You are on page 1of 22

RESIKO ANASTESI

Usaha menekan rasa nyeri dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman
dahulu termasuk pemberian alkohol dan opium secara oral. Tahun 1846, William Morton, di
Boston, pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi.
Pada tahun yang sama, James Simpson, di Skotlandia, menggunakan kloroform yang 20 tahun
kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era
tahun 1790-an. Anastetik modern mulai dikenal tahun 1930-an , dengan pemberian barbiturate
thiopental secara intravena. Beberapa puluh tahun lalu kurare pun pernah diperkenalkan sebagai
anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956,
hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal sebagai obat anestesi
inhalasi dan menjadikannya standar pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang
berkembang sesudah itu.
Stadium “anestesi umum” meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran,
terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek
ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang
diberikan, dan keadaan secara klinis. Anastetik yang ideal akan bekerja secara cepat baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang minimal. Tidak satupun obat
anestesik dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa disertai efek samping, bila diberikan
secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestesi dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek
samping yang tidak diharapkan. Sejumlah obat anestesi protokol yang digunakan bergantung
pada jenis operasi yang akan dilaksanakan. Untuk operasi kecil, obat-obat conscious sedation
dapat digunakan, termasuk termasuk benzodiazepine bersama-sama dengan obat lokal anestesi.
Anestesi yang seimbang yang meliputi penggunaan kerja barbiturate, N2O, dan opium secara
intravena, telah dipakai secara luas. Pada operasi besar, prosedur anestesi selalu meliputi
pemberian medikasi preoperative seperti obat-obat penenang dan penghilang nyeri, penggunaan
thiopental atau obat-obat anestetik intravena lainnya, serta penggunaan anestetik inhalasi secara
sendiri-sendiri ataupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik intravena. Pada kebanyakan
kasus, penggunaan obat relaksasi otot juga dimasukkan dalam prosedur untuk anestesi umum
Definisi dan Jenis Obat Anestesi

Dilihat dari sifatnya, obat anestesi terbagi atas anestesi lokal, regional, dan umum.
a. Anestesi local

Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya hanya
menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya, menginjeksikan
obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan
yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di sekitar area injeksi
sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak.

b. Anestesi spinal

Anestesi jenis ini biasaanya dimanfaatkan pada kasus bedah yang pasiennya perlu dalam keadaan
sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tidak sadar.
Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa
nyeri ke otak, yaitu sumsum tulang belakang, sehingga obat anestesi mampu menghentikan
impuls di area saraf itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sumsum tulang belakang akan terhambat
dan tidak dapat diteruskan ke otak sebagai sensasi nyeri. Sifat anestesi atau efek mati rasa akan
lebih luas dan lama dibandingkan anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari
abdomen ke bawah.

c. Anestesi umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang bisanya dimanfaatkan utnuk tindakan operasi
besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaannya panjang. Caranya dengan
memasukkan obat-obat bius baik secara inhalasi maupun intravena beberapa menit sebelum
pasien di operasi. Obat-obatan ini akan bekerja menghambat hantaran aliran listrik ke otak,
sehingga sel otak tidak bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh
tertentu dan membuat pasien dalam kondisi tidak sadar (loss of consciousness). Cara kerjanya
selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga
merelaksasi otot. Maka selama penggunaan anestesi juga dibutuhkan alat bantu nafas, selain
deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan. (Damayanti, 2010)

Sedangkan berdasarkan cara pemberiannya, obat anastesi dibagi atas anestesi inhalasi dan
anestesi intravena.
a. Anestesi inhalasi
Nitrogen oksida yang stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik gas
yang sering dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya.
Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan metoksifluran merupakan zat cair yang mudah
menguap. Sevofluran merupakan zat anestetik terbaru tetapi belum diizinkan beredar di USA.
Anestetik inhalasi konvesional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah
dibatasi karena eter dan siklopropan mudak terbakar, sedangkan kloroform toksik terhadap hati.

b. Anestesi intravena

Beberapa obat anestesi diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk
kombinasi dengan anastetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi ataupun
sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernapasan buatan untuk
waktu yang lama. Termasuk disini adalah: 1) barbiturat (thiopental, metoheksital), 2)
benzodiazepine (midazolam, diazepam), 3) opioid analgesic dan neuroleptik, 4) obat-obat lain
(profopol, etomidat), dan 5) ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
(Katzung, 1998)

Tanda dan Stadium Anestesi


Sejak obat anestesi diperkenalkan, telah diusahakan mengkorelasikan efek dan tandanya untuk
mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda Guidel)
berasal terutama dari penelitian efek dietil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat
karena kelarutannya yang tinggi di dalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah
terlihat pada penggunaan anestesi inhalasi modern dan anestesi intravena yang bekerja cepat.
Karenanya, pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk kombinasi antara anestetik inhalasi
dengan anestesi intravena. Namun, tanda-tanda dietil eter masih menunjukkan dasar untuk
menilai efek anestetik untuk semua anestetik umum.

Banyak tanda-tanda anestesi ini menunjuk pada efek obat anestetik pernafasan, aktivitas reflex,
dan tonus otot. Secara tradisional, efek anestesi dapat dibagi ke dalam empat stadium
peningkatan dalamnya depresi susunan sraf pusat.
I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini pasien mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan kesadaran. Pada
tahap akhir stadium I baru didapatkan amnesia dan analgesi.

