You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak ditemui kasus pelecehan seksual yang sering dialami anak–
anak dan remaja. Menurut Elli N. Hasbianto (2002: 21) Pelecehan seksual adalah
perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara searah, sehingga menimbulkan
reaksi yang negatif pada orang yang menjadi sasaran. Kasus pelecehan seksual
sebagian besar dialami remaja perempuan. Pelakunya tidak mengenal usia dan
status. Bahkan orang tua yang seharusnya melindungi dan mengayomi kadang-kadang
sebagai pelakunya. Banyak hal yang menjadi latar belakang terjadinya pelecehan seksual
ini. Diantaranya adalah fakta kehidupan dalam masyarakat kita terdapat akar sejarah
yang panjang mengenai dominasi laki-laki atas perempuan dalam sebagian sektor yang
dibangun di atas dasar tatanan yang timpang.
Selama ini tatanan nilai dalam masyarakat telah menempatkan laki-laki sebagai
pihak superior dihadapan perempuan yang inferior. Berabad-abad lamanya tatanan ini
lamanya tatanan ini cukup mapan dan dianggap sebagai sesuatu yang alamiah bahkan
oleh kaum perempuan sendiri. Hal ini bisa dipahami karena pemapanan structural ini
dikemas sedemikian rupa. Sehingga para orang tua mempunyai harapan dan perlakuan
berbeda terhadap anak laki–laki dan perempuan dalam perkembangannya yang
melabelkan bahwa perempuan mempunyai sifat feminis, penyayang, lemah lembut,
mengurus rumah dan sensitif. Adapun laki–laki bersifat maskulin, kasar, jantan,
pemberani, dan mencari nafkah. Dari pelabelan tersebut menimbulkan diskriminasi antar
keduanya. (Husain Muhammad, 2001: 5)
Kebudayaan seperti di atas yang biasa dikenal sebagai budaya patriarkhi menurut
Husain Muhammad (2001:7) telah menempatkan kaum perempuan pada wilayah
marjinal, pada sisi yang lain juga melahirkan suatu pandangan bahwa kaum perempuan
merupakan sumber fitnah, sumber kekacauan dan kerusakan sosial serta sumber
kegalauan hati atau kebringasan nafsu laki-laki. Ini juga merupakan bentuk stereotype
terhadap perempuan yang mendapat pembenaran dari teks-teks keagamaan terutama fiqh.
Padahal secara ideal agama apapun tidak mungkin memberikan peluang bagi
berlangsungnya sistem yang diskriminatif pada semua aspek kehidupan.
Banyak peristiwa pelecehan seksual yang tidak teratasi dengan baik,
disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari banyak pihak. Bagi si korban yang telah
menjadi sasaran ketidakadilan ini, mereka hanya bisa diam dengan membiarkan
pelakunya bebas beraksi. Selain malu untuk melaporkan masalah ini kepada pihak
yang berwajib, juga disebabkan ketidaktahuan mereka bahwa perilaku tersebut
merupakan tindak pelecehan.
Adanya permasalahan pelecehan seksual yang dialami oleh remaja memberikan
perhatian khusus bagi para aktivis tidak terkecuali pengurus Pondok Pesantren
Amparan Djati. Usaha yang diberikan oleh Pesantren Amparan Djati dalam
pencegahan terjadinya pelecehan seksual para santri yang semuanya adalah remaja
memulai dengan membentuk konseling sebaya yang secara khusus melakukan diskusi
tentang kesehatan produksi sekaligus sebagai wadah yang mampu mengakomodir
aspirasi dari para santri untuk menangani masalahnya agar tidak sampai menjadi korban
pelecehan seksual.
Inilah yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi pondok pesantren
Amparan Djati sebagai lembaga yang mempunyai peran strategis dalam ikut
mencerdaskan bangsa, membentuk manusia yang berkualitas (insan kamil) dengan
internalisasi moral sebagai basis penyokong utamanya, pesantren hingga sekarang masih
dan tetap menampakkan relevansinya ditengah arus ideologi pendidikan globlal. Hal ini
tak lepas dari kecerdasan pesantren dalam merespon arus ideologi-ideologi kontemporer,
meski harus selalu mendapatkan kritik dan penilaian.
Pondok Pesantren Amparan Djati sangat menarik perhatian bagi peneliti karena
menggunakan konselor sebaya sebagai fasilitator bukan konselor yang lebih tua seperti
lembaga-lembaga yang lain. Ini sangat bertolak belakang dengan pengertian masyarakat
umum tentang anak remaja masih berwatak paternalistic, yaitu menganggap anak remaja
harus selalu diajari dan diawasi. Pandangan yang selama ini terejawantahkan di sekolah,
keluarga pondok pesantren dan mungkin dimanapun tempat, dimana segala macam
aturan dibuat agar anak remaja menjadi patuh baik secara fisik maupun kognitif.
