You are on page 1of 18

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN

REFARAT
PRIMARY SURVEY

Oleh:
Alken Ros Oceana Lekatompessy
10119210051

Pembimbing :
dr. Peter H.Y. Singal, M.Kes.,Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU ANE STESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2022
PAGE \* MERGEFORMAT i
DAFTAR ISI

Daftar Isi………………………………………………………………………………….... i

BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………….. 1

BAB II Tinjauan Pustaka………………………………………………………………….. 3

Primary Survey…………………………………………………………………….. 3

BAB III Penutup…………………………………………………………………………… 15

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………... 16

PAGE \* MERGEFORMAT i
BAB I

PENDAHULUAN

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan


seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan/pertolongan segera dalam arti
pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam
itu maka korban akan mati atau cacat / kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.1

Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-waktu/ kapan


saja, terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja sebagai akibat dari suatu
kecelakaan, suatu proses medik atau perjalanan suatu penyakit. 1,2 Kejadian gawat darurat
biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan terjadinya.
Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk
mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari
awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan fasilitas
kesehatan sampai paska kejadian cedera.

Penanganan gawat darurat tetap memegang prinsip Do Not Further Harm, Artinya
jangan memperberat keadaan penderita. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien
dapat kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2- 3 menit
pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal.

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multiple merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem pelayanan tanggap darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma). Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat
resiko kecacatan dan bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi
dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak mendapatkan penanganan
yang optimal.

Dalam keadaan gawat darurat harus dilakukan tindakan penanganan awal untuk
mencegah keadaan pasien menjadi tambah buruk. Pada pasien trauma waktu sangatlah
penting, diperlukan cara yang mudah untuk menangani, biasanya proses ini dinamakan
sebagai initial assesment (penilaian awal). Dalam initial assesment terdapat tindakan Primary
PAGE \* MERGEFORMAT 1
Survey dan Secondary Survey. Primary Survey (Penilaian Awal) merupakan usaha yang
dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami
keadaan yang mengancam jiwa. Primary Survey (penilaian awal) merupakan salah satu item
kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan,
bahkan kematian. Primary Survey merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menilai
keadaan klien dengan menggunakan metode ABCDE ( Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure) dilakukan pada saat waktu emasnya.1,2

PAGE \* MERGEFORMAT 1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Primary Survey

Survei primer atau biasa disebut primary survey adalah suatu proses melakukan
penilaian keadaan korban gawat darurat dengan menggunakan prioritas ABCDE untuk
menentukan kondisi patofisiologis korban dan pertolongan yang dibutuhkan dalam waktu
emasnya. Pemeriksaan primary survey (penilaian awal) berdasarkan standar A-B-C dan D-E,
dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B: pernafasan), circulation (C: sirkulasi),
disability (D: ketidak mampuan), dan exposure (E: penerapan).

Penilaian keadaan korban gawat darurat dan prioritas terapi dilakukan berdasarkaan
jenis perlukaan, stabilitas tanda - tanda vital. Adapun prioritas ABCDE yaitu : 3

1. Airway

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan


membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Oleh
sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah kelancaran jalan nafas, meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring

Menurut ATLS (Advanced Trauma Life Support) 2004, Kematian-kematian dini karena
masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :3

a. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway


b. Ketidakmampuan untuk membuka airway
c. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
d. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f. Aspirasi isi lambung

Bebasnya jalan nafas paling terpenting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Ketika
penderita tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafas, oleh karena itu, patensi jalan

PAGE \* MERGEFORMAT 1
nafas harus segera dipertahankan dengan cara buatan, diantaranya : reposisi, chin lift, jaw
thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Smith, Davidson,
Sue, 2007). Dalam usaha untuk membebaskan jalan nafas harus segera melindungi pada
vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada
pasien yang dapat berbicara, dianggap bahwa jalan nafasnya bersih, walaupun penilaian
terhadap airway harus tetap dilakukan. Pasiendengan gangguan kesadaran atau Glasgow
Coma Scale< 8 ini memerlukan pemasangan airwaydefinitif. Adanya gerakan motorik yang
tidak bertujuan dalam mengindikasikan diperlukan pada airway definitif.

Apabila pasien dapat berbicara dengan baik, biasanya airway pasien bagus (clear), namun
pada pasien tidak sadar membutuhkan bantuan airway dan ventilator. Gejala seperti snoring
(mengorok), gurgling, stridor, dan gerakan dada yang parodoksikal merupakan tanda-tanda
adanya obstruksi nafas. Pasien dalam keadaan tidak sadar selalu pikirkan kemungkinan
adanya benda asing yang menyumbat jalan nafas pasien. Manajemen airway lanjut (advance)
seperti ETT, krikotirotomi, dan trakeostomi diindikasikan pada pasien yang mengalami
apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofacial, cedera leher dengan
hematom, dan trauma dada berat.

