You are on page 1of 9

ANALISIS DAMPAK PENGETAHUAN LOKAL TERHADAP BENTUK BANGUNAN

RUMAH MASYARAKAT KAMPUNG NAGA

Muhammad Syafiq Ridho Al-ghiffarri


13040220120006
Antropologi Arsitektur – Kelas A
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang sangat kental dengan keanekaragaman budaya,


termasuk suku, adat istiadat, kepercayaan, hingga kekayaan pengetahuan lokal yang dimiliki
oleh setiap suku bangsa yang mendiami setiap wilayah di Indonesia. Segala bentuk
keanekaragaman ini menyatu di dalam setiap entitas kehidupan dan bersinergi yang
menjadikan ciri khas dari identitas kebudayaan Indonesia. Salah satu suku yang ada di
Indonesia yaitu suku atau etnik Sunda. Suku Sunda merupakan salah satu suku yang cukup
unik, pasalnya secara geografis mereka adalah suku yang mendiami pulau Jawa, namun secara
kesukuannya sendiri terpisah dari Suku Jawa yang sebagian besar berada di Pulau Jawa bagian
Tengah dan Timur. Suku Sunda sendiri mayoritas mendiami wilayah Banten dan Jawa Barat.
Berdasarkan data yang tercantum dalam Sensus Penduduk oleh BPS pada tahun 2010 dalam
artikel yang ditulis oleh Daniswari, Suku Sunda memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak
yaitu sebanyak 36.701.670 atau 15,5 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia.
Jumlah tersebut menjadikan Suku Sunda sebagai suku dengan populasi terbanyak kedua di
Indonesia setelah suku Jawa (Daniswari, 2022).

Suku sunda kerap disebut sebagai suku yang hidup berdampingan dengan alam. Ajaran
leluhur mereka mengajarkan bahwasannya manusia dan alam hidup berdampingan dalam dunia
kosmos ini. Dalam berkehidupan, alam dapat dimanfaatkan, namun dengan tidak dieksploitasi
secara berlebih. Alam bukan suatu objek yang di dalamnya dapat dengan mudah di otak-atik,
dikeruk, atau dieksploitasi saja. Bagi masyarakat Suku Sunda, alam memiliki arti sebagai
pemberi kehidupan yang mereka anggap seperti teman atau mitra karena diantara manusia dan
alam sejatinya mempunyai sifat saling membutuhkan sehingga keberadaannya harus dijaga
agar tidak rusak nantinya (Hermawan, 2014).
Ajaran dan nilai dari leluhur yang telah ditransformasikan secara turun-temurun disebut
dengan pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal ini merupakan bagian dari kebudayaan suatu
masyarakat yang ajeg dan orisinil hingga menjadikan kebudayaan tersebut menjadi suatu hal
yang arif. Pengetahuan lokal dapat juga diartikan sebagai kearifan lokal. Menurut Wiradimadja
(2018), kearifan lokal atau local wisdom adalah seperangkat ajaran atau gagasan yang bijaksana
dari para leluhur, di mana ajaran-ajaran ini baik lisan maupun tulisan, memiliki nlai-nilai yang
arif untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat di suatu daerah (Wiradimadja,
2018). Biasanya, kearifan lokal kerap disangkutpautkan dengan mitos yang kemudian mitos-
mitos tersebut diejawantahkan ke dalam norma adat, pepatah, dan upacara adat (Hidayat dkk,
2019).

Penurunan ilmu atau pengetahuan lokal ini tidak hanya sebatas pada ajaran mengenai
ritual, upacara adat, dan lain sebagainya, namun tidak dapat dipungkiri bahwasannya dari segi
arsitektur seperti pendirian bangunan rumah ikut terinternalisasi oleh ajaran leluhur yang
menyelaraskan juga pada lingkungan. Bentuk-bentuk arsitektur pada rumah suatu masyarakat
adat yang masih tradisional biasanya sarat akan nilai filosofis dan penuh makna konsepsi
budayanya (Suharjanto, 2014). Salah satu masyarakat yang masih memegang teguh ajaran
leluhur dan merealisasikan pengetahuan lokal adalah Suku Sunda. Contoh dari kelompok
masyarakat Sunda yang ternyata juga masih tetap menjaga hal tersebut adalah masyarakat yang
berada di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.

