You are on page 1of 15

EKSISTENSI MANUSIA SEBAGAI MAHLUK YANG BEBAS

Di Susun Oleh :

....................
....................
....................
....................
....................
....................

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
A. Pendahuluan
Aliran Eksistensialisme berkembang sesudah perang Dunia I, sebagai
suatu gerakan dalam sebuah pemikiran yang menonjolkan subjektivitas dan
kebebasan manusia di seluruh Dunia termasuk Indonesia. Aliran pemikiran ini
mampu mempengaruhi masyarakat dalam bersosial, sehingga dapat
menimbulkan gaya hidup.1 Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh
situasi Dunia pada umumnya. Tingkah laku manusia telah menimbulkan
rasa muak atau mual, penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi, yang
merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu, yang disebut dengan konvensi
atau tradisi. Masnusia beroura–pura dan kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sedang mengalami krisis.
Pengakuan atas ‘keberadaan’ manusia sebagai subyek yang bereksistensi
terletak pada kesadaran yang langsung dan subyektif, yang tidak dapat dimuat
dalam sistem atau dalam suatu abstraksi. Tidak ada pengetahuan yang terpisah
dari subyek yang mengetahui. Itulah sebabnya, kaum eksistensialis sangat
percaya bahwa kebenaran adalah pengalaman subyektif tentang hidup, yang
konsekuensi logisnya menentang segala bentuk obyektivitas dan impersonalitas
mengenai manusia.
Tidak berlebihan bila kelompok eksistensialis membedakan antara
eksistensi dan esensi, sesuatu yang selalu menjadi perbincangan menarik para
filsuf. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan
waktu; dan bereksistensi yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi
dan merencanakan.2 Sedangkan esensi merupakan sesuatu yang membedakan
antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang
menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum
oleh bermacam-macam benda. Yang pertama adalah esensi baru kemudian
muncul eksistensi. Asumsi ini ditolak oleh kaum eksistensialis, utamanya Sartre
1
Tambunan, S. P. Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh : Filsafat Eksistensialisme
Sartre. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 2016, Hlm. 215-232.
2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 187.
yang justru mengatakan bahwa ‘eksistensi sebelum esensi’ atau eksistensi
mendahului esensi.
Sejak munculnya dua aliran modern, maka persoalan filsafat menjadi
sangat luas perkembangannya dan munculah aliran-aliran filsafat lainnya seperti
Positivisme, Neo-Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Fenomenologi,
Eksistenisalisme, filsafat analitik dan lain-lain. 3 Memasuki pemikiran sejarah
filsafat barat selanjutnya setelah muncul pemikiran fenomenologi maka aliran
eksistensialisme yang menonjol pada abad ke 19-20 M. Aliran Eksistensialisme
ini muncul sebagai gerakan protes dalam filsafat modern yakni aliran ini
berontak terhadap beberapa sifat filsafat tradisional dan perilaku masyarakat
modern. Inti dalam pemikiran filsafat Eksistensialisme adalah membedakan
keberadaan manusia dengan keberadaan benda, jadi bisa dikatakan bahwa benda
itu “berada” sedangkan manusia “bereksistensi”.4
Filsafat sangat berkaitan dengan kehidupan manusia. Ia membahas
bagaimana cara menjalani hidup sebagai manusia di alam semesta ini dengan
pelbagai masalah yang ada, realita hidup manusia seperti penderitaan,
kebahagiaan, keputusasaan, dan nilai–nilai hidup dipertajam oleh filsafat. 5
Filsafat serta aliran–aliran filsafat lahir atas desakan hidup dan permasalahan
manusia, seperti halnya aliran filsafat eksistensialisme Sartre, yang lahir atas
ketertekanan dan kebebasan manusia yang tertahan pada saat WW II.
Kebebasan manusia pada saat ini seperti tertahan dan tertekan oleh
manusia dan keadaan itu sendiri, sehingga manusia tidak memahami esensi
dirinya sendiri, dikarenakan oleh tertahan eksistensinya sendiri, sebelum manusia
mengetahui akan esensi yang ada dalam dirinya sendiri, setidaknya ia harus eksis
terlebih dahulu, sehingga esensi tersebut hadir dengan sendirinya.

