Professional Documents
Culture Documents
Hukum ISlam
Hukum ISlam
Nama : Hendrik
: Rina Sihaloho
: Yessica Situmeang
: Esau Raja Gukguk
: Patar Sinurat
: Luois Gultom
: Sarina Hutapea
: Belovit Lubis
Mata Kuliah : Hukum Islam
Doses : Dr. Novi Juli Rosani Zulkarnain S.H., M.H.
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “Sumber Sumber
Hukum Islam”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik
dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini sesuai dengan yang di harapkan.
DAFTAR ISI
Kata pengantar.........................................................................................................
Daftar Isi...................................................................................................................
Bab I Pendahuluan...................................................................................................
Bab V Kesimpulan...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Sedangkan menurut istilah, hadis
adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (takrir) yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan
hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah
adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang
saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut. a.
Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah
saw. sampai kepada kita sekarang ini. b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan
Rasulullah saw. c. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’an. Artinya,
jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’an, yang harus dijadikan
sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “… dan
apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apaapa yang dilarangnya,
maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7) Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang
lain: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah
Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80).
Sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt.
melalui al-Qur’an kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan
(bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Fungsi hadis
terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut.
a. Menjelaskan ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-
Qur’an yang memerintahkan salat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih bersifat umum
sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang tata
caranya maupun jumlah bilangan rakaatnya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut,
misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku salat”. (H.R. Bukhari).
b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-qur’an Seperti dalam al-qur’an erdapat ayat
yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!”
Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “… berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya …” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-qur’an Misal, dalam surat at-
Taubah ayat 34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak
membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!”
Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-qur’an Maksudnya adalah bahwa
jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil dari hadis yang sesuai.
Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan
istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw.: Dari Abi Hurairah ra.
Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama)
seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara
perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
BAB IV
Ar Ra’yu SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Kata ra’yu yang dimaksud dalam ayat di atas adalah “memikirkan”, juga berarti
“hasil pemikiran” atau “rasio”. Selain kata (ra’a), untuk artian berfikir dalam
Alquran juga digunakan kata (fakara), atau kata lain yang berakar pada kata itu. Kata
(fakara) ini terdapat 18 ayat di dalam Alquran yang pada umumnya bersamaan
artinya dengan kata ra’yu. Seperti firman Allah sebagai berikut:
6. ‘Urf
‘Urf adalah segala sesuatu berupa perkataan atau perbuatan yang sudah dikenal
masyarakat dan telah dilakukan secara turun temurun.
Contoh ‘urf adalah acara halal bi halal yang kerap dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri
atau setelahnya.
7. Saddzui dzariah
Sadzzui dzariah adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun dapat
mengarah pada kemaksiatan.
Contoh sadzzui dzariah adalah bermain kuis yang dapat mengarah pada perjudian.
8. Qaul al-Shahabi
Qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat terkait hukum suatu perkara yang
dirumuskan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.
Contoh qaul al-shahabi adalah pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa kesaksian
dari seorang anak kecil tidak bisa diterima.
9. Syar’u man qablana
Syar’u man qablana adalah hukum Allah yang isyariatkan kepada umat terdahulu, yang
diturunkan melalui nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh syar’u man qablana adalah kewajiban berpuasa bagi orang-orang beriman
(QS. Al Baqarah : 183).
ahkamul khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi.21 Hukum taklifi adalah ketentuan
hukum yang menuntut para mukallaf (aqil-baligh) atau orang yang dipandang oleh hukum
cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam
bentuk larangan. Hukum taklifi dimaksud mencakup lima macam kaidah atau lima kategori
penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum Islam, yaitu jaiz, sunnah,
makruh, wajib dan haram. Kadar kualitasnya mungkin naik dan mungkin pula menurun.
