You are on page 1of 32

PEMBENTUKAN AKHLAK

Makalah :
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Akhlak Tasawuf

Disusun Oleh :

1. Azalia Wardha Aziz (E03217010)


2. Khurin’in (E93217068)
3. Lia Anjia (E93217069)

Dosen Pengampu :
Zainal Mukhlis M. Fil .I
197405302005011005

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan, Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-


Nya atas segala kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT dalam
merampungkan Makalah “ Pembentukan Akhlak ” ini diharapkan dapat
memenuhi tugas matakuliah akhlak tasawuf. Di samping itu, diharapkan juga
dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan, khususnya pada ilmu itu sendiri
terhadap penulis baik pembaca maupun segala pihak.

Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan, oleh


karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah- mudahan
kritik dan saran tersebut bisa menambah kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis memohon hidayah dan


ma’unah-Nya, Karena Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.

Sidoarjo, 9 September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..…….ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………….……………………….1

BAB II ISI
A. Definisi Pembentukan Akhlak…………………………………………2
B. Metode Pembelajaran Akhlak…………………………………………7
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak………..17

BAB III PENUTUP……….…..………………………………………………...28

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhlak merupakan bentuk perilaku yang mencerminkan diri
seseorang. Perwujudannya dapat bersifat baik atau buruk. Perilaku yang
kita lakukan setiap harinya mempengaruhi pembentukan akhlak kita.
Bukan tidak mungkin akhlak baik dan buruk kita tercipta karena kebiasaan
yang kita lakukan setiap saat. Maka, perlunya diri memperhatikan setiap
tingkah laku kita dalam melakukan apapun untuk mencerminkan akhlak
yang baik dalam diri. Dalam Islam pun, berimannya seseorang juga
mempengaruhi manusia dalam berakhlak mulia.
Akhlak juga bukanlah hal yang paten atau tidak mungkin untuk
dirubah. Sehingga akhlak masih dapat dirubah dan dilatih. Adapun
pembentukan akhlak tidak hanya terpengaruh oleh faktor kebiasaan saja
melainkan banyak faktor yang mempengaruhi. Dalam makalah ini pun
akan membahas bagaimana pembentukan akhlak tersebut dan faktor apa
saja yang mempengaruhi pembentukan akhlak seseorang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi pembentukan akhlak?
2. Bagaimana metode pembentukan akhlak?
3. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi pembentukan akhlak.
2. Mengetahui mteode pembentukan akhlak.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pembentukan Akhlak


Pembentukan akhlak bisa diartikan sebagai suatu usaha yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh yang bertujuan membentuk
kepribadian seseorang dengan menggunakan sarana pendidikan dan
pembinaan yang terprogram dengan baik serta dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan konsisten.1
Adapun seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwasannya
pendidikan menjadi peran penting daripada pembentukan akhlak. Hal ini
sejalan dengan pendidikan Islam yang mana bertujuan membentuk
kepribadian muslim. Kepribadian muslim berciri tiga hal yang harus
dipenuhi, antara lain;
1. Kokoh pola rohaniyahnya.
2. Kokoh ilmu pengetahuannya.
3. Kokoh fisiknya.
Jika ketiga ciri tersebut terpenuhi, maka tercapailah kepribadian
Muslim yang baik. Ketiga hal tersebut sangatlah penting, karena akhlak
merupakan bingkai agama. Seperti ilmu pengetahuan yang dapat
menyuburkan rohani dan keimanan, fisik yang sehat dapat
memaksimalkan kerja organ tubuh dalam merealisasikan akhlak dan juga
psikis yang membawa pengaruh positif terhadap rohani.2 3

Akhlak bukanlah suatu hal yang terjadi dengan sendirinya


melainkan melalui usaha. Dengan adanya pembentukan akhlak bertujuan
3
untuk melatih dan mengarahkan akal, nafsu, fitrah dan gharizah, kata hati
dan intuisi.3
Adapun sebelumnya terdapat perdebatan antara apakah akhlak itu
bisa diubah atau dibentuk dan ataukah tidak dapat dibentuk?. Dalam hal
1
Hamzah Tualeka Zn.dkk, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013),
129.
2
Mansur ‘Ali Rajab, Ta’amulat Fi Falsafat Al-Akhlaq, (Mesir Baru: Maktabah Al-Anjalu,
1961), 78.
3
Hamzah Tualeka Zn.dkk, Akhlak Tasawuf, 130.

2
ini terdapat dua pendapat yang menjawab permasalahan tersebut, antara
lain;
1. Berpendapat bahwasannya akhlak tidak dapat berubah, namun harus
tetap dikontrol secara ketat sebelum kedewasaannya. Dengan
beralasan, bahwa akhlak itu beiringan dengan temperamen, sementara
temperamen tidak mengalami perubahan. Karena temperamen
merupakan warisan, sehingga dapat dimaklumi bahwa temperamen
tidak dapat berubah sebagaimana pola perilaku atau akhlak tersebut.
Lebih jelasnya menyatakan bahwasannya akhlak tidak bisa berubah,
berdasarkan sebab-sebab yang antara lain;
a. Akhlak merupakan instinct yang sudah dibawa sejak lahir, yang
mana akhlak merupakan pembawaan kecenderungan terhadap
sesuatu dalam diri seseorang berupa kata hati atau intuisi.4
b. Akhlak merupakan postur batin manusia begitu pula adanya postur
fisik manusia yang berpola sebelumnya (sejak lahir), dimana tidak
bisa berubah seperti halnya seseorang yang postur fisiknya pendek
ingin berubah memiliki postur fisik yang tinggi. Sehingga akan
sukar pula bagi seseorang yang postur batinnya buruk berubah
menjadi baik.
c. Sifat bagusnya akhlak adalah ketika seseorang dapat mengontrol
kenginan dan amarahnya. Sedangkan keinginan dan amarah tidak
dapat dihindarkan dari naluri manusia. Sehingga sebuah hal yang
sia-sia jika membahas masalah perwatakan.5
Adapun dalam pandangan Ibnu Thufail, jika seorang manusia
terlahir tanpa dipengaruhi oleh lingkungan. Maka sejak lahir,
seseorang manusia tersebut akan condong atau cenderung kepada
kebaikan. Penjelasannya diuraikan dalam bukunya yang berjudul “
Hay bin Yuqzhan ” yang mana terdapat seorang anak yang lahir
terdampar di sebuah pulau yang tidak berpenghuni, ialah Hay bin
Yuqzhan yang dibesarkan oleh seekor rusa pada umur tujuh tahun.

