You are on page 1of 18

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran IPA Terpadu

1) Pengertian Pembelajaran IPA Terpadu

Pembelajaran terpadu merujuk pada dua pengertian yaitu sebagai


berikut : a) pembelajaran terpadu sebagai bentuk aktivitas belajar mengajar
yang secara struktur sama dengan program satuan pembelajaran untuk satu
pokok bahasan/ materi pokok dalam silabus, hanya muatan materinya dan
konteksnya berbeda, yaitu berasal dari beberapa pokok bahasan untuk satu
mata pelajaran atau bahkan antar pokok bahasan dari dua atau lebih mata
pelajaran; b) pembelajaran terpadu berfungsi sebagai wadah, ajang atau
muara penyatu paduan konsep-konsep yang dikandung beberapa pokok
bahasan atau beberapa mata pelajaran yang seharusnya memiliki
keterkaitan dan keterpaduan pemahamannya.1

“Menurut Fogarty pembelajaran terpadu meliputi pembelajaran terpadu

dalam satu disiplin ilmu, terpadu antar mata pelajaran serta terpadu dalam dan

lintas peserta didik.”2

pembelajaran terpadu yang dijelaska oleeh Abdul Gofur dikatakan sebagai

pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk

memberikan pengalaman bermakna untuk siswa. Sugianto berpendapat bahwa

pembelajaran terpadu memngkinkan siswa baik secara individual maupun

kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip secara

1
Sukma, Hery. PPPPTK IPA, Kebijakan Dan Program P4TK IPA Dalam Peningkatan Mutu
pendidikan dan Teaga kependidikan IPA. (2001), h. 24.
2
Forgaty, R. The Mindful School: How To Integrate The Curicula. Palatine:IRI/Skylight
Publishing, Inc. (2017), h. 12.

12
holistik. Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba memadukan

beberapa pokok bahasan.3

Lain halnya dengan pendapat Beans dalam Sarwiji Suwandi bahwa

istilah pembelajaran terpadu berasal dari kata “integrated teaching and

learning” atau “integrated curiculum approach”. Konsep ini dikemukakan

oleh John Dewey dalam Sarwiji Suwandi sebagai usaha untuk

mengintegrasikan perkembangan dan pertumbuhan peserta didik dan

kemampuan pengetahuannya. pembelajaran terpadu merupakan suatu

pendekatan dalam proses pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan

beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran

dan memiliki beberapa ciri: “(a) berpusat pada siswa (student centered); (b)

proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung; dan (c)

pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas”.4

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang memadukan beberapa

pokok bahasan dalam satu disiplin atau antar disiplin ilmu bersifat holistik,

bermakna, dan autentik, berpusat pada peserta didik dan mengutamakan

pembelajaran melalui pengalaman langsung. Melalui pembelajaran terpadu

peserta didik akan mempelajari konsep yang diperoleh melalui pengalaman

langsung dan membedakannya dengan konsep lain yang sudah dipahami yang

sesuai dengan kebutuhan peserta didik.5


3
Abdul Gofur, peningkatan hasil belajar IPA terpadu melalui metode demonstrasi pada
siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Sano Nggoang Manggarai Barat tahun pelajaran 2017/2018. JISIP
Jurnal Ilmu Sosial & Pendidikan. 2.1, (Maret : 2018), h. 48.
4
Sarwiji Suwandi. Kurikulum Dan Pengembangan Materi Ajar. (Surakarta : Graha cv,
2006), h. 231
5
Sarwiji Suwandi. Kurikulum Dan Pengembanga..., h. 231.
2) Karakteristik Pembelajaran IPA Terpadu

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, menuliskan beberapa

karakteristik pembelajaran terpadu, antara lain:

(a) holistik, yaitu suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam
pembelajaran terpadu dikaji dari beberapa bidang studi sekaligus untuk
memahami suatu peristiwa dari beberapa sisi; (b) bermakna yaitu
keterkaitan antara konsep yang dipelajari dan diharapkan mampu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (c) aktif yaitu siswa terlibat
aktif dalam proses pembelajaran sehingga dapat memotivasi anak
dalam belajar.6

3) Landasan Filosofi Pembelajaran IPA Terpadu

Pembelajaran terpadu berlandaskan filosofi progresivisme,

kontruktivisme, Developmentally Aprropriate Practice (DAP), landasan

normatif dan landasan praktis. Progresivisme, menyatakan bahwa

pembelajaran seharusnya berlangsung secara alami dan bukan artifisial.