Pasien yang mengalami cedera leher atau cervical perlu mendapat perhatian khusus, yang
ditandai dengan nyeri leher, nyeri yang dirasakan sangat hebat, terdapat defisist neurologis,
intoksikasi, dan kehilangan kesadaran pada saat kejadian. Apabila terdapat salah satu tanda
tersebut, walaupun tanpa ditemukan jejas diatas tulang klavikula dapat dicurigai pasien
mengalami trauma leher, untuk mencegah hiperekstensi leher dapat dilakukan manuver jaw
thrust untuk membebaskan jalan nafas pasien, serta dilakukan pemasangan cervical collar
pada tulang cervical dan spinal akan membantu dalam menguragi ekstensi pada saat
dilakukan laringoskopi dan intubasi trakea. Pada saat pasien dengan truma multiple
mengalami penurunan atau distorsi pada anatomi pernapasan bagian wajah yang dapat
mengganggu pemberian ventilasi melalui face mask atau pada saat terjadi perdarahan di
saluran pernapasan maka dilakukan krikotiroidotomi dan trakeostomi. Pada pasien apnea
yang memerlukan intubasi segera dapat dilakukan intubasi nasal, akan tetapi intubasi nasal
ini dihindari dilakukan pada pasien yang mengalami fraktur wajah atau basis cranii.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Teknik-teknik mempertahankan airway :

a. Head tilt

Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali
pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan
posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing.
Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan
sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil
mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten.1

b. Chin lift

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati –
hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati
diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.

c. Jaw thrust

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk
kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxilla.1Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita
dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera
spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.1

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Gambar 1. Jaw-Thrust Maneuver5 (Dikutip dari : European ResusciationCouncil Guidelines
for Resusciation 2010)

d. Oropharingeal Airway (OPA)

Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien yang
kehilangan refleks jalan napas bawah.4

Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh.
Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan
cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir.
Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah
terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum
putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan
kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati
sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan
fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-faring dengan
cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi
pasien.3,4

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Gambar 2. Oropharingeal Airway5(Dikutip dari : The McGraw-HillCompanies 2006)

e. Nasopharingeal Airway

Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih disukai
dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya
merangsang muntah.3

Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh.
Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-
faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin
dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring
dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan
perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas.3

Gambar 3. Nasopharingeal Airway5(Dikutip dari : The McGraw-HillCompanies 2006)

PAGE \* MERGEFORMAT 1
f. Airway definitif

Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan
airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :3,5

1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan Pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan.
Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada
pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik
tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan
intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical.3

Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan
cara :2

 Lihat (look) , melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
 Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
 Rasa ( feel ), merasa adanya hembusan nafas.

2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan
O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan
CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus. Pada keadaan normal, oksigen diperoleh
dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh. Airway yang baik tidak
dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula. Menjamin terbukanya airway
merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Apabila pernafasan tidak
PAGE \* MERGEFORMAT 1
adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang
efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari
salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik. 2,3,6

Penilaian ventilasi dilakukan dengan cara look (dilihat), listen (didengar), dan feel
(dirasakan). Pada saat melakukan look (dilihat) perhatikan ada tidaknya sianosis, retraksi
dinding dada, flail chest, trauma tembus atau trama tidak tembus yang terjadi pada dada.
Selanjutnya dengarkan dengan menggunakan stetoskop suara napas pasien ada atau tidak atau
apakah terdengar melemah atau tidak, dengarkan juga apakah terdapat suara wheezing
ataupun rhonki. Terakhir rasakan apakah terdapat atau tidaknya emfisema subkutan,
pergeseran trakea, dan ada tidaknya tulang rusuk yang patah. Pada saat melakukan penilaian
breathing khususnya pada pasien dengan gagal nafas (respiratory distress) harus diwaspadai
akan terjadinya tension pneumothorax dan hematothorax.

Cara melakukan pemasangan face-mask:

a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh


b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama- sama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu ( squeeze-bag).

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Gambar 4. Pemasangan Face Mask5(Dikutip dari : The McGraw-HillCompanies 2006)

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab


lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi pada toraks.3

Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-keadaan


seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-
keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey.7

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan. 8 Bila
ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasiyang dilakukan adalah : 3,7

a. Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit.


b. Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea
midclavicularis
c. Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube
d. Open pneumotoraks : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi
(flutter-type valveefect)

PAGE \* MERGEFORMAT 1
3. Circulation

Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma. Oleh karena itu penting
melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai
tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Penilaian sirkulasi dapat dirasakan dari kualitas dan
kuantitas frekuensi nadi dalam setiap menitnya, tekanan darah, dan perfusi perifer. Tidak
adekuatnya sirkulasi pada pasien trauma ditandai dengan takikardi, lemah atau tidak
terabanya arteri perifer, hipotensi, ekstremitas pucat, dingin, dan sianosis.3

Prioritas utama yang dilakukan adalah menghentikan perdarahan yang dilanjutkan dengan
mengganti cairan intravaskular. Pada pasien yang mengalami trauma tembus dada bisa terjadi
henti jantung saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit maka pasien tersebut
segera memerlukan emergency room thoracotomy. Resusitasi torakotomi bertujuan untuk
menghentikan perdarahan yang terlihat dengan membuka perikardium, menjahit luka di
jantung dan dilanjutkan dengan menutup (cross clamping) aorta diatas diafragma. Pada
pasien hamil aterm yang mengalami henti jantung atau shock hanya dapat dilakukan
resusitasi setelah bayinya dilahirkan.3

a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.

Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan biladitemukan dengan
cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manualmaupun dengan menggunakan
perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasiharus dipasang sedikitnya dua IV line, yang
berukuran besar. Kemudian lakukanpemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera
mungkin.3

4. Disability
PAGE \* MERGEFORMAT 1
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spina. Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder.

Adapun AVPU adalah :3,5

A : Alert

V : Respon to verbal

P : Respon to pain

U : Unrespon

GCS dapat digunakan pada pasien diatas 3 (tiga) tahun pada keadaan cedera kepala
atau cedera lainnya yang dapat membuat penurunan kesadaran untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, namun pada usia dibawah 3 (tiga) tahun skala verbal yang digunakan

menyesuaikan. Perlu diketahui bagaimana mechanism of injury pada pasien dengan trauma
multiple untuk menyingkirkan faktor-faktor yang dapat mempengeruhi peningkatan cedera
pada saraf pusat. Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien trauma terjadi akibat
penurunan oksigenasi dan/atau perfusi ke otak atau disebabkan oleh trauma langsung pada
otak. Penggunaan obat-obatan dan narkoba juga dapat mengganggu kesadaran pasien, apabila
kedua hal tersebut sudah disingkirkan maka penyebab penurunan kesadaran kemungkinan
hipoksia dan hipovolemia.

GCS (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran pasien.3

a. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita :


 Membuka mata spontan
 Membuka mata jika dipanggil,diperintah atau dibangunkan
 Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari
tangan)

PAGE \* MERGEFORMAT 1
 Tidak memberikan respon
b. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita :
 Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
 Disorientasi atau bingung
 Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
 Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
 Tidak memberikan respon
c. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita :
 Melakukan gerakan sesuai perintah
 Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
 Menghindar terhadap rangsangan nyeri
 Fleksi abnormal (decorticated)
 Ektensi abnormal (decerebrate)
 Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran).
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab (Pre-
Hospital Trauma Life Support Committee 2002) :

a. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak


b. Trauma pada sentral nervus sistem
c. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
d. Gangguan atau kelainan metabolik

5. Exposure

Pada bagian exposure pasien dilepaskan seluruh pakaiannya dari kepala sampai kaki
dengan cara menggunting untuk melihat apakah ada jejas, trauma, ataupun kelainan yang
ditemukan. Selanjutnya penting agar pasien tetap dalam kondisi hangat, maka gunakan
selimut untuk membungkus tubuh pasien. Apabila dicurigai pasien mengalami cedera tulang
belakang dapat dipasang in line immobilization.

Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya
selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan

PAGE \* MERGEFORMAT 1
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak
hipotermi, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang .3,6,9

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:

 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien


 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan
mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.10

PAGE \* MERGEFORMAT 1
BAB III

PENUTUP

Primary Survey (penilaian awal) merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang
sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan kematian.
Primary survey merupakan suatu proses melakukan penilaian keadaan pada korban gawat
darurat dengan menggunakan prioritas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation. Disability,
Exposure). Airway adalah suatu tindakan untuk mengatasi jika ada sumbatan pada jalan nafas
agar pasien dapat bernafas dengan baik. Breathing dilakukan ketika pernafasan pasien tidak
adekuat. Circulation merupakan tindakan untuk mengontrol adanya perdarahan dengan
menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Disability adalah tindakan untuk
mengevaluasi system neurologis pasien dengan mengkaji tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil. Exposure pasien harus dibuka keseluruhan pakaian, kemudian dinilai pada
keseluruhan bagian tubuh.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
DAFTAR PUSTAKA

1. Alkatri. Resusitasi Kardio-pulmoner. Edisi IV. Jakarta: pusat penerbitan departemant


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Unversitas Indonesia; 2007 : 173-176
2. Haffen BQ, Karren KJ. Prehospital Emergency Care and Crisis Intervention. Fourth
edition. Prentice Hall; 1992, p. 285-288
3. American College of Surgeons. Committee on Trauma: Advanced trauma life support for
doctors Faculty Manual 7th Ed. Chicago; 2004: 53-151.
4. Davis DP, Kene M, Vilke GM, Sise MJ, Kennedy F, Eastman AB et al. Head-injured
patients who “talk and die”: The San Diego perspective. J Trauma. 2007;62:277-81.
5. Nolan JP, Soar J, Zideman DA, Biarent D, Bossaert LL, Deakin C, et al. European
Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 1. Executive summary
Resuscitation. 2010: 81(10), 1219–1276.
https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2010.08.021
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC; 2001.
7. Richardson M, Physiology for ED practice. In: Dolan B, Holt L, editors. Accident and
Emergency : Theory Into Practice. Elsevier; 2008. p. 353-368
8. Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard
edition. Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8
9. Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed.
Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
10. Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.

PAGE \* MERGEFORMAT 1

You might also like