4
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015), 289.
5
Mansur ‘Ali Rajab, Ta’amulat Fi Falsafat Al-Akhlaq, 33.
Hay bin Yuqzhan memiliki pengetahuan tentang mana yang baik dan
buruk yang berasal dari potensi akal yang diberikan oleh Tuhan.
Semakin lama, akal dan pikirannya semakin berkembang dan dinamis.
Sehingga pada saat ia dewasa, ia bertemu dengan seorang ulama yang
banyak belajar tentang ilmu pengetahuan dan wahyu. Singkatnya
mereka melakukan diskusi dan perdebatan tentang Tuhan dan mana
yang baik dan buruk. Akhirnya didapati kesesuaian dan kesepakatan
bahwasannya Tuhan itu Allah, akal mengenal Allah dan akal mampu
mengetahui mana yang baik dan buruk yang mana diinformasikan
oleh wahyu. Maka, akal tidak akan menyalahi wahyu, wahyu tidak
akan berbenturan dengan akal jika akal tidak terpengaruh oleh
lingkungan.6
Sehingga dalam perspektif tersebut, akal akan mengesakan
Tuhannya dan menjalankan syariat Islam, mampu membedakan mana
yang baik dan buruk jika tidak terpengaruh oleh lingkungannya.
Karena semua manusia akan menjadi baik yang terbentuk oleh
fitrahnya yang dibawa sejak lahir dan akal akan menjadi potensi untuk
mengesakan Tuhannya dan mampu berkahkhlak mulia.7
2. Berpendapat bahwasannya akhlak dapat berubah. Jika dapat dirubah,
maka ilmu akhlak dapat bermanfaat. Akhlak memang merupakan hasil
dari pembinaan dan usaha yang sungguh-sungguh. Banyak dari ulama-
ulama Islam yang mendukung pendapat ini. Salah satunya adalah
Imam Al-Ghazali dengan menyatakan sebagai berikut;

‫ُل الّلِه‬ ‫ِل‬ ‫ِد‬ ‫ِع‬ ‫ِت‬


‫َلْو كَاَنْت ْاَالْخَالُق َالَتْق َبُل الَّتَغُّيَر َلَبَطَل اْلَو صَا يَا َو اْلَمَو ا َظ َو الَّتْأ ْيبَاُت َو مَاقَاُل َرُسْو‬
‫ِه‬
‫َعَلْي َو َس َّلَم َح ِّس ُنُو َآّخَال َقُك ْم‬

Artinya : “ Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima


perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan
pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis Nabi yang
mengatakan: “ perbaikilah akhlak kamu sekalian ”.8

6
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 290.
7
Ibid., 290.
8
Mansur ‘Ali Rajab, Ta’amulat Fi Falsafat Al-Akhlaq, 34.
5

Berhubungan dengan hal tersebut, terdapat pula alasan lain


bahwasannya akhlak perlu dibentuk, yaitu misi Nabi dan Rasul dari
Nabi Adam hingga Nabi Muhammad adalah membentuk dan
membina akhlak umat manusia. Seperti dalam wahyu, bahwasannya
perilaku Nabi dan Rasul menjadi model (Al-Qudwah) dalam semua
segi kehidupan untuk umat manusia, seperti dalam Q.S Al-Ahzab
(33);21;

‫ِل‬ ‫ِه‬ ‫ِف‬


‫َلَق ْد َك ا َن َلُك ْم ي َرُس و ِل ال َّل ُأْس َو ٌة َح َس َن ٌة َم ْن َك ا َن َيْر ُج و ال َّلَه َو اْل َيْو َم‬
‫ا آْل ِخ َر َو َذ َك َر ال َّلَه َك ِث ي ًر ا‬

Artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah ”.

Adapun diutusnya seorang Nabi dan Rasul, karena manusia


tidak mengetahui secara keseluruhan mana yang baik dan buruk.
Persoalan baik dan buruknya itu berdasarkan wahyu yang
disampaikan kepada Rasul. Akal manusia akan terbentur mengetahui
Tuhan dan lemah dalam mengetahui mana yang baik dan buruk.9
Bila dilihat pada masa ini, berbagai metode dan pendekatan
salah satunya dalam bidang pendidikan. Menunjukkan bahwasannya
akhlak memang perlu dibina. Sehingga dapat menghasilkan Muslim
yang berakhlak mulia. Seperti halnya seorang anak yang sejak kecil
dibina oleh orang tuanya mencerminkan akhlak yang baik terhadap
lingkungan sekitarnya, berbeda dengan seorang anak yang sejak kecil
tidak dibina maka akan sebaliknya berlaku buruk terhadap
lingkungannya.10 Sehingga akhlak adalah hasil usaha dalam mendidik,
melatih dan membiasakan dengan sungguh-sungguh.11

9
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 291.
10
Hamzah Tualeka Zn.dkk, Akhlak Tasawuf, 135.
11
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 292.
Adapun tentang akhlak yang harusnya dibina dan dibentuk,
terdapat dalam ilmu akhlak yang dirumuskan oleh para pakar akhlak,
Al-Tahawani (w. 11 H), penulis dari buku “ Kasysyaf Isthilahat Al-
Funun ” yang mendefiniskan bahwasannya ilmu akhlak yang
diistilahkan dengan ilmu-ilmu perilaku (‘Ulum Al-Suluk) sebagai
pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik.12
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat memilih dan memilih sesuai
pertimbangan pribadi. Yaitu pada pendapat yang pertama, bilamana akhlak
bersifat keturunan atau tidak dapat dirubah. Maka hal ini bertentangan
dengan agama yang mana dalam agama diperintahkan untuk memperbaiki
perilaku dan melakukan hal-hal yang baik. Walaupun tabiat atau perilaku
juga bisa berasal dari warisan pendahulunya. Namun, dalam hal tersebut
masih menjadi kemungkinan atau potensi yang belum sampai pada titik
sempurna.13 Apalagi jika dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang
mengiringi hal tersebut.
Berkenaan pula, bahwa akhlak itu perlu dibina, dididik dan
diarahkan. Karena tanpa hal tersebut materi tentang akhlak tidak dapat
bertemu dengan akal manusia. Sehingga Allah menyampaikan kepada
manusia melalui Rasul-Nya, bahwa akhlak yang baik itu ditentukan oleh
ridha dan kehendak Tuhan bukan dengan kehendak manusia. Manusia
ditakdirkan, lahir ke dunia dalam keadaan siap menerima apa adanya yang
kemudian Tuhan mengajarkan manusia bagaimana cara berakhlak kepada-
Nya, sesama dan lingkungannya.14

B. Metode Pembelajaran Akhlak


Metode secara bahasa dapat diartikan cara, metode, langkah-
langkah yang tepat dalam persiapan melakukan aktivitas. Jika, dikaitkan
dengan pendidikan, maka dapat diterapkan dalam kegiatan belajar
12
Al- Tahawani, Kasysyaf Isthilahat Al-Funun, (Mesir: Dar Al-Qalam), 44.
13
Hamzah Tualeka Zn.dkk, Akhlak Tasawuf, 135.
14
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 294.
mengajar yang bertujuan untuk mengembangkan sikap mental dan
kepribadian suatu individu. Berikut merupakan metode pembelajaran atau
pembentukan akhlak yang biasa digunakan oleh Nabi Muhammad SAW,
para sahabat dan ulama, begitu pula tokoh pendidikan, antara lain;15
1. Metode Peniruan (Imitation)
Adapun contoh daripada metode ini yaitu, peserta didik yang
meniru perilaku ataupun ucapan terhadap sesuatu. Dengan metode ini
individu dapat mempelajari akhlak, adat-istiadat, etika dan juga moral.
Metode ini juga digunakan oleh para sahabat dalam belajar ibadah dan
manasik haji dengan meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
yang ada dalam berbagai riwayat hadis. Belajar ibadah seperti yang
sudah disebutkan tadi dalam arti shalat, yaitu dengan metode
demonstrasi yaitu dengan dilakukan Nabi lalu para sahabat meniru apa
yang didemokan Nabi.
Bahkan Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat untuk
meniru dan mengambil teladan atau contoh dari Nabi SAW, seperti
dalam Q.S Al- Ahzab (33);21;

‫ِخ‬ ‫َّل‬ ‫ِل‬ ‫ِل َّل ِه‬ ‫ِف‬


‫َقْد َك ا َن َلُك ْم ي َر ُس و ال ُأْس َو ٌة َح َس َن ٌة َم ْن َك ا َن َيْر ُج و ال َه َو ا ْل َيْو َم ا آْل َر َو َذ َك َر‬
‫ال َّل َه َك ِث ي ًر ا‬
Artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah ”.

