You are on page 1of 20

MAKALAH

SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi tugas


mata kuliah Hukum Islam

Nama : Hendrik
: Rina Sihaloho
: Yessica Situmeang
: Esau Raja Gukguk
: Patar Sinurat
: Luois Gultom
: Sarina Hutapea
: Belovit Lubis
Mata Kuliah : Hukum Islam
Doses : Dr. Novi Juli Rosani Zulkarnain S.H., M.H.

UNIVERSITAS HKBP NOMENSEN MEDAN


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas rahmat-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “Sumber Sumber

Hukum Islam”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam

mata kuliah Hukum Islam di Universitas HKBP NOMMENSEN Medan

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis

penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik

dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah

ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,

khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,

sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini sesuai dengan yang di harapkan.
DAFTAR ISI

Kata pengantar.........................................................................................................

Daftar Isi...................................................................................................................

Bab I Pendahuluan...................................................................................................

1.1. Latar Belakang...........................................................................................

1.2. Rumusan Masalah......................................................................................

1.3. Tujuan Penulisan.......................................................................................

1.4. Manfaat Penulisan.....................................................................................

Bab II Alquran Sebagai Sumber Hukum Islam....................................................

2.1. Pengertian Al-Qur’an.......................................................................................

2.2. Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam................................

2.3. Kandungan Hukum Dalam Al-Qur’an...........................................................

Bab III Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam.....................................................

3.1. Pengertian Hadits.......................................................................................

3.2. Kududukan Hadits Sebagai Hukum Islam..............................................

3.3. Fungsi Hadits Terhadap Ai-qur’an Rasulullah saw...............................

Bab IV Ar Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam.................................................

4.1. Pengertian ra’yu................................................................................................

4.2 Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Al-qur’an Dan Hadits............................

Bab V Kesimpulan...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan


Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan
hukum dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah alQur’an dan al-Hadis.
Sebagai sumber paling utama dalam Islam, alQur`an merupakan sumber pokok dalam
berbagai hukum Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum
yang sudah lengkap. Selain itu juga al-Qur`an memberikan tuntunan bagi manusia mengenai
apa-apa yang seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam kehidupan kesehariannya.4
Sedangkan al-Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Disamping
sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati
Rasulullah Saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-
Qur’an mujmal, mutlak, amm dan sebagainya.
Al-Qur’an merupakan hidayah Allah yang melengkapi segala aspek kehidupan
manusia. Sumber paling utama dalam Islam adalah al-Qur’an, yang merupakan sumber
pokok bagi aqidah, ibadah, etika, dan hukum. al-Qur’an merupakan sumber primer karena
tidak lepas dari apa yang dikandung oleh alQur’an itu sendiri. Di dalam al-Qur’an sendiri di
jelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan segala kebutuhan manusia demi
kelangsungan hidupnya. Meskipun al-Qur’an itu bukanlah ilmu pengetahuan dan bukan pula
ilmu filsafat.8 Tetapi didalamnya terkandung pembicaraan-pembicaraan yang penuh isyarat
untuk ilmu pengetahuan dan ilmu kefilsafatan. Sejak pertama kali di turunkan, alQur’an telah
merubah arah dan paradigma bangsa Arab dan manusia pada umumnya. Berbagai sisi
kehidupan manusia mengalami pergeseran arah yang lebih baik dengan hadirnya al-Qur’an.
Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam
alQur’an. Sementara itu, ada yang mengatakan bahwa semua ilmu dan pengetahuan yang ada
di dunia dan akhirat sudah terangkum semua di dalam alQur’an.
Dalam al-Qur’an Allah Swt. berfirman, “… barangsiapa tidak memutuskan dengan
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S. alMa’idah/5:44).
Ayat tersebut mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman agar menjadikan al-
Qur’an sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara, sehingga siapa pun yang
tidak menjadikannya sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara, maka manusia
dianggap tidak beriman. Hukum-hukum Allah Swt. yang tercantum di dalam al-Qur’an
sesungguhnya dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri.
Allah Swt. sebagai Pencipta manusia dan alam semesta Maha Mengetahui terhadap apa yang
diperlukan agar manusia hidup damai, aman, dan sentosa.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang diatas maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Alquran merupakan sumber Hukum Islam?
2. Apakah Hadist merupakan sumber Hukum Islam?
3. Apakah Ar Ra’yu merupakan sumber Hukum Islam?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Alquran merupakan sumber Hukum Islam
2. Untuk mengetahui Hadist merupakan sumber Hukum Islam
3. Untuk mengetahui Ar Ra’yu merupakan sumber Hukum Islam
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi peneliti
1) Mengetahui apakah Alquran hadist dan Ar Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam
2) Menambah wawasan dalam mengetahui Alquran hadist dan Ar Ra’yu Sebagai
Sumber Hukum Islam
b. Bagi Universitas HKBP Nommensen Medan
1) Diharapkan hasil Penulisan ini dapat menambah informasi dan referensi yang
kelak bermanfaat bagi Penulis selanjutnya.
2) Menambah pengetahuan tentang Hukum Islam
c. Bagi Masyarakat
1) Sebagai bahan informasi dan referensi yang kelak bermanfaat bagi Masyarakat
2) Sebagai referensi bagi masyarakat untuk penulisan
d. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan bagi ilmu
pengetahuan khususnya pengetahuan apakah Alquran, Hadist, dan Ar Ra’yu Sebagai
sumber hukum Islam.
BAB II
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

