Professional Documents
Culture Documents
Pembentukan Akhlak
Pembentukan Akhlak
Makalah :
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Akhlak Tasawuf
Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
Zainal Mukhlis M. Fil .I
197405302005011005
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………..…….ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………….……………………….1
BAB II ISI
A. Definisi Pembentukan Akhlak…………………………………………2
B. Metode Pembelajaran Akhlak…………………………………………7
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak………..17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak merupakan bentuk perilaku yang mencerminkan diri
seseorang. Perwujudannya dapat bersifat baik atau buruk. Perilaku yang
kita lakukan setiap harinya mempengaruhi pembentukan akhlak kita.
Bukan tidak mungkin akhlak baik dan buruk kita tercipta karena kebiasaan
yang kita lakukan setiap saat. Maka, perlunya diri memperhatikan setiap
tingkah laku kita dalam melakukan apapun untuk mencerminkan akhlak
yang baik dalam diri. Dalam Islam pun, berimannya seseorang juga
mempengaruhi manusia dalam berakhlak mulia.
Akhlak juga bukanlah hal yang paten atau tidak mungkin untuk
dirubah. Sehingga akhlak masih dapat dirubah dan dilatih. Adapun
pembentukan akhlak tidak hanya terpengaruh oleh faktor kebiasaan saja
melainkan banyak faktor yang mempengaruhi. Dalam makalah ini pun
akan membahas bagaimana pembentukan akhlak tersebut dan faktor apa
saja yang mempengaruhi pembentukan akhlak seseorang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi pembentukan akhlak?
2. Bagaimana metode pembentukan akhlak?
3. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi pembentukan akhlak.
2. Mengetahui mteode pembentukan akhlak.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
ini terdapat dua pendapat yang menjawab permasalahan tersebut, antara
lain;
1. Berpendapat bahwasannya akhlak tidak dapat berubah, namun harus
tetap dikontrol secara ketat sebelum kedewasaannya. Dengan
beralasan, bahwa akhlak itu beiringan dengan temperamen, sementara
temperamen tidak mengalami perubahan. Karena temperamen
merupakan warisan, sehingga dapat dimaklumi bahwa temperamen
tidak dapat berubah sebagaimana pola perilaku atau akhlak tersebut.
Lebih jelasnya menyatakan bahwasannya akhlak tidak bisa berubah,
berdasarkan sebab-sebab yang antara lain;
a. Akhlak merupakan instinct yang sudah dibawa sejak lahir, yang
mana akhlak merupakan pembawaan kecenderungan terhadap
sesuatu dalam diri seseorang berupa kata hati atau intuisi.4
b. Akhlak merupakan postur batin manusia begitu pula adanya postur
fisik manusia yang berpola sebelumnya (sejak lahir), dimana tidak
bisa berubah seperti halnya seseorang yang postur fisiknya pendek
ingin berubah memiliki postur fisik yang tinggi. Sehingga akan
sukar pula bagi seseorang yang postur batinnya buruk berubah
menjadi baik.
c. Sifat bagusnya akhlak adalah ketika seseorang dapat mengontrol
kenginan dan amarahnya. Sedangkan keinginan dan amarah tidak
dapat dihindarkan dari naluri manusia. Sehingga sebuah hal yang
sia-sia jika membahas masalah perwatakan.5
Adapun dalam pandangan Ibnu Thufail, jika seorang manusia
terlahir tanpa dipengaruhi oleh lingkungan. Maka sejak lahir,
seseorang manusia tersebut akan condong atau cenderung kepada
kebaikan. Penjelasannya diuraikan dalam bukunya yang berjudul “
Hay bin Yuqzhan ” yang mana terdapat seorang anak yang lahir
terdampar di sebuah pulau yang tidak berpenghuni, ialah Hay bin
Yuqzhan yang dibesarkan oleh seekor rusa pada umur tujuh tahun.
4
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015), 289.
5
Mansur ‘Ali Rajab, Ta’amulat Fi Falsafat Al-Akhlaq, 33.