Bagi seorang pendidik sebaiknya mengajar ataupun mendidik


dengan metode yang diterapkan oleh Nabi SAW. Dalam segi psikologi
sendiri, manusia memulai belajar tentang perilaku dan kebiasaan pada
awal kehidupannya dengan mulai meniru kedua orang tuanya. Seperti,
memulai belajar bahasa dengan meniru kedua orang tua dalam
mengucapkan sesuatu yang sering didengar. Secara biologis juga, awal
mula manusia meniru kedua orang tuanya, yaitu saat menggerakan
kedua kakinya.

15
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 305-339.
Bahkan di dalam Al-Qur’an terdapat tentang bagaimana
manusia belajar meniru. Seperti kisah Qabil yang membunuh
saudaranya Habil, yang mana Qabil sendiri tidak mengetahui
bagaimana cara mengurus mayat saudaranya tersebut. Lalu, Allah
mengirim burung gagak yang sedang menggali tanah untuk mengubur
gagak yang telah mati. Kisah ini terdapat dalam Q.S Al-Maidah (5);31;

‫َفَبَع َث ال َّل ُه ُغ َر ا ًبا َيْبَح ُث ِف ي اَأْلْر ِض ِلُيِر َيُه َك ْيَف ُيَو ا ِر ي َس ْو َء َة َأِخ ي ِه ۚ َقا َل َيا َو ْيَل َت ا‬
‫ِدِم‬ ‫ِم‬ ‫ِخ‬ ‫ِر‬ ‫ِب‬ ‫ِم‬
‫َأَع َج ْز ُت َأْن َأُك و َن ْث َل َٰه َذ ا ا ْل ُغَر ا َفُأَو ا َي َس ْو َء َة َأ ي ۖ َفَأْص َبَح َن الَّنا ي َن‬

Artinya: “ Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak


menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya
menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil:
"Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu
jadilah dia seorang diantara orang-orang yang
menyesal ”.
2. Metode Coba dan Salah (Trial and Error)
Individu dapat belajar dari pengalamannya sendiri, yang jika
mengalami kesalahahan akan berusaha diperbaiki. Adapun Nabi SAW
melakukan mtode ini yang masih menyangka atau mengira, jika salah
jangan diambil. Sedangkan jika benar dikerjakan maka dapat diambil
kesimpulan. Uji coba atau mencoba bisa salah dan bisa pula benar.
Berdasarkan pernyataan Nabi, jika suatu hal tersebut memberi manfaat
maka lakukanlah. Seperti pernyataan Nabi “ kalian lebih mengetahui
urusan dunia kalian ”, hal ini menunjukkan bahwa proses belajar
dengan metode ini mencerminkan individu yang belajar dalam mencari
jawaban terhadap berbagai situasi dan kondisi yang dihadapinya. Hal
tersebut, juga mendorong individu mencari solusi dalam menyikapi
berbagai situasi dan kondisi.
Mengalami berbagai kesalahan, lalu dicoba kembali maka akan
menemukan kebenaran yang hakiki. Metode ini sangat cocok dan
efektif untuk mencari kebenaran yang hakiki.
3. Metode Kondisional (Conditioning)
Metode ini akan terjadi jika adanya motif ataupun rasa dalam
diri. Dengan adanya hal tersebut, maka individu akan mencoba mencari
tahu atau jawaban untuk dilekatkan degan motif netral. Hal tersebut
terjadi secara kontinu, sehingga dapat diyakini bahwa motif netral
sebagai pendorong reaksi yang sama yang bertujuan untuk
menghilangkan motif rasa yang memunculkan reaksi awal. Metode ini
pernah digunakan oleh psikolog asal Rusia yaitu Ivan Pavlov. Psikolog
tersebut melakukan eksperiman dengan membunyikan lonceng
bersamaan dengan memberi makan anjing secara terus menerus. Hal
tersebut, menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liurnya saat
lonceng dibunyikan walaupun tidak diberi makan. Hal ini menunjukan
perubahan tingkah laku daripada anjing tersebut, yaitu perubahan
dimana anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya saat lonceng
berbunyi.
Metode kondisional ini juga sering digabungkan dengan
metode muzakarah, yaitu metode bertanya dan belajar mengulang.
Karena mengulang berguna untuk memperkuat ketajaman otak dan
terbiasa berpikir secara berulang-ulang.

4. Metode Pemecahan Masalah


Berdasarkan sisi psikologis, manusia belajar dengan metode
berpikir. Fase dimana seseorang berpikir untuk memecahkan masalah,
hal tersebut hakikatnya sedang menggunakan metode coba salah secara
‘aqli. Memunculkan berbagai solusi dalam otak untuk memecahkan
suatu masalah. Adapun dari solusi tersebut dipilih mana yang tepat dan
tidak tepat. Setiap individu memiliki proses intelektualnya sendiri
dalam memecahkan persoalan tertentu, meskipun terkadang ada
pemecahan masalah yang ternyata salah. Namun, individu tersebut tetap
berusaha mengoptimalkan proses intelektualnya atau berpikirnya dalam
mencari pemecahan masalah atau solusi yang tepat dan benar.
Metode pemecahan masalah mulai berkembang yang disebut
dengan metode “ Problem Solving Method ” yang merupakan metode
yang berupaya menyuguhkan pelajaran yang bertujuan menorong
peserta didik untuk mencari dan memecahkan masalah, yang terlebih
dahulu diberi suatu masalah untuk dipecahkan oleh peserta didik.
Berikutnya dengan merumuskan persoalan bersama-sama antara
pendidik dan peserta didik dengan menentukan segala kemungkinan
yang ada dalam memecahkan masalah dan mencari solusinya.
Manfaat metode ini yaitu, dapat melatih peserta didik untuk
menghadapi berbagai problema, juga dapat membentuk peserta didik
yang aktif, inisiatif, percaya diri dan tanggung jawab. Jika diterapkan
pada materi akhlak, maka metode ini lebih mengarah kepada kasus
pelanggaran moral dan berbagai persoalann terhadap semua tingkah
laku manusia.
5. Metode Targhib wa Tarhib
Targhib dan Tarhib yaitu metode mengajar untuk memberikan
materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan
dan sanski terhadap keburukan, yang bertujuan agar peserta didik
melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Targhib adalah janji
terhadap kesenangan, seperti pahala yang akan diberikan. Tarhib adalah
sanksi karena kesalahan yang dilakukan.
6. Metode Ceramah
Metode ini merupakan metode cara mengajar atau penyampaian
informasi dengan menggunakan penuturan kata-kata oleh pendidik
11
terhadap peserta didiknya. Metode ini biasa disebut dengan khutbah
atau pidato. Cara ini merupakan metode yang pertama dan tertua dalam
suatu pengajaran yang akan disampaikan. Sebagian besar semua metode
pendidikan, terlebih dahulu menggunakan metode ceramah.
Mengapa demikian?, karena dalam kegiatan mengajar terlebih
dahulu menyampaikan salam dan menanyakan kabar peserta didik
sudah merupakan metode ceramah. Dalam menggunakan metode ini,
perlu memerhatikan tingkatan peserta didik. Memperhatikan dalam arti,
menyesuaikan penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh peserta
didik.
7. Metode Tanya Jawab
Metode ini merupakan metode mengajar seorang pendidik yang
memberikan pertanyaan kepada peserta didik mengeni materi yang akan
diterangkan atau yang akan dibahas. Diharapkan peserta didik mampu
menjawab dengan baik dan benar terhadap pertanyaan yang diberikan
oleh pendidik. Biasanya metode ini dilakukan pada saat pembelajaran
masih berlangsung atau di akhir pembelajaran sebagai evaluasi.
Metode ini juga digunakan oleh Nabi SAW, seperti salah satu
hadis berikut ini;

