You are on page 1of 176

PEDOMAN PENULISAN

TUGAS AKHIR
STIE MAH EISA MANOKWARI

PEDOMAN PENULISAN TUGAS AKHIR STIE MAH EISA MANOKWARI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)


MAH EISA MANOKWARI
PAPUA BARAT
2017
PRAKATA

Puji syukur dihaturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

rahmat dan kasih-Nya sehingga penyusunan buku Pedoman Penulisan skripsi/

Tugas Akhir/Makalah ini dapat diselesaikan. Buku ini merupakan pedoman bagi

mahasiswa STIE Mah Eisa Manokwari dalam penulisan tugas akhir berupa

skripsi, makalah sesuai dengan kaidah-kaidah tulisan ilmiah dan tata bahasa

Indonesia. Di samping itu disertakan pula berbagai contoh yang berkenaan

dengan persyaratan administrasi, prosedur maupun muatan materi antara lain

Sistematika/daftar isi Bab Pendahuluan, Kerangka Pemikiran, abstrak, dan

contoh makalah maupun jurnal. Dengan berbagai contoh tersebut diharapkan

mahasiswa dengan mudah mendapatkan gambaran yang mempermudah dan

mempercepat penyelesaian makalah, jurnal dan skripsi.

Terima kasih dan penghargaan dihaturkan kepada semua pihak yang

telah memberikan masukan guna penyempurnaan buku ini dengan tetap

mengutamakan kecirian penulisan ilmiah di STIE Mah Eisa Manokwari.

Manokwari, 18 Agustus 2017

TIM PENYUSUN

1
YAYASAN CARITAS PAPUA
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH EISA
MANOKWARI – PAPUA BARAT
Jl. Lembah Hijau Wosi Dalam Manokwari Papua Barat

KEPUTUSAN
KETUA SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH EISA MANOKWARI
Nomor: 20 TAHUN 2017
TENTANG
PENETAPAN BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI DAN MAKALAH BAGI
MAHASISWA STIE MAH EISA MANOKWARI

KETUA STIE MAH EISA MANOKWARI,

Menimbang : a. bahwa untuk membantu dan mempermudah mahasiswa


dalam kegiatan penelitian dan penulisan Tugas Akhir
yang berbentuk skripsi, dan makalah ilmiah, perlu dibuat
buku Pedoman Penulisan Skripsi dan makalah bagi
mahasiswa STIE Mah Eisa Manokwari;
b. bahwa buku Pedoman penulisan Skripsi ini, dijadikan
dasar bagi mahasiswa dalam kegiatan penelitian,
penulisan skripsi, dan makalah ilmiah;
c. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
huruf ”a” dan ”b” di atas, perlu diterbitkan surat
keputusan Ketua STIE Mah Eisa Manokwari tentang
Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Makalah bagi
mahasiswa STIE Mah bEisa Manokwari.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi; Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2009 tentang Dosen;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi;
5. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan,
Pengendalian Dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana
Dan Pasca Sarjana;

2
6. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
142/D/O/2002 tentang Pemberian Ijin Penyelengaraan
Program Studi Ilmu Hukum dan Pendirian Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni;
7. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia No. 0602/U/1884 tentang Pedoman
Tata Upacara Akademik Tata busana Akademik
Perguruan Tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia;
8. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia No. 030/U/1993 tentang Gelar dan
Sambutan Lulusan Perguruan Tinggi;
9. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia No. 056/U/1984 tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulim Pendidikan Tinggi dan Evaluasi
hasil belajar mahasiswa;
10. Statuta Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni
Tahun 2012.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

Pertama : Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Makalah bagi


mahasiswa STIE Mah Eisa Manokwari diberlakukan bagi
mahasiswa STIE Mah Eisa Manokwari dalam kegiatan
penelitian, penulisan skripsi, dan penulisan makalah ilmiah.
Kedua : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Manokwari
pada Tanggal : 18-08- 2017

Wakil Ketua I STIE Mah Eisa Manokwari

Dr. Roberth K.R. Hammar, SH,. M.H., M.M.

3
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................... i
PRAKATA...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
SURAT KEPUTUSAN..................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Batasan .................................................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................... 1
C. Pokok Skripsi ........................................................................... 1
D. Pengajuan Rencana Skripsi ....................................................... 1
E. Pembimbingan Skripsi ............................................................... 2
F. Judul Skripsi ............................................................................. 2
G. Seminar Proposal Penelitian, Semiknar Hasil Penelitian
Dan Ujian Skripsi........................................................................ 3
H. Batas waktu .............................................................................. 3
BAB II KOMISI PENASEHAT ....................................................................... 4
A. Kriteria ..................................................................................... 4
B. Uraian Tugas ............................................................................ 4
C. Personalia ................................................................................ 4
BAB III PROSEDUR PENYUSUNAN .............................................................. 6
A. Prasyarat............................................................................................................. 6
B. Kegiatan Penelitian............................................................................................. 6
C. Pelaksanaan Penelitian............................................................... 8
D. Kegiatan Pascapenelitian........................................................... 8
E. Ujian Skripsi............................................................................. 9
BAB IV FORMAT SKRIPSI ........................................................................... 12
A. Format Proposal ....................................................................... 12
B. Format Skripsi ........................................................................ 12
BAB V TATA CARA PENULISAN SKRIPSI ................................................. 19
A. Bahan dan Ukuran.................................................................. 19
B. Pengertian............................................................................... 19
4
C. Pemberian Tanda Urut............................................................. 21
D. Tabel dan Gambar .................................................................. 22
E. Bahasa ................................................................................... 23
F. Penulisan Nama...................................................................... 24
G. Kutipan dan Catatan Kaki....................................................... 25
H. Bentuk-bentuk Footnote ......................................................... 28
I. Mempersingkat Footnote (pengulangan)................................... 31
J. Bahasa ................................................................................... 32
K. Hal-hal lain yang diperlukan diperhatikan.............................. 33

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 34


LAMPIRAN-LAMPIRAN (1 sd 46)

5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian

Skripsi adalah karya tulis akademik yang disusun oleh mahasiswa


berdasarkan penelitian manajemen untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi (S1). Skripsi seyogyanya memberikan sumbangan kepada
khasanah ilmu pengetahuan berupa pemecahan masalah, atau setidaknya dapat
menyajikan deskripsi ilmiah dari suatu objek penelitian, dan bukan merupakan
duplikasi/pengulangan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Karya
ilmiah ini dilaksanakan oleh mahasiswa dengan melakukan penelitian untuk
memperoleh jawaban atas suatu pokok permasalahan yang ditemukan dalam
bidang yang menjadi kajian dalam program pendidikannya.

B. Tujuan

Penyusunan Skripsi merupakan salah satu metode yang memegang


peranan dalam pendidikan mahasiswa untuk mencapai gelar sarjana, dengan
tujuan memberikan kepadanya kemampuan untuk :
1. Menghayati asas-asas keilmuan sehingga dapat berpikir, bersikap dan
bertindak sebagai ilmuan.
2. Menguasai dasar-dasar ilmu dan metodologi penelitian di bidang
keahliannya sehingga dapat mengorganisasikan dan melaksanakan
penelitian ilmiah.
3. Memperluas dan memperdalam pengetahuannya dalam bidang dan materi
penelitiannya.
4. Mengkomunikasikan gagasan dan temuan ilmiah secara lisan dalam forum
ilmiah dan secara tertulis dalam bentuk laporan yang sesuai dengan
ketentuan.

C. Pokok Skripsi

Pokok Skripsi adalah persoalan atau masalah dalam bidang ilmu yang
menjadi program studi atau yang ada kaitannya dengan kekhususan program
studi mahasiswa penyusun Skripsi.

D. Pengajuan Rencana Skripsi

Pengajuan Rencana Skripsi dimulai dengan pengajuan judul skripsi kepada


Program Studi dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Mahasiswa telah mengumpulkan 110 SKS atau lebih dan telah memprogram
pada KRS, dan berada di semester VI;
2. Mahasiswa mengambil formulir judul dan bimbingan skripsi di Program Studi;
3. Formulir yang telah diisi disampaikan kepada Program Studi.

6
4. Ketua Program Studi dan Tim berwenang untuk menyatakan layak atau
tidaknya topik skripsi, dan meminta perbaikan topik skripsi selambat-
lambatnya 1 (satu) minggu sejak formulir diterima;
5. Apabila topik skripsi sesuai dengan mata kuliah wajib maka mahasiswa yang
bersangkutan wajib lulus mata kuliah yang bersangkutan.
6. Apabila topik skripsi sesuai dengan mata kuliah pilihan maka mahasiswa
yang bersangkutan tidak wajib lulus mata kuliah yang bersangkutan dan
selanjutnya diserahkan kepada Ketua Program Studi untuk menentukan
boleh atau tidaknya mahasiswa yang bersangkutan mengambil topik
tersebut.
7. Ketua Program Studi mengajukan komisi penasihat (dosen pembimbing)
untuk disetujui Wakil Ketua Bidang Akademik.
8. Topik skripsi dapat diajukan lebih dari 1 (satu), dan selanjutnya ditetapkan
topik yang terpilih. Topik tersebut harus sesuai dengan minat studi yang
ditempuhnya, dan bukan merupakan duplikasi/pengulangan dari skripsi
terdahulu;
9. Formulir Bimbingan Skripsi yang telah ditandatangani oleh Ketua Program
Studi disampaikan kepada Wakil Ketua I maksimal 2 (dua) minggu setelah
KRS.

E. Pembimbingan Skripsi
1. Waktu pembimbingan skripsi minimal 2 (dua) bulan sejak persetujuan
pembimbingan skripsi oleh Wakil Ketua I.
2. Setiap pembimbingan harus dilengkapi dengan Kartu Kendali yang
ditandatangani Komisi Pembimbing.

F. Judul Skripsi

Judul skripsi harus merupakan rangkaian dua proposisi atau lebih dan dua
variabel serta minimal mengandung satu konsep.
Contoh:
Rumusan judul skripsi yang tepat:
1. Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Metode Economic Value Aded
( Studi pada Perusahaan Otomotif dan Komponennya yang tercatat pada Bursa
Efek Indonesia)
2. Analisis Kinerja Keuangan Dalam Memprediksi Kondisi Financial Distress
Pada Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3. Analisis Laporan Keuangan Sebagai Alat Perencanaan Laba pada PT Unilever
Indonesia Tbk
4. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen menggunakan
jasa Hotel Swisbel Manokwari
5. Analisis Kepuasan Pelanggan Terhadap Kualitas Pelayanan Puskesman Amban
Manokwari
6. Pengaruh Pengetahuan, Kemampuan, Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja
SDM pada KUD Bina Mulia di Desa Sabena Bintuni
7. Pengaruh Kepuasan, Motivasi Kerja dan Komitmen Organisasional Terhadap
Kinerja Karyawan pada PT Suri Manokwari.

7
G. Seminar Proposal Penelitian, Seminar Hasil Penelitian
dan Ujian Skripsi

1. Seminar Proposal Penelitian dapat dilaksanakan setelah disetujui oleh Komisi


Pembimbing.
2. Pelaksanaan seminar proposal penelitian dapat dilakukan oleh mahasiswa
ketika telah mengisi KRS pada awal semester VII
3. Seminar Hasil Penelitian dilakukan oleh mahasiswa apabila telah
menyelesaikan penelitian dan menuliskannya dalam format skripsi paling
cepat satu bulan setelah proposal disetujui, dan telah memenuhi semua
persyaratan akademik, administrasi dan keuangan.
4. Ujian skripsi hanya dapat dilaksanakan setelah lulus dalam ujian Seminar
hasil penelitian.
5. Ujian skripsi dihadiri oleh 3 atau lebih dosen penguji termasuk pembimbing
dan ketua penguji.
6. Ujian skripsi dilaksanakan dalam waktu minimal 60 (enam puluh) menit dan
paling lama 90 (sembilan puluh) menit.
7. Penentuan kelulusan berdasarkan pada rapat permusyawaratan penguji.

H. Batas Waktu

1. Skripsi yang disusun pada semester berjalan, berakhir maksimal pada akhir
semester pemrograman, apabila tidak terpenuhi maka nilai skripsi pada KHS
diberi nilai E. Mahasiswa wajib memprogram kembali melalui KRS, tanpa
harus memperbarui formulir bimbingan skripsi;
2. Penulisan skripsi maksimal dua semester berturut-turut, apabila tidak
terpenuhi maka mahasiswa wajib mengganti topik dan/atau pembimbing.

8
BAB II

KOMISI PENASEHAT/PEMBIMBING

Dalam seluruh proses penyusunan Skripsi, mahasiswa memperoleh


pengarahan dan bimbingan dari satu komisi penasehat yang terdiri atas seorang
ketua merangkap anggota dan seorang anggota.
Apabila diperlukan, mahasiswa dengan persetujuan atau saran komisi
penasehatnya dapat meminta bantuan keahlian staf pengajar dan atau staf ahli
dari instansi di luar.

A. Kriteria

Ketua dan anggota komisi penasehat/pembimbing adalah staf pengajar


STIE Mah Eisa Manokwari yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Berpredikat guru besar, doktor atau magister.
2. Dianggap cakap di dalam bidang ilmu yang diambil sebagai pokok Skripsi.
3. Bersedia bertindak sebagai penasehat mahasiswa yang bersangkutan,
dengan tugas dan tanggung jawab sebagaimana yang tercantum dalam urian
tugas komisi.

B. Uraian Tugas

Komisi penasehat/Pembimbing bertanggung jawab untuk mengarahkan,


membimbing dan mengawasi semua tahap kegiatan dalam proses penyusunan
Skripsi sampai dengan tersusunnya Skripsi yang memenuhi syarat.
Sesuai dengan proses penyusunan Skripsi, maka tugas komisi dapat
dirincikan sebagai berikut:
1. Mengarahkan mahasiswa dalam penetapan pokok Skripsi.
2. Membimbing mahasiswa dalam penyusunan usulan penelitian untuk
penyusunan Skripsi.
3. Mempertimbangkan saran penyempurnaan usulan penelitian yang diperoleh
dari seminar usulan penelitian.
4. Bersama ketua program studi menetapkan usulan penelitian menjadi
rencana penelitian.
5. Membimbing dan mengawasi pelaksanaan penelitian untuk penyusunan
Skripsi.
6. Membimbing mahasiswa dalam menyusun naskah Skripsi.
7. Bertindak sebagai anggota Panitia Ujian Skripsi.

C. Personalia

1. Pengangkatan
Personalia komisi penasehat/pembimbing diangkat dan ditetapkan oleh
Ketua STIE Mah Eisa Manokwari yang dinyatakan dalam surat penugasan
komisi penasehat/pembimbing (Lampiran 5) atas usul ketua program studi
dan disetujui oleh Wakil Ketua I.

9
2. Penggantian

Apabila oleh karena sesuatu hal dipandang perlu penggantian


personalia komisi penasehat/pembimbing, maka penggantian tersebut harus
dengan persetujuan dan keputusan Ketua STIE Mah Eisa Manokwari.

10
BAB III

PROSEDUR PENYUSUNAN

Skripsi disusun oleh mahasiswa yang telah memenuhi syarat akademik


dan administratif, dengan mengikuti prosedur akademik untuk
dipertanggungjawabkan dalam ujian Skripsi. Oleh karena itu prosedur
penyusunan Skripsi meliputi persyaratan yang harus dipenuhi mahasiswa,
kegiatan prapenelitian, pelaksanaan penelitian, kegiatan pasca penelitian dan
pengaturan ujian Skripsi.

A. Prasyarat

Sebelum melaksanakan kegiatan prapenelitian untuk penyusunan Skripsi,


mahasiswa telah:
1. Dinyatakan lulus dalam semua mata kuliah yang diberikan di Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Mah Eisa Manokwari.
2. Terdaftar sebagai mahasiswa pada semester yang sedang berjalan.

B. Kegiatan Prapenelitian

Kegiatan prapenelitian untuk penyusunan Skripsi dilaksanakan pada


semester tujuh meliputi penetapan komisi penasehat/pembimbing dan rencana
judul Skripsi, penyusunan usulan penelitian untuk Skripsi serta seminar usulan
penelitian.

1. Penetapan komisi penasehat/pembimbing dan rencana judul Skripsi

Kegiatan ini dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:


a. Mahasiswa menghadap Pembantu Ketua I untuk memperoleh surat
pengantar penyusunan Skripsi (Lampiran 1).
b. Dengan surat pengantar penyusunan Skripsi ini, mahasiswa menghadap
ketua program studi untuk:
(1) Menyatakan kesiapannya menyusun Skripsi,
(2) Menjelaskan rencana masalah dan topik yang ingin diteliti sesuai
dengan pokok Skripsinya,
(3) Menyampaikan rencana jadwal kegiatan penelitian dan penyusunan
naskah Skripsinya, dan
(4) Meminta persetujuan tentang dosen yang akan menjadi
penasehatnya.
c. Dengan membawa surat permohonan kesediaan sebagai ketua/anggota
komisi penasehat/pembimbing (Lampiran 2), mahasiswa menghadap para
calon penasehatnya untuk memperoleh kesediaan sebagai calon
penasehat/pembimbing, yang dinyatakan dengan menandatangani surat
pernyataan kesediaan komisi penasehat dan rencana judul Skripsi
(Lampiran 3).
d. Setelah memperoleh pernyataan kesediaan dari para calon
penasehat/pembimbing, ketua program studi mengajukan usulan
susunan komisi penasehat dan rencana judul Skripsi Lampiran 4)
kepada Ketua STIE Mah Eisa Manokwari untuk memperoleh

11
persetujuannya dan penerbitan surat penugasannya melalui Wakil Ketua
I.
e. Berdasarkan usulan ketua program studi, Ketua STIE Mah Eisa
Manokwari menetapkan komisi penasehat Skripsi yang dinyatakan
dalam surat penugasan komisi penasehat/pembimbing Skripsi (Lampiran
5).

2. Penyusunan usulan penelitian

a. Usulan penelitian untuk Skripsi disusun oleh mahasiswa dengan arahan


dan bimbingan di dalam proses konsultasi dengan komisi
penasehat/pembimbing.
b. Format usulan penelitian pada dasarnya sama dengan format Skripsi
disertai jadwal pelaksanaan penelitian pada bagian akhir naskah usulan.
c. Setiap usulan penelitian yang telah disetujui oleh komisi
penasehat/pembimbing harus dipresentasikan dalam seminar usulan
penelitian.

3. Seminar usulan penelitian

a. Seminar usulan penelitian adalah mata kuliah dengan bobot kredit 1 sks.
Mata kuliah ini merupakan forum presentasi usulan penelitian bagi
mahasiswa penyusun Skripsi, yang diselenggarakan oleh program studi
untuk memperoleh masukan penyempurnaan usulan dalam rangka
penetapan usulan penelitian menjadi rencana penelitian.
b. Peserta seminar adalah ketua program studi, komisi penasehat, staf
pengajar bidang ilmu yang sehubungan dan mahasiswa-mahasiswa
program studi yang bersangkutan.
c. Permohonan penyelenggaraan seminar diajukan oleh mahasiswa dengan
cara:
1) Mengisi formulir surat permohonan seminar usulan penelitian
(Lampiran 6), dengan persetujuan komisi penasehat.
2) Menyerahkan naskah usulan penelitian yang telah disetujui oleh
komisi penasehat, sebanyak perkiraan jumlah peserta seminar.
3) Membuktikan kerajinannya mengikuti seminar usulan dan laporan
hasil penelitian dengan menunjukkan kartu seminar (Lampiran 7)
atas namanya.
d. Atas dasar permohonan mahasiswa, ketua program studi menetapkan :
1) Persetujuan penyelenggaraan seminar dengan membubuhkan tanda
tangannya pada surat permohonan mahasiswa yang bersangkutan,
2) Waktu penyelenggaraan seminar,
3) Pembuatan undangan seminar (Lampiran 8) dengan dilampiri masing-
masing dengan 1 eksemplar naskah usulan penelitian, dan
4) Moderator yang akan memimpin setiap presentasi dalam seminar.
e. Penilaian presentasi mahasiswa dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) Dilaksanakan oleh ketua program studi, komisi
penasehat/pembimbing, moderator dan staf pengajar yang hadir ;
2) Nilai ditetapkan atas dasar mutu naskah usulan penelitian,
penguasaan materi dan cara presentasi;
3) Digunakan sistem kategori yang sama dengan ujian Skripsi, dan
12
4) Nilai ditulis pada lembar penilaian seminar (proposal) usulan
penelitian (Lampiran 9) yang disediakan.
f. Hasil seminar yaitu rencana penelitian untuk penyusunan Skripsi
merupakan hasil penyempurnaan usulan penelitian dengan
mempertimbangkan saran perbaikan yang disampaikan oleh peserta
seminar, setelah disetujui oleh komisi penasehat/pembimbing.

C. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian untuk penyusunan Skripsi dilaksanakan oleh mahasiswa


sedapat mungkin sesuai dengan rencana penelitian dengan arahan penasehat.

1. Konsultasi dengan penasehat/pembimbing

Mahasiswa wajib berkonsultasi dengan para penasehat/pembimbing


secara intensif dan berkesinambungan. Pemantauan proses konsultasi
dilakukan oleh ketua program studi dengan pengisian kartu konsultasi
(Lampiran 10).

2. Laporan kemajuan penelitian

Kemajuan proses pelaksanaan penelitian dilaporkan setiap bulanan


kepada ketua program studi melalui lembar laporan kemajuan penelitian
untuk penyusunan Skripsi (Lampiran 11).

3. Jangka waktu pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan penelitian sedapat mungkin sesuai dengan jadwal yang


tercantum dalam rencana penelitian dengan jangka waktu 1 semester.

4. Presentasi hasil penelitian

Hasil penelitian dipresentasikan dalam seminar laporan hasil


penelitian untuk penyusunan Skripsi; mengajukan permohonan seminar
Laporan hasil penelitian untuk skripsi (lampiran 12) dan penilaian seminar
laporan hasil penelitian (lampiran 13).

D. Kegiatan Pascapenelitian

1. Seminar laporan hasil penelitian untuk Skripsi

a. Seminar laporan hasil penelitian adalah forum presentasi laporan


hasil penelitian yang diselenggarakan oleh program studi bagi
mahasiswa penyusun Skripsi untuk memperoleh masukan
penyempurnaan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi.
b. Penelitian berikut seminar laporan hasil penelitian adalah mata kuliah
dengan bobot kredit 6 sks, dalam hubungan ini, seminar merupakan
forum evaluasi hasil penelitian untuk menetapkan nilai mahasiswa
dalam mata kuliah ini.
13
c. Persiapan dan pelaksanaan seminar laporan hasil penelitian diatur
dengan prosedur dan tata cara yang sama dengan seminar usulan
penelitian, dengan tambahan bahwa setelah menetapkan persetujuan
penyelenggaraan seminar, ketua program studi segera mengajukan
usulan tentang personalia calon panitia ujian Skripsi (lampiran 14)
kepada Direktur, mengingat panitia ini akan bertindak sebagai
peserta/penilai dalam seminar laporan hasil penelitian. Formulir
permohonan seminar laporan hasil penelitian dan penilaiannya
masing-masing tercantum pada Lampiran 12 dan 13.

2. Panitia ujian Skripsi

a. Panitia ujian Skripsi adalah panitia akademik yang bertugas sebagai:


1) Pemeriksaan dan penilaian naskah Skripsi.
2) Penilai dan peserta seminar laporan hasil penelitian bersama
dengan dosen peserta lainnya.
3) Pelaksana dan penguji ujian Skripsi
b. Panitia ujian Skripsi terdiri atas 5 orang staf pengajar dari bidang
ilmu yang berkaitan dengan pokok Skripsi, dengan susunan : seorang
ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota dan
3 orang anggota termasuk komisi penasehat.
c. Panitia ujian Skripsi diangkat dan ditetapkan oleh Ketua STIE Mah
Eisa Manokwari dengan surat penugasan panitia ujian Skripsi
(Lampiran 15) atas usul Wakil Ketua I STIE Mah Eisa Manokwari.

3. Naskah Skripsi hasil seminar

Setelah dinyatakan lulus seminar laporan hasil penelitian, dengan


bantuan komisi penasehat/pembimbing, mahasiswa merangkum materi
laporan hasil penelitian dan masukkan penyempurnaan yang diperoleh
dari peserta seminar, untuk selanjutnya disusun menjadi naskah
Skripsi dengan format dan cara penulisan yang sesuai dengan pedoman
penyusunan Skripsi ini.

E. Ujian Skripsi

Ujian Skripsi adalah ujian akhir program studi yang dilaksanakan dengan
tujuan untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam penguasaan ilmu yang
menjadi pokok Skripsi serta ilmu-ilmu pendukunganya.

1. Persayaratan

Ujian Skripsi dapat dilaksanakan bagi mahasiswa yang telah:


a. Dinyatakan lulus semua mata kuliah dasar dan kurikulum nasional
serta mata kuliah lokal sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum
program pendidikannya, dengan indeks prestasi kumulatif (IPK)
minimal 2,00.
b. Dinyatakan lulus seminar laporan hasil penelitian.
c. Menyerahkan 7 eksemplar naskah Skripsi yang telah disetujui oleh
komisi penasehat, yaitu 5 eksemplar untuk panitia ujian, 1 eksemplar
untuk Pembantu Ketua I dan 1 eksemplar untuk Kabag Akademik.
14
d. Menyerahkan soft copy skripsi dalam bentuk jurnal maksimal 20
halaman.
e. Lulus Kursus Komputer Operator Tingkat Atas bersertifikat.
f. Mampu berbicara dalam bahasa Inggris secara aktif.
g. Lulus dan memperoleh surat keterangan pendamping ijazah(SKPI).
h. Menyerahkan bukti tidak mempunyai pinjaman barang milik STIE Mah
Eisa Manokwari.
i. Tidak memiliki utang di kampus.
j. Mendaftar diri untuk menempuh ujian Skripsi.
k. Terdaftar sebagai mahasiswa pada semester yang sedang berjalan.

2. Pelaksanaan

a. Ujian Skripsi dipimpin oleh ketua panitia ujian Skripsi, dilaksanakan


secara tertutup atau terbuka dan disampaikan secara lisan tanpa
menutup kemungkinan diberikan secara tertulis.
b. Ujian hanya dapat dilangsungkan jika dihadiri sekurang-kurangnya 4
(empat) orang penguji yang terdiri atas ketua, sekretaris, anggota dari
komisi penasehat dan seorang anggota lainnya.
c. Waktu ujian ditetapkan oleh ketua, setelah berkonsultasi dengan
sekretaris dan anggota panitia lainnya.
d. Undangan ujian Skripsi (Lampiran 16) dibuat oleh sekretaris dan ketua,
dikirimkan kepada semua anggota penguji dengan dilampiri masing-
masing dengan 1 eksemplar naskah Skripsi. Tembusan dengan
lampiran dikirim kepada Wakil Ketua I STIE Mah Eisa Manokwari,
sedangkan tembusan tanpa lampiran dikirimkan kepada mahasiswa
yang bersangkutan.
e. Ujian dilaksanakan paling lama 90 menit.

3. Penilaian
a. Penilaian dilaksanakan secara komprehensif atas materi ujian yaitu isi
Skripsi dan ilmu-ilmu pendukungnya.
b. Setiap penguji memberikan nilai komprehensif atas jawaban mahasiswa
terhadap pernyataan semua penguji. Lampiran 17 daftar nilai)
c. Nilai ujian Skripsi adalah nilai rataan dari semua nilai penguji.
d. Nilai ujian Skripsi dinyatakan dengan angka yang dikonversikan ke
nilai huruf dengan pedoman sebagai berikut:

Nilai Angka Nilai Huruf


80 – 100 A
70 – 79 B
60 – 69 C
50 – 59 D
< 50 E

15
4. Hasil ujian Skripsi

a. Yudisium diumumkan oleh ketua panitia ujian Skripsi atas nama


Ketua STIE Mah Eisa Manokwari, pada akhir ujian Skripsi, dalam
bentuk berita acara ujian skripsi (lampiran 18).
b. Catatan perbaikan beserta batas waktu penyempurnaan naskah
Skripsi disampaikan setelah yudisium, untuk ini mahasiswa harus
membuat surat perjanjian (Lampiran 19).
c. Bagi mahasiswa yang tidak lulus ujian Skripsi diberikan kesempatan
menempuh ujian ulangan satu kali dalam semester yang sama, jika
tidak lulus dalam ujian ulangan ini masih diberikan kesempatan
untuk menempuh ujian ulangan ke-2 pada semester berikutnya.
Apabila tidak lulus pada ujian ulangan ke-2, maka mahasiswa
tersebut dinyatakan gagal dan dikeluarkan dari STIE Mah Eisa
Manokwari.
d. Laporan hasil ujian Skripsi dibuat oleh panitia ujian Skripsi dan
diserahkan kepada Ketua STIE Mah Eisa Manokwari dengan dilampiri
berita acara ujian Skripsi
e. Tanggal kelulusan mahasiswa akan ditetapkan oleh SK. Yudisium
oleh Ketua STIE Mah Eisa Manokwari.

5. Penyerahan Skripsi

a. Skripsi yang telah diperbaiki oleh mahasiswa dan telah disetujui oleh
komisi penasehat, ditandatangani oleh ketua dan anggota komisi
penasehat dan disahkan oleh ketua program studi dan Ketua STIE Mah
Eisa Manokwari.
b. Skripsi tersebut dijilid dengan format yang sesuai dengan pedoman ini
dan digandakan sekurang-kurangnya 5 eksemplar, yaitu 2 eksemplar
untuk komisi penasehat, 2 eksemplar untuk perpustakaan STIE Mah
Eisa Manokwari, dan 1 eksemplar untuk mahasiswa sendiri.

6. Ringkasan Skripsi

a. Ringkasan Skripsi dibuat terpisah dari Skripsi, memuat dengan lengkap


tetapi singkat segenap materi Skripsi yaitu judul, nama penulis,
pendahuluan, metode penelitian, hasil pembahasan, simpulan, saran
dan daftar pustaka.
b. Ringkasan dalam bentuk jurnal disusun dalam bahasa Indonesia dan
Inggris, sedapat mungkin tidak lebih dari 20 halaman, dibuat rangkap 2
dan soft copynya diserahkan kepada Bagian Akademik untuk
dipublikasikan. Lihat contoh pada Lampiran.

16
BAB IV
FORMAT PROPOSAL SKRIPSI DAN SKRIPSI

A. Format Proposal

Bagian awal terdiri atas sampul depan, halaman judul, halaman


pengajuan, halaman persetujuan, daftar isi.
Sistematika Proposal Skripsi sama dengan skripsi, hanya dibatasi sampai bab
III, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODE PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: (Berisi daftar wawancara, daftar kwisioner, daftar observasi dll),
(Lampiran 20a dan b Format cover Proposal dan Hasil Penelitian).

B. Format Skripsi
Skripsi terdiri atas bagian awal, bagian utama dan bagian akhir.

Bagian Awal

Bagian awal terdiri atas sampul depan, halaman judul, halaman


pengajuan, halaman persetujuan, prakata, abstrak, abstract, daftar isi, daftar
tabel, daftar gambar, daftar lampiran dan daftar arti lambang dan singkatan.

1. Sampul depan

a. Sampul Skripsi berwarna biru laut bertulisan cetak:


(1) Judul Skripsi dalam bahasa Indonesia, dimulai tepat pada sembir
atas.
(2) Judul Skripsi dalam bahasa Inggris
(3) Nama lengkap penulis
(4) Tulisan Sarjana
(5) Lambang STIE Mah Eisa Manokwari (ukuran 4,5 x 3,5 cm)
(6) Tulisan STIE Mah Eisa Manokwari
(7) Tulisan Manokwari
(8) Tahun lulus ujian Skripsi
b. Kalimat atau kata dicetak dengan huruf kapital warna hitam dan
ditempatkan di tengah-tengah ruang tulis.
(lampiran 20b)

2. Halaman judul

a. Halaman ini memuat tulisan yang sama dengan sampul depan akan
tetapi dicetak di atas kertas putih yang sama dengan naskah.
b. Halaman ini adalah halaman bernomor i, tanpa mencantumkan
nomor halaman tetapi diperhitungkan.
Contoh format halaman judul tercantum pada (lampiran 20b).

17
3. Halaman pengajuan

a. Halaman ini memuat :


(1) Nama program studi
(2) Tulisan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai derajat
sarjana
(3) Nama program studi
(4) Tulisan disusun dan diajukan oleh
(5) Tanda tangan penulis
(6) Nama penulis
(7) Tulisan kepada
(8) Tulisan Strata Satu (S1)
(9) Tulisan STIE Mah Eisa Manokwari
(10) Tulisan Manokwari
b. Halaman ini adalah halaman bernomor ii, tanpa mencantumkan
nomor halaman tetapi diperhitungkan
Contoh format halaman pengajuan tercantum dalam lampiran 21.

4. Halaman persetujuan

a. Halaman ini memuat :


(1) Tulisan SKRIPSI
(2) Judul Skripsi
(3) Tulisan yang disusun dan diajukan oleh
(4) Nama mahasiswa
(5) Nomor pokok mahasiswa
(6) Tulisan telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi pada
tanggal
(7) Tanggal lulus ujian Skripsi
(8) Tulisan dan dinyatakan telah memenuhi syarat
(9) Persetujuan komisi penasehat, ketua program studi, dan Ketua
STIE Mah Eisa Manokwari.
b. Halaman ini terbuat dari kertas khusus bergambar bayang dengan
warna biru laut berbentuk lambang STIE Mah Eisa Manokwari dengan
ukuran 7 x 9 cm serta bergaris bingkai rangkap berwarna biru tua
berukuran 16 x 23 cm.
c. Halaman ini adalah halaman bernomor iii, tanpa mencantumkan
nomor halaman tetapi diperhitungkan.
Contoh halaman persetujuan dicantumkan pada lampiran 22.

5. Prakata

a. Prakata mengandung uraian singkat tentang maksud penyusunan


Skripsi, penjelasan-penjelasan dan ucapan terima kasih.
b. Pada bagian akhir dari prakata, di sebelah kanan, 4 spasi di bawah
baris kalimat terakhir penulis mencantumkan tempat, bulan, tahun
dan nama penulis.
Contoh prakata dicantumkan pada lampiran 23.

18
6. Abstrak/Intisari

a. Abstrak/intisari merupakan ikhtisar penelitian


b. Alinea pertama memuat nama penulis tanpa gelar (ditulis dengan
huruf kapital), judul Skripsi ditulis dengan huruf miring, tulisan
dibimbing oleh yang diikuti nama-nama komisi penasehat (tanpa
gelar) dalam tanda kurung.
c. Alinea kedua dan seterusnya dimulai dengan ikhtisar dari latar
belakang, tujuan, kegunaan, metode dan simpulan penelitian.
Contoh abstrak dicantumkan dalam lampiran 24.
7. Abstract

Bagian ini memuat abstrak dalam bahasa Inggris (Lampiran 25).


8. Daftar isi

a. Daftar isi disusun secara teratur menurut nomor halaman dan


memuat hal-hal berikut beserta nomor halamannya :
(1) Prakata
(2) Daftar Isi
(3) Daftar Tabel
(4) Daftar Gambar
(5) Daftar Lampiran
(6) Judul, subjudul dan anak subjudul dari seluruh bagian Skripsi
(7) Daftar Pustaka
(8) Lampiran
b. Tulisan DAFTAR ISI diketik dengan huruf kapital tanpa diakhiri tanda
titik, diletakkan tepat pada sembir atas simetris dari batas sembir kiri
dan kanan. Tulisan halaman diketik merapat ke sembir kanan, 3
spasi di bawah tulisan DAFTAR ISI.
c. Susunan daftar isi dimulai 3 spasi di bawah tulisan halaman. Jarak
antarjudul dan subjudul adalah 2 spasi. Jika judul dan subjudul
tidak cukup ditulis dalam 1 baris maka baris kedua dan seterusnya
ditulis dengan jarak baris 1 spasi dengan diberi indentasi 5 ketukan
dari huruf awal baris pertama.
d. Judul, subjudul dan anak-subjudul ditulis dengan jenis huruf yang
sama dengan teks tanpa ditebalkan.
Contoh format daftar isi dicantumkan dalam Lampiran 26.

9. Daftar tabel

a. Daftar tabel disusun secara berurut sesuai dengan nomor tabel dan
halamannya.
b. Tulisan DAFTAR TABEL diketik dengan huruf kapital tanpa diberi titik
dan ditempatkan tepat pada sembir atas di tengah ruang tulis,
simetris dari sembir kiri dan kanan.
c. Tulisan nomor diketik mulai batas sembir kiri dan tulisan halaman
diketik merapat pada batas sembir kanan dengan jarak 3 spasi di
bawah tulisan DAFTAR TABEL.
d. Judul tabel diketik dengan huruf kapital pada huruf awal kata
pertama, dimulai 3 ketukan setelah tanda titik yang mengikuti nomor
19
tabel dan berakhir 1 ketukan sebelum huruf h dari kata halaman.
Jarak antar judul tabel adalah 2 spasi. Jika satu judul memerlukan
dua baris atau lebih, maka jarak antara baris adalah 1 spasi dan
huruf pertama baris kedua dan seterusnya diketik dengan indentasi 5
ketukan dari huruf awal baris pertama.
Contoh:
format daftar tabel tercantum dalam Lampiran 27.

