Professional Documents
Culture Documents
Laporan Praktikum
Laporan Praktikum
MAKROFAUNA TANAH
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah
Tanah merupakan suatu sistem terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat menerima
tambahan bahan dari luar atau kehilangan bahan-bahan yang telah dimiliki tanah. Sebagai sistem
terbuka, tanah merupakan bagian dari ekosistem dimana komponen-komponen ekosistem tanah,
vegetasi dan hewan saling memberi dan menerima bahan-bahan yang diperlukan (Hardjowigeno,
2007).
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan
abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah
yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya
adalah makrofauna tanah (Hardjowigeno, 2007).
Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam
tumbuhan melalui akar-akarnya. Tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, seng dan
mineral esensi lainnya melalui akar-akar tumbuhan. Dengan semua itu, tumbuhan mengubah
karbon dioksida (masuk melalui stomata daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam
nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung pada
suhu dan air dimana tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Hardjowigeno,
2007).
Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah terbagi atas kelompok transien, temporer, periodic,
dan permanen. Berdasarkan habitanya, hewan tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon,
hemiedafon, dan eudafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuha-tumbuhan di permukaan
tanah, hemiedafon pada lapisan organic tanah, dan yang eudafon hidup pada tanah lapisan
mineral. Berdasarkan kegiatan makannya hewan tanah ada yang bersifat herbivore, saprova,
fungifora, dan predator (Suin, 1989).
Makrofauna tanah merupakan kelompok hewan- hewan besar penghuni tanah yang
merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak
berperan dalam proses fragmentasi serta memberikan fasilitas lingkungan yang baik bagi proses
dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mikrofauna tanah serta berbagai jenis
bakteri dan fungi. Peran makrofauna lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan
hewan mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke tanah, perbaikan struktur tanah dan
proses pembentukan tanah (Irwan, 1992).
Makrofauna tanah mempunyai peran yang sangat beragam di dalam habitatnya. Pada
ekosistem binaan, keberadaan dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan bagi sistem
budidaya. Pada satu sisi makrofauna tanah berperan menjaga kesuburan tanah melalui
perombakan bahan organik, distribusi hara, peningkatan aeresi tanah dan sebagainnya. Tetapi
pada sisi lain juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis tanaman budidaya. Dinamika
populasi berbagai jenis makrofauna tanah tergantung pada faktor lingkungan yang
mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor, predator maupun keadaan lingkungan
fisika-kimia (Irwan, 1992).
Cacing tanah merupakan fauna tanah yang bermanfaat karena dapat merubah bahan
organik kasar menjadi humus. Cacing tanah memakan bahan organik segar dipermukaan tanah,
masuk sambil menyeret sisa-sisa tanaman ke liangnya, kemudian mengeluarkan kotorannya di
permukaan tanah. Adanya fauna tanah bahan organik kasar yang ada di dalam tanah dapat
menjadi humus. Fauna tanah dapat memperbaiki tata udara tanah dan mengubah kesuburan tanah
serta struktur tanah (Hardjiwigeno ,2007).
Hakim.dkk (1989) dan Makalew menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi aktifitas organisme tanah yaitu : iklim (curah hujan, suhu), tanah (suhu tanah,
hara, kelembaban tanah, kemasaman) dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta cahaya matahari
(intensitas cahaya).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran
dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat
dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu
tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu
hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca,
topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).
Temperatur sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat terbatas
pada temperatur di bawah 10ºC, laju optimum aktifitas biota tanah yang menguntungkan terjadi
pada suhu 18-30ºC. Nitrifikasi berlangsung optimum pada temperatur sekitar 30ºC. Pada suhu
diatas 30ºC lebih banyak unsur K-tertukar dibebaskan pada temperatur rendah (Hanafiah, 2007).
Kekayaan jenis menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yang dipelajari.
Untuk menentukannya perlu dilakukan suatu kajian intensif untuk dapat memperoleh informasi
yang tepat mengenai jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jenis spesies yang ada di suatu
daerah, semakin tinggi tingkat kekayaannya.
METODE PENELITIAN
Sampel yang telah diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan proses
identifikasi. Spesimen yang telah ditemukan tersebut diidentifikasikan berdasarkan kesamaan ciri
morfologinya lalu dihitung jumlah spesimen yang ditemukan.