Hay bin Yuqzhan memiliki pengetahuan tentang mana yang baik dan
buruk yang berasal dari potensi akal yang diberikan oleh Tuhan.
Semakin lama, akal dan pikirannya semakin berkembang dan dinamis.
Sehingga pada saat ia dewasa, ia bertemu dengan seorang ulama yang
banyak belajar tentang ilmu pengetahuan dan wahyu. Singkatnya
mereka melakukan diskusi dan perdebatan tentang Tuhan dan mana
yang baik dan buruk. Akhirnya didapati kesesuaian dan kesepakatan
bahwasannya Tuhan itu Allah, akal mengenal Allah dan akal mampu
mengetahui mana yang baik dan buruk yang mana diinformasikan
oleh wahyu. Maka, akal tidak akan menyalahi wahyu, wahyu tidak
akan berbenturan dengan akal jika akal tidak terpengaruh oleh
lingkungan.6
Sehingga dalam perspektif tersebut, akal akan mengesakan
Tuhannya dan menjalankan syariat Islam, mampu membedakan mana
yang baik dan buruk jika tidak terpengaruh oleh lingkungannya.
Karena semua manusia akan menjadi baik yang terbentuk oleh
fitrahnya yang dibawa sejak lahir dan akal akan menjadi potensi untuk
mengesakan Tuhannya dan mampu berkahkhlak mulia.7
2. Berpendapat bahwasannya akhlak dapat berubah. Jika dapat dirubah,
maka ilmu akhlak dapat bermanfaat. Akhlak memang merupakan hasil
dari pembinaan dan usaha yang sungguh-sungguh. Banyak dari ulama-
ulama Islam yang mendukung pendapat ini. Salah satunya adalah
Imam Al-Ghazali dengan menyatakan sebagai berikut;
6
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 290.
7
Ibid., 290.
8
Mansur ‘Ali Rajab, Ta’amulat Fi Falsafat Al-Akhlaq, 34.
5
9
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 291.
10
Hamzah Tualeka Zn.dkk, Akhlak Tasawuf, 135.
11
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 292.
Adapun tentang akhlak yang harusnya dibina dan dibentuk,
terdapat dalam ilmu akhlak yang dirumuskan oleh para pakar akhlak,
Al-Tahawani (w. 11 H), penulis dari buku “ Kasysyaf Isthilahat Al-
Funun ” yang mendefiniskan bahwasannya ilmu akhlak yang
diistilahkan dengan ilmu-ilmu perilaku (‘Ulum Al-Suluk) sebagai
pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik.12
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat memilih dan memilih sesuai
pertimbangan pribadi. Yaitu pada pendapat yang pertama, bilamana akhlak
bersifat keturunan atau tidak dapat dirubah. Maka hal ini bertentangan
dengan agama yang mana dalam agama diperintahkan untuk memperbaiki
perilaku dan melakukan hal-hal yang baik. Walaupun tabiat atau perilaku
juga bisa berasal dari warisan pendahulunya. Namun, dalam hal tersebut
masih menjadi kemungkinan atau potensi yang belum sampai pada titik
sempurna.13 Apalagi jika dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang
mengiringi hal tersebut.
Berkenaan pula, bahwa akhlak itu perlu dibina, dididik dan
diarahkan. Karena tanpa hal tersebut materi tentang akhlak tidak dapat
bertemu dengan akal manusia. Sehingga Allah menyampaikan kepada
manusia melalui Rasul-Nya, bahwa akhlak yang baik itu ditentukan oleh
ridha dan kehendak Tuhan bukan dengan kehendak manusia. Manusia
ditakdirkan, lahir ke dunia dalam keadaan siap menerima apa adanya yang
kemudian Tuhan mengajarkan manusia bagaimana cara berakhlak kepada-
Nya, sesama dan lingkungannya.14
15
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, 305-339.
