You are on page 1of 12

MAKALAH FIQH

SHALAT BAGI ORANG SIBUK

Dosen Pengampu : Dr. Nufiar M. Ag.

Disusun oleh : KELOMPOK 3

Rufika Naumi (220201090)

Nadya Azzuhra (220201091)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN PRODI PENDIDIKAN AGAMA


ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH TAHUN
AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat iman dan
nikmat islam pada setiap insan yang Allah kehendaki, shalawat beserta salam tidak putus-
putusnya kita panjatkan kepada Nabi dan Rasul terakhir yaitu Baginda Nabi Muhammad SAW,
yang mana oleh beliau telah mengajari kita bagaimana seharusnya seorang manusia itu hidup di
dunia ini. Rasa terima kasih kami kepada dosen pengampu (Dr. Nufiar, M.A.g) pada mata kuliah
“FIQH” dan juga kepada seluruh teman-teman yang telah mensupport sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Para penulis berharap agar makalah ini dapat memberi manfaat
terhadap setiap orang yang menyempatkan waktu untuk membaca dan mentelaah setiap isi
kandungan yang terdapat didalamnya.

Untuk kedepannya agar dapat memberikan saran dan kritik terhadap segala sesuatu
kekurangan yang terdapat di dalam karya tulis ini. Terlepas dari itu semua penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini, dari segi susunan kata,
kalimat, cara penulisannya, maupun kandungan materi yang terdapat di dalamnya. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sedikit lebihnya menjadi bahan
evaluasi bagi siapa yang membacanya.

Banda Aceh, 21 September 2023

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1
LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 2
I. SHALAT BAGI ORANG SIBUK ................................................................................ 2
A. Memendekkan Rakaat Shalat (Qasar) ...................................................................................... 2
B. Sebab Kebolehan Memendekkan Shalat (Mengqasar) ........................................................ 2
C. Mengqashar (Meringkas) Sholat Yang Jumlah Rakaatnya Empat ....................................... 5
D. Jarak Perjalanan Memendekkan Shalat (Qasar) ....................................................................... 6
BAB III
PENUTUP ..................................................................................................................................... 8
Kesimpulan ................................................................................................................................... 8
Kritik dan Saran ............................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Yang dimaksud dengan orang sibuk di sini adalah orang yang selalu melakukan perjalanan, baik
karena tugas atau lainnya, sejauh perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syari'ah/hukum
Islam, karena itu shalat bagi orang sibuk di sini maksudnya adalah shalat bagi orang yang melakukan
perjalanan baik prekuensinya selalu atau tidak. Dalam masalah shalat, maka akan dikemukakan
beberapa hal penting, di antaranya kenapa seseorang boleh memendekkan shalat (qashar).
Hukum Islam adalah hukum yang didasarkan atas wahyu Allah. Sumber pokoknya adalah Al-
Qur`an dan Al-Sunnah. Allah SWT dalam menetapkan hukum selalu memperhatikan kemampuan
manusia dan memberikan kemudahan pada saat manusia menghadapi kesulitan. Allah SWT tidak
serta merta menetapkan hukum tanpa memperdulikan sisi kemanusiaan. Bahkan Allah menghendaki
yang mudah dan sepadan dengan kemampuan manusia. Nabi Muhammad juga selalu memilih yang
termudah jika dihadapkan pada dua pilihan, selama tidak mendatangkan dosa.
Sebagai bukti bahwa Allah tidak memberikan beban berat kepada hambahnya dan selalu
memberikan kemudahan pada manusia adalah pemberian keringan (rukhsah) terhadap orang yang
berhalangan melakukan ibadah shalat dengan jama` dan qashar juga mengqadha shalatnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

I. SHALAT BAGI ORANG SIBUK

A. Memendekkan Rakaat Shalat (Qasar)


Memendekkan rakaat shalat disebut dengan Qasar. Secara bahasa qashar berarti pengurangan baik
dalam bilangan, sifat dan lainnya. Yang dimaksud di sini adalah pengurangan rakaat shalat. "Segala
sembahyang yang empat rakaat (Zuhur, Asar dan 'Isya) kemudian dijadikan menjadi dua rakat.”