II. Stadium terangsang


Pada stadium ini penderita tampak delirium dan gelisah, tetapi kehilangan kesadaran. Volume
dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual dan muntah. Inkontinensia urin dan
defekasi sering terjadi. Karena itu harus membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai
dengan kembalinya pernafasan secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur dan berlanjut sampai berhentinya
pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium ini yang digambarkan dengan perubahan
pergerakan mata, reflex mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan
tanda peningkatan dalamnya anestesi.
IV. Stadium depresi medulla oblongata

Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk ke dalam stadium IV. Pada stadium ini akan
terjadi depresi berat pusat pernafasan di medulla oblongata dan pusat vasomotor. Tanpa bantuan
respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.

Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering tidak jelas.
Hal ini karena mulai obat anestesi modern relative lebbih cepat dibanding dietil eter dsamping
peralatan penunjang yang dapat mengontrol ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain
itu, adanya obat yang diberikan sebelum dan selama operasi juga berpengaruh terhadap tanda-
tanda anestesi. Atropine digunakan untuk mengurangi sekresi dan mendilatasi pupil; obat-
obatnya seperti tubokurarin dan suksisinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat
analgetik narkoti yang dapat menyebabkan depesan pada pernapasan. Tanda yang dapat
diandalakan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya reflek kelopak mata dan adanya
pernafasan yang dalam dan teratur. Dalamnya anestesi yang dicapai untuk masing-masing jenis
operasi yang dilakukan terutama dinilai dari perubahan terhadap respons pernafasan dan
kardiovaskular. (Katzung, 1998)

Efek Anestesi
Menggunakan obat bius sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu. Sebagaimana
penggunaan obat-obatan, obat anestesi juga memiliki risiko tersendiri. Pada bius lokal, efek
samping bisanya merupakan reaksi alergi. Namun pada anestesi regional dan umum, dr. Roys A.
Pangayoman, Sp.B., FinaCS menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
1. Cukup sering

Dengan angka kejadian 1:100 pasien, prosedur anestesi bisa menyebabkan risiko efek samping
berupa mual, muntah, batuk kering, mata kabur, nyeri kepala, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam
di area injeksi, dan hilang ingatan sementara.

2. Jarang
Pada angka kejadian 1:1.000 pasien, anestesi dapat menyebabkan infeksi dada, inkontinensia
urin, nyeri otot, cedera pada bibir, gigi, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi
buruk.

3. Sangat jarang

Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1:10.000 pasien diantaranya dapat
menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf, kelumpuhan, dan kematian.
Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang
menyebabkan kelumpuhan, atau pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar
risiko komplikasi penyakit jantung yang lebih serius. (Damayanti, 2010).

Kerusakan saraf dapat disebabkan anestesi lokal, regional, maupun umum. Pada kebanyakan
kasus, kerusakan bersifat sementara dan rasa ketidaknyamanan berkurang beberapa minggu
setelah pembiusan. Tetapi, beberapa persen pasien tidak menunjukkan gangguan persarafan.
Selama peemberian anestetik lokal atau umum, kerusakan dapat terjadi saat obat mengenai
jaringan saraf. Kerusakan juga dapat terjadi di spinal epidural pada penggunaan anestetik umum,
jika saat penyuntikan melukai sumsum tulang belakang (spinal cord). Kerusakan saraf juga dapat
terjadi selama pemberian anestetik umum, jika posisi pasien selama operasi berlangsung
menyebabkan terhalangnya atau berkurangnya aliran darah menuju otak. Selama ansetesi umum,
obat-obatan menyebabkan paralisis muskulus yang bekerja di banyak area tubuh. Pada beberapa
pasien juga terjadi paralisis otot kandung kemih, sehingga menyebabkan pasien tidak dapat
berkemih. Ketidakmampuan BAK ini dapat terjadi dalam 24 jam, tetapi selama waktu itu
kandung kemih akan terus terisi dan penuh, sehingga dibutuhkan kateter. (Heisler, 2011)
Meskipun komplikasi dari pemberian anestesi umum rendah, tetapi beberapa yang dapat terjadi
adalah serangan jantung, stroke, brain damage, dan kematian. Komplikasi tersebut bergantung
pada umur, jenis kelamin, berat badan, alergisitas, kesehetan secara umum, dan riwayat
pemakaian obat-obatan terlarang, alkohol, serta rokok. Resiko kematian dari anestetik umum
sulit dievaluasi karena banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari keadaan pasien, prosedur
operasi, sampai skill operator anestesi. Perbandingan terjadinya resiko tersebut berkisar 1:1.000
dan 1:100.000, dengan anak-anak dan pasien lebih dari 70 tahun lebih beresiko. (Uretsky dan
Hilton, 2011) Resiko pemberian anestetik pada lansia lebih berat dibandingkan pada dewasa
muda. Para manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam anestesi dan
pembedahan kaerna terdapat kemunduran sistem fisiologis dan farmakologis sejalan dengan
penambahan usia yang mulai jelas terlihat setalah 40 tahun. Setelah usia tersebut terjadi
penurunan kekuatan otot pernafasan dan komplaien dinding dada, kemampuan kardiovaskular,
kemampuan cadangan ginjal yang menyebabkan menurunnya toleransi terhadap kekurangan
cairan dan kelebihan beban zat terlarut, serta perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris, dan
otonom, juga berkurangnya perfusi darah ke otak menyebabkan manula lebih rentan dan lebih
besar berkemungkinan mengalami efek buruk anestesi.
Diasumsikan kesulitan untuk bernafas pascabedah dini lebih sering terjadi pada manula. Bila
memungkinkan, sebaiknya diberikan analgesik regional nonsistemik, sehingga petugas lebih
mudah dan cepat mengenal serangan angina atau perubahan serebral akut. Dosis obat obat
anestetik umum atau lokal pada lansia harus dikurangi dan diberikan sesuai kebutuhan, secara
titrasi dengan mengingat bahwa waktu sirkulasi memanjang dan kemungkinan terjadinya
interaksi dengan obat-obat yang sudah diminum oleh pasien praanastesi.(Hartono, dkk, 2011)