Untuk mendukung analisis dari adanya dampak pengetahuan lokal terhadap suatu
bentuk bangunan rumah pada masyarakat Kampung Kuta ini saya meminjam teori dari
Anthony Giddens berupa teori strukturasi. Teori Strukturasi dari Giddens sendiri berusaha
untuk menggambarkan bagaimana struktur dan aksi individu saling mempengaruhi antara satu
sama lain dalam suatu masyarakat. Struktur yang ada di masyarakat seperti norma, aturan,
maupun sumber daya mempengaruhi dari tindakan individu, begitupun sebaliknya di mana
tindakan individu turut memengaruhi dan membentuk struktur. Giddens (dalam Buchli, 1990)
menegaskan bahwasannya gagasan dari teori strukturasi ini menguraikan pemahaman yang
lebih dinamis tentang prinsip-prinsip penataan yang menekankan sifat terbuka di mana prinsip
penataan dilihat sebagai bukti untuk menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk arsitektur ini tidak
hanya dilihat secara determinan, melainkan memiliki sebuah representasi dari adanya interaksi
yang kompleks antara struktur sosial dan masyarakatnya.
Melihat uraian latar belakang yang telah disebutkan, maka permasalahan yang diangkat
dalam esai kritis ini berkenaan dengan eksistensi pengetahuan lokal dalam pengaruhnya
terhadap bentuk bangunan rumah adat pada masyarakat Kampung Naga. Secara khusus,
permasalahan yang akan dibahas adalah arsitektur rumah, bagian-bagian dan fungsi ruangan
dalam rumah, dan nilai yang terkandung di dalamnya yang merupakan ajaran nilai dari
pengetahuan lokal yang ada. Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk melihat ajaran dan nilai
leluhur yang merupakan pengetahuan lokal masyarakat Sunda tercermin dalam setiap bentuk
bangunan rumah masyarakat Kampung Naga. Selain itu, penggunaan teori strukturasi Anthony
Giddens diharapkan dapat membantu saya dalam membentuk suatu analisa mendalam terkait
korelasi nilai-nilai kearifan lokal terhadap bentuk bangunan rumah yang ada pada masyarakat
Kampung Naga.

PEMBAHASAN

1. Sekilas Info Kampung Naga dan Masyarakat Kampung Naga

Kampung Naga atau Kampung Adat Naga merupakan perkampungan tradisional yang
berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Kampung Naga sendiri memiliki luas wilayah sebesar 10 hektar. Adapun secara administratif,
pada wilayah bagian barat Kampung Naga berbatasan dengan Bukit Naga, bagian utara adalah
Desa Cigalontang, bagian timus berbatasan oleh Sungai Ciwulann dan hutan lindung, serta
wilayah bagian selatan berbatasan dengan jalan rava provinsi yang menghubungkan Garut dan
Tasikmalaya (Fairuzahira dkk, 2020).

Seperti yang telah disebut sebelumnya, masyarakat Kampung Naga merupakan salah
satu masyarakat adat atau tradisional yang masih kental akan tradisi dari leluhurnya.
Masyarakat ini juga termasuk ke dalam masyarakat yang homogen, yaitu masyarakat yang
berasal dari satu keturunan nenek moyang (leluhur) serta berpedoman kepada nasihat-nasihat
nenek moyang. Masyarakat Kampung Naga memiliki suatu keunikan seperti yang pada terjadi
oleh masyarakat-masyarakat adat lainnya yang masih sangat tradisional, di mana mereka hidup
berdampingan dengan alam dari jangka waktu yang lama. Bagi masyarakat Kampung Naga,
alam merupakan suatu hal yang sudah semestinya dijaga dan dilestarikan agar keberadaannya
tidak punah atau rusak demi keberlangsungan hidup yang baik dan untuk kebaikan generasi
selanjutnya. Hal ini juga didorong dengan adanya keyakinan bahwa lingkungan yang ada di
Kampung Naga merupakan tanah warisan leluhur atau karuhun yang eksistensinya wajib dijaga
dan dilestarikan untuk anak cucunya nanti (Nurkamilah, 2018).
Berdasarkan Data Penduduk Kampung Naga tahun 2019 (dalam Fairuzahira dkk,
2020), masyarakat yang tinggal di Kampung Naga berjumlah 293 jiwa, komposisi antara
penduduk laki-laki dengan perempuan hampir seimbang di mana penduduk yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 147 orang dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 146 orang.
Sebanyak penduduk tersebut sebagian besar merupakan masyarakat dengan jenjang usia 11
hingga 60 tahun. Sebanyak 215 orang termasuk dalam usia angkatan kerja dengan mata
pencaharian yang beragam seperti petani, buruh tani, pns, pedagang, pengrajin, pemandu
wisata dan lain sebagainya. Masyarakat yang berprofesi sebagai pemandu wisata tidak dapat
dilakukan secara sembarangan. Untuk menjadi seseorang yang bermata pencaharian sebagai
pemandu wisata, harus dengan persetujuan dan ditunjuk langsung oleh kuncen atau juru kunci
Kampung Naga untuk mengarahkan wisatawan dan memperkenalkan berbagai hal tentang
Kampung Naga kepada para wisatawan yang berkunjung.