3
Save M. Dagun, Filsafat Eksistenisalisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 5.
4
Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hlm. 148
5
Sandur, K. d. (2021). Filsafat Eksistensialisme: Sebuah Pilihan Kemungkinan Hidup yang
Sejati. Shopia Dharma, 72 - 89.
Dalam dunia filsafat pun memiliki pandangan tersendiri tentang konsep
kehendak bebas. Konsep kehendak bebas sudah dipelopori oleh para filsuf
Yunani kuno hingga sampai dengan saat ini. Kehendak bebas adalah suatu daya
atau kekuatan manusia untuk bertindak melalui akal budi manusia untuk
melakukan segala hal. Hal yang dipertimbangkan adalah mengenai akal budi
manusia jadi kehendak bebas merupakan daya atau kekuatan. Karena yang
dimiliki adalah suatu pikiran untuk mempertimbangkan sesuatu.6
Fungsinya adalah pilihan, kita dapat mengatakan bahwa kita memiliki
kehendak bebas karena kita dapat menginginkan sesuatu dan menolak yang lain.
Hal ini tentu saja berkaitan dengan pilihan hidup. Kita dapat memilih untuk
tinggal di rumah atau pergi. Kita dapat memilih untuk menjadi seorang pekerja
bangunan atau menjadi seorang profesor. Oleh karena itu ini adalah suatu hal
yang ada dalam diri manusia. Suatu kodrat ada untuk menentukan suatu pilihan.
Bagi Hendry Begrson seseorang dapat melakukan tindakan secara bebas,
karena ia memiliki naluri dalam dirinya, dan naluri yang mendorong untuk
bertindak berdasarkan kebebasan. Hakikat kesadaran manusia menjadi kunci
untuk mencapai kebebasan. Kesadaran ini tidak ditemukan dalam pikiran atau
intelek, melainkan pada intuisi. Bagi Bergson, intuisi adalah naluri yang menjadi
terpengaruh, sadar diri, mampu merenungkan objeknya dan memperluasnya
secara tak terbatas. Pikiran atau intelek lebih pada bentuk kontemplatif murni, di
mana intelek cenderung membagi pengalaman, yang melampaui ruang spasial,
dalam bentuk ruang spasial. Karena intelek berkaitan dengan ruang sedangkan
intuisi berkaitan dengan waktu.7
Maka Pemilihan tema konsep kehendak bebas dalam tulisan ini
dilatarbelakangi oleh ketertarikan penyusun atas fenomena tindakan manusia.
Setiap tindakan manusia memiliki motif tersendiri. Dengan memahami konsep

6
Fredrik Copleston, Philosophy St. Agustin, Doubleday Dell Pulblishing Group, New York,
1993, hlm. 93.
7
Hendry Bergson, Time And Free Will An Easi On The Immediate Of Consciousness, Doble
Publications inc, New York, 1913, hlm. 7.
kehendak bebas diharapkan setiap manusia dalam bertindak, sungguh-sungguh
mampu mencerminkan kehendak bebasnya. Tindakan yang didasari dengan
kehendak bebas adalah tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindakan
manusia menjadi unsur terpenting dari moralitas. Dengan mengetahui motivasi
tindakan manusia penilaian moral atas tindakan tersebut dapat ditentukan dengan
mudah,
Berdasarkan pemaparan di atas, artikel ini berusaha menyusun formula
penelitian yaitu dengan rumusan masalah penelitian ini yaitu terdapat kebebasan
individu dalam tinajauan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Pertanyaan
utama penelitian ini ialah bagaimana kebebasan individu dalam tinjauan filsafat
eksistensialisme Jean Paul Sartre. Tujuan penelitian ini ialah membahas
kebebasan individu dalam tinajauan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre.
B. Tinjauan Pustaka
1. Makna Kebebasan Manusia
Sartre mengatakan ”aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada
batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita
tidak bebas untuk berhenti bebas”.8 Melihat pernyataan di atas bahwa
kebebasan menjadi tema sangat penting dalam bangunan filsafat Sartre.
Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre banyak menganalisis
kebebasan dan cara berada manusia untuk menemukan kebebasan.9
Sartre melihat bahwa, kesadaran kita bukanlah kesadaran ‘akan’
dirinya melainkan kesadaran diri. Di dalam kesadaran diri selalu ada jarak
antara kesadaran dan diri, jarak yang senantiasa ada ini oleh Sartre di sebut
‘ketiadaan’ yang membuat kita dari dalam diri sendiri ke untuk diri sendiri.
Kesadaran tidak boleh dipandang sebagai hal berdiri sendiri, sebab kesadaran
hanya ditemukan pada orang yang berbuat, mencari tempat dimana ia dapat

