You are on page 1of 18

67

ANALISIS USAHA TENUN IKAT BERBASIS PEWARNA ALAM DI


KABUPATEN SUMBA TIMUR: Kasus di Kecamatan Kambera dan Umalulu
Analysis of Hand Woven Business Based on Natural Dye in East Sumba District: Case in
Kambera and Umalulu Sub Districts

Murniati dan Mariana Takandjandji


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 Po Box 165, Bogor
Telpon 0251-8633234, 7520067, Fax. 0251-8638111
Email: murniati@forda-mof.org

Tanggal Masuk Naskah: 12 April 2016


Tanggal Revisi Naskah: 24 Juni 2016
Tanggal Disetujui: 24 Juni 2016

ABSTRAK
Pembuatan kain tenun ikat Sumba Timur menggunakan pewarna alam dari bagian tumbuhan.
Kerajinan tersebut sudah berkembang dari semula bersifat subsisten menjadi komersial. Namun
pengembangannya belum optimal dan belum mendapat dukungan secara signifikan dari para
pihak terkait. Penelitian bertujuan menganalisis usaha tenun ikat, meliputi proses dan biaya
produksi serta pendapatan pengrajin, jenis-jenis tumbuhan pewarna yang digunakan,
permasalahan yang dihadapi pengrajin, para pihak terkait dan dukungan yang diperlukan untuk
keberlanjutan dan pengembangan usaha. Penelitian dilakukan di tiga kelurahan/desa pada Bulan
Februari dan Juni 2014 melalui metode wawancara, dialog dan pengamatan lapangan. Usaha
kerajinan tenun ikat di Kabupaten Sumba Timur tergolong industri mikro. Tenaga kerja berasal
dari anggota keluarga terutama ibu dan anak wanita. Biaya produksi dan harga jual produk
(selendang, sarung dan kain) sangat bervariasi antar pengrajin. Rata-rata volume kerja pengrajin
7,91 unit benang per tahun dan rata-rata pendapatan pengrajin Rp1.133.122,- per bulan. Dua
jenis tumbuhan yang digunakan sebagai sumber pewarna alam utama adalah Indigofera
tinctoria L. dan Morinda citrifolia L. yang dipungut dari alam. Belum ada usaha budidaya jenis-
jenis tersebut secara signifikan. Produktivitas kerja pengrajin belum optimal dan bahan baku
sumber pewarna alam semakin sulit diperoleh. Produk kain tenun masih terpaku pada motif dan
warna atau corak tradisional sehingga segmen pasarnya terbatas. Untuk menjamin keberlanjutan
dan pengembangan usaha tenun ikat di Sumba Timur, budidaya jenis-jenis tumbuhan penghasil
pewarna alam sudah sangat mendesak dilakukan. Perlu pula mengenalkan jenis-jenis tumbuhan
penghasil warna alternatif. Untuk memperluas segmen pasar diperlukan pengenalan motif dan
warna atau corak alternatif sehingga produknya lebih bervariasi.

Kata kunci: Tenun ikat, pewarna alam, pengrajin, biaya produksi, volume kerja

ABSTRACT
Manufacturing of East Sumba¶V hand woven is using natural dye from parts of plant. This
research aims to analyze business characteristics, covering process, production cost and
handcrafters¶ income, kinds of plants used as natural dye, KDQGFUDIWHUV¶ SUREOHPV and supports
needed to develop the business. The research was conducted at three villages in February and
June 2014 by using interview, dialogue and field observation method. The business is micro
scale industry where labours are from family members. Production cost and selling price of the
products vary among handcrafters. Average work volume of handcrafters was 7,91 of thread
unit per year and generate income of Rp1.133.122,- per month. There are two plant species
produce natural dye that are mainly used, i.e. Indigofera tinctoria L. and Morinda citrifolia L.,
collected from nature. Work productivity of handcrafters has not optimal yet and raw materials
of natural dye are more difficult to be obtained. Products of Sumba hand woven still use
68 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

traditional motives and color, so that market segments are limited. To ensure the sustainability
and development of the business, cultivation of plant species produce natural dye has to be done
immediately. To expand market segment, it is important to introduce alternatives motive and
color.
Keywords: Hand woven, natural dye, handcrafter, production cost, work volume

PENDAHULUAN Usaha kerajinan tenun ikat Sumba


Masyarakat Sumba Timur telah sejak Timur masih berupa usaha rumahan
lama membuat, memakai dan (rumah tangga) dimana tenaga kerjanya
memperdagangkan kain tenun ikat yang sebagian besar berasal dari anggota
dikenal dengan Kain atau Selimut Sumba keluarga terutama ibu dan anak wanita.
Timur yang dalam bahasa lokal disebut Umumnya kegiatan dilakukan secara
Hinggi yaitu busana adat pria berbentuk paruh waktu dan produk yang dihasilkan
empat persegi panjang. Busana adat berupa barang jadi yaitu kain, sarung dan
untuk wanita disebut Lawu atau sarung, selendang. Dewasa ini kegiatan
sedangkan selendang dipakai oleh pria pembuatan kain tenun ikat sudah mulai
dan wanita yang diselempangkan di berkembang, dari semula dilakukan
pundak. Kegiatan menenun dilaksanakan secara subsisten untuk digunakan di
secara manual dan tradisional serta lingkungan sendiri menjadi usaha
merupakan kegiatan kaum wanita kerajinan yang komersial untuk
(nDima, 2007). Dinamakan tenun ikat dipasarkan baik lokal, nasional maupun
karena sebelum diberi warna, benang internasional (nDima, 2007). Namun
yang akan ditenun diikat dengan tali rafia analisis usaha di tingkat pengrajin belum
atau kalita pada bagian-bagian tertentu, banyak dilakukan sehingga informasi
kemudian dicelupkan ke dalam cairan biaya produksi, volume kerja dan besaran
pewarna alam (biru atau merah). Bagian pendapatan yang diperoleh pengrajin
yang diikat tersebut setelah dibuka tetap belum tersedia. Hal ini sangat diperlukan
berwarna putih, sedangkan bagian yang untuk menyusun strategi pemberdayaan
tidak diikat menjadi berwarna sesuai pengrajin dan pengembangan usaha tenun
dengan warna cairan. Saat ditenun ikat di Sumba Timur.
benang-benang tersebut akan membentuk Kabupaten Sumba Timur memiliki
pola ragam hias dengan warna tertentu 22 kecamatan, di mana usaha tenun ikat
(Langgar, 2014). Corak dan motif kain dilaksanakan oleh masyarakat di 13
tenun ikat yang digunakan seseorang kecamatan. Dua kecamatan tercatat
menunjukkan status sosialnya dalam sebagai sentra produksi yaitu Kecamatan
masyarakat (Setiawan dan Kambera dan Kecamatan Umalulu.
Suwarningdyah, 2014). Kain tenun ikat Jumlah unit usaha kain tenun di Sumba
merupakan perlengkapan dalam upacara Timur tercatat 2.741 unit dan menyerap
adat (pernikahan, kematian), agama dan 4.830 tenaga kerja (BPS Kabupaten
kesenian. Sumba Timur, 2012). Sebagian kecil dari
unit usaha tersebut berstatus formal
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 69