‫ ل قا عنه هلل ا ضي ر س عبا بن إ عن‬: ‫هلل ا صلى هلل ا ل سو ر ل قا‬


‫ سلم و عليه‬: ‫ين لذ ا ل فقا ؟ هم من فقيل ء ا عد أ هلل ا لنعم ن إ‬
. ‫فظله من هلل ا هم تا ا أ ما على س لنا ا ن و حيسد‬
( ‫) ين ا لطرب ا ه ا و ر‬

Artinya: “ Hadis ini diterima dari Ibnu Abbas RA berkata,


Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya setiap
nikmat Allah itu mempunyai musuh. Para Sahabat
bertanya: Siapakah mereka itu? Rasulullah SAW
menjawab: Mereka ialah orang yang dengki terhadap
orang lain yang dianugerahi Allah nikmat yang lebih ”.
(HR. Al-Thabrani).

Dalam hadis tersebut, metode tanya jawab juga diterapkan oleh


Nabi SAW mengenai nikmat yang diperoleh si A, namun si B hasad
dengki terhadap nikmat yang diperoleh oleh si A. Hal tersebut
merupakan hal yang ditanyakan Nabi terhadap para sahabat mengenai
musuh seseorang yang diberi nikmat banyak oleh Allah SWT.
Sehingga, sebelumnya Nabi memberikan materi pelajaran terlebih
dahulu.
Lalu, para sahabat menanyakan dan dijawab oleh Nabi SAW.
Hal tersebut lah yang disebut sebagai tanya jawab. Tanya jawab bisa
saja dilakukam oleh peserta didik, dengan pertanyaan ataupun
menjawab pertanyaan itu sendiri oleh peserta didik dan dapat dilakukan
oleh pendidikan dengan mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh
peserta didik.
8. Metode Diskusi
Metode ini merupakan metode atau cara penyampaian dan
penyajian bahan mata pelajaran. Pendidik memberikan kesempatan
untuk peserta didik membahas dan menganalisanya dengan cepat,
mengumpulkan pendapat, dapat menyimpulkan dan menyusun berbagai
alternatif atau cara dalam menyelesaikan suatu topik masalah atau
pelajaran.
Metode ini juga dikenal dengan metode hiwar atau dialog baik
antara perorangan ataupun dalam kelompok besar dan kecil. Metode
diskusi sendiri hampir mirip dengan metode tanya jawab. Bila metode
diskusi ini dikaitkan dengan materi akhlak, maka dalam membahas
materi tersebut diperlukan adanya pendidik dalam sebuah diskusi
sebagai narasumber agar dalam membahasnya atau berdiskusi tuntas
dan jelas.
9. Metode Demonstrasi
Metode ini merupakan cara mengajar yang dilakukan dengan
mempertunjukan atau mencotohkan bagaimana cara pelaksanaannya
dengan tepat dan benar. Contohnya, seperti mencontohkan
pembelajaran shalat dan manasik haji. Maka, bila dikaitkan dengan
materi atau pembelajaran akhlak yaitu seperti orang tua mencontohkan 13
bagaimana cara tidur Nabi SAW, bagaimana etika makan dan minum
Nabi SAW dan bagaimana cara Nabi SAW berdoa.
Bila tidak dicontohkan, maka sulit untuk dapat dipahami dan
diterapkan. Metode ini juga digunakan oleh Nabi SAW.
10. Metode Amtsal
Metode ini banyak dalam Al-Qur’an dan sunnah. Metode ini
merupakan metode cara mengajar untuk menyampaikan materi
pembelajaran dengan membuat contoh atau perumpamaan. Sehingga,
lebih mudah dipahami dan dapat dengan mudah diterima oleh peserta
didik. Adapun berikut merupakan salah satu contoh metode amtsal
dalam Q.S Al-Baqarah (2);264;

‫َلُه َم ا ُيْنِف ُق ي َّلِذ َك ا ٰى َذ َأْل اَو ْلَم ِّن ِبا ِتُك ْم َقا َص َد ا ُتْبِط ُلو اَل ا َم ُنو آ يَن ِذ ا ُّيَه ا َأ َيا‬
‫ٍن ا َص ْف َك َثِل َفَمَثُلُه ۖ ِخ ِر آْل ا ِم ْلَيْو ا لَّلِه ا ِب ِم ُيْؤ اَل ِس لَّنا ا َئا ِر‬
‫َء‬ ‫َو‬ ‫ُن‬ ‫َو‬ ‫َو َم‬
‫ا َفَأ ا َل ِه‬ ‫ِب‬ ‫ِد‬ ‫ٍء‬
‫َّمِما َش ْي َعَلٰى َن و ُر َيْق اَل ۖ ا َص ْلًد َك ُه َفَتَر ٌل ا َو َبُه َص ٌب ُتَر َع ْي‬
‫يَن ِفِر ْلَك ا ا َم ْلَق ْو ا ي َيْه ِد اَل لَّلُه ا َو ۗ ا َك َس ُبو‬

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti
orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu
licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa
yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir ”.