8
T.Z Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi Iswanto dan
Deddy Andrian Utama, Jendela, Yogyakarta, 2002, hlm. 450
9
JP. Sartre, Being and Nothingness, Penerjemah, Hazel E. Barnes, The Philosophical, New
York, 1956, hlm. 37.
berdiri. Ia berusaha untuk dapat “berada-dalam-diri”, akan tetapi hal itu tidak
mungkin, karena tidak mungkin makhluk yang “beradauntuk-diri” berubah
menjadi “berada-dalam-diri”. Oleh karena itu manusia merasa terhukum
kepada kebebasan. Ia terpaksa terus menerus berbuat.
Dalam keadaan yang demikian manusia berusaha untuk membebaskan
diri dari kecemasan dengan mencoba menghindari kebebasannya. 10 Kebebasan
adalah esensi manusia, biasanya manusia yang bebas selalu menciptakan
dirinya. Manusia yang bebas dapat mengatur, memilih dan dapat memberi
makna pada realitas. Bagi manusia, eksistensi memiliki makna keterbukaan,
berbeda dengan benda lain yang keberadaannya sekaligus esensinya. Bagi
manusia, eksistensi mendahului esensi. Dalam kata-kata Sartre “man is
nothing else but what he makes of himself”. 11 Inilah asas paling esensial dalam
filsafat eksistensialisme, yang disebut oleh Sartre sebagai ‘subjektivitas’.
Eksistensi manusia selalu memiliki kebebasan sejauh tindakannya
mendatangkan manfaat bagi eksistensi hidupnya. Manusia harus selalu siap
bereskistensi dan mengisi nilai sendiri bagi eksistensi hidupnya. Dengan
demikian manusia harus sadar, bahwa kematian setiap saat siap merenggut
eksistensi hidupnya. Hal semacam ini cukup dijadikan bukti bahwa manusia
tidak memiliki kemampuan apa-apa.12
Bagi Sartre kecemasan disebabkan karena manusia terhanyut oleh
urusan sehari-hari. Kemungkinan seperti itu tidak menjadi obyek refleksi,
tetapi manusia merealisasikan secara pra-refleksi, meskipun ia sadar bahwa
segala tingkah laku seluruhnya bergantung pada dirinya sendiri. Bahwa ia
sendiri satu-satunya sumber segala nilai dan makna. Oleh karena itu
kemerdekaan manusia untuk membentuk dirinya sendiri tanpa bantuan dari
luar akan berimplikasi pada ‘penolakan’ dirinya terhadap adanya Tuhan.13
2. Aliran Dalam Eksistensialisme
10
Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 134.
11
Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992, hlm. 134.
12
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm. 320.
Karena banyaknya para pemikir yang berbeda dalam mendefinisikan
tentang eksistensialisme ini, tentunya muncul pula beragam varian-varian
serta bentuk-bentuk pemikiran dalam aliran ini. Ada yang melihat
eksistensialisme dari sudut fungsinya, yakni penggunaan konsepkonsep
eksistensialistik sebagai model suatu pemikiran. Dari sudut fungsinya ini,
eksistensialisme dibedakan menjadi dua. Eksistensialisme metodis dan
eksistensialisme ideologis.14 Eksistensialisme metodis adalah bentuk
pemikiran yang menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia,
seperti ; pengalaman personal, sejarah situasi individu, kebebasan, sebagai alat
atau sarana untuk membahas tema-tema khusus dalam kehidupan manusia.15
Sedangkan eksistensialsme ideologis merupakan kebalikannya.
Dengan arti suatu bentuk pemikiraneksistensialisme yang menempatkan
kategoi-kategori atau konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia sebagai
satu-satunya ukuran yang sahih dalam membahas setiap problema hidup dan
kehidupan manusia pada umumnya. Jenis eksistensialisme ini berusaha
mengabsolutkan seluruh kategori-kategori eksistensi manusia sebagai
satusatunya kebenaran.16
Sepanjang sejarah manusia, dunia yang ditandai oleh relasi Aku-
Engkau semakin menciut dan relasi Aku-Itu semakin dominan. Semakin
berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi membuat relasi Aku-Engkau
semakin terkikis bahkan tekadang bisa hilang sama sekali. Manusia yang
sudah terkikis relasi Aku-Engkau inilah yang di sebut oleh Herbet Marcuse
dengan korban perbudakan mekanik modernitas.17

