You are on page 1of 18

MAKALAH HUKUM PAJAK

PAJAK DALAM RUANG LINGKUP AKSES INFORMASI KEUANGAN

Penyusun:

Eunique Louisa W.P

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 2017/2018 Semester Ganjil

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat dalam
bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan yang bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai pelaksanaan dan peningkatan
kesejahteraan dan pembangunan serta menumbuhkan peranserta masyarakat. Pelaksanaan
penerimaan negara dari sektor pajak yang bersumber dari kekayaan alam saat ini semakin
berkurang mengingat sudah semakin terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu
pemerintah berkewajiban mencari sumber penerimaan diluar kekayaan alam. Pada
umumnya negara mempunyai sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas 1) Bumi, air
dan kekayaan alam, 2) pajak-pajak, Bea dan Cukai, 3) Penerimaan Negara Bukan pajak
(nontax), 4) hasil perusahaan negara, dan 5) sumber-sumber lain seperti percetakan uang
dan pinjaman.1 Sumber penghasilan tersebut diharapkan dapat berperan sebagai sumber
penerimaan untuk mengisi kas negara dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan
dan pengamalan Pancasila, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya ditulis UUD NRI Tahun 1945. Pajak saat ini
sangat penting dalam hal yang terjadi dalam kegiatan ekonomi dan semuanya sangat
relevan ketika adanya sebuah pajak dalam segala aspek kehidupan.Pajak sangat benar
dibutuhkan agar adanya timbal balik sebuah kewajiban masyarakat untuk bisa membayar
iuran kepada negara yang dituliskan dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) yang
menjelaskan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Jadi pajak sangat berelasi sekali dengan segala
macam hal dalam masyarakat.Yang dibahas dalam hal ini adalah bagaimana Pajak adalah
hal yang benar-benar terkait dalam UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang adanya pajak sebagai
akses informasi keuangan. Upaya pemungutan pajak untuk kepentingan pembangunan
nasional masih mengalami kendala baik yang berasal dari faktor internal maupun dari
faktor eksternal. Dalam mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini Pemerintah telah dan
sedang melakukan reformasi perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan
antara lain untuk memperbaiki organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari
perbankan, serta sumber daya manusia. Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya
pelemahan ekonomi dan perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib
Pajak yang melakukan penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat
pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya
mekanisme serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan
yurisdiksi, semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia yang berdasarkan
pada sistem self-assesment.Sementara itu, pengawasan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya secara self-assessment tersebut merupakan hal yang esensial
untuk meningkatkan penerimaan pajak.Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan dengan
optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk
menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam
pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.Ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar
modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini telah membatasi
akses otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan, baik dari
sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib
Pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat
menghambat terwujudnya keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan
penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan
penempatan dana ilegal.Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian
internasional di bidang perpajakan dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya
juga mengatur mengenai pertukaran informasi termasuk pertukaran informasi keuangan
secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) sesuai dengan
standar internasional yang disepakati. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis
adalah membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas
perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan,
lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk melaporkan informasi
keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur identifikasi
rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi
bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.

BAB II RUMUSAN MASALAH

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pajak menurut UU KUP? 2.
Apa pengertian pajak menurut para ahli?
3. Bagaimana sejarah adanya Hukum Pajak?
4. Apa dasar-dasar perpajakan menurut Rochmat Soemitro?
5. Bagaimana pendapat ahli lain tentang asas-asas pemungutan pajak?
6. Bagaimana keterkaitan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menjadi
Undang-Undang setelah Permen Pengganti Nomor 1 Tahun 2017?
7. Bagaimana contoh kasus yang terjadi dengan terkaitnya Akses Informasi
Keuangan?

C. Tujuan Makalah
Makalah ini dibuat untuk menerangkan bagaimana pajak berkaitan erat dengan
bermacam-macam hal terutama dalam hal ini dengan Akses Informasi Keuangan
yang mengkaitkan pajak adalah unsur yang utama dalam bagaimana Informasi
Keuangan itu harus memerlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas
perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan
perpajakan.