(mempunyai izin usaha), namun sebagian Berdasarkan uraian di atas, perlu


besar berstatus non formal (tidak dilakukan analisis usaha tenun ikat
mempunyai izin usaha). Kapasitas meliputi proses dan biaya produksi,
produksi kain tenun ikat pada tahun 2011 volume kerja serta pendapatan pengrajin,
tercatat 22.692 lembar dengan nilai jenis-jenis tumbuhan sumber pewarna
produksi 4,5 milyar rupiah (Dinas dan upaya konservasi yang sudah
Perindustrian dan Perdagangan dilakukan serta dukungan yang
Kabupaten Sumba Timur, 2011). diperlukan untuk keberlanjutan dan
Pembuatan kain tenun ikat Sumba pengembangan usaha. Selanjutnya perlu
Timur menggunakan zat pewarna alam diidentifikasi para pihak terkait dan
yang berasal dari bagian tumbuhan pembagian peran di antara mereka untuk
penghasil pewarna (akar, kulit kayu, mewujudkan dukungan yang diperlukan
daun) dan merupakan salah satu Hasil sehingga usaha tenun ikat berkelanjutan
Hutan Bukan Kayu (HHBK). dan berkembang secara signifikan.
Penggunaan zat pewarna alam di Penelitian ini bertujuan manganalisis
Indonesia telah dimulai sejak zaman usaha kerajinan tenun ikat, jenis-jenis
penjajahan Belanda terutama untuk tumbuhan sumber pewarna yang
pewarnaan kain (Heyne, 1987). Sampai digunakan dan dukungan yang diperlukan
sekarang zat pewarna alam masih untuk keberlanjutan dan pengembangan
digunakan terutama pada kain tenun ikat usaha. Hasil penelitian merupakan bahan
dengan corak tradisional. Pewarnaan masukan bagi parapihak terkait dalam
dengan zat warna alam ini disukai karena menyusun program pembangunan di
menimbulkan efek khas yang tidak dapat Kabupaten Sumba Timur, khususnya
ditiru oleh zat warna sintetik. Hal inilah pengembangan usaha tenun ikat berbasis
yang mendukung kain tenun ikat sebagai pewarna alam.
produk eksklusif yang banyak diminati
orang (nDima, 2007). Proses pembuatan METODOLOGI
kain tenun ikat Sumba Timur Tempat dan Waktu Penelitian
menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin Penelitian dilakukan di Kabupaten
(ATBM) membutuhkan waktu lebih lama Sumba Timur, yaitu di tiga
dan rumit, sehingga kain tenun yang kelurahan/desa, meliputi Kelurahan
dihasilkan harganya lebih mahal. Namun Lambanapu dan Mauliru di Kecamatan
jenis-jenis tumbuhan pewarna yang Kambera, dan Desa Watu Hadang di
digunakan, cara penyediaan dan tingkat Kecamatan Umalulu. Kecamatan
pemanfaatannya belum banyak Kambera dan Umalulu merupakan dua
didokumentasikan. Hal ini sangat kecamatan sentra produksi kain tenun
diperlukan sebagai dasar penyusunan yang telah lama menggunakan pewarna
strategi pelestarian dan pengembangan alam. Dialog dengan perwakilan
jenis-jenis tumbuhan tersebut untuk pengrajin dari lima kecamatan
mendukung keberlanjutan usaha tenun (Kecamatan Kambera, Umalulu, Kota
ikat berbasis pewarna alam. Waingapu, Kanatang dan Pahunga Lodu)
dilakukan di Kelurahan Lambanapu.
70 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

Workshop dengan para pihak terkait Pemilihan responden dilakukan


dilakukan di Kota Waingapu. Kegiatan dalam dua tahap. Tahap pertama secara
penelitian dilaksanakan pada Bulan purposif, yaitu masyarakat yang
Februari dan Juni 2014. berprofesi sebagai pengrajin kain tenun
ikat. Tahap kedua secara acak atau
Bahan dan Alat Penelitian random yaitu pengrajin yang dapat
Bahan yang digunakan pada ditemui atau pengrajin yang mempunyai
penelitian ini adalah kuesioner pemandu waktu senggang dan bersedia
wawancara dan alat tulis kantor. Alat diwawancarai di masing-masing desa
yang dipergunakan meliputi tape penelitian. Jumlah responden adalah 39
recorder, kamera dan seperangkat orang dengan rincian 15 orang di Desa
komputer. Tape recorder digunakan Lambanapu, 12 orang di Desa Mauliru
untuk merekam diskusi/wawancara yang dan 12 orang di Desa Watu Hadang.
dilakukan dengan key informan dan Selain itu dilakukan pula wawancara
responden. Kamera berfungsi sebagai alat dengan dua orang informan yang
dokumentasi, terutama untuk berprofesi sebagai pengumpul atau
mendokumentasikan proses produksi dan pemungut bahan (bagian tumbuhan)
produk-produk tenun ikat, sementara pewarna, satu informan yang berprofesi
komputer digunakan untuk pengolahan sebagai buruh celup dan satu informan
data dan penyusunan naskah hasil sebagai buruh tenun. Total informan
penelitian serta fasilitas jaringan internet adalah 43 orang.
untuk menelusuri referensi tentang tenun Dalam rangka menggali informasi
ikat. tentang produktivitas kerja dan
ketersediaan bahan baku, khususnya
Pengumpulan Data tumbuhan penghasil pewarna serta
Pengumpulan data primer berupa permasalahan yang dihadapi pengrajin,
karakteristik usaha tenun ikat berbasis dilakukan dialog dengan perwakilan
pewarna alam dilakukan dengan metode pengrajin dan pemungut bahan pewarna
wawancara menggunakan kuesioner yang berasal dari lima kecamatan yaitu
sebagai pemandu dan observasi lapangan. Kecamatan Kambera, Umalulu, Kota
Kuesioner terstruktur disusun Waingapu, Kanatang dan Pahunga Lodu.
berdasarkan informasi yang diperlukan, Selanjutnya dilakukan identifikasi para
meliputi identitas responden, tahap-tahap pihak terkait dan pembagian peran di
atau proses produksi usaha tenun ikat antara mereka untuk memberikan
berikut upah kerja, bahan-bahan yang dukungan dan menanggulangi
digunakan berikut biayanya, volume permasalahan yang dihadapi pengrajin
kerja dan pendapatan yang diperoleh dan pemungut bahan pewarna agar
pengrajin. Khusus untuk sumber bahan keberlanjutan dan peningkatan usaha
pewarna, pertanyaan meliputi jenis-jenis tenun ikat dapat terwujud. Identifikasi
tumbuhan yang digunakan, tingkat para pihak terkait dan pembagian peran
pemanfaatan dan upaya konservasi yang dilakukan melalui sebuah workshop yang
telah dilakukan. dihadiri oleh Satuan Kerja Pemerintah
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 71