Indeks keanekaragaman
(Diversity Index)
H’ = - atau H’ =
Pi =
Keterangan : ni = jumlah individu tiap jenis
N = jumlah individu total
H’ = Indeks keanekaragaman
Indeks Kemerataan (Evenness Index)
E’ =
Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah spesies
E’ = Indeks Kemerataan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan makrofauna antara lain intensitas cahaya,
kelembaban, pH tanah, dan suhu. Faktor tersebut dapat mempengaruhi keanekaragaman dan
jumlah makrofauna yang terdapat dalam tanah. Sehingga untuk mengetahuinya diperlukan
pengukuran faktor lingkungan pada awal pengamatan dan akhir pengamatan. Berdasarkan hasil
pengukuran didapatkan data faktor fisik lingkungan adalah sebagai berikut:
Habita Kelomp Intensitas Kelembaban pH tanah Suhu (ºC)
t ok
Cahaya (%)
(klux) Tanah Udara Udara Tanah
Awal Akh Aw Akh Aw Akh Aw Akh Aw Akh Aw Akh
ir al ir al ir al ir al ir al ir
Vegeta 1 66 6,5 67 74 1 0,5 6,9 7 30,5 27 26 27
si 2 2,6 66 68 58 1 1 6,9 7 32 27 28 26
3 68 6,3 64 58 1 1 6,9 7 28 27 27 27
Rata-rata 45,5 26,2 66 63 1 0,83 6,9 7 30 27 27 26
Non 4 73,6 63,5 63 74 1 0,5 6,7 7 32 26 31 27
Vegeta 5 29,3 0,15 67 85 1 1 6,9 6 31 26 28 28
si
Rata-rata 51,45 31,8 65 79 1 0,75 6,8 6.5 31 26 29 27
Tabel 1 diatas menunjukan pengukuran faktor fisik lingkungan pada daerah vegetasi dan
non vegetasi. Didapatkan intensitas cahaya rata-ratanya diawal dan diakhir pada daerah vegetasi
lebih rendah dibandingkan dengan daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah vegetasi banyak
pepohonan yang menghalangi masuknya cahaya sehingga intensitas cahayanya lebih kecil di
banding cahaya pada daerah non vegetasi yang sedikit tanamannya.
Pengukuran kelembaban tanah rata-rata di awal pada daerah vegetasi lebih tinggi
dibandingkan daerah non vegetasi. Hal ini dikarenakan pada lokasi vegetasi tanahnya banyak
mengandung air karena adanya pepohonan besar yang banyak menampung air, juag sedikit
penguapan air karena terhalangi oleh pohon yang menyebabkan tanah di dareah vegetasi tetap
lembab. Namun kelembaban tanah rata-rata diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah daripada
non vegetasi dikarenakan pengukuran akhir dilakukan setelah hujan sehingga kelembaban
tanahnnya lebih tinggi pada daerah non vegetasi.
Pengukuran suhu udara rata-rata awal pada daerah vegetasi dan non vegetasi tidak jauh
berbeda hanya terdapat sedikit perbedaan lebih tinggi di non vegetasi yaitu 30ºC untuk vegetasi
dan 31ºC untuk non vegetasi. Hal ini dikarenakan pada daerah vegetasi ternaungi pohon
sehingga suhunya relatif rendah dan pada daerah non vegetasi suhunya relatif tinggi karena tidak
ternaungi pohon besar. Suhu udara rata-rata diakhir pada daerah non vegetasi lebih rendah yaitu
26ºC dibandingkan pada daerah vegetasi yaitu 27ºC. Hal ini dikarenakan pengukuran suhu akhir
dilakukan setelah hujan turun sehingga suhu udaranya lebih rendah di daerah non vegetasi tanpa
naungan sehingga banyak air hujannya dan suhu menjadi rendah.
Secara keseluruhan pada pengukuran faktor lingkungan yang dilakukan diawal dan diakhir
tidak mengalami perubahan yang signifikan.