13
Martin, O.P., Vincent., Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, Penerjemah,
Taufiqurrohman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 34.
14
Loekisno Choiil Warsito, Paham Ketuhanan Modern : Sejarah dan Pokok-Pokok
Ajarannya, Penebit eLKAF, Surabaya, 2003, hlm.102
15
Ibid.
16
Ibid.
17
K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX, PT.Gramedia, Jakarta, 1981, hlm.164
Dalam filsafatnya, Sartre menyatakan dengan tegas bahwa manusia
modern harus menghadapi fakta bahwa Tuhan tidak ada. Dunia dan benda-
benda yang membentuknya adalah benda-benda yang ada tanpa suatu alasan
ataupun tujuan apapun. Tidak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, mereka
sekedar ada.18 Sartre mengajarkan bahwa manusia berbeda dari mahlkuk yang
lain karena kebebasannya.. Dunia di bawah manusia hanya sekedar ada,
disesuaikan, diberikan, sedangkan manusia menciptakan dirinya sendiri dalam
pengertian bahwa ia menciptakan hakikat keberadaannya sendiri. Mnusia ada
pertama kali sebagai benda kemudian menjadi manusia sejati ketika ia secara
bebas memilih moralitas yang diinginkannya. Dengan kebebasan untuk
menentukan menjadi manusia seperti ini atau itu, dengan kebebasan memilih
bagi dirinya sendii benda-benda maupun nilai-nilai untuk dirinya sendiri : ia
menciptakan dirinya sendiri.
Dalam memilih untuk dirinya sendiri, tiap-tiap manusia mengalami
suatu perasaam bebas yang memuakkan karena tidak ada ukuran yang diikuti,
tidak ada petunjuk yang membantu. Setiap orang adalah miliknya sendiri, ia
bebas sekaligus sedih. Ada juga rasa takut atas keputusasaan yang menyertai
karena setelah seseoranmg menentukan pilihannya, ada banyak kemungkinan
yang tidak bisa ia kontrol, banyak kemungkinan kejadian yang tidak dapat
diramalkannya sehingga ia tidak dapat meramalkan hasilnya. Karena itulah
Sartre mengingatkan bahwa kita harus berbuat tanpa berharap.
Jadi, sebagaimana dikatakan Sartre, hakekat manusia adalah memilih.
Bahkan bila ia tidak memilihpun itu juga adalah pilihannya. Oleh karena itu ia
bertanggung jawab atas pilihannya, atas semua yang ia lakukan. Ia dengan
bebas membuat dirinya sendiri menjadi manusia apa adanya dan dengan bebas
pula menerima semua kesalahan semua manusia bila ia memutuskan untuk
hidup bersama mereka.