Bahkan di dalam Al-Qur’an terdapat tentang bagaimana
manusia belajar meniru. Seperti kisah Qabil yang membunuh
saudaranya Habil, yang mana Qabil sendiri tidak mengetahui
bagaimana cara mengurus mayat saudaranya tersebut. Lalu, Allah
mengirim burung gagak yang sedang menggali tanah untuk mengubur
gagak yang telah mati. Kisah ini terdapat dalam Q.S Al-Maidah (5);31;
َفَبَع َث ال َّل ُه ُغ َر ا ًبا َيْبَح ُث ِف ي اَأْلْر ِض ِلُيِر َيُه َك ْيَف ُيَو ا ِر ي َس ْو َء َة َأِخ ي ِه ۚ َقا َل َيا َو ْيَل َت ا
ِدِم ِم ِخ ِر ِب ِم
َأَع َج ْز ُت َأْن َأُك و َن ْث َل َٰه َذ ا ا ْل ُغَر ا َفُأَو ا َي َس ْو َء َة َأ ي ۖ َفَأْص َبَح َن الَّنا ي َن
َلُه َم ا ُيْنِف ُق ي َّلِذ َك ا ٰى َذ َأْل اَو ْلَم ِّن ِبا ِتُك ْم َقا َص َد ا ُتْبِط ُلو اَل ا َم ُنو آ يَن ِذ ا ُّيَه ا َأ َيا
ٍن ا َص ْف َك َثِل َفَمَثُلُه ۖ ِخ ِر آْل ا ِم ْلَيْو ا لَّلِه ا ِب ِم ُيْؤ اَل ِس لَّنا ا َئا ِر
َء َو ُن َو َو َم
ا َفَأ ا َل ِه ِب ِد ٍء
َّمِما َش ْي َعَلٰى َن و ُر َيْق اَل ۖ ا َص ْلًد َك ُه َفَتَر ٌل ا َو َبُه َص ٌب ُتَر َع ْي
يَن ِفِر ْلَك ا ا َم ْلَق ْو ا ي َيْه ِد اَل لَّلُه ا َو ۗ ا َك َس ُبو
َو ِخ َر آْل ا َم ْلَيْو ا َو َّلَه ا ُج و َيْر َن َك ا ِلَمْن َح َس َنٌة ٌة ْس َو ُأ َّلِه ا ِل ُس و َر يِف َلُك ْم َن َك ا َلَقْد
ِث َّل
ا َك ًري َه ا َذَك َر
Artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah ”.
16
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), 17.
17
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UINSA Press, 2014), 54.
18
Ibid., 55.
Laki-laki menginginkan wanita dan wanita ingin berjodoh
dengan laki-laki. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Q.S
Ali-Imran (3);14;
ُز ِّي ِللَّنا ِس ُّب ال َّش ا ِت ِم الِّن ا ِء اْل ِن ي اْل َق ا ِط ي ِر اْل َق ْن َط ِة ِم
َن ُم َر َن َس َو َب َن َو َن َه َو ُح َن
اَأْل ا ِم اْل ِث ِة ِة ِف
ۗ ال َّذ َه ِب َو اْل َّض َو اْل َخ ْي ِل اْل ُم َس َّو َم َو ْنَع َو َح ْر
19
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, 56.
20
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), 35.
21
Rahmad Djatnika, Sistem Etika Islami, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), 76.
mengenai keseluruhannya mereka kebanyakan ada persamaannya.
Adapaun yang diturunkan orang tua kepada anaknya itu bukanlah sifat
yang dimiliki yang telah tumbuh dengan matang karena pengaruh
lingkungan, adat, atau pendidikan melainkan sifat-sifat bawaan sejak
lahir.
Pada garis besarnya sifat-sifat yang diturunkan ada dua
macam; 22
1. Sifat-Sifat Jasmaniah
Yaitu kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf yang
dimiliki orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Orang
tua yang kekar ototnya, kemungkinan akan mewariskan kekekaran
itu pada anak cucunya, misalnya seperti orang-orang Negro. Dan
orang tua yang lemah dan sakit fisiknya, kemungkinan akan
mewariskan pula kelemahan dan penyakit itu pada anak cucunya.