4.2. Spesies Makrofauna di Daerah Vegetasi dan Non Vegetasi
Makrofauna yang hidup di daerah vegetasi dan non vegetasi memiliki sedikit perbedaan,
juga spesies yang hidup dimalam hari (nocturnal) dan yang hidup pada siang hari (diurnal) juga
akan berbeda baik dalam jumlah maupun jenis spesies. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
spesies dari daerah vegetasi dan non vegetasi sebagai berikut:
Tabel 2. Spesies di daerah vegetasi dan non vegetasi
Vegetasi Non
vegetasi
Spesie Diurn Diurna
Noctural
s Nama Spesies al Noctural l
Semut hitam
27 9 3 9
1 besar
Semut merah
2 2
2 besar
3 Nyamuk 3 4 1
4 Drosophila 2 1 3
5 Insecta sp. 2 1 3
Semut hitam
103 25 12 4
6 kecil
7 Ngengat 1 2 4
8 Spesies 8 2
9 spesies 9 1
10 Lalat 1 1
11 Laba-laba besar 1
12 Laba-laba kecil 4 1
13 Spesies 13 1
14 Kumbang 1 1
15 Spesies 15 3
Semut merah
19 2
16 kecil
17 Spesies 17 1
18 Spesies 18 1
19 Spesies 19 1
20 Spesies 20 3
21 Lalat besar 1
22 Spesies 22 1
Jumlah 144 53 51 31
Berdasarkan Tabel 2. spesies yang didapatkan selama pengamatan 3 hari pada daerah
vegetasi diurnal didapatkan sebanyak 10 spesies dan jumlah individu total sebanyak 144 ekor.
Individu yang paling banyak didapatkan adalah semut hitam kecil yaitu 103 ekor pada daerah
vegetasi diurnal ini dikarenakan serangga kecil seperti semut lebih aktif keluar pada siang hari.
Pada daerah vegetasi noctural spesies makrofauna tanah yang didapatkan sebanyak 7 spesies
dengan jumlah individu total 53 ekor. Individu yang paling banyak didapatkan adalah semut
hitam kecil yaitu 25 ekor dan individu yang sedikit ditemukan yaitu drosophila, insecta sp., dan
lalat yaitu 1 ekor.
Pada daerah non vegetasi diurnal spesies makrofauna yang banyak ditemukan adalah
semut. Dan pada vegetasi diurnal ini didapatkan lebih banyak spesies dibandingkan dengan
vegetasi. Didapatkan jumlah spesies sebanyak 12 pada non vegetasi diurnal. Hal ini disebabkan
banyak makrofauna yang lebih banyak hidup pada rerumputan terbuka. Terdapat tiga jenis semut
pada daerah non vegetasi (berumput) yaitu semut hitam besar dengan jumlah individu 3 ekor,
semut merah kecil dengan jumlah individu 19 ekor, semut hitam kecil dengan jumlah individu 12
ekor. Dominannya semut pada daerah non vegetasi (berumput) dikarenakan sifat semut
merupakan predator dan pemakan sisa-sisa tumbuhan. Wilayah non vegetasi atau berumput
merupakan tempat strategis bagi semut membuat sarang untuk koloninya.secara keseluruhan,
jumlah individu yang didapatkan lebih rendah pada daerah non vegetasi dibandingkan negetasi.
Dan lebih banyak hewan diurnal dari pada nocturnal seperti semut, isebabkan semut lebih
banyak keluar pada siang hari (diurnal) dibandingkan pada malam hari (noctural) karena
serangga merupakan hewan diurnal begitu juga mamalia, burung dan kadal termasuk hewan
diurnal.
4.3. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Vegetasi Diurnal
Pengamatan makrofauna tanah yang dilakukan pada daerah vegetasi diurnal didominasi
oleh berbagai jenis serangga. Kelimpahan relatif spesies dari daerah vegetasi diurnal diantaranya
adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi Diurnal
Indiv KR
No Taksa Pi ln Pi Pi x ln Pi
idu (%)
18,75 0,187
27
1. Semut hitam besar % 5 -1,673 -0,313
0,013
2
2. Semut merah besar 1,39% 9 -4,275 -0,059
0,020
3
3. Nyamuk 2,08% 8 -3,872 -0,08
0,013
2
4. Drosophila 1,39% 9 -4,275 -0,059
0,013
2
5. Insecta sp. 1,39% 9 -4,275 -0,059
71,53 0,715
103
6. Semut hitam kecil % 3 -0,335 -0,239
0,006
1
7. Ngengat 0,69% 9 -4,976 -0,034
0,013
2
8. Sp 8 1,39% 9 -4,275 -0,059
0,006
1
9. Sp 9 0,69% 9 -4,976 -0,034
0,006
1
10. Lalat 0,69% 9 -4,976 -0,034
Individu 144 -0,97
H’ = 0,97
E’ = H’/ln S =
0,42
1,810