10. Daftar gambar

Daftar gambar diletakkan sesudah daftar tabel, berisi urutan judul


gambar dan nomor halamannya. Daftar gambar ditulis dengan format
yang sama dengan daftar tabel.
Contoh:
format daftar gambar tercantum dalam lampiran 28.

11. Daftar lampiran

Daftar lampiran diletakkan sesudah daftar gambar dan berisi


urutan judul lampiran dan nomor halamannya. Daftar lampiran ditulis
dengan format yang sama dengan daftar tabel dan daftar gambar.
Contoh format daftar lampiran tercantum dalam lampiran 29.

12. Daftar arti lambang dan singkatan

a. Daftar arti lambang dan singkatan memuat lambang dan singkatan


yang dipergunakan dalam Skripsi. Bagian ini diperlkan jika dalam
Skripsi digunakan banyak lambang dan singkatan.
b. Daftar ini dibuat dengan format yang sama dengan tabel dengan 2
kolom yaitu kolom pertama berisi singkatan dan lambang sedangkan
kolom kedua berisi penjelasan.
Contoh format daftar arti lambang dan singkatan tercantum dalam
lampiran 30.

Bagian Utama

Bagian utama Skripsi terdiri atas pendahuluan, tinjauan pustaka,


hipotesis, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan dan
saran.

1. BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan merupakan bagian awal skripsi yang memberikan
gambaran tentang:
A. Latar belakang
Latar belakang adalah perwajahan dari suatu penelitian/tulisan yang
mengetengahkan arti penting mengapa penelitian dilakukan
berdasarkan konsep-konsep ilmiah dan atau data-data empiris yang
diperoleh dari penelitian pendahuluan yang terdiri atas:
Dass Sollen (kondisi ideal: teori-teori, perundang-undangan) Dass Sein
(kondisi nyata, peristiwa konkrit), Fenomena dan isu.
B. Rumusan Masalah
20
Permasalahan adalah perbedaan/gab/antara dass solen dan dass sein
yang diformulasikan dalam bentuk kata tanya untuk mengarahkan
kemana sebenarnya penelitian akan ditujukan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian harus relevan dengan rumusan masalah, yang
hendak dicapai oleh mahasiswa di dalam penelitiannya.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian berisi tentang segala hal yang berguna apabila
penelitian telah tercapai.
E. Keaslian Penelitian
Peneliti mampu mendapatkan data penelitian sejenis terdahulu, dan
mampu menjelaskan perbedaan dengan penelitian yang akan
dilakukan, baik substansi penelitian maupun prosedur penelitiannya.

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang teori, pemikiran


dan hasil penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian
yang akan dilakukan penulis. Fakta-fakta yang dikemukakan bersumber
dari dokmen yang sudah atau belum dipublikasikan dan sedapat mungkin
diambil dari sumber aslinya, bukan mengutip dari kutipan. Semua sumber
yang digunakan harus disebut dengan mencantumkan nama penulis dan
tahun penerbitan, yang terdiri atas:
A. Grand teori dan teori dan penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian (teori berdasarkan variabel penelitian),
B. Kerangka Pikir
Bagian ini memperlihatkan kaitan antar variabel yang akan diteliti yang
diperkuat dengan dengan teori dengan fakta empiris.
C. Hipotesis
Hipotesis merupakan pernyataan singkat yang disimpulkan dari teori-
teori yang diuraikan pada bagian tinjauan pustaka yang merupakan
jawaban sementara terhadap masalah yang dihadapi, yang masih
harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis dirumuskan berdasarkan
kerangka konseptual/teoretis yang selanjutnya harus diuji
kebenarannya melalui analisis data penelitian.

3. BAB III METODE PENELITIAN

Bagian ini memuat secara rinci dan sedapat mungkin secara kronologis
penjelasan tentang cara penelitian dilakukan. Uraian ini meliputi sifat
penelitian, tempat dan waktu bahan atau materi, alat yang digunakan,
serta kesulitan-kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan penelitian.

A. Tempat dan Waktu Penelitian.

Untuk penelitian lapang harus disebutkan tempat dan kondisi wilayah


serta waktu pelaksanaan penelitian.

21
B. Jenis dan Sumber Data

Bagian ini diuraikan Jenis data kualitatif dan kuantitatif, dan Sumber
data apakah primer atau sekunder.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian berisi tentang apa atau siapa target populasi

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan bagian yang berisi tentang cara


mengumpulkan data penelitian dan instrumennya. Misalnya angket.
Wawancara., observasi, studi dokumentasi atau kombinasi

E. Teknik Analisis data

Bagian ini mengemukakan cara menganalisis data penelitian untuk


menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam rumusan masah.

F. Definisi Operasional Variabel

Defenisi operasional bertujuan untuk mengoperasioalkan variabel


dalam bentuk ukuran-ukuran dari variabel penelitian, misalnya
dimensi/indikator/kriteria tertentu berdasarkan rujukan dari suatu
referensi.

G. Kesulitan-kesulitan yang timbul.

Semua kesulitan yang timbul dan cara pemecahannya perlu


ditampilkan agar penelitian yang berkecimpung dalam bidang sejenis
terhindar dari kekeliruan serupa. Mengingat pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan yang mengakibatkan munculnya berbagai bidang
ilmu dengan metode pendekatan yang beraneka ragam, maka hal-hal
yang dikemukakan di atas dalam bidang-bidang tertentu tidak selalu
dapat diterapkan. Bila terjadi demikian, maka tidak perlu dipaksakan.
Misalnya dalam bidang matematika atau filsafat, tidak perlu diuraikan
tentang bahan yang dipergunakan.

4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bagian ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang dapat


dipisahkan atau dipadukan. Penyajian hasil penelitian dapat disertai
tabel, grafik, foto atau bentuk lain.
B. Pembahasan tentang hasil yang diperoleh berupa penjelasan teoritik,
baik secara kualitatif, kuantitatif atau secara statistik.

22
5. BAB V PENUTUP

Kesimpulan dan saran dinyatakan secara terpisah.


A. Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dan tepat yang dijabarkan
dari hasil penelitian dan pembahasan serta merupakan hasil pengujian
hipotesis., (Kesimpulan menjawab rumusan masalah).
B. Saran dibuat berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman serta
pertimbangan penelitian yang ditujukan kepada para peneliti yang
akan melanjutkan atau memperkembangkan penelitian yang sudah
diselesaikan., (Kelemahan, kekurangan dalam kesimpulan itu yang
disarankan untuk diperbaiki, saran implementatif, ditujukan kepada
siapa, buat apa, dan bagaimana caranya).

Bagian Akhir

Bagian akhir memuat daftar pustaka dan lampiran

1. DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka memuat pustaka yang diacu dalam penelitian dan


disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama.
a. Untuk buku, ditulis berturut-turut nama penulis, tahun terbit, judul
buku (dengan huruf miring), jilid, nomor terbit, nama penerbit dan
kota tempat penerbitan.
b. Untuk jurnal dan majalah ditulis nama penulis, tahun terbit, judul
tulisan, singkatan resmi nama majalah (dengan huruf miring), jilid,
nomor terbit dan nomor halaman yang diacu.
Contoh:
penulisan daftar pustaka terdapat dalam lampiran 31.

2. LAMPIRAN

Lampiran dipakai untuk menempatkan data atau keterangan lain yang


berfungsi untuk melengkapi uraian yang telah disajiakan pada bagian
utama Skripsi.

23
BAB V

TATA CARA PENULISAN

Bab ini menetapkan jenis bahan dan ukuran naskah, tata cara pengetikan
dan pemberian tanda urut/penomoran, mengatur pencatuman tabel dan gambar
serta menentukan pedoman tentang ragam bahasa, cara penulisan nama dan
hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam tata cara penulisan Skripsi.

A. Bahan dan Ukuran

1. Naskah
Naskah Skripsi dibuat di atas kertas HVS 80 g/m2, berwarna putih, ditulis
tidak bolak-balik dengan menggunakan pita mesin tulis berwarna hitam.

2. Sampul
Sampul dibuat dari kertas bufalo atau yang sejenis, diperkuat dengan
karton dan lapisi plastik. Warna sampul Skripsi adalah merah bendera.

3. Ukuran
Ukuran naskah adalah 21 x 28 cm.

B. Pengetikan
1. Mesin tulis
Naskah dapat ditulis dengan menggunakan komputer atau mesin ketik.
2. Jenis huruf
a. Naskah ditulis dengan huruf Times New Roman, Arial atau Bookman
Old Style berukuran 12 huruf/inci. Penggunaan huruf persegi tidak
diperkenankan.
b. Huruf miring untuk tujuan tertentu, seperti yang diatur dalam
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, jika
diketik dengan huruf biasa diberi satu garis di bawahnya.
c. Huruf tebal untuk subjudul, anak subjudul dan sub-anak-subjudul jika
ditulis dengan mesin ketik diberi satu garis di bawahnya.
d. Lambang, huruf Yunani atau tanda-tanda yang tidak dapat diketik,
ditulis rapi dengan memakai tinta hitam.
3. Bilangan dan satuan
a. Lambang bilangan ditulis dengan angka, kecuali pada awal kalimat.
b. Satuan dinyatakan dengan singkatan resminya tanpa tanda titik di
belakangnya. Jika belum ada singkatan resmi, maka satuan ditulis
secara lengkap. Misalnya 5 m, 10 kg, 1 jam 20 menit.
4. Jarak baris
Jarak antara 2 baris dibuat 2 spasi kecuali abstrak, kutipan langsung,
judul dan isi daftar tabel dan gambar serta pustaka yang lebih dari 1 baris,
ditulis dengan jarak 1 spasi.
5. Batas sembir (margin)
Batas-batas pengetikan, ditinjau dari tepi kertas diatur dengan jarak
sebagai berikut :
a. Tepi atas : 4 cm
24
b. Tepi bawah : 3 cm
c. Tepi kiri : 4 cm dan
d. Tepi kanan : 3 cm

6. Pengisian ruang tulis


Ruang tulis, yaitu bagian halaman yang terdapat di sebelah dalam sembir,
sedapat mungkin diisi penuh, artinya penulisan dimulai dari sembir kiri
sampai ke sembir kanan tanpa ada ruang yang terbuang, kecuali jika akan
memulai alinea baru, persamaan, daftar, rincian ke bawah, gambar,
subjudul atau hal-hal yang khusus.

7. Alinea, paragraf dan permulaan kalimat


a. Paragraf adalah kumpulan kalimat yang membentangkan satu
kesatuan pokok pikiran atau mengandung satu tema dan kesatuan
susunan.
b. Alinea baru mengawali sebuah paragraf dan dimulai dengan indentasi
(masuk) 5 ketukan dari sembir kiri.
c. Bilangan, lambang atau rumus kimia yang memulai suatu kalimat
harus dieja. Misalnya: Lima puluh orang tewas dalam kecelakaan itu.

8. Judul, subjudul, anak-subjudul dan seterusnya


a. Judul digunakan untuk kepala bab dan ditulis pada halaman baru.
Tulisan BAB dan nomornya ditulis dengan huruf kapital dan angka
romawi yang ditebalkan dan diletakkan di tengah halaman tepat pada
sembir atas. Judul juga selengkapnya dituls dengan huruf kapital yang
ditebalkan dan diletakkan di tengah halaman 3 spasi dibawah tulisan
BAB. Kalimat pertama sesudah judul dimulai dengan alinea baru, 3
spasi di bawah baris akhir dari judul.
b. Subjudul ditulis simetris di tengah-tengah, 3 spasi di bawah baris
sebelumnya, semua kata dimulai dengan huruf kapital kecuali kata
hubung dan kata depan, kata demi kata ditebalkan dan tanpa diakhiri
tanda titik. Kalimat pertama sesudah subjudul dimulai dengan alinea
baru, 3 spasi di bawah subjudul.
c. Anak-subjudul ditulis mulai dari sembir kiri 3 spasi di bawah baris
sebelumnya dengan huruf kapital hanya pada huruf pertama kata
pertama, setiap kata ditebalkan dan tanpa diakhiri dengan tanda titik.
Kalimat pertama sesudah anak subjudul mulai dengan alinea baru 2 ½
spasi di bawah anak-subjudul.
d. Sub-anak-subjudul ditulis mulai dari ketikan ke-6 dari sembir kiri,
setiap kata diberi garis bawah dan diakhiri dengan tanda titik. Kalimat
pertama yang menyusul kemudian, diketik terus ke belakang pada
baris yang sama dengan sub-anak subjudul. Selain itu, sub-anak-
subjudul dapat juga ditulis sebagai bagian/anak kalimat yang
ditempatkan di depan dengan diberi garis bawah.
Contoh. penulisan judul, subjudul dan seterusnya tertera pada
lampiran 32.

25
9. Perincian ke bawah
Jika pada penulisan naskah ada perincian yang harus disusun ke bawah,
maka:
a. Sebagai tanda urut rincian dipakai angka atau huruf abjad sesuai
dengan derajat rinciannya, diikuti dengan tanda titik atau diapit
tanda kurung.
b. Huruf atau angka tanda urut rinciannya ditulis tepat di bawah huruf
pertama baris kalimat yang berada diatasnya.
c. Jika rincian tidak cukup ditulis dalam 1 baris maka huruf pertama
baris kedua dan seterusnya ditulis tepat di bawah huruf pertama
baris pertama.
d. Penggunaan tanda kurung (-) sebagai tanda rincian tidak
dibenarkan.

10. Letak simetris


Gambar, tabel, daftar, persamaan, judul dan subjudul ditulis simetri
terhadap sembir kiri dan kanan ruang tulis.

C. Pemberian Tanda Urut

Bagian ini meliputi tata cara pemberian tanda urut untuk halaman
naskah, tabel, gambar, persamaan serta judul, subjudul dan seterusnya.
Pemberian tanda urut dilaksanakan dengan penomoran menggunakan angka
romawi atau angka Arab dengan pengabjadan menggunakan huruf kapital atau
huruf biasa.

1. Halaman
a. Bagian awal Skripsi, mulai dari prakata sampai dengan akhir daftar,
diberi nomor halaman dengan angka Romawi kecil.
b. Bagian utama dan bagian akhir, mulai dari pendahuluan sampai ke
halaman terakhir, diberi nomor halaman dengan angka Arab.
c. Nomor halaman ditempatkan di sebelah kanan atas, kecuali jika ada
judul atau bab pada bagian atas halaman itu, untuk halaman yang
demikian nomornya ditulis di sebelah kanan bawah.
d. Nomor halaman diketik dengan jarak 3 cm dari tepi kanan dan 2 cm
dari tepi atas atau tepi bawah.

2. Tabel
Tabel diberi tanda urut dengan angka Arab.

3. Gambar
Gambar diberi tanda urut dengan angka Arab.

4. Judul, subjudul dan seterusnya


Tanda urut bab dari judul, subjudul, anak-subjudul, sub-anak-subjudul
dan seterusnya berturut-turut menggunakan angka Romawi, huruf
kapital, angka Arab, huruf biasa dan angka/huruf berkurung.

26
D. Tabel dan Gambar

1. Tabel

a. Judul tabel ditulis dengan diawali tulisan tabel beserta nomor urutnya,
dengan angka Arab dan tanda titik, hanya huruf pertama dari kata
pertama yang ditulis dengan huruf kapital dan tidak diakhiri tanda
titik. Keseluruhan judul ini ditempatkan simetris di atas tabel dan jika
lebih dari 1 baris maka ke-2 dan seterusnya ditulis mulai tepat di
bawah huruf pertama nama judul dengan jarak 1 spasi.
b. Tabel tidak boleh dipenggal, jika terpaksa karena memang panjang
sehingga tidak mungkin ditulis dalam satu halaman, maka pada
halaman lanjutan dicantumkan kata Lanjutan tabel diikuti nomor tabel,
tanpa disertai judulnya lagi. Nama-nama kolom tabel ditulis kembali.
c. Kolom-kolom diberi nama dan dijaga agar pemisahan antara kolom
yang satu dengan yang lainnya cukup tegas, tanpa garis pemisah
kolom.
d. Jarak antar lajur adalah 1 ½ spasi, sedangkan jika lajur tidak cukup
ditulis dalam 1 baris dalam kolom yang bersangkutan, maka jarak
antar baris dalam satu lajur adalah 1 spasi.
e. Jika tabel lebih lebar daripada ukuran lebar naskah, sehingga harus
dibuat memanjang naskah, maka bagian tabel diletakkan di sebelah kiri
kertas atau di sisi jilidan.
f. Tabel yang dikutip dari sumber lain harus dinyatakan dengan cara
menulis sumbernya pada akhir judul tabel seperti cara pengacuan
sumber pustaka dalam uraian.
g. Tabel diketik simetri terhadap sembir kiri kanan dan terhadap teks di
atas dan di bawahnya dengan jarak masing-masing 3 spasi.
h. Tabel yang terdiri atas lebih dari 2 halaman atau harus dilipat
ditempatkan pada lampiran.
Contoh tabel tercantum dalam lampiran 33.

2. Gambar
a. Bagian Skripsi yang diatur sama dengan gambar adalah bagan, grafik,
peta, foto, konfigurasi dan langkah-langkah reaksi kimia.
b. Gambar di buat dengan tinta hitam di atas kertas putih.
c. Judul gambar ditulis 2 spasi di bawah gambar, diawali dengan tulisan
Gambar dan angka Arab serta tanda titik, selanjutnya ditulis judul
gambar dengan huruf kapital pada huruf awal kata pertama saja tanpa
diakhiri tanda titik. Keseluruhan judul ini ditempatkan simetris di
bawah gambar dan jika lebih dari satu baris maka baris ke-2 dan
seterusnya ditulis mulai tepat di bawah huruf pertama nama judul
dengan jarak antar baris 1 spasi.
d. Gambar tidak boleh penggal, jika terpaksa karena ukuran gambar lebih
luas dari 1 halaman, maka gambar dapat dilipat yang rapi.
e. Bila gambar dilukis memanjang halaman naskah, maka bagian atas
gambar diletakkan di sebelah kiri di sisi jilidan.
f. Keterangan gambar ditulis pada tempat-tempat yang lowong dalam
gambar dan tidak pada halaman lain.
g. Skala pada grafik dibuat agar mudah dipakai untuk mengadakan
interpolasi dan ekstrapolasi. Gambar yang dibuat di atas kertas grafik
27
tidak dibenarkan, demikian pula jika kemudian kertas grafik ini
ditempelkan pada kertas naskah. Untuk kurva hubungan linear, skala
pada sumbu x dan y ditetapkan sedemikian rupa sehingga ada
kesesuaian antara kemiringan (slope) dengan persamaan regresinya.
h. Potret hitam-putih atau berwarna ditempelkan pada kertas naskah
dengan perekat yang kuat, bukan dengan plester sudut.
i. Gambar beserta judulnya dibuat simetris terhadap sembir kiri kanan
dan terhadap teks di atas dan di bawahnya dengan jarak masing-
masing 3 spasi.
j. Gambar yang dikutip dari sumber lain harus dinyatakan sumber,
dengan menuliskannya pada akhir judul gambar seperti cara
pengacuan sumber pustaka dalam uraian.
Contoh gambar tercantum dalam lampiran 34.

E. Bahasa

1. Bahasa yang dipakai


Bahasa yang dipakai untuk Skripsi adalah bahasa Indonesia ragam baku
dengan gaya bahasa keilmuan yang berciri antara lain sebagai berikut :
a. Bernada formal, nalar dan obyektif
b. Gagasan atau paham dikomunikasikan secara lugas, jelas, ringkas dan
tepat. Istilah atau ungkapan yang dipakai tidak bermakna ganda.
c. Lasim dipakai titik pandang nara ketiga dengan kalimat berbentuk
pasif. Oleh karena itu tidak digunakan kata ganti orang pertama atau
kedua seperti saya, aku, kami, kita, engkau dan lain-lainnya. Pada
penyajian ucapan terima kasih dalam prakata, saya diganti dengan
penulis.
d. Dihindari ungkapan-ungkapan yang berlebihan, mubazir dan
emosional.
e. Berbentuk prosa dengan corak pemaparan (eksposisi).
f. Kalimat dan paragraf tidak terlalu panjang.
g. Format dan tata cara penulisan harus konsisten

2. Istilah
a. Istilah yang dipakai ialah istilah Indonesia atau yang telah
diIndonesiakan. Pengindonesiaan istilah asing berpedoman kepada
Pedoman Umum Pembentukan istilah.
b. Jika terpaksa harus memakai istilah asing, maka istilah ini ditulis
dengan huruf miring atau bergaris bawah.
c. Istilah-istilah baru yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia
dapat digunakan, asal konsisten. Pada penggunaannya yang pertama
kali perlu diberikan padanannya dalam bahasa asing diapit tanda
kurung dengan huruf miring. Jika istilah baru ini cukup banyak
jumlahnya, maka sebaiknya dibuatkan daftar istilah dalam lampiran.

28
F. Penulisan Nama

Bagian ini memberikan pedoman tentang pengutipan nama penulis yang


diacu dalam uraian dan daftar pustaka.

1. Nama penulis, tahun dan halaman yang diacu dalam uraian

a. Penulis yang tulisannya diacu dalam uraian hanya disebut nama


akhirnya saja, tahun terbitan dan halaman.
b. Jika terdapat 2 penulis yang mempunyai nama akhir yang sama dan
menulis pada tahun yang sama maka untuk membedakannya di
belakang tahun diberi huruf kecil a, b dan seterusnya.
c. Jika penulisnya dua orang maka kedua nama akhir dituliskan dengan
menyelipkan kata dan atau and di antara kedua nama tersebut.
d. Jika penulisnya lebih dari dua orang maka hanya nama akhir penulis
pertama yang dicantumkan diikuti dengan dkk atau et al.
e. Jika penulisnya tidak jelas maka digunakan tulisan Anonim sebagai
pengganti nama penulis.
f. Jika kutipan bersumber dari buku suntingan atau risalah (proceeding)
maka yang ditulis adalah nama penulis asli bukan nama
penyuntingnya.
g. Jika kutipan bersumber dokumen-dokumen resmi seperti undang-
undang, peraturan pemerintah, garis-garis besar haluan negara,
peraturan daerah, surat keputusan dan koran maka nama sumbernya
ditulis langsung dalam teks tanpa tanda kurung dicetak miring dan
tidak dicantumkan dalam daftar pustaka.
Misalanya :
a. Menurut Taran (2005:12) mengemukakan bahwa penderita
penyakit ...
b. Akhir-akhir ini gejala perkelahian .......(Smith, 1927:25)
c. Pemberian obat tradisional meningkat .....(Darise dan Kadir,
1973:60).
d. Menurut Black and Smith (1974:32), tanah yang .......................
e. Hal ini telah diteliti sebelumnya (Rampisela dkk., 1992:67).
f. Inflasi ternyata naik mendekati angka dua digit, sebagaimana
tercantum dalam harian Kompas, 2 September 1992.

2. Nama penulis dalam daftar pustaka

Dalam daftar pustaka semua penulis harus dicantumkan namanya.


a. Nama penulis lebih dari 1 kata.
Cara penulisannya adalah nama akhir diikuti dengan tanda koma,
singkatan nama depan, nama tengah dan seterusnya, yang semuanya
diberi tanda titik.
Misalnya:
(1). Adam C. Smith, John Kelvin and Bernard Klauss ditulis Smith, A.C.,
Kelvin, J. and Klauss, B.
(2). Sultan takdir Alisyahbana ditulis Alisyahbana, S.T.
b. Nama penulis dengan singkatan.
Nama yang diikuti dan atau diawali dengan singkatan, maka singkatan-
singkatan itu dianggap sebagai nama tengah.
29
Misalnya :
(1) Willian D. Ross Jr. Ditulis Ross, W.D.Jr.
(2) Abd. Rahman C.I. ditulis Rahman, A.C.I.
c. Jika nama penulis dari sumber pustaka tidak jelasa diganti dengan
kata anonim.
Misalnya:
(1) Anonim. 1950. Malin Kundang. Balai Pustaka, Jakarta
d. Jika sumber pustaka merupakan dokumen resmi yang diterbitkan oleh
suatu instansi, maka nama instansi tersebut dipakai sebagai pengganti
nama penulis.
Misalnya:
(1) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. 1975. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Balai
Pustaka, Jakarta.
(2) Program Sarjana STIE Mah Eisa Manokwari. 2005. Pedoman
Penyusunan Skripsi. Bintuni
e. Derajat kesarjanaan tidak boleh dicantumkan
f. Gelar tradisional atau kebangsawanan dan keagamaan dianggap
sebagai satu kesatuan dengan nama akhir.
Misalnya :
(1) Raden Suryo Negoro ditulis Negoro R., S
(2) Raden Mas Suryodiningrat ditulis Suryodiningrat R.M.
(3) Andi Husni Tanra ditulis Tanra A., H.
(4) K.H. Raden Mas Mansyur ditulis Mansyur K.H.R.M.
(5) Monsigneur Sugiyo Pranoto S.J. ditulis Pranoto Mgr. S.J., S.
(6) Pdt. Siahaan S.Th. ditulis Siahaan Pdt.
g. Penulisan nama yang perlu mendapat perhatian seperti nama Indonesia
yang menggunakan dan atau garis hubung dan beberapa nama asing
lainnya, penulisannya dapat dilihat pada contoh yang tercantum pada
lampiran 35.

G. Kutipan dan Catatan Kaki

Kutipan dalam penulisan skripsi dan makalah dapat berupa:


1. Kutipan langsung
2. Kutipan tidak langsug
Dan modelnya dapat berupa body note (catatan badan) dan foot note
(catatan kaki).
1. Kutipan langsung
a. Harus sama dengan aslinya baik mengenai susunan kata-katanya,
ejaannya, maupun tanda-tanda bacanya.
b. Jika panjangnya kurang dari lima baris, pengetikannya diintegrasikan
dalam teks/naskah dengan dua spasi dan diberi tanda kutip pada awal
dan akhir kutipan.
Contoh:
Actio Pauliana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1341 KUHPerdata
diatur pula dalam Undang-Undang Kepailitan : ”actio pauliana di dalam
UUK merupakan ketentuan yang lazim ada pada bankruptcy law dari
banyak negara. Pencantuman ketentuan ini, yang dikenal pula dengan

30
nama ’claw back provision’, didalam Undang-Undang Kepailitan sangat
perlu.”
Jika panjangnya lima baris atau lebih menggunakan spasi satu tanpa
tanda kutip pada awal dan akhir kutipan, dimulai setelah 1,5 cm dari
batas tepi kiri. Jarak antara kutipan yang panjangnya lima baris atau
lebih dan teks adalah dua spasi.
Contoh:
Berdasarkan ajaran perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
jika ternyata terbukti Direksi tidak menjalan kewajibannya secara
pantas (kennelijk onbehoorlijk taakvervulling) dan akibat dari
kelalaiannya itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pihak
yang dirugikan berhak menuntut anggota Direksi secara pribadi sebagai
pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, yang menurut
hukum Indonesia berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata (di Negara
Belanda Pasal 1639 N.B.W.)
d. Apabila dalam kutipan perlu dihilangkan beberapa bagian dari kalimat,
maka pada bagian yang dihilangkan diganti 3 titik.
Contoh:
“... program restrukturisasi kredit perbankan yang dilaksanakan
selama ini ... berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam
pengelolaan bank.”
e. Kalau dari suatu kutipan yang dihilangkan itu langsung sampai pada
akhir kalimat, maka diganti dengan 4 titik.
Contoh:
“Permohonan pengesahan dana pensiun diajukan oleh bank atau
perusahaan asuransi jiwa ....”
f. Titik 4 juga digunakan jika yang dihilangkan bagian awal kalimat
berikutnya atau lebih.
Contoh:
“.... yang diperlukan untuk bertindak sebagai pengurus”
g. Kalau perlu disisipkan sesuatu ke dalam kutipan, dipergunakan tanda
kurung besar [ ...].
Contoh:
Bentuk utang pajak tagihan yang lahir dari Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 [sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9
Tahun 1999]. (Pertimbangan Putusan No. 015K/N/1999 tanggal 4 Juli
1999)
h. Kutipan yang panjangnya kurang dari lima baris terdapat tanda kutip
(dua koma), maka tanda kutip itu diubah menjadi tanda kutip satu
koma. Contoh:
Ketentuan mengenai actio pauliana di dalam UUK merupakan
ketentuan yang lazim ada pada bankruptcy law dari banyak negara.
Pencantuman ketentuan ini, yang dikenal pula dengan nama “claw
back provision” , di dalam Undang-Undang Kepailitan sangat perlu.
Jika dikutip maka pengetikannya seperti berikut ini:
”Ketentuan mengenai actio pauliana di dalam UUK merupakan
ketentuan yang lazim ada pada bankruptcy law dari banyak negara.

31
Pencantuman ketentuan ini, yang dikenal pula dengan nama ’claw
back provision’ , di dalam Undang-Undang Kepailitan sangat perlu.”
i. Kata-kata yang tidak bergaris dalam aslinya, tetapi oleh pengutip
dianggap perlu diberi garis, dibubuhi catatan langsung di belakang
bagian yang diberi garis di antara tanda kurung besar.
Contoh :
“Dalam hal seperti itu, ternyata Presiden sama sekali tidak [garis miring
dari penulis] mempunyai pengaruh apa-apa”.
Cara ini berlaku bagi setiap perubahan dan tambahan terhadap bentuk
asli bahan yang dikutip.
j. Tiap-tiap kutipan diberi nomor kutipan pada akhir kutipan. Nomor
diketik setengah spasi di atas baris kalimat, langsung sesudah akhir
kutipan. Nomor kutipan berurut sampai bab terakhir, tidak dibubuhi
titik, tanda kurung, dan lain-lain.

2. Kutipan tidak langsung (parafrasa)


a. “Paraphrase” (parafrase) adalah “a restatement of the sense of a text or
passage in other words, as for clearness; afree rendering or translation,
as of a passafe ....” ( tulis dalam catatan kaki: lihat The New Grolier
Webster International Dictionary. Vol II, 1976, h. 668). Yang
diutamakan dalam kutipan tidak langsung adalah semata-mata isi,
maksud, atau jiwa kutipan bukan cara dan bentuk kutipan.
b. Pada kutipan tidak langsung harus dicantumkan nomor kutipan dan
sumber kutipan yang dimuat dalam footnote dengan nomor yang sama.

3. Catatan badan (Body note)


Body note dapat dilakukan pada awal atau akhir kalimat.
Contoh diawal kalimat : Menurut Wanma (2016:21) bahwa
masyarakat.....
Contoh diakhir kalimat : Masyarakat Suku Sumuri.....berada di kabupaten
Teluk Bintuni (Wanma, 2016:21).

4. Catatan Kaki (Footnote)


a. Footnote adalah catatan di kaki halaman untuk menyatakan sumber,
pendapat, fakta, atau ikhtisar atau suatu kutipan dan dapat juga berisi
komentar mengenai suatu hal yang dikemukakan di dalam teks.
b. Sesuai dengan namanya, footnote ditempatkan di kaki halaman, yaitu:
1) Tiap-tiap footnote ditempatkan pada halaman yang sama dengan
bagian yang dikutip atau diberi komentar;
2) Pada jarak dua spasi di bawah teks baris kalimat terakhir ditarik
garis pemisah mulai dari batas margin kiri sampai margin kanan;
3) Footnote pertama pada halaman yang bersangkutan juga
ditempatkan pada jarak dua spasi di bawah garis pemisah;
4) Nomor-nomor footnote disusun berurutan mulai nomor satu sampai
nomor terakhir (nomor footnote pertama dalam bab berikutnya

32
adalah lanjutan nomor footnote terakhir bab sebelumnya), tanpa
titik, tanpa kurung, dan lain-lain.
c. Tiap-tiap nomor footnote ditempatkan setengah spasi di atas baris
pertama tanpa dibubuhi titik, tanda kurung, dan lain-lain, tetapi
langsung diikuti huruf pertama dalam footnote (tanpa diselingi satu
pukulan ketik).
d. Tiap-tiap footnote diketik berspasi satu dan dimulai sesudah 1,5 cm dari
batas tepi kiri. Baris kedua dan seterusnya dari suatu footnote dimulai
pada batas tepi kiri..
e. Kalau suatu footnote terdiri atas dua alinea atau lebih, maka tiap-tiap
alinea disusun seperti petunjuk di atas ini.
f. Jarak antara tiap-tiap footnote adalah dua spasi.

H. Bentuk-Bentuk Footnote
Berikut ini diuraikan bentuk-bentuk dan contoh-contoh footnote untuk
sumber kutipan dari buku, makalah, surat kabar, karya yang tidak
diterbitkan, wawancara, ensiklopedi, internet, dan lain-lain.
1. B u k u
Yang dicantumkan berturut-turut adalah nomor footnote nama
pengarang (nama kecil atau nama depan, nama tengah/initial untuk
orang barat umumnya, dan nama akhir atau nama keluarga), judul
buku, jilid, cetakan, edisi, penerbit, tempat diterbitkan, tahun
penerbitan, dan nomor halaman yang dikutip. Judul buku diberi garis
atau dicetak miring jilid atau dicetak tebal.

a. Satu orang pengarang :


1Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, hlm. 299
2Lon L. Fuller, Jurisprudence, The Foundation Press, Mineloa, New
York, 1949, hlm. 14.
b. Dua atau tiga orang pengarang:
3J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastronoto, Pelajaran Hukum
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1973, hlm. 49.
4Leon Boim, Glenn G. Morgan, dan Aleksander W. Rudzinski, Legal
Controles in the Soviet Union, A.W. Sijthoff, Leiden, 1966, hlm. 302.
c. Lebih dari tiga orang pengarang, hanya nama pengarang, pertama
yang dicantumkan diikuti et al.,
5ElliotE. Cheatham et al., Conflict of Law, The Foundation Press,
Mineola, New York, 1959, hlm. 104.
6Padmo Wahyono et al., Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 37
d. Editor/penyunting/penghimpun.

33
7Soerjono Soekamto, ed., Identifikasi Hukum Positif Tidak Tertulis
Melalui Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Ind.Hill,
Jakarta,1988, hlm. 105.
e. Lembaga atau Badan :
8Sekretariat Negara Republik Indonesia, Konferensi Tingkat Tinggi
Asean, Bali 23–25 Pebruari 1976, h. 85.
9Badan Pembinaan Hukum Nasional, Lokakarya Sistem
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, Binacipta, Bandung,
1977, hlm. 51.
f. Terjemahan:
10F.J.H.M. van der Ven, Pengantar Hukum Kerja, Cet. II, (terjemahan
Sridadi), Kanisius, Yogyakarta, 1969, hlm. 61.
g. Mengutip dari bahan yang dikutip: penulis yang langsung dikutip
dicantumkan lebih dahulu, kemudian penulis asli:
The Guidance of Learning Activities, D. Appleton-Century Company,
New York, 1952, h. 186, dikutip dari Ernest Hilgard, Theories of
Learning, Appleton, New York, 1948, hlm. 37.
h. Kumpulan karangan :
12John Stanner, “Family Relationships in Malaysia”, dalam David C.
Buxbaum (ed), Family Law and Customary Law in Asia: A
Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968,
hlm. 202.

2. Majalah
Yang dicantumkan berturut-turut: nama penulis (seperti pada buku),
judul tulisan di antara kutip, nama majalah (diberi bergaris, cetak
miring atau cetak tebal), nomor, tahun majalah dalam angka Romawi
(kalau ada), bulan dan tahun penerbitan, penerbit, tempat penerbitan,
dan nomor halaman yang dikutip.
13Oemar Seno Adji, “Perkembangan Delik Khusus dalam Masyarakat
yang Mengalami Modernisasi”, Hukum dan Pembangunan, No. 2 Th. X,
Maret 1980, hlm. 113.
Kalau tidak diketahui nama pengarang suatu artikel dalam majalah,
maka nama pengarang ditiadakan, jadi footnote dimulai dengan judul
karangan.
14”Sekolah-sekolah di Yogyakarta”, Suara Guru II, September 1957, hlm.
18, 19, 21.

3. Surat Kabar
15Lim, “Sudah Tiba Waktunya Hukum Intergentil Ditinggalkan sebagai

Mata Kuliah”, Kompas, 28 Agustus, 1979, hlm. III.


Artikel koran online hanya boleh dikutip ketika tidak terdapat artikel
yang sama pada edisi cetaknya dengan ketentuan sebagai berikut:
Tempat penerbitan diganti dengan „(online)‟;

34
Halaman kutipan harus disebutkan jika artikel online tersebut memiliki
halaman; dan URL harus dicantumkan setelah tanggal penerbitan
(bukan tanggal akses) atau halaman kutipan jika ada.
11Fajar Pratama, „Akankah Politikus KMP Hadiri Rapat DPR Tandingan?‟,
Detik News (online), 3 Oktober 2014, h 1
<http://news.detik.com/read/2014/11/03/070319/2736815/10/akank
ah-politikus-kmp-hadiri-rapat-dpr-tandingan?n991101605>.
4. Skripsi/Tesis/Disertasi
16Heru Supraptomo, “Masalah-Masalah Pengaturan Cek serta Bilyet Giro

di Indonesia dalam Rangka Mengembangkan Sistem Giralisasi


Pembayaran”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 1977, hlm. 263.