Daerah (SKPD) Kabupaten Sumba Timur HASIL DAN PEMBAHASAN


terkait. Kondisi Sosial Ekonomi
Selain data primer, dikumpulkan Masyarakat
pula data sekunder berupa kondisi sosial Tingkat pendidikan masyarakat di
ekonomi masyarakat Kabupaten Sumba Kabupaten Sumba Timur masih sangat
Timur dan masyarakat di tiga desa lokasi rendah. Dari total penduduk yang
penelitian, status dan skala usaha berumur 10 tahun ke atas, terdapat
kerajinan tenun ikat. Data sekunder 70,44% hanya berpendidikan SD baik
dikumpulkan di Satuan Kerja Pemerintah tamat ataupun tidak tamat (tidak
Daerah (SKPD) Kabupaten Sumba Timur berijazah). Selanjutnya hanya 25,35%
terkait, meliputi Badan Pusat Statistik, dari penduduk yang berumur 10 tahun ke
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, atas yang berpendidikan sekolah
Dinas Kehutanan, Badan Pemberdayaan menengah (pertama dan atas) dan 4,21%
Masyarakat dan lain-lain. yang berpendidikan tinggi (diploma dan
sarjana) (Tabel 1). Hal yang
Analisis Data menggembirakan dari aspek kesetaraan
Data yang diperoleh, baik data gender adalah bahwa persentase
sekunder maupun data primer diolah penduduk terdidik seimbang antara pria
dengan tabulasi silang untuk memperoleh dan wanita, bahkan persentase wanita
nilai rata-rata. Data primer khususnya terdidik cenderung lebih tinggi dari pria
biaya produksi, penerimaan dan kecuali untuk Sekolah Menengah
pendapatan pengrajin dari usaha tenun Kejuruan dan Pendidikan Tinggi Pasca
ikat dianalisis berdasarkan karakteristik Sarjana.
usaha masing-masing pengrajin Pendapatan per kapita atau Produk
/responden. Biaya produksi dihitung Domestik Regional Bruto (PDRB)
berdasarkan unit benang yang digunakan Kabupaten Sumba Timur relatif rendah
yaitu satu kepala benang untuk yaitu Rp6.063.068,- namun pertumbuhan
memproduksi selendang, sarung atau ekonominya cukup tinggi yaitu 12,72%.
kain. Biaya produksi meliputi biaya Baik PDRB maupun pertumbuhan
bahan (benang, bahan pewarna, bahan ekonomi Kabupaten Sumba Timur lebih
pengikat) dan upah kerja. Keuntungan tinggi dibandingkan PDRB dan
pengrajin dari usaha tenun ikat diperoleh pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa
dari selisih penerimaan (harga penjualan Tenggara Timur yang nilainya berturut-
produk) dan biaya produksi per unit turut adalah Rp5.515.943,- dan 12,23%
benang. Pendapatan pengrajin per tahun (BPS Kabupaten Sumba Timur, 2012a).
dihitung dengan mengalikan nilai Karakteristik penduduk dan sosial
keuntungan yang diperoleh per unit ekonomi masyarakat di tiga
benang dengan jumlah unit benang yang kelurahan/desa lokasi penelitian
dapat dikerjakan oleh pengrajin dalam (Lambanapu, Mauliru dan Watu Hadang)
satu tahun. Hasil analisis data disajikan disajikan pada Tabel 2 dan 3. Kelurahan
secara kualitatif dan kuantitatif dan Mauliru di Kecamatan Kambera
dibahas secara deskriptif. mempunyai luas wilayah terkecil (580
72 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

ha) dengan jumlah penduduk terbesar diantara ketiga kelurahan/desa lokasi


(4.085 jiwa) sehingga kerapatan penelitian (Tabel 2).
penduduknya tertinggi (704 jiwa/km2)

Tabel 1. Persentase penduduk Kabupaten Sumba Timur yang berumur 10 tahun ke atas
menurut ijazah tertinggi
No. Tingkat pendidikan Pria Wanita Jumlah
1, Tdk punya ijazah 44,73 39,86 42,41
2. SD/MI 26,47 29,74 28,03
3. SLTP 12,19 12,72 12,44
4. SLTA 7,98 9,50 8,71
5. SM Kejuruan 4,74 3,61 4,20
6. Diploma I/II 0,29 0,97 0,61
7. Diploma III/ Sarjana Muda 0,72 0,79 0,75
8. Diploma IV/S1 2,71 2,81 2,76
9. S2/S3 0,17 0,00 0,09
Sumber: BPS Kabupaten Sumba Timur, 2012a

Tabel 2. Karakteristik penduduk di tiga kelurahan/desa lokasi penelitian


No. Karakteristik Kelurahan Kelurahan Desa Watu
Lambanapu Mauliru Hadang
1. Luas wilayah (ha) 690 580 1.020
2. Jumlah penduduk (jiwa) 2.793 4.085 2.050
2
3. Kepadatan penduduk (jiwa/km ) 405 704 201
4. Jumlah Kepala Keluarga (KK) 517 725 357
5. Rata-rata jumlah anggota 5 6 6
keluarga (jiwa)
Sumber: BPS Kabupaten Sumba Timur 2013a dan BPS Kabupaten Sumba Timur 2013b.