2.1. Pengertian Al-Qur’an


Secara bahasa (etimologi) Al-qur’an merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata
kerja Qoro-a yang bermakna membaca atau bacaan. Ada yang berpendapat bahwa qur’an
adalah masdar yang bermakna isim maf’ul, karenanya ia berarti yang dibaca atau maqru’.
Menurut para ahli bahasa, kata yag berwazan fu’lan memiliki arti kesempurnaan. Karena itu
Al-qur’an adalah bacaan yang sempurna. Sedangkan pengertian menurut istilah (terminologi)
Al-qur’an adalah:” kitab Allah yang diturunkan kepada utusan Allah, Muhammad SAW.
Yang ter maktub dalam mushaf, dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa ada
keraguan”. Secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan
diakhiri dengan surah an-Nas. Membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi
Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt.
berfirman: “Sungguh, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan
memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka
akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isra/17:9)
2.2. Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-
Qur’an merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan
berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an: “Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil
Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (alQur’an) dan Rasul-Nya (sunnah), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’/4:59) Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dan apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisa’/4:105)
Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah kitab yang
berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. AlQur’an sumber dari
segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an ada yang bersifat
rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman
mendalam untuk memahaminya.
2.3. Kandungan Hukum Dalam Al-Qur’an
Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an ke dalam tiga
bagian, yaitu seperti berikut :
a. Akidah atau keimanan Akidah atau keimanan adalahkeyakinan yang tertancap kuat di
dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum
dalam rukun iman (arkanul iman), yaitu iman kepada Allah Swt. iman kepada malaikat, iman
kepada kitab suci, iman kepada para rasul, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada
qada/qadar Allah Swt.
b. Syari’at atau ibadah Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan
langsung dengan al-Khaliq (Pencipta), yaitu Allah Swt. yang disebut ibadah maḥḍah, maupun
yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḥḍah.
Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1). Hukum ibadah Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang
sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan salat, haji,
zakat, puasa, dan lain sebagainya.
2). Hukum muamalah Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dan sesamanya, seperti
hukum tentang tata cara jual beli dalam Islam, hukum pidana, hukum perdata, hukum
warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.
BAB III

HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

3.1. Pengertian Hadits

Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Sedangkan menurut istilah, hadis
adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (takrir) yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan
hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah
adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang
saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut. a.
Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah
saw. sampai kepada kita sekarang ini. b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan
Rasulullah saw. c. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.

