You are on page 1of 12

1

TEKNOLOGI PASCA PANEN HORTIKULTURA: PERMASALAHAN


DAN USAHA PERBAIKAN 1
Oleh:
Ir. I Made S. Utama, MS., Ph.D.*2

I. PENDAHULUAN
Kebanyakan pascapanen produk hortikultura segar sangat ringkih dan mengalami
penurunan mutu sangat cepat. Berbeda dengan bagian tanaman yang masih melekat
pada tanaman induknya yang mendapat suplay air dan nutrisi atau makanan secara
berlanjut, bagian tanaman yang telah dipanen atau dilepas dari tanaman induknya tidak
lagi mendapatkan suplai air dan makanan. Untuk aktifitas hidupnya setelah panen,
produk segar tersebut melulu menggunakan bahan yang ada pada dirinya sendiri untuk
bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang sering diluar dari kondisi untuk dapat
menjalankan fungsi metabolisme optimalnya.
Terdapat kisaran kondisi yang sempit padamana tanaman atau bagian tanaman dapat
menjalankan fungsi metabolismenya secara optimal. Bila tanaman ditempatkan pada
kondisi diluar dari kondisi optimalnya yang sempit, dia akan merupakan subjek dari
bentuk-bentuk stress (Kays, 1991). Walau sekarang ini merupakan bahan tulisan dari
beberapa buku, definisi yang tepat dari stress untuk bahan biologis masih
membingungkan. Umumnya, stress dilihat sebagai faktor lingkungan yang mampu
memicu atau merangsang suatu “strain potensial” atau tekanan potensial yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem kehidupan. Lebih spesifik, stress adalah faktor
eksternal pada keadaan tertentu cenderung mengganggu proses fisiologis normal dari
organisme.
Dari pandangan Ahli fisiologi pascapanen hortikultura, Stress adalah faktor eksternal
yang menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan atau merusak terhadap mutu jika
tanaman atau bagian tanaman dihadapkan terhadap stress pada lama waktu dan
intensitas mencukupi. Dengan demikian, seperti kondisi penyimpanan buah apel yang
direkomendasi mewakili suatu stress, namun dia juga mewakili kondisi optimum untuk
mempertahankan mutu produk bagi ahli fisiologi pascapanen.
Untuk menentukan teknologi yang dilibatkan dalam penanganan pascapanen produk
hortikultura segar maka pertimbangan karateristik fisiologis dan responnya terhadap
kondisi lingkungan merupakan pertimbangan utama disamping pertimbangan fisik,
patologis, social-ekonomis serta infrastruktur dan logistik pendukungnya (Utama, 2004).
Untuk mengembangkan atau menerapkan teknologi penanganan pascapanen yang
sudah dikembangkan sering menghadapi kendala-kendala terutama untuk negara-
negara sedang berkembang seperti halnya di Indonesia. Pada tulisan ini didiskusikan
beberapa kendala pengembangan dan penerapan teknologi pascapanen, dampak

1
Makalah dibawakan sebagai Nara Sumber dalam “Lokakarya Strategi Pengembangan Hortikultura di
Bali”. Kerjasama Pusat Pengkajian Buah-buahan Tropika –UNUD dengan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Propinsi Bali, Kampus Bukit Jimbaran, Bali 30-31 Juli 2004.
2
Penulis adalah Sekretaris dan Staf Ahli Pascapanen Hortikultura pada Pusat Pengkajian Buah-buahan
Tropika, Staf Dosen pada Fafultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, dan Ketua Dewan Pembina
Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI)
2

keterlambatan pengembangan teknologi pascapanen, usaha-usaha yang perlu


dilakukan dan yang dicoba serta sudah dilakukan.

