You are on page 1of 26

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN

PENILAIAN NYERI DAN NYERI KRONIK

Disusun oleh:
Alken Ros Oceana Lekatompessy
10119210051

Pembimbing:
dr. Muh Dahlan, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2022

1
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................4
2.1 Definisi Nyeri........................................................................................4
2.2 Klasifikasi Nyeri....................................................................................4
2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri ................................................................8
2.4 Patofisiologi Nyeri................................................................................9
2.5 Penilaian Nyeri.....................................................................................12
2.6 Manajemen Nyeri.................................................................................14
BAB III KESIMPULAN............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26

2
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Nyeri menurut IASP (Internastional


Assosiation for the Study of Pain) adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan atau yang cenderung merusak jaringan, atau seperti
yang dimaksud dengan kata kerusakan jaringan.
Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dua komponen utama, yaitu sensorik
(fisik) dan emosional (psikologik). Komponen sensorik merupakan mekanisme neurofisiologi
yang menerjemahkan sinyal nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas,
lokasi, dan kualitas rangsangan). Sedangkan komponen emosional adalah komponen yang
menentukan berat ringannya individu merasa tidak nyaman, dapat mengawali kelainan emosi
seperti cemas dan depresi jika menjadi nyeri kronik, serta diperankan oleh rangsangan
nosiseptik melalui penggiatan sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal penyakit, hasil
pengobatan yang tidak jelas, dan dukungan sosial/keluarga).
Nyeri bersifat sangat subyektif. Terlepas dari ada tidaknya kerusakan jaringan, nyeri
sebaiknya diterima sebagai keluhan yang harus dipercaya. Manajemen nyeri yang baik tidak
hanya akan membantu penyembuhan pasca operasi secara lebih signifikan sehingga pasien
dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain
syndrome.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI NYERI


Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.1 Menurut International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi
dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. 2 Jadi nyeri terjadi karena adanya
kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception) ataupun tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception).3

2.2 KLASIFIKASI NYERI


The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. 1, Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:4
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai
dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis,
pucat dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis. Bentuk
nyeri akut dapat berupa:
Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ visceral.
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap
bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri
akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan.5 Nyeri ini disebabkan oleh :

4
 kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
 non kanker akibat trauma, proses degenerasi

Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:3,4


1. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah,
tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang
menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk
disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit
dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum
parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama
sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung
pada daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri
viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh,
rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada

5
sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri
ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya.
Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana
inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus
spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi
langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah
Nyeri somatik luar  Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan
subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam
dan terlokalisasi.
Nyeri somatik dalam  Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan
baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.

2. Nyeri viseral
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan
keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ
lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot
polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.
Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih
dari jaringan.
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi
nyeri visceral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:3
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri

6
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor
baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran
mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
2. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia atau sensasi rasa sakit yang tidak biasa pada kulit
yang disebabkan oleh suatu kontak sederhana yang sebenarnya tidak menimbulkan
rasa sakit. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain
(SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
3. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1. Nyeri onkologik
2. Nyeri non onkologik

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


1. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan
hilang pada waktu istirahat.
2. Nyeri sedang nyeri terus-menerus, yang membuat aktivitas terganggu dan hanya
hilang bila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
dan sering terjaga akibat nyeri.

7
2.3 FISIOLOGI DAN ANATOMI NYERI
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi
tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen (gambar 2.1):3,6
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi
dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious (orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke
CNS.

 Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
 Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara
serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
(orde 2).
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3).

8
Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas
• Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).
• Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.

2.4 PATOFISIOLOGI NYERI


Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Kejadian sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh
sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis,
batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka
sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.7
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau
noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri
inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-
zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri.
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai

9
dirasakan nyeri adalah disebut sebagai sebuah proses elektrofisiologis. Ada 4 proses
yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:4,8
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di
reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel
rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan
substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu
(panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron
kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di
korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Gambar 2.2. Proses perjalanan nyeri

10
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat
A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan
serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi.
Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian
pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat,
sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang
merupakan polipeptida.3
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel
mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.3,4
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion
kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai
dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang
rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral
pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena
sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya
demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang
merupakan anti enzim siklooksigenase.
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses

11
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut.
Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu
stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron
pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi
atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis
terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic
range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-
noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field,
sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi.

2.5 PENILAIAN NYERI


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara
lain :5,7

a. Verbal Rating Scale (VRSs)

12
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik
nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
Gambar 2.4. Verbal Rating Scale

b. Numerical Rating Scale (NRSs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas
nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan
nyeri yang hebat.

Gambar 2.5. Numeric pain intensity scale

c. Visual Analogue Scale (VASs)


Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai
nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif
untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan
dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien
sedang berada dalam nyeri hebat.

13
Gambar 2.6. Visual Analog scale

d. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang
dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik,
afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai
”3”.
e. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak.

7
Gambar 2.7. Faces Pain Scale

2.6 PENANGANAN NYERI


Manajemen Farmakologis
World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis
untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama
kali diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol
yang merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan
ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan opioid lemah
seperti kodein dan dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat

14
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan
opioid kuat, misalnya morfin.5

Gambar 2.8. WHO Analgesic Ladder

Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of


Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk
mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang
berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri
pasca operasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat
yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan
menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.
Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan
menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.3,6

Gambar 2.9. WFSA Analgesic Ladder


Tabel 1. Pilihan Obat-Obatan untuk Manajemen Nyeri

15
Tabel 2. Manajemen Nyeri Pasca bedah berdasarkan jenis pembedahaan

16
17
 Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.5,9
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin
anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang
apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal
500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin
memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan
mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang
irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi
harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.5
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
dan antiinflamasi. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya
tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit,
mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.3,8
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu
yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis
yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek
samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati.
Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis
prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.5
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah: setiap
riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan
dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga

18
berat, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis
efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan
dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat
diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan
sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.5

Tabel 3. NSAIDs

Daily dose
Drug name Forms available Half life (h)
range

Ibuprofen Tablet, syrup 600- 1200mg 1-2

Diclofenac Tablet, suppository, injection, cream 75- 150mg 1-2

Naproxen Tablet, suspension, suppository 500- 1000mg 14

Piroxicam Capsule, suppository, cream, injection 10- 30mg 35+

Ketorolac Tablet, injection 10- 30mg 4

Indomethacin Capsule, suspension, suppository 50- 200mg 4

Mefenamic
Tablet, capsule 1500mg 4
acid

 Opioid Lemah
 Codeine
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti
morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat
diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-
hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural
berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal
ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan

19
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam
kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di
perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang
berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g
secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum
4 dosis dapat digunakan3
 Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramal dapat
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400
mg per hari.6

 Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada
pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak
dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan.3

Tabel 4. Opioid kuat3

Route of Dose Length of


Drug name
delivery (mg) Action (h)
Intramuscular/
Morphine 10-15 2-4
subcutaneous
Methadone Intramuscular 7.5-10 4-6
Pethidine/Meperidine Intramuscular 100-150 1-2
Buprenorphine Sublingual 0.2-0.4 6-8
(Intravenous - half the IM dose slowly over 5 minutes)

 Morfin

20
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi, sedasi, perubahan
emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis,
mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik /
ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian
morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronkokontriksinya.
Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin
dapat diberikan secara sub kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra
tekal. Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB
secara sub kutan, intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk
megurangi nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4
mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.3,6

 Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
 Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
 Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.
 Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan, dan takikardi.
 Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
 Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang tidak ada
hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Sedangkan
morfin tidak.
 Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.6

21
 Fentanyl
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3
µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.6

 Anestesi Lokal
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi
lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk
memberikan pain relief yang efektif.5
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.5

 PCA (Patient Control Analgesia)


Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri
dengan memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang
dirasakan. PCA bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia
(IVPCA) atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini
memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun tindakannya.3

Tabel 5. Anastesi local yang digunakan untuk nyeri akut 3

Max. single
%
% solution dose mg/kg.
Duration solution
Agent for analgesic (Total mg in Comments
(hours) for
blocks adults* see
infusion
footnote)

22
Lignocaine

Infiltration 0.5-1 1-2 7 -

Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7 Rapid onset.


Dense motor block.
Plexus or
0.75-1.5 1-3 0.5-1.0
nerve

Mepivacaine

Infiltration 0.5-1 1.5-3 7 -


Rapid onset.
Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7 Dense motor block.
Longer action than
Plexus or
0.75-1.5 2-4 0.5-1.0 lignocaine.
nerve

Prilocaine

Infiltration 0.5-1 1-2 8.5 - Rapid onset.


Dense motor block.
Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1
Least toxic amide agent.
Plexus or Methaema- globinaemia
1.5-2 1.5-3 0.75-1.25
nerve >600mg

Bupivacaine

Infiltration 0.125-0.25 1.5-6 3.5 - Avoid 0.75% in


obstetrics. Mainly
0.0625-
Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) sensory block at low
0.125
concen- trations.
Plexus or Cardiotoxic after rapid
0.25-0.5 8-24+ 0.125- 0.25
nerve IV injection.

Chloroprocaine

Lowest systemic toxicity


of all agents. Motor /
Infiltration 1 0.5-1 14 -
sensory deficits may
follow intrathecal

23
injection.

Manajemen Non Farmakologis


Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakologis yang sering
dipakai.3,11

Tabel 6. Metode Non Farmakologi11

24
BAB III
KESIMPULAN

1. Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
2. Nyeri akut bila tidak tertangani dengan baik bisa mengarah kepada nyeri kronik.
3. Ada 4 tahap dalam fisiologi nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi
4. Penilaian skala nyeri bisa dilakukan berdasarkan beberapa skala

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Marsaban AHM, Ma’as EM. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif: Pengetahuan


Dasar Nyeri. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia.
2009;1-19.

2. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.02.02/MENKES/ 523/2015 tentang Formularium Nasional. Jakarta: Menteri
Kesehatan RI;2015
3. Charldton ED, Wilson I, Eltringham R. Update in Anesthesia: a Jpurnal for
Anaesthetists in Developing Countries. The Management of Postoperative Pain.
2009:1-17. ISSN 1353-4882.

4. Reddi D, Curran N. Chronic Pain After Surgery: Pathophysiology, Risk Factors and
Prevention. Postgraduate Medical Journal. 2014;90:222–227.
5. Suseno E, Carrey M, Jonathan YE, et al. Pencegahan Nyeri Kronis Pasca-Operasi. J
Maj Ked. Andalas. 2017:40(1);40-51

6. Tracey I. Imaging pain. British Journal of Anaesthesia 2008;101(1):32-9.


7. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari RW. Assessment Nyeri. J Neurologi Gadjah
Mada. 2015:42(3). 214-234
8. Macrae WA. Chronic Post-Surgical Pain: 10 years on. Br J Anaesth. 2008;101:77–86.
9. Gaskin DJ, Richard P. The Economic Costs of Pain in the United States. The Journal
of Pain. 2012;13:715–724.
10. Ilmiasih R. Promosi Manajemen Nyeri Nonfarmakologi Oleh Keluarga pada Pasien
Post Operasi di Ruang BCH RSUPN dr. Ciptomangun Kussumo Jakarta. J Kep
Muhammadiyah Malang. 2013:4(2);116-121
11. Crombie IK, Davies HTO, Macrae WA. Cut and thrust: antecedent surgery and
trauma among patients attending a chronic pain clinic. Pain 1998;76:167–71.

26

You might also like