2. Sifat Rohaniah
Yaitu lemah atau kuatnya suatu naluri yang dapat diturunkan
oleh orang tua kepada anak cucunya, yang nantinya akan
mempengaruhi tingkah laku anak cucunya.
3. Lingkungan
Pembentukan akhlaq manusia juga sangat ditentukan oleh
faktor lingkungan. Lingkungan sendiri merupakan segala sesuatu yang
mengelilingi individu sepanjang hidupnya. Baik itu lingkungan fisik
seperti rumahnya, orang tuanya, sekolahnya, teman-temannya, dan
sebagainya, maupun lingkungan psikologis seperti aspirasinya, cita-
citanya, masalah-masalah yang dihadapinya, dan sebagainya. 23 Oleh
karena itu, seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, secara
langsung maupun tidak langsung akan dapat terbentuk nama baik bagi
dirinya. Sebaliknya, seseorang yang hidup dalam lingkungan yang
buruk, akan terbawa nama buruk bagi dirinya walaupun sebenarnya dia
sendiri tidak melakukan suatu keburukan. Hal ini juga akan
mempengaruhi cara kehidupan orang tersebut.
22
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, 57.
23
Ibid., 58.
Dalam kehidupannya, manusia pasti akan selalu berhubungan
dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya manusia perlu untuk bergaul.
Dalam pergaulan ini timbullah interaksi yang saling mempengaruhi
dalam pikiran, sifat, dan tingkah laku. Lingkungan pergaulan ini dibagi
atas beberapa kategori, yakni;24
Lingkungan dalam rumah tangga.
Lingkungan sekolah.
Lingkungan pekerjaan.
Lingkungan organisasi.
Lingkungan kehidupan ekonomi.
Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT juga telah menjelaskan;
ُقْل ُك ٌّل َيْع َم ُل َعَلى َش اِكَلِتِه َفَر ُّبُك ْم َأْع َلُم ِبَمْن ُه َو َأْهَد ى َس ِبياًل
24
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, 59.
25
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 21.
perbuatan yang sebelumnya pernah dilakukannya itu menjadi lebih
mudah.26
Ahli ilmu jiwa menetapkan bahwasannya fikiran itu
mendahului perbuatan, oleh karena itu suatu perbuatan terjadi
karena sebelumya terjadi pemikiran. Apabila kita mengerjakan atau
menghindari suatu perbuatan, pada dasarnya itu dilakukan ketika
ada fikiran tentang itu.
Menurut peraturan jiwa manusia fikiran itu dikemukakan
pada otak dan diterimanya dalam waktu yang lama, dan
memberikan bekas sedalam-dalamnya, dan kemudian berubah
menjadi sebuah perbuatan. Dan fikiran itu pada awalnya
ditunjukkan oleh otak yang menimbulkan sedikit bekas, dan ketika
fikiran itu berulang-ulang mebuat bekas yang besar dan akhirnya
terjadilah sebuah perbuatan, dank arena perbuatan itu sering di
ulang maka menjadilah sebuah kebiasaan. Mungkin ketika pertama
kali fikiran bisa menolak, tetapi karena fikiran itu datang secara
terus-menerus kepada otak, dan menerimanya oleh karena itu
terjadilah sebuah perbuatan.27
Apabila suatu kebiasaan telah terbentuk, kebiasaan itu
mempuyai fungsi;
23
1. Memudahkan perbuatan.
2. Menghemat waktu dan perhatian.28
Tetapi ada beberapa atau bahkan banyak kebiasaan manusia
yang buruk, hal seperti ini tentu saja susah untuk menghindarinya.
Untuk membentuk suatu kebiasaan harus ada keinginan dari diri
sendiri, dan sebaliknya untuk menghindari suatu perbuatan harus
bisa menolak keinginan tersebut. Di sini akan disebutkan beberapa
hal yang dapat merubah suatu kebiasaan;
1. Berniat sungguh-sungguh
26
Ibid., 22.