Metode amtsal dalam Al-Qur’an tersebut, memisalkan bahwa


orang-orang yang beriman tidak boleh menghilangkan pahalanya dalam
bersedekah, dengan hanya menyebut-nyebut dan menyakiti hati si
penerima sedekah. Disebabkan riya’ yang membuat ia tidak beriman
kepada Allah SWT dan tidak beriman kepada hari kiamat. Hilangnya
pahala tidak bisa diketahui. Maka, Bagaimana hilangnya suatu pahala?.
Hilangnya suatu pahala dijelaskan dengan perumpamaan batu
licin yang bertanah, yang kemudian ditimpai hujan lebat, maka batu itu
menjadi bersih dan tanah yang di atasnya tidak berbekas sama sekali.
Sehingga, maksud dari perumpamaan itu, pahala akan terhapus atau
hilang bila menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan dan
bercampur riya’.
Maka, pahala itu akan menghilang bagaikan tanah di atas batu
licin yang ditimpa hujan lebat. Hilangnya pahala mungkin tidak akan
dapat dipahami bila tanpa ada perumpaan seperti itu.
11. Metode Drill (Latihan)
Metode ini sama dengan metode “ Riyadhah ”. Merupakan
metode latihan yang bertujuan untuk mendapatkan ketangkasan,
keterampilan terhadap apa yang telah dipelajari, sehingga setelah itu
dapat langsung dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Metode ini digunakan untuk melatih diri. Sebelum melaksanakan
metode ini, lebih baik bila peserta didik diberi pengetahuan mendalam
secara teoritis mengenai apa yang akan dilatih dan kompetensi apa yang
harus dikuasainya.
Dalam metode ini, peserta didik perlu dilatih sesuai dengan
minat dan bakatnya, tidak boleh dipaksa. Metode ini sesuai dengan
seluruh materi pelajaran, namun lebih dikhususkan kepada
pelatihannya. Misalnya, dalam memelajari Al-Qur’an harus banyak
melakukan latihan lisan dalam menyebutkan fashakhah, tajwid dan
lain-lain. Bila tidak dilatih, maka akan sulit membetulkan bacaannya,
diiringi dengan pembiasan dan berulang-ulang.
12. Metode Uswah dan Qudwah
Metode uswah juga disebut dengan metode qudwah, yang
mana pendidik mempersiapkan materi yang berkaitan dengan tingkah
laku seseorang. Seperti metode uswah Nabi Muhammad SAW yang
dapat dipadukan dengan metode lainnya, seperti metode kisah dan
peniruan. Banyak buku yang memuat materi tentang akhlak Nabi dan
pesan-pesan uswah, seperti dalam buku-buku “ Sirah Al-Nabawiyah ”.
Adapun prinsip dasar mengenai metode uswah ada dalam Q.S 15
Al-Ahzab (33);21;

‫َو ِخ َر آْل ا َم ْلَيْو ا َو َّلَه ا ُج و َيْر َن َك ا ِلَمْن َح َس َنٌة ٌة ْس َو ُأ َّلِه ا ِل ُس و َر يِف َلُك ْم َن َك ا َلَقْد‬
‫ِث َّل‬
‫ا َك ًري َه ا َذَك َر‬
Artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah ”.

Para sahabat selalu menjadikan Nabi sebagai suri tauladan.


Dari Nabi SAW, para sahabat banyak belajar bagaimana berakidah,
beribadah, dan berakhlak baik. Karena dalam diri Nabi SAW baik dan
wajib bagi umatnya untuk mencontoh dan ditaati.
13. Metode Observasi
Observasi tidak hanya metode belajar, melainkan juga prinsip
belajar. Hasil ekspresi menunjukkan pentingnya motivasi dalam proses
belajar-mengajar. Bila ada motivasi, maka belajar akan terjadi secara
cepat dan efektif. Adanya motivasi tersebut dapat didapatkan melalui
janji dan ancaman atau menggunakan kisah, sehingga dapat
memunculkan motivasi untuk dalam mengikuti dan berpedoman.
Motivasi ini juga digunakan oleh semua Rasul dalam
bagaimana cara umat dalam beriman kepada Allah SWT, beramal
sholeh, dan bagaimana penggunaan janji dan ancaman. Berkaitan
dengan penggunaan janji dan ancaman, seperti bagi yang beriman dan
beramal sholeh balasannya pahala dan surga. Sedangkan, yang kufur
balasannya pembalasan dan ancaman di hari kiamat dan neraka.
Ancaman seperti itu biasanya diberikan oleh Rasul, ketika
umatnya menentang Rasulnya. Seperti kisah umat Nabi Luth, Nabi
Shaleh, Nabi Musa dan lain-lain. Pelaksanaan metode observasi yaitu
dengan melihat, mencatat, memikirkan dan menelaah serta
menganalisis berbagai kejadian baik di masa lampau ataupun masa
sekarang.
Adapun pelaksanaannya seperti, mengunjungi lembaga 16
pemasyarakatan dan mengobservasi semua kejadian yang terjadi pada
lembaga tersebut.
14. Metode Pergaulan
Metode ini sangat diperlukan dalam menumbuhkembangkan
akhlak seseorang melalui pergaulan antarsesama. Bila seseorang
bergaul dengan orang yang tidak baik budi pekertinya, maka seseorang
tersebut akan terpengaruh oleh perilaku kejahatan yang dilakukan
temannya. Hal ini, banyak terjadi pada remaja yang awalnya
berperilaku baik.
Namun, setelah berteman dengan seseorang yang berperangai
buruk, maka terpengaruh oleh temannya tersebut. Banyaknya remaja
yang berperilaku menyimpang dan tenggelam ke dalam perilaku buruk
seperti tindakan kriminal yang sering mereka melakukannya karena
terpengaruh oleh temannya yang berperangai buruk. Sehingga, orang
tua dan guru perlu memerhatikan remaja dalam memilih teman.
Seperti dalam hadis Rasulullah SAW mengenai pengaruh
teman, sebagai berikut;

‫ ل قا عنه هلل ا ضي ر س عبا بن إ عن‬: ‫هلل ا صلى هلل ا ل سو ر ل قا‬


‫ سلم و عليه‬: ‫فخ نا و ملسك ا جلليس و حل لصا ا جلليس ا مثل منا إ‬
‫ لكري ا‬. ‫ يك حيذ ن أ ما إ ملسك ا مل فحا‬، ‫ منه ع تبتا ن أ ما إ و‬، ‫ما إ و‬
‫ طيبة حيا ر منه حتد ن أ‬. ‫ بك ثيا ق حير ن أ ما إ لكري ا فخ نا و‬، ‫إ و‬
( ‫ ) د و ا د بو أ و ن لشيخا ا ه ا و ر‬. ‫خبيثة حيا ر فيه حتد ن أ ما‬

Artinya: “ Hadis ini diterima dari Abu Musa RA berkata:


Rasulullah SAW bersabda: Perumpamaan seorang
teman yang sholeh dan teman yang buruk itu seperti
penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual
minyak wangi bisa saja memberikan minyaknya
kepadamu atau kamu menjualnya atau juga kamu
bisa mencium bau wanginya. Adapun orang yang
pandai besi, kalau tidak membakar pakaianmu, maka
kamu akan mencium bau yang tidak sedap ”. (H.R Al-
Syaikháni dan Abu Dáwud).

Pengaruh pergaulan atau pertemenan, mempengaruhi


pembentukan dan perubahan tingkah laku seseorang. Bila berteman
dengan orang yang baik, maka akan mendapatkan manfaat, untuk
dirinya maupun bagi temannya. Seperti berteman dengan penjual
minyak wangi, tidak hanya wangi bagi penjualnya tetapi juga terhadap
orang lain.
Sedangkan, berteman dengan orang yang perilakunya buruk,
maka seseorang tersebut akan berperilaku buruk seperti temannya.
Seperti misalnya, jika temannya seorang pencuri maka teman yang lain
setidaknya menjadi saksi atau melindungi temannya yang pencuri
tersebut. Maka, sebelum berteman ada baiknya mengetahui karakternya
terlebih dahulu.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak


1. Insting
Definisi insting atau biasa disebut naluri menurut James
merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang
menyampaikan pada tujuan dengan terpikir lebih dahulu kearah tujuan
itu dan tiada dengan didahului latihan perbuatan itu.16 Dengan kata lain,
insting adalah pola perilaku yang tidak dipelajari.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap kelakuan
manusia, lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri. Naluri
merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak ia lahir, jadi hal tersebut
merupakan suatu pembawaan asli dari manusia. 17 Dalam ilmu akhlak,
pemahaman tentang insting sangatlah penting karena sangat perlu untuk
menyelidiki latar belakang kejiwaan yang mempengaruhi dan
mendorong suatu perbuatan tersebut.
Berbagai macam insting yang ada pada manusia dan menjadi
pendorong tingkah lakunya sebagaimana diterangkan oleh ahli–ahli
psikolog, diantaranya yaitu;18
1. Nutritive Instinct (Naluri Biakan) 18

Bahwa begitu manusia lahir telah membawa suatu hasrat


makan, tanpa didorong oleh orang lain. Buktinya ketika seorang bayi
lahir, begitu mencari tetek ibunya, pada waktu itu juga ia dapat
mengisap air susu tanpa diajari terlebih dahulu.
2. Seksual Instinct (Naluri berjodoh)

16
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), 17.
17
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UINSA Press, 2014), 54.
18
Ibid., 55.
Laki-laki menginginkan wanita dan wanita ingin berjodoh
dengan laki-laki. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Q.S
Ali-Imran (3);14;

‫ُز ِّي ِللَّنا ِس ُّب ال َّش ا ِت ِم الِّن ا ِء اْل ِن ي اْل َق ا ِط ي ِر اْل َق ْن َط ِة ِم‬
‫َن‬ ‫ُم َر‬ ‫َن َس َو َب َن َو َن‬ ‫َه َو‬ ‫ُح‬ ‫َن‬
‫اَأْل ا ِم اْل ِث‬ ‫ِة‬ ‫ِة‬ ‫ِف‬
‫ۗ ال َّذ َه ِب َو اْل َّض َو اْل َخ ْي ِل اْل ُم َس َّو َم َو ْنَع َو َح ْر‬

Artinya: “ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia


kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang ”. (Q.S. Ali-Imran (3);14).
3. Paternal Instinct (Naluri Keibu bapakan)
Tabiat kecintaan orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya
kecintaan anak terhadap orang tuanya. Jika seorang ibu tahan
menderita dan mengasuh bayinya, hal itu didorong oleh naluri
tersebut.
4. Combative Instinct (Naluri berjuang)
Tabiat manusia yang cenderung mempertahankan diri dari
gangguan dan tantangan. Jika seseorang diserang oleh musuhnya,
maka dia akan membela diri.
5. Naluri Ber-Tuhan
Tabiat manusia mencari dan merindukan penciptanya yang
mengatur dan memberikan rahmat kepadanya. Naluri ini disalurkan
dalam hidup beragama.
Selain dari kelima insting tersebut, masih banyak lagi insting
yang sering dikemukakan oleh para ahli psikolog, misalnya insting
ingin tahu dan memberi tahu, insting takut, insting suka bergaul, insting 19
memiliki, insting meniru, dan lain-lain. Dengan potensi naluri itulah
manusia dapat memproduk aneka corak perilaku yang sesuai pula
dengan corak instingnya. Perilaku sesorang akan mencerminkan
akhlaknya, jika perilakunya baik, maka akhlaknya juga baik.
Naluri juga bagaikan pedang bermata dua, ia dapat merusak diri
dan juga dapat mendatangkan manfaat, tergantung bagaimana cara
pengaplikasiannya. Dalam hal ini Islam mengajarkan agar naluri tidak
dirusak dengan menganiaya diri sendiri, melainkan perlu disalurkan
secara wajar sesuai dengan tuntunan syariat.19 Misalnya dalam hal
merusak naluri dapat digambarkan pada naluri makan, jika
diperturutkan begitu saja dengan memakan apa saja tanpa melihat halal
haramnya dan cara mendapatkannya itu sesuai dengan keinginan
nafsunya, maka tentu akan merusak diri sendiri. Dengan ini Islam
mengajarkan agar naluri ini disalurkan dengan memakan serta
meminum barang yang halal, baik, suci dan tidak memperturutkan hawa
nafsu.
2. Keturunan
Dari undang-undang alam menyatakan bahwa cabang itu
menyerupai pokoknya dan pokok itu menghasilkan apa yang
menyerupainya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa anak-anak
menyerupai pokok-pokok mereka dan membawa sifat-sifat mereka,
walaupun pokok-pokok itu sudah jauh. Dan perpindahan beberapa
sifat dari pokok-pokok kepada cabang-cabang inilah yang dinamakan
dengan “ keturunan ”.20
Banyak orang memberikan definisi mengenai keturunan,
antara lain: ada yang mengatakan turunan adalah kekuatan yang
menjadikan anak menurut gambaran orang tua. Ada yang mengatakan
turunan adalah persamaan antara cabang dan pokok. Ada pula yang
mengatakan turunan adalah yang terbelakang mempunyai persediaan
persamaan dengan yang terdahulu.21
Manusia merupakan himpunan dari bermacam-macam sifat,
baik sifat yang ada pada jasmaniah maupun rohaniah, akalnya,
akhlaknya, dan lain sebagainya. Maka dari itu, seorang anak bisa
menyerupai orang tuanya atau mungkin juga tidak. pasti ada
perbedaan antara anak dan orangtuanya, akan tetapi perbedaan itu
biasanya hanya mengenai bagian-bagian tertentu saja, sedangkan

19
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, 56.
20
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), 35.
21
Rahmad Djatnika, Sistem Etika Islami, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), 76.
mengenai keseluruhannya mereka kebanyakan ada persamaannya.
Adapaun yang diturunkan orang tua kepada anaknya itu bukanlah sifat
yang dimiliki yang telah tumbuh dengan matang karena pengaruh
lingkungan, adat, atau pendidikan melainkan sifat-sifat bawaan sejak
lahir.
Pada garis besarnya sifat-sifat yang diturunkan ada dua
macam; 22
1. Sifat-Sifat Jasmaniah
Yaitu kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf yang
dimiliki orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Orang
tua yang kekar ototnya, kemungkinan akan mewariskan kekekaran
itu pada anak cucunya, misalnya seperti orang-orang Negro. Dan
orang tua yang lemah dan sakit fisiknya, kemungkinan akan
mewariskan pula kelemahan dan penyakit itu pada anak cucunya.
2. Sifat Rohaniah
Yaitu lemah atau kuatnya suatu naluri yang dapat diturunkan
oleh orang tua kepada anak cucunya, yang nantinya akan
mempengaruhi tingkah laku anak cucunya.
3. Lingkungan
Pembentukan akhlaq manusia juga sangat ditentukan oleh
faktor lingkungan. Lingkungan sendiri merupakan segala sesuatu yang
mengelilingi individu sepanjang hidupnya. Baik itu lingkungan fisik
seperti rumahnya, orang tuanya, sekolahnya, teman-temannya, dan
sebagainya, maupun lingkungan psikologis seperti aspirasinya, cita-
citanya, masalah-masalah yang dihadapinya, dan sebagainya. 23 Oleh
karena itu, seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, secara
langsung maupun tidak langsung akan dapat terbentuk nama baik bagi
dirinya. Sebaliknya, seseorang yang hidup dalam lingkungan yang
buruk, akan terbawa nama buruk bagi dirinya walaupun sebenarnya dia
sendiri tidak melakukan suatu keburukan. Hal ini juga akan
mempengaruhi cara kehidupan orang tersebut.
22
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, 57.
23
Ibid., 58.
Dalam kehidupannya, manusia pasti akan selalu berhubungan
dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya manusia perlu untuk bergaul.
Dalam pergaulan ini timbullah interaksi yang saling mempengaruhi
dalam pikiran, sifat, dan tingkah laku. Lingkungan pergaulan ini dibagi
atas beberapa kategori, yakni;24
 Lingkungan dalam rumah tangga.
 Lingkungan sekolah.
 Lingkungan pekerjaan.
 Lingkungan organisasi.
 Lingkungan kehidupan ekonomi.
 Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT juga telah menjelaskan;