5. Pidato Pengukuhan Guru Besar


17Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas sebagai Wahana Membahagiakan

dan Menestapakan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam


Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,
Tgl._, hlm._

6. Wawancara
17Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Tempat, Tgl. 16

Juni 1980

7. Tulisan dalam ensiklopedi


Nama penulis diketahui atau tidak diketahui
18Erwin N. Griswold, “Legal Educatioan”, Encyclopedia Americana

XVII, Penerbit, tempat diterbitkan, 1977, hlm. 164.


19”Interpellation”, Encyclopedia Britannica XII, 1955, h. 534.

8. Peraturan Perundang-undangan
20Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,

(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara


Nomor 3587), Ps. 4.
21PeraturanPemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3741), Ps.
7.
9. Internet
22Lim, “Sudah Tiba Waktunya Hukum Intergentil Ditinggalkan sebagai
Mata Kuliah”, www.hukumonline.com, 1 Desember 2007, hlm. 2,
dikunjungi pada tanggal 7 Desember 2007.

10. Artikel dalam Jurnal


12Steven Rares, „An International Convention on Off-Shore Hydrocarbon
Leaks?‟, Australian and New Zealand Maritime Law Journal, Vol 26, No
10, 2012, hlm 12.
13Simon Marsden, „Regulatory Reform of Australia‟s Offshore Oil and Gas
Sector After the Montrara Commission of Inquiry: What About
35
Transboundary Environmental Impact Assessment?‟, Flinders Law
Journal, Vol 15, No 41, 2013, hlm 45.
Artikel dalam Jurnal Elektronik hanya boleh dikutip ketika versi cetak
dari artikel dalam jurnal tersebut tersebut tidak tersedia. Cara
pengkutipan artikel dalam jurnal elektronik sama dengan cara
pengkutipan artikel pada jurnal cetak, hanya saja URL harus
dicantumkan pada akhir kutipan.
14Kate Lewins, „What‟s the Trade Practices Act Got to Do with It? Section
74 and Towage Contracts in Australia‟, eLaw Journal: Murdoch University
Electronic Journal of Law, No 13, Isu 1, 2006, hlm 62
<https://elaw.murdoch.edu.au/archives/issues/2006/1/eLaw_Lewins_1
3_200 6_05.pdf>.

I. Mempersingkat Footnote (pengulangan)


Kalau suatu sumber sudah pernah dicantumkan lengkap dalam footnote,
maka footnote itu selanjutnya dapat dipersingkat dengan menggunakan
ibid., op.cit., dan loc.cit.
1. Ibid
Ibid, kependekan dari ibidem, artinya “pada tempat yang sama”
Dipakai apabila kutipan diambil dari sumber yang sama dengan yang
langsung mendahului (tidak disela oleh sumber lain), meskipun antara
kedua kutipan itu terdapat beberapa halaman.
Ibid, tanpa nomor halaman dipakai, jika bahan yang dikutip diambil dari
nomor halaman yang sama. Jika bahan yang dikutip diambil dari nomor
halaman yang berbeda, maka digunakan ibid, dengan nomor halaman
yang berbeda.
Contoh:
1. Dedi Soemardi, Sumber-Sumber Hukum Positif, Alumni, Bandung, 1980,
hlm. 10.
2. Ibid.
3. Ibid, hlm. 34
Ibid, tidak boleh dipakai, jika diantara dua sumber terdapat sumber lain.
Dalam hal ini dipakai op.cit. atau loc.cit.
2. Op.Cit.
Op.cit. kependekan dari dari opere citato, artinya “dalam karya yang telah
disebut”
Dipakai untuk menunjuk kepada sumber yang telah disebut sebelumnya
dengan lengkap, tetapi telah diselingi oleh sumber lain.
Pemakaian op.cit. harus diikuti nomor halaman yang berbeda.
Kalau dari seorang penulis telah disebut dua macam buku atau lebih,
maka untuk menghindarkan kekeliruan harus dijelaskan buku mana
yang dimaksud dengan mencantumkan nama penulis diikuti angka
Romawi besar I, II, dan seterusnya pada footnote sesudah tahun
penerbitan di antara dua tanda kurung.

Contoh:
17 SudargoGautama, Hukum Agraria Antar Golongan, Alumni,
Bandung, 1973 (selanjutnya disingkat Sudargo Gautama I), hlm. 131.

36
18Sudargo Gautama, Masalah Agraria, berikut Peraturan-peraturan dan
Contoh-contoh, Cet. II, Alumni, Bandung, 1973 (selanjutnya disingkat
Sudargo Gautama II), hlm. 98.
19Sudigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia Suatu Studi di
Sekitar Pelaksanaan Landreform di Jawa dan Madura, Bharata, Jakarta,
1970, hlm. 54.
20 Sudargo Gautama I, Op.Cit., hlm. 139.
Yang dikutip adalah dari karya Sudargo Gautama dalam footnote nomor
17 (bukan 18).
3. Loc.Cit.
Loc.cit. kependekan dari loco citato, artinya “pada tempat yang telah
disebut”,
Digunakan kalau menunjuk kepada halaman yang sama dari suatu
sumber yang telah disebut sebelumnya dengan lengkap, tetapi telah
diselingi oleh sumber lain.
Contoh:
1Komar Kantaatmadja, Hukum Perusahaan Bagi Perusahaan-perusahaan

Asing, Tarsito, Bandung, 1984, hlm. 45


2R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung,

1982, hlm. 59
3Kantaatmadja, Loc.Cit.
4Suryodiningrat, Loc.Cit.

4. Contoh pemakaian Ibid, Op.Cit., dan Loc.Cit. dalam rangkaian footnote


21Kuntjoro Porrbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan
dan Peradilan Administrasi Negara, Cet. II, Alumni, Bandung, 1978, hlm.
86.
22Ibid. (berarti : juga dari h. 86) 23Ibid, hlm.
90 (halamannya berbeda)
24MichaelP. Barber, Public Administration, Macdonald & Evans, London,
1972, hlm. 212.
25E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. IV,
Ichtiar, Jakarta, 1960, hlm. 178.
26Michael P. Barber, Op.Cit., hlm. 215 (halamannya berbeda)
27Utrecht, Loc.Cit. (berarti: juga dari hlm. 178)

J. Bahasa
1. Bentuk kalimat tidak boleh menampilkan orang pertama atau orang
kedua (saya, kami, kita, engkau dan lain-lain). Dalam penyajian ucapan
terima kasih pada pengantar, saya dapat diganti dengan penulis.
2. Isi Prakata mengenai substansi skripsi tidak perlu merendah secara
berlebihan supaya tidak timbul kesan pada pembaca bahwa skripsi
Anda “tidak ada apa-apanya”. Prakata dapat dipergunakan untuk
menyampaikan kesan, pesan, ucapan yang bersifat personal tetapi
harus dituliskan dengan gaya bahasa formal.
3. Tidak dibenarkan menggunakan :
37
a. Kalimat panjang.
b. Kata-kata ”....dimana....”....yang mana....”, ”....sejauh mana...”....oleh
karena mana....” dan kata semacam itu.
4. Istilah yang dipakai istilah Indonesia atau yang sudah di-Indonesia-kan,
jika terpaksa harus memakai istilah asing digunakan huruf italic atau
dicetak miring.
5. Penggunaan kata penghubung, kata depan, awalan, akhiran dan tanda
baca secara tepat, antara lain :
a. Tidak membutuhkan koma untuk kata “bahwa”, “karena”, “sebab”,
“supaya.”
b. Membutuhkan koma sebelum kata “akan tetapi”, “tetapi”,
melainkan”, “maka”.
c. Membutuhkan koma sebelum dan setelah kata “misalnya”,
“contohnya“, “ialah”
6. Singkatan atau akronim tidak boleh digunakan pada awal kalimat.

K. Hal-hal Lain yang Perlu diperhatikan

1. Pedoman umum

Penulisan huruf, berbagai jenis kata dan unsur-unsur serapan serta


pemakian/penempatan tanda baca hendaknya merujuk dengan cermat
kepada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

2. Kesalahan yang sering terjadi

Kesalahan yang sering terjadi dalam cara penulisan adalah:


a. Kata hubung seperti sehingga dan sedangkan sering dipakai untuk
memulai suatu kalimat, hal ini harus dihindari.
b. Kata depan pada sering dipakai tidak pada tempatnya, misalnya
diletakkan di depan subyek sehingga merusak susunan kalimat.
c. Kata di mana dan dari atau daripada kerapkali tidak tepat
pemakaiannya dan diperlakukan seperti kata where dan of dalam
bahasa Inggris. Bentuk yang demikian ini dalam bahasa Indonesia
tidaklah baku dan tidak dibenarkan dipakai.

38
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. 1975. Pedoman Umum Ejaan


Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Balai Pustaka, Jakarta.

Fakultas Hukum UGM. 2017. Buku Pedoman Penelitian Reguler. Unit Riset dan
Publikasi, Yogyakarta.

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2017. Panduan Penulisan Tugas Akhir


Skripsi S1. Makassar.

Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 2017 Pedoman Penulisan Skripsi.


Fh.unair.ac.id

Fakultas Hukum Universitas Syahkuala. 2015. Buku Pedoman Penulisan Tugas


Akhir Program S1 Ilmu Hukum. Law, unsyiah.ac.id.

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2005. Petunjuk Penulisan


Usulan Penelitian dan Skripsi. Yogyakarta.

Soekanto, S dan Mamudji, Sri. 2015. Penelitian Hukum Normatif. Raja Wali Press.
Jakarta.

Wiradipradja, E.S. 2015. Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan


Karya Ilmiah Hukum. Keni Media. Bandung.

39
LAMPIRAN-LAMPIRAN

40
Lampiran 1

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

SURAT PENGANTAR PENYUSUNAN SKRIPSI

No.

Wakil Ketua I Bidang Akademik Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) MAH-EISA
Manokwari dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa tersebut di bawah ini :

Nama :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :

telah memenuhi persyaratan untuk menyusun Skripsi sesuai Prosedur Penyusunan Skripsi, mulai
semester awal/akhir tahun akademik 2..../2.....

Manokwari, ..................................

WAKIL KETUA I BIDANG AKADEMIK


STIE MAH-EISA MANOKWARI ,

ROBERTH K.R. HAMMAR, SH.,MH

Catatan :
1 lembar untuk mahasiswa
2 lembar untuk Komisi Penasehat
1 lembar untuk Ketua Program Studi
1 lembar untuk arsip Wakil Ketua I Bidang Akademik

41
Lampiran 2

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Nomor :
Hal : Permohonan kesediaan sebagai ketua/anggota
Komisi penasehat

Yth,

Ketua STIE Mah-Eisa Manokwari dengan hormat memohon kesediaan Saudara untuk
bertindak sebagai Ketua/Anggota Komisi penasehat dari mahasiswa :

Nama :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :

dengan susunan Komisi sebagai berikut :

Ketua :
Anggota :

Manokwari, ..............................................

Ketua
u.b. Wakil Ketua I Bidang Akademik,

ROBERTH K.R. HAMMAR, SH.,MH

42
Lampiran 3

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
MANOKWARI

SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN KOMISI PENASEHAT


DAN RENCANA JUDUL SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk bertindak sebagai
Ketua/Anggota Komisi Penasehat dari :

Nama Mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :

dengan rencana judul Skripsi :

Manokwari, ..................................

Anggota, Ketua,

................................................ ...............................................

Mengetahui
Ketua Program Studi

..............................................................

...............................................................

43
Lampiran 4

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Nomor :
Hal : Usulan susunan komisi penasehat
Dan rencana judul Skripsi

Yth.
KETUA STIE Mah-Eisa Manokwari
Di –
Manokwari

Dengan hormat,

Setelah mendengar keinginan dan minat mahasiswa serta kesesuaiannya dengan program
studi/minat kekhususan, serta kesanggupan staf pengajar yang bersangkutan, bersama ini kami
mengusulkan Komisi Penasehat Skripsi bagi Saudara :
Nama :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :
dengan susunan :
Ketua :
Anggota :

dengan rencana judul Skripsi :

Kami mohon dapat diterbitkan keputusannya, dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Manokwari, ..................................
Ketua Program Studi,

............................................................

44
Lampiran 5

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

SURAT PENUGASAN KOMISI PENASEHAT SKRIPSI

No. …………………………………………..

Berdasarkan surat usulan Wakil Ketua I Bidang Akademik STIE Mah-Eisa Manokwari
................................... No ........................................ dan sesuai dengan Pedoman Penyusunan Skripsi
STIE Mah-Eisa , dengan ini Ketua STIE Mah-Eisa menugaskan staf pengajar yang tersebut di
bawah ini sebagai Komisi Penasehat Skripsi mahasiswa :

Nama :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :

dengan susunan sebagai berikut :


Ketua :
Anggota :

Tugas ini hendaknya dilaksanakan secara sistematis, berkesinambungan dan


bertanggungjawab, serta dilakukan evaluasi secara berkala tentang kemajuan dan hasil penelitian
yang telah dicapai.

Ditetapkan di Manokwari
pada tanggal ...........................

KETUA,

THEODORUS L HERIN, SE.,MM

Tembusan kepada Yth :


1. Ketua Komisi Penasehat
2. Anggota Komisi Penasehat
3. Ketua Program Studi
4. Mahasiswa yang bersangkutan

45
Lampiran 6

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Hal : Permohonan Seminar (Proposal) Usulan Penelitian

Dengan hormat,

Dengan ini kami,

Nama mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :
IP Kumulatif :
Judul Usulan Penelitian :

dengan Komisi Penasehat : Ketua,


Anggota,
mengajukan permohonan untuk diselenggarakan seminar usulan penelitian pada
hari, tanggal :
pukul :
tempat :
Untuk itu bersama ini kami lampirkan :
1. usulan penelitian untuk Skripsi yang telah disetujui oleh Komisi Penasehat
2. Kartu tanda aktif mengikuti seminar Skripsi yang diselenggarakan oleh STIE Mah-Eisa
Manokwari.
3. Tanda bukti pelunasan SPP semester ............/2..........

Manokwari, ..................................
Pemohon,

............................................................

Menyetujui, Komisi Penasehat,

1. Ketua ....................................................................... Tanda tangan ........................................

2. Anggota .................................................................... Tanda tangan.........................................

Disetujui oleh Ketua Program Studi

.................................................................................

46
Lampiran :7

KARTU SEMINAR
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

NAMA : ....................................................

NPM : ....................................................

DAFTAR BUKTI SEMINAR STIE MAH-EISA MANOKWARI

PEMRASARAN
NO. PARAF
KELOMPOK
URT NAMA NPM TGL PANITIA
SEMINAR

47
Lampiran 8

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Program Studi : ................................

Nomor :
H a l : Undangan Seminar
Usulan/Hasil Penelitian untuk Skripsi

Yth. ...........................................................

Manokwari,

Dengan hormat kami mengundang Saudara untuk menghadiri dan memberi nilai seminar
usulan/laporan hasil* penelitian untuk Skripsi yang akan dipresentasikan oleh :
Nama Mahasiswa :
No. Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :
Komisi Penasehat : (Ketua)

(Anggota)

Dengan judul Usulan/Laporan hasil penelitian :


pada
Hari, tanggal :
Pukul :
Tempat : Ruang Seminar ..............................

Atas kehadirannya kami ucapkan terima kasih.

Manokwari, ..................................
Ketua STIE Mah-Eisa Manokwari .

THEODORUS L HERIN, SE MM.

Tembusan kepada Yth :


2. Wakil Ketua I Bidang Akademik
3. Ketua Perpustakaan
4. Mahasiswa ybs.

 Coret yang tidak perlu


48
Lampiran 9

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

PENILAIAN SEMINAR USULAN PENELITIAN

Nama Mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :

Judul usulan penelitian :

Nilai : 1. Naskah Usulan Penelitian :


2. Penguasaan materi :
3. Cara presentasi :

Nilai Rataan : ( )

Pedoman Penilaian

80 - 100 (A)
70 - 79 (B)
60 - 69 (C)
< 59 (E)

Manokwari, ..............................200..

P e n i l a i,

.................................................

49
Lampiran 10

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

KARTU KONSULTASI
PENELITIAN UNTUK PENYUSUNAN SKRIPSI

Nama Mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :
Rencana Judul Skripsi :

Ketua Komisi Penasehat :


Anggota Komisi Penasehat :

No. Tanggal Materi Catatan Tandatangan


Konsultasi Penasehat Penasehat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

50
Lampiran 11

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN


UNTUK PENYUSUNAN SKRIPSI

4. N a m a :
No. Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :

5. Komisi Penasehat,
Ketua :
Anggota :

6. Judul Usulan/Rencana Penelitian :

7. Tahap Kemajuan**) belum sedang sudah


a. Seminar usulan penelitian ( ) ( ) ( )
b. Penelitian
(1) Persiapan ( ) ( ) ( )
(2) Pengumpulan data ( ) ( ) ( )
(3) Pengolahan data ( ) ( ) ( )
(4) Penulisan laporan
Hasil penelitian ( ) ( ) ( )
c. Seminar laporan hasil penelitian ( ) ( ) ( )
d. Penulisan naskah Skripsi ( ) ( ) ( )
e. Penyerahan naskah Skripsi ( ) ( ) ( )

8. Rencana kerja 2 bulan mendatang :

9. Kesulitan yang dihadapi :

10. Untuk penyelesaian naskah Skripsi masih diperlukan waktu kira-kira : bulan

Manokwari,

Mengetahui, Mahasiswa,
Ketua Komisi Penasehat,

......................................... .............................................

** Isi dengan tanda ( √ )

51
Lampiran 12

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Hal : Permohonan Seminar Laporan


Hasil Penelitian untuk Skripsi

Dengan hormat,

Dengan ini kami,

Nama Mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :
IP Kumulatif :
Judul Penelitian :

Komisi Penasehat Ketua :


Anggota :
mengajukan permohonan untuk diselenggarakan Seminar Laporan Hasil Penelitian pada
Hari, tanggal :
Pukul :
Untuk itu, bersama ini kami lampirkan :
1. Naskah Laporan Hasil Penelitian untuk Skripsi yang telah disetujui oleh Komisi Penasehat.
2. Kartu Seminar STIE Mah-Eisa atas nama kami
3. Bukti pelunasan SPP semester .............../20.........

Manokwari, ..................................
P e m o h o n,

...................................................

Menyetujui Komisi Penasehat

1. Ketua .................................................... Tanda Tangan ......................................

2. Anggota ................................................ Tanda Tangan ......................................

Mengetahui Ketua Program Studi

.............................................................

52
Lampiran 13

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

PENILAIAN SEMINAR LAPORAN HASIL PENELITIAN

Nama Mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :

Nilai :

1. Metodologi penelitian : ................................


2. Hasil penelitian : ................................
3. Penulisan hasil penelitian : ..................................
4. Penguasaan materi : ....................................
5. Cara presentasi : ..................................

Nilai Rataan : ...................................... ( )

Pedoman Penilaian
80 - 100 (A)
70 - 79 (B)
60 - 69 (C)
< 59 (E)

Manokwari,

P e n i l a i,

...............................................

53
Lampiran 14

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Nomor :
Hal : Usulan Penetapan Panitia Ujian Skripsi

Yth.
Ketua STIE Mah-Eisa Manokwari
Di –
Manokwari

Dengan hormat,

Sesuai dengan persetujuan Komisi Penasehat (terlampir), maka :


Nama Mahasiswa :
Nomor Pokok :
Program Studi :
Kekhususan :

telah selesai melakukan penelitian untuk Skripsi dan telah siap untuk diseminarkan.

Sehubungan dengan itu kami mengusulkan penetapan Panitia Ujian Skripsi dengan susunan
sebagai berikut :
Ketua :
Sekretaris :
Anggota : 1.
2.
3.

Selanjutnya kami mengharapkan dapat diterbitkan Surat Penugasannya. Untuk itu kami
ucapkan terima kasih.

Manokwari, ..................................
Ketua Program Studi

..................................................
NIP.

54
Lampiran 15

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

SURAT PENUGASAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

No. .............................................

Berdasarkan surat usulan Ketua Program Studi .......................................................... No.


.................................tanggal........................................ dan sesuai dengan Peraturan Akademik STIE
Mah-Eisa Manokwari, Ketua STIE Mah-Eisa Manokwari menugaskan staf pengajar yang disebut di
bawah ini sebagai Panitia Ujian Skripsi Mahasiswa :

Nama :
No. Pokok :
ProgramStudi :
Kekhususan :

dengan susunan sebagai berikut :


Ketua :
Sekretaris :
Anggota : 1.
2.
3.

Panitia Ujian Skripsis ini bertugas untuk menilai skripsi yang telah disusun oleh mahasiswa
dan melaksanakan ujian Skripsi sesuai dengan Prosedur Penyusunan Skripsi, agar tugas
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Manokwari
Pada tanggal .................................

K e t u a,

THEODORUS L HERIN, SE MM

Tembusan Kepada Yth :


1. Wakil Ketua I dan II
2. Ketua Program Studi
3. Mahasiswa yang bersangkutan

55
Lampiran 16 Undangan Ujian

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Nomor :
Lampiran : 1 (satu( Ekspl
Perihal : Ujian ( Usulan, hasil dan skripsi)

Kepada
Yth 1. Ketua Komisi ............
2. Anggota komisi.............
3. Penguji .....................
4. Penguji ..........................
5. Penguji ................................

di Tempat

Dengan hormat,
Sdr/i diundang untuk menghadiri dan melakukan ujian terhadap
(Usulan/hasil/skripsi):

Nama :
No. Pokok :
ProgramStudi :
Kekhususan :
Judul :

pada
hari/Tanggal :
Jam :
Tempat :

Manokwari, ..................................
Ketua Program Studi

..................................................
NIP.

56
Lampiran 17

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

Nomor :
Hal : Laporan Hasil Ujian Skripsi
Lamp : Daftar Nilai Mahasiswa

Yth.
KETUA STIE MAH-EISA MANOKWARI
di –
Manokwari

Dengan ini panitia ujian skripsi untuk Saudara .......................................................... Nomor Pokok
....................................... mahasiswa STIE Mah-Eisa Manokwari, program studi
............................................... melaporkan hasil ujian yang diselenggarakan pada :

Hari, tanggal :
Pukul :
Tempat :

bahwa mahasiswa tersebut dinyatakan Lulus/Tidak Lulus dengan nilai (A) (B) (C)

Manokwari, ...................................

Panitia Ujian Skripsi,

Tanda tangan
Ketua : .......................................................... ...........................................

Sekretaris : ........................................................... ...........................................

Anggota : 1. ....................................................... ...........................................

2. ...................................................... ..........................................

3. ..................................................... ..........................................

57
Lampiran 18

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

BERITA ACARA UJIAN SKRIPSI

Pada hari ini ............. tanggal ...... bulan .................. tahun ............... pukul ............ sampai
dengan ............, berdasarkan Surat Penugasan Panitia Ujian Skripsi Nomor ........................... telah
dilaksanakan ujian Skripsi terhadap mahasiswa,

Nama :
Nomor pokok :
Program studi :
Judul skripsi :

Oleh Panitia Ujian Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mah-Eisa Manokwari, yang sesuai
dengan Surat Penugasan Panitia Ujian Skripsi nomor ......... ..................yang terdiri atas
Ketua :
Sekretaris :
Anggota : 1.
2.
3.
dengan hasil : Lulus / tidak lulus*
Nilai : A / B / C*
Kategori : dengan pujian / sangat memuaskan / memuaskan*
Yudisium telah diucapkan oleh Ketua Panitia Ujian Skripsi atas nama Ketua STIE Mah-Eisa
Manokwari di depan peserta ujian.
Berita acara ini dibuat rangkap dua dan ditandatangani oleh Ketua, Sekretaris dan
mahasiswa teruji.

Manokwari, ........................ 20...

Ketua, Mahasiswa, Sekretaris,

.................................. ........................................... ..........................................

* Coret yang tidak perlu

58
Lampiran 19. Contoh Surat Perjanjian

YAYASAN CARITAS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI

SURAT PERJANJIAN
No :

Pada hari ini Rabu tanggal 28 September 2005 jam 09.00 saya telah menempuh ujian di
STIE Mah-Eisa Manokwari.
Sehubungan dengan ini saya berjanji untuk menyelesaikan segala masalah akademis dan
menyerahkan Skripsi yang telah disetujui oleh seluruh Komisi Penasehat yang sudah dijilid
selambat-lambatnya tanggal ..........................
Bila sampai batas waktu tersebut saya tidak dapat memenuhi ketentuan di atas, maka saya
bersedia diuji kembali dan membayar BPP.

Yang berjanji,

NITA D. APALEM
NPM. 90123456

Mengetahui Panitia Ujian Skripsi :


Ketua : Prof. DR.Karim Saleh ......................................

Anggota : DR. Nurdin Brasit, SE.,MS ......................................

DR. Hj. Siti Haerani, SE.,M.Si ......................................

A.H. Taran, SE.,MM ......................................

R.K.R Hammar, SH.,MH ......................................

59
Lampiran 20a. Contoh halaman judul proposal skripsi

PENGARUH MODAL KERJA TERHADAP 14pt

PEROLEHAN LABA PADA PT. MAJU MUNDUR


PERMAI MANOKWARI

PROPOSAL/USULAN PENELITIAN SKRIPSI


Diajukan untuk memenuhi syarat 12pt
Penelitian dalam rangka penyususnan Skripsi
Program Studi Manajemen

Oleh

Nama : Muhammad Iqbal 12pt


NPM : .............................
Program Studi : ................................

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA 12pt


MANOKWARI
2017

60
Lampiran 20b. Contoh halaman judul seminar hasil

PENGARUH MODAL KERJA TERHADAP 14pt

PEROLEHAN LABA PADA PT. MAJU MUNDUR


PERMAI MANOKWARI

HASIL PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi 12pt
Persyaratan Skripsi
Program Studi Manajemen

Oleh

Nama : Muhammad Iqbal 12pt


NPM : .............................
Program Studi : ................................

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA 12pt


MANOKWARI
2017

61
Lampiran 20c. Contoh halaman judul skripsi

PENGARUH MODAL KERJA TERHADAP 14pt

PEROLEHAN LABA PADA PT. MAJU MUNDUR


PERMAI MANOKWARI

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat 12pt
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi ................................

Oleh

Nama : Muhammad Iqbal 12pt


NPM : .............................
Program Studi : ................................

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA 12pt


MANOKWARI
2017

62
Lampiran 21. Contoh halamaan pengajuan

ANALISIS PEMANFAATAN KREDIT MODAL KERJA KONSTRUKSI BAGI NASABAH


BANK PAPUA CABANG MANOKWARI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat
Sarjana

Program Studi
Manajemen

Disusun dan diajukan oleh

Tertanda tangan

NITA MARDIANA APALEM

Kepada

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA


MANOKWARI
2017

63
Lampiran 22
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Proposal Penelitian : ANALISIS PEMANFAATAN KREDIT MODAL

KERJA KONSTRUKSI BAGI NASABAH BANK

PAPUA CABANG MANOKWARI

Diajukan Oleh : RIMAWATI ARUNG

Nomor Pokok Mahasiswa : 12331344603606

Program Studi : MANAJEMEN

Perguruan Tinggi : SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-

EISA MANOKWARI

Manokwari, 7 Januari 2006

Telah Disetujui Oleh:

Ketua Komisi Penasehat Anggota Komisi Penasehat

Prof. Dr. Karim Saleh Maria Yertas, SE

64
Lampiran 23. Contoh format prakata

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan penyertaan
Nya sehingga skripsi ini dapat dirampungkan dan selesai sesuai waktunyang telah ditentukan..
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan penulis
terhadap kehidupan para petani penyadap nira yang bekerja mulai sejak terbit fajar sampai larut
senja tanpa henti, dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum
mereka.
Oleh karena itu dengan skripsi ini, penulis bermaksud menyumbangkan beberapa konsep
untuk mengangkat kondisi kehidupan mereka yang umumnya berada di bawah garis kemiskinan ke
taraf yang lebih tinggi.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan skripsi ini, yang
hanya berkat bantuan berbagai fihak, maka skripsi ini selesai pada waktunya.
Untuk itu penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. DR. Karim
Saleh sebagai Ketua Komisi Penasehat dan Leo Sabarofek, SE sebagai Anggota Komisi Penasehat
atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap
permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitiannya sampai dengan penulisan skripsi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Yos Ramandey, MM dari Dinas
Perkebunan Kabupaten Manokwari yang telah banyak membantu dalam rangka pengumpulan data
dan informasi, serta kepada saudari Indriani yang telah banyak membantu dalam pengolahan data
komputer.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembangunan, khususnya pengembangan ilmu dan
teknologi sosiologi pertanian.

Manokwari, Agustus 2005

NITA APELEM

65
Lampiran 24. Contoh format abstrak.

ABSTRAK

Roberth Kurniawan Ruslak Hammar. Penataan Ruang Kota dan Implikasinya terhadap
Perlindungan Hak-hak Rakyat atas Tanah di Kota Manokwari (dibimbing oleh Amier Sjariffudin
dan H. Kaimuddin Salle).

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Manokwari irian Jaya, dengan tujuan untuk mengetahui,
mendiskripsikan dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang berkenaan dengan
pelaksanaan ruang kota dan hubungannya dengan perlindungan hak-hak rakyat atas tanah di Kota
Manokwari.

Analisis yang digunakan ialah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Anilisis kualitatif
dimaksudkan untuk mengkaji masalah inkonsistensi penataan ruang kota terhadap Rencana Umum
Tata Ruang Kota (RUTRK) Manokwari, dan analisis kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui
hubungan penataan ruang kota dengan perlindungan hak-hak rakyat atas tanah.

Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal berikut. Pertama, pelaksanaan penataan ruang kota di
Manokwari tidak konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Manokwari karena
pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan tanah
(ruang) tidak dapat dikendalikan. Kedua, rendahnya pertisipasi masyarakat dalam penataan ruang
kota dan kurangnya sosialisasi rencana tata ruang serta tidak transparannya pelaksanaan
musyawarah dalam pengadaan tanah, berarti hak-hak rakyat atas tanah di Kota Manokwari kurang
terlindingi.

66
Lampiran 25. Contoh format abstact

ABSTRACT

Roberth Kurniawan Ruslak Hammar. The Urban Space Management and Its Implication to the
Protection of Human Rights on the Land in Manokwari City. (supervised by Amier Sjariffudin and
H. Kaimuddin Salle)

This research was carried out in Manokwari Irian Jaya. It aimed to investigate, descrube and
reveal some solution toward the problem dealing with the implementation of urban space
management and its relation to the protection of human rights on the land.

The analysis of the research was gualitative one and it was used to examine the
implementation of urban space management. The quantitative analysis was also used to investigate
the relationship of urban space management with the protection of human rights on the land.

The result of this research indicated : first, the implementation of urban space management
in Manokwari was not in accordance with the General Plan of Urban Space Management of
Manokwari; second, the low level of social participation in the urban space management, lack of
socialization of urban space plan, and the deliberation which was not transparent in the provision af
land implied that the people’s rights on the land were not properly protected.

67
Lampiran 26. Contoh format daftar isi

DAFTAR ISI
Halaman

PRAKATA ............................................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................................ v
ABSTRACT .......................................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................................... xiv

I. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Permasalahan .............................................................................................................. 16
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 22
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................................... 23

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 25


A. Pengertian dan Sifat Air ............................................................................................. 25
B. Sejarah Pemanfaatan Air Limbah ............................................................................... 26
C. Hipotesis (kalau ada) .................................................................................................. 28

III. METODE PENELITIAN ................................................................................................ 74


A. Tempat dan waktu penelitian ..................................................................................... 74
B. Jenis dan Sumber Data................................................................................................ 75
C. Populasi dan Sampel .................................................................................................. 76
B. Teknik pengumpulan data .......................................................................................... 77
E. Teknik analisis data .................................................................................................... 78
F. Definisi operasional .................................................................................................... 79
G. Kesulitan dalam Penelitian .......................................................................................... 80

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................................. 82


A. .................... ............................................................................................................... 82
B. .................... ............................................................................................................... 87
C. .................... ............................................................................................................... 93
V. PENUTUP ....................................................................................................................... 95
A. Simpulan .................................................................................................................... 95
B. Saran ........................................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 96

68
Lampiran 27. Contoh format daftar tabel.

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

1. Perkembangan produksi kopi di Irian Jaya Barat tahun 1989 – 1991 .............................. 2
2. Produksi dan hasil penjualan kopi pada “PT SONA” Manokwari ................................... 3
3. Data untuk Model Linier Programming ............................................................................ 26
4. Bentuk dasar tabel Simplex ............................................................................................... 30
5. Analisis statistik deskriptif hasil penelitian pada perusahaan kopi bubuk -
“PT SONA” Manokwari ..................................................................................................... 45
5. Hasil komputasi constant, koefisien regresi berganda, korelasi, determinasi
F-hitung, T-hitung, signifikansi-t pada pabrik kopi bubuk “PT SONA” Manokwari ...... 48
7. Jenis produksi, harga per unit, jumlah produksi dan nilai penjualan rata-rata
per bulan pada perusahaan kopi bubuk “PT SONA” Manokwari .................................... 55
11. Elastisitas, jumlah rata-rata, harga rata-rata dan harga pokok produksi
pada perusahaan kopi bubuk “PT SONA” Manokwari .................................................... 56
9. Nilai produk marginal, harga rata-rata faktor produksi dan perbandingannya ................. 57
10. Rata-rata produksi, harga jual per unit dan nilai penjualan selama satu bulan,
pada perusahaan kopi bubuk “PT SONA” Manokwari .................................................... 62

69
Lampiran 28. Contoh format daftar gambar.

DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman

1. Kegiatan fotosintesis gandum menurut Hoover ................................................................ 27


2. Skema penampang lintang ujung akar dikotil dan monokotil ........................................... 55
3. Histogram jumlah kepala keluarga petani Propinsi Irian Jaya Barat ................................ 79

70
Lampiran 29. contoh format daftar lampiran

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor halaman

1. Hasil analisis fungsi Cobb Douglass uasaha tani kelapa sawit pada
Kec. Prafi ................................................................................................................... 126
2. Hasil analisis fungsi Cobb Douglass usaha tani kelapa sawit pada
Kec. Masni ................................................................................................................. 127
3. Hasil analisis fungsi Cobb Douglass usaha tani kelapa sawit pada
Kec. Warmare ............................................................................................................ 128
4. Hasil analisis fungsi Cobb Douglass usaha tani kelapa sawit pada
Kec. Amberbaken ...................................................................................................... 129
5. Hasil analisis fungsi Cobb Douglass usaha tani kelapa sawit pada
Kec. Oransbari ........................................................................................................... 130
6. Hasil analisis fungsi Cobb Douglass usaha tani kelapa sawit pada
Kec. Minyambau ....................................................................................................... 131
7. Hasil komputasi solusi optimal program klassik transportasi ............................................ 132
8. Hasil komputasi analisis (skenario A)
Model program tujuan ganda ..................................................................................... 133
9. Hasil komputasi analisis (skenario B)
Model program tujuan ganda ..................................................................................... 133
10. Hasil komputasi analisis (skenario C)
Model program tujuan ganda ..................................................................................... 134
11. Hasil komputasi analisi ( skenario D)
Model program tujuan ganda ..................................................................................... 135

71
Lampiran 30. Contoh format arti singkatan dan lambang

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang / singkatan Arti dan keterangan


Ao satuan panjang Angstrom
Ca circa, kira-kira
DNA deoxyribonucleic acid, asam deoksiribonukleat
Et al. et alii, dan kawan-kawan
F tetapan fragmental hidrofobik
g satuan bobot gram
h tetapan Planck
IPK indeksprestasi kumulatif
J joule, satuan kerja
k tetapan Boltzmann
loc. cit loco citato, di tempat tersebut
m posisi gugus meta
no. nomor
op. cit opere citato, dalam karya tersebut
ppm part per million, bagian per juta
r koefisien regresi ganda
sks satuan kredit semester
T suhu multak
UV ultraviolet, spektroskopi ultraviolet
X bilangan konektivitas

72
Lampiran 31. Contoh format daftar pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1950. Maling Kundang. Balai Pustak, Jakarta.

Biddulp, O. 1953. The Translocation of Minerals in Plants. dalam E. Truog, E (ed), Mineral
Nutrition of Plants. The University of Wisconsin Press, Madison.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975 a. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Balai Pustaka, Jakarta.
1975 b. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Balai Pustaka, Jakarta.

Epstein, E. 1971. Effect of Soil Temperature on Mineral Element Composition and Morphology of
the Potato Plant. Agron. J. 63 : 664 – 666.

