Professional Documents
Culture Documents
PH Teknol Lokakarya1
PH Teknol Lokakarya1
I. PENDAHULUAN
Kebanyakan pascapanen produk hortikultura segar sangat ringkih dan mengalami
penurunan mutu sangat cepat. Berbeda dengan bagian tanaman yang masih melekat
pada tanaman induknya yang mendapat suplay air dan nutrisi atau makanan secara
berlanjut, bagian tanaman yang telah dipanen atau dilepas dari tanaman induknya tidak
lagi mendapatkan suplai air dan makanan. Untuk aktifitas hidupnya setelah panen,
produk segar tersebut melulu menggunakan bahan yang ada pada dirinya sendiri untuk
bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang sering diluar dari kondisi untuk dapat
menjalankan fungsi metabolisme optimalnya.
Terdapat kisaran kondisi yang sempit padamana tanaman atau bagian tanaman dapat
menjalankan fungsi metabolismenya secara optimal. Bila tanaman ditempatkan pada
kondisi diluar dari kondisi optimalnya yang sempit, dia akan merupakan subjek dari
bentuk-bentuk stress (Kays, 1991). Walau sekarang ini merupakan bahan tulisan dari
beberapa buku, definisi yang tepat dari stress untuk bahan biologis masih
membingungkan. Umumnya, stress dilihat sebagai faktor lingkungan yang mampu
memicu atau merangsang suatu “strain potensial” atau tekanan potensial yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem kehidupan. Lebih spesifik, stress adalah faktor
eksternal pada keadaan tertentu cenderung mengganggu proses fisiologis normal dari
organisme.
Dari pandangan Ahli fisiologi pascapanen hortikultura, Stress adalah faktor eksternal
yang menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan atau merusak terhadap mutu jika
tanaman atau bagian tanaman dihadapkan terhadap stress pada lama waktu dan
intensitas mencukupi. Dengan demikian, seperti kondisi penyimpanan buah apel yang
direkomendasi mewakili suatu stress, namun dia juga mewakili kondisi optimum untuk
mempertahankan mutu produk bagi ahli fisiologi pascapanen.
Untuk menentukan teknologi yang dilibatkan dalam penanganan pascapanen produk
hortikultura segar maka pertimbangan karateristik fisiologis dan responnya terhadap
kondisi lingkungan merupakan pertimbangan utama disamping pertimbangan fisik,
patologis, social-ekonomis serta infrastruktur dan logistik pendukungnya (Utama, 2004).
Untuk mengembangkan atau menerapkan teknologi penanganan pascapanen yang
sudah dikembangkan sering menghadapi kendala-kendala terutama untuk negara-
negara sedang berkembang seperti halnya di Indonesia. Pada tulisan ini didiskusikan
beberapa kendala pengembangan dan penerapan teknologi pascapanen, dampak
1
Makalah dibawakan sebagai Nara Sumber dalam “Lokakarya Strategi Pengembangan Hortikultura di
Bali”. Kerjasama Pusat Pengkajian Buah-buahan Tropika –UNUD dengan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Propinsi Bali, Kampus Bukit Jimbaran, Bali 30-31 Juli 2004.
2
Penulis adalah Sekretaris dan Staf Ahli Pascapanen Hortikultura pada Pusat Pengkajian Buah-buahan
Tropika, Staf Dosen pada Fafultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, dan Ketua Dewan Pembina
Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI)
2
Karbohidrat tersimpan yang dihasilkan oleh proses fotosintesis tidak lagi dihasilkan
(pada kebanyakan produk) setelah panen. Maka penggunaan karbohidrat ini
setelah panen akan menurunkan nilai produk sebagai sumber karbohidrat dan
beberapa perubahan mutu akan terjadi.
Oksigen (O2) dibutuhkan untuk proses respirasi. Suplai O2 harus dijaga untuk tetap
terjadi ke dalam sel produk jika diinginkan produk tersebut masih tetap hidup.
