Professional Documents
Culture Documents
Penilaian Nyeri Dan Nyeri Kronik
Penilaian Nyeri Dan Nyeri Kronik
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
Disusun oleh:
Alken Ros Oceana Lekatompessy
10119210051
Pembimbing:
dr. Muh Dahlan, M.Kes, Sp.An
1
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................4
2.1 Definisi Nyeri........................................................................................4
2.2 Klasifikasi Nyeri....................................................................................4
2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri ................................................................8
2.4 Patofisiologi Nyeri................................................................................9
2.5 Penilaian Nyeri.....................................................................................12
2.6 Manajemen Nyeri.................................................................................14
BAB III KESIMPULAN............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
non kanker akibat trauma, proses degenerasi
5
sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri
ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya.
Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana
inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus
spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi
langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah
Nyeri somatik luar Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan
subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam
dan terlokalisasi.
Nyeri somatik dalam Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan
baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
2. Nyeri viseral
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan
keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ
lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot
polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.
Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih
dari jaringan.
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi
nyeri visceral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:3
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
6
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor
baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran
mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
2. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia atau sensasi rasa sakit yang tidak biasa pada kulit
yang disebabkan oleh suatu kontak sederhana yang sebenarnya tidak menimbulkan
rasa sakit. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain
(SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
3. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
7
2.3 FISIOLOGI DAN ANATOMI NYERI
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi
tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen (gambar 2.1):3,6
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi
dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious (orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke
CNS.
Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara
serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
(orde 2).
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3).
8
Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas
• Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).
• Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
9
dirasakan nyeri adalah disebut sebagai sebuah proses elektrofisiologis. Ada 4 proses
yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:4,8
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di
reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel
rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan
substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu
(panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron
kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di
korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
10
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat
A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan
serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi.
Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian
pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat,
sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang
merupakan polipeptida.3
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel
mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.3,4
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion
kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai
dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang
rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral
pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena
sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya
demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang
merupakan anti enzim siklooksigenase.
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
11
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut.
Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu
stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron
pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi
atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis
terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic
range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-
noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field,
sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi.
12
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik
nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
Gambar 2.4. Verbal Rating Scale
13
Gambar 2.6. Visual Analog scale
7
Gambar 2.7. Faces Pain Scale
14
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan
opioid kuat, misalnya morfin.5
15
Tabel 2. Manajemen Nyeri Pasca bedah berdasarkan jenis pembedahaan
16
17
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.5,9
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin
anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang
apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal
500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin
memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan
mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang
irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi
harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.5
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
dan antiinflamasi. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya
tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit,
mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.3,8
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu
yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis
yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek
samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati.
Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis
prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.5
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah: setiap
riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan
dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga
18
berat, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis
efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan
dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat
diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan
sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.5
Tabel 3. NSAIDs
Daily dose
Drug name Forms available Half life (h)
range
Mefenamic
Tablet, capsule 1500mg 4
acid
Opioid Lemah
Codeine
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti
morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat
diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-
hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural
berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal
ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan
19
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam
kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di
perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang
berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g
secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum
4 dosis dapat digunakan3
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramal dapat
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400
mg per hari.6
Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada
pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak
dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan.3
Morfin
20
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi, sedasi, perubahan
emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis,
mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik /
ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian
morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronkokontriksinya.
Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin
dapat diberikan secara sub kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra
tekal. Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB
secara sub kutan, intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk
megurangi nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4
mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.3,6
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.
Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang tidak ada
hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Sedangkan
morfin tidak.
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.6
21
Fentanyl
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3
µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.6
Anestesi Lokal
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi
lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk
memberikan pain relief yang efektif.5
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.5
Max. single
%
% solution dose mg/kg.
Duration solution
Agent for analgesic (Total mg in Comments
(hours) for
blocks adults* see
infusion
footnote)
22
Lignocaine
Mepivacaine
Prilocaine
Bupivacaine
Chloroprocaine
23
injection.
24
BAB III
KESIMPULAN
1. Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
2. Nyeri akut bila tidak tertangani dengan baik bisa mengarah kepada nyeri kronik.
3. Ada 4 tahap dalam fisiologi nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi
4. Penilaian skala nyeri bisa dilakukan berdasarkan beberapa skala
25
DAFTAR PUSTAKA
4. Reddi D, Curran N. Chronic Pain After Surgery: Pathophysiology, Risk Factors and
Prevention. Postgraduate Medical Journal. 2014;90:222–227.
5. Suseno E, Carrey M, Jonathan YE, et al. Pencegahan Nyeri Kronis Pasca-Operasi. J
Maj Ked. Andalas. 2017:40(1);40-51
26