Hasan, A. K., Drew, J. V., Knudson, D. and Olsen, R. A. 1970. Influence of Soil Salinity on
Production of Dry Matter and Uptake and Distribution of Nutrients in Barley and Corn. I.
Agron. J. 62 : 43 – 45.

Hewitt, E.J. 1966. Sand and Water Culture Methods Used in the Study of Plant Nutrition. Comm.
22 (Revised 2nd edition). Commonwealth Agricultural Bureaux. Farnham Royal Bucks,
England.

Langridge, J. 1963. Biochemical Aspects of Temperature Responses. Ann. Rev. Plant Physiol. 14 :
411 – 462.

Nuraeni. 1992. Analisis Marjin Pemasaran Kacang Tanah. Skripsi Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Pearson, G. A. and Ayers, A. D. 1960. Rice as a Crop for Salt Affected Soil in Process of
Reclamation. Product. Res. Rep. 43 : 13.
Bernstein, L. 1969. Salinity Effects at Saveral Growth Stages of Rice. Agron J. 51
(10) : 654 – 657.

73
Lampiran 32. Contoh penulisan judul, sub judul dan seterusnya.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
....................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
....................................
Nomor sub-sub bab ditulis dengan cara seperti berikut:
1. ..........................................................................
a. ......................................................................
b. ......................................................................
1) ..................................................................
2) .................................................................
a) .............................................................
b) .............................................................
(1) .......................................................
(2) ......................................................
2. ........................................................................................

74
Lampiran 33. format contoh tabel.

Tabel 23. Efek suhu terhadap tekanan uap, bobot, jenis dan tegangan muka 2-
propanol (Monick, 1968)

Suhu Tekanan Uap Bobot jenis Tegangan muka


o
C Mm Hg g / ml dyne/cm
0 8,9 - -
10 17,0 - -
20 32,4 a 0,7848 21,7
30 59,1 0,7769 -
40 105,6 - -
50 176,8 0,7587 19,3

a
Ditetapkan dengan alat Victor Meyer.

Baris uraian selanjutnya dimulai 3 spasi dari garis penutup tabel.

75
Lampiran 34. Contoh format gambar.

Gambar 4. Balon terbang masa depan

76
Lampiran 35. Cara penulisan nama penulis dalam daftar yang perlu diperhatikan

1. Nama Indonesia yang menggunakan nan atau garis hubung dianggap merupakan satu kesatuan
nama, misalnya : Sultan Iskandar nan jauh ditulis Iskandar nan jauh,S. Ary Soemadi-Soekardi
ditulis Soemadi-Soekardi, A.
2. Nama Belanda, misalnya :
J.J. de Vries ditulis : Vries, J.J. de
H.A. Van de berg ditulis : Berg H.A. Van de
3. Nama Perancis, misalnya :
J.du Bois, ditulis : du Bois, J
A.R.L. Petit, ditulis L’Petit, A.R.
4. Nama Jerman yang mengandung von, zu, zun, zur, im.Alexander van Munchen, von.
5. Nama Portugis dan Brasil yang memakai do, da, dos, das. A.G. do Santos, ditulis : Santos, A.G.,
do.
6. Nama Spanyol
J. Perez Y Fernandes, ditulis : Perez Y Fernandes, J.
7. Nama Arab yang mengandung el, Ibn, Abn, Abdel.
1. Mohmmad Ibn Hajar, ditulis : Ibn Hajar, M
2. Achmad el Husain, ditulis : el husaian, A
8. Nama Cina
1. Lee Tang Gwan, ditulis : Lee, Tang Gwan
2. Han Ai-Ping, ditulis : Han Ai-Ping

77
Lampiran 36: Halaman depan Skripsi

ANALISIS PEMANFAATAN KREDIT MODAL KERJA KONSTRUKSI BAGI NASABAH


BANK PAPUA CABANG MANOKWARI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat
Sarjana

Oleh:

RIMAWATI ARUNG
12331344603606

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-EISA
MANOKWARI
2006

78
Lampiran 37: Lembar Persetujuan

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Proposal Penelitian : ANALISIS PEMANFAATAN KREDIT MODAL

KERJA KONSTRUKSI BAGI NASABAH BANK

PAPUA CABANG MANOKWARI

Diajukan Oleh : RIMAWATI ARUNG

Nomor Pokok Mahasiswa : 12331344603606

Program Studi : MANAJEMEN

Perguruan Tinggi : SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MAH-

EISA MANOKWARI

Manokwari, 7 Januari 2006

Telah Disetujui Oleh:

Ketua Komisi Penasehat Anggota Komisi Penasehat

Prof. Dr. Karim Saleh Maria Yertas, SE

79
Lampiran 38: Halaman Pengesahan

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS PEMANFAATAN KREDIT MODAL KERJA KONSTRUKSI BAGI NASABAH


BANK PAPUA CABANG MANOKWARI

Diajukan Oleh:

RIMAWATI ARUNG
12331344603606

Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Dewan Penguji Program Studi Manajemen
pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mah-Eisa Manokwari, pada tanggal 20 Juli 2009, yang
terdiri dari:

Jabatan Nama Tandatangan

Ketua :
.........................................
Sekretaris :
.........................................
Anggota :
.........................................
Anggota :
.........................................
Anggota :
.........................................

80
Lampiran 39: Surat Pernyataan Keaslian

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam usulan penelitian disertasi ini tidak

terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang

secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 24 Maret 2011

Yang menyatakan,

Roberth K.R.Hammar

81
Lampiran 40: Contoh Bab I Pendahuluan
(perhatikan Dass Sollen, Dass Sein, Fenomena dan isu)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ruang wilayah negara Indonesia dengan sumber daya alam yang tiada

tara membentang bagaikan zamrud khatulistiwa, merupakan karunia Tuhan

Yang Maha Esa, wajib dilindungi, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan

pemanfaatannya secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

sesuai amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta makna yang terkandung dalam

falsafah dan dasar negara Pancasila. Untuk mewujudkan amanat tersebut maka

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan

bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan

wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan tetap

menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang.

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus

dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat

mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta

mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak

terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya

penurunan kualitas ruang. Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik,

daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang

sesuai akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan


82
subsistem. Hal itu berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada

karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem yang lain

dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara

keseluruhan. Pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu

sistem keterpaduan sebagai ciri utama. Untuk itu perlu adanya suatu kebijakan

nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan

pemanfaatan ruang. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan yang

dilaksanakan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat,

baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan sesuai

dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian,

pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana

tata ruang1

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam didasari keyakinan bahwa

kebahagiaan hidup dapat tercapai apabila didasarkan atas keserasian,

keselarasan dan keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi,

manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam maupun hubungan

manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan tersebut merupakan

landasan ideal dan moral dalam implementasi penataan ruang di Republik ini.

Sebagai pengejawantahan otonomi daerah, provinsi, kabupaten dan kota

memiliki kewenangan dalam penataan ruang wilayahnya yakni perencanaan tata

ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk

menjamin tercapainya tujuan penataan ruang, diperlukan dasar hukum guna

menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang, atau dengan kata

lain pembangunan yang dilaksanakan harus sesuai dengan rencana tata ruang

yang telah ditetapkan.


1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.
83
Dokumen penataan ruang meliputi prosedur perencanaan, laporan

pendahuluan, laporan kompilasi (data), laporan analisis (temuan), laporan

rencana (rumusan dan program) executive summary, album peta, dan peraturan

daerah. Dalam penyusunan dokumen penataan ruang tersebut seyogyanya

memberikan ruang kepada masyarakat adat, apabila penataan ruang tersebut

berkenaan dengan hak ulayat dan hak atas sumberdaya agraria lainnya. Hal ini

penting bukan saja sebagai suatu bentuk pengakuan, melainkan pula penataan

ruang tersebut berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan dan

perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Perundang-undangan di Republik Indonesia telah mengatur berbagai

prinsip perlindungan hukum dalam penataan ruang yakni kekonsistenan

pembangunan dengan rencana tata ruang; partisipasi masyarakat dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pengendalaian rencana tata ruang; hak setiap

orang untuk mengetahui rencana tata ruang; menikmati manfaat ruang

termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang dan

memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat

pelaksanaan kegiatan pembangunan. Selain itu penyelenggaraan penataan ruang

diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap

menghormati hak-hak rakyat, serta penyelenggaraan pembinaan oleh

pemerintah yakni mensosialisasikan rencana tata ruang guna menumbuhkan

dan mengembangkan kesadaran, tanggung jawab masyarakat melalui

penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan latihan.

Berkenaan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya, Maria S.W.

Sumardjono mengemukakan bahwa:

“Dalam kaitannya dengan ketersediaan tanah, dalam Pasal 11 Ayat (1) UU


No. 11/2005 disebutkan tentang hak setiap orang atas standar kehidupan
yang layak bagi diri sendiri dan keluargannya, termasuk hak untuk
84
memperoleh pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi
hidup secara terus menerus. Selanjutnya dalam Ayat (2) ditegaskan
tentang pengakuan terhadap hak mendasar dari setiap orang untuk bebas
dari kelaparan, dan untuk mendukung hak itu negara harus mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan cara-cara
produksi, konsumsi dan distribusi pangan sehingga mencapai
perkembangan dan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien” 2

Uraian tersebut di atas merupakan manifestasi perlindungan hak–hak

rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang–Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 39 Tahun1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights serta

Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 11 Tahun 1994 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dati II Manokwari.

Realitas menunjukkan bahwa terjadi penyimpangan peruntukan

sebagaimana dikemukakan oleh Karubaba bahwa adanya kecenderungan lokasi

pemukiman berkembang mendekati dan memunculkan kerawanan pengrusakan

hutan di sekitar hutan lindung Wosi maupun Taman Wisata Gunung Meja. 3 Hal

senada dikemukakan pula oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan

Perhubungan Provinsi Papua Barat bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah hanya

sebagai slogan belaka, karena terjadi disfungsi ruang4. Demikian pula Jeffry E.

Loman Anggota DPRD Kabupaten Manokwari mengemukakan bahwa Pemerintah

harus tegas melindungi daerah-daerah resapan air, seperti hutan lindung tanpa

2
Maria S.W. Sumardjono. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Kompas Jakarta, hlm. 4.
3
Yohan Kaleb Karubaba. 1999. Perencanaan Tata Guna Lahan Perkotaan, Studi Kota Manokwari di Provinsi Papua
Dalam Mengantisipasi Perkembangan Penduduk, Thesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, hlm. 57.
4
Koran Cahaya Papua, 7 Desember 2007. Tata Ruang Wilayah Manokwari Hanya Jadi Slogan, hlm. 1
85
mengabaikan hak ulayat masyarakat setempat 5. Selain disfungsi ruang,

terindikasi terjadi pula kurangnya partisipasi masyarakat pemangku hak ulayat

dalam penataan ruang, sebagaimana dikemukakan oleh Barnabas Mandacan

Ketua Dewan Adat Papua Daerah Mnukwar bahwa sering terjadi sengketa tanah

adat karena kurangnya keterlibatan masyarakat adat dalam pembangunan6.

Akibat kurangnya partisipasi masyarakat, maka Gubernur Papua Barat

menyatakan bahwa masyarakat pemangku hak ulayat harus dilibatkan dalam

proses pengambilan keputusan AMDAL karena mereka akan membantu

mengidentifikasi persoalan dampak lingkungan hidup sejak dini; bahkan

menampung aspirasi dan kearifan pengetahuan lokal akan menjadi kunci

penyelesaian dampak lingkungan hidup7. Sejalan dengan itu Yan Christian

Warinussy Ketua LP3BH Manokwari menyatakan bahwa perlu implementasi riil

dari tuntutan adanya penghormatan secara hukum dan politik terhadap jati diri

dan hak-hak dasar orang asli Papua8.

Kepala Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Daerah

Kabupaten Manokwari Roberth K.R. Hammar 9, menyatakan bahwa selama ini

rencana tata ruang belum mendapat tempat yang proporsional dalam proses

pembangunan yang sedang berjalan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa

pada umumnya produk rencana tata ruang dibuat sekadar formalitas karena

tuntutan undang-undang semata. Sebaliknya tak terasa bahwa kebijakan yang

mengenyampingkan norma yang tertuang dalam produk hukum rencana tata

ruang telah menimbulkan berbagai bencana, malapetaka yang seakan tiada

henti, akibat perubahan fungsi tanpa memperhitungkan aspek ekologis. Di

5
Koran Cahaya Papua, 29 Desember 2008. Ketegasan Pemerintah Melindungi Daerah Resapan Air, hlm. 3.
6
Koran Cahaya Papua, 7 Januari 2008. Selesaikan soal tanah butuh keterlibatan semua unsur, hlm. 1.
7
Koran Cahaya Papua, 11 Desember 2007. Putuskan AMDAL libatkan pemilik ulayat, hlm. 1.
8
Koran Cahaya Papua, 29 Desember 2007. LP3BH serukan: Perlindungan hak masyarakat adat, hlm. 1.
9
Koran Cahaya Papua, 15 Januari 2008. Kebijakan tata ruang dan pertanahan, hlm. 1.
86
samping itu ada berbagai kebijakan dalam rencana tata ruang yang

mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Hal tersebut menimbulkan

ketidakadilan yang bermuara pada kesengsaraan dan kemiskinan. Kondisi

tersebut selaras dengan kondisi umum di Papua yakni rakyat Papua sebagai

pemilik tanah sering dikalahkan oleh alasan hukum dan dalih pembangunan

nasional. Padahal menurut Dhuroruddin dan Ikrar, yang dilakukan sebenarnya

bukan pembangunan nasional, melainkan lebih untuk kepentingan pengusaha

yang berkuasa atau penguasa yang berusaha.10 Kondisi tersebut terjadi pula

akibat pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis ke arah

kebijakan yang cenderung prokapital yang terjadi karena pilihan orientasi

kebijakan ekonomi 11.

Fenomena yang terjadi adalah kesemrawutan dan penyimpangan

peruntukan tata ruang wilayah disebabkan tumpang tindihnya kawasan hutan

lindung, suaka alam dan wisata serta hutan produksi, hutan produksi terbatas,

kawasan pertambagan dengan kawasan hak ulayat MHA antara lain (1) kawasan

hutan lindung Wosi Rendani, sebagian kawasannya berubah fungsi menjadi

kawasan pemukiman tanpa ditetapkan perubahannya dalam peraturan daerah

tata ruang wilayah, (2) eksploitasi kawasan Taman Wisata Gunung Meja, oleh

masyarakat adat (Faam atau marga Mandacan, Meidogda dan Saroi di Ayambori)

dengan alasan kawasan tersebut belum dipindahtangankan kepada pihak lain

termasuk Pemerintah, (3) sengketa hak ulayat kaitan dengan hak pengusahaan

hutan di Momi Waren dan Masyarakat Hukum Adat Moskona di Merdey, serta (4)

tumpang tindih pemanfaatan hutan di wilayah Cagar alam pegunungan Arfak,

10
Dhuroruddin dan Ikrar 1999. Berbagai Faktor Separatisme di Papua, dalam Syamsuddin Haris, dkk. Indonesia
diambang Perpecahan. Erlangga, Jakarta. hlm. 210.
11
Maria.S.W. Sumardjono. Loc. Cit.
87
(5) sengketa pemanfaatan laut dan pesisir di kawasan Taman Nasional Laut

Teluk Cenderawasih Manokwari.

Dalam rangka meminimalisasi sengketa dalam penataan ruang, maka

seyogyanya tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten mengadopsi dan

mengakomodasikan berbagai kearifan masyarakat hukum adat yang berkenaan

dengan pembagian wilayah pemanfaatan, perizinan dan pengawasan atas tanah,

hutan, air secara berkelanjutan dalam kebijakan pembentukan produk hukum

daerah.

B. Rumusan Masalah

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adat

berkenaan dengan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah, maka

permasalahan yang harus dicarikan jawaban dan dikaji dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimanakah penataan ruang dalam masyarakat hukum adat yang

didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal?

a. Bagaimanakah proses dan bentuk penataan ruang masyarakat hukum

adat?

b. Prinsip-prinsip apa saja yang mendasari penataan ruang masyarakat

hukum adat?

c. Kelembagaan apakah yang melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan

tata ruang masyarakat hukum adat?

2. Apakah Implementasi Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari

mengakomodasikan penataan ruang dalam masyarakat hukum adat?

a. Bagaimana proses pelibatan masyarakat hukum adat dalam penyusunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari

88
b. Bagaimanakah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari

mengakomodasikan prinsip-prinsip penataan ruang dan implikasinya

terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat?

c. Kelembagaan apakah yang melaksanakan, mengawasi pemanfaatan ruang

dan pengendalian Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari

serta bagaimanakah pelibatan kelembagaan hukum adat dalam kegiatan

tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan urutan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai

tujuan sebagi berikut;

1. Untuk mengetahui pemahaman tentang penataan ruang yang terjadi

dalam masyarakat hukum adat berdasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal

yang meliputi proses, bentuk dan prinsip-prinsip yang mendasasi

penataan ruang masyarakat hukum adat serta kelembagaan yang

melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan tata ruang masyarakat

hukum adat.

2. Untuk mengetahui pengakomodasian penataan ruang dalam masyarakat

hukum adat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari

yang meliputi proses pelibatan masyarakat hukum adat dalam

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari, dan

pengakomodasian prinsip-prinsip penataan ruang masyarakat hukum adat

dan implikasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari,

terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat serta pelibatan kelembagaan

hukum adat dalam pelaksanaan dan pengawasan pemanfaatan dan

pengendalian pemanfaatan tata ruang.

89
D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoretis, temuan penelitian ini diharapkan berguna bagi pembangunan

hukum yakni penataan sistem hukum nasional sebagaimana tertuang dalam

rencana pembangunan jangka panjang yang merupakan bagian integral dari

sistem perencanaan pembangunan nasional, antara lain kelanjutan penataan

sistem hukum nasional, meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum

serta tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum serta penegakan

hak asasi manusia yang teraktualisasi dalam pembentukan peraturan

peraturan perundang-undangan, termasuk produk hukum daerah.

2. Secara praktis, diperoleh realitas pengaturan tata ruang berdasarkan prinsip-

prinsip kearifan lokal masyarakat hukum adat dan diperoleh masukan

tentang prinsip-prinsip kearifan lokal dalam penyusunan tata ruang.

90
Lampiran 41: Contoh Keaslian Penelitian

E. Keaslian Penelitian

Kajian khusus mengenai Implikasi Rencana Tata Ruang Wilayah terhadap

hak-hak masyarakat adat belum banyak penulis temui, namun guna menjamin

orisinalitas penelitian ini, maka penulis kemukakan penelitian hukum yang

berkenaan dengan penataan ruang dan hak-hak masyarakat adat atas sumber

daya agraria sebagai berikut:

Disertasi Rachmad Baro yang berjudul Penataan Ruang di Sulawesi

Selatan, Studi Hukum Empiris Penegakan Prinsip Pertimbangan Lingkungan di

Kawasan MAMMINASATA (Disertasi PPS Unhas 2002); Penelitian tersebut

terfokus pada konsepsi kepemilikan menurut prinsip-prinsip Deklarasi

Stockholm, efektifitas produk hukum sebagai land policy instrument,

pertimbangan prinsip-prinsip lingkungan dalam rencana tata ruang,

pelaksanaan kewajiban hukum pengembang, kualitas penyaluran aspirasi

masyarakat dan pengaruh partisipasi masyarakat terhadap kualitas tata ruang

dan lingkungan hidup. Hasil temuannya antara lain sebagai berikut: (1) konsepsi

kepemilikan tanah menurut Deklarasi Stockholm sejalan dengan konsepsi

kepemilikan di Indonesia, dan meskipun masih terdapat keterikatan yang sangat

kuat antara rakyat dengan tanah miliknya, namun dalam implementasinya, sifat

mutlak dan magis religius telah melemah dan tergeser oleh nilai-nilai ekonomis

tanah; (2) pengembang umumnya tidak menghargai hak-hak masyarakat akan

lingkungan hidup yang baik, serta aspirasi masyarakat belum tersalurkan secara

baik karena program-program penataan ruang lebih merupakan cerminan

aspirasi dan kepentingan pemerintah, elit pengusaha tertentu, akibatnya

partisipasi masyarakat cenderung rendah sehingga telah turut memperburuk

kualitas tata ruang.


91
Andi Suriyaman Mustari Pide, melakukan penelitian dalam rangka

disertasi pada Universitas Hasanuddin Makassar, dengan judul Eksistensi

Juridis dan Realitas Sosial Hak Kolektif Masyarakat Hukum Adat atas Tanah

Pasca Undang-Undang Pokok Agraria. (Disertasi PPS Unhas 2004). Ada tiga

masalah yang diteliti yakni, (1) Jumlah kriteria eksistensi masyarakat

(persekutuan) hukum adat secara juridis itu harus terpenuhi untuk dapat

dipandang masih eksis dalam realitas sosialnya; (2) Dampak komponen

substansi dan struktur dari sistem hukum terhadap eksistensi juridis dan hak

kolektif masyarakat (persekutuan) hukum adat atas tanah sehingga tereleminasi

atau terlikuidasi dalam realitas sosialnya; (3) Intensif komponen budaya hukum

dapat mendorong upaya pemulihan eksistensi juridis hak kolektif masyarakat

(persekutuan) hukum adat atas tanah sehingga kriteria eksistensialnya

terpenuhi dalam realitas sosialnya. Temuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

ada persekutuan hukum yang masih eksis secara utuh dalam realitas sosialnya,

namun ada pula persekutuan hukum yang kriteria eksistensinya mengalami

proses eliminasi, dan peran kepala suku dalam pengelolaan hak kolektifnya

sudah sangat terbatas.

Prasetijo Riyadi melakukan penelitian dalam rangka disertasi tentang

”Pembangunan Hukum Penataan Ruang Dalam Konteks Kota Berkelanjutan”

(PPS Universitas Diponegoro Semarang 2004). Fokus penelitian ini adalah (1)

bekerjanya hukum penataan ruang dalam realitas sosial yang bertujuan untuk

mewujudkan Kota berkelanjutan; (2) konstruksi pengaturan hukum tata ruang

dapat didayagunakan sebagai piranti yuridis normatif maupun empiris sosiologis

pembangunan kota yang berkelanjutan. Temuan penelitian adalah (1) bekerjanya

hukum penataan ruang nasional belum dilengkapi dengan perumusan perangkat

92
sanksi yuridis untuk mempertahankan keberadaan norma hukum; (2) eksistensi

dan fungsi hukum penataan ruang (Kota Surabaya) yang bertumpu pada UU

Penataan Ruang belum diimplementasikan secara efektif; (3) Pemerintah Kota

Surabaya belum mengimplementasikan UU Penataan Ruang maupun Perda

RTRW Jawa Timur secara realistis; (4) Kota Surabaya belum mempunyai

pengaturan hukum menyeluruh dalam rangka penataan ruang yang berpedoman

pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; (5) pembangunan hukum

penataan ruang yang dapat bekerja secara efektif di Kota Surabaya merupakan

kebutuhan dasar dan sangat penting karena selama ini belum terdapat

pelaksanaan yang sungguh-sungguh terhadap UU Penataan ruang; (6)

pembangunan dan pengembangan hukum penataan ruang harus

dikonstruksikan dalam bingkai geografis, demografi dan ekologi serta religi

secara sinergis.

Amier Sjarifuddin, Abrar Saleng dan Kahar Lahae, pada tahun 2003

melakukan penelitian tentang ”Penguasaan Tanah Adat dan Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Nunukan”, kerjasama Pusat Kajian

Hukum Agraria dan Sumberdaya Alam Lembaga Penelitian Universitas

Hasanuddin dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur,

memfokuskan penelitiannya pada hal-hal sebagai berikut: (1) struktur, status,

dan realitas sosial eksistensi masyarakat atau persekutuan hukum adat

berhadapan dengan struktur pemerintahan negara sekarang; (2) efektivitas

tatanan hukum adat dalam pengelolaan hak kolektif masyarakat hukum adat

(hak ulayat) dan realitas sosial eksistensinya pasca-UUPA; (3) keterlibatan kepala

masyarakat atau persekutuan hukum adat (yang masih eksis) dalam pengelolaan

tanah dan hutan ulayat, respons dan ketaatan warganya, sebelum serta pasca-

93
UUPA dan UU Kehutanan; serta (4) persepsi masyarakat mengenai masyarakat

hukum adat atau persekutuan hukum adat dan hak kolektif masyarakat hukum

adat (hak ulayat). Temuan penelitian adalah masih eksisnya struktur, status,

dan realitas sosial MHA, adanya keterlibatan pemimpin adat dan ketaatan MHA

berdampak pada efektivitas hak kolektif.

Syamsuddin Pasamai melakukan penelitian dalam rangka disertasi

dengan judul “Pengembangan Sistem Pengukuhan Penetapan Kawasan Hutan

dari Aspek Hukum Penatagunaan Tanah di Provinsi Sulawesi Selatan” (Disertasi

PPS Unhas 2006). Hasil penelitiannya menunjukan bahwa: (1) pada sistem

pengukuhan penetapan kawasan hutan dari aspek penatagunaan tanah belum

dilaksanakan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004, dan tidak sesuai dengan sistem perencanaan

pembangunan nasional sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2004; (2) tidak ada kepastian hukum tentang batas kawasan hutan

negara dan hutan dikuasai oleh masyarakat adat; (3) masih adanya ego sektoral

dalam aplikasi perundang-undangan kehutanan.

Peneliti selanjutnya adalah Marthinus Solossa, yang melakukan

penelitian guna penulisan thesis pada tahun 1995 dengan judul ”Eksistensi Hak

Ulayat Atas Tanah di Irian Jaya setelah berlakunya Undang-Undang Pokok

Agraria, Kasus Jayapura” (PPS Universitas Hasanuddin Makassar 1995). Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa: (1) UUPA tidak memberikan pengaruh

positif terhadap keberadaan dan kewenangan masyarakat hukum adat dalam

pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat dan warga masyarakat

hukum adat lebih taat kepada Ondowafi/kepala suku sebagai kepala

pemerintahan setempat dari pada kepala desa yang diangkat berdasarkan

94
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979; (2) tanah ulayat bersumber pada

peninggalan/warisan para leluhur sebelumnya dan perampasan sewaktu perang

suku yang berkisar tanah ulayat suku dan keret yang sebagian besar belum

terdaftar sebagimana dianjurkan dalam Pasal 19 UUPA, akan tetapi masih

ditandai dengan batas alam seperti gunung, sungai/kali, tanjung dan

sebagainya. Di samping itu sebagian tanah ulayat sudah ditandai dengan patok

Ondowafi yang mulai bergeser ke sistem individualisasi dan komersialisasi

akibat desakan agen-agen pembangunan dari luar/orang luar; (3) hubungan

hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat disertai aturan

hukum adat yang masih kuat dan tingkat kepatuhan yang tinggi dilakukan atas

dasar kesepakatan bersama dan sifatnya tidak tertulis yang mengikat mereka

karena di dalamnya mengandung makna religius magis; (4) faktor-faktor sosial

budaya dan ekonomi yang bermakna politis lebih dominan dalam mempengaruhi

sikap masyarakat hukum adat dalam mempertahankan keberadaan hak ulayat

atas tanah dengan menginginkan dibentuknya undang-undang mengenai tanah

ulayat serta menghendaki UUPA harus direvisi dengan undang-undang baru

sebagi induk dalam peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan yang

mencerminkan kepentingan warga negara, terutama warga masyarakat hukum

adat.

Penelitian sejenis dilakukan pula oleh Johan Rongalaha dalam rangka

penulisan thesis pada PPS Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 1996

yang memfokuskan penelitiannya pada ”Hak Ulayat dan Pengaruhnya terhadap

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan di Kotamadya Jayapura”. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa problem hak ulayat mempunyai pengaruh yang

sangat kuat untuk menghambat pelaksanaan fisik kotamadya Jayapura. Sebagai

95
contoh dapat dikemukakaan pembangunan fisik yang mengalami hambatan

adalah: gedung kantor baru Kotamadya, terminal perhubungan darat, tempat

pembuangan akhir atau sampah (TPA), stadion dan pembangunan kampus baru

Universitas Cendrawasih. Faktor-faktor yang melekat (inherent) pada hak ulayat

dan juga mempunyai pengaruh yang kuat untuk menghambat pembangunan,

yakni faktor ekonomi (ekonomi uang), falsafah masyarakat hukum adat tentang

tanah dan sosial budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berlakunya

UUPA di Kotamadya Jayapura belum efektif .

Abrar Saleng melakukan penelitian dalam rangka thesis pada Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1994 tentang “Aspek Hukum

Pertanahan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kotamadya Ujung Pandang”.

Penelitian ini mengkaji penggunaan tanah, kendala dan dampak penggunaan

tanah dalam Rencana Umum Tata Ruang kota di Kota Makassar. Sedangkan

Roberth K.R. Hammar melakukan penelitian tentang Implikasi Penataan Ruang

Kota Terhadap Hak-hak Masyarakat atas Tanah di Kota Manokwari (thesis

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2001).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pertama, pelaksanaan penataan ruang

kota di Manokwari tidak konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota

(RUTRK) Manokwari karena pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan

peruntukannya. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan tanah (ruang) tidak dapat

dikendalikan. Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang

kota dan kurangnya sosialisasi rencana tata ruang serta tidak transparannya

pelaksanaan musyawarah dalam pengadaan tanah, berarti hak-hak rakyat atas

tanah di Kota Manokwari kurang terlindungi.

96
Dari berbagai penelitian tersebut dikristalisasi dalam tabel sebagai

berikut.

Tabel 1. Deskripsi keaslian penelitian

Peneliti Temuan Peluang yang terbuka Fokus disertasi

1. Rachmad Baro Sifat mutlak dan Belum dikaji perihal 1. Mengungkap


magis religius eksistensi tata ruang kearifan lokal MHA
telah melemah MHA, sedangkan Suku Arfak dalam
dan tergeser oleh partisipasi masyarakat penataan ruang.
nilai-nilai yang dikaji hanya (proses, bentuk,
ekonomis tanah; partisipasi formal, prinsip, dan
partisipasi belum mengungkap kelembagaan)
masyarakat konsep partisipasi
cenderung rendah dalma MHA.
sehingga telah
turut
memperburuk
kualitas tata
ruang.

2. Prasetijo Riyadi Hukum Tata Tidak diungkapkannya 2. Mengkaji proses


Ruang kota kearifan lokal dalam pelibatan MHA,
digunakan untuk mewujudkan kota termasuk prinsip dan
mewujudkan kota berkelanjutan kelembagaan adat
berkelanjutan dalam substansi
perda RTRW, serta
perencanaan,
pemanfaatan dan
pengendalian RTRW,
kabupaten
Manokwari.

Penggunaan Hanya mengungkap Substansi penelitian ini


3. Abrar saleng tanah, Kendala aspek hukum bermanfaat dalam
dan dampak pertanahan dalam meminimalisasi
dalam RUTRK RUTRK sengketa pembangunan,
yang selama ini terjadi
berkenaan dengan
pemanfaatan Hak
Ulayat MHA.

Tata ruang kota Penelitian ini hanya


4. Roberth Manokwari tidak mengkaji pelaksanaan
K.R.Hammar konsisten dengan RUTRK, dari sisi
RUTRK, Hak-hak konsistensi dan
masyarakat perlindungan hukum
kurang yang preventif yakni
terlindungi dalam sosialisasi, partisipasi,
penataan ruang musyawarah dalam
kota pengadaan tanah.

5. Syamsuddin Sistem Penelitian ini belum


Pasamai pengukuhan mengungkap
penetapan pengaturan batas
kawasan hutan kawasan yang
dari aspek sebetulnya ada dalam
penatagunaan MHA
tanah belum
97
dilaksanakan
sesuai dengan
perundang-
undangan
serta ketidak
jelasan batas
kawasan hutan.

6. Amier Sjariffudin Masih eksisnya Penelitian ini belum


dkk struktur, status, mengungkap secara
dan realitas sosial eksplisit kearifan lokal
MHA, Adanya MHA dalam penataan
keterlibatan ruang,
pemimpin adat,
berdampak pada
efektivitas hak
kolektif

7. Andi Suryaman Pide Persekutuan Penelitian ini hanya


hukum yang mengungkap kriteria
masih eksis keberadaan MHA dan
secara utuh Hak kolektifnya, dan
dalam realitas terbatasnya peran
sosialnya, namun kepala persekutuan,
ada pula
persekutuan
hukum yang
kriteria
eksistensinya
mengalami proses
eliminasi, dan
peran kepala
suku dalam
pengelolaan hak
kolektifnya sudah
sangat terbatas.

8. Marthinus Salossa UUPA tidak Penelitian Martinus


berpengaruh Salossa terfokus pada
positif terhadap implementasi formal
keberadaan dan yang dipengaruhi oleh
kewenangan MHA situasi politik Papua,
dalam namun belum
pengaturan, mengungkap kearifan
penguasaan dan lokal yang secara
penggunaan filosofis hidup dalam
tanah ulayat MHA
MHA masih
terikat dengan
hukum adatnya
Faktor-faktor
sosial budaya dan
ekonomi yang
bermakna politis
lebih dominan
dalam
mempengaruhi
sikap masyarakat
hukum adat
dalam
mempertahankan

98
9. Johan Rongalaha keberadaan hak Berbagai kearifan lokal,
ulayat atas tanah seyogyanya diadopsi
dalam berbagai regulasi
Hak ulayat pembangunan, sehingga
mempunyai tidak terjadi resistensi
pengaruh yang yang berimplikasi pada
sangat kuat terhambatnya
untuk pembangunan kota
menghambat jayapura, namun
pelaksanaan fisik kearifan lokal belum
kotamadya terungkap dalam
Jayapura penelitian ini.

99
Lampiran 42: Kerangka Pemikiran

E. Kerangka Pemikiran

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,

sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945. Sebagai tindaklanjut diatur dalam Pasal 2 UUPA

sebagai berikut:

(1). Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi , air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2). Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi,air, dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swantara dan masyarakat-
masyarakat hukun adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah.

Untuk mewujudkan amanat tersebut maka Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa negara

menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya dilakukan

100
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan tetap menghormati hak yang

dimiliki oleh setiap orang.

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus

dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat

mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta

mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak

terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya

penurunan kualitas ruang.

Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan

daya tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang sesuai akan

meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu

berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada karena pengelolaan

subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya

dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara keseluruhan.

Pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem

keterpaduan sebagai ciri utama. Untuk itu perlu adanya suatu kebijakan

nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan

pemanfaatan ruang. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan yang

dilaksanakan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat,

baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan sesuai

dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian,

pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana

tata ruang.

101
Salah satu pengejawantahan dari otonomi daerah adalah: provinsi,

kabupaten dan kota memiliki kewenangan dalam penataan ruang wilayahnya

sebagaimana diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007

yakni perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang,

diperlukan dasar hukum guna menjamin kepastian hukum bagi upaya

pemanfaatan ruang, atau dengan kata lain pembangunan yang dilaksanakan

harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia telah mengatur

berbagai prinsip perlindungan hukum dalam penataan ruang yakni

kekonsistenan pembangunan dengan rencana tata ruang; partisipasi masyarakat

dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalaian rencana tata ruang; hak

setiap orang untuk mengetahui rencana tata ruang; menikmati manfaat ruang

termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang dan

memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat

pelaksanaan kegiatan pembangunan. Selain itu penyelenggaraan penataan ruang

diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap

menghormati hak–hak rakyat, serta penyelenggaraan pembinaan oleh

pemerintah yakni mensosialisasikan rencana tata ruang guna menumbuhkan

dan mengembangkan kesadaran, tanggung jawab masyarakat melalui

penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan latihan. Hal tersebut merupakan

manifestasi perlindungan hak–hak rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,

dan Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-

Undang Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang

102
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, serta

Peraturan Daerah Kabupaten Manokwari Nomor 11 Tahun 1994 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari.

Negara Indonesia yang beraneka budaya dan adat istiadat ini, memiliki

berbagai kearifan lokal tentang penataan ruang yang hidup dan dihormati oleh

MHA, termasuk MHA Arfak di Kabupaten Manokwari. Oleh karena itu variabel

penataan ruang dalam masyarakat hukum adat yang didasarkan pada nilai-nilai

kearifan lokal merupakan variabel yang perlu dikaji, dianalisis guna dikristalisasi

sebagai bentuk kearifan yang dapat diaplikasikan dalam penataan ruang di

daerah yang secara nyata masih ada dan hidup dalam komunitas adat.

Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada hal-hal sebagai berikut: (1) proses

dan bentuk penataan ruang masyarakat hukum adat; (2) prinsip-prinsip yang

mendasari penataan ruang masyarakat hukum adat; (3) kelembagaan yang

melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan tata ruang masyarakat hukum adat.

(4) proses pelibatan masyarakat hukum adat dalam penyusunan Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari; (5) pengakomodasian prinsip-prinsip

penataan ruang dan implikasinya terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat;

serta (6) kelembagaan yang melaksanakan, mengawasi pemanfaatan ruang dan

pengendalian Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari serta

pelibatan kelembagaan hukum adat dalam kegiatan penataan ruang.