Karbondioksida (CO2) dihasilkan. Gas ini harus dilepaskan, biasanya dengan
pengaturan ventilasi yang baik.
Air (H2O) dihasilkan. Air ini berpengaruh terhadap komposisi dan tekstur dari
produk.
Respirasi memproduksi panas. Setiap gram berat molekul glukosa yang
direspirasikan menghasilkan 673 joules energi panas. Panas yang dihasilkan ini
menyebabkan masalah selama pendistribusian produk hortikultura tersebut.
Transpirasi
Transpirasi adalah proses dimana uap air lepas dari jaringan tanaman berevaporasi ke
lingkungan sekitar. Peranan dari transpirasi adalah melepaskan air keluar struktur
tanaman untuk mengatur suhu bahan tetap normal melalui proses pendinginan
eveporatif. Proses fisiologis ini menggunakan energi dari respirasi untuk merubah air
menjadi uap air. Ingat perubahan stadia dari cair menjadi gas adalah membutuhkan
energi. Transpirasi, secara prinsip terjadi pada daun melalui struktur yang dinamakan
stomata. Sebagai proses yang tipikal yang terjadi pada jaringan hidup, transpirasi
dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis produk.
Seperti disebutkan sebelumnya, kebanyakan produk hortikultura mempunyai kandungan
air tinggi. Sehingga sangatlah peka terhadap kehilangan air setelah panen sejalan
dengan pemisahan dirinya dari sumber suplai air, yaitu tanaman induknya.
Kehilangan air dapat berakibat terhadap kehilangan secara qualitatif dan kuantitatif dari
produk. Mengurangi kenampakan karena pelayuan dan pengkerutan, mengurangi
sukulensi karena turgiditas menurun, berkurangnya kerenyahan dan hilangnya
juiceness, semuanya adalah kehilangan kualitatif. Untuk produk-produk yang dijual
berdasarkan berat, maka kehilangan air adalah bersifat kuantitatif. Sekitar 5%
kehilangan berat dibutuhkan untuk mengurangi potensi pasar dari sayuran berdaun, dan
sekitar 10% untuk produk lainnya seperti apel dan kentang (Hardenberg et al, 1986).
Laju kehilangan air tergantung pada ke alamiahan dan kondisi dari permukaan produk,
rasio luas permukaan dan volume produk, kondisi lingkungan terutama suhu dan
kelembaban.
Produksi etilen
Etilen adalah hormon tanaman alami yang penting pengaruhnya terhadap pelayuan dan
pemasakan dari produk horticultura segar. Ada beberapa karakteristik dari etilen yang
perlu dipertimbangkan bila menguji pengaruhnya terhadap penampilan produk
pascapanen hortikultura segar. Etilen adalah;
senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4) berupa gas berpengaruh
terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami
untuk penuaan dan pemasakan dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentarsi
sangat rendah (<0.005 uL/L) (Wills et al., 1988)
4
autokatalitik, artinya saat produksinya mulai dirangsang maka laju produksinya akan
terus meningkat dengan laju peningkatan tertentu (seperti bola salju menggelinding
dari bukit);
diproduksi di dalam tanaman (etilen endogenous). Faktor yang mempengaruhi laju
produksinya meliputi varietas, stadia kematangan, suhu, level oksigen dan
karbondioksida dan dapat disebabkan pula oleh berbagai bentuk pelukaan;
terdapat pula dilingkungan (etilen exogenous) dan akan memacu produk untuk
menghasilkan etilen endogenous.
Buah klimakterik dapat dipacu kemasakannya dengan mengekpos produk pada sumber
etilen exogenous. Proses ini dinamakan “Pengendalian Kemasakan” (Kader, 1985).