Efek Anestesi Lokal


Obat anstesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga untuk setiap jenis
obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat bersifat lokal atau
sistemik.
Komplikasi lokal:

a. terjadi di tempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis, dan gangrene


b. komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan antisepsis
c. iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang disuntikkan pada
daerah dengan arteri buntu.

Komplikasi sistemik dapat dilihat manifestasi klinis, yang umumnya berupa reaksi neurologis
dan kardivaskular. Pengaruh pada korteks srebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan pada pons dan batang otak berupa depresi. Pengaruh kardivaskular adalah berupa
penurunan tekanan darah dan depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung. (Mc.
Intyre dalam buku Complications of Regional Anesthesia oleh Finucane, 2007)
Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat dalam darah
meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem organ.
1. Sistem saraf pusat

Efek SSP yang kuat dapat diperoleh setelah menyedot bubuk kokain dan mengisap rokok
basanya. Kokain kini telah menjadi salah satu penyalahgunaaan yang paling tinggi digunakan.
Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euphoria seperti kokain. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa beberapa pecandu kokain tidak dapat membedakan antara pemberian
kokain intranasal dengan lodokain intranasal.
Efek SSP lainnya termasuk mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran,
dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi dapat timbul nistagmus dan menggigil. Akhirnya
kejang tonik klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk
semua anestesi lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya menimbulkan depresi jalur
penghambatan kortikal, sehingga komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul. Tingkat transisi
eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SSP, umumnya bila kadar anestesi lokal dalam
darah lebih tinggi lagi. Reaksi toksik pada anestesi lokal yang paling serius yaitu timbulnya
kejang karena kadar obat dalam darah berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah hanya dengan
memberikan anestesi lokal dalam dosis yang kecil sesuai dengan kebutuhan.

2. Sistem saraf perifer (neurotoksisitas)


Bila diberikan dalam dosis yang sngat berlebihan, semua anestesi lokal akan menjadi toksik
terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan timbulnya kasus deficit sensoris dan
motoris yang berlanjut setelah cedera anestesi spinal dengan kloroprokain bervolume besar.

3. Sistem kardiovaskular
Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung terhadap jantung dan
membrane otot polos, serta efek secara tidak langsung melalui saraf otonomanestesi lokal
menghambat saluran natrium jantung sehingga meningkatkan aktivitas pacu jantung,
eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi abnormal. Dengan pengecualian kokain, obat
anestesi lokal juga menekan kontraksi jantung, sehingga terjadi dilatasi arteriol, dimana kedua
efek ini dapat menyebabkan hipotensi. Walaupun kolaps vascular dan kematian biasanya timbul
setelah memberikan dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi pada pemberian
dosis kecil secara infiltrasi anestesi. Seperti telah disebutkan, kokain memiliki efek berbeda
terhadap kardiovaskular. Hambatan ambilan kembali norepinefrin menimbulkan vasokonstriksi
dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebabkan aritmiajantung. Efek vasokonstriksi kokain
dapat menimbulkan iskemia pada mukosa hdung, dan pada pemakai jangka panjang bahkan
dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan kerusakan septum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini
dimanfaatkan secara klinis untuk mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.

Bupivakain lebih kardiotoksik dibandingkan anestesi lokal lainnya. Beberapa kasus


menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena tidak saja menyebabkan kejang,
tetapi juga kolaps kardiovaskular, dimana tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak
akan berhasil.
4. Darah
Pemberian prilokain dosis berat selama anestesi regional akan menimbulkan penumpukan
metabolit o-toluidin, suatu zat oksidasi yang dapat mengubah haemoglobin menjadi
methemoglobin. Bila kadarnya cukup besar, maka pasien tampak sianosis dan darah berwarna
coklat. Kadar 3-5 mg/dL masih dapat ditolerir pada individu sehat, tetapi mungkin menimbulkan
dekompensasi pada pasien dengan penyakit jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera.

5. Reaksi alergi
Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p-aminobenzoat yang dapat
menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil orang. Amida tidak dimetabolisir menjadi p-
aminobenzoat, sehingga reaksi alergi pada amida ini jarang sekali terjadi. (Katzung, 1998)

Efek Anestesi Spinal


Penggunaan anestetik spinal juga menyebabkan beberapa komplikasi, yaitu yang bersifat akut,
hipotensi karena dilatasi pembuluh darah maksimal; bradikardi karena blok terlalu tinggi;
hipoventilasi yang perlu dilakukan pemberian O2; mual muntah karena hipotensi yang terlalu
tajam, serta total spinal akibat obat anestesi naik ke atas, dan komplikasi pasca tindakan, nyeri di
tempat suntuikan, nyeri punggung, nyeri kepala, serta retensi urin.

Komplikasi dini spinal anestesi dapat berupa:


1. Hipotensi
Hipotensi seringkali terjadi dengan derajat yang bervariasi dan bersifat individual. Ini dapat
menjadi lebih berat pada pasien dengan hipovolemik. Biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah
injeksi obat anestesi lokal. Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan masuknya obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid dan meluasnya blok simpatis.
Pada pasien dengan penggunaan anestesi spinal juga dapat terjadi kehilangan penglihatan pasca
operasi (POVL).
Hipovolemia dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler selama spinal anestesi
karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi perifer. · Merupakan kontraindikasi relatif spinal anestesi, tetapi
jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bisa
dikerjakan. · Pasien hamil sensitif terhadap blokade simpatis dan hipotensi, hal ini karena
obstruksi mekanis venous return, sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada posisi miring
lateral segera setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava. · Pasien tua dengan
hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi dibanding dengan pasien muda.
Obat lokal anestesi juga berpengaruh terhadap derajat hipotensi. · Tetrakain menyebabkan
hipotensi lebih berat dibanding bupivakain. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade simpatis
tetrakain lebih besar dibanding bupivakain.

2. Blokade spinal tinggi/total


Blokade spinal total jarang terjadi jika dosis obat yang digunakan sesuai dengan yang
disarankan. Gejala yang dialami pasien dapat berupa: · Sesak nafas dan sukar bernafas sebagai
gejala utama. Apabila blok semakin tinggi, penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai
hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung. · Sering disertai dengan
mual, muntah, precordial discomfort, dan gelisah.

3. Mual dan muntah


Hal ini terjadi karena hipotensi, disamping itu juga adanya aktifitas parasimpatik yang
menyebabkan peningkatan peristaltik usus, juga karena tarikan nervus dan pleksus, khususnya N.
Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pilorus dan sphincter duktus
biliverus, faktor psikologis, dan terakhir hipoksia.

4. Penurunan panas tubuh

Hipotermia terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh
metabolisme berkurang. Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi
terjadinya hipotermi.

Sedangkan komplikasi lanjut dari spinal anestesi adalah sebagai berikut:


1. Post Dural Puncture Headache (PDPH)
PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan diplopia, mual dan
penurunan tekanan darah. Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi.
PDPH terjadi karena adanya kebocoran cairan cerebrospinalis (LCS) akibat tindakan penusukan
jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS, akibatnya terjadi ketidakseimbangan
pada volume LCS. Kondisi ini akan menyebabkan tarian pada struktur intrakranial yang sangat
peka terhadap nyeri yaitu pembuluh darah, saraf, falk serebri dan meninges, dimana nyeri akan
timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan
berkurang bila berbaring.

2. Nyeri Punggung (Backache)

Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot dan ligamentum dapat menyebabkan nyeri punggung,
tetapi jarang terjadi pada spinal anestesi. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai
anestesi umum, biasanya bersifat ringan, sehingga analgetik post operatif biasanya bisa menutup
nyeri ini. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Relaksasi otot yang berlebih pada
posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi.
Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab.

3. Cauda Equina Sindrom


Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan toksisitas. Tanda-
tandanya meliputi disfungsi otonomis, perubahan pengosongan kandung kemih dan usus besar,
pengeluaran keringat yang abnormal, kontrol temperatur yang tidak normal, dan kelemahan
motorik. Ketika tidak terjadi injeksi yang traumatik intraneural, diasumsikan bahwa obat yang
diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bisa menjadi kontaminan seperti detergen
atau antiseptik atau bahan pengawet yang berlebihan.

4. Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarachnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis
dilakukan dengan baik. Meningitis aseptik mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi,
tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni lokal yang
memadai.

5. Retensi Urine
Blokade sakral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin di vesika urinaria jadi
lebih banyak. Blokade simpatik eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfinkter yang
menghasilkan retensi urine. Spinal anestesi menurunkan 5-10% filtrasi glomerulus, perubahan ini
sangat tampak pada pasien hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonomik kecil dan paralisisnya lebih lama
daripada serabut-serabut yang lebih besar.

6. Spinal hematoma
Meski angka kejadiannya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinisi karena
sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologis yang membahayakan. Hal ini terjadi
akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medula spinalis yang dapat terjadi secara
spontan atau ada hubungannya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di
kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medula spinalis yang menyebabkan iskemik
neurologis dan paraplegi. Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya
meliputi: mati rasa, kelemahan otot, kelainan BAB, kelainan sfinkter kandung kemih dan jarang
terjadi adalah sakit pinggang yang berat. Faktor resiko abnormalitas medula spinalis berupa
kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesiculer, penusukan
yang berulang-ulang. (Fettes dan Wildsmith, 2002)