3.2. Kududukan Hadits Sebagai Hukum Islam

Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’an. Artinya,
jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’an, yang harus dijadikan
sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “… dan
apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apaapa yang dilarangnya,
maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7) Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang
lain: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah
Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80).

3.3. Fungsi Hadits Terhadap Ai-qur’an Rasulullah saw.

Sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt.
melalui al-Qur’an kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan
(bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Fungsi hadis
terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut.

a. Menjelaskan ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-
Qur’an yang memerintahkan salat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih bersifat umum
sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang tata
caranya maupun jumlah bilangan rakaatnya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut,
misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku salat”. (H.R. Bukhari).

b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-qur’an Seperti dalam al-qur’an erdapat ayat
yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!”
Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “… berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya …” (H.R. Bukhari dan Muslim)

c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-qur’an Misal, dalam surat at-
Taubah ayat 34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak
membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!”
Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)

d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-qur’an Maksudnya adalah bahwa
jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil dari hadis yang sesuai.
Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan
istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw.: Dari Abi Hurairah ra.
Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama)
seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara
perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
BAB IV
Ar Ra’yu SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

4.1. Pengertian ra’yu


Secara etimologi kata (ra’yu) berasal dari bahasa Arab yang berarti “melihat”.
Menurut Abû Hasan kata ra’yu memiliki arti: pengelihatan dan pandangan dengan mata atau
hati, segala sesuatu yang dilihat oleh manusia, jamaknya (al-Ara’). Secara terminologi,
ra’yu menurut Muhammad Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah
melalui proses berfikir dan merenung. Lebih spesifik lagi, apa yang diungkapkan oleh
Mahmud Hamid ‘Usman, seorang pakar usul fikih, mendefinisikan makna dari kata ra’yu,
sebagai berikut:
Kata ra’yu adalah bentuk masdar dari kata (ra’â-yarâ-ru‘yan). Penggunaan kata
ra’yu bisa berubah arti sesuai dengan tempat penggunaannya. Jika seseorang melihat bulan
dalam keadaan sadar maka diungkapkan: ( ) pada kata ini bentuk masdarnya
adalah ru’yah: tetapi kalau seseorang melihat bulan dalam ke- adaan tidur atau bermimpi
maka diucap- kan ( ), masdar pada kata ra’a disini adalah ru’ya: untuk sesuatu
yang tidak bisa dilihat dengan mata dan hanya dapat dipahami dengan hati, maka bentuk
masdarnya adalah ra’yu: selanjutnya kata ini dihususkan untuk sesuatu yang
dipandang hati setelah berfikir dan merenung yang mendalam.
Kata al-ra’yu: juga memiliki arti “melihat dengan hati”, (1) pandangan hati;
setelah upaya berfikir dan merenung dan mendapatkan ma‘rifah untuk menetapkan sesuatu
yang benar terhadap masalah yang tanda-tandanya bertentangan, (2) berfikir, yaitu
menggunakan akal dengan aneka sarana yang diarahkan oleh syara‘ untuk sampai kepada
petunjuk yang benar dalam menetapkan hukum dimana tidak ditemui dalil nas, (3)
menetapkan hukum syariah dengan menggunakan kaidah yang telah ditetapkan.
Kata ra’yu atau yang seakar dengan itu terdapat pada 328 ayat dalam Alquran.
Dalam bukunya, Amir Syarifudin menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kata
ra’yu di dalam Alquran itu tergantung kepada apa yang menjadi obyek dari perbuatan
“melihat” itu. Obyek yang dikenai dengan kata ra’yu di dalam Alquran secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu obyek yang kongkrit (berupa) atau obyek yang
abstrak (tidak berupa). Untuk obyek yang kongkrit kata ra’yu itu berarti melihat dengan mata
kepala atau memperhatikan. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam Q.s. al-An‘âm [6]:
78, sebagai berikut:
Kata ra’yu pada ayat di atas berarti melihat. Namun pada obyek yang abstrak,
kata ra’yu tidak mungkin diartikan “melihat dengan mata kepala”, tetapi harus diartikan
“melihat dengan mata hati” atau dengan arti “memikirkan/memperhatikan”. Seperti
firman Allah dalam Q.s. Luqmân [31]: 20, sebagai berikut:

Kata ra’yu yang dimaksud dalam ayat di atas adalah “memikirkan”, juga berarti
“hasil pemikiran” atau “rasio”. Selain kata (ra’a), untuk artian berfikir dalam
Alquran juga digunakan kata (fakara), atau kata lain yang berakar pada kata itu. Kata
(fakara) ini terdapat 18 ayat di dalam Alquran yang pada umumnya bersamaan
artinya dengan kata ra’yu. Seperti firman Allah sebagai berikut:

4.2 Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Al-qur’an Dan Hadits


1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada – yajtahidu -ijtihadan yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja
secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara
sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan
mujtahid.
2. Syarat-Syarat Berijtihad
Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid,
dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan
hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan
ijtihad.
a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan
tarikh (sejarah).
c. Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
d. Memiliki keluhuran akhlak mulia.
3. Kedudukan Ijtihad Ijtihad memiliki kedudukan
sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu
persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam alQur’an dan hadis. Namun demikian, hukum
yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw.
ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu
perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut
Kitabullah (alQur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak
menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan
memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika
engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan
kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihad sesuai dengan
kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihadnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala,
Jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan
melalui sebuah hadis: “Dari Amr bin As, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila
seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka
ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Bentuk-Bentuk Ijtihad Ijtihad
Metode yang dimaksud adalah metode ijtihad yang digunakan oleh para ulama dalam
memutuskan beberapa perkara yang tidak diatur dalam dua sumber syariat Islam yaitu Al
Qur’an dan As-Sunnah.
Metode ijtihad dalam hukum Islam tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Ijma’
Menurut para ahli ushul, Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin
pada suatu massa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat terkait hukum
syara yang tidak diatur dalam Al Qur’an dan Hadits.
Contoh ijma’ adalah ijma’ sahabat yakni ijma yang dilakukan oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Qiyas
Qiyas adalah hukum tentang suatu kejadian atau peristiwa yang ditetapkan dengan cara
membandingkannya dengan hukum kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan
berdasarkan nash karena adanya kesamaan ‘illat.
Contoh qiyas adalah meng-qiyas-kan pembunuhan dengan menggunakan alat berat dengan
pembunuhan menggunakan senjata tajam.
3. Istihsan
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hukum yang satu ke hukum
yang lain karena ada dalil yang menuntut demikian.
Contoh istihsan adalah wasiat. Walaupun secara qiyas tidak dibolehkan, namun karena
adalanya dalil dari Al Qur’an maka wasiat dibolehkan.
4. Maslahah mursalah
Maslahah mursalah atau istislah adalah diberlakukannya suatu hukum atas dasar
kemaslahatan yang lebih besar dengan mengesampingkan kemudaratan karena tidak
adanya dalil yang menganjurkan atau melarangnya.
Contoh maslahah mursalah adalah membuat akta nikah, akta kelahiran, akta kematian,
dan lain sebagainya.
5. Istishab
Istishab adalah metode ijtihad yang dilakukan dengan cara menetapkan hukum yang
telah ada sebelumnya hingga ada dalil baru yang merubahnya.
Contoh istishab adalah setiap makanan atau minuman boleh dikonsumsi hingga ada dalil
yang mengharamkannya.