2. Bentuk dan Tata Letak Rumah Adat Kampung Naga

Bentuk dari rumah-rumah yang ada di Kampung Naga merupakan homogen atau
seragam, yaitu berbentuk rumah panggung. Seperti pada arsitektur tradisional ciri khas Suku
Sunda, menurut Sudarwani (dalam Nurislaminingsih, 2022), bangunan yang ada di Kampung
Naga ini merupakan contoh dari rumah tradisional dengan gaya arsitektur khas Sunda.
Berbentuk panggung karena disesuaikan dengan topografi wilayah daerah Sunda yang
memiliki kontur cenderung berbukit. Selain itu, rumah dengan bentuk panggung dimaksudkan
untuk mencegah lantai bersentuhan langsung dengan tanah.

Ruangan pada rumah masyarakat Kampung Naga terdiri dari dapur, goah (tempat
penyimpanan padi atau hasil panen), sepen (ruang tidur orang tua), dan imah (ruang tengah).

Gambar 1. Tata letak ruang dalam rumah adat di Kampung Naga


Sumber: Dewi, Pancawati (2016)
Dalam gambar 1 di atas, terlihat bentuk denah dari tata letak ruangan pada rumah
Kampung Naga di mana terdapat satu pintu masuk yang langsung mengarah ke area dapur.
Kegiatan sosialisasi, menerima tamu, dan menikmati jamuan atau makan dilaksanakan di area
sekitar hawu atau tungku perapian.

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa bentuk bangunan rumah Kampung Naga
adalah seragam. Semua bentuk bangunan di Kampung Naga bersifat memanjang ke arah barat
hingga timur, dengan bentuk pintu yang menghadap sisi utara hingga selatan. Posisi rumah di
daerah ini saling berhadapan tentunya ada maksud yang tersimpan, yaitu untuk saling menjaga,
baik terhadap keamanan dari adanya kejahatan maupun bahaya kebakaran yang disebabkan
oleh api dalam rumah, dikarenakan bahan rumah yang dipakai juga merupakan bahan yang
mudah terbakar.

Gambar 2. Rumah yang saling berhadapan di Kampung Naga


Sumber: Dewi, Pancawati (2016)

3. Pengetahuan Lokal Pada Bangunan Rumah

Pengetahuan lokal atau disebut kearifan lokal merupakan suatu ajaran, keyakinan, dan
pedoman yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu sebagai penuntun dari sikap atau
perilaku manusia anggota kelompok tersebut. Pengetahuan lokal ini diwariskan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya hingga pada akhirnya membentuk sebuah
pola perilaku sehari-hari. Dikarenakan pengetahuan lokal ini mempengaruhi berbagai aspek
lini kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bangunan rumah atau arsitektur suatu masyarakat.
Bagi masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Kampung Naga, rumah tidak hanya diartikan
sebagai tempat untuk berteduh atau tempat tinggal saja, lebih dari itu, rumah dapat memiliki
banyak pemaknaan termasuk hal nya dalam konsep penggambaran mereka mengenai dunia ini.
Konsep-konsep kosmologi tercermin pada bentuk pola dari pemukiman kampung, bentuk
rumah, dan pembagian ruang-ruang dalam rumah. Dalam menjaga keseimbangan hidup di
dunia, mereka, masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa harus adanya hubungan yang
dibina dengan baik antara Sang Pencipta dan alam sebagai bagian yang di atas dengan makhluk
hidupnya seperti manusia sebagai unsur yang berada di lingkup bawah agar kehidupan ini tetap
harmonis.

Rumah yang dibangun di Kampung Naga berbentuk panggung di atas permukaan tanah
dengan bagian kolong yang terdapat batu tumpuan sangat berfungsi sebagai peredam getaran
gempa. Batu-batu tersebut ditumpuk tanpa adanya menggunakan lem perekat seperti yang ada
pada gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Batu Tumpuan di bagian kolong rumah


Sumber: Marlyono dkk (2022)

Seperti yang telah disebut juga sebelumnya, rumah di Kampung Naga dibangun secara
berhadapan atau saling membelakangi, memanjang dari arah Barat ke Timur dengan pintu
rumah menghadap ke Utara atau Selatan. Semua ketentuan dalam membangun rumah ini
merupakan perintah adat dari ajaran leluhur yang harus dipatuhi secara turun temurun. Bentuk
bangunan pada rumah adat Kampung Naga terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian kolong,
lantai, dan langit-langit. Dalam Kosmologi masyarakat Sunda, dunia dibagi menjadi tiga, yaitu
dunia bawah, dunia tengah, dan dunia atas. Tanah yang dianalogikan sebagai dunia bawah,
merupakan tempat kembalinya orang-orang yang telah mati. Dunia atas merupakan tempat bagi
para ruh dari orang-orang mati, dan dunia tengah sebagai tempat orang atau makhluk yang
masih hidup.
Gambar 4. Pembagian Tingkatan Rumah dalam Kaitannya dengan Kosmografi Sunda

Sumber: Hermawan, Iwan (2013)

Dalam bangunan rumah, kolong (bagian bawah rumah) digambarkan sebagai dunia bawah,
palupuh (lantai) diartikan sebagai penggambaran dunia tengah yang merupakan tempat bagi
makhluk yang masih hidup, dan lalangit (langit-langit) digambarkan sebagai dunia atas yang
merupakan tempat para ruh atau hal yang gaib.

Teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens berusaha untuk


menjelaskan interaksi yang terjadi antara aksi individu dengan struktur sosial. Menurut
Giddens (dalam Buchli, 1990), struktur adalah aturan dan sumber daya yang dipergunakan oleh
aktor-aktor di dalam sistem sosial, sedangkan aksi individu itu sendiri yang dapat
mempengaruhi dan direproduksi oleh struktur. Dalam kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat Kampung Naga, seperti pengetahuan dan kepercayaan merupakan suatu bentuk
struktur yang sudah ada dari para leluhurnya dan diwariskan secara turun temurun dari setiap
generasi ke generasi berikutnya. Struktur yang ada tersebut mengandung aturan dan sumber
daya seperti pengetahuan tentang arsitektur, baik tampak fisik maupun terhadap pemaknaan
kepercayaan yang mengacu kepada konsep kosmologi, yang pada akhirnya menjadi acuan dan
dasar masyarakat dalam mengambil suatu bentuk nyata aksinya, yaitu membangun rumah.

Saat proses membangun suatu bentuk bangunan, terutama rumah, masyarakat mengacu
pada kepercayaan dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat tersebut. Hal ini
membuktikan bahwasannya masyarakat saat membangun rumah, sekaligus ikut mereproduksi
struktur (yang berisi aturan dan sumber daya) tadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan
membangun rumah tidak hanya sebagai suatu bentuk atas kebutuhan fisik saja, melainkan juga
sebagai manifestasi dari kepercayaan dan tradisi yang dimiliki oleh mereka. Karena pada
dasarnya, rumah dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga juga bukan hanya sekadar
tempat untuk berteduh atau tinggal sementara, tetapi mempunyai makna yang lebih dalam dari
itu. Adanya kepercayaan terhadap ajaran leluhur dan konsep-konsep kosmologi masyarakat
Sunda pada akhirnya terefleksikan dalam bentuk arsitektur rumah di Kampung Naga. Rumah-
rumah ini dibangun dengan berbagai aturan seperti arah pintu, penggunaan bahan, ruang-ruang
yang terletak, bentuk bangunan, dan lain sebagainya tidak serta merta hanya dilihat dalam
kacamata estetika saja, tetapi lebih kepada pemenuhan terhadap aturan-aturan yang ada dalam
kepercayaan lokal. Maka jika dilihat lagi dalam teori strukturasi nya Giddens, sebuah struktur
yaitu pengetahuan lokal turut mempengaruhi aksi yang terimplementasikan dalam bentuk
bangunan rumah, serta aksi yang dilakukan tersebut turut menguatkan tradisi dan membuat
siklus berulang dalam mereproduksi sebuah struktur yang dipercayai dan dilakukan kembali
secara turun temurun.

PENUTUP

Pengetahuan lokal merupakan sebuah ajaran yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu. Ajaran-ajaran tersebut berisikan petuah, nasihat, dan lain sebagainya yang
menjadi dasar pengatur tata perilaku suatu anggota kelompok masyarakatnya. Masyarakat
Sunda, termasuk masyarakat Kampung Naga sudah telah lama hidup selaras dan berdampingan
dengan alam. Mereka sangat menghargai alam, karena alam dan manusia dianggap saling
memiliki rasa ketergantungan. Dalam pendirian rumah di Kampung Naga, masyarakat sangat
memperhatikan bentuk arsitektur, peralatan dan bahan yang digunakan, serta menyesuaikan
dengan kontur tanah wilayah mereka. Semua ajaran tersebut berasal dari nenek moyang yang
sampai saat ini masih mereka percayai dan diwariskan secara turun temurun kepada setiap
generasinya.

Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga ini menjadi bukan
hanya sebuah informasi belaka, akan tetapi menjadi bagian dari struktur sosial yang
mempengaruhi serta dipengaruhi oleh aksi dari individu dalam masyarakat tersebut.
Penggunaan teori untuk menganalisis permasalahan ini saya mengacu pada sebuah teori dari
Anthony Giddens yaitu strukturasi guna memahami interaksi yang terjadi, yang menurut saya
dinamis antara individu yaitu masyarakat dalam hal aksi (membangun rumah/ bentuk bangunan
rumah) dengan struktur yang dimanifestasikan dalam bentuk pengetahuan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat Kampung Naga.
Daftar Pustaka
Daniswari, D. (2022, Agustus 27). Mengenal Suku Sunda, dari Asal-usul hingga Tradisi.
Diambil kembali dari
https://regional.kompas.com/read/2022/08/27/195622178/mengenal-suku-sunda-dari-
asal-usul-hingga-tradisi (diakses pada tanggal 18 September 2023)
Dewi, P. (2018). BELAJAR DARI KECERDASAN LOKAL: STUDI TENTANG KAMPUNG
NAGA. ATRIUM, 4(1), 23-33.
Fairuzahira, S., Rukmi, W. I., & Sari, K. E. (2020). ELEMEN PEMBENTUK PERMUKIMAN
TRADISIONAL KAMPUNG NAGA. Jurnal Tata Kota dan Daerah, 12(1).
Hermawan, I. (2014). BANGUNAN TRADISIONAL KAMPUNG NAGA: BENTUK
KEARIFAN WARISAN LELUHUR MASYARAKAT SUNDA. Sosio Didaktika, 1(2).
Hidayat, R. A., Fakhira, B., & Ira, H. R. (2019). ANALISIS KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT KAMPUNG NAGA, DESA NEGLASARI, KECAMATAN
SALAWU, TASIKMALAYA, JAWA BARAT, TERHADAP MITIGASI BENCANA.
ARTIKEL MATA KULIAH GEOGRAFI DESA PRODI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.
Marlyono, S. G., Indrianeu, T., & Singkawijaya, E. B. (2022). INTEGRASI BUDAYA
KAMPUNG NAGA SEBAGAI MITIGASI BENCANA DI KABUPATEN
TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT. Jambura Geo Education Journal, 3(2),
60-67.
Nurislaminingsih, R., Komariah, N., & Yudha, E. P. (2022). Pemetaan Pengetahuan Lokal
Sunda di Kampung Naga-Tasikmalaya. ANUVA, 6(2), 217-230.
Nurjaman, E. Y. (2021). Pola Komunikasi Masyarakat Sunda di Perantauan. Jurnal Ilmu Politik
dan Komunikasi, 11(2).
Nurkamilah, C. (2018). ETIKA LINGKUNGAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PEMELIHARAAN LINGKUNGAN ALAM PADA MASYARAKAT KAMPUNG
NAGA. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, 136-148.
Salsabila, D. A., & Jahera, S. R. (2023). Budaya dan Aktivitas Kehidupan Masyarakat di
Kampung Naga: Studi Pariwisata. GARUDA : Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
dan Filsafat, 1(1), 15-24.
Sudarwani, M. M., Putri, T., & Renatta, P. (2023). Blending Architecture with Nature: The
Concept of Sundanese Architecture and its Applications in Contemporary Architecture
in Kampung Naga, Indonesia. ISVS e-journal, 10(7).
Suharjanto, G. (2014). KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA MASA LALU
DAN MASA KINI. ComTech, 5(1), 505-521.
Wiradimadja, A. (2018). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
SEBAGAI KONSERVASI ALAM DALAM MENJAGA BUDAYA SUNDA. Jurnal
Sosiologi Pendidikan Humanis, 3(1), 1-8.

You might also like