B. Sebab Kebolehan Memendekkan Shalat (Mengqasar)


Ada dua sebab bagi kebolehan memendekkan shalat (qasar) Pertama, sebab musafir (dalam
perjalanan). Kedua, sebab takut (khauf) akan gangguan orang kafir. Hal ini, didasarkan kepada
firman Allah di dalam surah An-Nisa' ayat 101 berikut:

ِ َّ ِ ِ ِ ِ َّ ‫س علَي ُك ْم جنَاحْ أَن تَ ْقصروا ِم ْن‬


ْ‫ين‬
َ ‫الصلَ َوْة إ ْن خ ْفتُ ْْم أَن يَ ْفتنَ ُك ُْم الذ‬ َ ُُ ُ ْ ْ َ َْ ‫ض فَلَْي‬ َ ‫َوإِ َذا‬
ْ ِ ‫ضَربْتُ ْْم‬
ِْ ‫ف ْاْل َْر‬

َْ ‫َك َف ُروا إِ َّْن الْ َك ِف ِر‬


‫ين َكانُوا لَ ُك ْْم َع ُدوا ُمبِينًا‬
Artinya: "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu" (QS. An- Nisa': 101).
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang terpenting diperhatikan dalam masalah ini adalah dalam
keadaan musafir/perjalanan bukan gangguan orang kafir (khauf). Dari redaksi ayat seolah-olah
shalat qaşar dibolehkan apabila dalam keadaan takut, tetapi bukan demikian maksudnya. Ayat ini
menjelaskan keadaan yang biasa dalam setiap perjalanan Nabi Saw. yang tidak luput dari rasa takut
ketika itu.1
Atau seperti yang dikemukakan oleh Quraisy Shihab: "Ini dikemukakan untuk menekankan
pentingnya shalat dalam konteks galibnya perjalanan yang menakutkan ketika turunnya ayat ini serta
untuk menggarisbawahi bahwa betapapun kekhawatiran sangat mencekam atau bahaya mengancam,
shalat sekali-kali tidak boleh ditinggalkan.2
Hamka berpendapat bahwa gangguan dari orang kafir masih tetap ada, sehingga dengan demikian
bunyi ayat tersebut di atas masih tetap terus diperpegangi. Dalam hal ini ia memberi contoh shalat
di tempat umum di negeri orang seperti shalat zuhur di lapangan terbang London, Paris atau New

1
Hal. 1-2
2
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati,2000, Vol. 2, h. 543

2
York, akan hilang kekhusyukan, menjadi tontonan orang banyak di negeri orang yang tidak
mengenal agama dan cara ibadat tersebut. Itu juga menurutnya adalah ganguan.
Hamka mengatakan: "Dengan segala kerendahan hati dapat kita katakan pula, kalau sekiranya
Saiyyidina 'Abdullah bin Umar hidup di zaman kita ini, niscaya beliau akan menjawab apa artinya:
"Jika kamu takut akan diganggu oleh orang-orang kafir itu”. Yaitu karena pergaulan kita telah amat
luas, masuk ke negeri orang lain yang tidak seagama dengan kita, masuk ke daerah yang tidak
mengenal agama kita, padahal kadang kita datang ke negeri itu bukanlah rombongan, melainkan dua
atau tiga orang saja, dan tempat beribadat kaum muslimin tidak ada di negeri itu. Maka sedangkan
di zaman Rasulullah, setelah Fathuh Makkah, agama Islam telah aman damai, gangguan musuh tidak
ada lagi, masih berlaku qasar shalat di kala musafir, apalagi di zaman kita sekarang ini, meskipun
telah aman, namun gangguan masih ada. Jadi orang yang sibuk (dalam perjalanan) sebenarnya masih
terus merasa ada gangguan, terkadang gangguan dari sisi tempat, gangguan dari sisi pandangan
orang-orang di sekitar di dalam perjalanan tersebut, gangguan kekhawatiran barang-barang bawaan,
dan lain-lain sebagainya. Meskipun tidak ada gangguan, boleh memendekkan rakaat shalat jika
sedang dalam perjalanan (safar).3

Hadits Ibn 'Abbas :