Pembelajaran yang berlangsung di sekolah pada umumnya tidak seperti

keadaan di atas sehingga tidak memberikan makna. Kontruktivisme,

menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan

pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna.

Berkaitan dengan hakikat belajar dan pembelajaran IPA

konstruktivisme memiliki pandangan dalam kaitannya dengan pengalaman

belajar. Pertama, belajar IPA adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman

konkret, aktivitas kolaboratif dan reflektif serta interpretasi. Kedua, mengajar

IPA adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna

serta menghargai ketidakmenentuan. Ketiga, siswa akan memiliki pemahaman

6
Depdiknas. Panduan Pengembangan Pembelajaran..., h. 82
yang berbeda terahadap lingkugan tergantung pada pengalamannya dan

perspektif yang dipakai dalam menginterprestasikannya.7

Landasan Developmentally Aprropriate Practice (DAP) memberikan

acuan bahwa pembelajaran harus disesuaikan dengan perkembangan usia dan

individu yang meliputi perkembangan kognisi, emosi, minat dan bakat.

Landasan normatif menghendaki pembelajaran terpadu dilaksanakan

beerdasarkan gambaran ideal yang ingin dicapai oleh tujuan pembelajaran.

Landasan praktis mengharapkan bahwa pembelajaran terpadu dilaksanakan

dengan memperhatikan situasi dan kondisi praktis yang berpengaruh terhadap

hasil yang optimal.

2. Literasi Sains

1) Pengertian Literasi Sains

Literasi sains (Science literacy) berasal dari kata latin yaitu literatus

yang artinya huruf, mengetahui huruf atau berpendidikan dan scientia yang

artinya memiliki pengetahuan. Secara harfiah literasi berasal dari kata literacy

yang berarti Mengetahui huruf/gerakan pemberantasan buta huruf. 8 Sedangkan

istilah sains berasal dari bahasa Inggris Science yang bearti ilmu pengetahuan.

Sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan

suatu proses penemuan. Poedjiadi mengatakan bahwa “sains merupakan

7
Slavin. R.E. teories and practice. Fourt edition massachussets : allyn and bacon
publishers. ( Educational Psychology : 2.1, 1994), h. 2-3.
8
Echols dan Shadily. Kamus bahasa inggris-indonesia Indonesia-inggris.( Jakarta :
Gramedia 1993), h. 219.
sekelompok pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh

dari pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan

keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah”.

Orang pertama yang menggunakan istilah “Scientific Literacy” adalah

Paul de Hart Hurt dari Stamford University yang menyatakan bahwa Scientific

Literacy berarti memahami sains dan mengaplikasikanya bagi kebutuhan

masyarakat. Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan

sains untuk mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan

berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan

tentang alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas

manusia.9

Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan

menulis, atau kemampuan berkomunikasi melalui tulisan dan kata-kata.

Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya

bagi kebutuhan masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa Literasi sains itu

merupakan suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan

proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu

keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal

kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi.

Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai kemampuan

menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik

kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat

9
Toharuddin, et. Al. Membangun Literasi Sains Peserta Didik, (Bandung : Humaniora,
2011). h. 88-89.
keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap

alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi

sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap

pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman

peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah,

kesadaran akan betapa sains dan teknologi membentuk lingkungan material,

intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait

sains, sebagai manusia yang reflektif.

Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan

pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau

tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan

hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum

bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada

pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis.10

Seseorang yang memiliki kemampuan literasi sains dan teknologi

adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah

dengan menggunakan konsep konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan

sesuai dengan jenjangnya, mengenal produk teknologi yang ada disekitarnya

beserta dampaknya, mampu menggunakan produk teknologi dan

memeliharanya, kreatif dalam membuat hasil teknologi yang disederhanakan

sehingga para peserta didik mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai

dan budaya masyarakat setempat.

10
OECD. PISA 2012. Assesing,Scientific, Roading, and MathemathicalLiteracy.OECD
Publishing (2006), h. 110.
Literasi sains sangat penting untuk dikuasai oleh peserta didik dalam

kaitannya dengan peserta didik itu dapat memahami lingkungan hidup,

kesehatan, ekonomi, dan masalah masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat

modern yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan, serta

perkembangan ilmu pengetahuan. Pendidikan sains bertujuan untuk

meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan peserta didik untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya dalam berbagai situasi. Dengan kompetensi itu, peserta

didik dapat mampu membangun dirinya untuk belajar lebih lanjut dan hidup

dimasyarakat yang dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi

sehingga peserta didik dapat berguna bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya.11

Pada dasarnya literasi sains meliputi dua kompetensi utama, yaitu

kompetensi belajar sepanjang hayat (lifelong education), termasuk membekali

peserta didik untuk belajar di sekolah lebih lanjut. Dan kedua adalah

kompetensi dalam menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya yang dipengaruhi oleh perkembangan sains

dan teknologi. Dari berbagai pendapat para ahli tentang literasi sains,

memberikan gambaran akan pentingnya literasi sains dimiliki oleh peserta

didik, yang mana literasi sains ini bersifat fundamental yang harus dikuasai

oleh semua pihak dalam hal ini guru, siswa dan stakeholder lainnya yang

terkait dengan pendidikan sains. Dari berbagai pemaparan tentang literasi

sains dapat disimpulkan bahwa literasi sains adalah kemampuan seseorang

dalam memahami sains dan menerapkannya dalam kehidupan sehari hari guna

memecahkan masalah-masalah yang timbul sehingga memiliki kepekaan yang


11
Toharuddin. et. all. Membangun Literasi Sains..., h. 89.
tinggi terhadap diri dan lingkungannya dalam mengambil keputusan

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sains.12

2) Dimensi Literasi Sains

Sains memiliki 3 pandangan yaitu konten (produk), proses dan

konteks. Sains sebagai konten artinya dalam sains terdapat fakta-fakta,

hukum-hukum, prinsip-prinsip dan teori-teori yang sudah diterima

kebenarnnya. Sains sebagai proses artinya bahwa sains merupakan suatu

proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan dan sains sebagai

konteks artinya aplikasi pengetahuan dan ketrampilan proses sains dalam

kehidupan nyata.13 “Hal ini senada dengan PISA yang menetapkan tiga

dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni kompetensi/proses

sains, konten/pengetahuan sains dan konteks aplikasi sains.”14

a. Aspek konteks

PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan

sains di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum

kurikulum nasional tiap negara. Penilaian PISA dibingkai dalam situasi

kehidupan umum yang lebih luas dan tidak terbatas pada kehidupan di

sekolah saja. Butir-butir soal pada penilaian PISA berfokus pada situasi

yang terkait pada diri individu, keluarga dan kelompok individu

(personal), terkait pada komunitas (sosial), serta terkait pada kehidupan


12
Toharuddin. et. all. Membangun Literasi Sains..., h. 89.
13
Firman, H, Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun 2006.
(Jakarta : Pusat Penelitian Pendidikan Balitbang Depdiknas, 2007), h. 96.
14
Bybee Dkk, Scientific Literacy And Student Attitude:Perspektif From PISA 2006
Science.”international Journal Education, 3.1, (2011), h. 7-26.
lintas negara (global). “Konteks PISA mencakup bidang-bidang aplikasi

sains dalam seting personal, sosial dan global, yaitu: (1) kesehatan; (2)

sumber daya alam; (3) mutu lingkungan; (4) bahaya; (5) perkembangan

mutakhir sains dan teknologi.”15

b. Aspek konten

Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang

diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang

dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA

tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada

pengetahuan yang menjadi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula

pengetahuan yang diperoleh melalui sumber-sumber informasi lain yang

tersedia. Kriteria pemilihan konten sains adalah sebagai berikut:

(1) relevan dengan situasi nyata, (2) merupakan pengetahuan penting


sehingga penggunaannya berjangka panjang, (3) sesuai untuk tingkat
perkembangan anak usia 15 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, maka
dipilih pengetahuan yang sesuai untuk memahami alam dan memaknai
pengalaman dalam konteks personal, sosial dan global, yang diambil dari
bidang studi biologi dan bidang ilmu pengetahuan alam lainnya.

c. Aspek kompetensi/proses

PISA memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan

warganegara masa depan, yakni warganegara yang mampu berpartisipasi

dalam masyarakat yang semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan

teknologi. Oleh karenanya pendidikan sains perlu mengembangkan

kemampuan siswa memahami hakekat sains, prosedur sains, serta

kekuatan dan limitasi sains. Siswa perlu memahami bagaimana ilmuwan


15
OECD. PISA 2012. Result In Focus What Is Years-Old Know And What They Can Do
Whith What They Knot .(2012), h. 99-100
sains mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap

fenomena alam, mengenal karakteristik utama penyelidikan ilmiah, serta

tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains. Toharudin menambahkan

bahwa proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika

peserta didik menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah,

seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti, serta menerangkan

kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat

atau tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan

dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai

dengan bukti yang ada.16

d. Aspek sikap

Untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan teknik dan sains,

tujuan utama dari pendidikan sains adalah untuk membantu siswa

mengembangkan minat siswa dalam sains dan mendukung penyelidikan

ilmiah. Sikap-sikap akan sains berperan penting dalam keputusan siswa

untuk mengembangkan pengetahuan sains lebih lanjut, mngejar karir

dalam sains, dan menggunakan konsep dan metode ilmiah dalam

kehidupan mereka. Dengan begitu, pandangan PISA akan kemampuan

sains tidak hanya kecakapan dalam sains, juga bagaimana sifat mereka

akan sains. Kemampuan sains seseorang di dalamnya memuat sikap-sikap

tertentu, seperti kepercayaan, termotivasi, pemahaman diri, dan nilai-nilai.


16
Toharudin, Membangun Literasi Sains..., h. 112
3. Model Pembelajaran STM

1) Pengertian Model Pebelajaran STM

Model pembelajaran STM merupakan pendekatan terpadu antara sains

teknologi dan isu yang ada di masyarakat, diharapkan siswa mendapatkan

pengetahuan baru yang dapat diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ada pula yang mengemukakan beberapa penepat mengenai


pembelajaran dengan model STM diantaranya yakni John Lochhead
dan Robert E. Yager dalam Toharudin mengemukakan bahwa
pembelajaran dengan model STM di dalamnya mengandung unsur
pembelajaran konstruktivisme (kontruktivismelah yang mendasari
strategi pembelajaran STM), dimana siswa dituntut untuk membangun
suatu konsep atau pengertian berdasarkan perspektif mereka yang
diperoleh dari pengalaman orang lain yang dihubungkan dengan
pengalaman pribadi siswa itu sendiri sehingga konsep tersebut dapat
lebih mudah dimengerti oleh siswa.17

konstruktivisme adalah bahwa siswa tidak bisa belajar secara pasif

menyerap atau menyalin pemahaman orang lain. Sebaliknya semua siswa

harus membangun pemahaman mereka sendiri, pemahaman tersebut

diorganisasi oleh dan terkait dengan pengetahuan yang telah ada yang

dibentuk secara individual oleh setiap orang berdasarkan pengalaman masa

lalunya. Konsep lama hanya dapat dipindahkan ketika pelajar terlibat dalam

situasi masalah di mana makna yang dibangun oleh sendiri mereka tidak

memadai. Interaksi sosial dalam bentuk diskusi, perdebatan, dan argumen

memainkan peran penting dalam menantang kecukupan konsep lama. Model

pembelajaran STM juga dapat melatih kepedulian siswa terhadap lingkungan

di sekitarnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Anna, bahwa tujuan model