Efek Anestesi Umum


a. Efek anestetik inhalasi
1. Efek terhadap kardivaskular
alotan, desfluran, enfluran, dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata yang berbanding
langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan enfluran, penurunan tekanan arteri
tampaknya disebabkan penurunan curah jantung karena sedikitnya perubahan dalam tahanan
vascular sistemik (misalnya peningkatan darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran
mempunyai efek depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular
sistemik; mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung. Anestetik inhalasi
mengubah denyut jantung dengan mengubah depolarisasi nodus sinus secara langsung atau
dengan mengubah keseimbangan saraf ototnom. Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang
mungkin akibat depresi langsung atas kecepatan atrium. Sebaliknya, metoksifluran dan
ensifluran meningkatkan denyut jantung. Semua perubahan dalam denyut jantung tersebut telah
ditentukan pada orang normal yang menjalani operasi. Pada penderita prabedah atau trauma
operasi selama operasi berlangsung sering mengubah respon jantung terhadap anestetik inhalasi.
Semua obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium kanan yang bergantung
pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi miokardium. Anestetik inhalasi
mengurangi konsumsi oksigen jantung, terutama dengan menurunkan variable yang menegontrol
kebutuhan oksigen, seperti tekanan darah arteri dan kekuatan kontraktilitas. Banyak faktor yang
mempengaruhi efek kardiovaskular pada pemberian anestetik inhalasi. Perangsangan selama
operasi, hiperkapnia, dan lamanya operasi berlangsung akan menurunkan efek depresi obat
anestetik inhalasi. Hiperkapnia akan membebaskan katekolamin yang melemahkan penurunan
tekanan darah. Tekanan darah menurun lebih sedikit 5 jam pemberian anestesi dibandingkan
setelah pemberian 1 jam. Halotan dapat mensensitasi otot jantung terhadap katekolamin dan
dapat terjadi aritmia ventrikel pada penderita dengan penyakit jantung yang diberikan obat
simpatomimetik yang bekerja langsung atau tidak langsung yang tinggi dalam darah. Obat
inhalasi modern lainnya sudah jarang menimbulkan aritmia. (Katzung, 1998)

Salah satu studi klinis dilakukan oleh Sedic F., dkk dalam The FASEB Journal tahun 2007 dan
dengan hasilnya menunjukkan bahwa pemberian desflurane dan sevoflurane sebelumnya dapat
mengurangi kematian sel masing-masing sebesar 34% dan 15%. Dalam penelitian tersebut juga
dibandingkan efek sevoflurane dan desflurane pada status redoks mitokondria dengan
menganalisis mitochondrial flavoproteins fluorescente (MFF). Hasilnya menunjukkan bahwa
terapi dengan masing-masing anestetik menyebabkan peningkatan MFF. Derajat oksidasi
flavoprotein meningkat lebih besar dengan desflurane dibanding sevoflurane (68% vs 41%).
Kesimpulan dari hasil studi tersebut adalah bahwa desflurane menawarkan derajat proteksi
jatung yang lebih besar dibanding sevoflurane, dan mekanismenya mungkin melibatkan interaksi
anestetik dengan status oksidatif mitokondria. (EKM, 2011)
Pemberian sevofluran tidak berhubungan dengan takikardi atau vasodilatasi koroner pada
konsentrasi anestetik, berlawanan dengan isofluran. Berbeda dengan halotan dan enfluran,
sevofluran tidak berhubungan dengan sensitasi miokardium terhadap adrenalin. Sevofluran
mendepresi kontraktilitas jantung secara ringan. Sistemik vascular resisten dan tekanan darah
arterial menurun sangat sedikit dibandingkan isofluran dan desfluran. (Tandjung, 2008)

2. Efek terhadap sistem pernafasan


Dengan pengecualian terhadap nitrogen oksida, semua anestetik inhalasi akan menurunkan
volumetidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Akan tetapi, peningkatan frekuensi
pernafasan tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan volume, yang menghasilkan penuruna
pernafasan per menit. Semua obat anestesi inhalasi akan menurunkan pernafasan, seperti yang
dapat diukur dengan berbagai variasi kadar CO2. Derajat depresi ventilasi antar obat anestetik
dimana enfluran dan isofluran merupakan depresan terkuat. Semua obat inhalasi anestesi
meningkatkan kadar PaCO2. Anestetik inhalasi meningkatkan ambang apnoe (kadar PaCO2
turun dimana apnoe terjadi melalui tidak adanya rangsangan pernapasan yang digerakkan oleh
CO2) dan menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia. Efek terakhir yang sangat penting
karena konsentrasi pada subanestetik menekan peningkatan kompensasi normal dalam ventilasi
paru yang terjadi selama hipoksia. Semua maslah depresi pernafasan oleh obat anestesi dapat
diatasi dengan ventilator mekanik selama operasi berlangsung. Lebih jauh, depresan ventilator
memberi efek terahadap anestetik inhalasi yang diperkecil dengan rangsangan operasi dan
peningkatan lamanya anestesi. Obat anestetik inhalasi juga menekan fungsi mukosiliar saluran
pernafasan. Jadi anestesi yang berlangsung lama dapat menyebabkan penimbunan mucus dan
dapat menyebabkan atelektasis serta infeksi saluran pernafasan. Di lain pihak, obat anestetik
inhalasi cenderung bersifat bronkodilator. Efek ini sudah banyak digunakan pada pasien dengan
status asamatikus. Iritasi pernafasan baik karena batuk atau pengaruh pernafasan lainnya jarang
menjadi masalah pada pemberian anestetik inhalasi. Namun, hal ini relative umum dengan
desfluran dan induksi mungkin lebih sulit untuk mengerjaan dengan obat tersebut selain
koefisien partisi darah: udara yang rendah. Ketajaman enfluran dapat memperoleh ketahanan
nafas yang dapat membatasi kecepatan induksi. (Katzung, 1998)