‫ت وىف السفر ركعتني وىف اخلوف ركعة‬


ْ ‫فرض هللا الصالة على لسان نبيكم ىف احلضر ارب ْع ركعا‬

( ‫)رواه مسلم‬

Artinya: "Allah memfardukan shalat pada lisan Nabi kamu pada waktu hadir empat rakaat dan dalam
perjalanan dua rakaat dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat" (HR. Muslim).
Yang masyhur di kalangan Malikiyah bahwa qasar tersebut adalah sunnat muakkad (sunnat
yang sangat dianjurkan), dengan dalil bahwa Nabi Saw. mengqasar shalat dalam setiap
perjalanannya dan tidak ditemukan riwayat yang sahih bahwa dia menyempurnakan shalat di dalam
perjalanannya.
Dalam pandangan Syafi'iyah dan Hanâfiyah bahwa qasar itu adalah rukhsah (keringanan), di
mana seorang musafir boleh memilih antara menyempurnakan atau memendekkan. 12 Dalil mereka
adalah, di antaranya firman Allah:
ِ‫الصلَوْة‬ ِ
َ َّ ‫ص ُرْوا م َْن‬
ُ ‫س َعلَْي ُك ْْم ُجنَاحْ أَن تَ ْق‬
َْ ‫فَلَْي‬

3
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2001), Juz 5, h. 234

3
Artinya: "Maka tidak mengapa atas kamu bahwa kamu mengqasar shalat".
Ayat ini menurut mereka, menunjukkan kebolehan memilih antara mengqasar dan menyempurnakan
shalat. Kemudian, hadits 'Umar bin Khattâb, di mana Ya'la bin Umayyah berkata kepada 'Umar bin
al-Khattâb tentang ayat kebolehan mengqasar shalat yang dihubung dengan keadaan takut.

‫هللا هبْا‬
ْ ‫صدقة تصدق‬: ‫ما لنا ا ْن نقصر وقد امنا؟ فقال سألت النيب صلى هللا عليه وسلم فقال‬

‫عليكم فاقبلوا صدقته‬

(‫)رواه مسلم‬

Artinya: "Mengapa kita mengqasar shalat sedangkan kita telah aman. Maka ia (Umar bin al-Khattab)
berkata: Maka saya tanya Nabi Saw. (tentang itu). Maka ia (Nabi) berkata: Itu adalah sedekah yang
disedekahkan Allah kepada kamu maka terimalah sedekahnya itu" (HR. Muslim).

Juga sabda Nabi Saw. yang menegaskan:

‫ان هللا حيب ا ْن تؤت ْى رخصه كما حيب ا ْن تؤت ْى عزائمه‬

(‫)رواه امحد‬
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyukai ditunaikan rukhsahnya sebagaimana la menyukai 'azîmah-
azîmahnya ditunaikan" (HR. Ahmad).

Ditemukan di dalam Sahih Muslim dan lainnya bahwa para sahabat melakukan perjalanan bersama
Rasulullah Saw., maka di antara mereka ada yang mengqasar, ada yang menyempurnakan shalat,
ada yang berpuasa dan ada yang berbuka, sebagian mereka tidak mencela sebagian yang lain.
'Aisyah berkata:

‫ال َحدَّثَنَا‬ ُّ ‫ال َحدَّثَنَا الْ َع ََلءُ بْ ُن ُزَه ٍْْي ْاْل َْزِد‬
َ َ‫ي ق‬ َ َ‫ال َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعْي ٍم ق‬ ُّ ِ ‫الص‬
َ َ‫وِف ق‬ ْ ‫أَ ْخ َََبِِن أ‬
ُّ ‫َْحَ ُد بْ ُن ََْي ََي‬

‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن الْ َم ِدينَ ِة إِ ََل‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اّلل‬
ِ ‫ت مع رس‬ ِ ِ ‫الر ْْح ِن بن ْاْل‬
ُ َ َ َ ْ ‫َس َود َع ْن َعائ َشةَ أَ ََّّنَا ْاعتَ َمَر‬
ْ ُ ْ َ َّ ‫َعْب ُد‬
ِ ْ‫اّللِ ِبَِِب أَن‬ ِ
‫ت‬
ُ ‫ص ْم‬ َ ‫ت َوأَفْطَْر‬
ُ ‫ت َو‬ ُ ‫ت َوأَْْتَ ْم‬
َ ‫ص ْر‬
َ َ‫ت َوأُمي ق‬
َ َّ ‫ول‬
َ ‫ت ََي َر ُس‬ ْ ‫َم َّكةَ َح ََّّت إِ َذا قَد َم‬
ْ َ‫ت َم َّكةَ قَال‬
‫اب َعلَ َّي‬ ِ ِ
َ ‫َح َسْنت ََي َعائ َشةُ َوَما َع‬
ْ ‫ال أ‬
َ َ‫ق‬
4
Telah mengabarkan kepadaku [Ahmad bin Yahya Ash Shufi] dia berkata; telah menceritakan kepada
kami [Abu Nu'aim] dia berkata; telah menceritakan kepada kami [Al 'Alaa bin Zuhair Al Azdi] dia
berkata; telah menceritakan kepada kami ['Abdurrahman bin Al Aswad] dari ['Aisyah] bahwasanya
ia melaksanakan umrah bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Madinah ke Makkah.
Tatkala sampai di Makkah Aisyah berkata; Wahai Rasulullah, demi Bapak dan Ibuku, bagaimana
engkau mengqashar shalat padahal aku menyempurnakan shalatku, dan engkau berbuka sedangkan
aku berpuasa? Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam menjawab: Engkau telah berbuat baik wahai
'Aisyah, namun aku pun tidak tercela. (HR.An-Nasa’i).4

C. Mengqashar (Meringkas) Sholat Yang Jumlah Rakaatnya Empat


Allah berfirman, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi ini, maka tidaklah mengapa
kamu mengqahsar sholat, jika kamu takut diserang orang kafir." (Q.S. an-Nisa: 101).
Taqyid dalam ayat tersebut adalah karena khauf (rasa takut). Bukan ditujukan untuk sebab lain.
Diriwayatkan dari Ya'la bin Umayyah, berkata, "Aku berkata kepada Umar bin Khattab, apakah
engkau pernah menemukan orang yang mengqashar sholat, sedangkan Allah berfirman, Jika kamu
takut diserang orang kafir," sedangkan saat ini, penyebab itu telah hilang?' Umar berkata, Hal itu
juga membuat aku merasa aneh maka aku menanyakannya kepada nabi. Lalu Nabi berkata, Itu
adalah sedekah dari Allah untuk kalian maka terimalah sedekahnya itu." (H.R. Jama'ah)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Munib al-Jarsyi, bahwa pada suatu ketika Ibnu Umar ditanya
mengenai maksud firman Allah tersebut sebab sekarang keadaan aman dan tidak perlu keadaan
takut, apakah boleh mengqashar sholat? Ibnu Umar berkata, "Cukuplah Rasulullah menjadi teladan
yang baik pada diri Rasulullah ."Diriwayatkan dari Aisyah berkata, "Telah diwajibkan sholat
sebanyak dua rakaat-dua rakaat di kota Mekah. Pada saat Rasulullah datang ke Madinah beliau
menambahkannya dua rakaat- dua rakaat lagi, kecuali maghrib. Karena maghrib itu termasuk
witirnya (sholat yang jumlahnya ganjil), serta sholat fajar (subuh) karena panjangnya bacaan.
Adapun jika berada dalam perjalanan, hendaklah sholat dengan melaksanakan apa yang
dilaksanakan nabi di Mekah." (H.R. Ahmad, Baihaqi, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah dengan sanad
yang Tsiqah (kuat)
Ibnu Qoyyim berkata, "Nabi Muhammad mengqashar sholat yang jumlah rakaatnya empat, menjadi
dua rakaat-dua rakaat ketika keluar kota madinah hingga kembali ke sana. Tidak ada yang
menetapkan bahwa beliau menyempurnakan sholatnya menjadi empat rakaat, serta tidak ada
perbedaan pendapat dalam hal itu. Adapun yang diperdebatkan adalah tentang hukum qashar. Umar,
Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ibnu Umar, dan Jabir menetapkan hukum wajib, ini merupakan
pendapat madzhab Hanafiyyah. Madzhab Maliki mengatakan, qashar itu hukumnya sunnah
mu'akkad, di atas sholat berjamaah. Apabila orang yang berada dalam perjalanan itu tidak mendapat

4
Ibid. h. 4-8

5
kawan (artinya seorang diri) maka dia sholat munfarid dengan cara mengqashar, dan makruh
mengikuti orang yang muqim (penduduk setempat). Menurut madzhab Hanbali, mengqashar itu
boleh, lebih utama dari pada menyempurnakan rakaat. demikian juga pendapat Madzhab Syafi'i
dengan syarat sudah mencapai jarak tempuh yang ditentukan untuk qashar.

