjol setelah universitas Gajah Mada Yogyakarta
yang melaksanakan pertemuan Bioethics 2000; An International Exchange dan
Pertemuan Nasional I Bioetika dan Humaniora pada bulan Agustus 2000. Pada
waktu itu, Universitas Gajah Mada juga mendirikan center for Bioethics and Medical
humanities. Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II Bioetika dan
Humaniora pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III pada tahun 2004 di Jakarta,
dan Pertemuan IV tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya Jaringan
Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) tahun 2002, diharapkan studi
bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh Indonesia pada masa
datang.
Humaniora merupakan pemikiran yang beraitan dengan martabat dan kodrat
manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat, etika, agama, bahasa, dan
sastra.

1. Prinsip-prinsip Dasar Bioetika

Prinsip-prinsip dasar etika adalah suatu aksioma yang mempermudah penalaran


etik. Prinsip-prinsip itu harus dibersamakan dengan prinsip-prinsip lainnya atau yang
disebut spesifik. Tetapi pada beberapa kasus, kerana kondisi berbeda, satu prinsip
menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang
lain. Keadaan terakhir disebut dengan Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia,
dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik
kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering
juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, antara lain:
 Beneficence
 Non-malficence
 Justice
 Autonomy
1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam
keadaan kesehatan. Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan
yang terbaik bagi pasien. Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan
kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat
baik daripada hal yang buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
 Mengutamakan Alturisme
 Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
 Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
suatu keburukannya
 Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
 Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
 Meenerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang
orang lain inginkan
 Memberi suatu resep
2. Non-malficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil
resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
 Menolong pasien emergensi
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien
 Tidak memandang pasien sebagai objek
 Melindungi pasien dari serangan
 Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
 Tidak melakukan White Collar Crime
3. Justice
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan
sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.
Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan
kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap
dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri :
 Memberlakukan segala sesuatu secara universal
 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
 Menghargai hak sehat pasien
 Menghargai hak hukum pasien
4. Autonomy
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap individu
harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib diri
sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sendiri. Autonomy bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan,
membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-
ciri:
 Menghargai hak menentukan nasib sendiri
 Berterus terang menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
BAB III
PENUTUP

 Etika pelayanan kesehatan adalah suatu pemahaman akan asas norma dan nilai
yang berlaku di masyarakat dalam tindakan medis pemberian obat-obatan dan jasa
kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada
publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta
masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat
 Etiko medikolegal Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan
Medikolegal adalah suatu tindakan medis yang mempunyai akibat hukum
 Bioetika Medis adalah studi interdisipliner tentang masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan
masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan
timbulnya masalah pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood
Press.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs,
N. J: Prentice-Hall International, Inc.
Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass
Limited.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York, N.Y.:
Longman.http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-pelayanan-publik.html

You might also like