Dikatakan naik, apabila suatu perbuatan dikaitkan dengan sunnah dan wajib, Dikatakan
menurun, apabila suatu perbuatan dikaitkan dengan makruh dan haram. Semuanya
tergantung pada bagaimana ‘illat (rasio) atau penyebabnya.
Hukum syar’i (legal) atau hukum syara’ (law) adalah kata majemuk yang tersusun
dari kata “hukum dan syara”. Kata hukum berasal dari bahasa arab hukm, yang secara
etimologi berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Sedangkan syara’ secara
etimologi berarti jalan, jalan yang biasa dilalui air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui
manusia dalam menuju kepada Allah. Hukum syara’ atau hukum syar’i ini disebut juga
hukum syariat. Hukum syara’ sebagaimana yang dimaksud adalah hukum yang erat
hubungannya atau bertalian dengan perbuatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutan
(thalib), pembolehan (takhaiyir) dan penentuan sesuatu terhadap yang lain (wadha’).
Sedangkan hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqih ialah khitab syari’ yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan (perintah,
pilihan, atau ketetapan).
Bertitik tolak dari definisi hukum syari’ diatas, maka hukum syara’ itu terbagi dua:
1. Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang disebut hukum taklifi.
Penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan
orang yang sudah mukallaf. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki
dikerjakan oleh mukallaf, atau larangan mengerjakan, atau memberikan pilihan
matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur. Hukum wadh’i adalah hukum yang
menghendaki adanya sebab terhadap sesuatu yang lain, atau menjadi syarat bagi
yang lain, atau menjadi penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh’i berupa
penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi.
Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan
seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan
manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya keadaan tergelincirnya matahari
bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya
dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari)
sebagai tanda masuknya waktu zuhur.
Berkaitan dengan al-ahkam al-khamsah, yang disebut juga hukum taklifi adalah lima
macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia
dalam Islam. Istilah al-ahkam al- khamsah atau "lima nilai” mengacu pada sistem
mengklasifikasi semua tindakan dan hubungan manusia sesuai dengan nilai etika mereka
dalam rangka untuk memastikan tingkat kebaikan atau keburukan mereka dalam norma-
norma Islam. Menurut ulama Hanafiah, hukum taklifi (jenis perbuatan hukum) dibagi tujuh,
yaitu fardhu, wajib, tahrim, karahah tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah. Selanjutnya
menurut al-Ghazali, sebagai hukum syara’ tertentu bagi perbuatan mukallaf, seperti: wajib,
haram, mubah (kebolehan), sunnat, makruh, sah, fasid, batal, dan qadla. Sedangkan dalam
konsep Barat, yang mengambil alih konsep hukum Romawi, hanya dikenal tiga macam
kaidah hukum, yaitu; permittere (membolehkan), prohibere (melarang), dan imperare
(memerintahkan).
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan
pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Hukum taklifi berbentuk tuntutan
atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu tuntutan untuk
memperbuat dan tuntutan untuk meninggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntutan juga
terbagi dua, yaitu tuntutan secara pasti dan tuntutan tidak secara pasti. Adapun pilihan
terletak antara memperbuat dan meninggalkan.
Di dalam sistem tata norma Islam, ajaran al-ahkam al-khamsah ini meliputi seluruh
kehidupan manusia didalam segala lingkungannya, yakni kesusilaan pribadi, masyarakat
dan hukum duniawi. Lingkungan hukum duniawi adalah masyarakat yang dibentuk dengan
penguasa sebagai pengelolanya. Ketiga-tiganya merupakan satu rangkaian kesatuan, dan
bertautan satu dengan yang lain. Pertautan antara kesusilaan dan hukum merupakan hal
yang sangat penting dalam ajaran lima kategori penilaian menurut ajaran Islam.