D. Jarak Perjalanan Memendekkan Shalat (Qasar)


Terjadi perbedaan pandangan di kalangan para Ulama tentang jarak (masâfah) dibolehkan qasar.
Hanafiyah berpendapat bahwa seorang musafir dibolehkan mengqasar shalat apabila perjalanannya
tiga hari tiga malam, baik dengan jalan kaki atau naik unta. Tidak sah qasar pada perjalanan yang
kurang dari jarak tersebut. Tidak disyaratkan perjalanan tersebut dilakukan siang dan malam tetapi
memadailah dimulai dari pagi hari sampai tergelincir matahari. Yang mu'tabar dalam pandangan
mereka bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan biasa di mana ada istirahat di dalamnya. Jika
perjalanan tersebut dapat ditempuh dengan waktu yang lebih singkat dengan menggunakan
transportasi yang ada pada masa ini, maka boleh melaksanakan qaşar.
Dalil mereka adalah qiyas terhadap masa menyapu khuf yang telah ditetapkan dengan al-sunnah.

‫مبسمح املقيم كمال يوم وليلة واملسافر ثالثة اايم ولياليهْا‬


Artinya: "Menyapu seorang muqîm sehari semalam penuh dan musafir adalah tiga hari tiga
malam".
Jumhur selain Hanafiyah berpendapat bahwa jarak perjalanan dibolehkan menqaşar adalah empat
burûd atau 16 farsakh pergi saja, lebih kurang 89 km. Apabila jarak tersebut dapat ditempuh dengan
waktu yang relatif singkat dengan menggunakan jasa pesawat terbang atau bus atau transportasi
lainnya, maka boleh melaksanakan qasar.
Dalil mereka adalah sabda Nabi Saw.

ْ‫ايهل مكة ال تقصروا ىف اقل من اربعة برد من مكة اىل عسفان‬

(‫)رواه الدا ْر قطين عن ابن عباس‬

Artinya: "Wahai ahli Makkah jangan kamu mengqasar (pada perjalanan) yang kurang dari empat
burud dari Makkah ke Usfan". (Riwayat al-Dâr al-Quoniy dari Ibn Abbâs)
Ibn Qudâmah mengatakan bahwa pembatasan jarak tersebut menyalahi zahir ayat al-Qur'an yang
membolehkan qasar tanpa ada penentuan jarak dan juga menyalahi sunnah Nabi Saw. di mana Anas
berkata: Bahwa Rasulullah Saw. apabila ia keluar perjalanan tiga mil atau tiga farsakh, ia shalat dua
rakaat .

6
Menurut Hamka tidak ada ketentuan yang dengan tegas menetapkan berapa jarak perjalanan baru
diperbolehkan menqasar shalat. Hal ini karena firman Allah dalam surah al-Nisa' ayat 101 di atas
tidak menentukan hal tersebut. Menurutnya, ayat tersebut telah memberikan ketegasan asal sudah
dinamai berjalan, meninggalkan tempat, sudah bernama musafir dan karenanya sudah boleh
mengqasar shalat. Menurut Hamka, segala perkataan atau pendapat seputar batasan-batasan tersebut
tidak mempunyai sandaran yang jelas. Pegangan orang-orang untuk menentukan ukuran perjalanan
tersebut adalah hadits larangan Nabi terhadap perempuan untuk bepergian dengan tidak ditemani
mahram. Hamka menegaskan: "Pendeknya penyelidikan yang seksama tidak ada yang menunjukkan
dengan tegas berapa batasnya safar itu baru boleh mengqasar. Asal sudah dapat dinamai musafir,
sudah boleh mengqasar".5

5
Ibid h. 9-11

7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari seluruh penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi orang-orang yang melakukan
perjalanan, baik selalu atau sesekali, maka ada kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan shalat.
Jadi, alasan yang kuat ada pada pendapat ulama yang membolehkan qashar bagi setiap musafir,
kecuali apabila ijma' menentangnya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan, baik perjalanan itu
ditempuh dengan kapal terbang, kereta api, maupun yang lainnya baik perjalanan itu dengan tujuan
menunaikan perintah maupun untuk maksud-maksud lainnya. Dapat juga dimasukkan golongan
yang bermata pencaharian-mengharuskannya selalu berada dalam perjalanan, seperti pelaut,
kondektur kereta api, dan lain- lainnya sebab pada dasarnya ia juga disebut bepergian. Karena itu,
ia boleh mengqashar, berbuka puasa, dan sebagainya.

Kritik dan Saran :


Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran
dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila ada terdapat
kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak
luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.

8
DAFTAR PUSTAKA

M., Jamil, 2014. Fiqih Kontemporer. Medan


Muttaqin, Zenal. 2014. Fiqih Shalat. Penerbit Jabal. Bandung
https://www.neliti.com/id/publications/40389/jamak-dan-qadha-shalat-bagi-pengantin-kajian-fiqh-
kontemporer

You might also like