Penggunaan sevofluran dengan kelarutan dalam darah yang rendah, bau yang tidak menyengat,
tidak mengiritasi saluran pernafasan, dan kardivaskular yang stabil menyebabkan induksi
inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus. Umumnya, induksi inhalasi berjalan dengan baik.
Penambahan N2O saat induksi secara nyata mengurangi kejadian eksitasi. Waktu induksi akan
menjadi lbih cepat bila sevofluran diberikan bersama N2O 66%, dimana waktu induksi hanya 45
detik pada infant dan anak yang lebih tua. (Tandjung, 2008)

3. Efek terhadap otak


Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otot. Namun kebanyakan meningkatkan
aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vaskuler serebrum yang tidak diharapkan dalam
klinik. Sebagai contoh, pada penderita dengan tekanan intracranial yang meninggi karena tumor
otak atau trauma kapitis, pemberian obat anestetik inhalasi akan meningkatkan aliran darah otak,
yang kemudian akan meningkatkan volume darah otak dan lebih jauh akan meningkatkan
tekanan intracranial. Di antara obat anestetik inhalasi, nitrogen oksida paling sedikit
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, walaupun jika nitrogen oksdia 60% ditambahkan
bersama dengan halotan, maka aliran darah otak akan selalu meningkat lebih banyak dibanding
pengguanan halotan saja. Pada dosis rendah, semua preparat halogen mempunyai efek yang sama
dalam meningkatkan aliran darah otak. Pada dosis tinggi, enfluran dan isofluran sedikit
meningkatkan aliran darah otak dibandingkan pada halotan. Jika penderita dengan hiperventilasi
sebelum pemberian anestesi, peningkatan tekanan intracranial akibat pemberian anestesi dapat
dikurangi. Halotan, enfluran, dan isofluran mempunyai efek yang sama pada pemeriksaan EKG
sampai dosis 1-15 MAC pada dosis besar, efek iritasi otak enfluran dapat menyebabkan kedutan
otot yang ringan secara umum yang dapat diperkuat oleh hiperventilasi. Aktivitas kejang ini
tidak pernah terbukti mempunyai akibat klinis yang buruk dan merugikan. Efek ini tidak dapat
ditemukan pada pemakaian anestetik inhalasi yang lain. Walaupun nitrogen oksida mempunyai
efek inhalasi yang rendah, obat ini masih digunakan untuk kerja naelgesi dan amnesia, sifat yang
dinginkan jika digunakan bersama dengan anestesi umum dan anestesi gigi.

4. Efek terhadap ginjal


Dalam berbagai derajat, semua obat anestetik inhalasi menyebabkan penurunan filtrasi
glomerulus dan aliran plasma ginjal, serta meningkatkan fraksi filtrasi. Semua obat anestetik
cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal. Penurunan aliran darah ginjal selama anestesi
umum akan mengganggu autoregulasi aliran darah ginjal.
5. Efek terhadap hati
Semua obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan pada umumnya berkisar
antara 15 sampai 45 persen dari aliran darah sebelum anestesi dilakukan. Walaupun terjadi
perubahan sepintas pada fungsi hati selama perasi berlangsung, jarang terjadi perubahan fungsi
hati yang permanen.

6. Efek terhadap otot polos uterus


Nitrogen oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan tetapi isofluran,
enfluran, dan halotan relaksan otot uterus yang kuat. Efek farmakologi ini akan menguntungkan
bila diperlukan relaksasi otot uterus yang kuat untuk memanipulasi janin intrauterine selama
persalinan. Sebaliknya, selama dilatasi dan kuretase pada abortus teurapetik, obat anestetik
tersebut mungkin dapat meningkatkan pedarahan.

Selain itu, pemberian anestetik inhalasi juga dapat menyebabkan toksisitas.


1. Hepatotoksisitas (halotan)

Biasanya hepatitits pascabedah selalu dikaitkan dengan faktor lain seperti transfuse darah, syok
hipovolemik, atau stress bedah lainnya dibandingkan toksisitas obat anestetik. Akan tetapi, obat
halocarbon dapat menyebabkan kerusakan hati, sedangkan koroform telah dikenal sebagaai
anestetik hepatotoksik selama dasawarsa abad ini. Halotan telah diperkenalakan sejak tahun 1956
dan sampai tahun 1963 telah banyak dilaporkan kasus ikterik pascabedah dan nekrosis hati yang
berhubungan dengan pemakaian halotan. Walaupun begitu, berbagai penelitian retrospektif
tentang pemakaian halotan yang dibandingkan dengan anestetik lainnya tidak menunjukkan
peningkatan insidens kerusakan hati pascabedah dengan halotan. Insiden nekrosis pasif yang
berhubungan dengan halotan sebesar 7 dari 250.000 pemberian halotan atau sekitar 1 dalam
35.000 (bukan dalam 10.000 sperti yang pernah dilaporkan. Karena halotan merupakan salah
satu obat anestetik yang masih bermanfaat dan belum pasti sebagai perusak hati, pemakaiannya
belum perlu dibatasi. Lain halnya dengan fluroksen dan kloroform yang dapat menyebabkan
infiltrasi lemak, nekrosis sentrolobular, dan meningkatkan enzim aminotransferase, halotan pada
hewan percobaan yang terpapar hanya sedikit menimbulkan hepatotoksik. Mekanisme dasar
hepatotoksik halotan pada hewan percobaan masih banyak yang belum jelas, walaupun diduga
hal ini bergantung metabolit reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan sel hati secara langsung
ataupun melewati respon imun.