Tabel 3. Persentase penduduk tiga kelurahan/desa lokasi penelitian menurut lapangan


usaha/mata pencaharian
No. Lapangan Usaha Kelurahan Kelurahan Desa Watu
Lambanapu Mauliru Hadang
1. Petani 50,4 50,6 40,1
2. Peternak 0,6 0,02 16,0
3. Nelayan 0,2 1,8 1,0
4. Pedagang 1,2 0,9 2,4
5. Industri kerajinan 3,5 13,4 39,0
6. PNS/TNI 3,5 2,2 1,0
7. Pensiunan 0,6 0,6 0,4
8. Lainnya 39,8 30,5 0
Keterangan: Data diolah dari BPS Kabupaten Sumba Timur 2013a dan BPS Kabupaten Sumba
Timur 2013b.
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 73

Tabel 4. Jumlah unit usaha kerajinan tenun ikat dan tenaga kerja di tiga kelurahan/desa lokasi
penelitian
No. Kelurahan/Desa Jumlah unit usaha (unit) Jumlah tenaga kerja (orang)
1. Lambanapu 23 41
2. Mauliru 37 258
3. Watu Hadang 141 446
Jumlah 201 745
Keterangan: Data diolah dari berbagai sumber

Mata pencaharian sebagian besar tenun ikat di tiga kelurahan/desa lokasi


masyarakat di tiga kelurahan/desa lokasi penelitian yang merupakan sentra
penelitian adalah di bidang pertanian produksi tenun ikat berikut jumlah tenaga
(sebagai petani). dengan persentase kerjanya disajikan pada Tabel 4. Desa
antara 40 sampai 50%. Masyarakat yang Watu Hadang, dengan jumlah penduduk
bekerja di bidang industri kerajinan terkecil dibandingkan penduduk
(termasuk kerajinan kain tenun ikat) kelurahan/desa lainnya, mempunyai unit
tercatat cukup besar dan persentasenya usaha dan tenaga kerja terbesar yaitu
menempati urutan kedua di ketiga masing-masing 141 unit dan 446 orang.
kelurahan/desa (Tabel 3). Hal ini Data ini sesuai dengan data pada Tabel 3
menunjukkan bahwa usaha kerajinan dimana persentase penduduk Desa Watu
(termasuk kerajinan tenun ikat) Hadang yang bekerja di bidang industri
mempunyai kontribusi yang besar dalam kerajinan (termasuk kerajinan tenun ikat)
mendukung kehidupan masyarakat dan adalah tertinggi yaitu 39%.
berpotensi besar untuk dikembangkan.
Proses produksi, sumber pewarna
Karakteristik Usaha Tenun Ikat dan jenis produk tenun ikat
Penyerapan tenaga kerja dan skala Pembuatan kain tenun ikat Sumba
usaha Timur pada awalnya menggunakan bahan
Industri kain tenun ikat adalah suatu dasar benang kapas yang dipintal sendiri
industri rumahan yang menghasilkan secara manual oleh pengrajin. Namun
produk berupa barang jadi, dimana seiring dengan berkembangnya teknologi
pelaku industri kain tenun ini sebagian pemintalan benang menggunakan mesin
besar adalah wanita (ibu dan anak wanita) dan semakin berkurangnya populasi
yang bekerja di rumah-rumah mereka pohon randu (Gossypium hirsutum L)
secara paruh waktu. Berdasarkan data sebagai penghasil kapas, dewasa ini
BPS Kabupaten Sumba Timur (2012), pengrajin menggunakan benang pintal
jumlah unit usaha tenun ikat di mesin sebagai bahan dasar pembuatan
Kabupaten Sumba Timur adalah 2.741 kain tenun ikat Sumba Timur sehingga
dan menyerap 4.830 tenaga kerja. proses produksinya lebih cepat.
Dengan penyerapan tenaga kerja 2-3 Proses produksi kain tenun ikat
orang per unit maka usaha kerajinan Sumba Timur dimulai dengan kegiatan
tenun ikat di Sumba Timur ini tergolong menggulung benang, dilanjutkan dengan
usaha industri mikro. Jumlah unit usaha merentang benang (pamening) dan
74 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

mengikat benang. Pada zaman dulu, Bahan pewarna berupa pewarna alam
benang diikat menggunakan tali kalita berasal dari bagian tumbuhan (daun,
(dari pohon gewang/Corypha gebanga), batang, buah, biji, akar dan kulit kayu).
namun saat ini sebagian besar pengrajin Terdapat dua jenis tumbuhan sumber
beralih menggunakan tali rafia karena pewarna utama yang banyak digunakan
mudah diperoleh atau dibeli dengan harga oleh pengrajin di Kabupaten Sumba
yang terjangkau. Benang yang sudah Timur. Di samping itu terdapat tiga jenis
diikat siap untuk dicelup dan diwarnai tumbuhan yang berfungsi sebagai
dengan pewarna alam. Sampai saat ini penguat atau pengawet warna dan
warna yang banyak digunakan pengrajin pelembut kain (Tabel 5). Empat jenis di
di Sumba Timur hanya warna biru atau antaranya berupa pohon hutan (hasil
hitam dan merah. hutan bukan kayu/HHBK), di mana
Sebagian pengrajin memungut dan bagian yang dimanfaatkan adalah buah,
memproses bahan pewarna atau akar dan kulit kayu (pepagan) serta satu
menyediakan cairan pewarna untuk jenis berupa semak (nila). Lemmens dan
mencelup benang yang sudah diikat Wulijarni - Soetjipto (1992)
secara langsung (dikerjakan sendiri). mengemukakan bahwa sebagian besar
Sebagian lainnya menggunakan jasa warna dapat diperoleh dari tumbuhan
orang lain yang berprofesi sebagai melalui pigmen yang terdapat pada
pemungut dan pencelup (penyedia cairan jaringan dari berbagai bagian tumbuhan
pewarna sekaligus jasa untuk mencelup seperti akar, rimpang, pepagan, kayu,
benang), dengan membayar sejumlah kulit kayu, daun, buah, biji, bunga dan
upah. kepala putik. Indonesia memiliki banyak
Setelah benang dicelup, dijemur di potensi tumbuhan yang dapat dijadikan
bawah atap sampai kering dan benang sebagai pewarna alam, yakni terdapat
siap untuk ditenun sesuai motif yang sekitar 62 jenis tumbuhan pewarna alam
sudah dibuat atau disediakan. Kegiatan (Prosea, 2009). Menurut Tocharman
menenun dapat dikerjakan sendiri oleh (2009), ekstrak kulit buah mahoni dapat
pengrajin atau anggota keluarganya, menghasilkan warna coklat kekuning-
namun dapat pula menggunakan jasa kuningan dan tidak mudah luntur. Jenis
buruh tenun (Gambar 1). tanaman ini mudah diperoleh dan mudah
tumbuh di mana saja.