6. ‘Urf
‘Urf adalah segala sesuatu berupa perkataan atau perbuatan yang sudah dikenal
masyarakat dan telah dilakukan secara turun temurun.
Contoh ‘urf adalah acara halal bi halal yang kerap dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri
atau setelahnya.
7. Saddzui dzariah
Sadzzui dzariah adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun dapat
mengarah pada kemaksiatan.
Contoh sadzzui dzariah adalah bermain kuis yang dapat mengarah pada perjudian.
8. Qaul al-Shahabi
Qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat terkait hukum suatu perkara yang
dirumuskan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.
Contoh qaul al-shahabi adalah pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa kesaksian
dari seorang anak kecil tidak bisa diterima.
9. Syar’u man qablana
Syar’u man qablana adalah hukum Allah yang isyariatkan kepada umat terdahulu, yang
diturunkan melalui nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh syar’u man qablana adalah kewajiban berpuasa bagi orang-orang beriman
(QS. Al Baqarah : 183).

5. Pengertian ahkamul khamsah


Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata hukm dan khamsah
artinya lima. Oleh karena itu, gabungan kedua kata dimaksud al-ahkam al-khamsah (baca:

ahkamul khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi.21 Hukum taklifi adalah ketentuan
hukum yang menuntut para mukallaf (aqil-baligh) atau orang yang dipandang oleh hukum
cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam
bentuk larangan. Hukum taklifi dimaksud mencakup lima macam kaidah atau lima kategori
penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum Islam, yaitu jaiz, sunnah,
makruh, wajib dan haram. Kadar kualitasnya mungkin naik dan mungkin pula menurun.
Dikatakan naik, apabila suatu perbuatan dikaitkan dengan sunnah dan wajib, Dikatakan
menurun, apabila suatu perbuatan dikaitkan dengan makruh dan haram. Semuanya
tergantung pada bagaimana ‘illat (rasio) atau penyebabnya.

Hukum syar’i (legal) atau hukum syara’ (law) adalah kata majemuk yang tersusun
dari kata “hukum dan syara”. Kata hukum berasal dari bahasa arab hukm, yang secara
etimologi berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Sedangkan syara’ secara
etimologi berarti jalan, jalan yang biasa dilalui air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui

manusia dalam menuju kepada Allah. Hukum syara’ atau hukum syar’i ini disebut juga

hukum syariat. Hukum syara’ sebagaimana yang dimaksud adalah hukum yang erat
hubungannya atau bertalian dengan perbuatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutan

(thalib), pembolehan (takhaiyir) dan penentuan sesuatu terhadap yang lain (wadha’).
Sedangkan hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqih ialah khitab syari’ yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan (perintah,
pilihan, atau ketetapan).
Bertitik tolak dari definisi hukum syari’ diatas, maka hukum syara’ itu terbagi dua:
1. Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang disebut hukum taklifi.
Penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan

orang yang sudah mukallaf. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki
dikerjakan oleh mukallaf, atau larangan mengerjakan, atau memberikan pilihan

antara melakukan dan meninggalkan. Hukum taklifi adalah hukum yang


mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf,
seperti menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat Islam.
2. Titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, yang disebut hukum
wadh’i. Yakni ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan
mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya

matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur. Hukum wadh’i adalah hukum yang
menghendaki adanya sebab terhadap sesuatu yang lain, atau menjadi syarat bagi

yang lain, atau menjadi penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh’i berupa
penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi.
Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan
seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan
manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya keadaan tergelincirnya matahari
bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya
dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari)
sebagai tanda masuknya waktu zuhur.
Berkaitan dengan al-ahkam al-khamsah, yang disebut juga hukum taklifi adalah lima
macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia

dalam Islam. Istilah al-ahkam al- khamsah atau "lima nilai” mengacu pada sistem
mengklasifikasi semua tindakan dan hubungan manusia sesuai dengan nilai etika mereka
dalam rangka untuk memastikan tingkat kebaikan atau keburukan mereka dalam norma-

norma Islam. Menurut ulama Hanafiah, hukum taklifi (jenis perbuatan hukum) dibagi tujuh,

yaitu fardhu, wajib, tahrim, karahah tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah. Selanjutnya
menurut al-Ghazali, sebagai hukum syara’ tertentu bagi perbuatan mukallaf, seperti: wajib,

haram, mubah (kebolehan), sunnat, makruh, sah, fasid, batal, dan qadla. Sedangkan dalam
konsep Barat, yang mengambil alih konsep hukum Romawi, hanya dikenal tiga macam
kaidah hukum, yaitu; permittere (membolehkan), prohibere (melarang), dan imperare
(memerintahkan).

Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan

pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Hukum taklifi berbentuk tuntutan
atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu tuntutan untuk
memperbuat dan tuntutan untuk meninggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntutan juga
terbagi dua, yaitu tuntutan secara pasti dan tuntutan tidak secara pasti. Adapun pilihan
terletak antara memperbuat dan meninggalkan.

Di dalam sistem tata norma Islam, ajaran al-ahkam al-khamsah ini meliputi seluruh
kehidupan manusia didalam segala lingkungannya, yakni kesusilaan pribadi, masyarakat
dan hukum duniawi. Lingkungan hukum duniawi adalah masyarakat yang dibentuk dengan
penguasa sebagai pengelolanya. Ketiga-tiganya merupakan satu rangkaian kesatuan, dan
bertautan satu dengan yang lain. Pertautan antara kesusilaan dan hukum merupakan hal
yang sangat penting dalam ajaran lima kategori penilaian menurut ajaran Islam.

Dengan demikian hukum taklifi ada lima macam, yang termasuk dalam fikih sebagai
ketentuan hukum, seperti wajib (ijab=perintah), mandub (nadb=anjuran), haram
(tahrim=larangan), makruh (karahah=dibenci) dan mubah (ibahah=boleh), sebagai berikut:
a. Ijab (mewajibkan), adalah khitab yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau
dilakukan. Hasil dari ijab atau konsekuensinya dinamakan wujub (kewajiban) dan
tuntutan pelaksanaanya atau kerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib. Ijab

sebagai firman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang
memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali ditinggalkan,
sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. Hukum taklifi
dalam bentuk ini disebut ijab. Pengaruh terhadap perbuatan itu disebut wujub,

sedangkan perbuatan yang dituntut disebut wajib. Contoh : melakukan shalat.

b. Nadab, adalah khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti. Atau dengan kata

lain, jika tuntutannya tidak bersifat pengharusan dan penetapan. Bekas atau
konsekuensinya nadab disebut juga dengan nadab, sedangkan pekerjaan yang dikenai

hukum nadab disebut mandub. Nadb sebagai firman yang menuntut suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak pasti. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti,
dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Terhadap yang melaksanakan,
berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan
tidak apa-apa. Oleh karenanya yang meninggalkan tidak patut mendapat ancaman
dosa. Tuntutan seperti ini disebut Nadb. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan disebut
nadb juga, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut mandub. Contoh : memberi
sumbangan kepada panti asuhan.
c. Tahrim, adalah khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Apabila hukum
taklifi menuntut untuk meninggalkan perbuatan, jika tuntutannya bersifat

mengharuskan dan menetapkan. Hasil atau bekas dari tahrim disebut hurmah, dan

pekerjaan yang dikenai hukum hurmah itu dinamakan muharramun atau haram.
Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang dituntut harus
meninggalkannya. Bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang
melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala. Orang yang
tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah. Karenanya patut
mendapat ancaman dosa. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim. Pengaruh
tuntutan terhadap perbuatan tersebut disebut hurmah, sedangkan perbuatan yang

dilarang secara pasti itu disebut muharram atau haram. Contoh : memakan harta anak
yatim secara tidak patut.
d. Karahah, adalah khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi. Jika