Konseling teman sebaya dipandang penting karena berdasarkan pengamatan
peneliti sebagian besar remaja khususnya santri Pondok Pesantren Teknologi Terpadu
Amparan Djati lebih sering membicarakan masalah-masalah mereka dengan teman
sebaya dibandingkan dengan orang tua, pembimbing, atau ustadz/ustadzah di pondok.
Untuk masalah yang dianggap sangat seriuspun mereka bicarakan dengan teman
sebaya (sahabat). Kalaupun terdapat remaja yang akhirnya menceritakan masalah serius
yang mereka alami kepada orang tua, pembimbing atau guru, biasanya karena sudah
terpaksa (pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami
jalan buntu).
Konseling ini dipandang cukup efektif karena diberikan oleh teman
sebayanya sendiri. Pada remaja ada kecenderungan untuk mencari dukungan
emosional dan psikologis dari teman sebayanya (Kathryn, 2012: 13). Banyak yang
enggan mencari bantuan di luar kelompok sebayanya. Konsekuensinya, bisa berguna jika
mendidik remaja dalam hal cara-cara untuk saling membantu sesamanya. Oleh karena
itu, penguatan melalui konseling sebaya dipandang cukup bermakna untuk
dilakukan.
Skripsi ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti, dan menjadi kebutuhan
yang selayaknya mendapatkan apresiasi dari semua pihak mengingat kasus
pelecehan seksual terus menerus terjadi di tengah-tengah masyarakat, bahkan
seakan-akan tiada habisnya. Sehingga semua lembaga tidak terkecuali pesantren
serius mencegah kasus ini agar kasus pelecehan seksual terhadap remaja dapat
diantisipasi serta terselesaikan secara preventif dan kuratif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan
permasalahannya dalam proses konseling sebaya dalam mencegahpelecehan seksual,
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan konseling sebaya di Pondok Pesantren Amparan Djati?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan konseling sebaya untuk mencegah pelecehan
seksual terhadap remaja di Pondok Pesantren Amparan Djati?
3. Bagaimana dampak yang dirasakan santri Pondok Pesantren Teknologi Terpadu
Amparan Djati setelah adanya konseling sebaya untuk mencegah pelecehan seksual
terhadap remaja?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian yang ingin
dicapai dalam skrispi ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan konseling sebaya di Pondok Pesantren Amparan
Djati.
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan konseling sebaya dalam progam mencegah
pelecehan seksual terhadap remaja di Pondok Pesantren Amparan Djati.
3. Untuk mengetahui sejauh mana dampak yang dirasakan para santri untuk mencegah
pelecehan seksual terhadap remaja di Amparan Djati melalui konseling sebaya.
D. Kegunaan Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah keilmuan tentang Bimbingan
dan Konseling Islam terhadap pencegahan pelecehan seksual terhadap remaja.
2. Praktis
Dapat digunakan sebagai metode oleh pondok pesantren Amparan Djati serta pondok
pesantren yang lainnya tentang bagaimana pencegahan agar tidak terjadi pelecehan
seksual terhadap remaja.
3. Akademik
Sebagai sumbangan untuk penelitian selanjutnya dan pengembangan keilmuan
jurusan Bimbingan dan Konseling Islam untuk mencegah terjadinya pelecehan
seksual terhadap remaja.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang Konseling sebaya sangat banyak dilakukan dalam dunia
akademik ini karena dianggap sangat menarik dan berbeda-beda di daerah tertentu.
Berbagai pendekatan yang telah digunakan oleh para peneliti dalam masalah ini. Skripsi
yang hampir mirip dengan penelitian ini adalah
1. Skripsi yang ditulis oleh Reny Wisudawati Ning Arum (UIN Surabaya: 2015) yang
berjudul: “Peran Konseling Sebaya Dalam Penyesuaian Diri Remaja Akhir (Studi
Kasus Santriwati Baru Di Yayasan Pondok Pesantren Putri An-Nuriyah Wonocolo
Surabaya Tahun 2014)”.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
konseling sebaya di Yayasan Pondok Pesantren Putri An-Nuriyah Wonocolo
Surabaya, untuk mengetahui penyesuaian diri remaja akhir di Yayasan Pondok
Pesantren Putri An-Nuriyah Wonocolo Surabaya, dan untuk mengetahui peran
konseling sebaya dalam penyesuaian diri remaja akhir di Yayasan Pondok Pesantren
Putri An-Nuriyah Wonocolo Surabaya.