II. PERTIMBANGAN DALAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PASCAPANEN

2.1. Karakteristik Fisiologis Alami Pascapanen Produk Horticultura Segar


karakteristik penting produk pascapanen buah dan sayuaran adalah bahan tersebut
masih hidup dan masih melanjutkan fungsi metabolisme. Akan tetapi metabolisme tidak
sama dengan tanaman induknya yang tumbuh dengan lingkungan aslinya, karena
produk yang telah dipanen mengalami berbagai bentuk stress seperti hilangnya suplai
nutrisi, kondisi yang berbeda dengan pertumbuhannya yang ideal dengan adanya
peningkatan suhu, kelembaban, proses panen sering menimbulkan pelukaan berarti,
pengemasan dan transportasi dapat menimbulkan kerusakan mekanis lebih lanjut,
orientasi gravitasi dari produk pascapanen umumnya sangat berbeda dengan kondisi
alamiahnya, hambatan ketersediaan CO2 dan O2, hambatan regim suhu dan
sebagainya. Sehingga secara keseluruhan bahan hidup sayuran pascapanen dapat
dikatakan mengalami berbagai perlakuan yang menyakitkan selama hidup pascapa-
nennya. Produk harus dipanen dan dipindahkan melalui beberapa sistem penanganan
dan transportasi ke tempat penggunaannya seperti pasar retail atau langsung ke
konsumen dengan menjaga sedapat mungkin status hidupnya dan dalam kondisi
kesegaran optimum. Jika stress terlalu berlebihan yang melebihi toleransi fisik dan
fisiologis, maka terjadi kematian.
Respirasi
Secara fisiologis bagian tanaman yang dipanen dan dimanfaatkan untuk konsumsi segar
adalah masih hidup, dicirikan dengan adanya aktivitas metabolisme yang dinamakan
respirasi (Salunkhe dan Desai, 1984). Respirasi berlangsung untuk memperoleh energi
untuk aktivitas hidupnya. Dalam proses respirasi ini, bahan tanaman terutama kompleks
karbohidrat dirombak menjadi bentuk karbohidrat yang paling sederhana (gula)
selanjutnya dioksidasi untuk menghasilkan energi. Hasil sampingan dari respirasi ini
adalah karbondioksida (CO2), uap air (H2O) dan panas. Semakin tinggi laju respirasi
maka semakin cepat pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada
kemunduran dari produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak
dikendalikan produk akan cepat menjadi layu. Sehingga laju respirasi sering digunakan
sebagai index yang baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar
(Ryal dan Lipton, 1972). Berbagai produk mempunyai laju respirasi berbeda, umumnya
tergantung pada struktur morfologi dan tingkat perkembangan jaringan bagian tanaman
tersebut (Kays, 1991). Secara umum, sel-sel muda yang tumbuh aktif cenderung
mempunyai laju respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih tua atau sel-sel
yang lebih dewasa.
Laju respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang berkaitan erat dengan;
kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik, kehilangan nilai nutrisi dan
berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk segar dapat diperpanjang dengan
menempatkannya dalam lingkunngan yang dapat memeperlambat laju respirasi dan
transpirasi melalui penurunan suhu produk, mengurangi ketersediaan oksigen (O2) atau
meningkatkan konsentrasi CO2, dan menjaga kelembaban nisbi yang mencukupi dari
udara sekitar produk tersebut
Respirasi setelah panen haruslah dipandang sebagai berikut (Story and Simona, 1989):
3

 Karbohidrat tersimpan yang dihasilkan oleh proses fotosintesis tidak lagi dihasilkan
(pada kebanyakan produk) setelah panen. Maka penggunaan karbohidrat ini
setelah panen akan menurunkan nilai produk sebagai sumber karbohidrat dan
beberapa perubahan mutu akan terjadi.
 Oksigen (O2) dibutuhkan untuk proses respirasi. Suplai O2 harus dijaga untuk tetap
terjadi ke dalam sel produk jika diinginkan produk tersebut masih tetap hidup.
 Karbondioksida (CO2) dihasilkan. Gas ini harus dilepaskan, biasanya dengan
pengaturan ventilasi yang baik.
 Air (H2O) dihasilkan. Air ini berpengaruh terhadap komposisi dan tekstur dari
produk.
 Respirasi memproduksi panas. Setiap gram berat molekul glukosa yang
direspirasikan menghasilkan 673 joules energi panas. Panas yang dihasilkan ini
menyebabkan masalah selama pendistribusian produk hortikultura tersebut.

Transpirasi

Transpirasi adalah proses dimana uap air lepas dari jaringan tanaman berevaporasi ke
lingkungan sekitar. Peranan dari transpirasi adalah melepaskan air keluar struktur
tanaman untuk mengatur suhu bahan tetap normal melalui proses pendinginan
eveporatif. Proses fisiologis ini menggunakan energi dari respirasi untuk merubah air
menjadi uap air. Ingat perubahan stadia dari cair menjadi gas adalah membutuhkan
energi. Transpirasi, secara prinsip terjadi pada daun melalui struktur yang dinamakan
stomata. Sebagai proses yang tipikal yang terjadi pada jaringan hidup, transpirasi
dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis produk.
Seperti disebutkan sebelumnya, kebanyakan produk hortikultura mempunyai kandungan
air tinggi. Sehingga sangatlah peka terhadap kehilangan air setelah panen sejalan
dengan pemisahan dirinya dari sumber suplai air, yaitu tanaman induknya.
Kehilangan air dapat berakibat terhadap kehilangan secara qualitatif dan kuantitatif dari
produk. Mengurangi kenampakan karena pelayuan dan pengkerutan, mengurangi
sukulensi karena turgiditas menurun, berkurangnya kerenyahan dan hilangnya
juiceness, semuanya adalah kehilangan kualitatif. Untuk produk-produk yang dijual
berdasarkan berat, maka kehilangan air adalah bersifat kuantitatif. Sekitar 5%
kehilangan berat dibutuhkan untuk mengurangi potensi pasar dari sayuran berdaun, dan
sekitar 10% untuk produk lainnya seperti apel dan kentang (Hardenberg et al, 1986).
Laju kehilangan air tergantung pada ke alamiahan dan kondisi dari permukaan produk,
rasio luas permukaan dan volume produk, kondisi lingkungan terutama suhu dan
kelembaban.
Produksi etilen
Etilen adalah hormon tanaman alami yang penting pengaruhnya terhadap pelayuan dan
pemasakan dari produk horticultura segar. Ada beberapa karakteristik dari etilen yang
perlu dipertimbangkan bila menguji pengaruhnya terhadap penampilan produk
pascapanen hortikultura segar. Etilen adalah;
 senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4) berupa gas berpengaruh
terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami
untuk penuaan dan pemasakan dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentarsi
sangat rendah (<0.005 uL/L) (Wills et al., 1988)
4