103
Gambar 3 Skema Kerangka Pikir Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak
Ulayat Masyarakat Adat

Perlindungan
UUD 1945 Hak-hak
MHA

Kearifan Lokal MHA


Peraturan Daerah
RTRW
Proses & Bentuk PR
MHA

Prinsip-prinsip PR
MHA

UU No. 5 Tahun 1960 Lembaga MHA


UU No. 39 Tahun 1999 Mengawasi PR
UU No. 26 Tahun 2007
Proses Penetapan
Kebijakan di DPRD
Implementasi RTRW (perda perubahan)

Pelibatan MHA

RTRW
Mengakomodasi
Prinsip-prinsip PR
MHA & Implikasi

Lembaga Pengawas
RTRW

104
Lampiran: 43. Contoh Format Makalah (Tugas-tugas Mahasiswa)
Lambang dan lain-lain disesuaikan dengan STIE Mah Eisa

KEPUTUSAN HAKIM DALAM


PERSPEKTIF SENI

Oleh:

Nama : Roberth K.R. Hammar


Nomor Mahasiswa : 07/259215/SHK/98
Bidang Ilmu : Hukum
Program : Doktor

Makalah
Dalam Mata kuliah: Teori Hukum,
Dosen : Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007

105
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
PRAKATA ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. . 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Dalam Menemukan Hukum oleh Hakim .................... ........... 4
B. Menemukan Hukum suatu Kreativitas seni
dalam Keputusan Hakim ................................................................. 17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 27
B. Saran............................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA

106
KEPUTUSAN HAKIM DALAM
PERSPEKTIF SENI

Oleh:

Nama : Roberth K.R. Hammar


Nomor Mahasiswa: 07/259215/SHK/98
Bidang Ilmu : Hukum
Program : Doktor

Makalah
Dalam Mata kuliah: Teori Hukum,
Dosen : Prof. Dr.R.M. Sudikno Mertokusumo, SH

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007

107
ABSTRAK

Roberth Kurniawan Ruslak Hammar. Keputusan Hakim Dalam Perspektif Seni.


(Mata Kuliah: Teori Hukum, Dosen: Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi putusan hakim


dalam menuangkan kreativitasnya dalam menerapkan hukum dan tujuan hukum
pada kasus konkret dan merupakan seni.tersendiri.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kreativitas hakim dalam menerapkan hukum


dan tujuan hukum dalam suatu kasus konkret dalam Putusan, menggunakan
rasional juga kecerdasan emosional merupakan seni yang didasarkan pada ilmu
hukum, dengan demikian putusan hakim itu adalah hukum dan sumber hukum.

Agar kreativitas seni yang digunakan hakim dalam putusannya memiliki kualitas,
maka seyogyanya hakim memperluas cakrawala wawasan dengan pemahaman teori
hukum dan perundang-undangan secara memadai, guna menghindari berbagai
kesalahan penerapan hukum dalam putusannya.

108
BABI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, seyoyanya menempatkan

hukum sebagai panglima, dalam makna bahwa negara wajib memberikan

perlindungan yang proporsional yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum bagi seluruh masyarakat. Negara hukum harus dapat

memberikan jaminan kepada masyarakat pencari keadilan. Peradilan sebagai

benteng terakhir pencari keadilan, seyogyanya mampu memberikan kontribusi

terhadap peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan. Realitas

menunjukan bahwa terjadinya main hakim sendiri, peningkatan kualitas dan

kuantitas kriminalitas, serta enggannya masyarakat menyelesaikan sengketa

perdata melalui badan peradilan menunjukkan bahwa sedang terjadi degradasi

kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Republik ini.

Salah satu pengejawantahan negara hukum tersebut terdeskripsi pada

Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Ujud dari output peradilan adalah

keputusan hakim. Hakim memiliki tugas pokok yakni mengadili, memeriksa dan

memutuskan suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada.

Bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan

kewajiban.

Hukum itu berawal dan berakhir pada putusan pengadilan. Keberadaan

hukum baru terasa jika ada sengketa, dan sarana terakhir untuk menyelesaikan

suatu persengketaan hukum tertentu saja melalui pranata pengadilan yang

berwujud putusan hakim. Hakim berkewajiban untuk menerapkan hukum pada

kasus konkret. Dan dalam

109
kepustakaan hukum upaya penerapan hukum dalam kasus konkret tersebut

disebut sebagai seni. Hal tersebut selaras dengan Will Durant (Suriasumantri,

2001:24-25) yang menyatakan bahwa “Tiap ilmu dimulai dengan Filsafat dan

diakhiri dengan seni”. Disisi lain Apeldoorn (2005:377) menyatakan bahwa hukum

sebagai kesenian hidup adalah primair; takkan ada pergaulan manusia dengan

tiada hukum. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam abad menengah seni rupa

acapkali mengabdi pada hukum: seni lukis dan seni gambar lebih-lebih seni

miniatur berusaha memperlihatkan pandangan-pandangan hukum dengan wujud

yang hidup. Penerapan seni juga terdeskripsi melalui penerapan tujuan

hukum.dalam keputusan hakim. Idealnya suatu keputusan hakim harus

mengandung ketiga unsur yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

secara proporsional.

Seni mengandung makna luas yakni penggunaan budi pikiran untuk

mengahsilkan karya yang menyenangkan bagi roh manusia. Ini meliputi

pengungkapan khayali yang jelas mengenai benda-benda(atau pikiran tentang

benda-benda) seperti dalam pahatan, lukisan, gambar. Tetapi khayalan juga

memperoleh pengungkapan dalam seni musik, drama, tari, sajak dan arsitektur, dan

daftar hal itu dapat diperpanjang.(The Liang Gie, 2005:13).

Makna lain dari Seni adalah suatu kegiatan (proses) dan sekaligus juga

sebuah hasil kegiatan (produk). Kedua hal itu dapat dibedakan tetapi tidak dapat

dipisahkan (The Liang Gie, 2005:14). Sedangkan pandangan lain menyatakan bahwa

Seni adalah segenap kegiatan budi pikiran seseorang (seniman) yang secara mahir

menciptakan sesuatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia hasil ciptaan

dari kegiatan itu ialah suatu kebulatan organis dalam sesuatu bentuk tertentu dari

unsur-unsur bersifat

110
ekspresif yang termuat dalam suatu medium inderawi (The Liang Gie, 2005:18). Dari

berbagai pemaknaan secara teoretis tersebut, mendorong penulis untuk membedah

eksistensi suatu putusan hakim disebut seni.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang menjadi fokus dalam makalah ini berkenaan dengan

keputusan hakim pada Badan Peradilan. Di media, terurai jelas bahwa berbagai

keputusan hakim yang menurut awam kontroversial. Bahkan acapkali berbagai

keputusan hakim menimbulkan kesemrawutan. Apakah upaya hakim menuangkan

pemikiran dan kreativitasnya dalam menerapkan hukum dalam kasus kongkret,

dapat disebut sebagai seni?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam makalah ini adalah: untuk mengetahui eksistensi putusan

hakim dalam menuangkan kreativitasnya dalam menerapkan hukum pada kasus

kongkret adalah seni.

111
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aliran-Pemikiran Tentang Hubungan Tugas Hakim dan Undang-Undang

Timbulnya berbagai aliran pemikiran tentang hubungan antara tugas hakim

dengan eksistensi undang-undang, tidak lain karena penghubungan antara:

Peraturan perundang-undangan di satu pihak, dengan fakta konkrit yang diperiksa

oleh hakim.Menurut Achmad Ali (2002:129) yang menjadi pertanyaan adalah :

”apakah di antara peraturan tesebut dengan fakta konkret yang diperiksa oleh

hakim, masih ada ”sesuatu” atau tidak?” Atau dengan lain kata, yang berlaku di

dalam penyelesaian fakta konkrit yang diadili oleh pengadilan itu, aturan hukum

atau undang-undangnya ataukah hasil dari penilaian hakimnya.

Menurut Achmad Ali (2002:129) Pada dasarnya ada 2 jawaban tentang


pertanyaan itu, yaitu:
1. Bagi kaum dogmatik, hukum adalah peraturan (tertulis), yaitu undang-
undang. Dalam hal ini, tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta
konkrit yang diperiksanya dengan ketentuan undang-undang. Kaum
dogmatik melihat adanya 2 kemungkinan, adanya ”sesuatu proses” di antara
dua elemen tadi (peraturan dan fakta) fakta:
a. proses penerapan hukum oleh hakim,
Disini hakim hanya menggunakan hukum-hukum logis, yaitu sillogisme.
b. Proses pembentukan hukum oleh hakim,
Disini hakim tidak lagi sekedar menggunakan hukum-hukum logika melaikan
sudah memberikan penilaian. Ini yang disebut interprestasi dan kontruksi
yang oleh kaum legis tidak dibolehkan.
2. Bagi kaum non-dogmatik yang melihat hukum tidak sebagai sekedar kaidah,
tetapi juga kenyataan dalam masyarakat, maka undang-undang bukan satu-
satunya hukum. Bagi kaum non-dogmatik, undang-undang bukan satu-satunya
sumber hukum, tetapi

112
masih sumber hukum yang lain yaitu : kebiasaan, traktat, yurisprudensi,
doktrin, kaidah agama, bahkan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam
masyarakat. Dalam pandangan kaum non-dogmatik ini, tugas hakim adalah
konkrit yang diperiksanya. Dalam penghubungan antara sumber hukum dan
fakta konkrit itu, kahim melakukan penilaian.

Prof. Paul Scolten mengemukakan bahwa:


”Hukum itu ada, akan tetapi harus ditemukan, dalam apa yang ditemukan
itulah terletak yang baru. Hanya orang yang mengidentikkan hukum dengan
peraturan-peraturan m harus memilih atau penciptaan atau penerapan.
Apabila ada faktor-faktor yang lain, maka dilema itu hapus...”(Achmad Ali,
2002:134).
Sudikno Mertokusumo (dalam bukunya: Bab-bab tentang Penemuan Hukum,
1993:12) menyatakan bahwa:

”Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara


langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-
undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang
konkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti,
dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan
peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa
hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkritnya kemudian
undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.”
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo (1993:12) mengemukakan bahwa:

”Setiap peraturan hukum ini bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena
umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum
kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang abstrak itu
memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada
peristiwa yang cocok.”

Selama berabad-abad, hubungan antara perudang-undangan dengan putusan

hakim menimbulkan polimik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai

aliran pemikiran dalam ilmu hukum.

Mula-mula dikenal aliran legis, yang cendrung memandang hakim tidak lain hanya

113
Sekedar terompet undang-undang (bouche de laloi) hukum oleh hakim, yang

memandang hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan cara

konstruksi hukum atau interprestasi. Terakhir muncul lagi aliran realis di Amerika

Serikat dan Skandinavia, yang pada pokoknya memandang hakim tidak sekadar

”menemukan hukum” melainkan ”membentuk hukum” melalui putusannya. Bagi

aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya

terhdap putusan hakim, akan tetapi hanya berlaku salah satu unsur

pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi

oleh prasangka politik ekonomi ataupun moral.

Bahkan perasaan simpati dan antipati pribadi turut mempengaruhi putusan

hakim. Dalam hubungan tugas hakim dan perudang-undangan terdapat beberapa

aliran sebagai berikut:

1. Aliran Legis

Pada saat Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa betapa

ketidakpastian berlangsung di dunia hukum. Akhirnya muncul masa dimana

kepercayaan sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi

ketidakpastian dari hukum tak tertulis. Tetapi terjadilah kepercayaan yang

berlebihan akan kemampuan undang-undang. Kepastian hukum memang mungkin

terwujud dengan undang-undang, tetapi dipihak lain muncul kelemahan undang-

undang, khususnya sifatnya, khususnya sifatnya yang statis dan kaku.

Beberapa abad lampau, kalangan hukum pernah sangat mendewakan

eksistensi dan kemampuan undang-undang. Montesquieu pernah mengemukakan

bahwa : ”Hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-

undang. Jika teks itu tidak

114
berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang

kekuatannya maupun tentang keketatannya”.

Juga Rousseau (Achmad Ali, 2002: 133) dalam teori kedaulatan rakyat yang

dianutnya berpendapat bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam satu

negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan

dalam undang-undang. Oleh karena itu undang-undanganlah satu-satunya hukum

dan sumber hukum, dan hakim tidak boleh melakukan pekerjaan pembuat undang-

undang

Legisme ini, menurut Sudikno Mertokusumo (1993 : 42):

”Pada abad pertengahan timbullah aliran berpendapat bahwa satu-satunya


sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti
semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit (pasal
20,21 Peraturan Umum mengenai Perudang-undangan untuk Indonesia /S.
1847-23). Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang
dipakai adalah geometri yuridis. Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan
hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang (pasal 3 Peraturan Umum
tersebut di atas). Hukum dan undang-undang adalah identik, yang
dipentingkan disini adalah kepastian hukum”.

Padangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang, karena semakin

lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak perna lengkap dan tidak

selamanya jelas, bagaimanapun undang-undang menentukan kaidah secara

umum, tidak tertentu pada suatu kasus tertentu. Sifat undang-undang yang

abstrak dan umum itu, menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara ”in-

kokreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu

menyelesaikan persengketa, jika hakim hanya berfungsi sebagai ”terompet

undang-undang” belaka. Hakim masih harus melakukan kreasi tertentu. Inilah

yang kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan

penemuan hukum melalui putusannya.

115
Achmad Sanusi mengeritisi Legisme sebagai berikut:

”tidaklah benar pula, bahwa pekerjaan hakim mempelajari menganalisis dan


dengan menggunakan tutur simpul (silogisme), yaitu deduksi yang logis,
akan mendapatkan penyelesaian untuk tiap-tiap peristiwa nyata. Pertama-
tama disebabkan karena banyak peraturan undang-undang itu secara nisbi
terbatas, tidak dapat pada waktunya telah memberi aturan-aturan bagi
setiap hubungan dan peristiwa hukum. Kedua kalau memang sudah ada
peraturannya, maka kadang-kadang kata undang-undang itu kurang jelas
atau mengandung kemungkinan untuk ditafsirkan menurut lebih dari satu
arti. Malahan undang-undang sendiri sering-sering menunjuk pada
kebiasaan setemapt (perhatikan pasal 1339, 1346 dan 1347 KUH. Perdata),
kesusilaan, itiqat baik, kepentingan umum dan lain-lain. Jadi hakim
mempunyai tugas turut menemukan hukum juga dengan memberikan
penilaian dan pendapatnya sendiri...” (Achmad Ali, 2002:134).

2. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim

Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak mampu lagi memecahkan

problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan.

Di saat itu kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh

hakim adalah sesuatu yang wajar.

Apakah yang dimaksud dengan penemuan hukum oleh hakim? Menurut

Paul Scholten ( Achmad Ali, 2002:135)

”Penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan


peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan
sangant sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan
jalan interprestasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvervijning...”

Sudikno Mertokusumo (1991:4) memberikan pengertian penemuan hukum

sebagai berikut:

hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan


proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka
menggunakan ”pembentukan hukum” daripada ”penemuan hukum” oleh
karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya
sudah ada”.

Lebihjauh, Sudikno Mertokusumo (1991:5) mengemukakan bahwa:

116
”Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum, setiap orang
selalu berhubungan dengan orang lain, hubungan mana diatur oleh hukum
dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya
sendiri, yaitu : kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh
hukum padanya”.
”Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
memutuskan suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap
yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan
hukum. Hanya kalau ahasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah
hukum, maka hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah
hukum malaikan ilmu atau doktrin. Sekalipun dihasilkan itu bukanlah
hukum , namun disini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena
doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusanya
menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum melaikan sumber hukum”.

Penemuan hukum bagaimanapun selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap

putusannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak ada teks yang tanpa sifat ambiguitas.

Hal ini sudah sifat setiap bahasa.

Aliran penemuan hukum oleh hakim terbagi sebagai berikut:

a. Aliran Begriffsjurispudenz

Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum, diawali dengan

apa yang dikenal sebagai Begriffsjurispudenz. Aliran ini memulai memperbaiki

kelemahan yang ada pada ajaran legis.

Aliran Begriffsjurispudenz mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-

undang itu itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi

kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memeliki daya

meluas. Cara memperluas undang-undang ini hendaknya bersifat ”normlogisch”

dan hendaknya tetap dipandang dari sudut dogmatik sebab bagaimanapun hukum

merupakan suatu ”logische Gasschlossenheit”. Jadi aliran ini memandang hukum

sebagai stu sistem tertutup, dimana pengertian hukum tidaklah teori tentang

pengertian (Begriffsjusprudenz). sebagai sarana melainkan sebagai tujuan, sehingga

teori hukum menjadi Oleh aliran ini, pekerjaan hakim dianggap semata-mata

117
pekerjaan intelek di atas hukum-hukum rasional dan logis. Yang menjadi tujuan

dari aliran Begriffsjusprudenz adalah bagaimana kepastian hukum tewujud.

Penggunaan hukum-logika yang yang dinamai sillogisme menjadi dasar

utama Begriffsjusprudenz ini. Bagaimana yang dimaksud cara berfikir sillogisme,

dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo, S.H (1984: 30):

”Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premisse mayor, yaitu

(peraturan) hukum dan premisse minor yaitu peristiwanya: siapa mencuri

dihukum: A terbukti mencuri; A harus dihukum....”

Aliran ini menempatkan rasio dan logika pada tempat yang sangat istimewa.

Kekurangan undang-undang menurut begriffsjurisprudenz ini hendaknya diisi

dengan penggunaan hukum-hukum logika dan memperluas undang-undang

berdasarkan rasio. Jadi kritikan terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa

hukum bukan pertimbangan budi yang kadang-kadang sifatnya memang irrasional.

agi penganut aliran ini, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga masyarakat

diabaikan.

Salah satu contoh cara berpikir begriffsjurisprudenz adalah yang dicontohkan

oleh Achmad Sanusi sebagai berikut:

“Perhatikan apa yang disimpulkan oleh Mr. Heinsius dari suatu ketentuan
”Toelating en vestigingsbesluit”, Zij op wie de bepalingen Indie gevestigd te
zijn dan na daartoe schriftelijke vergunning te hebben bekomen”, bahwa–
katanya oleh karena peraturan ini tidak juga memuat pengecualian bagi
orang-orang Indonesia, yang sudah turun-temurun berada di sini, maka
siapa saja yang tidak mempunyai izin tertulis untuk menetap di sini, ia
harus dipandang sebagai bukan penduduk Indonesia. Atau putusan
Hogeraad 18 Juni 1910 berkenan dengan kekuasaan orang tua dan
perwalian yang sifatnya utuh dan tidak dapat dipecah-pecah, sehingga–
katanya–seorang bapa atau ibu yang sesudah berlangsung perceraian tidak
diserahi hak perwalian, tidak berhak untuk melihat anak-anaknya atau
untuk bergaul dengan mereka. Atau Putusan Hogeraad 17 Desember 1909
juga, tatkala menolak adanya hak waris bagi „Vereniging tot uitbreiding der
Museum te Haarlem‟, dari seorang Druyvestein, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan, bahwa tatkala orang yang membuat wasiat itu meninggal (2
118
April 1905), vereniging tersebut – karena pengurusnya lupa meminta
pengakuan yang baru – harus dianggap belum ada sebagai badan hukum
sebab pengakuan lama sudah berakhir pada tanggal 31 Mei 1904”(Achmad
Ali, 2002:138).

b. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule)


Seb a ga i kr it ik t er had ap a liran b e gr iff s jur is pr ud e nz , m uncul a lira n

Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule. Menurut aliran ini, undang-

undang jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum,

sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-

luasnya untuk melakukan “penemuan hukum”, dalam arti kata bukan sekedar

penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga mencakupi, memperluas dan

membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang

setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi

kemanfaatan masyarakat. Dikaitkan dengan teori tujuan hukum, maka jelas aliran

ini penganut utilitarisme. Hakim mempunyai “freies Ermessen”.

Ukuran-ukuran tentang mana ketentuan undang-undang yang sesuai

dengan kesadaran hukum dari keyakinan hukum warga masyarakat, tergantung

pada ukuran dari keyakinan hakim (overtuiging), di mana kedudukan hakim bebas

mutlak. Bagaimanapun aliran ini membuka peluang kesewenang-wenangan karena

hakim adalah manusia biasa yang takkan mungkin terlepas dari berbagai

kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk pengaruh kepentingan pribadi,

keluarga dan sebagainya. Faktor subjektif yang ada pada diri hakim sebagai

manusia biasa, akan sangat mudah menciptakan kesewenang-wenangan putusan

hakim.

Sehubungan dengan itu, Sudikno Mertokusumo (1993:45)

mengemuakan bahwa:

119
”Aliran ini sangatlah berlebih-lebihan karena berpendapat bahwa hakim

tidak hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi bukan

boleh menyimpang”.

Namun demikian, Sudikno Mertokusumo (1993:45) juga melihat hikmah dari

pandangan aliran ini, sebagai berikut:

”Walau bagaimanapun juga aliran bebas tersebut di atas telah menanamkan

dasar bagi pandangan yang sekarang berlaku tentang undang-undang dan

fungsi hakim”.

Achmad Sanusi (1977: 56-57) menyatakan bahwa:

”Apabila pada aliran Legis/ begriffsjurisprudenz, hakim mudah menjadi abdi


dari dogma dan/atau undang-undang, di sini (aliran Freirechtsschule) hakim
akan menjadi raja terhadap undang-undang, di mana ia berkuasa sendiri
menciptakan hukum, bagi semua anggota-anggota masyarakatnya.
Bukankah ini jalan yang sudah mendekat sekali pada ekses-kesewenang-
wenangan?”.

c. Aliran Soziologische Rechtsschule

Reaksi terhadap aliran Freirechtsschule ini memunculkan aliran

Soziologische Rechtsschule, yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan

munculnya kesewenang-wenangan hakim, berkaitan dengan diberikannya hakim

”freies Ermesson”. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi ”freies Ermessen”.

Namunpun demikian, aliran ini tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar

”terompet undang-undang”, melainkan di samping berdasarkan pada undang-

undang, hakim juga harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat,

perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga

masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan (vrijbrief) dari hakim seperti yang

diinginkan Freirechtsschule.

120
Hamaker dalam karangannya: Het rechten en de maatschappij danjuga Recht,

wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan

putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang

hidup di dalam masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I. H.

Hymans (dalam karangannya: Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hakim

yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya

yang merupakan ”hukum dalam makna sebenarnya” (het recht der werkelijkheid).

Olehnya itu, penganut aliran ini sangat menekankan betapa perlunya para hakim

memiliki wawasan pengetahuan yang luas, bukan sekedar ilmu hukum dogmatik

belaka, tetapi seyogianya juga mendalammi ilmu-ilmu sosial lain seperti: sosiologi,

antropologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. (Achmad Ali, 2002:140).

Seorang hakim seyogianya adalah orang yang memiliki wawasan ilmu dan

pengetahuan yang cukup luas, bukan sekadar menguasai peraturan-peraturan

hukum yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan juga

menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk

memperoleh hakim yang berkualitas semacam itu, banyak ditentukan pula oleh

“proses rekrutmen” calon hakim. Seyogianya yang diterima sebagai calon hakim

adalah lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki

mentalitas yang cukup baik. (Achmad Ali, 2002:146). Peningkatan kualitas bagi

para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan, baik dengan penataran atau

kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan para hakim dalam

pertemuan-pertemuan ilmiah, seperti seminar, simposium, dan sebagainya.

(Achmad Ali, 2002:141).

Pengikut lain dari aliran ini diantaranya adalah: J. Valkhof (dalam

karangannya: Een eeuw rechtsotwikkeling dan juga Grondwet en Maatschappij in

Nederland), A. Auburtin (dalam karangannya: Amerik, Rechtsauffassung und die

121
neueren Amerik. Theorien der Rechtssoziologie und des Rechtsrealismus), dan G.

Gurvitch (dalam karnagannya: L‟idee du Droit social) (Achmad Ali, 2002:141).

Sudikno Mertokusumo (1993:45) menyatakan bahwa aliran sosiologis ini

merupakan salah satu pecahan dari Freirechtslehre, dan pecahan lainnya adalah

aliran Hukum Kodrat. Lebih lanjut dinyatakan: aliran sosiologis berpendapat

bahwa menemukan hukum hakim harus mencarinya dalam kebiasaan-kebiasaan

dalam masyarakat, sedangkan aliran Hukum Kodrat berpendapat bahwa untuk

menemukan hukumnya harus dicari dalam hukum kodrat.

d. Ajaran Paul Scholten

Akhirnya semua aliran yang terdahulu dianggap berat sebelah oleh Prof. Paul

Scholten, guru besar Universitas Amsterdam, ”dewa pemikiran hukum” dari

Belanda, di mana Scholten mengemukakan pandangannya secara sangat terinci

dalam bukunya yang berjudul: Mr. C. Asser‟s Handleiding Tot De Beoefening van Het

Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel, tentang apa yang ia maksudkan

sebagai penemuan hukum oleh hakim dan bagaimana permasalahannya (Achmad

Ali, 2002:141).

Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan

saling berkaitan, aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik, dan untuk yang

bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-

asasnya. Namun tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik

semata-mata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, dan hasil dari

penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Paul Scholten melihat bahwa sistem

hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah ajarannya yang disebut open systeem

van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu

membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang

122
senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Karena itu lebih tepat jika

kita menyatakan bahwa sistem hukum itu sifatnya terbuka (Achmad Ali, 2002:141).

Paul Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud

interprestasi dan kontruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih

primer, sedangkan hakim mempunyai ”keadaan terikat” pada yang lebih primer itu.

Pandangan Scholten pada beberapa segi memiliki kemiripan dengan ajaran

Stufenbau des Rechts baik dari A. Merki maupun Hans Kelsen. Mirip tetapi tidak

sama pada segi lainnya. Menurut Pitlo, Scholten menekankan setiap pengucapan

putusan sekaligus merupakan sumbangan dalam pembentukan hukum, dan bahwa

setiap putusan adalah menciptakan hukum”. (Achmad Ali, 2002:141).

e. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom

Dengan mengacu juga pada pandangan Knottenbelt (dalam karangannya:

Inleiding in het Nederlandse Recht, hal. 98), Sudikno menuliskan bahwa yang

dimaksud dengan penemuan hukum yang heteronom, adalah jika dalam

penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan

hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk

undang-undang membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya

mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya,

kemudian hakim menerapkan menurut bunyi undang-undang. Dengan demikian,

maka penemuan hukum yang heteronom ini tidak lain merupakan penerapan

undang-undang yang terjadi secara logis terpaksa sebagai silogisme (Achmad Ali,

2002:142). Sedangkan yang dimaksud dengan penemuan hukum yang otonom,

menurut Sudikno adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing

oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang

otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan

fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum


123
konkrit. Pandangan baru ini oleh van Eikema Hommes disebut pandangan yang

materiil yuridis, di Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Ehrlich. Di

Prancis pandangan baru ini dikembangkan oleh Francois Geny. Dalam hal ini, Geny

menentang penyalahgunaan cara berpikir yang abstrak-logis dalam pelaksanaan

hukum dan terhadap fiksi bahwa undang-undang berisi hukum yang berlaku. Di

Amerika Serikat Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank menentang pendapat

bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk

memutuskan dalam peristiwa yang konkrit. Menurut pendapat ini maka

pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan

persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan

pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya

tidak logis dan lebih mendasar pada pengalaman dan penilaian yuridis dari pada

mendasarkan pada akal yang abstrak. Undang-undang tidak mungkin lengkap.

Undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum

dan terpaksa mencari kelengkapanny dalam praktik hukum dari hakim Tetapi

Sudikno sendiri berpendapat bahwa: ”Tidak ada batasnya yang tajam antara

penemuan hukum yang heteronom dan otonom. Kenyataannya di dalam praktik

penemuan hukum mengandung kedua unsur tersebut” (Achmad Ali, 2002:141).

B. Menemukan Hukum, suatu Kreativitas Seni dalam Keputusan Hakim

1. Menemukan Hukum

Keputusan Hakim, merupakan suatu proses dari upaya penemuan hukum,

termasuk interpretasi dan konstruksi. Proses pemeriksaan perkara sampai dengan

keputusan membutuhkan kreativitas hakim, yang tentunya berdasarkan pula

intelektualitas dan pengalaman sang hakim dalam putusannya.

124
Seni dalam putusan hakim bermula dari kegiatan penemuan hukum.

Namun

pertanyaan teoretis adalah apakah hakim selalu melakukan penemuan hukum? Ada

dua pandangan yang berbeda untuk menjawab, apakah hakim selalu melakukan

penemuan hukum atau tidak? Kedua pendapat itu masing-masing (Achmad Ali,

2002 :145) adalah: 1). Penganut Doktrin ”Sens-clair (la doctrine du sensclair)

Penganut aliran ini berpendapat bahwa ”penemuan hukum oleh hakim” hanya

dibutuhkan jika:

a. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau

b. Peraturannya sudah ada tetapi belum jelas.

Menurut penganut pandangan ini, di luar dari keadaan pada dua hal di atas,

penemuan hukum oleh hakim tidak ada.

Michel van Kerckhove (Achmad Ali, 2002 :145) menyimpulkan ”sensclair”

dalam 5 butir berikut:

a. Ada teks undang-undang yang dimengerti maknanya sendiri dan

berdasarkan setiap penjelasan sebelumnya serta tidak mungkin

menimbulkan keraguan;

b. Karena bahasa hukum berdasarkan pada bahasa percakapan sehari-

hari maka dapat dianggap, semua istilah yang tidak ditentukan oleh

pembuat undang-undang tetap saja sama artinya dengan yang

dimilikinya dalam bahasa percakapan biasa atau sehari-hari.

c. Kekaburan suatu teks undang-undang hanya mungkin terjadi karena

mengandung kemenduaan arti (ambiguitas) atau karena kekurangan

tetapan arti lazim dari istilah-istilah itu.

Secara ideal, biasanya yang dijadikan pegangan bagi pembuat undang-

undang adalah ia harus merumuskan teks undang-undangnya dengan

125
sejelas-jelasnya. Kekaburan teks harus dihindari, demikian pula jangan

sampai terjadi perumusan yang kurang baik. Untuk mengetahui adanya

kekaburan ataupun tidak adanya kekaburan teks undang-undang, tidak

diperlukan penafsiran. Sebaliknya pengakuan tentang jelas atau kaburnya

teks menghasilkan kriteria yang memungkinkan untuk menilai apakah

suatu penafsiran atau penemuan hukum memang atau tidak diperlukan;

dan kalau diperlukan atau tidak diperlukan, hasilnya dalam penerapan

hukum adalah sah.

2). Penganut Penemuan Hukum selalu harus dilakukan

Prof. Mr. Pitlo (Achmad Ali, 2002:147) antara lain mengemukakan bahwa

kata-kata merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk menyampaikan

isi pikiran dari seseorang yang terpelajar. Berpikir merupakan pembicaraan

yang dilakukan dengan dirinya sendiri, di mana berbicara dengan diri sendiri

merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Berpikir tajam adalah

merumuskan secara tajam. Dengan demikian siapa saja yang mengatakan:

”saya tahu, tetapi saya tidak dapat mengatakannya dengan baik”‟ adalah

merupakan omong kosong. Mengapa? Karena kalau seseorang mengatakan ia

tahu, berarti ia telah menjelaskan pada dirinya sendiri dengan kata -kata.

Jadi tepatlah kalau kita tiba pada kesimpulan bahwa bahasa senantiasa

terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Satu kata sering

mempunyai seratus makna. Apa yang dimaksud kalau kita mengatakan

seseorang itu ”miskin”? 1001 arti bisa muncul. Apakah ”miskin secara

ekonomis”? Ataukah ”miskin secara akhlak ”? Ataukah ”miskin secara ilmu”?

dan seterusnya. Lantas miskin akan berkelanjutan, apa kriteria ”miskin

secara ekonomis”? Apa kriteria ”miskin secara akhlak ”? Apa kriteria ”miskin

secara ilmu”? dan seterusnya. Tampaklah bahwa bahasa merupakan alat


126
yang sering telah menimbulkan kekacauan dalam pembicaraan yang

dilakukan terhadap diri sendiri, karena sering kita mengakui bahwa kita,

diluar kesadaran, telah menggunakan satu kata untuk menyatakan lebih dari

satu pengertian, sehingga pikiran kita tetap saja keruh. Belum lagi kalau kita

dengan perantaraan bahasa lisan maupun tulisan berusaha memindahkan

pikiran kita kepada orang lain yang mungkin memberi nilai pada kata yang

bersangkutan, yang ternyata bertentangan dengan apa yang dimaksudkan

oleh pembicara atau penulis. Hal ini penulis sering saksikan bahkan alami

ketika menyajikan makalah dalam forum yang pesertanya terdiri dari

berbagai kalangan. Dengan satu kalimat yang sama yang penulis

kemukakan, diartikan berbeda-beda oleh berbagai peserta (Achmad Ali,

2002:145).

Pitlo (Evolutie in het Privantrecht, 1972: 12137) lebih jauh ia menjelaskan

eksistensi bahasa ini, bahwa pikiran kita jauh lebih bernuansa dari pada

bahasa. Bahasa adalah alat bantu utama untuk menggambarkan pikiran kita

sebab berpikir tidak lain adalah pembicaraan yang kita lakukan dengan diri

kita. Siapa yang merasa tidak puas dengan gagasan-gagasan yang masih

samar-samar dan bermaksud menjelaskan pikirannya sejelas-jelasnya, tentu

tidak akan berhenti sebelum ia tiba pada fomulasi kata-kata yang setajam

mungkin. Olehnya itu, Pitlo memandang bahwa bahasa bukan sekadar sarana

untuk mengemukakan pikiran-pikiran kita, melainkan juga sarana satu-

satunya untuk mempertajam pemikiran kita. Hubungan antara undang-

undang dan teks undang-undang sama dengan hubungan antara pikiran kita

dan penuangannya dalam kata-kata. Bahasa adalah kurang lengkap, olehnya

itu teks itu tidak mungkin sempurna dan mampu menampung seluruh

konteks. Olehnya itu tidak pernah penafsiran itu tidak dilakukan. Semua

127
pembacaan dan semua cara mendengarkan kata-kata yang diucapkan,

semuanya membutuhkan penafsiran. Menafsirkan adalah kegiatan subjektif.

Seorang yang jujur akan berusaha untuk melakukan kegiatan penafsiran itu

subjektif mungkin, tetapi bagaimana pun selalu dan pasti unsur

subjektivitasnya masuk, entah secara sadar ataupun tidak sadar. Pitlo

memberi contoh: Willem de Zwijger, pahlawan Belanda yang memimpin perang

kemerdekaan Belanda melawan Kerajaan Spanyol pada abad ke-16. ada yang

memandang ia sebagai seorang pahlawan yang tekun dan ramah, tetapi

sebagian orang memandang ia sebagai pengikut Machiavelli yang cerdas

(Achmad Ali, 2002:146).

2. Keputusan Hakim adalah Seni

Keputusan hakim adalah seni, berkaitan erat dengan tugas hakim yang

yang mengkonstatir, mengkualifikasi dan mengkonstituir suatu peristiwa dengan

fakta hukum. Berkenaan dengan tugas hakim, Sudikno Mertokusumo (1993: 91-92)

mengemukakan sebagai berikut:

a. tahap konstatir: di sini hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa


yang diajukan. Misalnya benarkah si A telah memecahkan jendela rumah si B,
sehingga si B menderita kerugian? Di sini para pihak (dalam perkara perdata)
dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk membuktikan
melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir ini kegiatan hakim
bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi hakim, sangat dibutuhkan
dalam tahap ini.
b. tahap kualifikasi: di sini hakim kemudian mengkualifikasir termasuk
hubungan hukum apakah tindakan si A tadi? Dalam hal ini dikualifikasir
sebagai perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW).
a. tahap konstituir: di sini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang
bersangkutan (para pihak atau terdakwa). Di sini hakim menggunakan
sillogisme, yaitu menarik suatu simpulan dari premis mayor berupa aturan
hukumnya (dalam contoh ini pasal 1365 BW) dan premis minor berupa
tindakan si A memecahkan kacajendela si B.

Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan

berakhir pada tahap konstituir. Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber

hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak menganut pandangan legisme yang hanya

128
menerima undang-undang saja sebagai satunya-satunya hukum dan sumber

hukum. Sebaliknya di sini, hakim dapat menemukan hukum melalui sumber-

sumber hukum: undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, putusan desa,

doktrin, hukum agama, dan bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh

masyarakat. Dalam kaitan ini, Cardozo menyatakan bahwa:

”My duty as judge say be to objectify in law, not my own aspirations and
convictions and philosophies, but the aspirations and convictions and philosophies
of the men and women of my time. Hardly shall I do this well if my own
symphathies and beliefs and passionate devotions are with a time that is past”.