27
Ibid., 30.
28
A. Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Surabaya: Pustaka Setia, 1999), 97.
2. Janganlah membiarkan dirimu untuk menyalahi kebiasaan yang
baru, kecuali jika sudah kuat niatnya,karena tiap tindakan yang
menyalahi kebiasaan yang baru akan menjauhkan dari hasil
yang diharapkan.
3. Carilah waktu untuk menguatkan niat, karena yang sulit bukan
dalam niat, tetapi dalam menguatkannya.
29
A. Mustofa, Akhlaq Tasawuf, 98.
30
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 48.
tidak di lihat dari hasilnya, akan tetapi di lihat dari kehendak yang
menimbulkannya.31
Terkadang kehendak mempunyai sebuah penyakit,
diantaranya sebagai berikut;
1. Kelemahan kehendak, berarti seseorang tidak dapatmenolak
hawa nafsunya. Misalkan seperti seseorang yang melihat
suatu kebaikan, dan dia berpendapat harus di jalankan
kemudian dia berazam, akan tetapi kehendak itu menolak
keinginan tersebut, karena itu dia pun menyerah dan timbul
kemalasan.
31
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 49.
32
Ibid., 51.
33
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 51.
Adapun yang menjadi perdebatan di antara para filsuf,
ulama agama, dan ahli etika dari dulu sampai sekarang ialah soal “
kemerdekaan kehendak ” atau dengan kata lain soal terpaksa dalam
memilih pilihan kehendak. Yakni, apakah kehendak kita merdeka
dalam memilih perbuatan yang kita buat? apakah kita bebas
memilih kehendak di luar kuasa Allah? ataukah kita terpaksa
berjalan di jalan tertentu yang kita sendiri tidak dapat melewati
batasnya?.
Dalam menjawab persoalan ini, para ilmuan terbagi menjadi
dua bagian. Sebagian ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa
kehendak itu muncul dari diri kita sendiri, dan sebagian yang lain
berpendapat bahwa kehendak itu kita terpaksa memilihnya, dan
kita tidak dapat melampaui batas yang di tentukan.34
Sejak bangsa Arab menyelidiki tentang ilmu pengetahuan,
mereka menghadapi permasalahan ini. Sebagian golongan dari
mereka yang melampaui batas berpendapat “manusia itu terpaksa
dan tidak mempunyai kehendak yang merdeka, bahkan kepastian
itu yang menjalankan menurut apa yang di gambarkannya. Hanya
Allah-lah yang berbuat menurut kehendak-Nya.Sebagian yang
lainnya berpendapat “kehendak manusia itu merdeka dan di dalam
kuasanya akan berbuat sesuatu dan sebaliknya, dan dia berbuat apa
yang dia pilih.
Bahkan pada peradaban kali ini juga masih menjadi 26
perdebatan. Separuh ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs, dan
Malebrache berpendapat bahwasannya kehendak itu karena
paksaan. Akan tetapi kebanyakan ahli filsafat yang lain
berpendapat kehendak itu atas kemauan diri sendiri.35
Pada masa baru-baru ini di lakukan sebuah penyelidikan
sebuah bentukan baru. Setengah dari pemegang hukum terpaksa,
seperti Robert Owen seorang sosialis Inggris, menyatakan bahwa
manusia itu terpaksa, dan di paksa oleh sekelilingnya. Seperti
34
Ibid., 53.
35
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 53.
misalnya siapasaja yang hidup di antara orang jahat dan
mendengarkan pembicaraan mereka, dan apa yang ada di
sekelilingnya berupa kejahatan, maka tentu saja dia akan menjadi
orang jahat, dan tidak dapat memilih akan menjadi orang jahat atau
tidak. Dan begitu pun sebaliknya, barang siapa yang tumbuh di
lingkungan baik maka dia akan menjadi pribadi yang baik.
Dari kedua teori ini dapat di ambil kesimpulan bahwasannya
manusia itu terpaksa karena adanya paksaan, dan merdeka dengan
kemerdekaan. Adapun macamnya paksaan adalah karena kehendak
yang tunduk pada dua faktor, yaitu faktor batin dan faktor luar.