 autokatalitik, artinya saat produksinya mulai dirangsang maka laju produksinya akan
terus meningkat dengan laju peningkatan tertentu (seperti bola salju menggelinding
dari bukit);
 diproduksi di dalam tanaman (etilen endogenous). Faktor yang mempengaruhi laju
produksinya meliputi varietas, stadia kematangan, suhu, level oksigen dan
karbondioksida dan dapat disebabkan pula oleh berbagai bentuk pelukaan;
 terdapat pula dilingkungan (etilen exogenous) dan akan memacu produk untuk
menghasilkan etilen endogenous.
Buah klimakterik dapat dipacu kemasakannya dengan mengekpos produk pada sumber
etilen exogenous. Proses ini dinamakan “Pengendalian Kemasakan” (Kader, 1985).
Jika buah klimakterik telah mulai masak, buah tersebut menghasilkan sejumlah etilen
yang signifikan. Etilen yang dihasilkan tersebut, dapat memulainya proses pemasakan
produk buah klimakterik yang matang atau belum masak atau meningkatkan
kemunduran dari produk sensitif-etilen (Watada, 1986). Karenanya, di dalam
transportasi atau penyimpanan, buah klimakterik yang mengalami pemasakan dapat
tidak cocok ditempatkan bersamaan dengan produk lainnya. Sumber etilen external
dapat berupa hasil pembakaran minyak mesin kendaraan, lampu fluorescence, bahan
tanaman yang membusuk, aktivitas mikroorganisme, perokok, pemasakan buah, dan
produk-produk dengan luka mekanis.

2.2. Pertimbangan Fisik Produk


Sistem dermal
Kulit atau sistem dermal produk mempunyai pengaruh besar terhadap laju kehilangan
air setelah panen. Beberapa produk tidak mempunyai kulit, seperti jamur pangan,
sementara produk lainnya mempunyai sistem dermal alami yang bervariasi. Setiap
permukaan adalah bervariasi ketebalannya dan juga bahan kimia alami penyusunnya.
Ini akan mempengaruhi laju kehilangan air (Kays, 1991). Untuk produk yang masih
muda, sistem dermalnya mungkin sangat tipis. Untuk jaringan lebih dewasa, jaringan
dermal akan lebih tebal dan mempunyai penebal sekunder seperti lapisan lilin (lapisan
lilin dengan jaringan kutin disebut kutikula) yang secara alami dibentuk oleh produk itu
sendiri atau lilin diperlakukan sebagai perlakuan pascapanen.
Struktur anatomi, seperti stomata, lentisel dan hidatoda, yang berupa bukaan alami,
dapat pula mempengaruhi kehilangan air. Struktur transpirasi stomata terdapat pada
sayur-sayuran daun. Untuk produk yang tidak mempunyai stomata, seperti tomat,
semua kehilangan air setelah panen melalui tangkai buah tertinggal saat pemanenan.
Untuk buah jeruk yang dilapisi dengan baik oleh lilin alami, maka lentisel, yang berupa
pori-pori terbuka, adalah bukaan alami terjadinya evaporasi air dari buah.

Berbagai bentuk kerusakan atau pelukaan akan merusak barier alami yang menghalangi
kehilangan air produk. Pelukaan-pelukaan tersebut meningkatkan laju kehilangan air.
Kerusakan mekanis yang merusak bagian dari sistem dermal meningkatkan kehilangan
air melalui evaporasi langsung air dari dalam produk ke luar produk.

Rasio Luas Permukaan dan Volume Produk

Rasio luas permukaan dan volume adalah menentukan laju kehilangan air produk.
Semakin besar rasio tersebut, maka semakin besar kehilangan airnya. Produk yang
mempunyai rasio luas dengan volume tinggi adalah jamur (karena area dari gills di
5

bawah payung), brokoli, dan semua produk sayuran daun. Jeruk kecil akan kehilangan
air lebih cepat dibandingkan dengan yang besar. Semakin kecil buah Jeruk maka
semakin besar rasio luas area dan volumenya.