pembelajaran STM adalah untuk membentuk individu yang memiliki literasi


17
Toharuddin. et. all. Membangun Literasi Sains..., h. 112.
sains dan teknologi serta memiliki kepedulian terhadap masalah masyarakat

dan lingkungannya.18

2) Karakteristik Model Pembelajaran STM

Melihat dasar pijakan pengembangan model pembelajaran STM

tersebut, maka tidak berlebihan kiranya jika pendekatan STM dalam

pembelajaran IPA layak dimunculkan sebagai upaya peningkatan life skills

peserta didik. Selain itu, aspek sikap ilmiah sebagai domain keempat dalam

literasi sains dan teknologi juga memiliki keterkaitan dengan model

pembelajaran STM yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,

pembelajaran IPA dengan menggunakan model STM dapat mengeksplorasi

rasa ingin tahu siswa terhadap isu sains dan teknologi yang ada di lingkungan

melalui tahap penggalian isu-isu sains dan teknologi. Kedua, pada tahap

eksperimen siswa juga diarahkan untuk melaporkan apa yang terjadi secara

aktual, menyangsikan dan mengecek bagian–bagian fakta yang tidak cocok

dengan penemuan lain, serta meragukan 11 kesimpulan atau interpretasi

berdasarkan bukti-bukti yang belum cukup, dimana semua itu merupakan

indikator respek terhadap fakta atau bukti pada aspek sikap ilmiah. Ketiga,

siswa juga diarahkan untuk siap mengubah pandangan ketika ada bukti-bukti

meyakinkan yang bertentangan dengan pandangan semula sekaligus lebih

kritis untuk menentang cara-cara investigasi atau hasil interpretasi yang

menyimpang pada saat tahap analisis, sintesis, evaluasi, dan mengkreasikan

data pada pelaksanaan model pembelajaran STM.

18
Gusfarenie, Dwi. "Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
(STM)." EDU_BIO| Jurnal Pendidikan Biologi, 4. (2013), h. 79.
Hasil penelitian Harms dan Yager dalam Iskandar menunjukkan bahwa

pembelajaran sains dengan pendekatan STM dapat memenuhi kebutuhan

pribadi siswa, dapat dipakai untuk memecahkan masalah dalam masyarakat,

dan dapat meningkatkan wawasan siswa tentang karir.

NSTA mengemukakan bahwa program STM memiliki


karakteristik sebagai berikut :
1. Siswa mengidentifikasi masalah-masalah dengan dampak dan
ketertarikan setempat.
2. Menggunakan sumber daya setempat (seperti manusia, benda,
lingkungan) untuk mengumpulkan informasi yang digunakan dalam
memecahkan masalah.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat
diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Merupakan kelanjutan dari pembelajaran di kelas dan di sekolah.
5. Fokus kepada dampak sains dan teknologi terhadap siswa.
6. Suatu pandangan bahwa isi sains tersebut lebih dari pada konsep-
konsep yang harus dikuasai siswa dalam tes.
7. Penekanan pada keterampilan proses, dimana siswa dapat
menggunakannya dalam memecahkan masalah mereka.
8. Penekanan pada kesadaran berkarir, khususnya pada karir yang
berhubungan dengan sains dan teknologi.
9. Kesempatan bagi siswa untuk berperan sebagai warga negara, dimana
ia mencoba untuk memecahkan yang telah diidentifikasi.
10. Mengidentifikasi bagaimana sains dan teknologi berdampak di masa
depan.
11. Kebebasan dalam proses pembelajaran (sebagaimana masalahmasalah
individu yang telah diidentifikasi).19