Hasil dari skripsi ini yaitu bahwa di dalam pondok pesantren putri An-Nuriyah
Wonocolo Surabaya seoarang remaja akhir memiliki masalah dalam penyesuaian diri
dengan teman, lingkungan, hingga aturan yang ada dalam pondok. Penulis meneliti
santri di kamar PBA angkatan 2014 dengan melakukan pengamatan secara
langsung mengenai konseling sebaya dalam penyesuaian diri para santri. Setelah
melakukan konseling sebaya untuk membantu santri remaja akhir dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang ada di dalam pondok pesantren.
Secara tidak langsung proses yang dilakukan dalam konseling sebaya mampu
membuat santri memahami dan mengenal dirinya dan lingkungannya, sehingga
apa yang dirasakan mereka sangat berpengaruh terhadap perilaku sehari-hari
mereka.
2. Tesis yang ditulis Shofie Puji Astiti (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2015) yang
berjudul “Efektivitas konseling sebaya (peer counseling) dalam Menuntaskan
Masalah Siswa (Studi di MAN II Yogyakarta)”. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui efektivitas konseling sebaya di MAN II Yogkarta dalam menangani
masalah siswa. Hasil dari analisis dan pengamatan mengenai konseling sebaya (peer
counseling) dalam menuntaskan masalah siswa sangat efektiv. Faktor pendukung
efektivitas konseling sebaya yaitu adanya kesadaran dari para siswa untuk
berkonsultasi mengenai masalah yang dialami kepada konselor sebaya, danya
kerjasama yang baik antara konseling sebaya dengan pihak-pihak terkait, peraturan
sekolah yang tegas dapat meminimalisir pelanggaran siswa dan didukung dengan
kerjasama yang baik antara sekolah dengan BKKBN, BNN, dan BKBI untuk
mengoptimalkan pelaksanaan konseling sebaya. Sedangkan faktor penghambat
konseling sebaya yaitu kurangnya partisipasi dari pihak sekolah serta pihak-pihak
yang terkait, terbatasnya ketrampilan konseling sebaya, serta kurangnya sarana dan
prasarana yang ada di sekolah.
3. Penelitian yang ditulis oleh Kartika Nur fatihah dan Farida Harahap (FIP UNY: 2008)
yang berjudul “Konseling Sebaya untuk Meningkatkan Efikasi Diri remaja Terhadap
Perilaku Berisiko”. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efektivitas
konseling sebaya dalam meningkatkan efikasi diri remaja terhadap perilaku berisiko.
Hasil dari penelitian ini yaitu secara kuantitatif menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan efikasi diri siswa yang diberi konseling sebaya sebesar 26,08 %. Pada
konselor sebaya peningkatan skor efikasi diri sebesar 14,3 %. Secara kualitatif
hasil penelitian menunjukkan peningkatan efikasi diri subjek penelitian ditinjau dari
kognitif, motivasi, afektif, dan kecenderungan perilakunya.
4. Suwarjo (UPI: 2008) makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan Ilmu
Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Tanggal 29
Februari yang berjudul Konseling teman sebaya untuk mengembangkan relisiensi
remaja. Makalah ini memaparkan bahwa peer counseling sebagai proses pemberian
bantuan interpersonal oleh tenaga non profesional kepada individu (konseli) yang
memiliki masalah, dapat menjadi salah satu pilihan penting yang perlu dikaji dan
diperhitungkan oleh kalangan konselor professional. program training atau
pelatihan bagi calon peer counselor menuntut adanya satu kondisi tertentu
menyangkut aspek personal yang terlibat, bentuk pelatihan, kualitas individu,
kehadiran dari supervisor, pentingnya evaluasi dan aspek etik yang perlu diajarkan.
resiliensi tidak cukup hanya resiliensi semata-mata tidak cukup diajarkan, tetapi lebih
dipelajari melalui interaksi sosial yang positif. Oleh karena itu semua komponen yang
berada di lingkungan remaja hendaknya memberikan pelayanan secara hangat, respek,
penuh perhatian dan penerimaan, serta empatik. Dengan cara demikian remaja akan
memodeling tingkah laku positif orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang pada
akhirnya akan meningkatkan resiliensi mereka.