A B
Gambar 1. Proses produksi kain tenun ikat. A: Kegiatan merentang benang (pamening),
B: Benang yang sudah diikat dan dicelup, C: Kegiatan menenun (Sumber:
Koleksi Pribadi)
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 75

Tabel 5. Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pewarna kain tenun ikat di lokasi
penelitian
No. Jenis tumbuhan Bagian yang Warna yang
Nama daerah Nama ilmiah dimanfaatkan dihasilkan/fungsi
1. Wora atau nila Indigofera tinctoria Daun, batang, biji Biru t hitam
L.
2. Kombu atau Morinda citrifolia L Akar Merah
mengkudu
3. Loba Symplocos sp. Kulit batang/cabang Penguat warna
(pepagan)
4. Kawilu atau kemiri Aleurites moluccana Daging buah Penguat/pengawet
(L.) Willd. warna
5. Walakari atau dadap Erytrina sp Kulit batang (bagian Pelembut kain
dalam)

Bahan pewarna berupa bagian tumbuhan, melakukan budidaya atau penanaman di


khususnya Indigofera tinctoria L. dan kebun atau pekarangan pengrajin tenun
Morinda citrifolia L. dipungut dari alam ikat, sehingga akses mereka terhadap
secara langsung baik oleh pengrajin sumber pewarna lebih mudah.
maupun oleh orang yang berprofesi Ada tiga jenis produk kain tenun ikat
sebagai pemungut. Belum ada upaya yang dihasilkan, yaitu selendang dengan
penanaman atau budidaya jenis-jenis rata-rata ukuran 1 x 0,6 m, sarung dengan
tersebut yang sudah dilakukan. Upaya ukuran 2 x 1 m sampai 2,5 x 1 m dan kain
konservasi tumbuhan penghasil warna dengan ukuran 3 x 1,5 m (Gambar 2).
yang sudah dilakukan baru sebatas Ketiga jenis produk tersebut
menyebarkan biji nila ketika batang, membutuhkan biaya produksi yang
ranting dan daunnya dipanen. Akar berbeda-beda dan harga jual yang juga
mengkudu yang sudah digali dan berbeda.
dipotong ditimbun kembali dengan daun-
daun kering (pupuk hijau) agar pulih
lebih cepat. Upaya konservasi in situ
(mempertahankan populasi yang ada di
alam) dapat dilakukan dengan
menerapkan teknik pemungutan bagian
tumbuhan tersebut dengan cara yang
tidak merusak. Upaya konservasi eks situ
dapat dilakukan dengan membuat sentra A. Kain B. Sarung C. Selendang
pembibitan jenis-jenis tersebut, misalnya
Gambar 2. Produk usaha tenun ikat
di Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Sumba Timur (Sumber: Koleksi Pribadi).
Khusus (KHDTK) Hambala yang
berlokasi di Km 8 Kota Waingapu dan Karakteristik Pengrajin Kain
dikelola oleh Balai Penelitian dan Tenun Ikat
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Data karakteristik pengrajin kain
Kehutanan Kupang. Selanjutnya tenun ikat di tiga kelurahan/desa lokasi
76 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

penelitian yaitu Kelurahan Lambanapu Dalam hal pendidikan, sebagian


dan Mauliru (Kecamatan Kambera) dan besar pengrajin (69,2%) hanya
Desa Watu Hadang (Kecamatan berpendidikan SD (tamat atau tidak) dan
Umalulu) disajikan pada Tabel 6. bahkan tidak pernah sekolah (buta huruf).
Pengrajin kain tenun ikat di Kabupaten Hal ini sangat berpengaruh terhadap
Sumba Timur umumnya wanita (ibu dan tingkat penerimaan (adopsi) inovasi baru
anak wanita), pria hanya terlibat dalam untuk pengembangan kerajinan kain
kegiatan tertentu seperti menggambar tenun ikat, khususnya dalam hal motif
motif sebagai pekerjaan sampingan atau dan variasi warna. Sanfaris (2012)
membantu istri. Lebih dari separuh mengemukakan bahwa kreativitas dan
(51,3%) reponden berusia muda, antara inovasi sangat dibutuhkan dalam
20-40 tahun. Profesi sebagai pengrajin memodifikasi produk kain tenun ikat
kain tenun ikat diminati oleh golongan menjadi lebih menarik, sehingga
muda. Hal ini cukup menggembirakan mempunyai nilai jual yang tinggi.
dilihat dari segi kelestarian budaya, di Kemampuan membangun relasi dengan
mana terjadi kaderisasi keterampilan pihak-pihak lain sangat membantu dalam
kerajinan kain tenun ikat yang merupakan proses pengembangan usaha tenun ikat.
budaya tradisional masyarakat Sumba
Timur.

Tabel 6. Karakteristik pengrajin kain tenun ikat di lokasi penelitian (Kelurahan Lambanapu,
Kelurahan Mauliru dan Desa Watuhadang).
No Karakteristik Responden
Jumlah (orang) Persen (%)
1. Jenis kelamin
- Pria 14 35,9
- Wanita 25 64,1
2. Umur (tahun)
- 20-40 20 51,3
- 41-60 14 35,9
- > 60 5 12,8
3. Tingkat pendidikan
- Tidak Sekolah/Tidak tamat SD 6 15,4
- Tamat SD/Sederajat 21 53,8
- Tamat SMP/Sederajat 5 12,8
- Tamat SMA/Sederajat 4 10,3
- Perguruan Tinggi 3 7.7
4. Jenis pekerjaan utama
- Pengrajin Kain Tenun Ikat 26 66,7
- Petani 11 28,2
- Lainnya 2 5,1
5. Jenis pekerjaan Sampingan
- Pengrajin Kain Tenun Ikat 11 28,2
- Petani 24 61,5
- Lainnya 4 10,3
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 77

No Karakteristik Responden
Jumlah (orang) Persen (%)
6. Keikut sertaan dalam kelompok pengrajin
- Anggota/pengurus kelompok 16 41,0
- Tidak berkelompok 23 59,0

Lebih dari separuh responden pada Tabel 7. Biaya produksi meliputi


(66,7%) menyatakan bahwa pengrajin pengadaan bahan (benang dasar, sumber
kain tenun ikat adalah pekerjaan utama pewarna utama dan pelengkap, tali (rafia,
mereka dan 11 orang (28,2%) responden kalita)) dan upah kerja. Upah kerja
menyatakan sebagai pekerjaan meliputi menggulung dan merentang
sampingan. Pengelompokan jenis benang, membuat motif, mengikat dan
pekerjaan sebagai pekerjaan utama atau mencelup benang serta menenun.
sampingan didasarkan pada proporsi Sebagian pengrajin mengerjakan sendiri
curahan waktu yang digunakan responden semua proses produksi mulai
untuk memproduksi kain tenun ikat atau menggulung benang sampai menenun,
untuk mengerjakan pekerjaan lainnya. namun biaya kerja tetap diperhitungkan
Sebagian besar pengrajin (59%) mengikuti standar upah yang berlaku di
belum tergabung dalam kelompok. Hanya kelurahan/desa tersebut. Upah kerja
41% responden yang sudah terhimpun membuat selendang dihitung berdasarkan
dalam kelompok, namun kegiatannya satu unit benang (satu kepala benang,
hanya pada pemasaran hasil (produk kain menurut istilah penenun), di mana satu
tenun), sedangkan dalam kegiatan unit benang rata-rata menghasilkan
penyediaan bahan baku dan proses sepuluh lembar selendang dengan biaya
penenunan tetap dilakukan secara rata-rata sebesar Rp815.000,-. Dengan
perorangan. Beberapa dari kelompok demikian rata-rata upah kerja membuat
pengrajin yang sudah terbentuk belum selembar selendang adalah Rp81.500,-.
mandiri, melainkan sebagai sub Perhitungan yang sama digunakan untuk
kelompok yang menginduk ke kelompok menghitung upah kerja selembar sarung
tani. Artinya struktur dan posisi dan kain, dimana upah kerja rata-rata
kelompok pengrajin masih rendah untuk selembar sarung adalah
sehingga masih sulit untuk Rp230.000,- dan kain Rp410.000,-.
memperjuangkan kepentingan pengrajin Penerimaan adalah jumlah uang yang
dalam tatanan pemerintahan diterima pengrajin dari penjualan
desa/kelurahan. berbagai jenis produk (selendang, sarung
dan kain) untuk setiap bahan dasar satu
Biaya Produksi dan Pendapatan unit benang. Dari bahan dasar satu unit
Pengrajin benang dapat dihasilkan 8 sampai 14
Hasil analisis biaya produksi, lembar selendang (rata-rata 10,1 lembar)
penerimaan dan keuntungan usaha tiga dengan harga jual bervariasi dari
jenis produk (selendang, sarung dan kain) Rp200.000,- sampai Rp350.000,-
di tiga desa lokasi penelitian disajikan tergantung ukuran, motif, ketajaman
78 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

warna dan konsumennya (domestik atau menghasilkan 2-4 lembar (rata-rata 2,6
manca negara). Produk sarung dapat lembar) dengan harga jual bervariasi dari
dihasilkan 3-6 lembar (rata-rata 3,9 Rp1.000.000,- sampai Rp2.500.000,- per
lembar) per satu unit benang bahan dasar lembar. Semakin rumit motif dan
dengan harga jual bervariasi dari semakin banyak variasi warna dari tenun
Rp500.000,- sampai Rp1.750.000,- per ikat tersebut akan semakin tinggi
lembar. Demikian pula halnya produk harganya. Demikian juga dengan ukuran
jenis kain, satu unit benang dapat masing-masing produk.

Tabel 7. Hasil analisis biaya produksi, penerimaan dan keuntungan usaha kain tenun ikat untuk
bahan dasar satu unit benang di lokasi penelitian
Desa/jenis Biaya Penerimaan Keuntungan
produk produksi (Rp) (Rp) Keterangan
(Rp)
Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera (n=15)
Selendang 1.087.000 2.007.692 920.692 9,5 lembar per unit benang
@ Rp211.336,-
Sarung 1.389.733 2.890.000 1.500.267 4,0 lembar per unit benang
@ Rp722.500,-
Kain 1.539.073 3.613.333 2.074.260 2,6 lembar per unit benang
@ Rp1.389.743,-

Desa Mauliru, Kecamatan Kambera (n=12)


Selendang 1.226.000 3.120.000 1.894.000 10,4 lembar per unit benang
@ Rp300.000,-
Sarung 1.483.000 2.820.000 1.336.600 4,6 lembar per unit benang
@ Rp613.043,-
Kain 1.544.167 2.900.000 1.207.333 2,6 lembar per unit benang
@ Rp1.115.385,-

Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu (n=12)


Selendang 1.756.250 2.975.000 1.218.750 10,5 lembar per unit benang
@ Rp283.333,-
Sarung 1.890.462 4.807.692 3.077.308 3,1 lembar per unit benang
@ Rp1.550.868,-
Kain 1.666.944 4.166.667 2.499.722 2,0 lembar per unit benang
@ Rp2.083.333,-
Rata-rata (n=39)
Selendang 1.356.417 2.700.897 1.344.481 10,1 lembar per unit benang
@ Rp264.890,-
Sarung 1.587.732 3.505.897 1.971.392 3,9 lembar per unit benang
@ Rp962.137,-
Kain 1.583.395 3.560.000 1.927.105 2,4 lembar per unit benang
@ Rp1.529.487,0
Rata-rata 1.509.181 3.255.598 1.747.659
untuk
semua jenis
produk
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 79

Data pada Tabel 7 menunjukkan dikemukakan bahwa input yang paling


bahwa rata-rata biaya produksi untuk dominan mempengaruhi produksi kain
membuat selendang atau sarung atau kain tHQXQ LNDW ³7URVR´ DGDODK $7%0
dari satu unit benang adalah Hasil analisis volume kerja dan
Rp1.509.181,-, sementara rata-rata pendapatan pengrajin di tiga desa lokasi
keuntungan yang diperoleh pengrajin penelitian disajikan pada Tabel 8. Rata-
adalah Rp1.747.659,-. Dari perbandingan rata pengrajin perorangan (skala rumah
biaya produksi dan keuntungan tersebut tangga) dapat mengerjakan 7,91 unit
dapat dihitung tingkat efisiensi proses benang dalam satu tahun untuk
produksi tenun ikat Sumba yaitu sebesar memproduksi tiga jenis produk yaitu
115,80%. Tingkat efisiensi tersebut selendang, sarung dan kain dengan
tergolong tinggi. Hal ini diduga karena proporsi yang berbeda-beda antar
perhitungan biaya produksi kain tenun pengrajin dan antar desa. Volume kerja
ikat Sumba belum memasukkan faktor pengrajin tertinggi terdapat di Desa
biaya peralatan yang digunakan pengrajin Mauliru yaitu 9,50 kepala benang per
untuk memproduksi kain tenun ikat tahun per pengrajin dan terendah di Desa
(selendang atau sarung atau kain). Watu Hadang yaitu hanya 5,57 kepala
Tingkat efisiensi ini berbeda dengan hasil benang per tahun. Hal ini diduga karena
penelitian Widiastuti (2006) tentang pengrajin di Desa Watu Hadang
efisiensi pemanfaatan input dan faktor- membutuhkan waktu yang lebih lama
faktor yang memengaruhi output industri untuk kegiatan penyiapan motif dan
NHFLO NDLQ WHQXQ LNDW ³7URVR´ GL mana penenunan untuk menghasilkan kain
dilaporkan bahwa input tenaga kerja dan tenun yang lebih tinggi mutunya karena
modal tidak efisien sementara konsumennya lebih banyak dari turis
penggunaan alat tenun bukan mesin asing.
(ATBM) belum efisien. Selanjutnya