Jadi bagi Cardozo, kewajibannya sebagai hakim untuk menegakkan objektivitas

melalui putusan-putusannya. Bagi Cardozo, putusan-putusannya tidaklah merupakan

perwujudan aspirasi pribadinya, tidak merupakan manifestasi dari pendirian pribadinya

dan tidak merupakan penerapan falsafah pribadinya; malahan perwujudan dari

aspirasi, pendirian dan falsafah warga masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu

dijatuhkan (Achmad Ali, 2002:146)

Kreativitas dalam melaksanakan tugas hakim, yang merupakan seni dalam

mengkonstatir, mengkualifikasi dan mengkonstituir tidak hanya berdasarkan fakta dan

keyakinan hakim semata, melainkan harus dapat diterima umum, yakni sesuai dengan

living law. Di Republik ini banyak Putusan Hakim yang kontroversial. Misalnya

bandingkan vonis Tomy Soeharto dengan Maulawarman dan Noval Hadad. Mereka yang

hanya jadi eksekutor di ”lapangan”, diganjar pidana penjara seumur hidup oleh hakim

yang sama. Mengapa Tommy Soeharto yang kejahatannya berakumulasi, hanya diganjar

15 tahun penjara, serta berbagai putusan hakim yang kontroversial mengenai

pembalakan liar.

Dalam memilih putusan mana yang akan dijatuhkan yang penting bukan

sekedar dipenuhi tidaknya prosedur tertentu menurut undang-undang, tetapi yang

penting menurut Apeldoorn ialah justru setelah putusan itu dijatuhkan yaitu dapat

129
tidaknya putusan yang akan dijatuhkan itu diterima, baik menurut persyaratan

keadilan maupun persyaratan konsistensi sistem. Pilihan itu ditentukan oleh

pandangan pribadi hakim tentang pertanyaan putusan mana yang paling dapat diterima

terutama oleh para pihak yang bersangkutan dan oleh masyarakat. (Sudikno

Mertokusumo, 1996:91).

Simak putusan hakim Amiruddin Zakaria didasarkan pada kemampuan

dalam penafsiran hukum dan kapasitas intelektual, yang terdeskripsi dalam

pernyataan hakim Amirudin Zakaria yang termuat dalam harian nasional sebagai

berikut:

”Tommy Soeharto, Maulawarman, dan Noval Hadad sama-sama dituntut 15


tahun penjara. Tapi hukumannya bisa berbeda. Mengapa ? karena selain
berpegang pada fakta di persidangan, kami juga berpegang teguh pada Undang-
Undang Pokok Kekeuasaan Kehakiman. Pada Pasal 27 undang-undang ini,
disebutkan perlunya pertimbangan asas kepribadian ketika hakim menjatuhkan
hukuman. Jadi, jika dua orang melakukan kehajatan yang sama, tak otomatis
hukumannya juga sama. Ada contoh yang gampang dipahami Seorang maling
kelas kakap adan seorang tokoh masyarakat sama-sama melakukan pencurian.
Hukumannya bisa saja berbeda. Hukuman untuk pencuri, hukuman adalah hal
yang biasa saja, sedangkan bagi tokoh masyarakat dikurung seminggu saja
sudah sangat berat. Dengan pertimbangan seperti ini saya yakin masyarakat
akan menilai, vonis terhadap Tommy sudah setimpal”.

Menurut Achmad Ali (2002:68-69) contoh yang menurut Hakim Amiruddin

Zakaria ”gampang dipahami”, justru menjadi ”sulit dipahami” jika kita bercermin

pada ”rasa keadilan masyarakat” dan ”logika hukum”. Dan justru sebaliknya,

dengan ”rasa keadilan masyarakat” malah menyakini hukuman terhadap Tommy

teramat sangat tidak setimpal. Andaikata pemikiran Hakim Amiruddin Zakaria itu

juga merupakan pemikiran para hakim lain yang mengadili kasus-kasus korupsi

”kelas kakap”, nicaya para koruptor ”kelas kakap” yang tentunya adalah ”tokoh-

tokoh masyarakat” akan tertawa terbahak-bahak, karena hanya akan divonis lebih

ringan dari pada satu minggu kurungan, karena kalau sudah satu minggu

130
kurungan, sudah sangat berat. Dan bersiap-siaplah para pencuri ayam dan para

”pencuri teri” lainnya untuk diganjar hukuman seberat-beratnya, karena menurut

”falsafah” diatas adalah memang teramat pantas untuk mereka. Dan jika pemikiran

seperti itu juga menulari para hakim lain yang menangani kasus-kasus ”korupsi

kelas kakap”, niscaya hanya kesia-sialah setiap hari segala pidato mengenai

pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa: Kalau ”wabah pandangan keliru” seperti yang

telah menjangkiti semua penegak hukum itu, niscaya meskipun penguasa silih

berganti, tetapi penegakan hukum di Indonesia pasti akan semakin terpuruk. Dan

jangan lupa, suka atau tidak suka, keterpurukan hukum membawa dampak

negatif terhadap sektor kehidupan lain, termasuk sektor perekonomian.

Semaksimal apapun yang diupayakan dalam sektor ekonomi oleh para pakar

ekonomi kita, toh akan sia-sia saja. Kalau filosofi Hakim Amiruddin Zakaria yang

dianut, maka menjadi kenyataanlah sinisme ayang berasal dari abab 1 SM :

”Laws are spider webs; they hold the weak and delicate who are caugh in

their meshes, but are torn in pieces by the rich and powerful” (Hukum adalah

jaringan laba-laba, yang hanya mampu menjerat yang lemah, tetapi akan robek

jika menjerat yang kaya dan kuat).

Dalam rangka aktualisasi putusan hakim sebagai upaya kratifitas yang

dikategorikan sebagai seni dalam membuat keputusan patut memperhatikan tugas

pengadilan sebagaimana dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier (Achmad Ali,

1999:10) sebagai berikut:

1.Analisis tentang hubungan sebab akibat. Di mana pengadilan


membutuhkan suatu cara untuk memastikan:
a. ”hubungan masa lalu” antara tindakan yang diduga telah dilakukan
oleh tergugat (terdakwa) dan kerugian yang diduga diderita oleh
penggugat (penuntut).
b. “kemungkinan di masa depan” hubungan antara putusan dan aktivitas-
aktivitas tergugat dan penggugat(dan seluruh person dalam situasi yang
serupa).
131
2. Pengadilan membutuhkan suatu konsep dari apa yang oleh”pembagian
kerja” adalah apa tujuan dari sistem-sistem yang ada, apa usaha negara
untuk menciptakan atau mempertahankan pelaksanaan kekuasaan.
Dengan perkataan lain ada kebutuhan-kebutuhan standar untuk
mengevaluasi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan
mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan terhadap struktur peran.
3. Adanya kemauan dari para pihak untuk menggunakan pengadilan sebagai
mekanisme penyelesaian konflik mereka. Motivasi untuk menerima
pengadilan dan menaati putusannya adalah suatu “masukan” dari sistem
“pattern–maintenance” (mempertahankan pola) atau sistem sosial dan
“keluaran balik” yang dilakukan dengan segera oleh pengadilan adalah
apa yang dinamakan “keadilan”.

Sebenarnya putusan hakim itulah hukum dalam arti sebenarnya dalam

perkara konkrit yang diperiksa hakim. Undang-undang, kebiasaan, dan seterusnya

hanya ”pedoman” dan ”bahan inspirasi”bagi hakim untuk membentuk hukumnya

sendiri. Hal ini selaras dengan apa yang pernah dikemukakan oleh hakim terkenal

dari Amerika Serikat, Cardozo (dalam karangannya yang termasyhur: The Nature of

judicial process) bahwa: ”The law which is resulting product is not found but made.

The process in its highest reaches is not discovery, but creation.”

Hakim bekerja akan menghadapi antimoni antara “keadilan” dan

“kepastian hukum”. Idealnya putusan hakim harus mengandung ketiga unsur “

idee des recht” yaitu keadilan (gerechtigheld), kemanfaatan (zweckmassigheld) dan

kepastian hukum (rechtssicharheld) secara proporsional. Namun dalam praktek,

umumnya hakim akan memberi titik berat terhadap salah satu unsur. Dalam hal

ini teori hukum mendukung dimungkinkannya hakim mengambil keputusan

secara otonom, karena ia bukan ”le bouche de la lois” (hakim adalah corong UU),

melainkan juga ”la bouche de la societe” (hakim adalah corong masyarakat). Idee

des recht tersebut merupakan teori yang di kemukakan oleh Gustav Radbruch

yaitu suatu putusan pengadilan dikatakan ideal jika putusan tersebut

mengandung unsur keadilan, kemanfaatan (bagi masyarakat dan yang

bersangkutan) dan kepastian hukum secara proporsional. Untuk menciptakan

keseimbangan antara ketiga unsur itu, merupakan seni tersendiri bagi hakim,

132
apakah lebih memperhatikan unsur keadilan atau yang lain. Oleh karena itu

hakim dalam memutuskan perkara dengan menggunakan rasional juga dengan

kecerdasan emosionalnya. Seni yang digunakan tersebut didasarkan pada ilmu

hukum, namun hasil putusannya bukan sebagai ilmu tetapi sebagaai hukum dan

sumber hukum (Sudikno Mertokusumo, 2007:2)

Kemampuan hakim menggunakan rasional dan kecerdasan emosional

dalam penerapan undang-undang/hukum pada kasus konkret merupakan seni.

Namun kemampuan hakim tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum,

seperti latar belakang, pendidikan, dan lain-lain yang menurut Satjipto Rahardjo

bahwa putusan hakim ditentukan oleh sarapan paginya.

133
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kreativitas hakim dalam menerapkan hukum dan tujuan hukum dalam suatu kasus

konkret dalam Putusan, menggunakan rasional juga kecerdasan emosional merupakan

seni yang didasarkan pada ilmu hukum, dengan demikian putusan hakim itu adalah

hukum dan sumber hukum.

B. Saran

Agar kreativitas seni yang digunakan hakim dalam putusannya memiliki kualitas, maka

seyogyanya hakim memperluas cakrawala wawasan dengan pemahaman teori hukum

dan perundang-undangan secara memadai, guna menghindari berbagai kesalahan

penerapan hukum dalam putusannya.

134
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 1999. Pengadilan dan Masyarakat. Hasanuddin University Press. Ujung
Pandang.

--------------, 2002, 50 Tahun usia, karya pilihannya dan komentar berbagai


kalangan tentang Achmad Ali. Lephas Makasar.

-------------, 2002 Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan sosiologi) PT
Toko Gunung Agung, Jakarta.

Achmad Sanusi. 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Tarsito, Bandung.

Apeldoorn, L.J. van, 2005 Pengantar Ilmu Hukum.Pradnya Paramita Jakarta.

Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993 Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti.

Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty Yogyakarta.

--------------, 1996. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Liberty Yogyakarta.

--------------, 2007. Teori dan Politik Hukum (Catatan kuliah, pada magister hukum
perdata 2007/2008) UGM Yogyakarta..

Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.

The Liang Gie. 2005. Filsafat Seni, Suatu Pengantar. PUBIB, Yogyakarta.

135
Lampiran 44: Petunjuk Penulisan Jurnal Patriot

JURNAL ILMU HUKUM DAN AGRARIA


PATRIOT
STIE Mah Eisa Manokwari

Pelindung/Penasehat : 1. Koordinator Kopertis Wilayah XII


2. Ketua BP Yayasan Tunas Caritas
3. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng,S.H.,M.H.
Penanggung Jawab : Ketua STIE Mah Eisa Manokwari
Ketua Pengarah : Dr. Roberth K.R. Hammar, S.H.,M.Hum.,M.M.
Penyunting Pelaksana : Dr. George Frans Wanma, SH.,MH
Sekretaris Penyunting : Daniel Balubun, S.H.,MH.
Dewan Penyunting : Dr. Hendrikus Renjaan, S.H.,LLM

Daniel Balubun, SH
Dr. George Frans Wanma, SH.,MH
Budiman, ST.M.M.
Dr. Rustan, SH.,M.H.

Penyunting Penyelia (ahli): Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, SH.,MH


Dr. Roberth K.R. Hammar, SH.,Mhum.,MM

Bidang Pengembangan & Informasi : Crist Skukubun, SH.,M.H.


Tata Usaha dan Distribusi : Yosep Malik, SH
Fransisca Fangohoi, SH

Tata Letak/Lay Out : Budiman, ST.MM


Alamat Redaksi : 1. Kantor STIE Mah Eisa Manokwari, Jl. Raya Bintuni
Kali Kodok
2. Jl. Simponi Wirsi Nomor 11 Manokwari (HP.
082248311199).

PERSYARATAN NASKAH
Jurnal Ilmu Hukum dan Agraria Terbit setiap semester

1. Naskah bersifat ilmiah dan sistematis, struktur naskah pendahuluan,


permaslahan, pembahasan dan analisis serta penutup, berupa kajian
terhadap masalah-masalah yang berkembang (konseptual) dan relevan
dengan bidang ilmu ekonomi dan bisnis, gagasan-gagasan orisinal .
ringkasan hasil penelitian/suvey, resensi buku atau bentuk tulisan
lainnya yang dipandang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu hukum.
2. Naskah diketik spasi ganda (2 spasi) font arial 12 pada kertas ukuran A4
dengan panjang naskah antara 15 – 20 halaman. Selain print outnya satu
rangkap juga disertai file dalam CD-RW program MS Word.
3. Naskah ditulis dalam bahasa indonesia baku atau dalam bahasa inggris
yang memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar.

136
4. Setiap kutipan harus dinyatakan sumbernya secara tegas dengan
meletakan dalam tanda kurung(bodynote: memuat nama pengarang, tahun
dan halaman), serta tidak menggunakan bentuk pengutipan lainnya
(footnote atau endnote).
5. Setiap naskah harus dilengkapi dengan abstrak dalam bahasa indonesia
dan dapat pula berbahasa inggris. Abstrak maksimal 60 kata, disertai Kata
Kunci (Key Word).
6. Setiap naskah dilengkapi dengan Daftar Pustaka terdiri dari nama
pengarang, tahun terbit, judul, nama penerbit dan tempat/kota terbit.
7. Setiap naskah dilampiri dengan riwayat singkat penulis.
8. penyunting dapat melakukan penyuntingan setiap naskah sebelum dimuat
tanpa mengubah substansi naskah.
9. Karya yang karena sesuatu hal dipertimbangkan dan tidak memenuhi
persyaratan untuk dimuat, maka naskah tersebut dapat diambil kembali
melalui pengelola.
Setiap naskah dapat diantar langsung atau dikirim ke Redaksi. Alamat
Kantor STIE Mah Eisa Manokwari, Jl Simponi Wirsi Nomor 11 Manokwari
Tlp/Fax (0986) 212756 HP. 081344954555

137
PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN
LAUT DAN PESISIR
Roberth K.R. Hammar, George Frans Wanma

ABSTRAK
Pencemaran lingkungan laut dan pesisir sangat sensitif karena
berdampak ekologis. Akibat pencemaran akan membawa kerugian
yang tak terbilang banyaknya, karena selain menyangkut hewan
dan tumbuhan yang berada dalam kawasan laut dan pesisir, juga
manusia yang selama ini menggantungkan hidupnya pada laut
dan pesisir, bahkan seluruh umat manusia.

Kata kunci: Pengendalian dan Pencemaran

I. PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia yang membentang dari Sabang sampai ke


Merauke, merupakan negara kepulauan yang terdiri atas  17.508 pulau, dan
memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer persegi. Manuputty (1995:69)
mengemukakan bahwa dengan konsep wawasan nusantara, maka luas daratan
mencapai 1,9 juta kilometer persegi, sedangkan lautan (termasuk zona ekonomi
eksklusif sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982)
diperkirakan luasnya 7,9 juta kilometer persegi. Dengan demikian, luas kawasan
perairan adalah 81% dari seluruh wilayah tanah air kita.
Dengan luasan kawasan laut dan pesisir yang sedemikian besar, dibarengi
dengan kekayaan sumberdaya laut yang besar pula.Berkenaan dengan itu
Ramadhani (1999:151) menyatakan bahwa beragam jenis biota dan satwa yang
hidup dipesisir dan lautan antara lain:
- 800 species rumput laut
- 75 golongan coral reef
- 5 species kura-kura
- 155 species burung laut
- 25 species ikan paus dan lumba-lumba jenis dan ragam binatang laut
yang tak terhitung
- serta lahan basah yang sangat produktif dan lain-lain.

Bachtiar Rifai (Ohorella, 1993:47) menyatakan bahwa secara potensial lautan


itu adalah penghasil bahan pangan lebih produktif daripada daratan. Kehidupan
di laut ada yang membaginya dalam beberapa daerah:
1. Daerah pantai atau tidal zone yakni bertemunya daratan dan lautan.
2. Daerah laut dangkal sekitar benua sampai sedalam kurang lebih 150 meter.
3. Daerah samudera dalam, yang terbagi lagi dalam :
a. Daerah cahaya sampai sedalam kurang lebih 185 meter.
b. Daerah gelap yang terus menerus.

Dalam daerah pantai dan daerah laut dangkal terdapat mayoritas dari
segala kehidupan laut, sedangkan dalam daerah samudera dalam yang gelap
terus menerus tidak terdapat cukup cahaya untuk mendukung tumbuhnya
rumput laut, yakni tumbuh-tumbuhan hijau bersel satu yang dengan sinar

138
matahari mampu membentuk gula dan tepung, dan merupakan dasar dari
piramida makanan di samudera.
Seyogyanya kekayaan alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha
Esa yang terdapat di laut dan pesisir harus dijaga, dilestarikan, dan tetap terjaga
kualitas lingkungannya. Namun realitas menunjukkan bahwa akibat aktivitas
manusia menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan laut dan pesisir, yang
berdampak pada menurunya kualitas lingkungan maupun terancamnya
kelestarian sumberdaya alam laut dan pesisir. Pencemaran tersebut terjadi
bukan saja akibat eksploitasi yang berlebihan, tetapi juga akibat pencemaran
yang datang dari darat maupun laut.
Oleh karena itu upaya pengendalian pencemaran lingkungan laut dan
pesisir, merupakan suatu kemutlakan, guna menyelamatkan laut dan pesisir
beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan sekaligus dapat
dimanfaatkan guna mensejahterakan masyarakat bangsa dan negara Indonesia
tercinta ini.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dianalisis dalam
tulisan ini adalah Bagaimana pengendaliaan pencemaran lingkungan laut dan
pesisir di negara Republik Indonesia.

II. DESKRIPSI POTENSI LAUT DAN PESISIR

Sumber daya laut dan pesisir merupakan potensi yang dapat


dimanfaatkan untuk meningkatkan pembangunan. Bahkan dalam masa-masa
mendatang laut dan pesisir merupakan primadona. Hal ini disebabkan selama
ini perhatian pemerintah lebih banyak ke daratan ketimbang laut. Sebagai akibat
eksploitasi yang berlebihan di daratan, mengakibatkan hutan gundul, banjir dan
suhu panas semakin tinggi. Kondisi tersebut seharusnya tidak boleh tertjadi
pada kawasan laut dan pesisir, yang merupakan sebagian besar wilayah negara
Indonesia. Potensi sumberdaya laut dan pesisir adalah perikanan, magrove, dan
terumbu karang.
a. Perikanan

Menurut Butarbutar (1999:22) potensi perikanan laut di Indonesia sekitar


6,6 juta ton setiap tahun yang terdiri atas 4,5 ton perairan teritorial dan
perairan nusantara dan 2,1 juta ton dari ZEE (zona ekonomi ekslusif)
Indonesia.Sampai sekarang produksi penangkapan ikan mencapai 1,9 juta
ton setiap tahun atau kenaikan rata-rata 5,6 % setiap tahun. Namun
lanjutnya, asumbangan perikanan laut terhadap pembangunan masih kecil
yaitu o,8 %. Menurut para ahli, dalam tahun-tahun mendatang produksi
ikan dapat ditambah sekitar 1,5 juta ton setiap tahun dengan
pembudidayaan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan seluas 10-20%
dari seluruh hutan mangrove. Sektor perikanan ini berhubungan erat dengan
keberadaan hutan magrove dan terumbu karang, terutama sebagai habitat
yanag diperlukan ikan. Keterkaitan tersebut begitu eratnya sehingga
penanganan masalah ini memerlukan suatu sistem pengelolaan yang mampu
mempertimbangkan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan
pembangunan.

139
b. Hutan Mangrove

Berdasarkan data dari Ditjen Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam


(PHPA) tahun 1987 hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,24 juta hektar.
Hutan mangrove telah dimanfaatkan secara komersial untuk bahan baku
kertas dan kayu bakar, sebagaian lahan bekas hutan mangrove
dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan (Butarbutar, 1999:22).
Hutan mangrove terdiri atas hutan produksi dan kawasan suaka alam.
Hutan produksi seluas 1.077.000 hektar atau 25,34% dan kawasan lindung
seluas 742.828 hektar. Dalam lokakarya pemantapan strategi pengelolaan
lingkungan kawasan pesisir dan laut tahun 1993, terungkap bahwa telah
direncanakan untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi lahan pertanian
pasang surut, perikanan dan pemukiman seluas 20.871 hektar. Rencana ini
menurut Butarbutar (1999:23) selain memberikan harapan tumbuhnya
keanekaragaman kegiatan ekonomi yang berbasis pada kawasan dan pesisir
juga merupakan tantangan bagi semua pihak untuk menjaga keberadaan
hutan mangrove sebagi bagian penting dari ekosistem kawasan tersebut.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pengalaman menunjukkan, perubahan
daerah pesisir menjadi lahan pertanian pasang surut dan tambak yang tidak
hati-hati dapat menyebabkan kerusakan ekosistem setempat.
Pengelolaan hutan mangrove masih menghadapi kendala antara lain belum
berkembangnya sistem pengelolaan, termasuk perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan daerah pantai yang mampu mendorong penerapan prinsip-
prinsip pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove yang terencana
sesuai dengan peruntukannya. Kerusakan hutan mangrove ini akan
mengancam ekosistem pesisir baik sebagai penyangga daera pantai maupun
sebagai habitat ikan dan mahkluk lain dikawsan pesisir.

c. Terumbu karang

Terumbu karang di Indonesia menempati area seluas 7.500 km2 . Yang


memprihatinkan, menurut Butarbutar (1999:24) adalah kondisi terumbu
karang makin lama makin menurun. Pada tahun 1993, dari seluruh terumbu
karang di Indonesia ada sekitar 14% terumbu karang dalam keadaan kritis,
46% mengalami kerusakan, sekitar 33% yang masih baik, dan hanya 7%
yang kondisinya sangat bagus. Hal ini menunjukan bahwa terumbu karang
tersebut selain berkaitan dengan pembanagunan sektor perikanan juga
berhubungan erat dengan prospek pengembangan wisata bahari di masa
depan. Kendala pengelolaan terumbu karang disebabkan kegiatan manusia
berupa kegiatan-kegoatana yang berlokasi di kawasan pesisir dan laut, dan
kegiatan-kegiatan yang yang berlokasi di darat.

III. DASAR HUKUM PENGENDALIAN PENCEMARAN


LINGKUNGAN LAUT DAN PESISIR

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam didasari atas keyakinan


bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai apabila didasarkan atas keserasian,
keselarasan dan keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi,
manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam maupun hubungan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

140
Pemanfaatan sumberdaya alam di Republik ini mengacu pada Undang-
Undang Dasar 1945, pada Pembukaan alinia keempat dinyatakan bahwa Negara
melindungi segenap bangsa Indoneasia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kemudia pada pasal 33 ayat 3 yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan didpergunakan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Landasan operasional (Tap MPR No. IV/MPR/99 tentang GBHN) yang
menghendaki agar sumber daya alam dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan keseimbangan antara kemakmuran lahiriah dan
kepuasan batiniah. Khusus yang berkenaan dengan lingkungan hidup
dinyatakan bahwa kelestarian fungsi lingkungan hidup menjadi pertimbangan
dalam pembangunan yang berkesinambungan dan berlanjut.
Sebagai implementasi berbagai kebijakan pembangunan yang
berwawasan lingkungan, maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal-pasal yang berkenaan dengan penulisan ini sebagai berikut:
- Dalam pasal 5 ayat (1) setiap orang mempunyai hak yang sama atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Pasal 6 ayat (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menaggulangi pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup.
- Pasal 9 ayat (1) pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang
pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
- Pasal 8 ayat (1) sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh pemerintah. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah:
a. mengatur daan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan
hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya
genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau
subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam
dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Undang Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Perindustrian,
pada pasal 9 ayat (4) dinyatakan bahwa pencegahan timbulnya kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan
kelestarian sumber daya alam. Sedangkan pada pasal 21 dinyatakan bahwa
perusakan mempunyai kewajiban melaksanakan upaya keseimbangan dan
kelestarian sumber daya alam serta mencegah timbulnya kerusakan dan
pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang
dilakukan.
Menurut Rachmat dkk (1999:163) pada prinsipnya ketentuan
pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan ini berlaku bagi setiap
orang ( UU No. 23/1997, Pasal 6 ayat 1), dan bagi setiap bidang usaha (UU
No.23/1997, Pasal 6 ayat 2), termasuk golongan ekonomi lemah. Namun
141
mengingat kondisi dan kendala yang dimiliki serta fungsi strategis usaha
golongan ekonomi lemah maka kewajiban tersebut dikecualikan untuk jenis
industri tertentu dalam kelompok industri kecil. (Undang-Undang No. 5/1984.
Pasal 21 ayat 3). Selanjutnya dinyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban
membina dan membantu usaha golongan ekonomi lemah dalam mengendalikan
kerusakan dan pencemaran lingkungan yanag diakibatkan oleh kegiatan
usahanya.

IV. PENCEMARAN LAUT DAN PESISIR

Ancaman terhadap lingkungan laut dan pesisir semakin meningkat


akibat bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah pula eksploitasi
penduduk di pesisir, di samping bertambahnya industri besar maupun kecil.
Pencemaran, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa Pencemaran Lingkungan Hidup adalah
masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Ramadhani (1999:151) sumber pencemaran berasak dari
aktivitas di pedalaman melalui transportasi sungai dan udara, aktivitas di pesisir
dan laut, serta pencemaran udara di atas perairan. Aktivitas di pedalaman dapat
berupa, kegiatan industri, transportasi sungai, pertambangan, komunitas dan
lain-lain. Aktivitas di pesisir dapat berupa, kegiatan di pelabuhan, komunitas
dan aktivitas nelayan, hotel dan rekreasi pantai, reklamasi dan pengerukan,
penambangan deposite, dan lain-lain.
Selanjutnya dinyatakan bahwa transportasi udara yang umumnya
memilih lokasi bandara di tepi pantai serta jalur penerbangan yang menyusuri
garis pantai di atas lautan, ikut mengotori udara dalam jangka panjang. Sumber
pencemaran terbesar di laut yaitu adanya kegiatan bongkar muat dan
transportasi laut yang mengangkut bahan-bahan petrolium, petrochemical serta
bahan kimia/cair lainnya, termasuk kegiatan pengeboran lepas pantai dengan
pipa-pipa bawah airnya.
Manuputty (1995:72) menyatakan bahwa pencemaran laut yang
bersumber dari kapal secara tradisional merupakan sumber konflik antara
maritime interest dan coastal interest. Kepentingan-kepentingan dimaksud
dimiliki oleh hampir setiap negara, sehingga konflik kepentingan seperti itu
dapat timbul tidak saja dalam hubungan antar negara, tetrapi juga di dalam
negara itu sendiri.
Berkenaan dengan sumber pencemaran, menurut Rachmat dkk
(1999:165)dalam perpektif global,pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat
diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan maupun
kegiatan atau aktivitas di lautan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pencemaran
bersumber dari akrivitas di daratan (Land-based pollution) antara lain:
- Penebangan hutan (deforestation)
- Buangan limbah industri (disposal of industrial waste)
- Buangan limba pertanian (disposal of agricultural waste)
- Buangan limbah cair domestik (sewage disposal)
- Buangan limbah pada (solid waste disposal)
- Konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove swamp conversion)
- Reklamasi di kawasan pesisir (reclamation)
142
Sedangkan pencemaran bersumber dari aktivitas di laut (sea-based pollution)
adalah:
- Pelayaran (shipping)
- Dumping di laut (ocean dumping)
- Pertambangan (mining)
- Eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploiration and explotation)
- Budidaya laut (mariculture)
- Perikanan (fishing).

V. PENGENDALIAN PENCEMARAN PESISIR DAN LAUT

Menurut Rachmat, dkk (1999:168) dalam penyusunan strategi


pengendalian pencemaran, ada tiga langkah aksi yang penting untuk
diperhatikan, yaitu:
1. Standar baku mutu
2. Pelaksanaan program monitoring
3. Penegakan hukum.
Pengendalian kualitas lingkungan laut, didasarkan pada standar kualitas
lingkungan laut, disusun berdasarkan batasab kualitas air, biota dan sedimen
yang harus dijaga untuk suatu tingkat pemanfaatan tertentu. Sedangkan
penentuan standar emisi pada suatu jenis kegiatan sebagai sumber pencemaran
umumnya disasarkan pada kemampuan atau ketersediaan teknologi yang dapat
digunakan untuk mengurangi emisi kontaminan dari kegiatan tersebut.
Rachmat, dkk (1999:171) mengemukakan bahwa program pemantauan
pencemaran laut dan pesisir merupakan kegiatan atau program secara
berkelanjutan dalam pengukuran, analisis, dan sintesis untuk
mengkuantifikasikan dan mendeskripsikan kadar kontaminan atau zat pencemar
lingkungan. Informasi yang dihasilkan dari program pemantauan tersebut
merupakan dasar umtuk pengambilan keputusan langkah pengelolaan dan
penanganan lebih lanjut yang diperlukan. Selanjutnya dinyatakan bahwa
pemantauan dapat dilaksanakan dengan fokus dan sarana antara lain terhadap:
1. Kualitas buangan
2. Penataan hukum dan peraturan
3. Dampak dari buangan limbah
4. Daya dukung lingkungan
5. Model prediksi perubahan lingkungan.
Program pemantauan meliputi pemantauan terhadap limbah cair dari
berbagai industri, dan pemantauan terhadap kualitas perairan sungai di mana
limbah industri dibuang. Pemantauan juga dilakukan terhadap industri-industri
untuk menjalankan UPL (upaya pemanatauan lingkungan) dan UKL (upaya
pengelolaan lingkungan) yang telah tercantum dalam dokumen AMDAL (analisis
mengenai dampak lingkungan), termasuk penyediaan/perbaikan fasulitas IPAL
(instalasi pengolahan limbah). Di samping itu terdapat pula suatu program
pemantauan yaitu dengan membuat dalam surat pernyataan yang dilakukan
oleh pihak industri sendiri. Upaya ini tentunya sangat baik terutama dalam
meningkatkan peran serta pengusaha untuk membantu pemerintah dalam
menjaga kelestarian lingkungan ( Prartono, 1999:176).
Dalam pengendalian pencemaran lingkungan, ada berbagai tipe
mekanisme yang digunakan dalam implementasi pengendalian pencemaran
(Rachmat, dkk, 1999:171) antara lain:
1. Peraturan perundang-undangan
143
2. Baku mutu limbah dan Baku mutu lingkungan
3. Pembinaan teknis dan Pedoman pelaksanaan
4. Perijinan
5. Pengendalian produk
6. Insentif dan disintensif
7. Penataan hukum
8. Perencanaan dan pengawasan penggunahan lahan
9. Pemantauan dan pengawasan.
Pengelolaan wilayah laut dan pesisr harus dilakaukan secara terpadu,
mencakup perencanaan, penggunaan lahan, pemeliharaan. Kontrol, evaluasi dan
restorasi, rehabilitasi, pembuangan dan konservasi lingkungan laut dan pesisir.
Pendekatan ini, menurut Rachmat, dkk (1999:170) untuk mengalokasikan atau
memanfaatkan sumberdaya dukung lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan ini
memberikan solusi untuk memilih antara pemanfaat sumberdaya yang saling
bertentangan dan menetapkan batasan tentang akselerasi kegiatan
pembangunan secara berkelanjutan.
Perencanaan pemanafaatan sumberdaya pesisir berkelanjutan didasarkan pada
skala prioritas yang ditentukan oleh pertimbangan teknis, sosial ekonomi,
budaya, dan lingkungan. Kemudian segenap prioritas ini diterjemahkan menjadi
kebijakan, strategi dan program pembangunan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Rachmat, dkk (1999:170-171)mengemukakan bahwa secara umum, terdapat
bebebrapa hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam mendesain dan
melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated
Coastal Zone Management disingkat ICM), yaitu antara lain:
a. Adopsi pendekatan yang sistematis dalam pengembangan dan
implementasi proyek atau program ICM:
1. Penerapan Kerangka ICM dalam pengelolaan sektoral
2. Penggunaan kombinasi option-option pengelolaan
3. Adopsi prndekatan pencegahan
b. Pelibatan seektoral masyarakat umum dalam proses ICM
c. Pengintegrasian informasi lingkungan, ekonomi dan sosial sejak tahap
awal dari proses ICM
d. Pembentukan mekanisme bagi keterpaduan dan koordinasi
e. Pembentukan mekanisme pendanaan secara berkelanjutan
f. Pengembangan kapasitas ICM semua tingkatan
g. Pemantauan efektivitas proyek atau program ICM.
Prartono (1999:185-186) mengemukakan bahwa agar masalah pencemaran
dapat dikendalikan, pemerintah telah membuat berbagai program yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Kebijakan program-program tersebut antara
lain:
1. Program inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam lingkungan. Program
ini bertujuan untuk menyediakan informasi pada kuantitas dan kualitas
sumberdaya alam, dan untuk membangun keseimbangan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan sesuai dengan pembangunan
berkelanjutan.
2. Program konservasi hutan, tanah dan air untuk mengamankan fungsi
konservasi sumberdaya alam, dan lingkungan baik secara biologi maupun
non biologi
3. Program penyuluhan untuk pengelolaan lingkungan untuk menyediakan
sumberdaya lingkungan baik untuk pegawai maupun masyarakat
144
4. Program pengendalian pencemaran lingkungan dengan tujuan menghindari,
mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan akibat kegiatan
pembangunan. Hal ini dilakukan melalui;
a. Perbaikan fungsi dan kualitas sungai-sungai
b. Pengendalian pencemaran udara
c. Pembangunan fasilitas pengolahan untuk limbah rumah tangga
d. Pembangunan fasilitas pusat pengolahan limbah untuk industri
e. Pembangunan teknologi daur ulang untuk pengolahan sampah
f. Penerapan standar kualitas air untuk limbah cair induftri dan lingkungan
berdasarkan kemampuan lembaga dan teknologi yang digunakan untuk
pemantauan
g. Pembentukan sistem bagi pengusaha dan masyarakat dalam
meningkatkan kesadaran akan mempertahankan kualitas lingkungan.
5. Program penyuluhan akan pentingnya wilayah laut dan pantai. Program ini
bertujuan untuk mengamankan fungsi ekosistem pantai dan laut,
mengendalikan kerusakan pantai dan laut, mendorong masyarakat pantai
dalam mengelola lingkungan pantai dan laut.
6. Program rehabilitasi lahan kritis dengan tujuan memfungsikan kembali
ekosistem hutan dan tanah, mengurangi erosi dan sedimentasi,
mengendalikan banjir dan kekeringan, dan juga mendirikan lembaga
masyarakat dalam rangka menghindari dan mengurangi kerusakan
lingkungan.
Hal yang sangat penting dalam rangka pengendalian pencemaran
lingkungan di sekitar laut dan pesisir adalah penegakan hukum. Secara
konsepsional penegakan hukum terletak pada menyerasikan hubungan nilai-
nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang termanifestasi dalam sikap
tindak manusia, guna menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup. Dalam penegakan hukum ada berbagai faktor yang
mempengaruhi (Soekanto,1993:5) adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri.