Belakangan ini telah dilaporkan beberapa penderita dengan kerusakan membrane sel hati yang
membuat sel-sel menjadi lebih rentan pada luka yang diinduksi halotan. Individu ini merupakan
resiko tinggi untuk nekrosis hati yang diinduksi halotan. Karena itu, sebelum dilakukan operasi,
sebaiknya penderita dilakukan terlebih dahulu tes fungsi hati.

2. Nefrotoksisitas (metoksifluran) Tahun 1966 pertama kali dilaporkan adanya penderita poliuro
insufisiensi ginjal yang resisten terhadap vasopressin pada 13 dari 41 penderita yang mendapat
anestetik metoksifluran untuk operasi abdomen. Akhirnya diketahui penyebabnya adalah fluoride
inorganic yang merupakan produk akhir biotransformasi metoksifluran.
3. Hipertermia great Walaupun jarang ditemukan, kemungkinan pada penderita yang rentan
secara genetic yang terpapat anestetik inhalasi dapat terjadi sindrom yang bersifat letal secara
potensial, yang meliputi takikardi dan hipertensi dengan asidosis yang progresif, hiperkalemia,
kejang otot, dan hipertermia. Mula kerja ini terlihat jika suksinilkolin dipakai untuk merelaksasi
otot. Pengobatan dengan dantrolen intravena dengan ukuran yang tepat untuk menurunkan suhu
tubuh serta mengembalikan keseimbanagn elektrolit dan asam basa.

4. Toksisitas kronik

a. Mutagenesitas

Dalam keadaan normal banyak anestetik modern dan anestetik inhalasi konvensional tidak
bersifat mutagen dan mungkin tidak bersifat karsinogenik. Di lain pihak, anestetik konvensional
yang mengandung gugus vinil (flureksin dan divenil eter) mungkin bersifat mutagen. Preparat ini
sudah jarang dan tidak dipakai lagi.

b. Karsinogenisitas
Beberapa penyelidikan epidemiologic telah menggambarkan peningkatan angka kanker pada
petugas kamar operasi yang mungkin terpapar obat anestetik dalam konsentrasi rendah. Tetapi,
belum ada penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan anatara obat anestetik dengan
terjadinya kanker. Kebanyakan kamar operasi tercemar obat anestetik dalam konsentrasi yang
amat rendah yang dilepaskan mesin anestesi ke udara luar melalui kipas angin.

c. Hematotoksisitas

Kontak yang lama dengan nitrogen oksida akan menyebabkan anemia megaloblastik karena
aktivitas penurunan enzim metionin sintetase. Hal ini penting diketahui petugas kamar operasi
yang bekerja pada kamar operasi yang kurang ventilasi.

b. Efek obat anestetik intravena

1. Barbiturat kerja ultra singkat

Walaupun terdapat berbagai jenis barbiturate, thiopental merupakan obat terlazim yang
dipergunakan untuk anestetik induksi dan banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan
anestetik inhalasi. Setelah pemberian secara intravena, thiopental akan melewati sawar darah
otak secara cepat, dan jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan menyebabkan hypnosis
dalam waktu sirkulasi. Efek yang sama akan terlihat pada pemberian barbiturate dengan masa
kerja ultra singkat lainnya seperti tiamilal dan metoheksital. Pada semua barbiturate tersebut,
keseimbangan plasma otak cepat terjadi (kira-kira 1 menit) karena kelarutan lemak yang tinggi.
Thiopental cepat berdifusi keluar otak dan jaringan lain yang sangat vascular serta akan
didistribusikan ke dalam otot, lemak, dan seluruh jaringan tubuh. Hal ini karena cepat
dikelauarkan dari jaringan otak sehingga pemberian dosis tunggal thiopental mempunyai masa
kerja yang ultra singkat. Pada pemberian dosis tinggi, thiopental akan menyebabkan penurunan
tekanan arteri, curah balik, dan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan depresi miokard dan
meningkatkan kapasitas vena, serta sedikit perubahan pada tahanan arteri perifer. Thiopental,
seperti barbiturate lainnya mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan sensitivitasnya
terhadap karbon dioksida. Metabolism otak dan penggunaan oksigen akan menurun dalam
proporsi terhadap tingkat depresi otak. Aliran darah otak juga akan menurun, tetapi tidak
mengurangi konsumsi oksigen otak. Hal ini merupakan pertimbangan mengapa thiopental lebih
banyak digunakan pada penderita dengan peradangan otak dibandingkan anestetik inhalasi
selamam tekanan intracranial dan volume darah otak tidak meningkat.

2. Benzodiazepin

Anggota dari klompok ini seperti diazepam, lorazepam, dan midazolam.diazepam dan lorazepam
tidak larut dalam air yang harus diencerkan dengan vehikulum yang tidak encer, sehingga
pemberian secara intravena dapat menyebabkan iritasi lokal. Formulasi midazolam mudah larut
dalam, sehingga tidak mengiritasi, namun dapat melewati sawar otak dengan mudah.
Dibandingkan barbiturate, benzodiazepine bekerja lebih lambat dan memperlihatkan efek
plateau. Penggunaan obat ini dapat memperpanjang masa penyembuhan pascabedah dan
menyebabkan amnesia anterograd dengan insidensi tinggi.

3. Anestesi anelgetik opioid

Dosis besar opioid telah digunakan untuk anestesi umum, terutama operasi penderita jantung
atau operasi besar lainnya ketika cadangan sirkulasi dalam keadaan minimal. Opioid intravena
dapat meningkatkan rigiditas dinding dada, yang dapat melemahkan ventilasi, dan depresi
pernafasan pascabedah dapat terjadi, membutuhkan bantuan ventilasi dan pemberian opioid
antagonis, misalnya nalokson. Efek depresi terhadap pernafasan dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis opioid dan secara bersama diberikan barbiturat kerja pendek atau
benzodiazepine, yang biasanya bersama nitrogen oksida untuk keseimbangan anestesi.

4. Ketamin

Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif, yang ditandai dengan kataton, amnesia, dan analgesi.
Mekanisme kerjanya adalah dengan cara menghambat efek membrane eksitator neurotransmitter
asam glutamate pada subtype resptor NMDA. Walaupun obat ini dapat digunakan sebagai
anestetik, ketamin dapat menyebabkan diorientasi , ilusi sensoris dan persepsi, serta mimpi
gembira yang mengikuti anesthesia, efek tersebut dikenal dengan sebutan “emergence
phenomena”. Pemberian diazepam sebelum penggunaan ketamin dapat mengurangi efek ini. Di
samping sebagai anelsgetik yang kuat, ketamin merupakan satu- satunya anestetik intravena yang
merangsang sistem kardiovaskular. Denyut jantung, tekana darah, dan curah jantung selalu
meningkat secara bermakna. Puncaknya 2-4 menit dan menurun perlahan sampai normal da 10-
20 menit kemudian. Ketamin merangsang sistem kardiovaskular dan mungkin menghambat
ambilan norepinefrin pada terminal saraf simpatis. Peningkatan plasma epinefrin dan
norepinefrin terjadi 2 menit pertama dan kembali dalam batas control 15 menit kemudian.
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen, dan tekanan intracranial. Seperti
anestetik inhalasi lainnya, ketamin sangat berbahaya diberikan pada penderita dengan tekanan
intracranial yang meninggi. Pada kebanyakan kasus, dapat terjadi sedikit penurunan frekuensi
pernafasan selama 2-3 menit. Tonus otot saluran pernafasan bagian atas tidak terganggu dan
reflex masih tetap aktif. Ketamin dapat menyebabkan sedikit perubahan pada sistem organ.
Karena tingginya insiden fenomena psikis pasca operasi setelah pemakaian ketamin, maka di US
sudah tidak dipakai lagi pada operasi umum. Ketamin juga dipertimbangkan untuk digunakan
pada penderita geriatric resiko kecil dan pasien syok karena bersifat kardiostimulator. Anestetik
ini juga dipergunakan utnuk penderita yang berobat jalan yang memerlukan pembiusan atau pada
anak yang menderita luka bakar untuk menghilangkan rasa sakit saat mengganti pembalut luka.
(Katzung, 1998)

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Ed. VI. Jakarta: Penerbit EGC.

Finucane, B. T. 2007. Complications of Regional Anesthesia. USA: Springer Science and


Business Media, LLC.

Damayanti, Laili. 2010. Seputar Obat Anestesi: Lain Jenis, Lain Kegunaannya. Diunduh dari
www.hypnosis45.com/download/Seputar%20Obat%20Bius.pdf pada tanggal 23 Mei 2011.

Hilton, Lisette dan Sam Uretsky. 2011. Seputar Obat Bius: Bag. 2. Diunduh dari
www.ikatanapotekerindonesia.net/.../1464-seputar-obat-bius-bagian-2.html pada tanggal 28 Mei
2011.
Heisler, Jennifer. 2011. Understanding the Risks of Anesthesia. Diunduh dari
surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/AnesthesiaRisks.htm pada tanggal 23 Mei 2011.

Fettes, P. D., Wildsmith, J. A. W. Someone Else’s Nervous System, Br J Anaesth 2002; 88:
760–3, Complications of Regional Anesthesia. Edinburgh: Churchill Livingstone.

Hartono, R., Virginia, D., dan Arditayasa, I. Pertimbangan Anastasia untuk Usia Lanjut, dinduh
dari http://yosefw.wordpress.com/2010/03/29/anestesi-pada-lansia-gimana-ya.

EKM. 2011. Desfluran Mempunyai Potensi Kardioprotektif. Diunduh dari


http://www.kalbe.co.id/doctor-news/21066/desflurane-mempunyai-potensi-kardioprotektif.html.

Tandjung, Q. F. 2008. Perbandingan Sevofluran 8% + N2O 50% dengan Propofol 2 mg/kg BB


IV Sebagai Obat Induksi Anestesi dalam Hal Kecepatan dan Perubahan Hemodinamik: Tesis.
Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6198/1/08E00384.pdf

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win

You might also like