Tabel 8. Rata-rata pendapatan pengrajin per tahun di tiga desa lokasi penelitian, di Kabupaten
Sumba Timur
Jenis produk Keuntungan per unit Volume kerja per tahun Pendapatan per
benang (Rp) (unit benang) tahun (Rp)
Desa Lambanapu
Selendang 920.692 2,77 2.550.316
Sarung 1.500.267 2,67 4.005.713
Kain 2.074.260 3,23 6.699.860
Rata-rata volume kerja pengrajin per tahun 8,67 -
Rata-rata pendapatan pengrajin per tahun 13.255.889
Rata-rata pendapatan pengrajin per bulan 1.104.657

Desa Mauliru
Selendang 1.894.000 2,80 5.303.200
Sarung 1.336.600 3,40 4.544.440
Kain 1.207.333 3,30 3.984.199
Rata-rata volume kerja pengrajin per tahun 9,50 -
80 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

Jenis produk Keuntungan per unit Volume kerja per tahun Pendapatan per
benang (Rp) (unit benang) tahun (Rp)
Rata-rata pendapatan pengrajin per tahun 13.831.839
Rata-rata pendapatan pengrajin per bulan 1.152.653
Desa Watu Hadang
Selendang 1.218.750 1,28 1.560.000
Sarung 3.077.308 2,46 7.570.178
Kain 2.499.722 1,83 4.574.491
Rata-rata volume kerja pengrajin per tahun 5,57 -
Rata-rata pendapatan pengrajin per tahun 13.704.669
Rata-rata pendapatan pengrajin per bulan 1.142.056

Rata-rata untuk tiga desa lokasi penelitian


Volume kerja pengrajin per tahun 7,91 -
Pendapatan pengrajin per tahun 13.597.466
Pendapatan pengrajin per bulan 1.133.122

Sekalipun rata-rata volume kerja benang per tahun di Desa Mauliru dan
pengrajin di Desa Watu Hadang terendah 2,46 di Desa Watu Hadang).
diantara tiga desa lokasi penelitian yaitu Harga kain atau hinggi lebih mahal
hanya 5,57 unit benang per tahun, namun dibandingkan dengan sarung atau lawu
rata-rata keuntungan per unit benang karena pembuatan kain membutuhkan
tertinggi yaitu Rp2.265.260,- Hal ini keahlian dan keterampilan yang lebih
dimungkinkan karena harga jual produk tinggi dalam hal menyusun corak,
umumnya lebih tinggi disebabkan mengatur ikatan pada benang, meramu
konsumennya sebagian besar dari turis warna dan mencelup serta membutuhkan
asing. Pendapatan pengrajin pada tiga waktu yang lebih lama (nDima, 2007;
desa lokasi penelitian tidak berbeda nyata Langgar, 2014). Di samping itu ukuran
dengan rata-rata Rp1.133.122,- per bulan. kain juga lebih besar dibandingkan
Rata-rata pendapatan terendah diperoleh sarung.
pengrajin di Kelurahan Lambanapu yaitu
Rp1.104.657,- per bulan dengan Dukungan untuk Keberlanjutan
produktivitas kerja 8,67 unit benang per dan Pengembangan Usaha
tahun. Dari dialog dengan perwakilan
Di Kelurahan Lambanapu pengrajin pengrajin dan pemungut bahan pewarna
menggunakan benang lebih banyak untuk yang berasal dari lima kecamatan yaitu
memproduksi jenis kain (3,23 unit Kecamatan Kambera, Umalulu, Kota
benang per tahun) dibanding untuk jenis Waingapu, Kanatang dan Pahunga Lodu
selendang (2,77) dan sarung (2,67). diperoleh informasi bahwa produktivitas
Sedangkan di dua desa lainnya, lebih kerja pengrajin dan pemungut bahan baku
banyak benang yang digunakan untuk pewarna alam belum optimal sehingga
memproduksi sarung dibandingkan perlu ditingkatkan. Peningkatan
produk lainnya (masing-masing 3,40 unit produktivitas kerja akan tercapai jika
bahan baku pewarna alam tersedia dalam
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 81

jumlah yang cukup dan pemasaran Dalam hal ini Pemerintah Daerah
produk kain tenun berjalan lancar secara Kabupaten Sumba Timur telah
terus menerus, sehingga pengrajin akan mewajibkan setiap PNS dan Pegawai
memproduksi kain tenun tidak hanya jika BUMN untuk memakai pakaian dari
ada pesanan melainkan berproduksi bahan tenun ikat setiap hari Kamis. Di
secara terus menerus. Permasalahannya samping itu pemerintah daerah melalui
adalah bahwa harga bahan baku (benang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
dan bahan pewarna alam) terus naik, loba mencanangkan program gerakan cinta
(berupa kulit batang dan daun) semakin seni dan pariwisata (gentania) agar
sulit diperoleh karena di lokasi masyarakat lebih menghargai karya seni
tumbuhnya (Taman Nasional Laiwanggi- dari daerah masing-masing.
Wanggameti) pengambilan kulit batang
dan daun loba sudah dilarang. Pohon KESIMPULAN DAN SARAN
mengkudu sebagai sumber pewarna Kesimpulan
merah juga sudah semakin sulit Usaha kerajinan tenun ikat di
ditemukan, populasinya di alam semakin Kabupaten Sumba Timur tergolong
menurun, sementara upaya budidayanya industri mikro dengan rata-rata
belum signifikan. penyerapan tenaga kerja 2-3 orang per
Beberapa hal yang perlu ditindak unit. Umumnya tenaga kerja berasal dari
lanjuti dari hasil dialog dengan pengrajin anggota keluarga terutama ibu dan anak
dan pemungut bahan pewarna adalah: wanita dengan usia merata dari muda
1. Tumbuhan penghasil pewarna, sampai tua. Usaha kerajinan (termasuk
khususnya mengkudu dan loba sudah kerajinan tenun ikat) mempunyai
sangat mendesak untuk kontribusi yang besar dalam mendukung
dibudidayakan agar kebutuhan bahan kehidupan masyarakat dan berpotensi
baku terpenuhi secara terus menerus. besar untuk dikembangkan. Sebagian
2. Produk kain tenun diarahkan untuk besar pengrajin bekerja secara perorangan
dua peruntukan yaitu untuk keperluan dan masih sangat sedikit yang sudah
adat dan bisnis. Motif dan warna terhimpun dalam kelompok
kain tenun untuk keperluan bisnis pengrajin,.umumnya pengrajin hanya
tidak perlu terpaku pada motif dan berpendidikan SD dan bahkan tidak
warna kain tenun tradisional, pernah sekolah (buta huruf).
sehingga sumber pewarna alam dapat Proses produksi dimulai dengan
berasal dari tumbuhan pewarna mempersiapkan benang (menggulung,
alternatif untuk mengurangi merentang dan mengikat). Benang yang
ketergantungan terhadap tumbuhan sudah diikat siap untuk dicelup dan
pewarna alam yang biasa digunakan diwarnai dengan pewarna alam. Setelah
oleh pengrajin. kering, benang tersebut ditenun
Upaya untuk meningkatkan mengikuti motif yang sudah dibuat atau
kecintaan masyarakat terhadap produk disediakan dan sesuai jenis produk yang
kain tenun ikat Sumba Timur merupakan akan dihasilkan (selendang, sarung dan
bagian dari peranan pemerintah daerah. kain). Terdapat dua jenis tumbuhan yang
82 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