2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut di atas menurut Soekanto (1993:5) saling
berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan
hukum, serta juga merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Kelima faktor penegakan hukum tersebut dapat dipadatkan menjadi tiga faktor
yakni struktur, substansi dan budaya hukum.
Penegakan hukum seharusnya diterapkan kepada siapa saja (baik
orang maupun badan hukum) yang terbukti melakukan pelanggaran-
pelanggaran hukum. Selama ini banyak diberitakan terjadinya kerusakan hutan
mangrove dan terumbu karang, maupun berbagai racun yang digunakan nelayan
yang tak bertanggung jawab untuk mendapatkan hasil ikan yang banyak, serta
kapal-kapal yang membuang limbah; namun hampir tak satu pun
diperhadapkan hinga ke sidang pengadilan dengan berbagai alasan, antara lain
kurang cukup bukti.
145
Padahal apabila diamati secara cermat bahwa laut dan pesisir
menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia, yang pada umumnya
bermatapencaharian petani dan nelayan, bahkan pada umumnya
bermatapencaharian ganda yakni petani dan nelayan. Mereka ini hidupnya
tergantung pada laut dan pesisir. Misalnya di kawasan mangrove, selain sebagai
penyangga ombak/gelombang laut, juga sebagai tempat potensial hidup ikan,
udang dan kepiting sebagai tempat pencaharian nelayan tradisional. Namun
dewasa ini hutan mangrove dibabat oleh baik pemegang Hak Pengusahaan
Hutan, maupun masyarakat tanpa prosedur dan alas hak yang jelas, namun
tidak tersentuh hukum.
Suatu contoh yang paling aktual adalah penanaman kembali mangrove
di kabupaten Sinjai, sekaligus pembudidayaan ikan, udang dan kepiting oleh
masyarakat, yang kini menjadi daerah percontohan di Sulawesi Selatan.Hal ini
dapat terjadi dari adanya kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang
pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan manusia.
Contoh yang lain dapat dikemukakan adalah pengrusakan terumbu
karang yang dilakukan oleh nelayan modern maupun tradisional. Nelayan
modern menggunakan jaring/pukat harimau kendatipun telah dilarang untuk
menangkap ikan, tentu saja selain merusak terumbu karang, juga menyapu
bersih ikan-ikan yang belum layak untuk diambil. Selain itu penggunaan bahan
beracun dan bahan peledak baik oleh nelayan modern maupun tradisional juga
merusak terumbu karang. Padahal untuk kembali pada keadaan semula,
pertumbuhan terumbu karang membutuhkan waktu puluhan, bahkan ratusan
tahun.
Kerusakan dan pencemaran laut dan pesisir, sebagaimana telah
diuraikan terjadi akibat limbah industri maupun dikibatkan tumpahan minyak
dan zat-zat beracun lainnya dari kapal-kapal niaga maupun non niaga perlu
diambil tindakan tegas. Disadari bahwa penegakan hukum tidak semudah
membalik telapak tangan, karena hal ini berkaitan dengan berbagai faktor,
antara lain sarana yang dimiliki aparat, pengetahuan hukum aparat,
pengetahuan hukum masyarakat, budaya hukum masyarakat, dan faktor-faktor
sosial lainnya. Namun demikian sudah merupakan kewajiban bersama sebagai
bangsa dan negara hukum Indonesia untuk menjadikan hukum sebagai
panglima.

VI. PENUTUP

Pencemaran lingkungan laut dan pesisir sangat sensitif karena


berdampak ekologis. Akibat pencemaran akan membawa kerugian yang tak
terbilang banyaknya, karena selain menyangkut hewan dan tumbuhan yang
berada dalam kawasan laut dan pesisir, juga manusia yang selama ini
menggantungkan hidupnya pada laut dan pesisir, bahkan seluruh umat
manusia. Oleh karena itu pengendalian pencemaran lingkungan laut dan pesisir
sepatutnya dijadikan perhatian utama semua pihak (pemerintah, investor, dan
masyarakat) agar menghindari, mencegah terjadinya pencemaran yang lebih
parah.

146
DAFTAR PUSTAKA

Likadja F.E dan Bessie D.F. 1988. Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan.
Ghalia Indnesia.
Manuputy,A.P.1995. Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut dari
Kapal di perairan Indonesia. Majalah Hukum Amanna Gappa No.
VI/Tahun IV/Juli 1995.
Ohorela,H.M.G. 1995. Sasi Laut atau Sasi Pelabuhan di daerah Maluku Tengah.
Majalah Huku Amanna Gappa No. VI/Tahun IV/Juli 1995.
Prartono,T. 1999. Pencemaran di Pantai Timur Sumatera Bagian Utara: Satus
dan Permasalahannya. Dalam Bengen,D.A. dan Amiruddin. Prosiding
Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Indon esia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor.
Rahmadhani,G. 1999. Pencemaran Lingkungan Laut Indonesia. Dalam
Bengen,D.A. dan Amiruddin. Prosiding Konperensi Nasional I
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indon esia. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Rahmat, B . dkk. 1999. Pencemaran Lingkungan Laut dan Pesisir: Permasalahan
dasn Pengendaliannya. Dalam Bengen,D.A. dan Amiruddin. Prosiding
Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Indon esia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut
Pertanian Bogor.
Soekanto,S. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

147
Lampiran 44: Jurnal Ilmiah

PRINSIP-PRINSIP FIDUSIA
SEBAGAI JAMINAN KEBERADAAN DALAM AR-RAHN
BERDASARKAN HUKUM ISLAM

PELU MOHAMMAD DJEN

ABSTRAK

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda yang


dijaminkan atas dasar kepercayaan namun benda yang bersangkutan
berada dalam penguasaan pemilik semula sebagai Debitur pemberi
Fidusia (Consititutum Possessorium). Sebagai hak kebendaan yang
mempunyai sifat droit de preference, Fidusia juga mempunyai sifat
accessoir, dan jika debitur melakukan wanprestasi, maka benda yang
dijaminkan tidak boleh dijadikan milik Kreditur penerima Fiduasia
secara tetap karena hak kepemilikan itu bersifat sementara dan hanya
sebagai jaminan pelunasan hutang saja. Prinsip Fidusia tersebut
terdapat dalam jaminan Ar-Rahn berdasarkan Hukum Islam, karena
adakalanya penguasaan benda yang digadaikan tetap dipegang oleh
pemberi Gadai untuk dimanfaatkan sendiri. Menuurut para ulama Fikh,
barang yang dijaminkan tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa
menghasilkan sesuatu sama sekali sebab tindakan tersebut
merupakan perbuatan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh
Rosululloh SAW.

Kata Kunci : Fidusia, Ar-Rahn

I. PENDAHULUAN

Indonesia saat ini mengenal beberapa lembaga lembaga jaminan antara


lain jaminan Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan dan Fidusia. Seperti diketahui
Fidusia timbul atas dasar kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan
benda-benda bergerak tetapi masih membutuhkan benda-benda tersebut untuk
dapat dipakai sendiri. Jika menggunakan Lembaga Gadai tentunya benda-benda
itu tidak dapat dipergunakan sendiri karena terbentur syarat inbezitsetelling
(Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata) yaitu adanya kewajiban melepaskan fisik
benda-benda dari keberadaan si pemberi Gadai kepada penerima/pemegang
Gadai. Syarat Gadai tersebut dirasakan sangat berat oleh pemberi Gadai jika
benda-benda yang akan dijaminkan itu justru diperlukan untuk menopang
kehidupan sehari-hari terutama dalam rangka menjalankan usaha seperti
restoran, perusahaan bus, truk, taksi dan lain-lain.
Fidusia yang sebelumnya dikenal sebagai Fiduciaire Eigendoms
Overdracht (FEO) telah diakui oleh yurisprudensi di negeri Belanda sejak tanggal
25 Januari 1929 melalui Arrest Hoge Raad dalam perkara P. Bos seorang
cafehouder versus N.V. Heineken Bierbrouwerij Maatschappij yang terkenal
dengan sebutan "Bierbrouwrij Arrest". Sedangkan di Indonsia diakui oleh
yurisprudensi melAlaui Arrest Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 dalam
kasus Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) melawan Pedro Cligneet dan
dikenal sebagai "Petroleum Maatschappij Arrest".
148
Meskipun kedua yurisprudensi tersebut di atas merupakan yurisprudensi
tetap yang didasarkan pada putusan-putusan pengadilan sehingga dianggap
sebagai sumber hukum, tetapi guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang
sangat besar dan mendesak, demikian juga terus meningkatnya bagi dunia
usaha tersedianya dana, maka dirasakan perlu diimbagi dengan ketentuan
hukum yang jelas dan lengkap. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan
hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin
kepastian hukum serta memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang
berkepentingan, maka pada tanggal 30 September 1999 dibentuklah Undang--
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUF).
Menurut Undang-Undang tersebut, Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. (Pasal 1 angka 1 UUF). Sedangkan yang dimaksud dengan
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud
maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya yang tidak
dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap
Kreditur lainnya. (Pasal 1 angka 2 UUF).
Sementara itu Hukum Islam juga mengenal suatu lembaga Jaminan yang
disebut Ar-Rahn (Gadai). Jaminan Ar-Rahn ini bersumberkan pada Al-Qur'an,
Hadist atau Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Ijtihad. Berdasarkan paham
para ulama para Ulama barang dimungkinkan tetap berada dalam penguasaan
Penggandai (pemberi Gadai) untuk dipakai sendiri asal dengan izin penerima
Gadai dan barang yang digadaikan nilainya tidak susut. Hal ini adalah sesuai
dengan ketentuan dalam Hukum Islam yang menekankan asas manfaat sebagai
salah satu prinsip dalam asas Muamalat.
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas timbul pertayaan,
bagaimanakah ciri-ciri Fidusia menurut Hukum Perdata Barat dan Undang--
Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia serta ciri-ciri jaminan
Ar-Rahn menurut Hukum Islam, apa persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaannya, dan prinsip-prinsip Jaminan Fidusia yang manakah yang
terkandung dalam Jaminan Ar-Rahn. Untuk memperoleh jawaban yang kongkrit
dan akurat, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) yang
dituangkan dalam tulisan ini. Oleh karena itu masalah dalam tulisan ini
dirumuskan sebagai berikut: (1). Apa yang dimaksud dengan Fidusia menurut
Hukum Perdata Barat dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, apa saja obyeknya dan bagaimana ciri-cirinya. (2).
Bagaimanakah ketentuan tentang hukum jaminan dan jaminan Ar-Rahn
menurut Hukum Islam. (3). Prinsip-Prinsip Jamina Fidusia yang bagaimanakah
yang terkandung dalam Jaminan Ar-Rahn berdasarkan Hukum Islam.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Fidusia Sebagai Jaminan Kebendaan

Dari waktu ke waktu objek Fidusia teryata mengalami perubahan. Obyek


Fidusia di Nederland dan Indonesia berdasarkan Bierbrouwerij Arrest dan
Petroleum Maats chappij Arrest adalah benda-benda bergerak karena yang
149
dijaminkan masing-masing adalah inventaris kantin dan mobil. Dalam
perkembangannya baik di Nederland maupun di Indonesia, Fidusia dapat
dijaminkan di samping atas benda bergerak juga atas benda tidak bergerak
seperti bangunan tambahan (Bijgebouw), pavilion, garasi (garage), toko, dan lain-
lain. Akhirnya obyek Fidusia sebagai benda bergerak mendapat penegasan
melalui Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 372
K/SIP/1970 tanggal 1 September 1971. Namun kemudian berdasarkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (UURS) Fidusia dapat
dijaminkan atas Rumah Susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta
benda-benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut jika
tanahnya adalah tanah hak pakai atas tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) b).
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang
Perumahan dan Pemukiman (UUPP) obyek Fidusia dapt berupa rumah (Pasal 15)
dengan syarat pemilik hak atas tanah atau pemilik rumah adalah juga pemilik
hak atas tanah (Penjelasan atas Pasal 15 ayat (1)).
Pada tahun 1996 melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah (UUHT), Fidusia sebagai lembaga hak jaminan yang menurut Undang-
Undang Rumah Susun obyeknya dapat berupa hak pakai atas tanah Negara,
khusus untuk hak pakai tersebut menjadi tidak berfungsi lagi karena di samping
hak atas tanah tidak dapat lagi dijadikan jaminan Fidusia, juga karena hak
pakai atas tanah Negara itu sudah dapat dijadikan jaminan Hak Tanggungan
(Pasal 4 ayat (2) UUHT). Dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan,
Fidusia hanya dapat dijaminkan atas benda-benda bergerak dan benda bukan
tanah seperti berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman
sepanjang tidak dijadikan jaminan Hak Tanggungan.
Namun demikian pada tanggal 30 September 1999 diberlakukanlah
UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUF). Undang-
Undang tersebut menegaskan bahwa yang dapat dijadikan Jaminan Fidusia
adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat di bebani Hak Tanggungan
(Pasal 1 angka 2 UUF), Juga berdasarkan Pasal 9 UUF, Jaminan Fidusia dapat
diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang,
baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh
kemudian. Selain itu menurut Pasal 10 UUF, Jaminan Fidusia meliputi hasil
benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan klaim asuransi dalam hal benda
yang menjadi obyek Jaminan Fidusia diasuransikan serta benda persediaan
berdasarkan Pasa120 UUF.
Sesungguhnya tidak ada suatu ketentuan yang secara tegas menyatakan
bahwa Fidusia adalah suatu hak kebendaan. Apalagi dalam Hukum Perdata
sudah lama dianut suatu sistem bahwa hak kebendaan itu terbatas jumlahnya
dan hanya dapat diciptakan oleh Undang-Undang, jadi Buku II KUH. Perdata
tentang Kebendaan menganut sitem tertutup. Meskipun demikian, menurut
Pasal 20 UUF dan Pasal 1 angka 2 UUF, Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit
de suite atau zaaksgevolg yaitu Jaminan Fidusia tetap mengikat Benda yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia, demikian juga menurut Pasal 27 ayat (1) UUF,
Jaminan Fidusia mempunyai sifat doit de preference yaitu Penerima Fidusia
memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Selain itu benda yang
dibebani dengan Jaminan Fidusia, wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran
Fidusia (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 UUF). Dengan demikian walaupun tidak
dinyatakan secara tegas, namun jika dikaitkan dengan sifat-sifat dari Jaminan
150
Fidusia, dengan sendirinya melekat di dalamnya unsur kebendaan karena
melalui pendaftaran berarti ada pemberitahuan kepada umum (asas publisitas)
yang mengisyaratkan bahwa Jaminan Fidusia adalah Jaminan Kebendaan.
Ciri-ciri lain dari Jaminan Fidusia adalah accessoir yaitu merupakan
perjanjian ikutan dari perjanjian pokoknya yang menimbulkan kewajiban bagi
para pihak untuk memenuhi suatu prestasi (Pasal 4 UUF). Dalam Jaminan
Fidusia ini terjadi suatu pengalihan hak milik atas suatu benda atas dasar
kepercayaan namun benda yang hak kepemilikannya dialihkan itu tetap berada
dalam penguasaan Pemberi Fidusia, Pengalihan hak kepemilikan, atas benda
yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tersebut dilakukan dengan cara
constitutum possesorium yaitu pengalihan hak milik atas suatu benda dengan
melanjutkan penguasaan benda yang bersangkutan. Kemudian Pasal 1 angka 2
mengatakan dengan tegas bahwa Jaminan Fidusia atas suatu benda adalah
sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu. Pembebanannya menurut Pasal
5 ayat (1) UUF dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan akta Jaminan Fidusia.
Selain itu Fidusia sebagai jaminan pelunasan hutang, menurut Pasal 8
UUF dapat diberikan kepada lebih satu penerima Fidusia atau kuasa atau wakil
dari penerima Fidusia atau kuasa atau wakil dari penerima Fidusia tersebut
asalkan diberikan pada saat yang sama dalam rangka pembiayaan kredit
konsorsium misalnya berupa pinjaman sindikasi (Syndicated Loan) (lihat juga
Pasal 1 angka 2 yang antara lain menyebutkan memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditur-kreditur lainnya).
Selanjutnya berdasarkan Pasal 17 UUF, Pemberi Fidusia dilarang melakukan
Fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah
terdaftar baik oleh Debitur maupuan penjamin pihak ketiga oleh karena hak
milik atas benda tersebut telah beralih kepada penerima Fidusia. Yang terakhir,
ciri Jaminan Fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya dalam
hal pemberi Fidusia cidera janji (Pasal 15 ayat (3). Penjualan benda yang menjadi
obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri dilakukan
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan pitang dari hasil
penjualan benda yang bersangkutan.

B. Lembaga Jaminan Ar-Rahn Dalam Hukum Islam

Hukum Islam mengenal lembaga jaminan yang disebut Ar-Rahn atau


Gadai. Mengenai istilah jaminan itu sendiri terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-
Baqarah ayat 283 yang artinya :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat tidak secara tunai),
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dan hadist Rasulullah
bersumberkan dari Ana r.a :

Rasulullah. SAW telah menjaminkan (sic) baju besi kepada seorang Yahudi
di Medinah, sewaktu beliau mengutang sya'ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk
ahli rumah beliau. (riwayat Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibnu Majah).

Berdasarkan Surat Al-Baqarah dan hadist Rasulullah tersebut Sulaiman


Rasyid dalam bukunya Figh Islam, mengartikan jaminan sebagai : Suatu barang
yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang, barang
151
itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan hendaklah
dengan keadilan (dengan harga yang berlaku diwaktu itu). Sedangkan arti Rahn
adalah suatu yang dipercaya, sebab adanya hutang menyebabkan barang yang
dijaminkan ditahan. Orang yang berhutang menyerahkan sebagian atau seluruh
barang yang dirungguhkan sesuai dengan hutangnya. Jadi yang dimaksud
dengan Rahn menurut Sayid Sabiq berdasarkan syara' sebagaimana yang
dilakukan oleh para ulama yaitu menjadikan suatu benda yang berharga
menurut syara' sebagai penguat hutang, sehingga dapat membuat hutang atau
mengambil sebagian benda itu. (Sulaiman Rasyid,1993:309).

Sumber Jaminan Rahn adalah Al-Qur'an, Hadits Nabi dan Ijtihad. Firman
Allah : Tiap-tiap diri tanggungjawab atas apa yang diperbuatnya (Surat A1
Muddassir, Q.S. 74 ayat 38). Sedangkan beberapa cobtoh dalam hadits
diriwayatkan antara lain oleh Bukhari : Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah
membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan baju besi (H.R.
Bukhari No. 1927 Kitab A1 Buyu, dan Muslim). Dari Anas r.a., Rasulullah
mengadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Medinah dan mengambil
darinya gandum untuk keluarga beliau (H.R. Bukhari No.1927 Kitab Al-Buyu,-
Ahmad, Nasa'I dan Ibnu Majah). Abu Hurairah r.a., bahwasannya Rasulullah
berkata, barang yang digadaikan itu tidak boleh di tutup dari pemilik yang
mengadaikan. Baginya adalah keuntungan dan tanggungjawabnya bila ada
kerugian (atau biaya) (H.R. Syafi'I dan Daruguthi).
Berdasarkan ijtihad, para ulama bersepakat bahwa gadai diperbolehkan.
Juga jumhur berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak
berpergian, sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW yang menjaminkan baju
besinya kepada seorang Yahudi ketika beliau menetap di Mekah dan juga pada
waktu berpergian serta melihat pada kebiasaan Rasulullah. Demikian juga
didasarkan pada Surat AlBaqarah ayat 283 tersebut di atas.
Menurut M. Syafi' i Antonio, rukun Rahn nada 5 yaitu Rahn ( yang
mengadaikan), Murtahin ( yang menerima gadai ), Marhun/Rahn ( barang yang
digadaikan), sighat (ijab dan Kabul) dan Marhun bih. (M.Syafi'i Antonio, 1999:
214)
Agar Rahn itu sah, maka setiap komponen harus memenuhi syarat-syarat
tertentu yaitu Rahn dan Murtahin, para pihak harus memenuhi syarat berakal
dan dapat membedakan (memilih). Akad yang dilakukan orang gila, orang mabuk
atau anak kecil adalah tidak sah. Demikian juga para pihak telah dewasa, jadi
anak yang masih di bawah umur dinyatakan tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum (An Nissa ayat 6):
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta) maka serahkan kepada mereka hartanya. (Al Qur'an dan terjemahannya,
2000: 166).

Selanjutnya para pihak harus mempunyai kemampuan untuk melakukan


perbuatan hukum yang bersangkutan agar usaha itu sah dan jalan usahanya
terhindar dari kerusakan. Di samping itu, perjanjian dilakukan karena kehendak
sendiri atau atas dasar suka sama suka bukan karena tekanan atau paksaan.
Untuk Marhum (harta/barang) syaratnya adalah, harus dapat
diperjualbelikan, berupa barang yang bernilai dan harus dapat dimanfaatkan
secara syariah. Oleh karena itu menurut Sayid Sabiq, tidak boleh menjual
serangga, ular dan tikus, kecuali memang dapat dimanfaatkan. Demikian juga
152
harus diketahui keadaan fisiknya. Jika keadaan barang dan nilai barangnya
tidak diketahui, baik hitungan, takaran, timbangan maupun kualitasnya, maka
perjanjian tidak sah; sebab ada kemungkinan perjanjian tersebut mengandung
unsur penipuan (Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid 12 dan 13 Terjemahan Kahar
Mansyur : 1991 ). Tentang kepemilikannya, barang harus dimiliki oleh Rahin
(Pemberi Gadai). Namun dalam perjanjian Rahn, tidak selalu barang yang
dijaminkan itu milik Debitur, ada kalanya merupakan milik pihak ketiga, tetapi
hatus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemilik barang yang dijaminkan
itu.
Selanjutnya, mengenai sighat, satu sama lainnya mengadakan hubungan
(perjanjian) di satu tempat tanpa ada pemisahan yang merusak serta ada
kesepakatan mengenai barang yang dijual dan harga barang. Jika kedua belah
pihak tidak sepakat, maka akad dinyatakan tidak sah. Oleh karena Rahn
mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad
jual-beli, maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu
waktu dimasa depan.
Untuk suatu hutang (Marhun bih) syaratnya agar dapat dijaminkan
dengan Rahn haruslah memenuhi syarat antara lain, harus merupakan hak yang
wajib diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan pemanfaatannya,
artinya bila benda yang dijaminkan dengan hutang tidak dapat dimanfaatkan
maka tidak sah. Juga harus dapat diukur; kalau tidak, maka Rahn tidak sah.
Bahkan hutang yang dijaminkan dengan barang itu harus merupakan hutang
yang tetap, jadi bukan merupakan hutang yang bertambah-tambah atau hutang
yang ada bunganya. (M. Syafei Antonio, 1999: 216).

C. Prinsip-Prinsip Fidusia Dalam Ar-Rahn Berdasarkan Hukum Perdata Islam

Merujuk pada uraian sebelumnya, sumber hukum Jaminan Rahn adalah


Al Qur'an, Hadits atau Sunnah Nabi, dan Ijtihat; namun tidak secara tegas
mengatur masalah Jaminan Fidusia sebab yang diatur adalah kententuan
mengenai gadai yang menurut ketentuan Hukum Perdata Barang, barang
jaminan harus dilepaskan penguasaan fisiknya dari Pemberi Gadai kepada
Penerima/Pemegang Gadai (syarat inbezitstelling). Namun berdasarkan paham
dari beberapa mazhab dan Ulama, barang dimungkinkan tetap berada dalam
penguasaan Pengadai (Pemberi Gadai) untuk dipakai sendiri asal dengan izin
Penerima Gadai atau barang tersebut tidak berkurang nilainya. Ini berarti
mengandung di dalamnya prinsip Fidusia; karena barang Rahn menurut Hukum
Perdata Islam dapat di manfaatkan baik oleh Penggadai maupun Penerima
Gadai. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW., rungguhan tidak menutup
pemiliknya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib
membayar dendanya (riwayat Syafe'i dan Daruqutni). Apabila seekor kambing
dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan itu boleh meminum susunya
sekadar sebanyak makanan yang diberikan kepada kambing bersangkutan.
Maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya menjadi riba (Riwayat
Hammad bin Salmah), (Sulaiman Rasji, 1993 : 311).
Atas dasar hadits Rasulullah tersebut, masalah pemanfaatan barang
Rahn menimbulkan beberapa pendapat antara lain menurut Mazhab Syafe'i
penggadai berhak mendapatkan keuntungan dari barang tanggungannya karena
dia adalah pemiliknya. Barang tanggungan tersebut tetap dipegang oleh
pemegang Gadai kecuali barang tanggungan itu dipakai oleh Pemberi Gadai
(Penggadai). Adalah halal bagi penggadai untuk mengambil keuntungan dari
153
hartanya tanpa izin pemegang Gadai, apalagi jika barang tanggungan yang
bersangkutan tidak berkurang nilanya setelah digunakan. Tetapi apabila batang
tersebut susut setelah digunakan, maka haram bagi penggadai untuk
menggunakannya tanpa izin pemegang Gadai. Mazhab Hanafi menyatakan tidak
ada jalan yang mengizinkan penggadai untuk mengambil keuntungan dati
tanggungan kecuali dengan izin pemegang Gadai, (M. Muslehudin, 2004: 90-91).
Andaikata barang tanggungan merupakan barang yang memerlukan
pemeliharaan seperti binatang menurut mazhab Hambali, maka pemegang Gadai
dapat menggunakan untuk kepentingan pemeliharaannya dan izin Penggadai
tidak diperlukan. Tetapi jika barang tanggungan berupa benda yang tidak
memerlukan penjagaan, maka diperlukan izin penggadai untuk memanfaatkan
barang tanggungan tersebut, (M. Muslehudin, 2004 :91) Menurut ulama-ulama
Malikiyah, hasil barang gadaian adalah tetap hak orang yang menggadaikan
selama yang menerima gadai tidak mensyaratkan bahwa hasilnya adalah
untuknya.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa menggadai boleh menggunakan barang yang digadaikan
dengan syarat 1) nilai barang tidak susut setelah digunakan oleh penggadai dan
oleh kerena itu tidak perlu izin penerima Gadai; 2) jika barang akan susut, maka
harus ada izin dari penerima Gadai.
Sulaiman Rasyid menyatakan bahwa hasil barang yang digadaikan
terdiri dari dua bagian yaitu pertama, tambahan yang terpisah seperti buah,
telur atau anaknya yang jadi, atau lahir sesudah dijaminkan, dan tidak
termasuk barang gadai tetapi tetap kepunyaan pemegang Gadai. Oleh karena itu
jika barang rungguhan dijual oleh yang memegang jaminan tersebut, maka
tambahannya tidak boleh ikut dijual sebab tambahan itu tidak ikut dijaminkan.
Kedua, tambahan yang tidak terpisah dari barang yang dijaminkan seperti bulu
kambing, anak kambing yang ada di kandungan, kesemuanya itu termasuk
barang yang dijaminkan.
Jika waktu dijaminkan hewan sudah dipotong, maka bulunya termasuk
barang rungguhan, sehingga pemegang Gadai boleh mengambil bulunya. Tetapi
jika belum waktunya dipotong, maka bulu hewan gadai tidak termasuk barang
gadai dan tetap menjadi hak penggadai.
Lahirnya Rahn adalah saat terjadinya akad atau kontrak hutang-piutang
sekaligus dengan penyerahan jaminan. Dalam hat ini barang Rahn akan tetap
berada di tangan penerima Gadai sampai hutang dibayar lunas. Menurut Ibnu
Munzir, (Sayid sabiq, 1991:233) telah terdapat ijmak dari semua orang yang
telah di terima/hafal ilmunya, bahwa siapa yang merahankan sesuai dengan
hartanya, lalu telah dia angsur sebagian hutangnya itu dan dia ingin
mengeluarkan sebagian rahannya, dia tidak berhak demikian sampai hutangnya
dibayar seluruhnya pada akhir haknya atau dia membebaskan diri dari
hutangnya. Keadaan ini mencerminkan adanya sifat tidak dapat dibagi-bagi
(ondeelbaar) seperti halnya pada Gadai/ Pand menurut Pasal 1160 KUH.
Perdata.
Apabila masa janji pembayaran telah tiba, maka Rahn wajib melunasi
hutangnya, dan jika ia ingkar janji, maka Murtahin dapat meminta Hakim untuk
memaksa Rahin membayar hutangnya atau menjual benda yang dijaminkan;
artinya hasil penjualan diambil untuk melunasi hutang Rahin. Bila hasil
penjualan melebihi hutang Rahin, maka sisa penjualan wajib diserahkan kepada
Rahin.

154
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri Fidusia terdapat
dalam Rahn khususnya mengenai penguasaan benda yang dalam praktek
adakalanya diserahkan kepada pemegang Gadai sekaligus dapat dimanfaatkan
olehnya, tetapi adakalanya tetap dipegang oleh Pemberi Gadai untuk di
manfaatkan sendiri. Hal ini disebabkan jika barang jaminan seperti inventaris,
mesin-mesin pabrik, mobil dan lain-lain ditahan oleh penerima Gadai dan tidak
digunakan, maka kemungknan akan berkarat dan cepat rusak. Keadaan
demikian dapat mempersulit pemberi Gadai dalam membayar hutangnya karena
barang gadai seyoginya dapat digunakan oleh Pemberi Gadai untuk menjalankan
usahanya, telah diserahkan penguasaannya kepada penerima Gadai. Oleh
karena itu alangkah baik jika barang-barang jaminan tetap di pegang pemberi
Gadai untuk digunakan dalam kegiatan usahanya sehingga hutang pemberi
Gadai pada pemegang Gadai dapat secepatnya dilunasi.
Para ulama Fikh dalam hat ini sepakat bahwa barang yang dijadikan
jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sesuaitu sama
sekali karena tindakan tersebut merupakan perbuatan menyia-nyiakan harta
yang dilarang oleh Rasulullah SAW (H.R. Tarmizi), (Sutan Remi Syahdeini, 1999 :
82) Konsep Fidusia dengan salah satu asas muamalat yaitu asas manfaat.
Di samping prinsip dasar Jaminan Fidusia yang ada di dalam Jaminan Rahn,
teryata terkandung persamaan prinsip lainnya antara Fidusia dan Rahn di
samping perbedaan-perbedaannya. Persamaan-persamaan tersebut antara lain,
baik Jaminan Fidusia maupun Jaminan Rahn sama-sama merupakan perjanjian
yang bersifat accessoir yaitu ikutan atau tambahan dari perjanjian pokoknya.
Juga pada kedua perjanjian itu jika debitur wanprestasi atau ingkar jani dalam
membayar hutangnya, maka benda yang dijaminkan tidak boleh dijadikan milik
penerima Fidusia atau ArRahn dan jika ada sisa dari hasil penjualan barang
jaminan setelah dipotong hutang debitur kepada kreditur, maka sisanya itu
harus dikembalikan kepada debitur atau pemilik barang. Jadi seperti halnya
pada Fidusia dalam Rahn seandainya Rahin (pemberi gadai) tidak dapat
membayar hutangnya, maka Murtahin (penerima gadai) tidak boleh menyita
barang yang dijaminkan untuk dimiliki sendiri, sebab dalam perjanjian Rahn
tidaklah berarti terjadi perpindahan hak atas benda yang dijaminkan; tegasnya
barang itu hanya sekedar jaminan pembayaran dari Rahin, (Chairuman
Pasaribu, 1994: 142-143).
Kemudian, baik daiam Fidusia maupun Ar-Rahn, pada dasarnya
perjanjian jaminan merupakan perjanjian dua pihak yaitu antara debitur sebagai
pemberi jaminan dan kreditur sebagai penerima jaminan meskipun dalam
praktek/ pelaksanaannya dapat terjadi perjanjian tiga pihak yaitu antara debitur
(orang yang berutang), kreditur (orang yang berpiutang/penerima jaminan) dan
pemberi jaminan yaitu pemilik benda yang dijaminkan yang bersedia benda
miliknya dijadikan jaminan hutang oleh debitur.
Adapun mengenai perbedaan antara Jaminan Fidusia dan Ar-Rahn menyangkut
antara lain, subyek dan obyeknya. Dalam perjanjian Jaminan Fidusia para pihak
haruslah sudah dewasa yang berdasarkan KUH. Perdata diisyaratkan telah
berusia 21 tahun atau belum 21 tahun tetapi sudah menikah (Pasal 330 ayat
(1)KUH.Perdata); sedangkan subyek Jaminan Rahn telah berumur 15 tahun atau
di bawah 15 tahun, belum, belum menikah, tetapi sudah mengalami mimpi
basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan sedangkan obyek menurut
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminnan Fidusia. Dapat
berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dijadikan obyek Hak Tanggungan (Pasal 1 angka 2 UUF). Sementara itu
155
dalam Hukum Islam, obyek jaminan Rahn adalah benda bergerak maupun
benda tidak bergerak.
Mengenai pemanfaatan barang jaminan, dalam Jaminan Fidusia
hanya dapat dimanfaatkan oleh pemberi jaminan, sedangkan dalam Rahn
pemanfaatannya dapat dilakukan baik oleh si pemberi jaminan ataupun oleh si
penerima jaminan dengan syarat siapa yang akan menggunakan barang
jaminan, harus mendapat izin terlebih dahulu dari pihak lainnya.
Untuk hutang yang dijaminkan, dalam Jaminan Fidusia, jumlahnya setiap saat
dapat berubah-ubah karena hutang piutang menurut KUH. Perdata menganut
sistem bunga artinya nilai bunga setiap waktu dapat berubah sehingga
mengakibatkan besarnya hutang pun dapat berubah. Sedangkan pada Rahn,
hutang yang dijaminkan dengan jaminan Rahn sejak awal perjanjian sampai
dengan jatuh tempo pembayaran, jumlahnya tidak berubah artinya nilainya
harus tetap.
Selain itu, kedudukan kreditur dalam Jmainan Fidusia adalah didahulukan atau
diutamakan (droit de preference) dari kreditur-kreditur lainnya dalam hal
pelunasan piutangnya (Pasal 27 UUF); sementara dalam Ar-Rahn tidak ada
pengaturan demikian. Agar diketahui umum, Jamina Fidusia wajib didaftarkan
di Kantor Pendaftaran Fidusia dan lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal
dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia (Pasal 11 dan 14 ayat (3)
UUF). Dalam Rahn tidak ada ketentuan tentang kewajiban mendaftarkan barang
yang dijaminkan, cukup dibuat perjanjian dalam bentuk tertulis baik dengan
akta notaris maupun di bawah tangan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 10 UUF,
kecuali diperjanjikan lain, Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang
menjadi obyek jaminan Fidusia. Sedangkan dalam Rahn, hasil dari benda
jaminan yang bentuknya terpisah dari benda jaminan, tidak termasuk dalam
benda yang dijaminkan; dan jika hasil dari benda yang dijaminkan bentuknya
tidak terpisah dan benda jaminan, maka termasuk dari benda yang dijaminkan.
Dalam hal pemberi Fidusia (debitur) cidera janji, menurut Pasa129 UUF,
eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu, (a) pelaksanaan title eksekutorial oleh penerima
Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) UUF:

Pasal 15 ayat (1) menyatakan :


Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA")

Sedangkan

Pasa1 15 ayat (2) menyatakan :


Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;

(b) penjualan benda jaminan oleh penerima Fidusia atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan; (c) penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Sedangkan dalam
Rahn, yang berhak menjual benda yang dijaminkan adalah penggadai (Rahin);
156
dan jika Rahin tidak mau membayar hutangnya atau tidak mau menjual barang
yang dijaminkan untuk membayar hutang, maka penerima Gadai (Murtahin)
dapat Hakim untuk memaksa Rahin membayar hutangnya atau menjual benda
yang dijaminkan.

III. PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan


adanya kesamaan prinsip antara Jaminan Fidusia berdasarkan Hukum Perdata
Barat dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
dengan Ar-Rahn berdasarkan Hukum Islam, maka sifat-sifat yang terkandung
dalam Jaminan Fidusia tidak bertentangan dengan pelaksanaan Rahn menurut
Hukum Islam bahkan selama ini telah diterapkan dan dilaksanakan dalam dunia
perbankan khususnya di Bank Syariah.
Adanya kekurangan-kekurangan dapat diatasi dengan saling
menyempurnakan, mana yang dianggap posistif dan tidak bertentangan dengan
paham kedua lembaga tersebut dapat digunakan antara lain, kewajiban untuk
mendaftarkan benda-benda yang difidusiakan di Kantor Pendaftaran Fidusia
kiranya dapat diterapkan dalam jaminan Ar-Rahn menurut Hukum Islam dengan
maksud menghindari Debitur pemberi jaminan menjamin kembali benda yang
sama kepada pihak lain.
Sebaliknya, mengenai pemanfaatan barang jaminan sebagaimana halnya
dalam jaminan Ar-Rahn, sebaiknya dalam jaminan Fidusia di samping dapat
dimanfaatkan pemberi Fidusia, juga dimungkinkan dapat dimanfaatkan oleh
penerima jaminan Fidusia jika diperjanjikan oleh kedua belah pihak, sebab
bukankah hak kepemilikan barang jaminan telah beralih kepada penerima
Fiduasi walaupun hanya sementara waktu.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-Buku (Teks)
Antonio, Muhammad Syafi'i. Bank Syariah : Suatu Pengenalan Umum. Jakarta :
Tazkia Institute, 1999.
,Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan. Jakarta : Tazkia
Institute, 1999.
Arifin Zainul. Memahami Bank Syariah. Lingkup, Peluang, Tantangan Dan
Prospek. Cet.I. Jakarta: Alvabe, Maret 2008.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Cet. V. Jakarta: Raja Grafindo Rajawali, 1996.
Aziz, M. Amin. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia. Buku I dan II Cet. II.
Jakarta: Penerbit Bangkit, 1992.
Badrulzaman, Mariam Darus. Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan
Fiducia. Cet. IV. Bandung : Alumni, 1987
Hamzah, A; dan Senjum Manullang. Lembaga Fiducia dan Penerapannya di
Indonesia. Cet. I. Jakarta: Ind Hill-Co, 1987
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata. Hak-Hak Yang Memberi
Jaminan. Jilid, II. Cet. II. Jakarta: Ind Hill-Co, 2005
Oie, Hoey Tiong. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur Perikatan. Cet. II. Jakarta :
Galia Indonesia, 1985.