18
JP. Sartre, Op.Cit., hlm. 56
Eksistensi manusia sekali lagi diidentikkan dengan pilihannya, dengan
keputusan dan kebebasan. Karena tanggung jawab yang menyeluruh dalam
kebebasan ini, eksistensi lebih banyak digambarkan dengan istilah-istilah rasa
takut, kesedihan yang mendalam dan diabaikan. Turut mewarnai semua
analisa filsafat adalah kesadaran hidup tentang yang absurd. Istilah-istilah ini
kemudian sama dengan yang dipakai oleh Kierkegaard hanya artinya
bertentangan dengan segala sesuatu yang diyakini orang-orang Denmark
sebagai yang pasti dan suci.
C. Pembahasan
Pemikiran tentang hakikat manusia, sejak zaman dahulu sampai zaman
modern ini juga belum berakhir dan tak akan berakhir. Ternyata orang
menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang, ilmu yang menyelidiki dan
memandang manusia dari sudut pandang budaya disebut dengan Antropologi
budaya. Sedang yang memandang dari segi adanya atau dari segi hakikatnya
disebut antropologi filsafat, memikirkan dan membicarakan mengenai hakikat
manusia inilah yang menyebabkan orang tidak henti-hentinya berusaha mencari
jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia
yaitu apa, darimana dan kemana manusia itu nantinya.
Eksistensilisme atau eksistensi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris
“existence”atau bahasa latin “existere” yang memiliki arti muncul, ada, timbul,
dan memiliki keberadaan aktual, pecahan dari kata “ex” keluar dan “sistere”
yang berarti muncul atau tampil. Makna eksistensi secara rinci bisa diartikan
dengan beberapa makna, diantaranya : 1) Sesuatu yang ada, 2) Sesuatu yang
memiliki aktualitas (ada), 3) Apa saja yang dialami , yang menekankan bahwa
sesuatu itu ada. Berbeda halnya dengan esensi, yang menekankan ke-apaan
sesuatu ( apa sebenarnya sesuatu itu sesuai dengan kodrat inherennya) dan 4)
eksistensi (esse) adalah kesempurnaan. Dengan kesempurnaan ini sesuatu
menjadi suatu eksisten.
Dalam kajian filsafat, eksistensialisme merupakan sebuah gerakan filsafat
yang menjadi penentang esensialisme. Pusat perhatian aliran filsafat
eksistensialisme adalah situasi manusia. Eksistensialisme adalah filsafat yang
memandang segala gejala dengan bersandar pada eksistensi. Pandangan aliran
filsafat ini relatif modern, walaupun akar-akar sejarahnya sudah ada sejak filsafat
Yunani dan filsafat abad pertengahan. Filsafat eksistensialisme memiliki
pandangan yang menyatakan bahwa eksistensi bukanlah objek dari berpikir
abstrak atau pengalaman kognitif (akal pikiran). Tetapi, merupakan eksistensi
atau pengalaman langsung yang bersifat pribadi dan berada dalam batin individu.
Sartre menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi.19
Pada saat ini, aliran filsafat eksistensialisme ini mempunyai kedudukan
yng utama, mempunyai pengaruh yang sangat besar, sehingga menjadi
perbincangan banyak orang. Sedangkan, untuk menjelaskan dan menyatakan
tentang eksistensialisme itu bukan suatu hal yang mudah, karena terdapat
bermacam – macam aliran dalam filsafat eksistensialisme ini. Namun demikian,
dapat diketahui ciri-ciri umum yang dimiliki oleh aliran filsafat ini, yaitu: 1)
Manusia dapat dinilai dan ditempatkan pada kenyatan sesungguhnya sebagai
yang ada (eksis). 2) Manusia harus berhubungan dengan dunia yang ada. 3)
Manusia merupakan satu kesatuan sebelum terpisah antara badan dan jiwa. 4)
Manusia berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.
Jika dipahami secara mendalam ciri–ciri umum pada aliran ini, maka
aliran ini bukanlah termasuk pada aliran filsafat manusia, tapi aliran filsafat ini
memiliki tujuan untuk memami seluruh realitas. Untuk memahami secara sadar,
apa sebenarnya mengetahui sesuatu itu, maka orang harus mengetahui lebih dulu
manusia yang benar-benar ada itu.20 Konsep Sartre tentang eksistensi manusia
terkait dengan pandanganya tentang ada dan berada (being and doing). Untuk
menunjukkan Ada dan Berada, Sartre menciptakan Istilah L’etre-en-soi (being-