3) Fase–Fase Model Pembelajaran STM

Model pembelajaran STM dengan landasan konstruktivisme melalui

empat fase pembelajaran yaitu invitasi (invitation), eksplorasi (Exploration),

eksplanasi (explanation) dan aksi (action) atau aplikasi (aplication). Aktivitas

pembelajaran pada masing-masing fase tersebut adalah sebagai berikut :

19
Poedjiadi Anna. Sains Teknologi Masyarakat, Model Pembelajaran Kontekstual
Bermuatan Nilai. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005). h. 87
a. Fase invitasi

Pada fase ini guru mengajak siswa untuk mengungkapkan hal-hal

yang ingin diketahui dari fenomena alam yang ada dan terkait dengan isu-isu

sains di lingkungan sosial (dalam kehidupan seharihari) mereka. Siswa

dibangkitkan untuk berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mencatat

kejadian-kejadian sehari-hari yang tidak sejalan dengan sains. Dari semua itu

guru mengidentifikasi perbedaan-perbedaan persepsi dan espektasi siswa, dan

kemudian secara jeli memformulasikannya dalam suatu topik pembelajaran.

Atau paling tidak mengaitkannya dengan pokok bahasan yang relevan yang

terdapat dalam kurikulum sains.

b. Fase eksplorasi

Pada fase ini guru memfasilitasi siswa untuk melakukan aktivitas

dalam rangka memecahkan masalah yang telah diformulasikan pada fase

invitasi. Untuk itu siswa dibimbing dalam hal urun pendapat, mencari

informasi, bereksperimen, mengobservasi, mengumpulkan dan menganalisis

data, hingga merumuskan kesimpulan. Dalam hal ini guru dituntut untuk

terampil menciptakan kegiatan saintis yang layak dengan tingkat

perkembangan intelektual siswa.

c. Fase eksplanasi

Pada fase ini peran guru agak berbeda dengan perannya pada dua fase

sebelumnya. Pada fase ini peran guru lebih dominan. Guru mengelaborasi

hasil kegiatan siswa pada fase invitasi dan eksplorasi. Untuk itu, sambil tetap

mengaktifkan siswa, guru mengkomunikasikan informasi, ide-ide, konsep-


konsep, dan penjelasan baru untuk mengintegrasikan pemecahan masalah

berdasarkan pengetahuan atau teori ilmiah yang berlaku.

d. Fase aksi atau aplikasi

Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk mengaplikasikan

pengetahuan dan keterampilan kedalam masalah baru yang relevan. Pada fase

ini juga hasil belajar pada ranah koneksi dikembangkan. Siswa dibimbing

untuk mampu mentransfer pengetahuan dan keterampilan sains ke dalam

aspek-aspek yang terdapat pada disiplin ilmu dan realitas yang lain. 20

B. Penelitian Relevan

Sepanjang pengetahuan peneliti, telah ada beberapa penelitian yang telah

dilakukan terkait dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, dan adapun

beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dapat

dilihat pada Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 Hasil Penelitian Relevan


Hasil Penelitian
no Perbedaan Persamaan
Relevan
1 Siti Muhajir dan Eli Adapun perbedaannya Adapun persamaannya
Rohaeti (2015) dalam adalah Siti Muhajir dan adalah, Siti Muhajir, Eli
penelitiannya tentang Eli Rohaeti meneliti Rohaeti dan penulis sama-
“Perbedaan perbedaan model sama meneliti keefektifan
PenerapanModel Pemebelajaran STS Dan mpdel pembelajaran STM
Pembelajaran CTL terhadap literasi terhadap kemampuan
STS dan CTL sains dan prestasi belajar literasi sains siswa, dan
Terhadap Literasi IPA, sedangkan peneliti hasil penelitiannya sama-
Sains dan Prestasi meneliti pengaruh sama membuktikan bahwa
Belajar IPA” 21 model pembelajaran model pembelajaran
20
Gusfarenie, Dwi. "Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
(STM)." EDU_BIO| Jurnal Pendidikan Biologi. 4, (2013).
21
Siti Muhajir dan Eli Rohaeti. Perbedaan penerapan model pembelajaran STS dan CTL
terhadap literasi sains dan prestasi belajar IPA. Jurnal pendidikan matematika dan sains Thn III.
STM dalam STM/STS lebih baik
meningkatkan dalam meningkatkan
kemampuan literasi kemampuan literasi sains
sains siswa