D. Manfaat Makalah
• Untuk memahami tentang keterkaitan pajak dengan akses informasi keuangan
sebagai unsur terpenting
• Untuk menjelaskan terperinci maksud pajak dalam informasi keuangan

BAB III PEMBAHASAN

1. Apa pengertian Pajak menurut UU KUP?

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU KUP menerangkan arti pajak sebagai berikut Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan mendapatkan imbalan secara tidak
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat
2. Apa pengertian Pajak menurut para ahli?
• Prof. Dr. MJH. Smeeths
Pajak adalah sebuah prestasi pemerintah yang terhutang melalui norma-norma dan
dapat dipaksakan tanpa adanya suatu kontra prestasi dari setiap individual.
Maksudnya ialah membiayai pengeluaran pemerintah atau negaranya.

• Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.


Menurutnya, pajak ialah iuran rakyat kepada negaranya berdasarkan Undang-Undang
atau peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor publik yang bisa dipaksakan
dan yang langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk membiayai kebutuhan atau
kepentingan umum.

• Prof. Dr. PJA Andriani


Beliau pernah menjadi guru besar di sebuah Perguruan Tinggi Universitas Amsterdam.
Menurutnya, pajak merupakan iuran rakyat atau masyarakat pada negara yang bisa
dipaksakan dan terhutang bagi yang wajib membayarnya sesuai dengan peraturan UU
dengan tidak memperoleh suatu imbalan yang langsung bisa ditunjuk serta digunakan
untuk pembiayaan yang diperlukan pemerintah.

• Dr. Soeparman Soemahamidjaya


Beliau mengemukakan pendapatnya mengenai pajak, dimana pajak merupakan iuran
wajib bagi warga, baik berupa uang maupun barang yang dipungut oleh penguasa
menurut norma-norma hukum yang berlaku guna untuk menutup segala biaya
produksi barang dan jasa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara umum.

• Anderson Herschel M, dkk


Pajak ialah pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah dan bukan suatu
akibat dari pelanggaran tetapi sebuah kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku
tanpa adanya imbalan dan dilakukan untuk mempermudah pemerintah menjalankan
tugasnya.

• Cort Vander Linden


Menurutnya pajak merupakan sumbangan pada keuangan umum suatu negara yang
tidak bergantung pada jasa khusus dari seorang penguasa.

• Prof. Dr. Djajaningrat


Mengemukakan bahwa pajak merupakan kewajiban untuk memberikan sebagian harta
kekayaan kepada negara karena kejadian, keadaan juga perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu dimana pungutan itu bukanlah sebuah hukuman, namun kewajiban
berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan bisa
dipaksakan. Tujuannya tetap untuk memelihara kesejahteraan masyarakat pada
umumnya.

• Dr. N.J. Fieldman


Pajak yaitu sebuah prestasi yang sifatnya paksaan sepihak kepada penguasa menurut
norma yang ditetapkan tanpa adanya kontraprestasi dan gunanya untuk menutupi
segala pengeluaran umum dari sebuah negara.

• R.R.A. Seligman
Pajak ialah pemungutan yang sifanya memaksa kepada pemerintah atau penguasa
untuk biaya segala pengeluaran yang berhubungan dengan masyarakat dan tanpa
ditunjuk serta tidak ada keuntungan khusus yang diperoleh.

• Leroy Beaulieu

Menyatakan bahwa pajak bantuan baik secara langsung atau tidak, dimana hal ini bisa
dipaksakan oleh pemerintah kepada warga masyarakatnya yang gunanya untuk
menutupi semua biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara.

• Menurut UU Perpajakan Nasional


Pajak ialah iuran wajib rakyat kepada negara berdasarkan peraturan undang-undang
tanpa memperoleh imbalan langsung yang digunakan untuk pembiayaan segala
pengeluaran secara umum serta pengeluaran pembangunan.