19
Bagus, L. Kamus Filsafat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2005, hlm. 35
20
Suhartono, S. Dasar- dasar Filsafat. Ar-ruzz Media, Yogyakarta, 2020, hlm. 135
in-it self/berada-dalam-diri) dan L’etre-pour-soi (being-for-it self/berada- untuk-
diri). Yang dimaksud dengan berada-dalam-diri adalah semacam berada an sich,
berada dalam dirinya, berada itu sendiri. Filsafat berpangkal dari realitas yang
ada, sebab realitas yang ada itulah yang kita hadapi, kita tangkap, kita mengerti.
Ada banyak yang berada; pohon, batu, binatang, manusia dan sebagainya.
Semuanya itu berbeda-beda, banyak ragamnya, akan tetapi ada sebutan umum
bagi semua itu, yaitu semua itu “ada” atau “berada”. Berada mewujudkan ciri
segala benda jasmaniah, segala materi. Semua benda ada-dalam-diri atau ada-
dalam-dirinya-sendiri. Tidak ada alasan atau dasar mengapa benda-benda itu
berada begitu (apa sebab meja itu meja, dan bukan kursi, serta bukan tempat
tidur, tiada alasannya). Segala yang berada-dalam-diri ini tidak aktif, tetapi juga
tidak pasif, tidak mengiyakan tetapi juga tidak menyangkal. Semuanya dikatakan
padat, beku, tertutup. Yang satu lepas dari yang lain, tanpa saling berhubungan.
‘Etre-en-soi mentaati prinsip identitas (it is what it is). Benda-benda tidak
memiliki hubungan dengan keberadaannya. Meja itu ada, meja itu warnanya
demikian, titik. Kita dapat mengatakan bahwa meja bertanggungjawab atas fakta
bahwa ia adalah meja, bahwa warnanya demikian dan sebagainya.
L etre pour soi (berada untuk dirinya) bermakna berada dengan sadar
akan dirinya, yaitu cara berada manusia. L etre pour soi tidak mentaati prinsip
identitas seperti halnya etre en soi, manusia memiliki hubungan dengan
keberadaannya, ia bertanggung jawab atas fakta, berbeda dengan benda–benda,
sebab benda hanyalah benda, tetapi berbeda dengan manusia, karena manusia
memiliki kesadaran, yaitu kesadaran reflektif dan kesadaran pra reflektif.21
Sartre melihat kesadaran manusia bukan kesadaran akan dirinya, tetapi
kesadaran diri. Di dalam kesadaran diri selalu ada jarak antara kesadaran dan
diri, jarak yang senantiasa ini menurut sartre disebut “ ketiadaan” yang membuat
kita dari en soi (dalam diri sendiri) ke pour soi (untuk diri sendiri). Kesadaran