Faktor batin adalah yang di wariskan oleh manusia dan orang
tuanya, yang dapat membentuk kehendak dengan bentukan tertentu
dan tidak dapat menghindarinya. Faktor luar adalah kekuatan
pendidikan dan lingkungan di sekitarnya.
Kedua faktor inilah yang mengendalikan kehendak dan
yang memberikan gambaran sebuah jalan untuk berbuat sehingga
dapat mengetahui apa yang akan di lakukan manusia yang
membentuk akhlak. Adapun kemerdekaan itu juga dipengaruhi oleh
insting, lingkungan, dan pendidikan. Jika misalnya kehendak
manusia tidak bebas memilih kebaikan dan keburukan, tentu saja
kewajiban akhlak serta perintah dan larangan tidak ada gunanya,
begitu pula dengan pahala dan siksa.36 27
6. Pendidikan
Pendidikan akhlak dalam beberapa perkara dapat di
tinggikan, di antaranya sebagai berikut;
1. Meluaskan lingkungan fikiran, yang telah di kemukakan oleh
Herberts Spencer tentang kepentingan yang besar untuk
meninggikan akhlak.
36
Ibid., 55.
2. Berkteman dengan orang orang yang baik, karena pada dasarnya
manusia itu suka mencontoh. Manusia suka mencontoh orang-
orang yang berada di sekitar mereka.
3. Membaca dan mempelajari sejarah para pahlawan yang
memiliki pemikiran luar biasa. Dari situ kita sebagai manusia
dapat mengambil pelajaran dan semangat untuk mencontoh
mereka.
4. Dan yang paling penting ialah memberikan dorongan kehendak
terhadap diri sendiri untuk melakukan perbuatan yang baik.
5. Di dalam pembahasan sebelumnya mengenai “kebiasaan”, di
situ tidak lain untuk menundukkan jiwa, agar diri terbiasa
melakukan perbuatan baik.37
Penyakit akhlak tentu saja juga di miliki oleh manusia,
Aristoteles pernah berkata bila akhlak seseorang telah melebihi
batasnya maka sebaiknya di luruskan dengan keinginan sebalikya.
Dan bila seseorang melampaui batasnya dalam hal hawa nafsu,
maka harus di lemahkan keinginan ini dengan zuhud. Apabila kita
telah terbiasa dengan perbuatan yang buruk, kita harus bisa
menahannya, dan melakukan hal yang baik dan bermanfaat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
37
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, 63.
suatu akhlak, beranggapan bahwasannya akhlak adalah fitrah atau
pembawaan dalam diri seseorang itu sendiri sejak lahir. Adapun hal
tersebut tidak dapat berubah dan dibentuk oleh aspek apapun. Berbeda
dengan yang menyatakan bahwasannya akhlak dapat dibentuk.
Sebagaimana akhlak merupakan hasil dari usaha atau pembinaan
yang sungguh-sungguh sehingga akhlak dapat terbentuk. Hal ini sejalan
dengan pesan dalam agama untuk senantiasa memperbaiki akhlak. Adapun
dapat dibentuknya akhlak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
mempengaruhi seperti insting, keturunan, lingkungan, kebiasaan,
kehendak dan pendidikan. Berbagai faktor tersebut berperan besar dalam
pembentukan akhlak yang mana menunjukkan bahwasannya akhlak dapat
dibentuk.
DAFTAR PUSTAKA
28
Amin, Ahmad. 1991. Etika Ilmu Akhlak. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Djatnika, Rahmat. 1985. Sistem Etika Islami. Surabaya: Pustaka Islam.
Mas’ud, Ali. 2014. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UINSA Press.
Mustofa. A. 1999. Akhlaq Tasawuf. Surabaya: Pustaka Setia.
Nasharuddin. 2015. Akhlak: Ciri Manusia Paripurna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tualeka Zn, Hamzah.dkk. 2013. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.
29