• Philips E.Taylor1

The Economics of Public Finance.Ia hanya mengganti without reference menjadi with little
reference

Dari pengertian para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat 5 (lima) unsur pokok
dalam definisi pajak, yaitu:
1 Sutedi, Adrian, 2013, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, h-3
1) Iuran/pungutan
2) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
3) Pajak dapat dipaksakan
4) Tidak menerima kontra prestasi
5) Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah
Dari pembahasan pengertian pajak maka unsur-unsur dari definisi pajak meliputi
sebagai berikut:
1. Pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan
(pendapatan) kepada negara
2. Penyerahan bersifat wajib
3. Perpindahan/penyerahan itu berdasarkan Undang-
Undang/Peraturan/Norma yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.
Jika tidak, maka dapat dianggap sebagai perampasan hak
4. Tidak ada kontraprestasi langsung dari pemerintah (pemungut iuran) bisa
dilihat dari indikasi: (1) pembangunan infrastruktur, (2) sarana kesehatan,
dan
(3) public facility
5. Iuran dari pihak yang dipungut (rakyat, badan usaha baik swasta maupun
pemerintah) digunakan oleh pemungut (pemerintah) untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum yang seharusnya berguna bagi rakyat
Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena
undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang (tatsbentand) untuk membayar
sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat dipaksakan, tanpa
mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan
pembangunan), dan yang digunakan sebagai alat (pendorong atau
penghambat) untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan negara.
Pengertian pajak tersebut sebagai perikatan oleh wajib pajak dengan negara
tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa dan merupakan
perikatan yang lahir dari undang-undang yang bernuansa publik sehingga
bersifat memaksa, maka penagihannya dapat bersifat dipaksakan, juga
dengan ancaman hukuman berupa sanksi administrasi maupun sanksi
pidana2
3. Bagaimana sejarah singkat Hukum Pajak?

1. Sejarah pajak bumi dan bangunan 3


Pajak pertama kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak Bumi dan Bangunan
atau lebih kita kenal dengan PBB. Pada waktu itu lebih dikenal sebagai pajak
pertanahan. Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki
oleh rakyat. Pajak atas tanah ini dimulai sejak VOC masuk dan menduduki
Hindia Belanda.Pada waktu dulu, Inspektur Liefrinch dari VOC mengadakan
survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil dari penelitian tersebut

2 Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, h. 12-13
3 Dikutip dari http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-hukum-pajak-di-indonesia-dan-di.html
membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan pajak pertanahan yang
disebut dengan landrente. Rakyat setuju atas keputusan Pemerintah Hindia
Belanda ini. Rakyat harus membayar uang sebesar 80% dari harga besaran tanah
atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral yang terkenal akan
kekejamannya menyatakan bahwa tanah di Hindia Belanda adalah milik dari
Belanda.
Pada masa kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles kebijakan
landrente berubah. Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan
pribumi dan tarif 5% untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu,
Raffles juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai suatu Sertifikat Tanah
Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa
Jawa.
2. Sejarah pajak penghasilan
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya
tenement tax (huistaks) pada tahun 1816. Pada periode sampai dengan tuhun
1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi
dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa
terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan
perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang
Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk
orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal
adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan
rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk
orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa
memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya
penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak,
penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas
dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang
selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni
Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene
Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi
penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak
Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan
domisili dan asas sumber. Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya
perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing),
pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op
de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang
terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan).
Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara
lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara
Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun
1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting
lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend
dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat
diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri
Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920,
yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de
Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi
(Personal Income Tax). Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia,
maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan
muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah
(loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak
Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada
zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan
ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting
(Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti
dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944.
Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa
kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan
adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925,
yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU
No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan
diadakannya tax reform di Indonesia.
3. Sejarah pajak perseroan.
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak
penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia
tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana.
Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang
lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan
1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”,
ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk
orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa,
demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-
orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti
“Landrente” atau landrent dan “Hoofdelijke Belasting”. Ketika pecah perang
Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri
Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu
suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai
kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya
Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan
penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku
untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan.
Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920
menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong
segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan
usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan
usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk
kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama
Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925).
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan
menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970.
Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung
dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
4. Apa dasar-dasar perpajakan menurut Rochmat Soemitro?