Galuh Rahayuni Adapun perbedaannya Adapun persamaannya


(2016) dalam adalah Galuh Rahayuni adalah, Galuh Rahayuni
penelitiannya tentang meneliti hubungan dan penulis sama-sama
“Hubungan Keterampilan berpikir meneliti keefektifan
Keterampilan kritis dan literasi sain model pembelajaran STM
Berpikir Kritis Dan menggunakan model terhadap kemampuan
Literasi Sains Pada pembelajaran PBM dan literasi sains siswa, dan
Pembelajaran IPA STM, sedangkan penulis hasil penelitiannya sama-
Terpadu Dengan meneliti pengaruh sama membuktikan bahwa
2 Model PBM Dan model pembelajaran model pembelajaran STM
STM.” 22 STM dalam lebih baik dalam
meningkatkan meningkatkan literasi
kemampuan literasi sains siswa.
sains siswa tanpa
menggunakan variabel
keterampilan berfikir
kritis dan model
pembelajaran PBM.

D. Agustini dkk Adapun perbedaannya D Adapun persamaannya


(2013) dalam Agustini meneliti adalah D Agustini dan
penelitiannya tentang pengaruh model penulis sama-sama
“Pengaruh Model pembelajaran STM menggunakan model
Pembelajaran Sains terhadap penguasaan pembelajaran STM untuk
Teknologi materi dan keterampilan mengetahui keefektifan
Masyarakat (STM) pemecahan masalah model pembelajaran
3 Terhadap pada pelajaran IPA, tersebut dalam
Penguasaan Materi sedangkan penulis penelitiannya.
Dan Keterampilan meneliti pengaruh
Pemecahan Masalah model pembelajaran
Siswa Pada Mata STM dalam
Pelajaran IPA di meningkatkan
MTsN Patas.” 23 kemampuan literasi
sains siswa
2, (2015).
22
Galuh Rahayuni. Hubungan Ketermpilan Berpikir Kritis dan Literasi Sains Pada
Pembelajaran IPA Terpadu Dengan Model PBM dan STM.” Jurnal penelitian dan pembelajaran
IPA. Vol. 2, No. 2 (2016)
23
D. Agustin, dkk. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM)
Terhadap Penguasaan MateriDan Keterampilan Pemecahan Masalah Siswa Pada Mata
Pelajaran IPA di MTS. Negeri Patas.” Jurnal Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Vol.
3 (2013)
Dari beberapa penelitian yang dikemukakan diatas, ada aspek-aspek

tertentu yang memiliki kesamaan dalam penelitian ini yaitu terletak pada bidang

kajiannya yang membahas tentang model pembelajaran STM dan literasi sains.

Namun persamaan tersebut tidak menyangkut substansi yang diteliti karena

rumusan masalah yang diteliti dalam proposal penelitian ini berbeda dengan

rumusan masalah yang ada dalam peneltian sebelumnya.

C. Kerangka Berpikir

Pembelajaran ilmu pengetahuan alam hendaknya didesain dengan model

pembelajaran yang dapat menarik minat siswa untuk belajar. Dengan metode yang

biasa-biasa saja tentunya siswa akan merasa bosan , sehingga hasil belajar dan

literasi sains siswa akan rendah. Oleh karena itu, didalam penelitian ini peneliti

ingin membuktikan bahwa ada pengaruh model pembelajaran STM dalam

meningkatkan literasi sains siswa, setelah melaksanakan model pembelajaran

tersebut.

Adapun gambaran singkat terkait kerangka berpikir penulis dalam

proposal penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut:


Gambar 2.1 Kerangka Berpikir.

You might also like