Lingkungan Luar Produk


Suhu, kelembaban relatif (RH), pergerakan udara dan tekanan udara adalah empat
komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap laju kehilangan air produk
pascapanen. Suhu tinggi, RH rendah, pergerakan udara yang cepat dan/atau
penurunan tekanan udara akan meningkatkan laju evaporasi uap air dari produk.
Kelembaban relatif adalah batasan umum untuk menggambarkan jumlah uap air di
dalam udara. Jumlah uap air yang bisa dipegang oleh udara adalah tergantung pada
suhu. Udara semakin hangat dapat memegang air lebih banyak. Contohnya, udara
pada 30oC dan 90% RH adalah lebih lembab dibandingkan dengan udara pada 20oC
dan 90% RH, sederhana karena dapat memegang uap air lebih banyak.
Pergerakan udara hendaknya diminimalkan sekitar produk pascapanen kecuali bila
produk didinginkan secara cepat (seperti pada forced-air cooling). Semakin banyak
udara bergerak sekitar produk dan semakin besar velositasnya, semakin banyak air
yang hilang.
Jika udara digunakan untuk mendinginkan produk, maka velositas udara harus dikurangi
sesegera setelah pendinginan tercapai. Produk yang telah dingin dalam lingkungan
penyimpanan dingin hanya memerlukan tingkat pergerakan udara yang rendah; cukup
untuk melepaskan panas respirasi yang akan diproduksi oleh produk pada suhu
penyimpanan tersebut. Semakin mendekati suhu penyimpanan 0oC, semakin rendah
jumlah panas respirasi yang dihasilkan.

Tekanan udara dapat mempengaruhi laju kehilangan air dari produk. Hal ini sering
menjadi perhatian saat pengiriman dilakukan dengan kapal udara. Uap air menguap
lebih cepat pada tekanan udara lebih rendah.

Kerusakan Mekanis

Kerusakan mekanis adalah masalah signifikan dalam pemasaran produk hortikultura.


Kerusakan mekanis menurunkan mutu dan daya jual produk melalui perubahan
kenampakan visual, meningkatnya laju kemunduran dan kehilangan air dan
meningkatnya kepekaannya terhadap pembusukan.
Ada tiga bentuk kerusakan mekanis, yaitu benturan (impact), tekanan (compression)
dan getaran (vibration). Kerusakan karena benturan dapat terjadi karena produk
dijatuhkan ke pada produk lainnya atau pada permukaan keras. Kerusakan benturan
sering terjadi oleh ketinggian jatuhan dalam pemanenan dan pengemasan, penanganan
manual dan tanpa adanya atau tidak beroperasinya forklift dengan baik. Kerusakan
karena tekanan disebabkan terlalu banyaknya produk dimasukkan kedalam suatu
kemasan. Penumpukan kemasan terlalu tinggi dimana kemasan itu sendiri tidak mampu
menopang berat diatasnya menyebabkan kerusakan mekanis umum produk hortikultura
segar di negara-negara sedang berkembang. Pada keadaan penumpukan ini, yang
menopang berat diatasnya adalah produk yang terdapat di dalam kemasan dibawahnya,
bukan kemasannya. Kerusakan karena getaran umumnya adalah superficial (dibawah
permukaan) dan menyebabkan abrasi pada permukaan produk. Bila sel-sel rusak,
maka cairan sel bocor keluar dan kontak dengan udara dan O2. Hal ini menyebakan
warna coklat pada permukaan buah. Penggunaan nampan plastik atau gabus dengan
6

lapisan tunggal dalam kemasan dapat mengurangi kerusakan karena getaran sepanjang
nampan yang digunakan adalah dengan seleksi ukuran terbaik.