Sumber penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada
rakyatnya yang ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan
Dewi Kania Sugiharti yang berpendapat seperti berikut :
“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara tidak
akan atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai pendapatan dari
sumber-sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi, magnesium, dan
sebagainya) dan/atau dari perdagangan/industry-industri. Jadi pajak-pajak pada
hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara
manusiawi. Banyak sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada
tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-pajak ditangan pemerintah
digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan tercermin dalam
tingkat kesejahteraan rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur masyarakat, lebih tinggi
tingkat ekonominya. Maka dapat dikatakan bahwa pajak-pajak disamping untuk
kelangsungan kehidupan negara (dengan anggaran rutinnya) juga digunakan untuk
pembangunan yang akan mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia
(melalui anggaran pembangunan). Dengan ini mudah dimengerti bahwa pajak-pajak
pungutannya selalu berdasarkan keadaan ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan
untuk meningkatkan ekonomi rakyat, dan penghasilannya yang hanya cukup
kebutuhan primer, tidak wajar dikenakan pajak atas penghasilannya. Untuk itu
berlaku asas daya pikul.”4
Penegasan dari pendapat tersebut, penerimaan pajak sudah seharusnya digunakan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan demikian

4 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Rafika Aditama,
Bandung, h. 43-44
pajak sebagai sumber pendapatan negara merupakan jiwa negara dan bagian yang
sangat penting didalam mensejahterakan rakyat. Dengan demikian pengertian pajak
pada umumnya adalah iuran wajib dari orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

5. Bagaimana pendapat ahli lain tentang asas-asas pemungutan pajak?

Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli


Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan
tentang asas pemungutan pajak, antara lain:

Adam Smith, pencetus teori The Four Maxims

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The
Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

• Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):


pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
• Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum.
• Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
• Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak
lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

• Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
• Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
• Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
• Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).
• Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan
sekecilkecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek
pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
• Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
• Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak
pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
• Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,
untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
• Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana
harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya)
dan besarnya biaya pajak.
• Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang
• Asas Pengenaan Pajak: Agar negara dapat mengenakan pajak kepada
warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya,
tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan
asasasas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk
mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan
pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai
landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1) Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle):
berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan
perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili
di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan
pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem
pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili
(kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri
(worldwide income concept).
2) Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di
negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status
dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi
landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara
itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang
didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3) Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan
pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili,
sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara
menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide
income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan
asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak
lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan
landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang
akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk
atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam
asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak
tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi
landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak
bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang
memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua
asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang
diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber,
penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada
penghasilanpenghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara
yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi
mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber,
gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya
sekaligus.
 Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai
subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut
asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.
Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus
dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk
orang pribadi.
 Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident
individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini
seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas
keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang
maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk
(nonresident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk
membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari
sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang
berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang
diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan
usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang
ada di Australia.5
6. Bagaimana keterkaitan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menjadi Undang-
Undang setelah Permen Pengganti Nomor 1 Tahun 2017?

Upaya pemungutan pajak untuk kepentingan pembangunan nasional masih mengalami


kendala baik yang berasal dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Dalam
mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini Pemerintah telah dan sedang melakukan
reformasi perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain untuk
memperbaiki organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari perbankan,
serta sumber daya manusia. Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya
pelemahan ekonomi dan perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib
Pajak yang melakukan penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-
pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya
mekanisme serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan
yurisdiksi, semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia yang
berdasarkan pada sistem self-assesment. Sementara itu, pengawasan Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya secara selfassessment tersebut merupakan hal yang
esensial untuk meningkatkan penerimaan pajak.Pengawasan tersebut dapat
dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas
perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan
perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan
akurat.Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan,
perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan
memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi
keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan
penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnya
keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan penguatan basis data
perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.
Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di
bidang perpajakan
dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur mengenai
pertukaran informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis
(Automatic Exchange of Financial Account Information) sesuai dengan standar
internasional yang disepakati. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis
adalah membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas
perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa
keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk melaporkan
informasi keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur

5 Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak


identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya
penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan pada tanggal 8 Mei 2017, guna memberikan kepastian
hukum mengenai pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan dalam menerima
dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dan
memenuhi komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional terkait
dengan pertukaran informasi keuangan secara otomatis.6
7. Contoh Kasus yang terkait dengan UU Nomor 9 Tahun 2017
a. Kasus Syahrini dengan Endorse Umrah dari First Travel

Pengakuan artis Syahrini soal pendapatannya dari endorse produk atau brand melalui
posting di akun instagramnya cukup mengejutkan. Sekali posting foto di Instagram
miliknya, Syahrini mendapatkan duit mencapai Rp 100 juta.7
"Karena kalau harus posting di IG, sebagai ikon dan setahu aku dari manajemen, sekali
posting di IG itu kalau Syahrini mengunggah sebuah produk, satu kali posting Rp 100
juta," kata Syahrini usai menyambangi Bareskrim Polri soal kasus First Travel, kemarin.
Penghasilan Syahrini sebagai selebgram tentu tak bisa lepas dari kewajiban dia untuk
membayar pajak. Sebab, seluruh penghasilan yang diperoleh setiap warga Indonesia,
harus dicantumkan dalam laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Lalu
bagaimana hitungan tarif pajak bagi seorang selebgram?kumparan (kumparan.com)
pernah mengulas soal aturan tarif pajak selebgram pada Mei lalu. Selebgram menjadi
wajib pajak jika total penghasilan endorse dalam setahun melebihi batas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP), yakni Rp 54 juta atau sekitar Rp 4,5 juta dalam sebulan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) dan anggota Tim
Reformasi Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan pemungutan pajak bagi
selebgram sebenarnya tidak berbeda seperti wajib pajak lainnya, yakni Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21. Persoalannya saat ini adalah mekanisme atau cara memajaki
selebgram.
Ada dua cara untuk memungut pajak dari selebgram. Pertama, jika penghasilan didapat
langsung dari pihak perusahaan, maka pajaknya dipotong langsung oleh pihak
perusahaan yang memberikan jasa. Kedua, jika penghasilan yang diperoleh dari sumber
lain, maka selebgram harus melaporkan sendiri penghasilan yang diperoleh dalam Surat
Pemberitahuan (SPT). Mengenai tarif pajak bagi selebgram, sebenarnya sama saja seperti
wajib pajak lainnya yang dikenakan PPh Pasal 21, yakni 5-30%, tergantung pada
penghasilannya.Prastowo mencontohkan, wajib pajak dengan penghasilan tahunan
sampai dengan Rp 50 juta per tahun dikenakan tarif PPh 21 sebesar 5%; penghasilan di
atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta per tahun, dikenakan tarif 15%.Sementara jika
penghasilan di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan tarif 25%; penghasilan di
atas Rp 500 juta dikenakan tarif 30%. Sedangkan untuk wajib pajak yang tidak memiliki
NPWP dikenakan tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.Sebagai

6 UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang pergantian Permen Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017
tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang
7 Dikutip dari https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/syahrini-sekali-posting-di-instagram-rp-100-
jutaberapa-pajaknya#ERD6EbMtS1zT0IGX.99
ilustrasi, jika penghasilan bersih selebgram sebulan Rp 8 juta atau Rp 96 juta setahun dan
dikurangi PTKP, maka penghasilan kena pajaknya dalam setahun Rp 42 juta. Sementara
PPh terutang (5%x Rp 42 juta) yakni Rp 2,1 juta setahun, sehingga selebgram tersebut
wajib membayar PPh Rp 175 ribu dalam sebulan