tuntutannya tidak bersifat mengharuskan dan menetapkan. Bekas atau konsekuensi


karahah disebut juga karahah, sedangkan pekerjaan yang dikenainya dinamakan
makruh.Tuntutan untuk meninggalkan secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin
ia tidak meningalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah
mematuhi yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tetapi
karena tidak pastinya larangan ini, maka yang tidak meninggalkan larangan ini tidak
mungkin disebut menyalahi yang melarang. Karenanya ia tidak berhak mendapat
ancaman dosa. Larangan dalam bentuk ini disebut karahah. Pengaruh larangan tidak
pasti terhadap perbuatan disebut karahah juga, sedangkan perbuatan yang dilarang

secara tidak pasti disebut makruh. Contoh : merokok.


e. Ibahah, adalah khitab yang berisi kebolehan memilih antara berbuat atau tidak

berbuat. Atau hukum taklifi menuntut pemberian pilihan kepada mukallaf antara

mengerjakan atau meninggalkan. Hasil ibahah dinamakan ibahah, dan pekerjaan yang
dikenai ibahah disebut mubah. Titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk
memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada
tuntutan, baik mengerjakana maupun meninggalkan. Ia tidak diperintahkan. Bila
seseorang mengerjakan ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula diancam atas
perbuatannya itu. Ia juga tidak dilarang berbuat. Karenanya bila ia melakukan
perbuatan itu atau tidak ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula dapat ancaman. Hukum
dalam bentuk ini disebut ibahah. Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut ibahah,

sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
Contoh : melakukan perburuan sesudah melakukan tahalul dalam ibadah haji.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan
membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama selain sebagai
kitab suci. Oleh karena itu, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hadis atau sunnah
adalah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta ketetapan (takrir) Nabi Muhammad
saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan perkara-perkara tercela. Hadis merupakan sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat
penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk menegaskan ketentuan
yang telah ada dalam al-Qur’an, menjelaskan ayat al-Qur’an (bayan tafsir), dan
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum (bayan takhsis). Ijtihad artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad, yaitu upaya
sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk mendapatkan hukum-
hukum syariat pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya. Ijtihad dilakukan dengan
mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang
bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada
dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an Al- Karim.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Rajawali Pres, 2013.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta :
Sinar Grafika, 2010.

Azhary, M. Tahir. Bunga Rampai Hukum Islam : Sebuah Tulisan. Jakarta: Ind Hill-Co, 2003.
Az-Zuhaili, Wahbah. Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Studi Banding Dengan Hukum
Positif (diterjemahkan dari Nazhariyah Al-Dlarurah Al- Syari’iyah, Muqoranah
Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, oleh Said Agil Husain al-Munawar dan M. Hadri
Hasan). Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.

As Suyuthi, Jalaludin. 2008. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.

Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003. Djazuli, H.A..
Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Kencana, 2013

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2015.


Faruki, Kemal. Al-Ahkam Al-Khamsah : The Five Values. Islamic Studies, vol. 5, No. 1
(March 1966), pp. 43. www.jstor.org/stable/20832827- Diakses pada 22 September
2023

Hassan, Hussain Hamid. An Introduction to the Study of Islamic Law.

Islamabad: Leaf Publications, 1997.


Kallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih (diterjemahkan dari Ushul Fiqh, oleh Moh Zuhri,
dkk). Semarang : Dina Utama, 2014
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta:
Kementerian Agama RI. Kementerian Agama RI. 2011. Islam Rahmatan Lil’alamin. Jakarta:
Kementerian Agama RI. Kementerian Agama RI. 2012. Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta:
Mu’thi, Fadlolan Musyaffa’. 2008. Potret Islam Universal. Tuban: Syauqi Press.
Sarwat, Ahmad. 2011. Seri Fiqih dan Kehidupan (2): Thaharah. Jakarta: DU Publishing.
Shihab, Quraisy. 1998. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Syaltut, Mahmud. 1990. Tafsir Al-Qur’anul Karim. Bandung: Diponegoro.

You might also like