banyak digunakan pengrajin tenun ikat DAFTAR PUSTAKA


sebagai sumber pewarna yaitu nila atau BPS Kabupaten Sumba Timur. (2013a).
wora (Indigofera tinctoria L.) dan Kecamatan Kambera dalam angka
mengkudu atau kombu (Morinda 2013. Waingapu, BPS Kabupaten
Sumba TImur.
citrifolia L.).
BPS Kabupaten Sumba Timur. (2013b).
Biaya produksi meliputi pengadaan
Kecamatan Umalulu dalam angka
bahan (benang, sumber pewarna utama 2013. Waingapu, BPS Kabupaten
dan pelengkap, tali (rafia, kalita)) dan Sumba TImur.
upah kerja yaitu rata-rata sebesar BPS Kabupaten Sumba Timur. (2012).
Rp1.509.181,- per unit benang. Harga Kabupaten Sumba Timur dalam
jual produk sangat bervariasi, angka 2012. Waingapu, BPS
dipengaruhi oleh ukuran, motif, Kabupaten Sumba TImur.
ketajaman warna dan asal konsumen. BPS Kabupaten Sumba Timur. (2012a).
Rata-rata volume kerja pengrajin adalah Indikator kesejahteraan rakyat
7,91 unit benang per tahun dengan Sumba Timur 2011, Waingapu, BPS
Kabupaten Sumba Timur.
pendapatan rata-rata sebesar
Balai Pustaka dan Prosea. (1999). Sumber
Rp1.133.122,- per bulan.
daya nabati Asia Tenggara No. 3.
Produktivitas kerja pengrajin belum Tumbuh-tumbuhan penghasil
optimal dan bahan baku sumber pewarna pewarna dan tanin. PT. Balai
alam semakin sulit diperoleh. Produk Pustaka, Jakarta bekerjasama dengan
kain tenun masih terpaku pada motif dan Prosea Indonesia, Bogor.
warna atau corak tradisional sehingga Dinas Perindustrian dan Perdagangan
segmen pasarnya terbatas. Kabupaten Sumba Timur. (2011).
Data industri formal dan non
Saran formal, industri kecil dan industri
Untuk menjamin keberlanjutan dan menengah. Hasil pemutahiran data
tahun 2011. Waingapu, Disperindag
pengembangan usaha tenun ikat di
Kabupaten Sumba Timur
Sumba Timur, budidaya jenis-jenis
Heyne K. (1987). Tumbuhan berguna
tumbuhan penghasil pewarna alam sudah Indonesia II. Jakarta, Badan
sangat mendesak dilakukan. Perlu pula Penelitian dan Pengembangan
mengenalkan jenis-jenis tumbuhan Kehutanan.
penghasil warna alternatif untuk Langgar, A. (2014). Kain tenun NTT,
mengurangi ketergantungan terhadap selayang pandang. Diunduh 22 Juni
tumbuhan pewarna alam yang biasa 2014 dari
digunakan pengrajin. Untuk memperluas http://www.adhylanggar.info/id/kain
segmen pasar diperlukan pengenalan motif -tenunNTT-selayang-pandang.
dan warna atau corak alternatif sehingga Lemmens, R.H.M.J. dan Wulijarni-Soetjipto,
produknya lebih bervariasi. N. (1992). Plant resources of South-
East Asia No.3. Dye and tannin-
producing plants. Wageningen, The
Netherlands.
nDima, P. P. (2007). Kajian budaya kain
tenun ikat Sumba Timur. Program
A n a l i s i s U s a h a T e n u n I k a t . . . , M u r n i a t i | 83

Pascasarjana Universitas Kristen dan Pengembangan Kebudayaan,


Satya Wacana dan Pemerintah Badan Penelitian dan
Daerah Kabuapten Sumba Timur. Pengembangan Kemenenterian
Prosea. (2009). Pewarna alami: Ditemukan Pendidikan dan Kebudayaan. Jurnal
62 jenis tumbuhan penghasil Pendidikan dan Kebudayaan 20
pewarna alami. Diunduh dari (3):353-367.
http://www.proseanet.org/prohati4/br Tocharman, M. (2009). Eksperimen zat
owser.php?pcategory=2&pageset=1 pewarna alami dari bahan tumbuhan
(14 Maret 2013). yang ramah lingkungan sebagai
Sanfaris, A.L. (2012). Peluang Bisnis Kain alternatif untuk pewarnaan kain
Tenun NTT. Karya Ilmiah batik. Bandung, UPI
Mahasiswa S1 Sistem Imformasi. Widiastuti, A. (2006). Analisis efisiensi
Jokyakarta, AMIKOM. pemanfatan input dan faktor-faktor
Setiawan, B. dan Suwarningdyah, R.R.N. yang mempengaruhi output industri
(2014). Strategi pengembangan NHFLO NDLQ WHQXQ LNDW µ7URVR¶ Jurnal
tenun ikat Kupang, Provinsi Nusa Dinamika Ekonomi dan Bisnis 3 (1) :
Tengagara Timur. Pusat Penelitian 85-111.
84 | D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 1, Juni 2016, 67-84

You might also like