‫ُقْل ُك ٌّل َيْع َم ُل َعَلى َش اِكَلِتِه َفَر ُّبُك ْم َأْع َلُم ِبَمْن ُه َو َأْهَد ى َس ِبياًل‬

Artinya : “ Katakanlah : “Tiap-tiap orang berbuat


menurutkeadaannya masing-masing”. Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya ”. (Q.S. Al-Isra’ (17);84).
4. Kebiasaan
Kebiasaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara
terus menerus sehingga menjadi lebih mudah dikerjakan.
Kebanyakan perbuatan manusia sendiri itu merupakan suatu
22
kebiasaan, seperti berjalan, cara berpakaian, berbicara, dan lainnya.
Suatu kebiasaan, baik atau buruk itu terbentuk oleh dua faktor,
kesukaan hati terhadap pekerjaan itu dan mengulang-ulang secara
secukupnya.25
Segala sesuatu yang dilakukan dan diperbuat oleh manusia
berhubungan dekat dengan urat saraf, yaitu otak. Tiap-tiap
perbuatan dan fikiran memberi bekas kepada saraf dan merubahnya
dengan bentuk tertentu, sehingga apabila dia telah melakukan suatu

24
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, 59.
25
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 21.
perbuatan yang sebelumnya pernah dilakukannya itu menjadi lebih
mudah.26
Ahli ilmu jiwa menetapkan bahwasannya fikiran itu
mendahului perbuatan, oleh karena itu suatu perbuatan terjadi
karena sebelumya terjadi pemikiran. Apabila kita mengerjakan atau
menghindari suatu perbuatan, pada dasarnya itu dilakukan ketika
ada fikiran tentang itu.
Menurut peraturan jiwa manusia fikiran itu dikemukakan
pada otak dan diterimanya dalam waktu yang lama, dan
memberikan bekas sedalam-dalamnya, dan kemudian berubah
menjadi sebuah perbuatan. Dan fikiran itu pada awalnya
ditunjukkan oleh otak yang menimbulkan sedikit bekas, dan ketika
fikiran itu berulang-ulang mebuat bekas yang besar dan akhirnya
terjadilah sebuah perbuatan, dank arena perbuatan itu sering di
ulang maka menjadilah sebuah kebiasaan. Mungkin ketika pertama
kali fikiran bisa menolak, tetapi karena fikiran itu datang secara
terus-menerus kepada otak, dan menerimanya oleh karena itu
terjadilah sebuah perbuatan.27
Apabila suatu kebiasaan telah terbentuk, kebiasaan itu
mempuyai fungsi;
23
1. Memudahkan perbuatan.
2. Menghemat waktu dan perhatian.28
Tetapi ada beberapa atau bahkan banyak kebiasaan manusia
yang buruk, hal seperti ini tentu saja susah untuk menghindarinya.
Untuk membentuk suatu kebiasaan harus ada keinginan dari diri
sendiri, dan sebaliknya untuk menghindari suatu perbuatan harus
bisa menolak keinginan tersebut. Di sini akan disebutkan beberapa
hal yang dapat merubah suatu kebiasaan;
1. Berniat sungguh-sungguh

26
Ibid., 22.
27
Ibid., 30.
28
A. Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Surabaya: Pustaka Setia, 1999), 97.
2. Janganlah membiarkan dirimu untuk menyalahi kebiasaan yang
baru, kecuali jika sudah kuat niatnya,karena tiap tindakan yang
menyalahi kebiasaan yang baru akan menjauhkan dari hasil
yang diharapkan.
3. Carilah waktu untuk menguatkan niat, karena yang sulit bukan
dalam niat, tetapi dalam menguatkannya.

4. Jagalah dirimu untuk menolak kebiasaan lama, dan lakukanlah


perbuatan kecil tiap hari untuk menekan hawa nafsu.29
5. Kehendak
Kehendak adalah suatu kekuatan di antara beberapa
kekuatan, seperti uap atau listrik. Kehendak adalah penggerak bagi
manusia, dan dari kehendak itu muncullah sebuah perbuatan. Dan
segala perbuatan manusia dan kekuatannya seakan-akan di dasari
oleh kehendak.
Kehendak itu terdiri dari dua macam perbuatan: terkadang
ia menjadi sebuah pendorong, dan terkadang ia menjadi penolak.
Segala keutamaan dan kehinaan muncul dari sebuah kehendak.
Kant membuka ridalahnya yang terkenal dari ilmu akhlak, ia
menyatakan “ di dunia, bahkan di luarnya tidak ada sesuatu yang
bersifat dengan tiada ikatan atau syarat kecuali kehendak.” Maka
harta benda, kekuasaan, dan sebagainya bersifat baik apabila di
24
gunakan dengan tujuan yang baik. Adapun kehendak yang baik itu
menjadi baik dengan tiada ikatan.30
Wajib kita bedakan antara kehendak dan keinginan. Adapun
keinginan itu hanya mengharapkan kebaikan. Yang di maksud
dengan kehendak baik adalah azam dan kesungguhan untuk berbuat
apa yang diyakininya dan berjuang untuk mewujudkan perbuatan
tersebut. Kehendak yang baik itu apabila kehendak itu berubah
menjadi sebuah perbuatan, maka perbuatan itu di anggap baik,
meskipun menghasilkan buah yang buruk. Dalam perbuatan itu

29
A. Mustofa, Akhlaq Tasawuf, 98.
30
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 48.
tidak di lihat dari hasilnya, akan tetapi di lihat dari kehendak yang
menimbulkannya.31
Terkadang kehendak mempunyai sebuah penyakit,
diantaranya sebagai berikut;
1. Kelemahan kehendak, berarti seseorang tidak dapatmenolak
hawa nafsunya. Misalkan seperti seseorang yang melihat
suatu kebaikan, dan dia berpendapat harus di jalankan
kemudian dia berazam, akan tetapi kehendak itu menolak
keinginan tersebut, karena itu dia pun menyerah dan timbul
kemalasan.

2. Kuatnya kehendak tetapi dalam keburukan. Seperti misalnya


ketika kita melihat seseorang yang durhaka. Mereka berazam
atas kedurhakaan tersebut dan tidak ada yang dapat
menghilangkannya.32
Meskipun begitu penyakitnya sebuah kehendak juga
mempunyai obat, diantaranya, sebagai berikut;
1. Apabila kehendak itu lemah, maka dapat diperkuat dengan
sebuah latihan. Maka dengan memaksakan jiwa untuk
melakukan suatu perbuatan yang berat, tentu saja akan kuat
kehendaknya dan bisa mengatasi kesusahan.
2. Bagi kita yang sudah mempunyai kehendak, wajib untuk
mentanfidzkan menurut agama kita dan jangan 25
membiarkannya untuk lenyap. Karena yang demikian itu dapat
melemahkan kehendak.