Jika buah klimakterik telah mulai masak, buah tersebut menghasilkan sejumlah etilen
yang signifikan. Etilen yang dihasilkan tersebut, dapat memulainya proses pemasakan
produk buah klimakterik yang matang atau belum masak atau meningkatkan
kemunduran dari produk sensitif-etilen (Watada, 1986). Karenanya, di dalam
transportasi atau penyimpanan, buah klimakterik yang mengalami pemasakan dapat
tidak cocok ditempatkan bersamaan dengan produk lainnya. Sumber etilen external
dapat berupa hasil pembakaran minyak mesin kendaraan, lampu fluorescence, bahan
tanaman yang membusuk, aktivitas mikroorganisme, perokok, pemasakan buah, dan
produk-produk dengan luka mekanis.
Berbagai bentuk kerusakan atau pelukaan akan merusak barier alami yang menghalangi
kehilangan air produk. Pelukaan-pelukaan tersebut meningkatkan laju kehilangan air.
Kerusakan mekanis yang merusak bagian dari sistem dermal meningkatkan kehilangan
air melalui evaporasi langsung air dari dalam produk ke luar produk.
Rasio luas permukaan dan volume adalah menentukan laju kehilangan air produk.
Semakin besar rasio tersebut, maka semakin besar kehilangan airnya. Produk yang
mempunyai rasio luas dengan volume tinggi adalah jamur (karena area dari gills di
5
bawah payung), brokoli, dan semua produk sayuran daun. Jeruk kecil akan kehilangan
air lebih cepat dibandingkan dengan yang besar. Semakin kecil buah Jeruk maka
semakin besar rasio luas area dan volumenya.
Tekanan udara dapat mempengaruhi laju kehilangan air dari produk. Hal ini sering
menjadi perhatian saat pengiriman dilakukan dengan kapal udara. Uap air menguap
lebih cepat pada tekanan udara lebih rendah.
Kerusakan Mekanis
lapisan tunggal dalam kemasan dapat mengurangi kerusakan karena getaran sepanjang
nampan yang digunakan adalah dengan seleksi ukuran terbaik.
Buah dan sayuran mengandung air dalam jumlah yang banyak dan juga nutrisi yang
mana sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Buah yang baru dipanen
sebenarnya telah dilabuhi oleh berbagai macam mikroorganisme (mikroflora) dari yang
tidak menyebabkan pembusukan sampai yang menyebabkan pembusukan (Brown,
1989).
Mikroorganisme pembusuk dapat tumbuh bila kondisinya memungkinkan seperti adanya
pelukaan-pelukaan, kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai dan sebagainya. Adanya
mikroorganisme pembusuk pada buah dan sayuran adalah merupakan faktor pembatas
utama di dalam memperpanjang masa simpan buah dan sayuran.
Mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan susut pascapanen buah dan sayuran
secara umum disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi awal dapat terjadi selama
pertumbuhan dan perkembangan produk tersebut masih dilapangan akibat adanya
kerusakan mekanis selama operasi pemanenan, atau melalui kerusakan fisiologis akibat
dari kondisi penyimpanan yang tidak baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya
sebagai akibat infeksi jamur sedangkan pada sayur-sayuran lebih banyak diakibatkan
oleh bakteri. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh pH yang rendah (kurang dari 4.5)
atau keasamannya yang tinggi dibandingkan dengan sayuran yang pH nya rata-rata
lebih besar dari 5 (Eckert, 1978).
Infeksi mikroorganisme terhadap produk dapat terjadi semasih buah dan sayuran
tersebut tumbuh dilapangan, namun mikroorganisme tersebut tidak tumbuh dan
berkembang, hanya berada di dalam jaringan. Bila kondisinya memungkinkan
terutama setelah produk tersebut dipanen dan mengalami penanganan dan
penyimpanan lebih lanjut, maka mikroorganisme tersebut segera dapat tumbuh dan
berkembang dan menyebabkan pembusukan yang serius. Infeksi mikroorganisme di
atas di namakan infeksi laten. Contoh mikroorganisme yang melakukan infeksi laten
adalah Colletotrichum spp yang menyebabkan pembusukan pada buah mangga,
pepaya dan pisang. Ada pula mikroorganisme yang hanya berlabuh pada bagian
permukaan produk namun belum mampu menginfeksi. Infeksi baru dilakukan bila ada
pelukaan-pelukaan akibat operasi pemanenan, pasca panen dan pendistribusiannya.