Interaksi personal yang positif di antara remaja (antar teman sebaya) ditambah dengan
dukungan positif dari keluarga dan sekolah, serta lingkungan sosialnya diharapkan
dapat meningkatkan resiliensi remaja. Resiliensi individu tergambarkan dari tujuh
faktor resiliensi yaitu: pengendalian emosi, pengendalian dorongan, optimisme,
kemampuan melakukan analisis penyebab, empati, efikasi diri, serta kemampuan
membuka diri. Kemampuan resiliensi adalah kemampuan yang lebih bersifat
dipelajari, bukan sekedar diturunkan. Melalui konseling teman sebaya, resiliensi
remaja dapat ditingkatkan.

Berbeda dengan penelitian diatas, skripsi ini menjelaskan tentang peran konseling
sebaya dalam pencegahan pelecehan remaja.Dan konseling sebaya dalam penelitian ini
bersifat preventif jadi program-progam yang dilakukan konseling sebaya dalam
mencegah pelecehan seksual akan dibahas dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori
1) Konseling sebaya
Pada dasarnya menurut Kathryn (2012: 62) konseling teman sebaya merupakan
suatu cara bagi para siswa (remaja) belajar bagaimana memperhatikan dan membantu
anak-anak lain, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu,
Suwarjo (FIP UNY: 2008) dalam makalahnya mengemukakan bahwa Tindall dan
Gray mendefinisikan konseling teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku
membantu secara interpersonal yang dilakukan oleh individu non profesional yang
berusaha membantu orang lain. Menurut Tindall & Gray, konseling teman sebaya
mencakup hubungan membantu yang dilakukan secara individual (one-to-one
helping relationship), kepemimpinan kelompok, kepemimpinan diskusi, pemberian
pertimbangan, tutorial, dan semua aktivitas interpersonal manusia untuk
membantu atau menolong. Definisi lain menekankan konseling teman sebaya
sebagai suatu metode, seperti yang dikemukakan Suwarjo (FIP: 2008) dalam
makalahnya menurut Kan bahwa “Peer counseling is the use problem solving skills
and active listening, to support people who are our peers”. Meskipun
demikian, Kan mengakui bahwa keberadaan konseling teman sebaya merupakan
kombinasi dari dua aspek yaitu teknik dan pendekatan. Berbeda dengan Tindall
dan Gray, Kan membedakan antara konseling teman sebaya dengan dukungan
teman sebaya (peer support). Menurut Kan peer support lebih bersifat umum
(bantuan informal; saran umum dan nasehat diberikan oleh dan untuk teman
sebaya); sementara peer counseling merupakan suatu metode yang terstruktur.
2) Konseling preventif
Mufidah (2008: 372) mengemukakan bahwa menurut Winkel tipe konseling yang
digunakan untuk memudahkan pemberdayaan klien sesuai dengan kebutuhan, tipe-
tipe konseling tersebut adalah: Konseling krisis, Konseling fasilitatif, konseling
preventif, dan konseling dovelepmental. Mappiare mengemukakan (2010: 26-27)
konseling preventif berbeda dengan tiga tipe lainnya, yang dibahas di sini dalam hal
bahwa ia terutama bersifat pragmatis sebagaimana program yang diperuntukkan bagi
konseren khusus. Konseling demikian ini dapat meliputi, misalnya pendidikan
seksualitas di sekolah dasar dengan niat mencegah terjadinya pelecehan seksual
terhadap remaja khususnya di Pondok Pesantren Amparan Djati. Dalam konseling
preventif, konselor dapat menyajikan informasi kepada suatu kelompok atau
membantu individu-individu mengarah program-program relevan baginya. Kata lain,
aktivitas-aktivitas yang mungkin dilakukan konselor dalam kancah konseling
preventif ini adalah pemberian informasi, referal ke program-program relevan, dan
konseling individual berdasarkan isi dan proses program.
3) Pelecehan seksual
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pelecehan seksual, berikut ini definisi dari
beberapa tokoh:
1) Michael Rubenstein
Menurut Michael yang diutarakan Rohan Coller (2001: 3) Pelecehan seksual
adalah sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang
didasarkan pada seks yang menyinggung si penerima.
2) Menurut Elli N. Hasbianto (2002: 21)
Pelecehan seksual adalah perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara
searah, sehingga menimbulkan reaksi yang negatif pada orang yang menjadi
sasaran.
Dari definisi di atas, maka sangatlah jelas bahwa pelecehan seksual dilakukan
secara sepihak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan hal
tersebut menimbulkan ketidaksenangan korban atas perbuatan yang dilakukan
kepadanya.
4) Remaja
Menurut Widyastuti dkk, (2009: 10) remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari
bahasa latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang
dimaksus adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial
dan psikologis. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun.
Menurut Depkes RI yang dikemukakan oleh Widyastuti dkk, (2009: 10) adalah antara
10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN adalah dari 10 sampai 19
tahun.

You might also like