2.3. Pertimbangan Patologis

Buah dan sayuran mengandung air dalam jumlah yang banyak dan juga nutrisi yang
mana sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Buah yang baru dipanen
sebenarnya telah dilabuhi oleh berbagai macam mikroorganisme (mikroflora) dari yang
tidak menyebabkan pembusukan sampai yang menyebabkan pembusukan (Brown,
1989).
Mikroorganisme pembusuk dapat tumbuh bila kondisinya memungkinkan seperti adanya
pelukaan-pelukaan, kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai dan sebagainya. Adanya
mikroorganisme pembusuk pada buah dan sayuran adalah merupakan faktor pembatas
utama di dalam memperpanjang masa simpan buah dan sayuran.
Mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan susut pascapanen buah dan sayuran
secara umum disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi awal dapat terjadi selama
pertumbuhan dan perkembangan produk tersebut masih dilapangan akibat adanya
kerusakan mekanis selama operasi pemanenan, atau melalui kerusakan fisiologis akibat
dari kondisi penyimpanan yang tidak baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya
sebagai akibat infeksi jamur sedangkan pada sayur-sayuran lebih banyak diakibatkan
oleh bakteri. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh pH yang rendah (kurang dari 4.5)
atau keasamannya yang tinggi dibandingkan dengan sayuran yang pH nya rata-rata
lebih besar dari 5 (Eckert, 1978).
Infeksi mikroorganisme terhadap produk dapat terjadi semasih buah dan sayuran
tersebut tumbuh dilapangan, namun mikroorganisme tersebut tidak tumbuh dan
berkembang, hanya berada di dalam jaringan. Bila kondisinya memungkinkan
terutama setelah produk tersebut dipanen dan mengalami penanganan dan
penyimpanan lebih lanjut, maka mikroorganisme tersebut segera dapat tumbuh dan
berkembang dan menyebabkan pembusukan yang serius. Infeksi mikroorganisme di
atas di namakan infeksi laten. Contoh mikroorganisme yang melakukan infeksi laten
adalah Colletotrichum spp yang menyebabkan pembusukan pada buah mangga,
pepaya dan pisang. Ada pula mikroorganisme yang hanya berlabuh pada bagian
permukaan produk namun belum mampu menginfeksi. Infeksi baru dilakukan bila ada
pelukaan-pelukaan akibat operasi pemanenan, pasca panen dan pendistribusiannya.
Ada pula mikroorganisme seperti bakteri pembusuk Erwinia carotovora dan
Pseudomonas marginalis (penyebab penyakit busuk lunak) pada sayuran mdapat
menghasilkan enzim yang mampu melunakkan jaringan dan setelah jaringan tersebut
lunak baru infeksi dilakukan. Jadi jenis mikroorganisme ini tidak perlu menginfeksi lewat
pelukaan, namun infeksi akan sangat jauh lebih memudahkan bila ada pelukaan-
pelukaan (Eckert, 1978).

2.4. Pertimbangan Sosial-Ekonomis

Kondisi ekonomis dan standard kehidupan konsumen adalah merupakan factor penting
di dalam menentukan teknologi penanganan dan penyediaan fasilitas. Investasi
berlebihan untuk penanganan buah dapat mengakibatkan economic loss, karena
konsumen tidak mampu menyerap biaya tambahan. Sebagai contoh, prosedur
penyimpanan dengan atmosfer terkendali yang dikembangkan dengan konsentrasi
etilen rendah dapat menjaga mutu buah lebih lama dengan kondisi lebih baik.
7

Diperkirakan teknologi ini akan diadopsi secepatnya oleh petani di AS untuk


meningkatkan mutu apel yang kemudian dapat dijual pada saat tidak musimnya. Tetapi
dalam realitanya, petani sangat ragu untuk melakukan investasi untuk mengadopsi
metode baru tersebut karena pasar belum siap membayar lebih untuk mutu apel yang
tinggi (Liu, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan metode penanganan sangat
ditentukan oleh sejauh mana konsumen mau membayar lebih dengan tingkat
penanganan yang lebih baik.
Jarak antara kebun dan pasar adalah salah satu penentu utama di dalam memutuskan
apakah suatu teknologi akan digunakan. Bila jaraknya dekat, maka metode
penanganan akan lebih sederhana. Terkadang interval waktu antara panen dan
penjualan hanyalah berlangsung beberapa jam. Dalam kondisi ini, hanya sedikit
perlakuan pascapanen yang diperlukan, dan cara paling efektif untuk mengurangi
kerusakan adalah mengajarkan petani untuk memanen dan menangani produknya
secara hati-hati. Bila interval waktu jauh lebih panjang dengan lika-liku pemasaran yang
lebih kompleks, maka diperlukan penanganan-penanganan yang lebih kompleks pula
atau dilibatkan teknologi yang lebih banyak dan jumlah yeng lebih besar dari factor
manusia dan ekonomi harus dipertimbangkan. Perhitungan cost/benefit keterlibatan
suatu teknologi penanganan pascapanen harus pula dapat digambarkan secara
sederhana bila teknologi praktis ingin diterapkan kepada petani-petani kecil (Kitinoja dan
Kader, 1995).

2.5. Pertimbangan ketersediaan Infrastruktur dan Logistik


Pendinginan adalah cara yang paling baik untuk memperlambat laju kemunduran produk
hortikultura segar. Keterlibatan teknologi lainnya adalah hanya tambahan untuk lebih
meningkatkan masa simpan atau masa kesegaran serta meningkatkan efisiensi dan
efektifitas dari teknologi pendinginan (Kitinoja, 2001). Produk hortikultura segar
mengalami kemunduran sangat cepat bila disimpan pada kondisi suhu kamar, ada yang
hanya beberapa jam sampai hanya beberapa hari. Bila suhu produk tidak segera
diturunkan untuk memperlambat laju kemunduran maka produk tersebut mengalami
kemunduran mutu sangat cepat. Pada kondisi dimana petani tidak dilengkapi dengan
fasilitas pendinginan maka mereka tidak fleksible di dalam pemasaran produk hotikultura
segar yang mudah rusak tersebut.
Pengelolaan suhu dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama adalah fase pendinginan
untuk melepaskan panas lapang dan kedua adalah menjaga produk pada suhu optimum
selama penyimpanan dan pendistribusiannya. Kebanyakan produk, terutama yang
mempunyai laju respirasi sangat tinggi, memerlukan pendinginan segera setelah panen
dilakukan untuk memaksimumkan retensi mutu dan masa simpan. Oleh karenanya,
infrastruktur dan logistik yang berkaitan dengan pendinginan menjadi sangat penting
untuk menyelamatkan produksi atau untuk menghindarkan susut yang berlebihan.
Infrastruktur dan logistik berpendingin sangat dibutuhkan bila jangkauan pasar
membutuhkan waktu beberapa hari atau beberapa minggu (Ashby, 1995).
Dalam menghadapi pasar yang semakin kompetitif dan kecendrungan konsumen
memilih produk segar bersih dan higienik maka fasilitas penanganan berupa rumah
pengemasan atau “packing house” bersih-tersanitasi menjadi penting. Hotel, restoran
dan pelayanan catering akan sangat senang bila mendapatkan produk yang bisa
dipertanggungjawabkan keamanan pangannya.
8

III. PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN


TEKNOLOGI PASCAPANEN HORTIKULTURA

3.1. Kesenjangan Pemahaman Good Postharvest Handling Practices


(GPHPs).

Tekonologi pascapanen adalah commodity specific dan location specific. Dikatakan


commodity specific karena jenis atau spesies komoditi satu dengan yang lainnya
mempunyai karakteristik fisiologis dan morfologis berbeda dan juga respon terhadap
kondisi lingkungan berbeda. Seperti halnya strawberry sangat baik disimpan pada suhu
mendekati 0oC, tetapi untuk tomat dan mangga tidak boleh disimpan berturut-turut
dibawah suhu 8oC dan 13oC karena sensitif terhadap Chilling injury. Dikatakan location
specific karena sangat tergantung pada jarak distribusi dan pemasarannya serta kondisi
social-ekonomis dari penggunanya (konsumen). Di Indonesia, secara umum
pemahaman tentang karakteristik fisiologis dan morfologis (fisik) serta pertimbangan-
pertimbangan yang menentukan keterlibatan teknologi pascapanen pada setiap rantai
suplai masih kurang. Disamping itu, kesenjangan informasi teknologi pascapanen dan
pasar yang membutuhkannya masih sangat dirasakan terutama untuk petani-petani
kecil-subsisten, suplayer dan distributor serta peritel. Dengan kata lain terjadi
kesenjangan sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan good postharvest
handling practices (GPHPs).
3.2. Kesenjangan Infrastruktur dan Logistik
Jangkauan pasar ditentukan oleh infrastruktur dan logistic tersedia pada sentra produksi
dan pada rantai suplainya. Rumah pengemasan yang bersih dan higienik dengan
fasilitas yang memadai hampir jarang dijumpai di sentra-sentra produksi. Begitu pula
fasilitas pendinginan dan logistik berpendingin di daerah-daerah produksi umumnya
sangat terbatas, sehingga jangkauan pasar terbatas pula. Terlebih lagi untuk keperluan
ekspor, maka rantai pendingin sangatlah penting. Kedepan dengan tuntutan persaingan
pasar global maka fasilitas rumah pengemasan, bersih-tersanitasi dan berpendingin di
daerah produksi serta logistic berpendingin diperlukan untuk mempertahankan mutu
kesegaran produk dan memperluas jangkauan pasar.
Untuk keperluan ekspor maka fasilitas pendukung dipelabuhan baik udara maupun laut
seperti kamar berpendingin di airport, fasilitas listrik plug in untuk reefer container di
pelabuhan laut harus tersedia. Penundaan-penundaan keberangkatan cargo di airport
sering terjadi maka bila produk segar tanpa pendingin tertunda keberangkatannya maka
penurunan mutu dan potensi masa simpan berkurang drastik dan bahkan dapat
merusak produk terutama produk hortikultura sangat ringkih seperti strawberry dan
jamur pangan.
3.3. Kemampuan petani untuk membeli teknologi masih kurang
Keterbatasan pemahaman tentang penanganan pascapanen yang baik, petani sering
terkesan hanya berproduksi saja dan kurang perduli bahwa dengan fasilitas pascapanen
yang kurang memadai maka mereka tidak fleksibel dalam pemasaran produknya.
Sering mereka harus menjual dengan harga murah dari pada membiarkan produknya
rusak dalam hitungan jam atau hari. Disamping itu, kebanyakan petani subsisten secara
individu tidak mampu membeli teknologi. Kondisi ini menyebabkan posisi tawar petani
menjadi sangat rendah.
9

Lain halnya petani di negara-negara maju dengan pemilikan lahan yang cukup luas baik
dengan jenis produk yang bervariasi maupun jenis tunggal, mereka menyediakan rumah
pengemasan dengan fasilitas penanganan pascapanen memadai lengkap dengan
fasilitas pendingin serta alat transportasi berpendingin pula. Mereka sangat fleksibel
dalam pemasaran karena mampu menyimpan produknya relative lama dengan
jangkauan pasar yang luas.
3.4. Insentif Pelibatan Teknologi Pascapanen Belum Jelas Dirasakan
Masih dirasakan bahwa keterlibatan teknologi penanganan pascapanen oleh petani
belum dirasakan dari harga jual produknya. Untuk hal ini, perlu adanya kemampuan
petani untuk mempromosikan atau meyakinkan pengguna bahwa produknya
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan yang lainnya. Seperti promosi bahwa
produknya dipersiapkan secara higienis dengan pencucian yang mampu menghilangkan
residu pestisida, sesaat setelah panen dan pendistribusiannya menggunakan rantai
pendingin, dan sebagainya. Keuntungan dari pelibatan teknologi pascapanen
seharusnya tidak hanya dilihat dari harga jual produk, namun juga dilihat dari tingkat
penyusutan dan kemampuan akses pasar (Kitinoja and Kader, 1995). Untuk itu harus
ada pemahaman yang jelas dari petani tentang cost/benefit dari teknologi pascapanen
yang akan diterapkannya.
3.5. Penelitian dan Pengkajian Teknologi untuk Mendukung GPHPs di
Indonesia Masih Kurang
Banyak penelitian-penelitian khususnya untuk produk hortikultura daerah dingin dan
sub-tropika, namun untuk penelitian produk hortikultura tropika masih terbatas dan
banyak yang perlu digali. Karakteristik fisiologis produk dari satu spesies dengan
spesies lainnya dan bahkan antar varietas sering mempunyai karakteristik filsiologis
berbeda. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa teknologi pascapanen adalah
commodity specific. Liu (1988) mengatakan bahwa spesies atau variaetas, lingkungan
pertumbuhan dan metode budidaya memberikan perbedaan yang nyata dalam masa
hidup dari produk hortikultura. Walau penelitian-penelitian sudah dilakukan untuk
produk hortikultura tropika di Negara-negara lain namun informasi detail yang lebih
banyak diperlukan untuk perbaikan metode yang sudah ada. Untuk itu perlu pengkajian
penerapan teknologi pascapanen yang lebih intensif untuk produk-produk hortikultura
tropika sesuai dengan kondisi Indonesia.

IV. DAMPAK PERMASALAHAN


Dari permasalahan sistem pascapanen yang diungkapkan di atas maka dampak yang
yang terlihat dan dirasakan adalah; jaminan mutu, keamanan dan masa simpan yang
rendah, tingkat susut pascapanen tinggi, kemampuan akses pasar petani kurang,
fleksibilitas petani dalam pemasaran produknya rendah sehingga berakibat pada posisi
tawar yang rendah, daya saing petani rendah dan penggunaan sumberdaya pada
sistem produksi menjadi tidak efisien.
Belum dilibatkannya teknologi penanganan pascapanen yang optimal maka jaminan
mutu dan keamanan belum bisa diberikan kepada pengguna. Dengan meningkatnya
perhatian masyarakat terhadap produk bermutu dan aman untuk dikonsumsi maka
masukan-masukan teknologi penanganan pascapanen sangat penting. Persaingan
global sudah terlihat dimana jaminan mutu dan keamanan pangan menjadi kebutuhan
mendasar untuk mampu bersaing di pasar global tersebut. Dengan belum
10

diterapkannya teknologi penanganan pascapanen yang optimal maka masa simpan


produk rendah sehingga tingkat susut pascapanen masih tinggi.
Keterlibatan teknologi pascapanen juga menentukan kemampuan petani untuk
mengakses pasar. Untuk mensuplai barang pada pasar tradisional terdekat tidak perlu
keterlibatan teknologi yang kompleks, namun cukup teknologi sederhana seperti
penggunaan kemasan yang hanya berfungsi sebagai wadah dari pada pelindung.
Namun bila pasar yang menjadi target cukup jauh terlebih lagi pasar ekspor, maka
keterlibatan teknologi semakin kompleks.
Karena produk segar hortikultura sangat ringkih dimana masa hidupnya sangat singkat
bila kondisi lingkungannya tidak terkendali, maka posisi petani sebagai produsen untuk
memasarkan produknya tidak fleksible atau dengan kata lain posisi tawar petani rendah.
Secara umum daya saing petani masih rendah terlebih lagi pada pasar global dimana
tariff barrier akan dihilangkan. Bila tidak ada percepatan pengembangan dan penerapan
teknologi pascapanen yang baik maka pada akhirnya penggunaan sumberdaya pada
sistem produksi menjadi tidak efisien.