Ada pula mikroorganisme seperti bakteri pembusuk Erwinia carotovora dan
Pseudomonas marginalis (penyebab penyakit busuk lunak) pada sayuran mdapat
menghasilkan enzim yang mampu melunakkan jaringan dan setelah jaringan tersebut
lunak baru infeksi dilakukan. Jadi jenis mikroorganisme ini tidak perlu menginfeksi lewat
pelukaan, namun infeksi akan sangat jauh lebih memudahkan bila ada pelukaan-
pelukaan (Eckert, 1978).
Kondisi ekonomis dan standard kehidupan konsumen adalah merupakan factor penting
di dalam menentukan teknologi penanganan dan penyediaan fasilitas. Investasi
berlebihan untuk penanganan buah dapat mengakibatkan economic loss, karena
konsumen tidak mampu menyerap biaya tambahan. Sebagai contoh, prosedur
penyimpanan dengan atmosfer terkendali yang dikembangkan dengan konsentrasi
etilen rendah dapat menjaga mutu buah lebih lama dengan kondisi lebih baik.
7
Lain halnya petani di negara-negara maju dengan pemilikan lahan yang cukup luas baik
dengan jenis produk yang bervariasi maupun jenis tunggal, mereka menyediakan rumah
pengemasan dengan fasilitas penanganan pascapanen memadai lengkap dengan
fasilitas pendingin serta alat transportasi berpendingin pula. Mereka sangat fleksibel
dalam pemasaran karena mampu menyimpan produknya relative lama dengan
jangkauan pasar yang luas.
3.4. Insentif Pelibatan Teknologi Pascapanen Belum Jelas Dirasakan
Masih dirasakan bahwa keterlibatan teknologi penanganan pascapanen oleh petani
belum dirasakan dari harga jual produknya. Untuk hal ini, perlu adanya kemampuan
petani untuk mempromosikan atau meyakinkan pengguna bahwa produknya
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan yang lainnya. Seperti promosi bahwa
produknya dipersiapkan secara higienis dengan pencucian yang mampu menghilangkan
residu pestisida, sesaat setelah panen dan pendistribusiannya menggunakan rantai
pendingin, dan sebagainya. Keuntungan dari pelibatan teknologi pascapanen
seharusnya tidak hanya dilihat dari harga jual produk, namun juga dilihat dari tingkat
penyusutan dan kemampuan akses pasar (Kitinoja and Kader, 1995). Untuk itu harus
ada pemahaman yang jelas dari petani tentang cost/benefit dari teknologi pascapanen
yang akan diterapkannya.
3.5. Penelitian dan Pengkajian Teknologi untuk Mendukung GPHPs di
Indonesia Masih Kurang
Banyak penelitian-penelitian khususnya untuk produk hortikultura daerah dingin dan
sub-tropika, namun untuk penelitian produk hortikultura tropika masih terbatas dan
banyak yang perlu digali. Karakteristik fisiologis produk dari satu spesies dengan
spesies lainnya dan bahkan antar varietas sering mempunyai karakteristik filsiologis
berbeda. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa teknologi pascapanen adalah
commodity specific. Liu (1988) mengatakan bahwa spesies atau variaetas, lingkungan
pertumbuhan dan metode budidaya memberikan perbedaan yang nyata dalam masa
hidup dari produk hortikultura. Walau penelitian-penelitian sudah dilakukan untuk
produk hortikultura tropika di Negara-negara lain namun informasi detail yang lebih
banyak diperlukan untuk perbaikan metode yang sudah ada. Untuk itu perlu pengkajian
penerapan teknologi pascapanen yang lebih intensif untuk produk-produk hortikultura
tropika sesuai dengan kondisi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA