You are on page 1of 33

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen

Berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis, dimana

terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien yang merupakan

konsumen jasa. Dan untuk itu, perlu diketahui apa yang dimaksud dengan konsumen.

Menurut UU No. 8/ Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2)

menyebutkan konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga

suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini,

konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen

tidak identik dengan pembeli.

Lain halnya pendapat dari Hondius (Pakar masalah Konsumen di Belanda)

menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai

pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen 13.

Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/Konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam

posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen). Setiap

orang yang menggunakan barang.

13
Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan
Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 18
Pengertian Konsumen di Amerika Serikat dan MEE, kata “Konsumen” yang berasal dari

consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan

lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli,

bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan

hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai 14.

Pengertian Yuridis formal ditemukan dalam pasal 1 angka (2) UUPK dinyatakan bahwa :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.”

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa

Konsumen adalah pihak yang memakai, membeli, menikmati, menggunakan barang dan /atau

jasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan rumah tangganya. Menurut pasal 1

angka (2) UUPK dikenal istilah Konsumen akhir dan Konsumen antara. Konsumen akhir adalah

penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah

Konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lainnya. Maka

dapat disimpulkan bahwa pengertian Konsumen dalam UUPK adalah Konsumen akhir

(selanjutnya disebut dengan Konsumen).

Pengertian Konsumen dalam pasal 1 angka (2) UUPK mengandung unsur-unsur sebagai

berikut 15:

a. Konsumen adalah setiap orang

Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk juga badan usaha (badan hukum atau

non badan hukum).

b. Konsumen sebagai pemakai

14
Agus Brotosusilo, makalah “Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum
di Indonesia”, (Jakarta: YLKI-USAID, 1998) hal. 46
15
Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 angka (2) UUPK hendak menegaskan bahwa UUPK menggunakan kata

“pemakai” untuk pengertian Konsumen sebagai Konsumen akhir (end user). Hal ini

disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang mengkonsumsi

barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

c. Barang dan/jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk diperdagangkan) dan

dipergunakan oleh Konsumen. Jasa yaitu layanan berupa pekerjaan atau prestasi yang

tersedia untuk digunakan oleh Konsumen.

d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat

Barang dan/jasa yang akan diperdagankan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat

tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya.

e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau

mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap

pemakaian suatu barang dan/jasa.

f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian Konsumen dalam UUPK dipertegas, yaitu hanya Konsumen akhir, sehingga

maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa

yang telah diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.

Az.Nasution juga mengklasifikasikan pengertian Konsumen menjadi tiga bagian 16:

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat

dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

16
AZ.Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999,
www.pemantauperadilan.com. diakses pada 26 Desember 2012
b. Konsumen antara yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa

untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor)

dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa

untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk

diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya

dalam UUPK.

B. Hak- Hak dan kewajiban Konsumen

Istilah “ perlindungan konsumen “ berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena

itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan

perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak.

Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang

diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sebagaimana disampaikan Munir Fuadi, kehadiran

suatu kaedah hukum (legal procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris)

dan ketegakan hukum (law enforcement) yang menetap adalah dambaan masyarakat Indonesia

sekarang, sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan memetik

hasilnya 17.

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh

Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. J.F Kennedy adalah Presiden yang pertama kali

mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US

Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi,

17
Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, Bandung , PT. Citra Aditya
Bakti,1994 hal. 184
konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi

mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.”

Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the

Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:

1. the right to safety (hak atas keamanan);

2. the right to choose (hak untuk memilih);

3. the right tobe informed (hak mendapatkan informasi);

4. the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya).

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak

Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak

konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan

kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat.

Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi

Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8,

19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of

Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk

memperoleh kebutuhan hidup, hak untukmemperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh

pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati

lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en

veiligheid);
2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische

belangen);

3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);

4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);

5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret

1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang

gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh

pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly).

Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for Consumers Protection.

Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa

(UN-Guidelines for Consumer Protection) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9

April 1985, pada Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa

kebutuhan-kebutuhan konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia

adalah :

1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan

konsumen;

2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen;

3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih sesuatu

yang sesuai dengan kebutuhannya;

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya ganti rugi bagi konsumen;


6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang sejenis dan

memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk mengemukakan

pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Resolusi ini lahir berkat

perjuangan panjang selama kurang lebih sepuluh tahun dari lembaga-lembaga konsumen

di seluruh dunia yang dipimpin oleh International Organization of Consumers Union

(IOCU).

Lahirnya gerakan perlindungan konsumen di Negara-negara maju, adalah bukti adanya

hak-hak konsumen dijunjung tinggi dan dihargai, demikian juga dalam perkembangannya di

Indonesia. Era globalisasi yang ditandai dengan membanjirnya aneka macam produk barang

dan/atau jasa di pasaran, telah menuntut pula dilindunginya pihak konsumen sebagai pemakai

produk tersebut 18.

Hak konsumen di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan

keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh

keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad

berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak

yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha 19. Falsafah yang disebut caveat emptor (let

the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya

18
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, 1988, hal. 191
19
Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hal. 3.
paham rasional di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang

merugikan konsumen ini telah ditinggalkan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan

merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak, penghargaan

orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat pendapatan dan

kepedulian konsumen itu sendiri. Dan secara khusus konsumen di negara Dunia Ketiga

(termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi rentan, maka arti penting dari hak

tersebut masih banyak diabaikan. Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan,

baik secara ekonomi maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memandang perlu menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha

untuk menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya

diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif dalam

menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas

keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk negeri

kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari para produsen

dalam negeri relatif masih kurang baik. Dan pasar internasional –dimana tingkat

kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produk-produk yang tidak

mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen. Dengan demikian, pada

dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen, justru

akan menguntungkan semua pihak. Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga

akan menjadi pendorong bagi kebijakankebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah,

sehingga menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu
penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke

luar negeri 20.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut

sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan

kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki

kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi

konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relative rendah, maka hal

ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini umumnya terletak pada

pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun mereka mengetahui adanya

ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen

golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya

belinya.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa;

Menurut Prof Hans. W. Micklitz 21, Informasi yang benar serta lengkap dari suatu

produk barang/ jasa harus disertakan oleh produsen. Hal ini sangat penting, karena

kelangkaan ataupun kekeliruan memberikan informasi akan memberikan gambaran yang

salah dan membahayakan bagi konsumen. Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam

menyampaikan informasi. Antara lain dapat dilakukan melalui: (a). disampaikan secara

langsung; (b). melalui media komunikasi, seperti iklan; (c). dicantumkan dalam label

barang atau jasa.

20
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Jakarta: Grasindo,
2000
21
RUUPK di Mata Pakar Jerman, Warta Konsumen Tahun XXIV no. 12 (Desember 1998)
Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara

langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja, tetapi

juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut kelebihan dan

kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan keselamatan

konsumen. Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan

aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar pada

konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh produsen/

pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya.

Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya

pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian informasi secara berlebihan.

Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering mendorong

konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen perlu selektif terhadap

informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan dengan kenyataan yang ada pada

produk tersebut. Tak kalah pentingnya, konsumen pun harus jeli dalam membedakan

mana rayuan, mana promosi dan mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang

bijak daripada mengalami kerugian di belakang hari.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

Menurut Shidarta, keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang

tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup

banyak terjadi. Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu,

konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha

bersangkutan.
Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan

menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang sama,

hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta keluhan

konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun pedagang. Hak

untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu kepada

produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu memanfaatkan hak untuk

didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa perlu, karena dari pengalaman

sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini belum dimanfaatkan. Contoh yang

paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau sewa beli, kontrak-

kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada bon pembelian yang

biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang, biasanya karena dipermasalahkan

secara terbuka. Kalaupun telah merasakan ketidakseimbangan ketentuan tersebut,

konsumen segan mengajukan usulan yang menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut

perlu mendapat perhatian, agar konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang

dirugikan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup

juga kewajiban untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan,

kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri,

sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen, sekaligus

menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk berlaku jujur dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa
merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya, antara

konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling membutuhkan.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Shidarta menjelaskan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan

dan ketrampilan, terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang

seorang konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil

guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif, seperti

membiasakan untuk membaca label. Dan sebaliknya, sangat diharapkan peran serta

pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen.

Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal,

tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat 22.

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen

untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan “ tidak harus

diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks

teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin

banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang

lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsure komersialisasi,

sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil

misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan

konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin,

pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

22
Shidarta, oop.cit. hal 24-25
Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka

membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen lainnya,

antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Contohnya, seorang pejabat tidak

perlu antri tiket seperti konsumen lainnya, karena pelaku usaha memberikan perlakuan

khusus. Begitu pula halnya ketika tiket kereta api hendak dibeli konsumen dengan harga

sebagaiman tarif, oleh si penjual dikatakan telah habis, sementara bagi konsumen yang

berani membelinya diatas tarif, maka tiket tersebut akan dengan mudahnya diperoleh.

Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak untuk

diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku

usaha 23.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya;

Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan

dasardasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan

hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual

dan konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku perekonomian,

keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat mendapat ganti rugi yang

memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak.

Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada

konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila

ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan mamupun tidak dalam kondisi

sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidaksengajaan dari pihak penjual yang
23
Shidarta, oop.cit. hal 27
mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan sekalipun telah yakin

terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh kasus ini telah melekat hak

konsumen untuk mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk

pengembalian pembayaran, mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk

kompensasi lainnya sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya, berupa :

1. Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang

diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi

konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas,

dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya.

Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non

fisik.

Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan

pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini

dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya

munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli

pada kelestarian lingkungan.


Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan

hasil hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung

dalam The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah

memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya,

khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis

pangsa pasar terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga

Ecolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas

sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat

ekolabeling yang disebut SNI 5000.

2. Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut

dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha

berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan

usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan

alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam

pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari

persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen

memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang

dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi

cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam

persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat

mencoba mendesak produsen saingannya yang lebih lemah dengan cara


membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan produsen

saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar

yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan oleh si produsen curang ini.

Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat

dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh

Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan

konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh

perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5

Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan

yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Termasuk

dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan harga,

pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical,

perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.

Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak

ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak

konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-

hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia,


dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini

menunjukkan pula bahwa hakhak konsumen bersifat universal.

Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam pasal 5

UUPK, yakni 24 :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan

barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan dihormati

oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen. Hak tersebut diimbangi

dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam

pelaksanaannya antara hak dan kewajiban tersebut adalah seimbang.

Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPK adalah :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan

nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak

baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;
24
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7, yakni :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat

dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha

pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha

yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan

perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya menurut Nurmanjito, larangan-
larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang

beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas

sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain sebagainya 25.70

Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan terciptanya

tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.71 Hal ini sebagai salah

satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut dibuat berupaya untuk

memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman, layak konsumsi bagi konsumen.

Dalam ketentuan pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang produksi barang dan/atau

jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa, antara lain :

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa

yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang

tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau

jasa tersebut;

25
Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan
Konsumen, Mandar Maju, Bandung:2000, hal. 18
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,

iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

"halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama

barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan

lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan

tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang

dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,

cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara

lengkap dan benar.


4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarangM

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari

peredaran.

Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan

representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang

diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang

berlaku/tidak melanggar hukum. Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih

berkaitan dengan larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana

penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau menyesatkan

konsumen. Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk mengingkari

untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian melakukan pengumuman di

media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat mengetahui hasil dari pengundian

berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 14 UUPK yang menyebutkan :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan caracara

penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis konsumen. Hal

ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam

Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

b. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;

c. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen

tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

d. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

a. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya

yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan

obat paten.

c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib

berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

d. Apoteker wajib memberikan informasi:

1. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.

2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan

iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu,

menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang
timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung

jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.

D. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum

yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen

Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sudah sangat sering terdengar.

Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua

cabang hukum itu identik 26.

M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun

demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu

seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining

weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted 27.

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu

sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada

masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua

bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa

kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum

konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan

barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan

26
Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen,Yogyakarta: Genta Press, 2007, hal. 81
27
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Jakarta: Liberty, 1996, hal. 5- 6.
konsumen diartikan sebagai : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan

atau jasa konsumen.

Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut :

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang

kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat

pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih

mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan

konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau

bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen

membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-

hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam

praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian,

hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan

peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen

yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk

seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum

perdata, pidana, administrasi Negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya

adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari

produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena
pengguna kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi

produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan

perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang

menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada

konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-

upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. Pasal

1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara

lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi

tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur

dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, undang-undang

perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke

dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 28 :

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan

terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan

28
Yusuf Sofie II, Op.cit, hal. 26.
perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai

berikut 29 :

1. keselamatan fisik;

2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen;

3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;

4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian;

6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi; pengaturan masalah-masalah

khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Sedangkan menurut Setiawan, perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang

bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah

keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian. Dalam pandangan ini secara tegas

dinyatakan bahwa upaya untuk melakukan perlindungan konsumen disebabkan adanya tindakan-

tindakan atau perbuatan para pelaku usaha dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang tidak

jujur sehingga dapat merugikan konsumen, praktek-praktek yang dijalankan salah satunya

mengunakan bahan kimia sebagai bahan campuran dalam pengawetan makanan, misalnya

formalin.

Menurut Adijaya Yusuf dan John W. Head, perlindungan konsumen adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dan

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen. Undang-

undang perlindungan konsumen mempunyai suatu misi yang besar yaitu untuk mewujudkan

29
Taufik Simatupang, Op.cit, hal. 11-13.
kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam

pembukaan UUD 1945.

Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat macam

kepentingan, yaitu sebagai berikut 30 :

1. Kepentingan fisik;

Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan

keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang dan/atau jasa.

Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa.

Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha.

2. Kepentingan sosial dan lingkungan;

Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan

konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumbersumber

ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan

hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang

mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila

konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman.

3. Kepentingan ekonomi;

Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang sebesar-

besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi dayabeli konsumen juga harus

dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata

tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang dihasilkan.

4. Kepentingan perlindungan hukum.

30
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2010, hal. 6.
Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to justice),

konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku usaha yang

merugikan.

E. Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen

Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan

ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu,

dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di

samping apoteker, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang

diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada

kemungkinan-kemungkinan bahwa apoteker melakukan kekeliruan karena kelalaian

Definisi perlindungan Konsumen terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Perlindungan Konsumen adalah segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

Konsumen.”. Rumusan pengertian perlindungan Konsumen yang terdapat dalam pasal tersebut,

cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang

merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, begitu pula

sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen.

Pengertian Perlindungan Konsumen di kemukakan oleh berbagai sarjana hukum salah

satunya Az. Nasution. Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen adalah bagian dari

hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung

sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara

berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam

pergaulan hidup. Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun

berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi Konsumen untuk suatu

produk barang atau jasa tertentu. Keadaan universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya

kelemahan, pada Konsumen sehingga Konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”.

Oleh karena itu secara mendasar Konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang

sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan Konsumen pada umumnya

dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal misalnya

dari segi ekonomi maupun pengetahuan mengingat produsen lah yang memperoduksi barang

sedangkan konsumen hanya membeli produk yang telah tersedia dipasaran, maka pembahasan

perlindungan Konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang serta

masalah perlindungan konsumen ini terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

Perlindugan terhadap Konsumen dipandang secara materiil maupun formiil makin terasa

sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan

motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang

dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai

kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka Konsumenlah yang pada

umumnya merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan

perlindungan yang memadai terhadap kepentingan Konsumen merupakan suatu hal yang penting

dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian

kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan Konsumen, lebih-lebih

menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang guna melindungi hak-hak konsumen
yang sering diabaikan produsen yang hanya memikirkan keuntungan semata dan tidak terlepas

untuk melindungi produsen yang jujur suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan

atas persaingan jujur, hal ini sangat penting tidak hanya bagi konsumen tetapi bagi produsen

sendiri diantara keduanya dapat memperoleh keuntungan dengan kesetaraan posisi antara

produsen dan konsumen, perlindungan terhadap konsumen sangat menjadi hal yang sangat

penting di berbagai negara bahkan negara maju misalnya Amerika Serikat yang tercatat sebagai

negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen. 31

Hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan

perlindungan Konsumen di Indonesia, yakni Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai

sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional

bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional

diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu

menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak

dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat

Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu

barang dan jasa.

UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi Konsumen dan tentunya perlindungan

Konsumen tersebut tidak pula merugikan Produsen, namun karena kedudukan konsumen yang

lemah maka Pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan melalui peraturan perundang-

undanganan yang berlaku, dan Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap

dilaksanakannya peraturan perundang-undangan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait.

31
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju,
2000, hal. 33.
F. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan pasal 3

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses

negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-

haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum

dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen

sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi

barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa

konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut 32 :

1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana

diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negative

penggunaan teknologi;

32
M. Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Genta Press 2007, hal. 81.
3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani

dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga

kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang

bersumber dari masyarakat konsumen.

Achmad Ali mengatakan bahwa “ masing-masing undang-undang memiliki tujuan

khusus 33 “. Hal itu tampak dalam pengaturan pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen yang juga mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen sekaligus

membedakan tujuan umum. Rumusan tujuan perlindungan konsumen huruf a dan e

mencerminkan tujuan hukum mendapatkan keadilan. Sedangkan rumusan huruf a, b, termasuk c

dan d serta huruf f mencerminkan tujuan hukum memberikan kemanfaatan, dan tujuan hukum

khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d.

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam

rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai

tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan

huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh

keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undangundang ini, tanpa mengabaikan

fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan

berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya

menentukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan

33
Achmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cetakan Kedua,
Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk, , (selanjutnya disebut Achmad Ali I), 2002, hal. 25.
oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan

adalah tiga unsur yang saling berhubungan 34.

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana seperti yang

telah dicita-citakan, hal ini harus diperkuat oleh kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang

terkandung dalam undang-undang perlindungan konsumen didukung oleh sarana dan fasilitas

yang menunjang.

34
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 87.

You might also like