Dengan demikian hukum taklifi ada lima macam, yang termasuk dalam fikih sebagai
ketentuan hukum, seperti wajib (ijab=perintah), mandub (nadb=anjuran), haram
(tahrim=larangan), makruh (karahah=dibenci) dan mubah (ibahah=boleh), sebagai berikut:
a. Ijab (mewajibkan), adalah khitab yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau
dilakukan. Hasil dari ijab atau konsekuensinya dinamakan wujub (kewajiban) dan
tuntutan pelaksanaanya atau kerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib. Ijab
sebagai firman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang
memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali ditinggalkan,
sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. Hukum taklifi
dalam bentuk ini disebut ijab. Pengaruh terhadap perbuatan itu disebut wujub,
b. Nadab, adalah khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti. Atau dengan kata
lain, jika tuntutannya tidak bersifat pengharusan dan penetapan. Bekas atau
konsekuensinya nadab disebut juga dengan nadab, sedangkan pekerjaan yang dikenai
hukum nadab disebut mandub. Nadb sebagai firman yang menuntut suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak pasti. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti,
dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Terhadap yang melaksanakan,
berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan
tidak apa-apa. Oleh karenanya yang meninggalkan tidak patut mendapat ancaman
dosa. Tuntutan seperti ini disebut Nadb. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan disebut
nadb juga, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut mandub. Contoh : memberi
sumbangan kepada panti asuhan.
c. Tahrim, adalah khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Apabila hukum
taklifi menuntut untuk meninggalkan perbuatan, jika tuntutannya bersifat
mengharuskan dan menetapkan. Hasil atau bekas dari tahrim disebut hurmah, dan
pekerjaan yang dikenai hukum hurmah itu dinamakan muharramun atau haram.
Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang dituntut harus
meninggalkannya. Bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang
melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala. Orang yang
tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah. Karenanya patut
mendapat ancaman dosa. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim. Pengaruh
tuntutan terhadap perbuatan tersebut disebut hurmah, sedangkan perbuatan yang
dilarang secara pasti itu disebut muharram atau haram. Contoh : memakan harta anak
yatim secara tidak patut.
d. Karahah, adalah khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi. Jika
berbuat. Atau hukum taklifi menuntut pemberian pilihan kepada mukallaf antara
mengerjakan atau meninggalkan. Hasil ibahah dinamakan ibahah, dan pekerjaan yang
dikenai ibahah disebut mubah. Titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk
memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada
tuntutan, baik mengerjakana maupun meninggalkan. Ia tidak diperintahkan. Bila
seseorang mengerjakan ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula diancam atas
perbuatannya itu. Ia juga tidak dilarang berbuat. Karenanya bila ia melakukan
perbuatan itu atau tidak ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula dapat ancaman. Hukum
dalam bentuk ini disebut ibahah. Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut ibahah,
sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
Contoh : melakukan perburuan sesudah melakukan tahalul dalam ibadah haji.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan
membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama selain sebagai
kitab suci. Oleh karena itu, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hadis atau sunnah
adalah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta ketetapan (takrir) Nabi Muhammad
saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan perkara-perkara tercela. Hadis merupakan sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat
penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk menegaskan ketentuan
yang telah ada dalam al-Qur’an, menjelaskan ayat al-Qur’an (bayan tafsir), dan
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum (bayan takhsis). Ijtihad artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad, yaitu upaya
sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk mendapatkan hukum-
hukum syariat pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya. Ijtihad dilakukan dengan
mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang
bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada
dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Rajawali Pres, 2013.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta :
Sinar Grafika, 2010.
Azhary, M. Tahir. Bunga Rampai Hukum Islam : Sebuah Tulisan. Jakarta: Ind Hill-Co, 2003.
Az-Zuhaili, Wahbah. Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Studi Banding Dengan Hukum
Positif (diterjemahkan dari Nazhariyah Al-Dlarurah Al- Syari’iyah, Muqoranah
Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, oleh Said Agil Husain al-Munawar dan M. Hadri
Hasan). Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.
As Suyuthi, Jalaludin. 2008. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003. Djazuli, H.A..
Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Kencana, 2013