3. Apabila kehendak itu kuat, akan tetapi menjerumuskan kepada


keburukan, maka obatnya ialah memperkenalkan jiwa pada
jalan yang baik dan buruk, serta di tambah keterengan akibat
dari perbuatan tersebut.33

31
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 49.
32
Ibid., 51.
33
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 51.
Adapun yang menjadi perdebatan di antara para filsuf,
ulama agama, dan ahli etika dari dulu sampai sekarang ialah soal “
kemerdekaan kehendak ” atau dengan kata lain soal terpaksa dalam
memilih pilihan kehendak. Yakni, apakah kehendak kita merdeka
dalam memilih perbuatan yang kita buat? apakah kita bebas
memilih kehendak di luar kuasa Allah? ataukah kita terpaksa
berjalan di jalan tertentu yang kita sendiri tidak dapat melewati
batasnya?.
Dalam menjawab persoalan ini, para ilmuan terbagi menjadi
dua bagian. Sebagian ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa
kehendak itu muncul dari diri kita sendiri, dan sebagian yang lain
berpendapat bahwa kehendak itu kita terpaksa memilihnya, dan
kita tidak dapat melampaui batas yang di tentukan.34
Sejak bangsa Arab menyelidiki tentang ilmu pengetahuan,
mereka menghadapi permasalahan ini. Sebagian golongan dari
mereka yang melampaui batas berpendapat “manusia itu terpaksa
dan tidak mempunyai kehendak yang merdeka, bahkan kepastian
itu yang menjalankan menurut apa yang di gambarkannya. Hanya
Allah-lah yang berbuat menurut kehendak-Nya.Sebagian yang
lainnya berpendapat “kehendak manusia itu merdeka dan di dalam
kuasanya akan berbuat sesuatu dan sebaliknya, dan dia berbuat apa
yang dia pilih.
Bahkan pada peradaban kali ini juga masih menjadi 26
perdebatan. Separuh ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs, dan
Malebrache berpendapat bahwasannya kehendak itu karena
paksaan. Akan tetapi kebanyakan ahli filsafat yang lain
berpendapat kehendak itu atas kemauan diri sendiri.35
Pada masa baru-baru ini di lakukan sebuah penyelidikan
sebuah bentukan baru. Setengah dari pemegang hukum terpaksa,
seperti Robert Owen seorang sosialis Inggris, menyatakan bahwa
manusia itu terpaksa, dan di paksa oleh sekelilingnya. Seperti
34
Ibid., 53.
35
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 53.
misalnya siapasaja yang hidup di antara orang jahat dan
mendengarkan pembicaraan mereka, dan apa yang ada di
sekelilingnya berupa kejahatan, maka tentu saja dia akan menjadi
orang jahat, dan tidak dapat memilih akan menjadi orang jahat atau
tidak. Dan begitu pun sebaliknya, barang siapa yang tumbuh di
lingkungan baik maka dia akan menjadi pribadi yang baik.
Dari kedua teori ini dapat di ambil kesimpulan bahwasannya
manusia itu terpaksa karena adanya paksaan, dan merdeka dengan
kemerdekaan. Adapun macamnya paksaan adalah karena kehendak
yang tunduk pada dua faktor, yaitu faktor batin dan faktor luar.
Faktor batin adalah yang di wariskan oleh manusia dan orang
tuanya, yang dapat membentuk kehendak dengan bentukan tertentu
dan tidak dapat menghindarinya. Faktor luar adalah kekuatan
pendidikan dan lingkungan di sekitarnya.
Kedua faktor inilah yang mengendalikan kehendak dan
yang memberikan gambaran sebuah jalan untuk berbuat sehingga
dapat mengetahui apa yang akan di lakukan manusia yang
membentuk akhlak. Adapun kemerdekaan itu juga dipengaruhi oleh
insting, lingkungan, dan pendidikan. Jika misalnya kehendak
manusia tidak bebas memilih kebaikan dan keburukan, tentu saja
kewajiban akhlak serta perintah dan larangan tidak ada gunanya,
begitu pula dengan pahala dan siksa.36 27

6. Pendidikan
Pendidikan akhlak dalam beberapa perkara dapat di
tinggikan, di antaranya sebagai berikut;
1. Meluaskan lingkungan fikiran, yang telah di kemukakan oleh
Herberts Spencer tentang kepentingan yang besar untuk
meninggikan akhlak.

36
Ibid., 55.
2. Berkteman dengan orang orang yang baik, karena pada dasarnya
manusia itu suka mencontoh. Manusia suka mencontoh orang-
orang yang berada di sekitar mereka.
3. Membaca dan mempelajari sejarah para pahlawan yang
memiliki pemikiran luar biasa. Dari situ kita sebagai manusia
dapat mengambil pelajaran dan semangat untuk mencontoh
mereka.
4. Dan yang paling penting ialah memberikan dorongan kehendak
terhadap diri sendiri untuk melakukan perbuatan yang baik.
5. Di dalam pembahasan sebelumnya mengenai “kebiasaan”, di
situ tidak lain untuk menundukkan jiwa, agar diri terbiasa
melakukan perbuatan baik.37
Penyakit akhlak tentu saja juga di miliki oleh manusia,
Aristoteles pernah berkata bila akhlak seseorang telah melebihi
batasnya maka sebaiknya di luruskan dengan keinginan sebalikya.
Dan bila seseorang melampaui batasnya dalam hal hawa nafsu,
maka harus di lemahkan keinginan ini dengan zuhud. Apabila kita
telah terbiasa dengan perbuatan yang buruk, kita harus bisa
menahannya, dan melakukan hal yang baik dan bermanfaat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembentukan akhlak sendiri terdapat dua aliran atau anggapan


yaitu dapat dibentuk atau tidak dapat dibentuk. Tidak dapat dibentuknya

37
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 63.
suatu akhlak, beranggapan bahwasannya akhlak adalah fitrah atau
pembawaan dalam diri seseorang itu sendiri sejak lahir. Adapun hal
tersebut tidak dapat berubah dan dibentuk oleh aspek apapun. Berbeda
dengan yang menyatakan bahwasannya akhlak dapat dibentuk.
Sebagaimana akhlak merupakan hasil dari usaha atau pembinaan
yang sungguh-sungguh sehingga akhlak dapat terbentuk. Hal ini sejalan
dengan pesan dalam agama untuk senantiasa memperbaiki akhlak. Adapun
dapat dibentuknya akhlak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
mempengaruhi seperti insting, keturunan, lingkungan, kebiasaan,
kehendak dan pendidikan. Berbagai faktor tersebut berperan besar dalam
pembentukan akhlak yang mana menunjukkan bahwasannya akhlak dapat
dibentuk.

DAFTAR PUSTAKA

28
Amin, Ahmad. 1991. Etika Ilmu Akhlak. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Djatnika, Rahmat. 1985. Sistem Etika Islami. Surabaya: Pustaka Islam.
Mas’ud, Ali. 2014. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UINSA Press.
Mustofa. A. 1999. Akhlaq Tasawuf. Surabaya: Pustaka Setia.
Nasharuddin. 2015. Akhlak: Ciri Manusia Paripurna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tualeka Zn, Hamzah.dkk. 2013. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

29

You might also like