21
M . Yunus, F., Kebebasan dalam Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Jurnal al-Ulum, 2011,
hlm. 267-282.
tiak boleh dipandang sebagai hal yang berdiri sendiri, sebab kesadran hanya
ditemukan pada orang yang berbuat, mencari tempat di mana ia dapat berdiri.
Manusia berusaha untuk dapat “berada-dalam-diri”, akan tetatpi, hal itu tidak
mungkin, karena tidak mungkin mahluk “yang berada untuk diri sendiri” menjadi
“berada dalam diri”. Oleh karenanya, manusia merasa terhukum kepada
kebebasan. Ia terpaksa terus menerrus berbuat.
Dalam keadaan seperti itu, manusia mencoba membebaskan diri dari
kecemasannya dengan mencoba menghindari dari kebebasannya. Kebebasan
merupakan esensi manusia, biasanya manusia yang bebas selalu menciptakan
dirinya, manusia yang bebas dapat mengatur, memilih, dan dapat memberi
makna pada realitas. Eksistensi manusia selalu memiliki kebebasan sejauh
tindakannya dapat membuahkan manfaat bagi eksistensi hidupnya.
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan untuk bebas. Bebas dalam
segi apapun. Setiap manusia mempunyai hak untuk bebas berbuat apapun. Tentu
kebebasan tersebut akan menimbulkan dampak terhadap dirinya. Entah
berdampak baik ataupun buruk. Tergantung hal kebebasan apa yang ia buat. Di
sisi lain, manusia dalam keadaan sendirian mengalami kecemasan dan kesedihan.
Manusia takut akan ketiadaan dan maut yang menunggunya. Bahkan orang lain
adalah musuh yang tidak menghiraukan serta ingin menguasai.
Kembali kepada manusia adalah kebebasan yang otonom. Menegaskan
konsep kebebasan manusia adalah mutlak. Manusia sebagai for-itself adalah
makhluk yang paling mampu menatap sesuatu dengan hasrat tertentu, maka dia
mengantisipasikan citra idealnya sendiri untuk menambah medan suatu yang
ditetapnya. Dan dengan sadar yang demikian, serta-mertalah kebebasan itu
pertama kali. Dengan kata lain sartre hendak menerangkan bahwa kesadaran ini
sekaligus merupakan penghayatan pertama kali dari kebebasan individu.
Kebebasan adalah kesadaran ketika dia mampu dan mengerti serta
mengisi makna sesuatu pada eksistensi pribadi. Hal ini erat hubungannya dengan
tesis Sartre “Man is nothing else but that which he makes of himself”. Tesis
tersebut menjelaskan suatu kebebasan individu untuk memproyeksikan diri
dalam perkembangan pribadinya. Bebas merupakan sifat manusia. Manusia
mempunyai kebebasan tidak hanya pada dirinya. Manusia juga bebas dalam
bergaul antar sesama manusia. bahwa di dalam pergaulan hidup bersama manusia
memerlukan alat untuk memahami, mengerti maksud sesama manusia. Setelah
mengerti maksud sesama manusia, saat itu lah relasi antarmanusia terbangun.
Hubungan antar manusia tentu sangat penting bagi manusia dalam hidupnya
Kebebasan manusia sangat bervariasi, baik dari segi hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Bahwa
manusia mempunyai struktur yang koheren dan terpadu mengenai hubungan
manusia dengan sesama, dengan alam dan dengan zamannya. Beberapa aspek
tersebut saling kait-mengait. Tentu manusia tidak akan terhindar dari hubungan
dari beberapa aspek tersebut. Namun manusia tetap selalu bebas dalam
melakukan hubungannya serta bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat.
Kebebasan adalah konsep yang memberi aroma kuat pada
eksistensialisme, sebab menjadi ciri esensial dari manusia. Kebebasan juga
dikaitkan dengan tanggung jawab membuat putusan-putusan atau memilih
tindakan-tindakan dalam rangka membentuk kehidupan atau keberadaan dirinya.
Kebebasan manusia serta tanggung jawab atasnya ada bukan suruhan agama atau
karena doktrin esensialis apapun juga: otonomi, dan bukan heterotonomi.
Manusia menjadi bebas dan bertanggung jawab, bukan karena meniru-niru, ia
merealisirnya dalam setiap konkret yang ada di depan matanya saat itu juga.
Manusia bebas dan manusia bertanggung jawab.
Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai
dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan
menjelang masa depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi
dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia mendapat
kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik
baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang
ditemuainya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempermasalahkan orang
lain, tidak pula menggantungkan keadaan pada Tuhan.
D. Kesimpulan
Kebebasan manusia sangat penting, karena untuk mengetahui esensi
dirinya maka manusia harus lebih utama mengetahui eksistensinya dengan bebas,
dengan kebebasan tidak ada suatu hal yang ada dalam diri manusia tertahan,
karena hanya dengan kebebasanlah manusia bisa leluasa bereksistensi sehingga
dapat menemukan esensi manusia itu sendiri. Eksistensi manusia selalu memiliki
nilai kekebasan selama tindakannya dapat menghasilkan manfaat bagi manusia
itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, L. Kamus Filsafat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2005.


Fredrik Copleston, Philosophy St. Agustin, Doubleday Dell Pulblishing Group, New
York, 1993.

Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992.

Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980.

Hendry Bergson, Time And Free Will An Easi On The Immediate Of Consciousness,
Doble Publications inc, New York, 1913.

JP. Sartre, Being and Nothingness, Penerjemah, Hazel E. Barnes, The Philosophical,
New York, 1956.

K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, Gramedia, Jakarta, 1987.

K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX, PT.Gramedia, Jakarta, 1981.

Loekisno Choiil Warsito, Paham Ketuhanan Modern : Sejarah dan Pokok-Pokok


Ajarannya, Penebit eLKAF, Surabaya, 2003.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat Gramedia, Jakarta, 1996.

M . Yunus, F., Kebebasan dalam Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Jurnal al-Ulum,
2011.

Martin, O.P., Vincent., Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus,


Penerjemah, Taufiqurrohman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Sandur, K. d. (2021). Filsafat Eksistensialisme: Sebuah Pilihan Kemungkinan Hidup


yang Sejati. Shopia Dharma.

Save M. Dagun, Filsafat Eksistenisalisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Suhartono, S. Dasar- dasar Filsafat. Ar-ruzz Media, Yogyakarta, 2020.

T.Z Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi Iswanto
dan Deddy Andrian Utama, Jendela, Yogyakarta, 2002.

Tambunan, S. P. Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh : Filsafat


Eksistensialisme Sartre. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 2016.

You might also like