V. USAHA PENGEMBANGAN DAN PERBAIKAN


Untuk pengembangan teknologi pascapanen hortikultura dan perbaikan cara
penanganan yang sudah ada maka peningkatan pemahaman tentang pentingnya
teknologi pascapanen pada seluruh rantai suplai harus dilakukan. Pelatihan-pelatihan
intensif penting dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada pelaku usaha di
seluruh rantai suplay menyangkut pertimbangan-pertimbangan yang perlu dipahami
dalam menerapkan suatu teknologi pascapanen seperti pertimbangan karakteristik
fisiologis dan morfologis, patologis, social-ekonomis dan infrastruktur serta logistik
pendukung.
Perlu adanya usaha pemerintah untuk membangun atau mengembangkan infrastruktur
serta logistik yang mendukung pelaksanaan GPHPs. Tentunya untuk petani secara
individu untuk pembangunan tersebut sulit untuk dilakukan karena lemahnya petani
secara finansial. Perlu adanya pengorganisasian petani secara baik seperti mebentuk
kelompok-kelompok untuk menambah kemampuan untuk membeli teknologi.
Kelompok-kelompok dapat berupa unit usaha yang dikelola secara professional.
Pembangunan sub-terminal agribisnis (STA) di sentra-sentra bisnis hendaknya
dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang memadai untuk pelaksanaan GPHPs dengan
logistik berpendingin.
Disamping itu, perlu diciptakan suatu sistem dimana petani dan pelaku usaha lainnya
mampu mendapatkan informasi dengan mudah tentang teknologi pascapanen untuk
level pasar serta komoditi berbeda. Sebagai tanggungjawab social, maka lembaga
seperti universitas, lembaga penelitian, Departemen Pertanian termasuk dinas-dinas di
Provinsi dan Kabupaten harus mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi
tersebut termasuk pengkajian penerapannya. Melakukan “trials” keterlibatan teknologi
untuk mendukung ekspor hendaknya secara intensif dilakukan oleh lembaga-lembaga
tersebut.
11

DAFTAR PUSTAKA

Ashby, B. H. 1995. Protecting Perishable Foods During Transport by Truck. USDA,


Agric. Marketing Service, Transportation and Marketing Division. Handbook No.
668.
Brown, G.E. 1989. Host defence at the wound site of harvested crops. Phytopath. 79
(12):1381-1384.
Eckert, J.W. 1978. Pathological disease of fresh fruit and vegetables. In Postharvest
Biology and Biotechnology. Hultin, H.O. and Miller, N (eds). Food and Nutrition
Press, Westport, Connecticut:161-209.
Hardenberg, R. E., Watada, A. E. and Wang, C. Y. 1986. The Commercial Storage of
Fruits, Vegetables, Florist and Nursery Stocks. USDA Agric. Handbook No. 66.
USDA Washington.
Kader, A. A. 1985. Ethylene induced senescence and physiological disorders in
harvested horticultural crops. HortSci. Feb. 20(1)::54-7.
Kays, S. J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. An AVI Book,
NY.
Kitinoja, L and Kader, A. A. 1995. Small Scale Postharvest Handling Practices. A
Manual for Horticultural Crops, 3rd Ed. Department Of Pomology, Univ. of
California, Davis, CA 95616.
Kitinoja, L. 2001. Postharvest Handling of Fruits and Vegetables: Intended for Cold
Storage. IARW India.
Liu, 1998. Developing practical methods and facilities for handling fruits in order to
maintain quality and reduce losses. In Postharvest Handling of Tropical and Sub-
tropical Fruit Crops.
Reid, M. S. 2002. Maturation and Maturity Indices. In Postharvest Technology of
Horticultural Crops. Kader, A. A. Edt. Univ. of California, Agric. And Natural
Resources, Pub. No. 3311.
Ryall, A. L. and Lipton, W. J. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruits and
Vegetables, Vol. I: Vegetables and Melons. AVI Pub., Westport, Connecticut.
Salunkhe, D. K. and Desai, B. B. 1984. Postharvest Biotechnology of Vegetables, Vol.
II. CRC Press Inc., Florida.
Simons, D. H. Quality and Its Maintenance. In Fresh Produce Manual; Handling, and
Storage Practices for Fresh Produce, 2nd Ed. Australian United Fresh.
Story, A. and Simons, D. 1989. A.U.F. Fresh Produce Manual – Handling and Storage
Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and Vegetable
Association Ltd.: Fitzroy, Vic.
Thompson, A. K. 1995. Postharvest Technology of Fruit and Vegetables. Blackwell
Sci.
Utama, I M.S. 2004. Prinsip Dasar da Permasalahan Pengembangan Teknologi
Pascapanen Hortikulturan dan Usaha Perbaikannya. Makalah yang disampaikan
12

pada Lokakarya Strategi Pengembangan Horticultura di Bali, CERETROF-UNUD,


30-31 Juli, 2004.
Watada, A. E. 1986. Effect of ethylene on the quality of fruits and vegetables. Food
Technol. May. 40(5):82-5.
Wills, R. B. H.; McGlasson, B.; Graham, D. and Joyce, D. Postharvest. An Introduction
to the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4th ed. The
University of New South Wales Press Ltd, Sydney. 1998; 262 pp

You might also like