157
Muslehudin, Muhamrnad. Sistem Perbankan Dalam Islam. Cet. 2. Jakarta :
Rineka Cipta, 1994
Pasaribu; Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam.
Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Perwataatmadja; Karnaen A dan M. Syafi'I Antonio. Apa dan Bagaimana Bank
Islam. Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf.
Rasyid, Sulaiman. Figh Islam. Cet. 27. Bandung : Sinar Baru Agensindo, 1994
Syahdeini, Sutan REMI, Perbaikan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. Jakarta: Grafiti, 1999.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Beberapa Masalah Lembaga Jaminan Khususnya
Fiducia Di Dalam Praktek dan Perkembangannya Di Indonesia.
Yogyakarta : Liberty, 1977.
Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah; Jilid 12 dan 13. Terjemahan Kahar Mansyur. Jakarta
: Kalam Mulia, 1991.

II. A1 Qur'an dan Terjemahannya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan Kiri.


Semarang : Asy-Syifa‟,2000

III. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Edisi Revisi


Jakarta; PT Pradnya Paramita, 1996.

IV. Peraturan Perundang-Undangan


Indonesia, Undang-Undang Tentang Rumah Susun, UU No. 16 Tahun 1985

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perumahan dan Pemukiman, UU No. 4


Tahun 1992.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Np. 4 Tahun 1996.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999.

158
Lampiran 45: Bahan bacaan

TEKNIK PENGUTIPAN
UNTUK SKRIPSI DAN JURNAL

Kutipan atau catatan pustaka adalah pernyataan atau keterangan yang


diambil dari teks acuan. Fungsi kutipan adalah memperkuat pendapat atau ide
yang dikemukakan dalam karya ilmiah dan sebagai pernyataan bahwa pendapat
yang dikemukakan mempunyai dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pencantuman sumber dan pengarang yang pendapatnya dikutip dianggap
sebagai pertanggungjawaban moral orang yang mengutip.

Buku atau karya yang dikutip dalam kutipan harus ditulis dalam daftar rujukan.

 Ada beberapa teknik pengutipan dalam penulisan karya ilmiah. Teknik-teknik


tersebut mempunyai ciri-ciri khusus. Penulis harus konsisten dengan teknik
yang dipilih agar tidak membingungkan pembaca.
 Penting untuk diingat bahwa pengutipan merupakan bagian argumentasi yang
dikemukakan pengarang. Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang
digunakan untuk memengaruhi sikap dan pendapat orang lain agar mereka
percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan yang diinginkan penulis (Keraf,
1982:3).
 Penulis menyertakan fakta-fakta kemudian merangkainya sehingga
argumentasi atau pendapat yang dikemukakan kuat dan meyakinkan.
 Ada beberapa teknik pengutipan dalam penulisan karya ilmiah. Teknik-teknik
tersebut mempunyai ciri-ciri khusus. Penulis harus konsisten dengan teknik
yang dipilih agar tidak membingungkan pembaca.
 Penting untuk diingat bahwa pengutipan merupakan bagian argumentasi yang
dikemukakan pengarang. Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang
digunakan untuk memengaruhi sikap dan pendapat orang lain agar mereka
percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan yang diinginkan penulis (Keraf,
1982:3).
 Penulis menyertakan fakta-fakta kemudian merangkainya sehingga
argumentasi atau pendapat yang dikemukakan kuat dan meyakinkan.

Di bawah ini diuraikan teknik-teknik pengutipan.

1. Kutipan Langsung

(1) Kutipan yang berisi empat puluh kata atau lebih ditulis tanpa tanda kutip
dan terpisah dari teks yang mendahului. Kutipan tersebut ditulis sekitar
1,2 cm dari garis tepi sebelah kiri dan kanan teks halaman. Penulisan
teks kutipan menggunakan spasi tunggal.

159
Contoh:

Martaniah (1984:148) menyimpulkan hal tersebut sebagai berikut.

Dalam penelitian ini terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
motif berkuasa antara remaja yang tinggal di kotamadya, di kota
kabupaten, dan di desa. Jadi, hipotesis yang dikemukakan penulis
terbukti. Akan tetapi, sebetulnya yang dimaksud oleh penulis tidak hanya
sama tingginya, tetapi sama tinggi pada skala tingkat atas.

Menurut hasil penelitian ini, motif berkuasa remaja Jawa sama tinggi,
tetapi pada skala tingkat bawah karena motif berkuasa pada semua
kelompok tersebut di bawah rerata total. Dengan kata lain dapat
dinyatakan bahwa motif berkuasa remaja Jawa yang diteliti adalah rendah.

(2) Kutipan yang memuat kurang dari empat puluh kata ditulis di antara
tanda kutip yang terpadu dengan teks, kemudian diikuti nama
pengarang, tahun, dan nomor halaman. Nama pengarang dapat terpadu
dengan teks atau menjadi satu dengan tahun dan nomor halaman yang
ditempatkan dalam tanda kurung. Jika terdapat tanda kutip dalam
kutipan, dipergunakan tanda kutip tunggal („…‟).

2. Kutipan Tidak Langsung

Kutipan tidak langsung adalah kutipan yang dikemukakan dengan bahasa


dan gaya penulis. Penulisannya tanpa tanda kutip dan terpadu dengan
teks.

Nama pengarang bahan kutipan dapat ditulis terpadu dalam teks atau
ditulis dalam kurung bersama tahun penerbitannya.

Lebih lengkap dan lebih baik hasilnya jika nomor halaman disebutkan juga.
Uraian di bawah ini dapat dicermati.

(1) Jika nama pengarang ditulis sebelum kutipan

Jika nama pengarang ditulis sebelum kutipan, perlu dibuat lebih dahulu
pengantar kalimat yang relevan, kemudian nama akhir pengarang,
tahun terbit, tanda titik dua, dan nomor halaman di dalam tanda
kurung.

Contoh:

Selanjutnya, Sargent (1987:2) menjelaskan bahwa ideologi adalah sistem


nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh
kelompok tertentu.

160
(2) Jika nama pengarang ditempatkan setelah kutipan

Contoh:

Ideologi adalah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta
atau kebenaran oleh kelompok tertentu (Sargent, 1987:2)

(3) Jika pengarang merujuk pendapat pengarang lain

Penulisannya sama seperti cara-cara di muka, tetapi tahun dan nomor


halaman buku asli tidak ditulis.

Contoh:

Buku rujukan (Tarigan, 1984:32) berbunyi:

Kemampuan membaca sepintas ini bermanfaat. Oleh karena itu, guru


harus mengajarkan keterampilan ini kepada anak didiknya (Burmeister,
1978:296).

Cara mengutipnya sebagai berikut.

Burmeister (Tarigan, 1984:32) berpendapat bahwa kemampuan


membaca sepintas bermanfaat. Oleh karena itu, ketrampilan tersebut
harus diajarkan oleh guru kepada anak didiknya.

Berikut ini cara lainnya.

Kemampuan membaca sepintas ini bermanfaat bagi anak didik. Untuk


itu ketrampilan tersebut wajib diajarkan oleh guru. (Burmeister dalam
Tarigan, 1984:32).

Perhatikan penggunaan kata dalam!

(4) Jika sebuah kutipan diambil dari dua buku rujukan atau lebih karena
isinya kurang lebih sama, di antara sumber rujukan ditulis tanda titik
koma (;).

Contoh:

Diperlukan unsur-unsur penunjang bentuk-bentuk arsitektur untuk


menciptakan bentuk yang harmonis dan estetis (Ali, 1984:6; Gani,
1985:17; Wawan, 1986:54).

(5) Jika sebuah kutipan diambil dari dua buku rujukan atau lebih karena
isinya kurang lebih sama, di antara sumber rujukan ditulis tanda titik
koma (;).

161
Contoh:

Diperlukan unsur-unsur penunjang bentuk-bentuk arsitektur untuk


menciptakan bentuk yang harmonis dan estetis (Ali, 1984:6; Gani,
1985:17; Wawan, 1986:54).

Isi catatan kaki ditulis turun setengah spasi dari nomor catatan kaki
dan ditulis dengan jarak antarbaris satu spasi. Jarak antara dua nomor
catatan kaki adalah dua spasi.

(Pada karya ilmiah yang terdiri atas beberapa bab, nomor catatan kaki
diurutkan dalam setiap bab. Apabila terjadi pergantian bab, penomoran
dimulai dari nomor satu lagi.

(6) Nomor catatan kaki dalam teks diletakkan langsung di belakang huruf
terakhir pernyataan yang diberi catatan dengan menaikkan setengah
spasi.

Contoh:

Ani merupakan anak semata wayang¹ sehingga dimanja oleh orang


tuanya.

(7) Catatan kaki yang lebih dari dua baris ditulis dengan satu spasi.

(8) Penulisan catatan kaki dimulai dari nama akhir pengarang, judul
rujukan, kota tempat penerbitan, penerbit, tahun, dan nomor halaman.

Pada catatan kaki terdapat singkatan-singkatan yang mempunyai


fungsi tertentu. Singkatan tersebut berasal dari bahasa asing sehingga
artinya perlu dipahami lebih dahulu.

(1) Ibid. (singkatan dari Ibidium, artinya sama dengan yang sudah disebutkan
di atas). Singkatan itu digunakan untuk catatan kaki yang sumbernya sama
dengan catatan kaki yang tepat di atasnya tanpa diselingi oleh perujukan
sumber lain. Huruf pertama ditulis dengan huruf kapital, kemudian diikuti
tanda titik (.), kemudian koma (,), lalu nomor halaman.
(2) Jika yang dirujuk berada pada halaman yang berbeda, digunakan singkatan
Op. cit (singkatan dari opere citato yang artinya karangan yang telah
dikutip) dengan diikuti nomor halaman yang dirujuk.

3. Daftar Rujukan

Daftar rujukan merupakan daftar yang berisi buku, makalah, artikel, atau
bahan lain yang dikutip baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahan-
bahan yang dibaca tetapi tidak dikutip tidak dicantumkan dalam daftar
rujukan. Semua bahan yang dikutip secara langsung ataupun tak langsung
dalam teks harus dicantumkan dalam daftar rujukan.

162
Daftar rujukan dapat berupa buku, makalah, artikel, atau bahan-bahan lain,
misalnya makalah hasil lokakarya, seminar, artikel dari internet, dan hasil
penerbitan suatu lembaga. Kata rujukan berasal dari bahasa Arab, ro-ja-„a
yang secara harfiah berarti kembali. Dengan demikian, rujukan berarti tempat
melihat kembali bahan-bahan atau bacaan yang dikutip. Bagian-bagian yang
ditulis dalam daftar rujukan adalah sebagai berikut:

(1) nama pengarang ditulis dengan urutan nama akhir, nama awal, dan nama
tengah, tanpa gelar akademik;

(2) tahun penerbitan;


(3) judul (termasuk subjudul);
(4) tempat atau kota penerbitan;
(5) nama penerbit.

3.1 Rujukan berupa buku


3.1.1 Pengarang

(1) Jika pengarang hanya satu orang, penulisan rujukan sebagai


berikut:

Contoh:
Alatas, Syed Hussen. 1988. Intelektual Masyarakat Berkembang.
Jakarta: LP3ES.
Effendy. 2003. Teori VSEPR dan Kepolaran Molekul. Malang:
Bayumedia.
Schiffrin, D. 1993. Approaches to Discourse. Oxford: Blackwell.
Usman, Muchlis. 1996. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah:
Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Nama pengarang dalam daftar rujukan dapat disingkat. Perhatikan
contoh berikut!
Alatas, S. 1988. Intelektual Masyarakat Berkembang. Jakarta: LP3ES
(2) Jika pengarang terdiri atas dua pengarang, penulisan rujukan sebagai
berikut.

Contoh:

Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. 1990. Komunikasi


Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan


Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, Ruqaiya. Tanpa tahun. Bahasa,


Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik

163
Sosial. Terjemahan oleh Asrudin Barori Tou. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

(3) Jika nama pengarang lebih dari dua orang, nama pengarang pertama
yang ditulis, lalu singkatan dkk. (dan kawan-kawan).

Contoh:

Wardani, I.G.A.K. dkk. 2002. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:


Universitas Terbuka.

(4) Penulisan nama pengarang yang terdiri atas dua kata atau lebih
dimulai dengan nama akhir, diikuti tanda koma, kemudian nama
pertamanya.
Contoh:
Soegito menjadi Soegito.
Sri Retnowati Wigati menjadi Wigati, Sri Retnowati atau Wigati, S. R.
Norman Fairclough menjadi Fairclough, Norman atau Fairclough, N.
(5) Urutan nama Tionghoa tidak dibalik karena unsur nama pertama
Tionghoa merupakan nama keluarga.
Contoh:
Liem Swie King tetap Liem Swie King.
(6) Jika beberapa buku yang diacu ditulis oleh pengarang yang sama,
nama pengarang tetap ditulis secara utuh, lalu diakhiri dengan
tanda baca titik, tahun terbit, dan seterusnya.

Contoh:

Suhartono. 2000. Pengantar Psikolinguistik. Surabaya: Unesa Press.


Suhartono . 2001. Pertuturan. Surabaya: Bina Ilmu.
Suhartono . 2002. Jurnalistik. Surabaya: Aksara Kata.

(7) Jika beberapa buku yang diacu ditulis oleh pengarang yang sama,
nama pengarang tetap ditulis secara utuh, lalu diakhiri dengan
tanda baca titik, tahun terbit, dan seterusnya.
Contoh:
Suhartono. 2000. Pengantar Psikolinguistik. Surabaya: Unesa Press.
Suhartono . 2001. Pertuturan. Surabaya: Bina Ilmu.
Suhartono . 2002. Jurnalistik. Surabaya: Aksara Kata.

3.2 Judul

(1) Judul buku ditulis sesudah tahun terbit, diakhiri dengan tanda titik,
dan dicetak miring atau garis bawah pada masing-masing kata. Jika
pada judul terdapat anak judul, di antaranya ditulis tanda titik dua.

Contoh:

164
De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning:
Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (terjemahan
Alwiyah Abdurrahman). Bandung: Kaifa.

Gardner, Howard. 1985. Frames of Mind: The Theory of Multiple


Intelligences. New York: Basic Books.

Rose, Colin. 1985. Accelerated Learning. New York: Dell Publishing


Co.

(2) Judul artikel, laporan penelitian, makalah, skripsi, atau tesis ditulis
di antara tanda petik.

Contoh:

Suyitno. 2004. “Pengembangan Pola Pembinaan dan Peningkatan


Disiplin Guru”. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Program
Pascasarjana Unesa.

(3) Keterangan yang menyertai judul (misalnya: jilid, edisi, terjemahan)


ditempatkan sesudah judul dan diakhiri dengan tanda titik.

Contoh:

Kridalaksana, H. 1988. Kamus Linguistik. Edisi Kedua. Jakarta:


Gramedia.

(4) Jika rujukan berupa karya terjemahahan, nama pengarang asli ditulis
paling awal, diikuti tahun penerbitan karya asli, judul terjemahan,
nama penerjemah, nama tempat penerbitan, dan nama penerbit
terjemahan. Apabila tahun penerbitan buku asli tidak dicantumkam,
digunakan kata tanpa tahun.

Contoh:

Glaser, Barney dan Strauss, Ansem L. Tanpa Tahun. Penemuan Teori


Grounded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif. Terjemahan oleh
Abd. Syukur Ibrahim. 1984. Surabaya: Usaha Nasional.

(5) Jika rujukan berupa buku kumpulan artikel (ada editornya), setelah
nama pengarang ditambahkan singkatan Ed. jika editornya satu orang
dan Eds. jika editornya lebih dari satu orang. Dalam BI editor disebut
penyunting.

Contoh:

Purwo, Bambang Kaswanti (penyunting). 1992. PELLBA 5: Bahasa,


Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

165
Leteridge, S. & Cannon, C.R. (Eds.). 1980. Bilingual Education:
Teaching English as a Second Language. New York: Praeger.

Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy (Eds.). 1996. Bahasa dan
Kekuasaan. Bandung: Mizan.

(6) Jika rujukannya adalah artikel dalam buku kumpulan artikel, judul
artikel ditulis di antara tanda petik ganda. Setelah titik, digunakan
Dalam dan seterusnya.

Contoh:

Hooker, Virginia Matheson. 1996. “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan


di Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Indonesia”. Dalam
Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy (Eds.). Bahasa dan Kekuasaan.
Bandung: Mizan.

3.3 Rujukan dari Dokumen Resmi Pemerintah dan Suatu Lembaga

Contoh:

BP-7 Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. 1988. Buku Serapan


Bahan Penataran P-4, UUD 1945, GBHN. Surabaya.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Pedoman


Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang


Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Surabaya: Usaha Nasional.

3.3.1 Nama Kota dan Penerbit

(1) Nama kota ditulis setelah judul, diikuti tanda titik dua (:).
Contoh:
Surabaya:
Jakarta:
Surabaya:
(2) Nama kota diikuti nama penerbit buku.
Contoh:
Surabaya: Usaha Nasional.
Jakarta: Gramedia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3.3.2 Rujukan dari koran atau majalah

(1) Nama pengarang ditulis paling awal, lalu diikuti tanggal, bulan,
dan tahun terbit.
(2) Judul artikel yang dikutip ditulis dengan cetak biasa dan berhuruf
besar pada setiap awal kata, kecuali kata tugas.

166
(3) Nama majalah ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama
setiap kata dan ditulis miring. Nomor halaman disebut pada
bagian akhir.
(4) Judul artikel ditulis di antara tanda petik dua (“).
Contoh:
Kompas. 17 Agustus, 2005. “Interpretasi Proklamasi”, hal. 8.
Fauzan, Ali. 12 Juni 2000. “Krisis Energi.” Jawa Pos, hal. 4.
Mujani, Saiful. 2000. “Tanggung Jawab Politik Santri”. TEMPO,
edisi 6-12 November.

3.1.4 Nama Kota dan Penerbit

(1) Nama kota ditulis setelah judul, diikuti tanda titik dua (:).
Contoh:
Surabaya:
Jakarta:
(2) Nama kota diikuti nama penerbit buku.
Contoh:
Surabaya: Usaha Nasional.
Jakarta: Gramedia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3.2 Rujukan dari koran atau majalah

(1) Nama pengarang ditulis paling awal, lalu diikuti tanggal, bulan,
dan tahun terbit.
(2) Judul artikel yang dikutip ditulis dengan cetak biasa dan berhuruf
besar pada setiap awal kata, kecuali kata tugas.
(3) Nama majalah ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama
setiap kata dan ditulis miring. Nomor halaman disebut pada
bagian akhir.
(4) Judul artikel ditulis di antara tanda petik dua (“).
Contoh:
Kompas. 17 Agustus, 2005. “Interpretasi Proklamasi”, hal. 8.
Fauzan, Ali. 12 Juni 2000. “Krisis Energi.” Jawa Pos, hal. 4.
Mujani, Saiful. 2000. “Tanggung Jawab Politik Santri”. TEMPO,
edisi 6-12 November.

167
Lampiran 46: Contoh Jurnal Internasional

International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET)


Volume 8, Issue 8, August 2017, pp. 1054–1059, Article ID: IJCIET_08_08_112
Available online at
http://http://www.iaeme.com/ijciet/issues.asp?JType=IJCIET&VType=8&IType=
8 ISSN Print: 0976-6308 and ISSN Online: 0976-6316
© IAEME Publication Scopus Indexed

IMPLEMENTATION OF THE ROLE OF


NOTARY THROUGH CAPITAL MARKET IN
THE ERA OF ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

Faisal Santiago

Department of Law, Universitas Borobudur, Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Law has evolved as an order and system, from limited functions as an


instrument to meet the needs of local communities, to the new function as a
controller of community life order on both national and global scale. One of the
government effort in the field of economic is to pursue development in capital
market, which required support mainly by parties related to the capital
market. Therefore, the institutional performance of capital market is sustained
by various professional device regulated by legislation, in order to provide
legal certainty to all parties involved in capital market activities. Herein is
notary registered in the institutional capital market. Notary is a public official
who is responsible to make authentic deed which could be the evidence of
certain legal actions. The notary deed is an authentic document and the legal
proof for parties in a variety of business relationships. The need of legal
certainty in a variety of economic and social relations, both nationally,
regionally and globally, given the role and functions of notary proficiency level.
Similarly, to meet the Asean Economic Community goals, the notary has the
strategic function to provide protection and legal certainty through deeds, as
well as part of the legal system in business contract establishment.
Key words: Notary, Role And Function, Deed, Capital Market, Legal
Certainty.
Cite this Article: Faisal Santiago, Implementation of The Role of Notary
Through Capital Market In The Era of Asean Economic Community.
International Journal of Civil Engineering and Technology, 8(8), 2017, pp.
1054–1059.

168
1. INTRODUCTION

The era of globalization has broad and multi-faceted impact in the economic,
legal, social, political and security beings. This condition implies to the growth
and development of the society regarding the fulfillment of the needs in the
global, regional and national level in terms of togetherness, sustainability and
inclusiveness. These dimensions are related to the interaction of society,
especially the business behavior which influence each other (Santiago, 2012: 8).
Moreover, the contemporary development in economic and business aspects
demands the existence of legal guarantee as well as cross-border legal protection
for business people having Implementation of The Role of Notary Through Capital
Market In The Era of Asean Economic Community business contracts
internationally. A legal standard thus is required to serve the needs and interests
of the business community (Harahap, 1995: 1-10). The legal and business
aspects are simultaneously growing in parallel with complementary relationships.
Law has evolved as an order and system, from limited functions as an instrument
to meet the needs of local communities, to the new functions as a controller of
social order both in national and global scale. Meanwhile, the conduct of
business has also grown from patterns of activity which was originally developed
from real sector of the economy, such as manufacture and labor-intensive
industries, to the patterns of financial sector activity. Nowadays, the capital
market has a strategic function because of its potential to raise capital and funds,
that are purposively used to increase the volume of development activities
(Nasarudin, 2004:1)
Changes in behavior in the field of law and business also have the effect on the
growing demand in many countries to legislate some business laws and
regulations. Furthermore, these changes are also driven by changes in the
economic structure from agrarian-based society to industry and service-based
society. In essence, this structural changes will replace the old patterns with the
new ones to ensure legal certainty targeted based on contracts made by and for
the citizens. The changes also enables the changes in organizational life of the
citizens in which they are able to decide freely the position of their rights and
obligations. This freedom has only been limited by confirmation of other citizens
through official contracts evidenced by the deed that legitimacy can be accounted
for. (Santiago, 2010: 11)
Legal certainty in the field of business will be firmly based on the ad hoc and
inter-party agreements. Contemporarily, the business contracts are no longer
determined by the habits that rely on trust. So, if there at certain condition is a
conflict can be solved by contextual and legal framing as stipulated in the
contract deed made by a legitimate authority. Hence, the notary has important
functions to make legal contracts. Especially in Indonesia, according to Law No.
30 of 2004, the notary is referred to as public official. Therefore, a deed made by
the notary is considered to have the legal force. This paper aims to analyse the
functions of notary in the face of ASEAN Economic Community. The scope of the
problems in this study is how the role and function of the notary in the face of the
ASEAN Economic Community. This study especially analyzes the the role of
notary in capital market operation.

169
2. THE MEANING AND FUNCTION OF CAPITAL MARKET

The development of modern society was also entering the area of economic
activity broadly includes funding strategically conducted by many countries in
the world. One of the tools that are considered effective in Indonesia is the
existence of Capital Market institution that is governed by the constitution No. 8
of 1995 about Capital Market (Capital Market Law).
According to Article 1 point 13, the Capital Market is an activity that is concerned
with the public offering and trading of securities, the Public Company relating to
the issuance of securities, as well as institutions and professions related to
securities. (UUPM)
The capital market is basically a market that trades securities in the form of long-
term financial instruments in the form of capital (equity) and debt. Term capital
market is used as the translation of the capital market, which means
a place or system of how to meet the needs of funds for capital of a company. The
stock market is the place to buy or sell newly issued securities. (Simatupang,
Richart Burton, 2003: case 169). Another popular term used is securities market.
Thus, the Indonesian capital market trading in securities in the form of capital
instruments and debt, derivative instruments such as letter of replacement or
tentative evidence of an effect, evidence of the advantages and warranties, rights
to order or buy stocks or bonds, warrants, and options.
Muhammad Din, Selmita Paranoan, Rahma Masdar, Hamonangan Siallagan and
Tarmizi Achmad
Capital market instruments can be distinguished on debt securities (bonds) and
ownership securities (stock or equity). Bond is an evidence of debt recognition
from a company. Meanwhile, stock is an evidence of capital investment in the
company. On exchanges around the world, both effects are heavily trafficked. It is
also happen in Indonesia‟s stock exchange. Specifically, in Indonesia, there are
also securities named as credit securities, which is an evidence of the recognition
of short-term debt (less than 3 years).
In practice, stocks and bonds can be multiplied manifold. That is, stocks and
bonds derived in some kind of classification that can be determined according to
the criteria inherent in each stock and bond itself. (Sound Son, Anom, 2000)
In most developing countries, economic development is one that is often used as
a development priority scale along with its various dynamics. Reality faced today,
Indonesia needs a very large fund, so that various attempts were made including
fund raising efforts, including through syndicated loans from donor countries.
But for the Indonesian government, foreign borrowing is not the way of the
strategic efforts for development. So the solution, as the other strategic efforts, is
to raise the potential that exist in Indonesian society optimally. Thus
alternatively, capital market is made that is intended as a vehicle to meet the
needs of development financing.
Strategic function and importance of capital markets makes the government is
very concerned over the development and advancement of capital markets,
because of the potential to raise funds massively, so it can be used to increase
the volume of development activities. (lrsan Nasarudin 2004, p 1)
It is expected the society moved to invest in the stock market by buying a number
of securities of the companies. Ownership of securities firms by communities
provide hope and opportunities to improve the welfare if the positive performance
of resources made by the company.
170
One of the efforts of the direction of government policy in the field of economics
has always strived to support and stimulate the development of capital markets,
which required support shared mainly by related parties of the capital market
itself. Therefore, the performance of the institutional capital market sustained
various professional device regulated by legislation, in order to provide assurance
to all parties involved in capital market activities, which of them as supporting
the notary enrolled at institutions in the capital market institutions.

3. THE ROLE AND FUNCTION OF NOTARY

In many countries in the world, the role of institutions that have legitimate
authority to make the notary deed is notary agencies. Deed of notary is generally
recognized as evidence; even though the position is often depend on the legal
system in each country.
Notary in Indonesia is categorized as Latin notaries (Soedjendro, 2001: 28), which
according to Black was the one who recorded what was said by another person or
people who copy what has been written by others. Latin notaries characteristic is
that he is carrying out the task of serving the needs of the community within the
scope of private law / civil law. Essentially, the main theme of the civil law is
property rights and agreements. This means that one aspect of the duties and
authority of the Notary in serving the needs of the community is making the deed
of agreement with a view to gaining legal certainty concerning the implementation
of the agreement and deliver justice in the sense of equal distribution of rights
and obligations or responsibilities to the parties.
Notary is a public official (openbaarambtenaar) which is responsible for making
authentic deed which can be as evidence of certain legal acts. The legal basis of
the regulation notary in Indonesia was initially set at Reglement op het-ambt
Notary is Indonesie, Ordinance dated Implementation of The Role of Notary
Through Capital Market In The Era of Asean Economic Community
January 11th 1860, Stb. 1860 number 3. Since October 6, 2004 that provision
was replaced by the law of Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 of 2004
concerning notary (hereinafter abbreviated UUJN). Article 15 according to
paragraph (1) UUJN, an authorized notary to make the deeds authentic of all
deeds, agreements, and determination required by a general regulation or by the
concerned desired to be declared in an authentic deed.
Notary deed as authentic deed is a perfect evidence for the parties in the traffic
law relationship. In a variety of business relationships, banking and others, will
need written evidence in the form of an authentic deed is increasing in line with
its development, the demands of legal certainty in a variety of economic and
social relations, either nationally, regionally and globally. Through the authentic
deed clearly define the rights and obligations, ensure legal certainty and at the
same time is expected to avoid disputes.
Manufactures of official contracts are usually carried out by officials who have
official authority. Authentic deed required by legislation, desired by the parties
concerned to ensure the rights and obligations of the parties for the sake of
certainty, order and protection of the law.
"Product" notaries have formal proof strength, material and to certain legal
actions also have the power executorial. The public officials need to be given
special attributes: an independent position (onafhankelijkheid-independence) and
impartial (onpartijdigheid-impartiality) in order to run his produce certificates that
have the power of perfect evidence. (Santiago, 2010: 104)
171
Therefore, the position of Notary as a public official (as Notary) and "work" must
be regulated by law (or laws on par with the Act), that official notary in running
the office assured that its deed has a position and weight as well as nature "as
the strength of evidence that is perfect". In Indonesia, this time related to the
position and authority of the Notary governed by Law No. 30 Year 2004 on
Notary.
In carrying out the notary profession impartially (onpartijdigheid-impartiality) and
has an independent position (onafhankelijkheid-independence), is not supervised
by anyone. Thus the nature and characteristics possessed only by the notary, as
well as the position of an independent and impartial must be adhered to as well
as absolute or mandatory run by a notary. (Radjaguguk, 1998: 49)
In the field of legal proof authentic deed made by and / or in the presence of a
public official has a significant meaning that differentiate it with deed under the
hand.
The verification means that: The word imposes obligations opposed to disprove
the notion is not necessary to prove that the signature of a notary is true. That
information is made a notary in his or her deed considered true; other than that,
the deed of guarantee date made, who made them and the truth of the
information given by the parties (Santiago, 2010: 106)
In the development of social transformative from the local to the national and
global (which in the early days better known as word system) of the last century it
was the demands of the business world industrial This leads to cause the
changes in the legal world (which reflect changes structural of the world from the
normative status to contracts) it, or vice versa; that changes in the legal
institutions that allowed mobilization capital funds and manpower in order to
support business activities that is safe and conducive.
Furthermore, the concept of law as well as the institution responsible for the
appropriate portion defined by the role as legal products including Notary
institutions, to carry out its role in a professional manner for the benefit of the
legal community. Legal authority owned notary on his designated State as a
public official that has the legitimacy to make a variety of deed, including making
contracts (law in concreto) recognized a magnitude equivalent legislation (law in
abstracto) for the parties, (originally made on the basis of freedom of the parties,
to the extent not contrary to the legislation, free from any form of coercion,
digression, and swindle).
Muhammad Din, Selmita Paranoan, Rahma Masdar, Hamonangan Siallagan and
Tarmizi Achmad
Given the role and function of the notary, to meet Asean-Economic trade activity,
the Notary will be the strategic institution that can provide protection and legal
certainty through deeds were made, as well as part of the legal system in the
contract manufacturing business.
The legal system that was developed around the concept of contract in any
private relationship between community law (subjects of law, various legal
events), can be done in the interests of ensuring legal certainty and legal
protection, and can be developed as an idea conceived as the result of a social
contract to respect the individual rights of the legal community, which is done in
the presence of a legitimate institution and has the authority, the notary.
(Santiago, 2010: 12)
Here the laws are likely to be used as a conduit of powers new to the parties
concerned, including to recognize the authority of the government (and the whole
apparatus), or as well as giving legitimacy (as notary to make the deed and etc).
172
In the behavior of the global community (in this case the Asean Economic
Community), requires legal protection to legal certainty, providing a strong
influence on patterns of legal legitimacy implemented by institutions that have
the authority (including the notary) and public law in resolving possible conflicts
of a legal event. Therefore, if the law requires the completion of a conflict, the
principle of the rule of law gives a major role to judges to escort him, including
the nature of the position to reinforce the legitimacy of the deed made on the
authority possessed Notary.
The importance of the rule of law in a country that supports economic
development, is linked to the fact the habit that the ability to build in a
developing country is in need of substantial funds from investors, which
principally sometimes absorbed in the industry, which includes many involve
aspects binding fully in support the activities of contract law became increasingly
important, in a business transaction.
"The important role which is based on contract law, caused by the legislation are
not able to pursue the changes in society which so rapidly due to development
plans. So that people will look for themselves to organize their interests, until
legislators set the new developments." (Nugroho, 1990: 23)
The existence of substantial aspects of contract law may provide the legal
regulation of business behavior that is mutually beneficial for all parties, in the
sense there is no injured party. Along with development-oriented
industrialization, that to produce a product, an indicator that requires binding
business contracts, among others; contract binding business relationships
between business entities such as the sale and purchase of stocks and securities
on capital markets especially for companies willing to go public and will conduct
Initial Public Offering (IPO), the overall need of protection and legal certainty,
guided by the Notary as a supporting institution capital market in order to gain
public legitimacy.
Thus, business contracts are getting legal protection for parties, as well as the
rights and obligations to be implemented. Contracts of business in capital
markets activities will have the force of law if according to the capital markets act
executed before notary registered in from Indonesia Capital Market Supervisory
Board (Bapepam-LK).

4. CONCLUSION

The role and function of the notary in the face of the ASEAN Economic
Community is very important. Its position as a public official, has a strategic role
and function in providing legal protection and legal certainty for business entities
requiring the legitimacy of international cooperation as well as binding and
contained in an authentic act, especially for businesses whose activities in the
capital market. In the scope of business conduct ASEAN capital markets in the
region, all business entities requiring businesses that have legitimate business
contract

Implementation of The Role of Notary Through Capital Market In The Era of


Asean Economic
Community
law, and the certainty and provide legal protection. Business contracts in
question, in the form of a deed before a notary according notary deed made their
jurisdiction, as well as the corresponding desire of the parties who want to make
173
business contracts. Based on the growth dynamics of business activities that use
capital market as a means for the Asean Economic Community, the role and
function of strategic Notaries in a deed by a business contract to be relevant and
strategic to businesses, so that contract is made in the form of a deed be legally
valid, and ensuring legal certainty and legal protection of the parties' business
entities in his capacity as a business in the capital market. Thus each business
contract in capital markets by the business must be made before a notary public
in the form of authentic act, so that it has a legitimate binding law approved at
the will of the parties.
Role and functions of notaries in capital markets activity is supporting
professional institutions at the behest of law No. 8 of 1995 concerning capital
market, intended to provide legal certainty for the businesses, which are fastened
through a business contract deed. To give an aspect of legal certainty and
fairness as well as security validation requirements in the activities of the capital
market as in the Indonesia Stock Exchange, as well as the binding of business
transactions for companies that will undertake to implement an Initial Public
Offering (IPO), institutional institutions that have public authority legitimized by
the state in terms of making a deed binding in business transactions, especially
in business transactions in the capital market institutions, the notary listed on
supporting activities in the capital market. Overall, notaries in capital market
activities contribute greatly to be able to provide certainty and legal protection for
the ASEAN Economic Community.

REFERENCES

[1] Pranjoto, Effendi, 1991, Antinomi Norma Hukum Pembatalan


Pemberian HakAtas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan
BadanPertanahan Nasional, CV. Utomo, Bandung.
[2] Faisal Santiago, 2010, Hukum Penanaman Modal, Cintya Press,
Jakarta.
[3] Faisal Santiago,2012, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta: Mitra Wacana
Media.
[4] Harahap, Yahya, 1995, Globalisasi Bisnis dan Manfaat Yurisprudensi
Tetap,News Letter No. 21/VI/Juni.
[5] Nasarudin, Irsan, 2004, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia,
PrenadaMedia, Jakarta.
[6] Nugroho, 1990, Aspek-aspek Hukum Perusahaan Multinasional,
BPHN,Jakarta.
[7] Radjaguguk, Erman, 1998, Kontrak Dagang Internasional Dalam
Praktek diIndonesia, Elips, Jakarta.
[8] Simatupang, Richart Burton, 2003, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka
Cipta, Jakarta.
[9] Soedjendro, J. Kartini, 2001, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika
Menangani Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi
Konflik, Disertasi, Program Doktor (S-3) IImu Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang.
[10] Dr. Shivakumar Deene, Prof. Satyanarayan pathi, dr. Shivakumar
deene, prof. Satyanarayan pathi , investors‟ awareness about capital
market investments: a study with special reference to karnataka statE,
International Journal of Advanced Research in Management, Volume 4,
Issue 3, September - December 2013, pp. 01-17.
174
[11] Ugwuanyi, Charles Uche (Ph.D), Impact of Capital Market on Nigerian
Economy, 19812014. International Journal of Management, 8 (3), 2017,
pp. 134–142.
[12] Dr. Shivakumar Deene and Prof. Satyanarayan Pathi, Investors
Perceptions And Preferences For Capital Market: A Study With Special
Reference To Karnataka State, Volume 5, Issue 12, December (2014),
pp. 69-78, International Journal of Management (IJM).
[13] Suara Putra, Anom, 2000, Manifestasi Hukum Kritis: Teori Hukum
Kritis,Dogmatika dan Praktik Hukum", YIIS, Jakarta.
http://www.iaeme.com/IJCIET/index.asp 1059 editor@iaeme.com

175

You might also like