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pajak merupakan sebuah iuran yang harus dibayar oleh masyarakat kepada
pemerintah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sendiri, dengan
sendirinya masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari pembayaran
macammacam pajak yang ada itu menjadi sebuah alokasi dari APBN dan APBD
untuk menghasilkan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah
2. Pajak sudah ada ketika jaman Belanda yang terdiri dari PPh, PBB, Pajak
Perseroan dan hal tersebut sudah menjadi sebuah kebijakan dalam pemerintahan
Belanda, seperti VOC yang disebut dengan kebijakan Landrente, rakyat harus
membayar 80% dari harga besaran tanah yang dimilikinya di jaman Daendels,
sementara kebijakan berubah ketika Raffles kebijakan landrente berubah.
Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan pribumi dan tarif
5% untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga
mengeluarkan Surat Tanah sebagai suatu Sertifikat Tanah Internasional
bagi penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa Jawa.
3. Rochmat Soemitro menjelaskan beberapa dasar-dasar perpajakan Sumber
penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada rakyatnya
yang ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan
Dewi Kania Sugiharti yang berpendapat seperti berikut :
“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara
tidak akan atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai
pendapatan dari sumber-sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas,
bijih besi, magnesium, dan sebagainya) dan/atau dari
perdagangan/industry-industri. Jadi pajak-pajak pada hakekatnya mengenai
hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi. Banyak
sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat
ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-pajak ditangan pemerintah digunakan
untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan tercermin dalam
tingkat kesejahteraan rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur masyarakat, lebih
tinggi tingkat ekonominya. Maka dapat dikatakan bahwa pajak-pajak
disamping untuk kelangsungan kehidupan negara (dengan anggaran
rutinnya) juga digunakan untuk pembangunan yang akan mensejahterakan
dan memakmurkan rakyat Indonesia (melalui anggaran pembangunan).
Dengan ini mudah dimengerti bahwa pajak-pajak pungutannya selalu
berdasarkan keadaan ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan untuk
meningkatkan ekonomi rakyat, dan penghasilannya yang hanya cukup
kebutuhan primer, tidak wajar dikenakan pajak atas penghasilannya. Untuk
itu berlaku asas daya pikul.Dengan demikian pengertian pajak pada
umumnya adalah iuran wajib dari orang pribadi atau badan kepada daerah
tanpa imbalan langsung yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan pembangunan daerah
4. Asas-asas pemungutan pajak ini memuat tentang Pemungutan pajak harus adil
(syarat keadilan).Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan,
undang-undang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam
perundang-undangan yakni mengenakan pajak secara umum dan merata, serta
menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing para wajib pajak. Sedangkan
adil dalam pelaksanaanya maksudnya memberikan hak bagi wajib pajak untuk
mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran pajak dan melakukan
banding kepada majlis pertimbangan pajak
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis). Di
indonesia pajak diatur dalam undang-undang tahun 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara
maupun warganya.
3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian (syarat
ekonomis). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu proses produksi
maupun perdagangan agar tidak terjadi kelesuan pada perekonomian
masyarakat.
4.Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil).
Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan,
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5.Pemungutan pajak harus
sederhana (syarat sederhana)
Pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat untuk melakukan kewajiban perpajakanya.

Contoh : Bea matrei disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
- Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi 1 macam saja yaitu 10%.
- Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPH) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan.
5. Adanya implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah
membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas
perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa
keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk
melaporkan informasi keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan,
melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan
pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas
kewajiban-kewajiban tersebut
B. Saran
Pajak harus benar-benar dibenahi dalam sistem perpajakan agar adanya
keterkaitan dalam Akses Informasi Keuangan dengan pajak bisa semakin membuat
para wajib pajak semakin memahami keterkaitan pajak untuk syarat dalam
implementasi untuk akses informasi keuangan

Daftar Pustaka Buku:

1. Rochmat Soemitro, 1998, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Rafika Aditama, Bandung,
h. 43-44
2. Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, PT. Eresco, Bandung
3. Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT. Eresco, Bandung
4. Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, h. 12-
13
5. Sutedi, Adrian, 2013, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, h-3

Undang-Undang:
1. UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang pergantian Permen Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Menjadi Undang-Undang Website:

1. https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/syahrini-sekali-posting-di-
instagramrp-100-juta-berapa-pajaknya#ERD6EbMtS1zT0IGX.99
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak
3. http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-hukum-pajak-di-
indonesiadan-di.html

You might also like